Anda di halaman 1dari 11

NOTULEN

KEGIATAN SOSIALISASI PENATAAN DAN PENINGKATAN JALAN PERMUKIMAN PADA KAWASAN


KUMUH PERKOTAAN

Hari : Senin - Rabu


Tanggal : 18 – 20 September 2017
Tempat : Hotel M Regency Makassar, JL. Dg. Tompo No. ....... Makassar
Peserta : Sebanyak 60 orang yang berasal 24 Kab/Kota dari Instansi Dinas
Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan ; Bappeda dan
Dinas Pekerjaan Umum

Pelaksanaan Kegiatan:
Salah satu kegiatan pada Bidang Peningkatan Dan Pengembangan Permukiman adalah
Kegiatan Sosialisasi Sosialisasi Penataan Dan Peningkatan Jalan Permukiman Pada Kawasan
Kumuh Perkotaan. Kegiatan ini dibuka pada hari Senin tanggal 18 September 2017, dimulai
pada pukul 16.00 WITA oleh MC selanjutnya dilakukan pembacaan doa oleh Bapak As’adi,
ST. Kemudian dilanjutkan dengan Laporan Panitia Penyelenggara oleh Ibu A. Dioe H, ST,.....
yang memaparkan maksud, tujuan, sasaran serta hal lainnya sehubungan pelaksanaan
kegiatan. Setelah itu dilanjutkan Sambutan dan pembukaan acara secara resmi oleh Bapak
Ir. H. Andi Bakti Haruni, CES selaku Kepala Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan
Pertanahan yang memberikan arahan tentang penataan dan peningkatan jalan di kawasan
kumuh perkotaan. Selanjutnya acara pembukaan ditutup lalu diambil alih oleh MC untuk
dilanjutkan keesokan harinya.

Materi Kegiatan :
A. Selasa, 19 September 2017
1. Kebijakan Umum Pengembangan Permukiman Pada Kawasan Kumuh Perkotaan
Narasumber : Yosep Sulle, S.Sos, M.Si
Moderator : Zubhan Adjeng, ST, M.Si
Pada materi ini dipaparkan latar belakang yang mendorong terjadinya permukiman
kumuh ; kebijakan pengembangan permukiman ; karakteristik perumahan dan
permukiman kumuh ; kriteria permukiman kumuh ; prinsip percepatan penanganan
kumuh ; pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan dan
permukiman kumuh ; serta tipologi perumahan dan permukiman kumuh. Adapun
sesi diskusinya sebagai berikut :
a. Pak Nuzul, Bappeda Kabupaten Jeneponto
Terkait dengan yang disampaikan tadi oleh Pak Yosep terkait permukiman kumuh
dalam konteks kebijakan tentu kita sependapat, pada awal materi merupakan isu
klasik yang dialami oleh bangsa ini dan setiap kota dan kabupaten terkait
penanganan kawasan kumuh ini. Tetapi saya sangat sependapat dengan
narasumber sesungguhnya kita punya RTRW dalam rangka penataan kawasan
kumuh. Karena ini merupakan isu klasik dan sampai saat ini memang Pemerintah
mulai dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Kabupaten/Kota sepertinya
melakukan trial dan error terkait permukiman kumuh. Kita tidak pernah tetap
konsisten untuk setiap kebijakan yang terintegrasi dengan penanganan kawasan
permukiman kumuh. Saya masih ingat di RPJM 2014 – 2018 dalam penanganaan
kumuh isunya adalah bagaimana mensinergikan perencanaan penanganan
permukiman kumuh antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam RPJM ini masih
tetap isunya ditekankan bagaimana sinergi perencanaan itu. Tetapi saampai saat
ini isunya tetap seperti itu. Oleh karena itu mungkin ada hal yang mungkin perlu
sesungguhnya kalau pendekatan penanganan masih pada orientasi fisik spasial
mungkin tidak akan pernah selesai permasalahan permukiman kumuh ini. Karena
persoalan fisik spasial tidak pernah menyentuh dengan akar permasalahan yaitu
kemiskinan. Dimana ada kemiskinan maka disitu juga akan ada kantong-kantong
kemiskinan dikawasan kumuh. Oleh karena itu mungkin ada 2 (dua) pendekatan
yang perlu dilakukan sekaligus selain fisik spasial perlu juga menyentuh disisi
kesejahteraan masyarakat di kawasan kumuh itu. Sehingga ini kadang tidak
berjalan beriringan, ketika kita membedah masalah fisik tapi kita tidak
membedah peningkatan kesejahteraan di kawasan kumuh tersebut. Sehingga
menjadi pincang penanganannya. Oleh karena itu mungkin perlu di elaborasi,
saya sependapat kita punya komitmen bersama yaitu RTRW yang tidak sinkron
pelaksanaannya. Oleh karena itu kita harus menyudahi trial dan error selanjutnya
yangperlu ditingkatkan koordinasi yang baik dan kita perlu konsisten atau
komitmen dengan dokumen perencanaan maupun kebijakan yang telah kita
lahirkan sendiri. berganti pemimpin berganti kebijakan. Oleh karena itu perlu
komitmen kita bersama sekian komentar saya.
Tanggapan Narasumber :
Saya sepakat memang kegiatan pembangunan tidak selamanya pembangunan
fisik. Kalau pembanguan fisik untuk yang terlihat saja, misalnya di suatu kawasan
terjadi genangan, dibuatkan proyek drainase sehingga air bisa dialirkan, namun
bila masyarakat tidak disadarkan fasilitas tersebut harus dipelihara akan terjadi
genangan kembali. Saya sepakat disentuh juga dari sisi masyarakatnya dan
terjadinya kekumuhan juga punya keterkaitan erat dengan kemiskinan. Kadang
bisa benar kadang juga tidak, idealnya kawasan permukiman sejahtera/tidak
miskin. Disebut kumuh karena kesadaran masyarakat akan lingkungan sangat
kurang. Maka pemerintah harus menyentuh sisi lainnya. Seperti peningkatan
pendapatan sehingga masyarakatnya dapat hidup layak, tapi bisa saja kawasan
tersebut tetap kumuh karena kurangnya kesadaran masyarakatnya. Jadi
semuanya harus sinergi dan penanganan kawasan kumuh harus berorientasi
dengan kebijakan yang telah disepakati dan diwujudkan. Bila belum selesai
dilanjutkan di periode berikutnya.
b. Pak Syaharuddin, Dinas Perumahan Kota Makassar
Sehubungan dengan pemaparan tadi, kalau dilihat dari variabel yang
menyebabkan kumuh, memang ditinjau dari gedung berarti bagaimana
penanganan gedung/rumahnya begitu pula dengan penanganan drainase.
Terkadang hal ini memicu kekumuhan, terkadang dari sisi drainase sulit
ditangani walaupun kita tau karena kondisi ketidakteraturan bangunan,
contohnya pembuangan air dari hulu ke hilir tidak terkoneksi. Yang menjadi
masalah bagaimana kebijakan ini bila terjadi di lapangan. Sementara di dalam
undang-undang setiap warga berhak untuk hidup sejahtera, sedangkan menurut
masyarakat sudah merasa sejahtera walaupun berada di kawasan kumuh.
Selanjutnya bahwa penanganan kumuh istilahnya 100 0 100, yaitu air bersih,
kumuh dan persampahan. Pemicunya kembali ke masyarakat, terkadang tidak
tersosialisasi pada masyarakat bagaimana penanganan sampah. Walaupun
partisipasi masyarakat ingin melakukan pembersihan dalam lingkungannya,
namun bila tidak disediakan tempat pembuangan sampah, akan berserakan
sampahnya. Yang menjadi masalah adalah tidak tersedia TPA, bagaimana bila
kita menghadapi masalah tersebut.
Tanggapan Narasumber :
Saya kira Pemda punya tanggung jawab yaitu RTRW sehingga tidak terjadi
ketidakteraturan bangunan. Bila terjadi pelanggaran tata ruang kita harus
sampaikan pelanggaran tersebut. Kalau kita ingin mengikuti rencana tata ruang
maka akan terjadi keteraturan tata ruang. Mengikuti perencanaan sempadan dan
drainase. Penanganan sampah dilakukan identifikasi, disiapkan anggaran untuk
penyediaan sarana-sarana. Jadi merupakan bagian yang harus kita rencanakan.
Kalau perlu dilakukan sosialisasi kepada warga untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat akan lingkungan.

Setelah sesi diskusi, moderator memberikan kesimpulan sebagai berikut :


Banyak kebijakan baru yang hampir sama dengan kebijakan yang lalu. Bahwa jalan
lingkungan merupakan salah satu indikator kawasan kumuh. Dalam RPJM universal
akses 100 0 100 harus dipacu hingga tahun 2019. Oleh karena itu agar dapat dicapai
harus dilaksanakan.

2. Peningkatan dan Pengembangan Kawasan Permukiman


Narasumber : DR. Ir. Batara Surya, M.Si
Moderator : Dewi Sartika, S.Ds
Pada materi ini dipaparkan tentang alur pikir penanganan kumuh ; dasar pemikiran
dan konsepsi ; keterpaduan penanganan permukiman kumuh ; integrasi
perencanaan penanganan kumuh ; peningkatan kualitas infrastruktur dan pelayanan
perkotaan; penanganan kumuh serta konsep penyelenggaraan pengembangan
kawasan permukiman.
Berikut ini sesi diskusinya :
a. Irwan Eka Saputra, Bappeda Kabupaten Wajo
- Penanganan kawasan kumuh tidak dilakukan pemerintah saja namun semua
masyarakat. Salah satu permasalahan, contoh asimilasi apakah dilakukan
pemerintah atau masyarakatnya. Karena asimilasi merupakan proses
beradaptasi serta proses terhadap akses terbukanya sarana penunjang
lainnya. Apakah asimilasi akan dilakukan pemerintah sendiri atau oleh
masyarakatnya. Bagaimana gambaran menciptakan asimilasi yang sesuai
standarisasi atau suatu kelayakan?
- Relokasi memberikan peran kepada masyarakat untuk menempati lokasi dan
lebih banyak dilakukan pemerintah.
Tanggapan Narasumber :
Dua konteks yang berbeda antara partisipasi dan peran serta. Partisipasi
konteksnya aktif dan pasif sedangkan peran serta keterlibatan masyarakat
secara langsung. Idealnya penanganan kumuh harus button up. Sehingga
sebelum kebijakan turun dari pusat, kabupaten harus siap (punya model).
Misalnya di Danau Tempe beda kumuhnya dengan di Makassar. Setiap daerah
punya karakter dan ciri spesifik. Yang ada secara nasional itu general karena
dipandu oleh pedoman. Kalau tidak ada inisiatif dari kabupaten sehingga tidak
ada gambaran dari masing-masing objeknya. Contoh di Kabupaten Wajo rumah
panggung di atas air, kultur di atas air. Bila dipindahkan ke daratan pasti
masyarakat tidak terima sehingga gagal. Permukiman lahir karena ada sumber
daya alam, di Wajo sumber daya alam adalah di Danau Tempe sehingga
berkembang permukiman disana. Asimilasi terjadi diawali karena adanya
akulturasi. Tidak ada asimilasi terjadi bila tidak ada akulturasi. Untuk di Wajo
disebut komunitas khusus tidak sama dengan komunitas kumuh di kota
Makassar sehingga perlakuannya tidak sama. Harus button up sehingga lokal
wisdom menjadi penting. Tidak boleh merubah pola hidup karena akan perlu
adaptasi. Berbeda dengan konteks kota metropolis karena lahan terbatas.
Jangan dipisahkan terlalu jauh dengan sumber dayanya.
Tanggapan Pak Irwan :
Jadi ada satu kasus relokasi ada namanya resources alternatif, tidak berdasar
dari sources yang ada namun ada sources alternatif. Hal ini sebagai
pengembangan untuk mengkaji resouces yang ada namun menciptakan yang
baru sebagai sumber daya. Dengan satu akses yang ada diberikan resources
awal, apakah ketergantungan dengan resources awal atau alternatifnya.
Asimilasi ada satu standarisasi atau general. Kebanyakan lokal wisdom tidak
akan terjadi. Konten kabupaten akan mengambil standarisasi itu.
Tanggapan Narasumber :
Standarisasi yang keluar nasional itu standar fisik bukan sosial dan ekonomi.
Berbicara lokal wisdom itu maka sosial yang berbicara. Ekonomi digunakan
acuan BPS 1500 kalori/orang konsumsi untuk makan. Sehingga lahir masyarakat
sejahtera namun sosialnya tidak ada, maka bisa digunakan ukuran sendiri untuk
di Wajo. Sehingga karakteristik dihubungkan dengan potensi wilayah (lokal
wisdom). Sumber daya buatan ketika diciptakan harus ada proses
pemberdayaan masyarakat karena membutuhkan daya adaptasi terus menerus.
Butuh waktu, misalnya di Danau Tempe potensi perikanan maupun pariwisata
sehingga dapat dibuat sumber daya buatan namun harus diciptakan dulu
objeknya di desain sedemikian rupa setelah itu masyarakat dapat berkiptah
secara ekonomi baru dapat diajak bergeser. Pedoman penangaan kumuh tidak
harus general tetapi harus sesuai dengan karakteristik daerahnya.

b. Nurinzana Gaus, Bappeda Kabupaten Gowa


Saya tertarik dengan pola CSR.tahun 2011 ada amanah UU No. 1 Tahun 2011
tentang perumahan dan kawasan permukiman, kemudian tahun 2012 ada
undang-undang No. 10 tentang hunian berimbang pola 1,2,3 dimana
pengembang membangun rumah mewah 1 unit, harus membangun rumah
sederhana 2 unit dan rumah RSS 3 unit. Kemudian Permenpera No. 7 tahun 2013
tentang sanksi pidana dan perdata bagi pengembang yang tidak
melaksanakannya. Sehingga dapat dibuatkan dasar atau perda sehingga CSR
dapat diterapkan disana. Mungkin kurang sosialisasi sehingga kabupaten/kota
kurang melaksanakan ini. Muncul lagi PP No. 14 tahun 2016 memuat bahwa
badan hukum yang melaksanakan pembangunan perumahan wajib
mewqujudkan perumahan dengan hunian berimbang. Apakah undang-undang
ini kurang sosialisasi sehingga respon kabupaten tidak ada. Padahal ini sangat
bagus dilakukan MOU dengan pengembang untuk mewujudkan ini semua.
Tanggapan Narasumber :
Yang paling baik dilakukan adalah melakukan telaah terhadap peraturan dan
undang-undang yang telah ada. Sejak dahulu telah ada hunian berimbang 10 %
untuk hunian high class, 30 % untuk hunian menengah, dan 60 % untu hunian
kelas rendah. Regulasi bila tidak diterjemahkan secara baik oleh Kabupaten
maka yang menguasai adalah swasta. Pengembang setelah selesai membangun
dikembalikan ke Pemda. Harusnya dibuatkan kajian secara spesifik setelah itu
dikomunikasikan ke Pusat. Bekerja dengan pola CSR baik namun jangan dalam
bentuk uang tunai, tapi dalam bentuk lahan atau MOU untuk masyarakat MBR
dengan tingkat suku bunga. Sehingga inisiatif Pemda akan kelihatan. Oleh karena
itu sejak awal ada RPJMD di revisi, bila tidak akan berhadapan dengan legislatif.
Perlu ada data untuk membuat telaah sehingga bisa menjadi isu strategis
daerah.
Tanggapan Ibu Nurinzana :
Mungkin dengan penerapan pola CSR setelah koordinasi dengan pusat bisa
dialihkan misalnya pengembang menata permukiman lama yang telah
ditinggalkan pengembangnya. Bisa juga menata kawasan kumuh, persampahan
ataupun drainasenya.
Tanggapan Narasumber :
Penting sekali melakukan telaah sehingga akan diketahui bagaimana
melaksanakan CSR itu, apa skala prioritasnya. Misalnya masalah PKL, bagaimana
dibuatkan lahannya dan ada retribusinya sehingga sangat dibutuhkan inovasi,
kreativitas dan terobosan daerah. Minta pengembang melakukan desain
terhadap RTHnya. Lakukan revisi RPJMD sebelum Bupati berakhir masa
tugasnya.

Setelah sesi diskusi, moderator memberikan kesimpulan sebagai berikut :


Melakukan penanganan kawasan kumuh melalui tindakan pencegahan, peningkatan
kualitas dan pengelolaan.

Setelah materi kedua dilanjutkan Ishoma, acara dilanjutkan kembali pada pukul 13.00
WITA.

3. Perencanaan dan Penataan Jalan Permukiman Pada Kawasan Kumuh Perkotaan


Narasumber : DR. Ir. Sariwahyuni, M.Si, IPM
Moderator : Zubhan Adjeng, ST, M.Si
Pada materi ini dipaparkan tentang pengertian rumah, perumahan dan
permukiman ; latar belakang yang memuat Undang-Undang Dasar 1945, amanat
RPJM serta Nawacita selain itu dipaparkan pula tentang isu dan tantangan secara
global disertai tentang video singkat wilayah-wilayah di Indonesia yang telah
tertangani permasalahan kumuhnya.

Berikut ini sesi diskusinya :


a. Pak Syaharuddin, Dinas Perumahan Kota Makassar
Saya akan memberikan sedikit komentar yaitu masih mudah untuk melakukan
perencanaan jalan di kabupaten karena masih luas spacenya sedangkan untuk
melakukan hal tersebut di kota sangat susah. Tapi untuk melakukan hal tersebut
harus ada kolaborasi dari berbagai stakeholder yang ada serta melakukan
konsolidasi agar daerah kumuh menjadi tidak kumuh.
Tanggapan Narasumber :
Saya setuju dengan pendapat bapak, memang diperlukan kolaborasi antara
stakeholder yang ada baik itu ditingkat pemerintah pusat, provinsi, daerah
maupun kolaborasi antara aktor-aktor pembangunan yaitu pemerintah, swasta
dan masyarakat agar dapat mewujudkan daerah tidak kumuh.
b. Pak Amir, .....................Kabupaten Pangkep
Kita lihat di Pangkep terdiri dari 3 (tiga) dimensi yaitu perbukitan, dataran dan
kepulauan. Dari ketiga tersebut terdapat area kawasan kumuh yang tidak
terlepas dari wilayah tersebut. Dalam penataan jalan perlu pada permukiman
untuk mengatasai areal kumuh perkotaan. Utamanya dibelakang pasar dan
bantaran sungai sangat sulit dilakukan penataan. Pada beberapa wilayah yang
telah dilakukan penataan beberapa masyarakat/anggota dewan mengklaim
daerah penataan tersebut. Bagaimana kiat agar penataan jalan permukiman
sesuai dengan apa yang telah kita laksanakan?
Tanggapan Narasumber :
Dari gambaran geografis Pangkep justru merupakan wilayah eksotis apabila di
kelola dengan baik. Memang dalam pelaksanaan program kerja perlu pelibatan
stakeholder itu penting, pendekatan kepada masyarakat lebih penting dengan
kerjasama dari berbagai sektor, tidak perlu adanya ego sektoral. Berikan
program kerja kepada calon bupati/walikota tentang pengentasan kumuh.
Selama berniat baik, dengan pendekatan secara manusiawi maka masyarakat
akan luluh.

c. Pak Nasir, .....................Kabupaten Wajo


Kami sedikit terkesima dengan bahasa bahwa suatu daerah dipandang eksotis
bila memiliki perbukitan, daratan, dan kepulauan. Bagaimana membuat suatu
teamwork yang melibatkan berbagai stakeholder yang ada dengan berbagai
potensi dari jasa konsultan yang dipakai. Biasanya jasa konsultan yang
dimanfaatkan, kepala OPD kurang mengerti manfaat jasa konsultan. Sebaiknya
setiap ada regulasi setiap jasa konsultan ada uji materi kalau perlu di seminarkan
hasil desainnya. Inilah yang selama ini daerah tidak lakukan, jadinya MCK
(monumen cipta karya). Seperti rusunawa akhirnya menjadi kandang kambing.
Itulah merubah fisik sekaligus softwarenya. Jangan sampai telah dirancang
fisiknya tetapi tetap kumuh, karena pola pikir yang ada tidak dibangun suatu
konsep perencanaan. Jadi saya rasa sudah banyak aturan perundangan bahkan
kalau perlu pergub. Kita masih keliru untuk menutup pikiran kita untuk tidak
berbuat sesuatu pada daerah yang sangat eksotis. Contohnya sungai dijadikan
sarana transportasi yang hebat. Demikian saran saya.
Tanggapan Narasumber :
Ada daerah di Malang bernama Desa Belimbing yaitu kampung warna-warna
yang telah disulap menjadi daerah wisata yang disponsori oleh pabrik cat. Dalam
perencanaan program pembangunan jangan ada ego sektoral. Harus ada
kreativitas dari pemerintah setempat untuk menyulap daerah kumuh menjadi
menarik untuk dikunjungi. Seperti di video tadi penataan kassi-kassi.
4. Penanganan Lingkungan Permukiman Kumuh
Narasumber : Ir. H. Nurdin Mone, SE, ST, MSP
Moderator : Anwar Alam
Pada materi ini dipaparkan pendekatan yang bertumpu kepada masyarakat,
kebijakan dan strategi penanganan, rekomendasi serta perencanaan program
penanganan lingkungan kumuh.
Berikut ini sesi diskusinya :
a. Ibu Eva, Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan Prov. Sulawesi
Selatan
Bagaimana usulan BKM kabupaten/kota untuk daerah otonom baru berdasarkan
Permendagri No. 14 tentang hibah, tidak ada penyerahan ke kabupaten/kota
namun dapat mengusulkan melalui BKM dengan catatan berbadan hukum. Yang
menjadi keraguan kami adalah kami terhadap BKM tersebut seperti apa,
bagaimana kelanjutan terhadap kegiatan tersebut. Saat ini kami sudah meminta
ke kabupaten/kota melalui usulan BKM yang telah masuk ke kami selanjutnya
dilakukan verifikasi kembali seperti TPA dimana lokasinya, bagaimana
masukannya. Selanjutnya dilaporkan Pak Sekda untuk dilaporkan tentang
rencana kegiatan.

b. Ibu Putri, Bappeda Kabupaten Bulukumba


Kami apreasiasi teman-teman di Provinsi, untuk mencarikan jalan kegiatan yang
ada di Provinsi. Khususnya di Kabupaten Bulukumba kegiatan Kotaku khususnya
di kabupaten Bulukumba tidak berkoordinasi dengan Bappeda sedangkan yang
kedua usulan kegiatan melalui BKM tentang sampah, air minum, RTH, sanitasi,
TPA, jalan dan drainase sudah disiapkan, sebaiknya menyurat di kabupaten
sekaligus kriterianya. Dihindari terbentuk BKM yang lain, mengusul lagi ke
provinsi tanpa ada koordinasi. Di tahun 2017 terjadi penyimpangan dikegiatan
Kotaku, tidak ada lagi koordinasi apa yang dibuat. Sebaiknya ada sinergi
terhadap apa yang telah dilakukan serta kriteria apa yang akan dibuat.

Tanggapan Narasumber :
Menurut pengalaman saya, BKM itu dibentuk 1 (satu) tiap kelurahan, dibentuk
secara resmi oleh masyarakat. Semua program yang ada dimasukkan dalam BKM
tersebut. Boleh banyak pelaksana kegiatan namun cuma 1 (satu) BKMnya. Mau
proyek air bersih, atau proyek lainnya dilaksanakan oleh 1 (satu) BKM saja. Di
Sulawesi Selatan harus membuat readiness kriteria untuk dilaksanakan oleh
Kabupaten/Kota. Program Kotaku harus berkoordinasi di Bappeda, biasanya
berkantor di Bappeda.
Tanggapan Ibu Putri :
Untuk Pamsimas ada juga BKMnya. Biasanya pusat mengirimkan tembusan ke
kami bila ada dana pendamping. Kami ingin mengetahui misskomunikasinya
dimana. Kami juga tidak diundang di Rapat Koordinasi Awal Tengah Tahun.
Setahu kami dari kegiatan di Yogyakarta ada MOU sepakat Pemda
Kabupaten/Kota merupakan nahkoda, yang kedua ada klinik di Makassar setelah
itu tidak ada lagi koordinasi ke bawah sampai penggantian fasilitator kami tidak
ketahui.
Tanggapan Narasumber :
Nanti kami akan komunikasikan ke Randal atau yang terkait.
Tanggapan Ibu Eva :
Terkait yang ibu Putri sampaikan kami sependapat seperti itu, terkait BKM kami
tidak akan menerima usulan tanpa ada usulan Bupati/Walikota tetap akan kami
verifikasi.

c. Pak Nasir, ................ Kabupaten Wajo


Ada miskomunikasi antara Sekda dengan OPDnya serta tidak ada koordinasi.
Seperti di kabupaten kami di Wajo 14 (empat belas) kelurahan, jadi nanti akan
ada 14 (empat belas) BKM.

d. Ibu Nurinzana Gaus, ...................Kabupaten Gowa


Berbicara tentang Kotaku kawasan kumuh perkotaan. Berdasarkan pengalaman
dan kendala dari pelaksanaan kotaku, menjembatani antara BKM yang ada
dengan pemerintah setempat yaitu kelurahan dan kecamatan. Stakeholder yang
menangani Kotaku bingung memilih antara kegiatan APBN dengan APBD mereka
sehingga kadang mempengaruhi definitif SKPD itu. Apalagi kelurahan tidak
memiliki anggaran, beda dengan desa yang memiliki anggaran desa. Sehingga
untuk program Kotaku, kontrolnya bisa lebih besar.

Tanggapan Narasumber :
Perlu dicari dimana teknisnya, P2KP menjadi KOTAKU. Perubahan ini karena
kebijakan nasional. Satker PBL ke Bangkim. Koordinasi dengan kabupaten sangat
bagus karena berkantor di Bappeda. Nanti akan kami coba komunikasikan
dengan teman-teman di Bangkim.

Dengan berakhirnya pemaparan materi ke-4 (empat), MC mengambil alih untuk menutup
rangkaian acara pada hari Selasa. Materi selanjutnya di laksanakan pada keesokan
harinya pada hari Rabu.
B. Selasa, 19 September 2017

5. Kawasan Permukiman Kumuh


Narasumber : Hayaluddin
Moderator : Muji Iriansyah
Pada materi ini narasumber memaparkan tentang latar belakang dan definisi dari
kumuh disertai dengan luas kawasan kumuh di Sulawesi Selatan. Selain itu
diterangkan pula kebijakan dan strategi dari ditjen Cipta Karya menyangkut masalah
kebijakan serta kolaborasi antar sektor yang perlu dilakukan untuk mempercepat
penanganan kumuh.
Berikut ini sesi diskusinya :
a. Pak Ilyas, Dinas ............................ Kabupaten ......................
Terkait kondisi di daerah kami, saat ini dilakukan rapat RKA 2018. Terkait
program penanganan permukiman kumuh, mungkin bisa di gambarkan program
kerja dari dinas perumahan provinsi agar dapat kami sinkronkan dengan
program kami di daerah. Yang kedua dalam penyusunan profil kawasan kumuh
di daerah ada proses untuk mendapatkan angka, dibutuhkan pendamping dan
sebagainya sedangkan di daerah kami tidak mendapat program KOTAKU. Jadi
bagaimana solusinya agar kami dapat di fasilitasi dalam penyusunan profil
kawasan kumuh di daerah kami ?. Kemudian yang ketiga di daerah kami
pemerintah/bupati yang terpilih sangat antusias dalam meningkatkan kualitas
perumahan. Dalam visi misinya yaitu peningkatan kualitas rumah/bedah rumah
sebanyak 1.270 per tahun selama 5 (lima) tahun, sudah berjalan sejak tahun
lalu.

b. Pak Syaharuddin, Dinas Perumahan Kota Makassar


Berdasarkan amanah UU No. 1 Tahun 2011 tentang perumahan dan kawasan
permukiman, namun didalamnya dituntut untuk bagaimana kawasan tersebut
bisa tidak menjadi kumuh. Dimana program tersebut dikatan 100 0 100. Yang
menjadi masalah dari sektor yang bisa menangani dari Provinsi, Pusat dan
kabupaten/Kota. Saya katakan mulai dari provinsi karena provinsi merupakan
fasilitator atau perpanjangan tangan dari pusat. Namun yang menjadi masalah
ketika pelaksanaan berkaitan dengan penyerahan hibah. Di Provinsi persoalan
aturan yang punya kewenangan adalah kabupaten yang mempunyai daerah.
Andaikata persoalan ini tidak bisa terlaksana, bagamaina pemerintah pusat
apakah ada undang-undang agar program Kotaku dapat berjalan terkait hibah.
Yang kedua bila kegiatan tidak berjalan tidak akan tercapai 100 0 100 di 2019.

Tanggapan Narasumber :
Gambaran program kerja Satker PKP bukan di Provinsi tapi di Pusat satuan
vertikal tapi berkedudukan di Provinsi. Jadi SatkerPKP tetap mengacu Undang-
Undang No. 1 Tahun 2011 untuk sementara bergerak di 2 (dua) kegiatan yaitu
perkotaan dan perdesaan,namun perdesaan yang potensial. Dasar hukumnya di
kumuh perkotaan adalah ada SK bupati atau SK Walikota agar menjadi program
prioritas satker PKP. Kalau pengembangan permukiman perdesaan potensial
harus ada SK perdesaan potensial misalnya agropolitan, pariwisata atau industri
kerajinan lainnya. Perencanaan kumuh perkotaan ada 30 (tiga puluh) kota besar
di seluruh Indonesia, beberapa kota besar, sedang dan kecil. Untuk
penganggaran dilihat dari sektor-sektor yang prioritasnya paling tinggi.
Luasannya besar dan banyak masyarakatnya berlaku di 19 (sembilan belas)
kabupaten yang memiliki SK kumuh.
Untuk program Kotaku diatur oleh Dirjen Cipta Karya, bukan satker PKP yang
atur. Berdasarkan dari luasan kawasan kumuh. Jadi di program Kotaku ada di 14
(empat belas) Kabupaten/Kota. Tetap semua Kabupaten pasti ada kedepannya,
terkait untuk rumah kumuh ada di SNVT Perumahan namun tetap kami lakukan
sinergi.
Tentang aturan penanganan kumuh, serah terima hibah apakah ada aturan,
sampai sekarang tidak ada. Di Provinsi hanya memfasilitasi perencanaan saja.
Sedangkan penanganan drainase penyebab utama kekumuhan, sama dengan
hirarki lainnya. Drainase juga memiliki struktur yaitu primer, sekunder maupun
tersier.

Demikian Notulen ini dibuat untuk digunakan seperlunya.

Makassar, 20 September 2017

Wahyuningsih Achmad, ST

Anda mungkin juga menyukai