Anda di halaman 1dari 21

COUNTER LEGAL DRAFT KOMPILASI HUKUM ISLAM (CLD-KHI) DALAM

PERSPEKTIF POLITIK HUKUM DI INDONESIA1

MARZUKI WAHID
UIN Sunan Gunung Djati Bandung, e-mail: marzukiwahid@yahoo.com
Jl. A.H. Nasution No. 105 Cibiru Bandung 40614

Abstrak
Dengan perspektif politik hukum, artikel ini membahas tentang CLD-KHI (Counter Legal Draft-
Kompilasi Hukum Islam) yang disusun oleh Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender Departemen
Agama RI tahun 2004, yang berisi usulan perubahan peraturan hukum keluarga di Indonesia, yang
disusun dengan perspektif demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia, dan keadilan gender pada
lanskap realitas keindonesiaan. Konsep kemudian mendatangkan berbagai kontroversi di tengah
masyarakat. Para penentang konsep ini umumnya datang dari kelompok pejuang formalisasi syari'at,
sedangkan para pendukungnya kebanyakan berasal dari kelompok yang gigih memperjuangkan
kesetaraan dan keadilan gender, hak asasi manusia, demokrasi, dan pluralisme. Kalangan akademisi
kebanyakan masih memberikan apresiasi terhadap konsep CLD-KHI ini, meskipun hanya menyetujui
beberapa usulan tersebut. Penolakan terhadap draft ini lebih dikarenakan penggunaan perspektif yang
kurang lazim diterapkan dalam hukum Islam, seperti demokrasi, gender, dan HAM, yang dianggap
sebagai intervensi pemikiran Barat terhadap hukum Islam, sehingga tidak lagi murni bersumberkan
Al-Qur'an dan Hadith. Kontroversi kedua muncul karena penyusunan draft ini didanai oleh the Asia
Foundation, sehingga isu politik turut mewarnai perdebatan, terutama terkait dengan kepentingan
politik Barat untuk menyebarkan liberalisme dan sekularisme. Dengan demikian, hukum Islam tidak
lagi semata-mata teologis, tetapi merupakan konstruk sosial politik. Terlepas dari perkembangan
perdebatan di lapangan, CLD-KHI tampak ”gagal” meyakinkan Pemerintah, DPR, dan sebagian
besar tokoh-tokoh Islam, bahkan kian memperkeruh hubungan Islam liberal dengan Islam konservatif.
Namun, secara konseptual CLD-KHI telah berhasil memadukan hukum Islam dengan kenyataan
demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia, dan keadilan gender, baik dalam tataran metodologi
maupun rumusan ketentuan hukum Islam. Rumusan CLD-KHI telah menjadi bahan kajian dan
perbincangan akademis yang cukup serius di banyak perguruan tinggi.

Kata Kunci : Counter Legal Draft, Kompilasi Hukum Islam, Perspektif Politik,
Indonesia

A. Pendahuluan

Dalam sejarah politik hukum Indonesia-merdeka, tonggak pembaruan hukum keluarga


Islam pertama kali ditandai dengan pengundangan hukum perkawinan, UU Nomor 1 Tahun
1974 pada paruh awal rezim Orde Baru. Tujuh belas tahun kemudian, disusun Kompilasi
Hukum Islam melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang disebut KHI Inpres sebagai
hukum materiil Peradilan Agama. Tahun 2003, Departemen Agama RI mengajukan Rancangan
Undang-Undang Hukum Terapan Peradilan Agama (RUU HTPA) kepada Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR). RUU HTPA ini menyempurnakan materi KHI-Inpres dan meningkatkan
statusnya dari Inpres menjadi UU.2

1
.Paper ini pernah dipresentasikan pada The 4th Annual Islamic Studies Postgraduate
Conference, The University of Melbourne, 17-18 November 2008
2
“Kompilasi Hukum Islam akan ditingkatkan Jadi UU”, GATRA, 19 September 2002. Baca
http://www.gatra.com/artikel.php?pil=23&id+20700. Baca juga “Draft RUU Hukum Perkawinan
Sebagai respon atas RUU HTPA, pada 4 Oktober 2004 Kelompok Kerja
Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI (Pokja PUG Depag) meluncurkan naskah
rumusan hukum Islam yang disebut Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI).
Naskah ini menurut tim penyusun CLD-KHI menawarkan sejumlah pemikiran pembaruan
hukum keluarga Islam yang disusun dalam RUU Hukum Perkawinan Islam, RUU Hukum
Kewarisan Islam, dan RUU Hukum Perwakafan Islam. Dari 178 pasal, ada 23 poin pembaruan
hukum Islam yang ditawarkan. Dibandingkan dengan KHI-Inpres, tawaran pembaruan hukum
keluarga Islam versi CLD-KHI difokuskan pada 3 bidang, yaitu hukum perkawinan, hukum
kewarisan dan hukum perwakafan. Secara lebih rinci perbandingan tersebut dapat dilihat dalam
tabel berikut:

1) Hukum Perkawinan
No Pembahasan KHI-Inpres No. 1 Tahun CLD-KHI
1991
1 Perkawinan Pelaksanaannya merupakan Perkawinan bukan kategori ‘ibâdah,
ibadah (Pasal 2) melainkan mu’âmalât (kontrak yang
didasarkan pada kesepakatan kedua
belah pihak) (Pasal 2)
2 Wali nikah Merupakan rukun Bukan rukun perkawinan (Pasal 6)
perkawinan (Pasal 14)
3 Pencatatan nikah Tidak termasuk rukun Merupakan rukun perkawinan (Pasal
perkawinan (Pasal 14) 6)
4 Kesaksian Perempuan tidak boleh Sebagaimana laki-laki, perempuan
perempuan dalam menjadi saksi (Pasal 25) boleh menjadi saksi perkawinan
perkawinan (Pasal 11)
5 Batas minimal usia 16 tahun bagi calon isteri, Minimal 19 tahun, tidak
perkawinan 19 tahun bagi calon suami membedakan antara usia calon isteri
(Pasal 15) dan calon suami (Pasal 7)
6 Perkawinan Berapapun usianya, gadis Gadis pada usia 21 tahun dapat
seorang gadis dikawinkan oleh wali atau mengawinkan dirinya sendiri (Pasal
(perempuan yang yang mewakilinya (Pasal 14) 7)
belum pernah
kawin)
7 Mahar Diberikan oleh calon suami Mahar bisa diberikan oleh calon
kepada calon isteri (Pasal isteri kepada calon suami atau
30) sebaliknya (Pasal 16)
8 Kedudukan suami- Suami adalah kepala Kedudukan, hak, dan kewajiban
isteri keluarga dan isteri adalah suami dan isteri adalah setara (Pasal
ibu rumah tangga (Pasal 79) 49)
9 Pencarian nafkah Kewajiban suami (Pasal 80 Kewajiban bersama suami dan isteri
Ayat 4) (Pasal 51)
10 Perjanjian masa Tidak diatur Diatur, sehingga perkawinan
perkawinan dinyatakan putus bersamaan dengan
berakhirnya masa perkawinan yang
telah disepakati (Pasal 22, 28, dan 56
Poin [a] )
11 Kawin beda agama Mutlak tidak boleh (Pasal Boleh, selama dalam batas untuk

Islam akan Diajukan ke Sekneg,” Selasa, 09 November 2004 dalam


http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/11/09/brk,20041109-07,id.html

49
44 dan 61) mencapai tujuan perkawinan (Pasal
54)
12 Poligami (ta’addud Boleh, dengan sejumlah Tidak boleh, harâm li ghairihi (Pasal 3)
al-zawjât) persyaratan (Pasal 55-59)
13 ‘Iddah (masa ‘Iddah hanya untuk isteri ‘Iddah berlaku bagi suami dan isteri
tunggu, masa (Pasal 153) (Pasal 88)
transisi)
14 ‘Iddah akibat Didasarkan pada terjadinya Didasarkan pada terjadinya akad,
perceraian dukhûl (Pasal 153) bukan dukhûl (Pasal 88).
15 Ihdâd (berkabung) Ihdâd hanya untuk isteri Selain isteri, ihdâd juga dikenakan
(Pasal 170) buat suami (Pasal 112)
16 Nusyûz Nusyûz hanya Nusyûz juga bisa dilakukan suami
(membangkang dimungkinkan oleh isteri (Pasal 53 [1])
dari kewajiban) (Pasal 84)
17 Khulu` (perceraian Khulu` dinyatakan sebagai Khulu` dan thalâq adalah sama,
atas inisiatif isteri) thalâq bâ’in sughrâ, sehingga sehingga boleh rujuk (thalâq raj’iy)
tidak boleh rujuk melainkan (Pasal 1 dan 59)
harus dengan akad nikah
baru (Pasal 119)
18 Hak rujuk (bersatu Hak rujuk hanya dimiliki Suami dan isteri memiliki hak untuk
kembali dalam suami (Pasal 163) rujuk (Pasal 105)
perkawinan)

2) Hukum Kewarisan

No Pembahasan KHI Inpres No. 1 CLD-KHI


Tahun 1991
1 Waris beda agama Beda agama menjadi Beda agama bukan penghalang
penghalang (mâni’) proses (mâni’) proses waris-mewarisi
waris-mewarisi (Pasal 171 (Pasal 2)
dan 172)
2 Anak di luar perkawinan Hanya memiliki hubungan Jika diketahui ayah biologisnya,
waris dari ibunya, anak tetap memiliki hak waris
sekalipun ayah biologisnya dari ayah biologisnya (Pasal 16)
sudah diketahui (Pasal
186)
3 ‘Awl dan radd Dipakai (Pasal 192 dan Dihapus.
193)
4 Pembagian waris bagi Bagian anak laki-laki dan Proporsinya sama, 1:1 atau 2:2
anak laki-laki dan perempuan adalah 2:1 (Pasal 8 [3]).
perempuan

3) Hukum Perwakafan

No Pembahasan KHI Inpres No. 1 CLD-KHI


Tahun 1991
1 Hak kekayaan Tidak diatur Diatur (Pasal 11)
intelektual sebagai
barang wakaf

50
Tawaran-tawaran tersebut tampaknya berbeda dengan ketentuan hukum Islam dalam
KHI-Inpres, RUU HTPA, dan pemahaman fikih yang berkembang di Indonesia. Sebagai hukum
Islam, rumusan CLD-KHI didasarkan pada sumber utama Islam, yakni al-Qur’an dan al-Hadits
dengan penalaran tersendiri. CLD-KHI, bahkan juga, didasarkan pada teks-teks kitab kuning
yang lazim dijadikan rujukan oleh kalangan pesantren. Selanjutnya, pertanyaan yang diajukan
adalah:
− Bagaimana nalar hukum Islam versi CLD-KHI sehingga menghasilkan penawaran
pembaruan hukum keluarga Islam yang berbeda dengan rumusan sebelumnya?
− Bagaimana respon tokoh-tokoh Islam terhadap rumusan CLD-KHI?
− Di mana titik utama masalah CLD-KHI sehingga menjadi kontroversi publik sampai
akhirnya dibekukan oleh Menteri Agama?

Sejalan dengan pokok masalah, tulisan ini akan mendeskripsikan nalar pembaruan hukum
keluarga Islam yang ditawarkan CLD-KHI dan respon tokoh-tokoh Muslim Indonesia terhadap
tawaran pembaruan tersebut: siapa yang mendukung, siapa yang menolak, dan apa alasan masing-
masing. Sebelum mengungkapkan dua hal tersebut, akan dipaparkan terlebih dahulu latar
belakang mengapa CLD-KHI lahir, apa cita-cita hukumnya, dan apa pokok-pokok pemikiran
pembaruan hukum Islam yang ditawarkan beserta nalar pembentukannya.
Penjelasan ini dikemukakan untuk menunjukkan bahwa perbedaan pandang perumusan
hukum Islam pada dasarnya tidak semata-mata karena faktor penalaran teologis, tetapi terdapat
sejumlah faktor sosial politik. Faktor-faktor non-teologis merupakan konsekuensi logis dari
bangunan hukum Islam yang hidup di tengah-tengah kenyataan negara-bangsa yang berdasarkan
Pancasila dan dijustifikasi oleh keputusan politik negara. Dengan demikian, keberhasilan atau
kegagalan legislasi hukum Islam bukan karena benar atau salah secara teologis, melainkan
konsekuensi logis dari konfigurasi kekuatan politik yang mendukung atau menolak, baik di
lembaga legislatif, pemerintahan, maupun di arena publik, atas usulan rumusan hukum Islam
tersebut.

B. Pembentukan CLD-KHI dan Cita-cita Hukumnya

CLD-KHI merupakan naskah tandingan atas rumusan hukum Islam yang tercantum
dalam KHI-Inpres. KHI-Inpres adalah materi hukum Islam yang memuat ketentuan hukum
perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum perwakafan. Meski bersifat fakultatif (tidak imperatif),
tetapi kenyataan di lapangan KHI-Inpres hampir 100% digunakan para hakim Pengadilan Agama
dalam memutuskan perkara, juga dijadikan rujukan para pejabat Kantor Urusan Agama dan
sebagian anggota masyarakat.3 Selain dari aspek bahasa mudah dipahami, karena berbahasa
Indonesia, KHI-Inpres juga memberikan kepastian hukum karena tidak menawarkan pilihan
hukum sebagaimana tradisi fiqh. Berdasarkan pada alasan inilah, Pokja PUG Depag tampaknya
memilih naskah KHI-Inpres, bukan langsung RUU HTPA, sebagai bahan dasar kajian dalam
perumusan CLD-KHI.

3
Hasil penelitian tentang “Aplikasi KHI pada Pengadilan Agama/Pengadilan Tinggi Agama”
oleh Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Depag RI tahun 2001 menyebutkan bahwa dari
1008 putusan Pengadilan Agama (PA)/Pengadilan Tinggi Agama (PTA) di wilayah PTA Jakarta,
Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Bandar Lampung secara implisit hampir 100%
putusan menggunakan KHI-Inpres sebagai rujukan, dan 71% secara eksplisit menyebutkan KHI-
Inpres. Wahyu Widiana, “Aktualisasi KHI di PA dan Upaya Menjadikannya Sebagai UU,” Makalah
disampaikan pada Diskusi “Memantapkan Posisi KHI dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia yang
Demokratis,” pada 27 Juli 2003.

51
CLD-KHI disusun oleh Tim Kerja Pembaruan Hukum Keluarga Islam dengan
latarbelakang pendidikan Islamic studies, mulai dari Pesantren hingga ke jenjang pendidikan tinggi
IAIN/UIN. Seluruhnya bekerja sebagai dosen atau peneliti. Aktivitas keorganisasiannya berbeda-
beda. Sebagian dari mereka aktif di LSM, sebagian yang lain aktif di organisasi Islam, seperti NU,
Muhammadiyah, atau MUI. Hanya dua orang saja berasal dari staf atau birokrat Depag.
Demikian juga kontributor gagasan dan pemikiran CLD-KHI, mereka berasal dari komunitas
Islamic studies, baik di Pesantren, UIN/IAIN/STAIN, maupun LSM keislaman.
Selain tim kerja, dalam penyusunan CLD-KHI melibatkan sejumlah ulama, pakar, dan
aktivis LSM keislaman sebagai kontributor penting atas gagasan dan pemikiran pembaruan
hukum keluarga Islam. Penentuan tim penyusun dan tim kontributor CLD-KHI dilakukan Pokja
PUG berdasarkan latar belakang pendidikan hukum Islam, keterlibatannya dengan isu
perempuan, dan keakrabannya dengan perspektif gender dalam membaca khazanah fiqh. Meski
ini menjadi pertimbangan utama, tetapi keragaman organisasi dan jaringan LSM yang telah dijalin
sebelumnya juga menjadi pertimbangan untuk dilibatkan dalam tim penyusun atau tim
kontributor.
Akivitas utama dalam rangkaian perumusan CLD-KHI adalah review KHI-Inpres, studi
literartur klasik Islam, studi lapangan di lima daerah (Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Jawa
Barat, Aceh, dan Nusa Tenggara Barat), pengujian ilmiah, penyerapan pendapat ulama dan ahli
hukum, diseminasi hasil dan pengujian publik. Kegiatan tersebut dapat digambarkan melalui alur
diagram sebagai berikut:

Bagan 1: Alur Kegiatan Perumusan CLD-KHI

Review KHI-Inpres dan Pengujian ilmiah &


studi literatur pendapat ulama dan
ahli hukum

PERUMUSAN
CLD-KHI

Studi lapangan (Sulsel,


Sumbar, Jabar, Aceh,
dan NTB)

Diseminasi hasil &


pengujian publik

Selama hampir dua tahun bekerja, 2003-2004, tim berhasil menyusun naskah CLD-KHI.
Dalam buku setebal 125 halaman,4 CLD-KHI tidak saja memuat pasal-pasal yang menjadi
tawaran pokok pemikirannya, melainkan juga menyertakan latar belakang, agenda dan cita-cita,
serta mekanisme dan metode penyusunan hukum Islam. Semua pokok pikiran tersebut
termaktub dalam bab pendahuluan. Sedangkan naskah akademiknya ditulis dalam bab dua
dengan judul “Menuju Kompilasi Hukum Islam (KHI) Indonesia yang Pluralis dan Demokratis.”
Bagian akhir naskah akademik menjelaskan KHI-Inpres dan problem metodologis dengan
menunjukkan sejumlah kaidah ushul fikih alternatif yang dijadikan landasan dalam menyusun
naskah CLD-KHI.
4
Buku yang disusun oleh Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI, berjudul
Pembaruan Hukum Islam: Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, diterbitkan di Jakarta, pada
tahun 2004, tebal 119 + vi halaman.

52
Pada bagian terakhir dari buku Pembaruan Hukum Islam: Counter Legal Draft Kompilasi
Hukum Islam, dimuat materi CLD-KHI berupa RUU. Sebagaimana KHI-Inpres, naskah CLD-
KHI juga terdiri dari tiga RUU, yakni [1] RUU Hukum Perkawinan Islam (19 bab dan 116 pasal),
[2] RUU Hukum Kewarisan Islam (8 bab dan 42 pasal), dan [3] RUU Hukum Perwakafan Islam
(5 bab dan 20 pasal). Masing-masing dilengkapi dengan penjelasan umum dan penjelasan pasal
demi pasal.
Secara keseluruhan, naskah ini dimaksudkan sebagai ”seperangkat rumusan hukum Islam
yang dapat menjadi referensi dasar bagi terciptanya masyarakat berkeadilan, yang menjunjung
nilai-nilai kemanusiaan, menghargai hak-hak kaum perempuan, meratanya nuansa kerahmatan
dan kebijaksanaan, serta terwujudnya kemaslahatan bagi seluruh umat manusia.”5 Dalam
rumusan [baru] hukum Islam tersebut,
”… semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama dan memperoleh perlakuan
yang adil, kaum minoritas dan perempuan dilindungi dan dijamin hak-haknya secara
setara. Rumusan-rumusannya didasarkan pada maqashid al-syari’at [tujuan-tujuan dasar
Syari’at Islam], yakni menegakkan nilai dan prinsip keadilan sosial, kemaslahatan umat
manusia, kerahmatan semesta, dan kearifan lokal.”6

B. Respon Terhadap Formalisasi Syari’at Islam

Setelah jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, gerakan Islamis kembali memainkan
peranan politik identitas. Mereka tidak saja secara leluasa mendirikan partai politik dan organisasi
massa berasaskan Islam, tetapi juga secara terang-terangan menyuarakan aspirasi lamanya
memasukkan kembali tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam UUD 1945. Desakan kalimat “dengan
kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” untuk menggantikan Pasal 29
UUD 1945 disampaikan pada Sidang Umum MPR 1999, Sidang Tahunan MPR 2000, dan Sidang
Tahunan MPR 2001, dan Sidang Tahunan MPR 2002 dalam paket Amandemen UUD 1945.7
Ide formalisasi syari’t Islam tersebut dibawa oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), Partai Bulan Bintang (PBB) dan didukung Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII),
Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin, Front Pembela Islam, dan Kongres Umat Islam.8 Aspirasi
mereka menjadi bahan perbincangan nasional, baik dalam gedung DPR/MPR maupun dalam
sidang publik. Meskipun gagal pada Sidang Tahunan MPR 2000,9 tetapi perjuangan mereka yang
terus menerus dengan berbagai strategi, aspirasi mendirikan negara Islam10 dan penegakan syari’at

5
Ibid., hlm. 8.
6
Ibid., hlm. 4.
7
Bandingkan Tim Lindsey, “Indonesian Constitutional Reform: Muddling Towards
Democracy,” Singapore Journal of International & Comparative Law (2002) 6, hlm. 246, 250, 269-
271. Nadirsyah Hosen, Shari’a & Constitutional Reform in Indonesia, (Singapore: Iseas, 2007), hlm.
188-215. Penjelasan mendalam tentang gagasan dan proses amandemen UUD 1945 dalam Sidang
Umum MPR 1999 dapat dibaca dalam Slamet Effendy Yusuf dan Umar Basalim, Reformasi
Konstitusi Indonesia, Perubahan Pertama UUD 1945, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2000).
8
Baca Umar Basalim, Pro-Kontra Piagam Jakarta di Era Reformasi, (Jakarta: Pustaka
Indonesia Satu, 2002).
9
.Umar Basalim, Pro-Kontra Piagam Jakarta di Era Reformasi, (Jakarta: Pustaka Indonesia
Satu, 2002), hlm. 259-260.
10
M. Amien Rais, “Islam dan Negara di Indonesia: Mencari Akhir Pencarian,” Kata Pengantar
buku Umar Basalim, Pro-Kontra Piagam Jakarta di Era Reformasi, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu,
2002), hlm. xv. Baca juga “FUI Minta Islam Jadi Agama Resmi di UUD 1945” dalam
http://www.mpr.go.id/pimpinan1/?p=337, diakses 20 September 2008.

53
Islam tampaknya tetap menjadi agenda yang terus diperjuangkan dengan memanfaatkan segala
jenis peluang, termasuk demokrasi.11
Sejak 1999 hingga 2008, aspirasi Syari’at Islam juga dimasukkan ke dalam materi UU. Hal
tersebut tercermin dalam UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syari’ah Negara dan
UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, serta beberapa RUU, seperti RUU KUHP (Kitab
Undang-undang Hukum Pidana), yang masih dalam pembahasan DPR bersama Pemerintah.12
Selain pada tingkat nasional, gerakan formalisasi Syari’at Islam juga didesakkan pada tingkat
daerah dengan cara mempengaruhi agenda Peraturan Daerah (Perda). Antara tahun 1999-2006,
terdapat sekitar 78 Perda bernuansa Syari’at Islam di 52 kabupaten/kota--dari total 450
kabupaten/kota di Indonesia—telah ditetapkan DPRD setempat. Puncak legislasi Perda terjadi
antara 2002-2003, pada saat CLD-KHI diluncurkan. Dalam periode 2003-2006, legislasi Perda
semakin menurun, bahkan pada tahun 2007 tidak ada penetapan Perda bernuansa Syari’at
Islam.13
Mencermati fenomena sosial politik ”menguatnya Islamisme” paska Orde Baru ini, tim
CLD-KHI berpandangan bahwa tuntutan formalisasi Syari’at Islam selain tidak sejalan dengan
sistem hukum nasional, juga akan membuat diskriminasi terhadap warga negara non-muslim.
Agenda formalisasi Syari’at Islam apabila berhasil disetujui, menurut tim CLD-KHI, bisa
menggoyahkan pilar pluralisme dan demokrasi dalam kehidupan bangsa yang berdasarkan
Pancasila. Ketakutan ini dijadikan dasar oleh Tim CLD-KHI untuk menyusun naskah Syari’at
Islam yang pluralis, demokratis, humanis, dan adil gender.14 Naskah ini meski berasal dari sumber
dan inspirasi ajaran Islam, tetapi tetap diposisikan sebagai bagian dari hukum positif dalam
kerangka hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dengan segala peraturan
perundang-undangannya.
Mengapa KHI-Inpres dipilih sebagai sasaran kritik dan counter? Ada dua alasan utama,
Pertama, KHI-Inpres adalah satu-satunya ketentuan detil Syari’at Islam yang telah diakui negara
dan sering dijadikan rujukan para hakim Pengadilan Agama, pejabat KUA, dan sebagian
masyarakat. Kedua, KHI-Inpres telah diajukan Depag RI untuk ditingkatkan statusnya dari Inpres
menjadi RUU HTPA. Bahkan, buku ketiga dari KHI-Inpres, yakni hukum perwakafan, sejak
tahun 2004 telah ditetapkan menjadi UU Wakaf (UU Nomor 41 Tahun 2004). 15
Alasan lain meng-counter KHI-Inpres, karena rumusan hukum Islam yang dimuat KHI-
Inpres sudah saatnya diubah dengan alasan Pertama, KHI-Inpres memiliki kelemahan pokok
pada rumusan visi dan misinya. Beberapa pasal KHI-Inpres secara prinsipil bertentangan dengan
prinsip dasar Islam yang universal, seperti persamaan (al-musâwah), persaudaraan (al-ukhuwwah),
dan keadilan (al-`adâlah). Kedua, sejumlah pasal KHI-Inpres sudah tidak lagi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan konvensi internasional yang telah diratifikasi.
Ketiga, dari sudut metodologi, KHI-Inpres masih terkesan replika hukum fikih ulama zaman
dahulu. Konstruksi hukum KHI-Inpres belum dikerangkakan sepenuhnya dalam sudut pandang

11
Dengan mengutip pendapat Pierce, seorang pakar hukum, Shalahuddin Wahid menjelaskan
bahwa relasi agama dan negara dalam kaitan dengan pelaksanaan Syari’at Islam oleh negara dapat
dibedakan dalam lima tingkatan penerapan. Baca KOMPAS, 7 April 2002.
12
Di antaranya adalah RUU Hukum Terapan Peradilan Agama, RUU Perubahan atas UU
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan RUU KUH Perdata.
13
Robin Bush, “Regional Sharia Regulations in Indonesia: Anomaly or Symptom?” dalam
Greg Fealy dan Sally White (eds.), Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia
(Singapore: Iseas, 2008), hlm. 176.
14
Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI, Pembaruan Hukum Islam: Counter
Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, 2004, hlm. 3.
15
Ibid., hlm. 2.

54
masyarakat Islam Indonesia, masih mencerminkan penyesuaian-penyesuaian fikih Timur Tengah
dan dunia Arab lainnya.16

C. Nalar CLD-KHI: Mewujudkan Hukum Islam Demokratis, Pluralis, Dan Adil


Gender

Memahami konteks sosial politik paska kejatuhan Orde Baru, tim CLD-KHI tampak
tertantang untuk menghadirkan bangunan Syari’at Islam yang menghargai Indonesia dengan
segala karakter kebangsaan, kebudayaan, dan kemajuannya dalam berdemokrasi dan menegakkan
hak asasi manusia, termasuk hak-hak perempuan. Tantangan ini ditujukan sebagai jawaban nyata
atas agenda formalisasi Syari’at Islam kelompok Islamis yang dinilai masih eksklusif, berorientasi
pada pencantuman kembali Piagam Jakarta dan pendirian negara Islam, mengabaikan pluralitas
budaya dan mengesampingkan hak-hak perempuan.
Berbasiskan naskah KHI-Inpres, tim CLD-KHI mengubah kerangka berfikir
pembentukan hukum Islam ”dari teosentrisme ke antroposentrisme, dari elitis ke populis, dari
deduktif ke induktif, dan dari eisegese ke exegese.”17 Perubahan dilakukan karena
mempertimbangkan realitas kebudayaan masyarakat Indonesia yang berbeda dengan Arab dan
Timur Tengah, juga memperhatikan kondisi banyak perempuan Indonesia yang dewasa ini
mampu membiayai diri dan keluarga dari pekerjaan-produktifnya dan banyak perempuan yang
menjadi pemimpin publik, mulai dari Kepala Desa, Kepala Kepolisian hingga Presiden.
Atas kerangka berfikir ini, tim CLD-KHI menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits
dengan pendekatan kemaslahatan, kearifan lokal, maqashid al-syari’ah, dan akal publik. Ini
tercermin dari kaidah ushul fikih yang digunakan dalam merumuskan ketentuan hukum Islam.
Meskipun demikian, tim CLD-KHI tetap menggali hukum Islam dari khazanah intelektualisme
klasik Islam (kitab kuning) dari berbagai madzhab fikih.
Dengan demikian, semua ketentuan hukum Islam dalam CLD-KHI digali dan
dirumuskan dari sumber-sumber Islam yang otoritatif, al-Qur’an dan al-Sunnah, serta khazanah
intelektual klasik Islam (kitab kuning) melalui pengkajian terhadap kebutuhan, pengalaman, dan
tradisi yang hidup dalam masyarakat Indonesia, dan pengalaman peradaban masyarakat Muslim
dan Barat di negara lain. Alur penafsiran ini dapat dijelaskan sebagaimana bagan berikut :

16
Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI, Pembaruan Hukum Islam: Counter
Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, 2004, hlm. 7-8.
17
Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI, Pembaruan Hukum Islam: Counter
Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, 2004, hlm. 22-23.

55
Bagan 2: Alur Penafsiran Ajaran Islam versi CLD-KHI

Pendekatan
Pembacaan
Perkembangan
nasional dan global
Kemaslahatan

Maqashid al-Quran
al-syari’ah & Fiqh CLD-KHI
Akal publik al-Hadist

Kearifan lokal Konteks keindonesiaan

Perbedaan prinsipil antara nalar CLD-KHI dengan KHI-Inpres terletak pada perspektif
dan pendekatan yang digunakan serta lanskap yuridis pembentukan hukum yang dijadikan
pijakan. Tim CLD-KHI secara terang-terangan menyebutkan bahwa perspektif yang digunakan
dalam merumuskan hukum keluarga Islam adalah keadilan gender, pluralisme, hak asasi manusia,
dan demokrasi.18 Menurutnya, “Pendekatan ini selain akan mengantarkan Syari’at Islam menjadi
hukum publik yang dapat diterima oleh semua kalangan, juga akan kompatibel dengan kehidupan
demokrasi modern.”19
Hasil penalaran tersebut kemudian “dibumikan” ke dalam lanskap keindonesiaan,
terutama konteks peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini terkait dengan prinsip
legislasi bahwa ketentuan hukum yang datang kemudian tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan hukum sebelumnya. Sebelum CLD-KHI dibuat, MPR telah mengamandemen UUD
1945 sebanyak empat kali.20 Substansi terpenting dari amandemen adalah menempatkan
demokrasi, kesetaraan, dan hak asasi manusia dalam posisi yang sangat strategis. Sejumlah UU
penting juga telah ditetapkan, seperti UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW
(Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women, Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan), UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, UU Nomor 23 Tentang 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 23 Tentang
2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Nomor 12 Tahun 2005
tentang Pengesahan ICCR (International Covenant on Civil and Political Rights, Perjanjian
Internasional mengenai Hak Sipil dan Politik), UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan
ICESCR (International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights, Perjanjian Internasional
mengenai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya). Dalam kerangka perundang-undangan inilah,
rancangan hukum Islam versi CLD-KHI diredaksikan dalam bentuk pasal dan ayat.
Penalaran ini dapat dijelaskan dalam bagan sebagai berikut :

18
Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI, Pembaruan Hukum Islam: Counter
Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, 2004, hlm. 3.
19
Ibid., hlm. 3-4.
20
Tim Lindsey, “Indonesian Constitutional Reform: Muddling Towards Democracy,”
Singapore Journal of International & Comparative Law (2002) 6.

56
Bagan 3: Nalar Pembentukan Hukum CLD-KHI

Masa Orde Baru (1985-1991) Masa Reformasi (2003-2004)

Sumber Utama Perspektif :


Al-Qur’an • Demokrasi
Al-Hadist • Pluralisme
• HAM
• Keadilan gender
Sumber Sekunder
Kitab Kuning intervensi
(Pendapat Ulama)

KHI-Inpres CLD-KHI
intervensi

Pijakan
Konteks Arab & Konteks • Pancasila Realitas Sosial
Timur Tengah Keindonesiaan • UUD 1945 Keindonesiaan
• UU

Nalar pembentukan hukum ini bekerja di bawah payung visi hukum Islam yang dicita-
citakan CLD-KHI. Tim CLD-KHI menyatakan ada enam visi hukum Islam yang dicita-citakan,
yakni ”pluralisme (ta’addudiyyah), nasionalitas (muwâthanah), penegakan HAM (iqâmat al-huqûq al-
insâniyyah), demokratis (dîmûqrathiyyah), kemaslahatan (mashlahat), dan kesetaraan gender (al-
musâwah al-jinsiyyah).”21 Keenam prinsip dasar ini merupakan kerangka yang menjiwai seluruh
ketentuan hukum Islam versi CLD-KHI.
Sesuai dengan perspektif yang dipakai, visi yang dicita-citakan dan pendekatan yang
digunakan, CLD-KHI tidak saja menawarkan pokok-pokok ketentuan hukum Islam yang
berbeda dengan KHI-Inpres, tetapi juga mengubah paradigma perkawinan, relasi laki-laki dan
perempuan, serta tata cara perkawinan, perceraian, talak, dan rujuk ke arah relasi yang adil dan
demokratis, baik antara suami dan istri, maupun antara orang tua dan anak. Selain itu, dalam
konteks politik hukum, CLD-KHI memposisikan hukum Islam ke dalam kerangka hukum
nasional dan perubahan relasi gender pada masyarakat Indonesia paska Orde Baru. Perubahan
relasi gender, baik dalam skala nasional maupun global, membutuhkan adanya rumusan hukum
Islam yang sesuai dengan perubahan tersebut.

D. Kontroversi CLD-KHI: Respon Publik

Ketika ada tawaran pemikiran Islam yang berbeda dengan pemahaman umum masyarakat
yang sudah mapan selalu menuai kontroversi: ada yang mendukung, ada yang menolak, dan ada
juga yang mendukung dengan revisi. Contohnya adalah pemikiran ”Islam Rasional” Harun
Nasution tahun 1970-an,22 pemikiran ”sekularisasi Islam” Cak Nur tahun 1970-an, pemikiran
”pribumisasi Islam” Gus Dur tahun 1980-an,23 pemikiran ”kontekstualisasi Islam” Munawir

21
Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI, Pembaruan Hukum Islam: Counter
Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, 2004, hlm. 25-29.
22
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI Press,
1987); Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1995).
23
Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh (eds.), Islam Indonesia Menatap Masa Depan,
(Jakarta: P3M, 1989).

57
Sjadzali tahun 1990-an,24 pemikiran penyatuan ”zakat dan pajak” Masdar F. Mas’udi tahun 1990-
an,25 dan pemikiran ”liberalisasi Islam” Ulil Abshar-Abdalla tahun 2000-an.26 Demikian pula
dengan tawaran pembaruan hukum keluarga Islam dari CLD-KHI pada tahun 2004.
Sejak diskusi peluncuran naskah CLD-KHI pada 4 Oktober 2004 di Jakarta, kontroversi
mulai terjadi. HM Taher Azhari (UI Jakarta) dan Hasanuddin AF (MUI Pusat) yang berposisi
sebagai narasumber saat itu menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap CLD-KHI. Mereka
menilai bahwa CLD-KHI tidak merujuk kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. “CLD-KHI hanya
didasarkan pada emosi,” kata Hasanuddin.27 Sementara Azhari tidak sepakat dengan CLD-KHI
karena, menurutnya, tim CLD-KHI ”lebih banyak mendahulukan akal dan mengabaikan wahyu.
CLD-KHI lebih sekuler ketimbang BW (Burgerlijk Wetboek, KUHPerdata zaman Belanda) karena
mengukur keabsahan perkawinan hanya dari sudut perdata dan menghilangkan unsur ibadah.”28
Meski begitu, Azhari tidak menolak semua tawaran CLD-KHI. Menurutnya, ada empat hal yang
dapat dipertimbangkan untuk diterima. Pertama, hak rujuk buat istri, bukan hanya otoritas suami.
Kedua, masa berkabung paska kematian (ihdâd) juga dikenakan bagi suami, tidak hanya kewajiban
istri. Ketiga, nusyûz juga dikenakan kepada suami, bukan hanya pembangkangan istri. Keempat, hak
waris bagi anak di luar perkawinan dari ayah biologisnya.
Sebaliknya, KH Husein Muhammad (Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon)
dan Rita Serena Kolibonso (LSM Mitra Perempuan)--narasumber lain dalam acara peluncuran
tersebut--sangat mendukung dan membela semua tawaran CLD-KHI. Perubahan semacam ini,
kata Kiai Husein, telah lama ditunggu kalangan pembaru, terutama dari kalangan feminis. Kiai
Husein memandang bahwa tawaran CLD-KHI memang tidak populer dalam khazanah fikih dan
hanya diikuti oleh kalangan minoritas muslim, tetapi—menurutnya--banyak kebenaran yang lahir
dari pandangan yang tidak populer dan hanya diikuti sebagian kecil umat Islam.29
Sejak inilah, wacana CLD-KHI mulai diperbincangkan publik di media massa cetak,
media massa elektronik, dan dalam forum-forum diskusi, seminar, atau sekadar ngobrol di kantor
dan pinggir jalan. Ada dua dimensi sasaran kontroversi pada naskah CLD-KHI: hasil pemikiran,
berupa ketentuan hukum, dan pendekatan yang digunakan dalam merumuskan CLD-KHI.
Berdasarkan pemberitaan di sejumlah media massa, wawancara, dan pengamatan langsung di
lapangan, dapat dikategorikan dua kelompok: penolak dan pendukung. Kategori ini dilakukan
berdasarkan komentar, tulisan, dan pandangan mereka terhadap CLD-KHI. Meski tidak selalu
mewakili organisasinya, paper ini akan mencantumkan organisasi di mana mereka berkiprah.
1. Kelompok Penolak

Beberapa hari setelah diluncurkan, Majlis Ulama Indonesia (MUI) Pusat membahas
naskah CLD-KHI secara serius. Mereka menilai CLD-KHI sesat, bid’ah (diversion), taghyîr

24
Iqbal Abdur Rauf Saimia (ed.), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: Pustaka
Panjimas 1988); Kontekstualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI),
1995); Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta: Paramadina, 1997).
25
Masdar F. Mas’udi, Agama Keadilan, Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1991).
26
Ulil Abshar-Abdalla, Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam: Bunga Rampai Surat-
surat Tersiar, (Jakarta: Nalar, 2007). Menjadi Muslim Liberal, (Jakarta: Kerjasama Jaringan Islam
Liberal, Freedom Institute [dan] Nalar, 2005).
27
“Govt Initiates ‘Revolution’ in Islamic Law,” The Jakarta Post.com, 5 Oktober 2004, dalam
http://thejakartapost.com/misc/PrinterFriendly.asp
28
Majalah Gatra, edisi 16 Oktober 2004, hlm. 85.
29
Majalah Amanah Nomor 58 Tahun XVIII Januari 2005/Dzulqa'dah- Dzulhijjah 1425 H dan
diadopsi oleh Swara Muslim, http://www.swaramuslim.net/more.php?id=387_0_1_10_m, 17
Pebruari 2005.

58
(mengubah keaslian hukum Islam), dan memanipulasi nash-nash al-Qur’an.30 Sebagian anggota
MUI Pusat bahkan mengusulkan agar lembaga MUI memanggil dan mengadili anggota MUI
yang terlibat dalam penyusunan CLD-KHI. Komisi Fatwa MUI memutuskan untuk membawa
kasus ini kepada Dewan Pimpinan MUI.31 Tetapi hingga tulisan ini dibuat belum ada informasi
keputusan dari Dewan Pimpinan MUI berkaitan CLD-KHI, barangkali tergeser isu penyesatan
Jemaat Islam Ahmadiyah yang booming setelah kontroversi CLD-KHI.
“Ini hukum Iblis, jika diikuti kita bisa menjadi murtad,” kata Ali Mustafa Ya’qub, Wakil
Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat.32 Umar Shihab, salah seorang Ketua MUI Pusat, berpendapat
bahwa CLD-KHI selain bertentangan dengan Syari’at Islam juga bertentangan dengan KHI-
Inpres yang sudah menjadi kesepakatan seluruh umat Islam. Tim CLD-KHI bukan hanya
menafsirkan, tetapi menyalahartikan al-Qur’an. “Hanya akal-akalan saja,” katanya.33
Dien Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah, cenderung tidak sepakat dengan
CLD-KHI. “CLD-KHI mengandung absurditas,” katanya. Alasannya, karena CLD-KHI tidak
didiskusikan terlebih dahulu dengan pemimpin agama. CLD-KHI hanya diusulkan oleh
kelompok kecil umat, tidak mencerminkan suara mayoritas masyarakat.34 “Jika CLD-KHI
diteruskan, padahal tidak diterima umat Islam, maka itu berarti pemaksaan, bertentangan dengan
pluralisme dan sebagai tirani minoritas,” komentarnya.35
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), melalui Juru Bicara Fauzan al-Anshari, memberikan
protes kepada Menteri Agama tentang CLD-KHI. Menurutnya, sebagian besar pasal dalam
CLD-KHI bertentangan dengan ajaran Islam dan dapat menimbulkan fitnah yang sangat serius.36
Hal senada dikatakan oleh Huzaemah Tahido Yanggo (A’wan Syuriyah PBNU).
Huzaimah menilai bahwa CLD-KHI bertentangan dengan maqâshid al-syarî’ah atau penegakkan
nilai serta prinsip keadilan sosial, kemaslahatan umat manusia, kerahmatan semesta, dan kearifan
gender. Artinya, CLD-KHI telah merusak ajaran Islam itu sendiri.37
“CLD-KHI bukan menggunakan pendekatan hukum Islam, namun menggunakan
pendekatan ideologi sekuler,” tutur Nabilah Lubis, dosen UIN Jakarta. Menurutnya, pemikiran
CLD-KHI seperti “sel kanker” yang sangat berbahaya karena tampil dalam wujud cara berfikir
atau pandangan ideologis beserta langkah politik praktis untuk menghancurkan keterikatan umat
Islam pada al-Qur’an dan al-Hadits....”38

30
“Siti Musdah Mulia “Stand Up for Her Convictions” dalam The Jakarta Post, 23 Maret
2007. Baca juga http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/03/tgl/13/tim
e/084921/idnews/753308/idkanal/10.
31
“Poligami No, Kawin Kontrak Yes,” TEMPO, 17 Oktober 2004, hlm. 117.
32
Ibid. Baca juga ”Pikiran Sesat Anti Islam Kuasai Departemen Agama, The Asia Foundation
Dibalik Draft Kompilasi Hukum ”Inkar Syari’at”, Swara Muslim, 28 Oktober 2004,
http://swaramuslim.net/printerfriendly.php?id=2454_0_1_0_C
33
“Menteri Agama Larang Diskusikan Draft Hukum Islam”, Selasa, 19 Oktober 2004.
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/10/19/brk,20041019-28,id.html
34
Baca “Muslim Figures Differ on Draft Amendment,” The Jakarta Post.com, 6 Oktober 2004
dalam http://thejakartapost.com/misc/PrinterFriendly.asp
35
“MUI: Pembaruan Hukum Islam Mengandung Absurditas,” 7 Okober 2004, dalam
http://www.humasdepag.or.id/berita_isi.php?id=54
36
“Muslim Figures Differ on Draft Amendment,” The Jakarta Post.com, 6 Oktober 2004
dalam http://thejakartapost.com/misc/PrinterFriendly.asp. Baca juga “Majelis Mujahidin: Draft KHI
Bertentangan dengan Islam,” Selasa, 5 Oktober 2004, dalam http://www.republika.co.id/ASP/online_
detail.asp?id=174746&kat_id=23. Baca juga Fauzan al-Anshori, ”Koreksi atas Kompilasi Hukum
Islam,” dalam http://majelis.mujahidin.or.id/ Kolom/Hukum/Koreksi_atas_kompilasi_hukum_Islam/
37
Pikiran Liberal dalam Hukum Perkawinan Islam Terus dapat Tentangan,” Sabtu, 14 Mei
2005. Baca http://www.nu.or.id/page.php
38
Ibid.

59
“CLD-KHI ini hukumnya wajib dilanggar,” tutur KH Mas Subadar, Pengasuh Pesantren
Rawdlatul Ulum Pasuruan Jawa Timur, yang bertekad mengganjal CLD-KHI dengan
mempengaruhi ulama-ulama yang duduk di DPR. Dalam banyak hal, Subadar tidak sepakat
dengan tawaran CLD-KHI. Salah satunya tawaran batas minimal usia kawin bagi laki-laki dan
perempuan 19 tahun. Dia membantah tawaran ini. Selalu dengan mengutip pendapat empat
imam madzhab, menurutnya, perempuan yang berusia sehari pun bisa menikah. ”Tentu orang
tuanyalah yang menikahkannya.” Meski begitu, Subadar sepakat dengan tim CLD-KHI bahwa
perkawinan bukan ibadah, tetapi hubungan kemanusiaan biasa. Menurutnya, ini sejalan dengan
pandangan empat imam madzhab dalam fikih.39
Athian Ali, Ketua Forum Ulama Ummat Islam (FUUI) di Bandung, menolak CLD-KHI
dengan alasan bahwa pemikiran CLD-KHI tidak didasarkan kepada al-Qur’an dan al-Sunnah,
tetapi kepada nilai-nilai dari Barat, yakni demokrasi, pluralisme, gender, dan hak asasi manusia.
Proyeknya juga didanai oleh agen Barat, yakni The Asia Foundation. Oleh karena itu, pemikiran
hukum Islam yang dilahirkan adalah cerminan kepentingan Barat dan pantas disebut ”Komunis”
(Kompilasi Hukum Non-Islam).40 Hizbut Tahrir menyebut CLD-KHI sebagai kompilasi hukum
inkar Syari’at.41 “Hanya berdasarkan pada gender, demokrasi, pluralisme dan HAM, tidak masuk
akal menyebut CLD sebagai hukum Islam. Kalau menyebut hukum Islam tentu harus mengacu
pada al-Qur’an dan Sunnah. CLD-KHI bukanlah kompilasi hukum Islam, melainkan kompilasi
hukum syetan,” komentarnya.42 ”Ini adalah bagian dari zionisme internasional yang memang
berkeinginan untuk menghancurkan semua agama sebagai rekomendasi Kongres 1947 di Los
Angeles,” imbuh Mohammad Thalib, Wakil Amir MMI.43
Selain sebagian besar kalangan MUI, MMI, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front
Pembela Islam (FPI), dan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) yang secara terang-terangan
menolak pemikiran CLD-KHI, juga masuk ke dalam kelompok penolak adalah sebagian
akademisi, sebagian kalangan pesantren, dan sebagian tim penyusun KHI-Inpres. Sementara NU,
Muhammadiyah, Persis, al-Washliyah, al-Irsyad, dan lain-lain secara organisatoris tidak
memberikan respon secara khusus, kecuali perorangan yang terpilah antara setuju dan tidak
setuju dengan CLD-KHI.44
Sebagian besar reaksi dan kritik kelompok penolak CLD-KHI diungkapkan dengan
kalimat yang sangat keras dan menggunakan kata-kata yang kasar, seperti ”hukum Iblis,”
”hukum komunis,” dan ”hukum syetan”.45 Hanya ada satu tanggapan terhadap CLD-KHI yang

39
“Poligami No, Kawin Kontrak Yes,” TEMPO, 17 Oktober 2004, hlm. 118 dan 123.
40
”Marriage Laws on the Rocks”, Asia Views, Edisi 40/I/September/2004, juga Majalah
TempoNo.06/V/October12-18,2004,dalam http://www.asiaviews.org/?content=25889s1dddt33
gf&colcom=2004101320390527.10.04. Baca juga “Kerancuan Metodologi Draft Kompilasi Hukum
Islam,” Hidayatullah.com, 23 Oktober 2004 dalam http://www.hidayatullah.com/modules.php?
name=News&file=print&sid=1433
41
http://swaramuslim.net/printerfriendly.php?id=2402_0_1_0_C
42
Baca ”Pikiran Sesat Anti Islam Kuasai Departemen Agama,” dalam
http://swaramuslim.net/more.php?id=2454_0_1_33_M, tanggal 27 Oktober 2004.
43
Wawancara Mohammad Thalib, Wakil Amir Majelis Mujahidin Indonesia, Swara Muslim,
28 Oktober 2004, hlm. 4, dalam http://swaramuslim.net/printerfriendly.php?id=2455_0_1_0_C
44
Bandingkan R Michael Feener dan Mark E. Cammack (Eds.), Islamic Law in Contemporary
Indonesia: Ideas and Institutions, (Amerika: Islamic Legal Studies Program, Harvard Law School,
2007), hlm. 143-144. Baca juga Zaitunah Subhan, dkk. (ed.), Membendung Liberalisme, (Jakarta:
Republika, 2004).
45
Bentuk penolakan mereka dilakukan melalui pemberitaan (wawancara) di Majalah Sabili,
Majalah Tarbiyah, Koran Republika, selebaran Jum’at al-Muslimun, News Letter Hizbut Tahrir,
website swaramuslim.com, www.hidayatullah.com, khutbah-khutbah Jum’at, pengajian-pengajian,
seminar-seminar, diskusi-diskusi di kalangan mereka dan umum, talkshow di radio, dan lain-lain.

60
sistematis dan argumentatif, yakni buku setebal 51+x halaman berjudul Kontroversi Revisi Kompilasi
Hukum Islam karya Huzaemah Tahido Yanggo.
Dalam buku itu, Huzaemah memberikan ulasan yang cukup akademis dengan
mengungkapkan sejumlah argumen, baik al-Qur’an, Hadits, maupun pendapat ulama fikih.
Huzaemah mengungkapkan sejumlah kesalahan CLD-KHI yang dinilai tidak sesuai dengan
ketentuan al-Qur’an dan Hadits serta fikih yang dianut mayoritas Muslim. Berikut catatan
Huzaemah atas CLD-KHI:

• ”Sudut pandang yang digunakan subyektif, sesuai dengan karakter dan kecenderungan
para penulisnya.
• Sudut pandang gaya bahasa dan ungkapan yang dipakainya terkesan sentimental, sinis,
menggugat, arogan, dan inkonsisten.
• Sudut pandang visi dan misi yang dibawa: pluralisme, demokrasi, dan HAM, keseteraan
gender, emansipatoris, humanis, inklusif, dan dekonstruksi syari'at Islam, dan lain-lain.
Pendekatan utama yang dilakukan oleh tim perumus CLD adalah gender, pluralisme, hak
asasi manusia, dan demokrasi, tidak melakukan pendekatan metodologi istinbâth hukum
Islam, yang disebutkan sendiri oleh tim perumus CLD tersebut, yaitu berdasarkan
maqâshid al-syarî’ah. Tetapi perumusan CLD-KHI justru bertentangan dengan maqâshid al-
syarî’ah tersebut.
• Sudut pandang masalah yang dibahas dan digugat adalah: [1] al-Qur’an dan Hadits
disesuaikan dengan rasio dan dan adat serta kondisi sosial di masyarakat, al-Qur’an dan
Hadits harus dipahami dari sudut maqâshid-nya (tujuannya) untuk kemaslahatan, tidak
hanya melihat harfiyahnya; [2] Karya para ulama klasik dituding sangat arabis dan sudah
purba, tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Oleh sebab itu harus
ditinggalkan; [3] Paradigma dan orientasi keberagamaan (dari teosentris ke
antroposentris); [4] Problem kemanusiaan dan hubungan antaragama, antara lain nikah
beda agama, nikah kontrak, waris beda agama, perwalian anak dari perkawinan beda
agama.
• Kaidah-kaidah yang digunakan: ”Yang menjadi perhatian mujtahid (dalam
mengistinbatkan hukum dari al-Qur’an dan al-Hadits) adalah pada maqashid yang
dikandung nash, bukan pada lafaz atau aksaranya.” ”Boleh menganulir ketentuan-
ketentuan nash (ajaran agama Islam) dengan menggunakan logika kemaslahatan, serta
“Mengamandemen nash-nash (sejumlah ketentuan dogmatika agama) dengan akal/rasio
berkenaan dengan perkara-perkara publik.”46

Dengan catatan ini, menurut Huzaemah, ada 16 pasal dalam CLD-KHI yang
bertentangan dengan ayat al-Qur’an dan Hadits. Di antaranya adalah [1] Asas perkawinan adalah
monogami. Perkawinan di luar monogami harus dinyatakan batal secara hukum (pasal 3 ayat 1-2).
Pasal ini bertentangan dengan al-Qur‘an Surat an-Nisa’ ayat 3 yang membolehkan poligami; [2]
Calon suami dan calon istri bisa melakukan perjanjian perkawinan dalam jangka waktu tertentu
(pasal 22 dan 28). Pasal ini bertentangan dengan hadits: “Nikah mut’ah telah diharamkan sampai
hari kiamat [HR. Muslim]; [3] Perkawinan beda agama dibolehkan (pasal 54). Pasal ini
bertentangan dengan al-Qur‘an Surat al-Baqarah ayat 221 dan al-Mumtahanah ayat 10.47

Kritik Huzaemah di atas barangkali bisa menjelaskan sebagian alasan-alasan teologis


penolakan dari kelompok yang kontra terhadap CLD-KHI. Akan tetapi sayangnya, tidak pernah

46
Huzaemah Tahido Yanggo, Kontroversi Revisi Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Adelina,
tanpa tahun), hlm. 7-9.
47
Ibid., hlm. 19-29.

61
terjadi dialog akademis yang serius antara Huzaemah dengan tim CLD-KHI, masing-masing
menyampaikan pendapatnya di dalam forum publik yang berbeda.48

2. Kelompok Pendukung

Di balik penolakan dan ketidaksetujuan, selalu terdapat kelompok pendukung dan


pembela. Dalam konteks kasus CLD-KHI, hampir semua lembaga swadaya masyarakat (LSM)
yang selama ini bekerja memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender, seperti Komnas
Perempuan, Fahmina-institute, Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ), Rahima, Puan Amal
Hayati, Jurnal Perempuan, Pusat Studi Wanita (PSW), Kalyana Mitra, Kapal Perempuan,
Solidaritas Perempuan, LBH Apik, Fatayat-NU, Rifka An-Nisa’, dan lain-lain memberikan
apresiasi dan mendukung langkah Pokja PUG Depag untuk memperjuangkan naskah CLD-KHI
menjadi UU sebagai tandingan RUU HTPA. Setidak-tidaknya, naskah tersebut dapat
mempengaruhi para pengambil kebijakan dalam menetapkan UU yang berkaitan dengan hukum
keluarga Islam.
Demikian juga sejumlah LSM yang memiliki perhatian terhadap penegakan hak asasi
manusia (HAM) dan pluralisme, seperti International Center for Islam and Pluralism (ICIP), Indonesian
Conference on Religion and Peace (ICRP), The Wahid-institute, Jaringan Islam Liberal (JIL),
Lakpesdam-NU, Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS), Desantara, Masyarakat Dialog Antar
Agama (MADIA), sebagian kalangan pesantren, sebagian akademisi, sebagian ahli hukum, dan
lain-lain, mereka juga mendukung dan memberikan apresiasi terhadap CLD-KHI sebagai
pemikiran hukum Islam yang mereka harapkan.
Dukungan kelompok ini diberikan dalam bentuk pemuatan naskah CLD-KHI dalam
media publik yang mereka miliki, memperkuat argumen CLD-KHI dalam forum diskusi dan
seminar, menyampaikan pandangan, komentar dan tulisan mereka di media massa, pernyataan
sikap menolak pembekuan CLD-KHI oleh Menag RI, dan turut serta membangun jaringan
untuk melakukan advokasi kebijakan, baik kepada Pemerintah maupun DPR.
Di antara komentar penghargaan dari kelompok pendukung adalah Ulil Abshar-Abdalla,
aktivis JIL. Menurutnya, ”It’s very radical not only for Indonesia but also for all Muslim countries, if not the
world. It would be a significant revolution in Islamic law, if the House of Representatives passes it [Naskah
CLD-KHI sangat radikal, bukan hanya untuk masyarakat Indonesia, tetapi juga untuk seluruh
masyarakat di negara-negara Islam, bahkan dunia. Jika DPR menyetujui CLD-KHI sebagai UU,
maka ini merupakan revolusi hukum Islam yang sangat signifikan].”49
Hal senada juga diungkapkan oleh aktivis perempuan dan artis Nurul Arifin, “Ini (CLD-
KHI-pen) sesuatu yang revolusioner, sebuah upaya untuk menanamkan semangat kesetaraan
gender dan pluralisme yang harus dimulai sejak sekarang,” tuturnya.50
Dengan bahasa yang berbeda, Masdar F Mas’udi, salah seorang Ketua PBNU, meski
tidak sepakat dengan pengharaman poligami oleh tim CLD-KHI, ia memberikan apresiasi atas
kesuksesan tim dalam merumuskan CLD-KHI. Menurutnya, CLD-KHI akan memperoleh
tantangan yang keras dari mayoritas Muslim, sebab persoalan perkawinan dan kewarisan adalah
bagian hukum keluarga yang paling sensitif karena menyentuh langsung urusan masyarakat. 51

48
Pada akhir Oktober 2004, pernah dirancang forum dialog akademis untuk mempertemukan
tim CLD-KHI dengan pihak-pihak yang menolak CLD-KHI oleh Fakultas Syari’ah UIN Jakarta,
namun tanpa alasan yang jelas forum tersebut gagal dilaksanakan.
49
Komentar Ulil Abshar-Abdalla pada “Govt Initiates ‘Revolution’ in Islamic Law,” The
Jakarta Post, 5 Oktober 2004, juga dalam http://thejakartapost.com/misc/PrinterFriendly.asp
50
“Poligami No, Kawin Kontrak Yes,” TEMPO, 17 Oktober 2004, hlm. 118 dan 122.
51
“Muslim Figures Differ on Draft Amendment,” The Jakarta Post.com, 6 Oktober 2004
dalam http://thejakartapost.com/misc/PrinterFriendly.asp

62
Berbeda dengan sikap Ketua Umum PP Muhammadiyah, Moeslim Abdurrahman yang juga
tokoh Muhammadiyah mengapresiasi CLD-KHI. Dalam sejarah, menurutnya, Islam memang
sangat mendorong umatnya untuk melakukan ijtihad tentang fikih agar sesuai dengan perubahan
sosial. CLD-KHI adalah bagian dari ijtihad kolektif tentang hukum Islam yang disesuaikan
dengan perubahan sosial di Indonesia dewasa ini. 52
Bentuk apresiasi lain, ketua Pokja PUG Depag, Siti Musdah Mulia, memperoleh
penghargaan (award), yakni sebagai tokoh 2004 versi Majalah Tempo,53 Kelirumologi Award dari
Lembaga Pusat Studi Kelirumologi (PSK) Indonesia pada 9 Agustus 2005 di Jakarta, dan
International Women of Courage Award dari Pemerintah Amerika Serikat pada Senin, 7 Maret 2007.54
Penghargaan ini tentu saja menjadi bagian dari apresiasi lembaga publik atas keberanian dan
keberhasilan tim dalam menyusun naskah CLD-KHI sebagai tawaran pemikiran hukum keluarga
Islam dewasa ini, karena CLD-KHI bukan karya perseorangan tetapi karya kolektif tim penyusun
dan tim kontributor.
Kelompok pendukung tidak memiliki catatan krusial terhadap sejumlah poin pembaruan
hukum keluarga Islam yang ditawarkan CLD-KHI. Mungkin ada beberapa poin yang dipandang
kurang pas, tetapi kritik mereka tidak disampaikan ke wilayah publik. Misalnya, tentang
dibolehkannya pembatasan waktu dalam perkawinan atau sering disebut ”kawin kontrak.”
Sejumlah aktivis perempuan, di antaranya Naqiyah Mukhtar, mantan Ketua Pusat Studi Gender
STAIN Purwokerto, tidak setuju dengan tawaran CLD-KHI ini. Alasannya, alih-alih memperkuat
posisi perempuan, pembolehan ”kawin kontrak” justru kian memperlemah posisi perempuan
dalam perkawinan. Karena, perempuanlah pihak yang akan menerima akibat setelah perkawinan
itu berakhir.55
Pro dan kontra CLD-KHI terus menghiasi koran dan majalah hingga akhirnya dibekukan
oleh Menteri Agama RI, Muhammad Maftuh Basyuni, pada Pebruari 2005. Setelah dibekukan,
kontroversi CLD-KHI di wilayah publik kian surut—untuk tidak mengatakan berakhir. Akan
tetapi sebagai wacana akademik, pemikiran CLD-KHI terus dibahas dan didiskusikan.56 Akibat
dari pembekuan ini, naskah CLD-KHI urung diserahkan ke DPR sebagai naskah tandingan atas
RUU HTPA.

52
Ibid.
53
Tempo, edisi 27 Desember 2004, dalam http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2004/
12/27/LK/mbm.20041227.LK95355.id.html
54
http://www.america.gov/st/washfile-english/2007/March/20070308143741ajesrom0.
7947809.html. Baca juga “Siti Musdah Mulia Stand Up for Her Convictions,” The Jakarta Post, 23
Maret 2007; Baca juga Majalah Tempo, edisi 19 Maret 2007, dalam
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2007/03/19/ALB/mbm.20070319.ALB123404.id.html
55
Wawancara dengan Naqiyah Mukhtar, mantan Ketua Pusat Studi Gender (PSG) STAIN
Purwokerto, pada 5 Juni 2008 di Jakarta.
56
Di antaranya adalah buku yang ditulis Ridwan, Membongkar Fiqh Negara: Wacana
Keadilan Gender dalam Hukum Keluarga Islam, (Purwokerto: PSG STAIN Purwokerto, 2004);
Huzaimah Tahido Yanggo, Kontroversi Revisi Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Adelina, 2005);
Mahbubah, Analisis atas Ketentuan Hukum Perkawinan Beda Agama dalam KHI dan CLD-KHI,
Skripsi IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2005; Greg Fealy and Virginia Hooker (eds.), Voices of Islam
in Southeast Asia: A Contemporary Sourcebook, (Singapore: Iseas, 2006); Awwali ‘Ainin Ni’ma,
Kontroversi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia: Studi Analisis tentang CLD-KHI Perspektif Tim
Penggagas, Skripsi STAIN Ponorogo, 2007; R Michael Feener dan Mark E. Cammack (Eds.), Islamic
Law in Contemporary Indonesia: Ideas and Institutions, (Amerika: Islamic Legal Studies Program,
Harvard Law School, 2007); M.B. Hooker, Indonesian Syari’ah: Defining a National School of
Islamic Law, (Singapore: Iseas, 2008); Tobibatussa’adah, Kontroversi Otoritas Pembaharuan Hukum
Islam: Studi tentang Respon Masyarakat Muslim Indonesia terhadap Counter Legal Draff (CLD)
Kompilasi Hukum Islam (KHI), STAIN Metro Lampung, 2008; Greg Fealy dan Sally White (eds.),
Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia (Singapore: Iseas, 2008).

63
E. Kesimpulan

Dengan sejumlah kontroversi yang terjadi di tengah-tengah arus deras formalisasi Syari’at
Islam paska Orde Baru, tim CLD-KHI telah memberikan pilihan rumusan hukum keluarga
Islam, baik menyangkut hukum perkawinan Islam, hukum kewarisan Islam, maupun hukum
perwakafan Islam. Pilihan lain yang sudah ada sebelumnya adalah RUU HTPA dan KHI-Inpres.
Naskah CLD-KHI menawarkan 23 ketentuan agenda pembaruan hukum keluarga Islam
yang secara prinsip berbeda dengan ketentuan hukum keluarga sebelumnya. Dalam pengakuan
tim CLD-KHI, rumusan ini didasarkan kepada penafsiran atas al-Qur’an, al-Hadits, dan
pendapat ulama fikih dengan pendekatan kemaslahatan, maqa>s\id al-shari>‘ah, akal publik, dan
kearifan lokal. Semua proses penalaran menggunakan perspektif demokrasi, pluralisme, hak asasi
manusia, dan keadilan gender pada lanskap realitas keindonesiaan dengan seluruh tata peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Sebagaimana terjadi dalam pembahasan UU Perkawinan pada 1973, tawaran pembaruan
CLD-KHI juga disikapi pro dan kontra oleh tokoh-tokoh muslim di Indonesia. Sebagian
kelompok menolak tawaran CLD-KHI. Pada umumnya, kelompok ini adalah tokoh organisasi
keislaman yang dikenal gigih memperjuangkan formalisasi Syari’at Islam dalam tubuh negara,
seperti MMI, FPI, HTI, MUI, DDII, FUI, dan FUUI. Sebagian kelompok lain menerima dan
mendukung CLD-KHI. Kelompok ini pada umumnya adalah aktivis LSM, terutama yang gigih
memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender, hak asasi manusia, demokrasi, dan pluralisme,
seperti ICRP, ICIP, WI, Rahima, Fahmina, Puan Amal Hayati, LKAJ, dan LBH APIK.
Sementara tokoh-tokoh organisasi keislaman besar, seperti NU, Muhammadiyah, al-Washliyah,
Persis, al-Irsyad, dan Perti terbelah menjadi dua: sebagian mendukung dan sebagian lain menolak.
Sementara kalangan akademisi, seperti Taher Azhari, Hasanuddin AF, dan Huzaemah T Yanggo,
meskipun cenderung menolak, tetapi masih memberikan apresiasi dan menyutujui sebagian
tawaran pemikiran CLD-KHI.
Sebagaimana penjelasan di atas bahwa kehadiran CLD-KHI merespon isu formalisasi
Syari’at Islam dan bermaksud memberikan alternatif Syari’at Islam yang—menurutnya--adil
gender, demokratis, dan pluralis, tetapi mengapa justru yang menolak CLD-KHI adalah
kelompok yang gigih memperjuangkan formalisasi Syari’at Islam? Penolakan terjadi akibat tim
CLD-KHI menggunakan perspektif yang kurang lazim digunakan dalam merumuskan hukum
Islam, yakni demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia, dan keadilan gender. Perspektif ini dinilai
sebagai intervensi pemikiran Barat (non-Islam). Akibatnya, pemikiran yang dihasilkan pun
dipandang tidak murni hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits. Selain itu,
sebagian tawaran pemikiran CLD-KHI tampak ”mengejutkan” karena secara prinsip berbeda
dengan keumuman pemahaman ajaran Islam yang dianut masyarakat; menyalahi keumuman
praktik ajaran Islam, khususnya bidang perkawinan, yang berlaku di kalangan masyarakat muslim;
dan berbeda dengan yang tersurat dalam teks al-Qur’an dan al-Hadits.
Penyebab kontroversi lain di luar substansi hukum adalah pendanaan program oleh The
Asia Foundation. Kaitan ini menyebabkan kontroversi publik tentang CLD-KHI tidak selalu
dalam perdebatan akademis mengenai hukum Islam, melainkan unsur politik aktor yang
dikaitkan dengan intervensi Barat (Amerika), ”ideologi” liberalisme dan sekularisme. Analisis
semacam ini dipublikasi oleh Majalah Sabili, Majalah Hidayatullah, dan website swaramuslim.
Pelibatan analisis politik wacana ini meneguhkan pandangan bahwa hukum Islam sebagai hukum
positif adalah konstruksi sosial politik, bukan semata-mata rumusan teologis. Dengan demikian,
disetujui atau ditolak suatu rumusan hukum Islam dalam proses legislasi bukan karena benar atau
salah secara teologis, melainkan karena kemenangan konfigurasi politik aktor dominan yang
berada dan mampu mempengaruhi legislatif dan Pemerintah selaku pembuat undang-undang.
Dalam konteks legislasi, CLD-KHI tampak ”gagal” meyakinkan Pemerintah, DPR dan
sebagian besar tokoh-tokoh Islam, bahkan kian memperkeruh hubungan Islam liberal dengan
Islam konservatif karena tawaran-tawaran pembaruan hukum Islam yang kian membuat

64
kelompok konservatif geram. Akibat lebih jauh, tim CLD-KHI nyaris tidak dapat melakukan
tindakan yang berarti untuk mempengaruhi kebijakan RUU HTPA dan revisi UU Perkawinan.
Kenyataan ini disebabkan oleh empat kemungkinan. Pertama, tim CLD-KHI tidak
memiliki rancangan strategi advokasi yang rapih dan sistematis dengan pendekatan yang luwes
untuk mempengaruhi kebijakan publik, baik di Pemerintah, Partai Politik, maupun DPR.
Jaringan advokasi kebijakan untuk mengawal naskah CLD-KHI tidak berjalan dengan baik.
Kedua, gugusan gerakan konservatif Islam, baik di MUI, ormas-ormas Islam, maupun sebagian di
kalangan akademik masih memiliki pengaruh yang signifikan. Mereka sangat agresif melakukan
counter dan menguasai media massa. Ketiga, tawaran pemikiran CLD-KHI terlalu sensitif
menyentuh emosi keagamaan dan kemapanan pemahaman ajaran Islam sebagian besar Muslim,
misalnya poligami h}ara>m li ghairihi dan bolehnya ”kawin kontrak.” Keempat, adanya “konflik
kepentingan” internal Depag sendiri. Sebagaimana telah dijelaskan di awal bahwa dua tahun
sebelum CLD-KHI diluncurkan Pokja PUG Depag, Depag sendiri melalui BPPHI yang
dibentuknya telah merumuskan RUU HTPA dan diajukan ke DPR untuk meningkatkan status
KHI dari Inpres menjadi UU. Dua rumusan draft hukum perkawinan Islam yang sebagian besar
isinya saling bertentangan ini dilahirkan dari rahim yang sama (Depag RI) dan diluncurkan oleh
Menteri Agama yang sama, tentu menjadi sasaran kritik publik.
Meski begitu, secara konseptual CLD-KHI telah berhasil memadukan hukum Islam
dengan kenyataan demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia, dan keadilan gender, baik dalam
tataran metodologi maupun rumusan ketentuan hukum Islam. Rumusan CLD-KHI telah
menjadi bahan kajian dan perbincangan akademis yang cukup serius di banyak perguruan tinggi,
sehingga pilihan pemikiran hukum keluarga Islam di Indonesia tidaklah tunggal hanya KHI yang
ditetapkan Pemerintah. Secara parsial, rumusan CLD-KHI juga bisa dijadikan rujukan dan
masukan untuk kebijakan publik terkait, baik di tingkat nasional maupun daerah. Di balik
kontrovesialnya, inilah kontribusi penting dari CLD-KHI dalam konteks perkembangan
pemikiran hukum keluarga Islam kontemporer di Indonesia.
Demikian, semoga bermanfaat. In uri>du illa> al-ishla>h} ma> istat\a’tu wa ma> tawfi>qiy
illa> billa>h ‘alayhi tawakkaltu wa ilayhi uni>b, wa Alla>h al-musta‘a>n, wa huwa a‘lamu bi ash-
shawa>b.

65
BIBLIOGRAFI

Abdalla, Ulil Abshar, Menjadi Muslim Liberal, Jakarta: Kerjasama Jaringan Islam Liberal, Freedom
Institute [dan] Nalar, 2005.
----------, Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam: Bunga Rampai Surat-surat Tersiar, Jakarta: Nalar,
2007.
Abdurrohman, H., Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992.
Anshari, Endang Saifuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar
Negara Republik Indonesia (1945-1949), Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Asa, Syu’bah, “Hukum Islam Buat Arsip”, Majalah TEMPO, edisi 31 Oktober 2004.
AsiaViews,http://www.asiaviews.org/?content=25889s1dddt33gf&colcom=2004101320390527.
10.04.
Basalim, Umar, Pro-Kontra Piagam Jakarta di Era Reformasi, Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2002.
Bush, Robin, “Regional Sharia Regulations in Indonesia: Anomaly or Symptom?” dalam Greg
Fealy dan Sally White (eds.), Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia. Singapore:
Iseas, 2008.
Ditbinbapera Depag RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Ditbinbapera, 1991/1992.
Fealy, Greg dan Sally White (eds.), Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia, Singapore:
ISEAS, 2008.
Fealy, Greg and Virginia Hooker (eds.), Voices of Islam in Southeast Asia: A Contemporary Sourcebook.
Singapore: Iseas, 2006.
----, “Liberal Islamic Groups have Prompted a Backlash,” Inside Indonesia 87: Jul-Sep 2006, dalam
http://insideindonesia.org/content/view/69/29/
Feener, R Michael dan Mark E. Cammack (Eds.), Islamic Law in Contemporary Indonesia: Ideas and
Institutions, Amerika: Islamic Legal Studies Program, Harvard Law School, 2007.
GATRA, http://www.gatra.com/artikel.php?pil=23&id+20700.
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: Tintamas, 1982.
Hooker, MB, Indonesian Syari’ah: Defining a National School of Islamic Law, Singapore: ISEAS, 2008.
Hosen, Nadirsyah, Shari’a & Constitutional Reform in Indonesia, Singapore: ISEAS, 2007.
http://www.majelis.mujahidin.or.id/Kolom/Hukum/Koreksi_atas_kompilasi_hukum_Islam/
http://www.america.gov/st/washfileenglish/2007/March/20070308143741ajesrom0.7947809.h
tml.
http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/03/tgl/13/tim
e/084921/idnews/753308/idkanal/10
http://www.fpi.or.id/default.asp).
http://www.hidayatullah.com/modules.php?name=News&file=print&sid=1433
http://www.humasdepag.or.id/berita_isi.php?id=54
http://www.kpu.go.id/
http://www.mpr.go.id/pimpinan1/?p=337, diakses 20 September 2008.

66
http://www.nu.or.id/page.php
http://www.republika.co.id/ASP/online_detail.asp?id=174746&kat_id=23.
http://www.majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2004/12/27/LK/mbm. 20041227.
LK95355.id.html
Instruksi Presiden RI No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional.
Jurnalperempuan, http://jurnalperempuan.com/yjp.jpo/?act=berita%7CX28.10.04
Lindsey, Tim, “Indonesian Constitutional Reform: Muddling Towards Democracy”, Singapore
Journal of International & Comparative Law (2002) 6.
Lukito, Ratno, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, Jakarta: INIS, 1988.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante,
Jakarta: LP3ES, 1985.
Madjid, Nurcholish, Islam, Kemoderenan, dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1987.
----, Islam, Kerakyatan, dan Keindonesiaan (Pikiran-pikiran Nurcholish ‘Muda’), Bandung: Mizan, 1993.
Mahbubah, Analisis atas Ketentuan Hukum Perkawinan Beda Agama dalam KHI dan CLD-KHI,
Skripsi IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2005.
Mas’udi, Masdar F, Agama Keadilan, Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus,
1991.
Masnun, “Pemikiran Hukum Keluarga Islam Liberal di Indonesia”, Tesis pada Program
Pascasarja IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tidak diterbitkan, 2002.
Minhaji, Akh, Ahmad Hassan and Islamic Legal Reform in Indonesia (1887-1958), Yogyakarta:
Kurnia Kalam Semesta Press, 2001.
Nasution, Adnan Buyung, The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia: A Sosio-Legal
Study of the Indonesian Konstituante 1956-1959, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992.
Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta: UI Press, 1987.
----, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan, 1995.
Ni’ma, Awwali ‘Ainin, Kontroversi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia: Studi Analisis tentang CLD-
KHI Perspektif Tim Penggagas, Skripsi STAIN Ponorogo, 2007.
Panitia Penulisan Buku 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawwir Syadzali, MA, Kontekstualisasi Ajaran
Islam, Jakarta: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI), 1995.
Rais, M. Amien, “Islam dan Negara di Indonesia: Mencari Akhir Pencarian”, Kata Pengantar
buku Umar Basalim, Pro-Kontra Piagam Jakarta di Era Reformasi, Jakarta: Pustaka Indonesia
Satu, 2002.
Ridwan, Membongkar Fiqh Negara: Wacana Keadilan Gender dalam Hukum Keluarga Islam,
Purwokerto: PSG STAIN Purwokerto, 2004.
Syamsiyatun, Siti dan Alimatul Qibtiyah (ed.), Amandemen Undang-undang Perkawinan sebagai Upaya
Perlindungan Hak Perempuan dan Anak, Yogyakarta: PSW UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2006.
Shadily, Hasan (ed.), Ensiklopedi Indonesia, jilid 1, Jakarta: Ikhtiar Baru, 1980.
Siddiqi, Nourouzzaman, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1997.

67
Sjadzali, Munawir, “Reaktualisasi Ajaran Islam”, dalam Iqbal Abdur Rauf Saimia (ed.), Polemik
Reaktualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988.
----, Ijtihad Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, 1997.
Subhan, Zaitunah, dkk. (ed.), Membendung Liberalisme, Jakarta: Republika, 2004.
Swara Muslim, http://swaramuslim.net/printerfriendly.php?id=2454_0_1_0_C
Tim Tempo (ed.), Apa dan Siapa Orang-orang Indonesia 1981-1982, cet. 1, Jakarta: Grafity Press,
1981. 1
Tempointeraktif.com, http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/11/09/
brk,20041109-07,id.html
Thalib, Sayuti, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia: In Memoriam Prof. Mr. dr. Hazairin, Jakarta:
UI Press, t.t.
Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI, Pembaruan Hukum Islam: Counter Legal
Draft Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Depag, 2004.
Tobibatussa’adah, Kontroversi Otoritas Pembaharuan Hukum Islam: Studi tentang Respon Masyarakat
Muslim Indonesia terhadap Counter Legal Draff (CLD) Kompilasi Hukum Islam (KHI), Lampung:
STAIN Metro Lampung, 2008.
Wahid, Abdurrahman, “Pribumisasi Islam”, dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh
(eds.), Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta: P3M, 1989.
Wahid, Marzuki dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara: Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia,
Yogyakarta: LkiS, 2001.
Widiana, Wahyu, “Aktualisasi KHI di PA dan Upaya Menjadikannya Sebagai UU.” Makalah
disampaikan pada Diskusi “Memantapkan Posisi KHI dalam Kehidupan Masyarakat
Indonesia yang Demokratis” pada 27 Juli 2003.
Yanggo, Huzaemah Tahido, Kontroversi Revisi Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Adelina, 2005.
Yusuf, Slamet Effendy dan Umar Basalim, Reformasi Konstitusi Indonesia, Perubahan Pertama UUD
1945, Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2000.

68

Anda mungkin juga menyukai