Anda di halaman 1dari 15

Jurnal artikel

Diet Ketogenik Sebagai Terapi Epilepsi Pada Anak : Sebuah Randomised


Controlled Trial

Elizabeth G Neal, Hannah Chaff e, Ruby H Schwartz, Margaret S Lawson, Nicole Edwards, Geogianna
Fitzsimmons, Andrea Whitney, J Helen Cross

Abstrak

Latar belakang : Diet ketogenik secara luas dan sukses digunakan untuk pengobatan anak
dengan epilepsi resisten obat sejak tahun 1920. Tujuan dari studi ini adalah untuk menguji
efikasi dari diet ketogenik dengan metode randomised control trial.

Metode : 145 anak berumur antara 2 sampai 16 tahun dengan setidaknya 1 bangkitan dalam
sehari (atau lebih dari 7 kali bangkitan tiap minggu), dan telah gagal dengan setidaknya 2
obat antiepilepsi, dan sebelumnya belum pernah mengikuti diet ketogenik dengan metode
randomised control trial mengenai efikasi untuk mengontrol bangkitan. Penelitian dimulai
antara Desember 2001 dan juli 2006. Responden merupakan Anak yang periksa pada satu
atau dua rumah sakit pusat atau daerah khusus anak dengan epilepsi. Anak secara acak
dimasukkan dalam grup yang mendapat diet ketogenik, segera atau pun setelah penundaan 3-
bulan, dengan tanpa perubahan terhadap terapi (grup kontrol). Baik keluarga maupun
investigator dibutakan terhadap penentuan grup. Penilaian awal dicatat dan frekuensi
bangkitan setelah deit dilakukan saat 3 bulan dan dibandingkan dengan kontrol. Titik akhir
utama adalah frekuensi bangkitan; analisis dilakukan untuk pengobatan. Tolerabilitas diet
dinilai dengan kuesioner saat 3 bulan. Uji ini terdaftar dalam ClincialTrials.gov, nomor
NCT00564915.

Hasil : 73 anak mengikuti diet ketogenik dan 72 anak dimasukkan dalam grup kontrol. Data
dari 103 anak dilakukan analisis; 54 pada diet ketogenik dan 49 grup kontrol. Dari keluruhan
terdapat 16 anak yang tidak mengikuti penelitian secara lengkap, 16 anak tidak mendapatkan
intervensinya, 16 anak tidak didapatkan data yang cukup dan 10 tidak melanjutkan perlakuan
sebelum 3 bulan, 6 mengalami intoleransi. Setelah 3 bulan, rerata persentase dibandingkan
awal secara signifikan menurun pada grup diet dibangding grup kontrol (62,0% vs 136,9%,
75% menurun, 95% CI 42.4–107.4%; p<0·0001. 28 anak (38%) pada kelompok diet
memiliki penurunan bangkitan lebih dari 50% dibandingkan 4 (6%) pada kontrol grup
(p<0.0001) dan 5 anak (7%) pada grup diet memiliki penurunan bangkitan lebih dari 90%
dibandingkan dengan kontrol (p=0.0582). Tidak ditemukan perbedaan signifikan antara
efikasi terapi antara bangkitan umum ataupun bangkitan fokal. Efek samping yang paling
sering dijumpai pada saat 3-bulan setelah perlakuan adalah konstipasi, muntah, kehilangan
energi dan lapar.

Interpretasi : Hasil dari uji ini adalah diet ketogenik dapat dijadikan terapi suportif pada
kasus epilepsi intractable

Pendanaan : HSA Charitable Trust; Smiths Charity; Scientifi c Hospital Supplies; Milk
Development Council

Pendahuluan
Diet ketogenik secara luas telah digunakan pada anak dengan epilepsi yang resisten
obat sejak pertama kali dilaporkan mengenai manfaat untuk mengkontrol bangkitan. 1,2
Meskipun mekanisme pasti masih tidak jelas, lemak yang tinggi dan pembatasan karbohidrat
pada diet dimungkinkan melalui respon biokimiawi yang menyerupai kondisi kelaparan,
ketika benda keton menjadi sumber energi utama untuk kebutuhan energi otak. 3 Pada
pengamatan retrospektif dan prospektif diet telah menunjukkan efektivitas, lebih dari
setengah anak dengan terapi tersebut memiliki penurunan 50% terhadap bangkitan dan
dimungkinkan adanya bebas bangkitan setelah 3 bulan. 4-9 Beberapa penulis review artikel
menyimpulkan terdapat bukti yang cukup mengenai efikasi diet pada anak dengan epilepsi
yang intractable tetapi belum banyak fookus pada uji controlled trial. 10-11 Review dari
Cochraane mengenai diet ketogenik menemukan tidak adanya laporan uji Randomised
controlled trial, meskipun rekomendasi oleh International League Against Epilepsy (ILAE)
menyebutkan suatu trial harus memasukkan suatu kriteria yang diperlukan untuk menilai
efikasi dan tolerabilitas untuk semua pengobatan antiepilepsi. 12,13
Kebanyakan studi melaporkan penggunakan diet ketogenik yang klasik, yang telah
digunakan sejak 1920 dan itu berdasarkan rasio dari lemak : karbohidrat dan protein yaitu 3:1
atau 4:1. 11,14 Suatu modifikasi diet dengan menggunakan medium-chain trigliseride (MCT)
sebagai suatu alternatif sumber lemak telah diperkenalkan sejak 1970. 15,16 MCT meiliki lebih
banyak keton perkilokalori dari energi dibandingkan long-chain trigliserdie (LCT), mereka
diserap lebih mudah dan dibawa secara langsung dari sistem digestif ke hepar melalui vena
porta. Peningkatan ketogenik yang potensial dari MCT berarti lebih sedikit jumlah lemak
total yang dibutuhkan pada diet MCT, yang memungkinkan lebih banyak karbohidrat dan
protein. Meskipun kedua tipe diet efektif sebagai terapi bangkitan., namun belum ada uji
RCT yang membandingkan diet klasik dengan diet ketogenik MCT. 17
Diet ketogenik secara tradisional diperkirakan akan berhasil untuk terapi pasien
dengan bangkitan mioklonik, atonik atau bangkitan campuran yang terdapat pada sindrome
Lennox-Gastaut, meskipun pada studi baru-baru ini menjumpai tidak ada perbedaan
signifikan dalam hal efikasi antar jenis bangkitan, termasuk bangkitan fokal. 18 Penulis dalam
studi membandingkan antara anak yang menunjukkan respon awal yang cukup terhadap
terapi diet dengan grup kontrol yang tidak memiliki respon terhadap diet ketogenik,
didapatkan pada selain bangkitan parsial kompleks pada responder. Kesuksesan penggunaan
diet dilaporkan juga pada anak dengan spasme infantil, epilepsi mioklonik berat pada anak,
tuberossklerosis kompleks dan epilepsi astatik myoklonik. 19-23
Masih sedikitnya suatu Ramdomised control trial pada anak dengan semua tipe diet
ketogenik, tujuan dari studi ini adalah untuk menginvestigasi manfaat yang nyata dalam
mengontrol bangkitan pada anak dengan epilepsi yang ditatalaksana dengan diet ketogenik
selama 3 bulan dibandingkan kelompok kontrol yaitu anak dengan tatalaksana yang tidak
berubah.

Metode

Partisipan

Anak yang disertakan merupakan rujukan dari klinik epilepsi Great Ormond Street
Hospital dan dari neurolog pediatrik serta ahli anak di Inggris. Anak berusia antara 2-16
tahun yang memiliki bangkitan setidaknya sekali dalam sehari atau lebih dari 7 kali dalam 1
minggu, yang tidak berespon terhadap setidaknya 2 obat antiepileptik dan sebelumnya belum
pernah diterapi dengan diet ketogenik termasuk dalam kriteria innklusi. Kriteria eksklusi
adalah riwayat hiperlipidemia, batu ginjal atau sindrome defisiensi asam organik. Keluarga
atau pengasuuh diberikan penjelasan mengenai implikasi diet, dipersiapkan untuk mengantar
anak ke pusat uji coba, dan mampu melakukan monitoring dirumah. Sebelum dilakukan
penapisan awal, keluarga dikirimkan informasi yang menjelaskan tentang diet ketogenik dan
metode uji. Anak kemudian dinilai untuk mendiagnosis epilepsi (diagnosis sindrom
didapatkan bila memungkinkan, disesuaikan berdasarkan ILEA) dan kriteria masuk
ditentukan oleh 2 orang konsultan neurologi pediatri. Pusat rujukan adalah Great Ormond
Street Hospital for Children, London ; beberapa anak berasal dari Rumah sakit Central
Middlesex Hospital, London, atau Rumah sakit daerah (the National Centre for Young People
with Epilepsy, Surrey). Anak kemudian dibagi kedalam kelompok uji melalui program
komputer (Minim, University of York, Inggris) menggunakan metode minimisasi untuk
memastikan keseimbangan yang baik antara grup perlakuan yang dibagi kedalam 3
berdasarkan usia (2-6 tahun, 7-11 tahun dan 12-16 tahun) dan untuk mengetahui apakah anak
tersebut tinggal di residential centre atau tidak. Program secara acak menugaskan pada anak
untuk memulai diet setelah 4 minggu dari periode awal hingga 3 bulan berikutnya tanpa
perubahan obat, grup lainnya berperan sebagai kelompok kontrol selama 3 bulan periode pre
diet. Anak juga secara acak terpilih menerima diet klasik ataupun MCT, hasil dari
perbandingan akan dilaporkan secara terpisah. Pasien serta orang tua juga tidak mengetahui
masuk kedalam kelompok uji atau kontrol. Izin penelitian didapat dari komite masing-masing
dari ketiga pusat layanan kesehatan. Orang tua ataupun pengasuh dari seluruh anak diminta
untuk memberikan persetujuan secara tertulis sebelum anak diikutkan dalam studi ini. Bila
memungkinkan anak juga dimintakan persetujuan dalam studi ini.

Prosedur
Seluruh diet ketogenik dihitung berdasarkan kebutuhan individu oleh seorang
dietisian setelah berkonsultasi lewat telepon dengan orang tua atau pengasuh dengan
didasarkan pada diet sehari-hari untuk anak. Intake kalori sebelum studi dihitung dengan
program komputer (Com-peat Pro version 5.8; Nutrition Systems, Banbury, UK) dari hasil
food recall 4 hari terakhir. Anjuran kalori awal untuk diet ketogenik didasarkan rerata antara
intake pre-diet dan rekomedasi kebutuhan energi pada diet ketogenik dan berdasarkan tinggi
badan dan berat badan, rekomendasi kebutuhan energi di Inggris, tingkat aktivitas fisik,
aktivitas bangkitan dan pengpbatan. Diet ketogenik diawali dirumah setelah kunjungan sehari
penuh pada rumah pasien rawat jalan untuk memberikan edukasi dan elektroensefalogram
acuan dan uji darah. Protokol awal non-fasting digunakan dan tidak ada perubahan pada diet
normal anak yang dianjurkan sebelum memulai penatalaksanaaan diet ketogenik. Diet klasik
diawali dengan rasio 2:1 (lemak: protein dan karbohidrat) dan secara bertahap naik menjadi
3:1 atau 4:1 dalam 1-2 minggu, hingga dapat ditolelir; kandungan protein tetap diatas
kebutuhan minimal WHO berdasarkan usia.
Diet MCT diawali dengan dosis penuh karbohidrat (umumnya 15% dari kebutuhan
total), protein (umumnya 10% dari total) dan lemak rantai panjagn (umumnya 30% dari
total). Kandungan lemak MCT naik bertahap dalam 7-10 hari, hingga dapat ditoleransi, pada
level awal yang umumnya 45% dari total energi. Perubahan yang peneliti lakukan dalam
pemberian kalori dibutuhkan selama pemantauan. Umumnya dilakukan dengan peningkatan
atau penurunan 100kcal bertahap dengan setidaknya 2 minggu periode kosong sebelum
dilakukan perubahan yang lebih lanjut, peningkatan 50 kcal digunakan pada anak dengan
kebutuhan energi harian yang rendah, sebagai contoh, pada anak yang sangat muda atau yang
tidak dapat berjalan. Diet juga ditambahkan vitamin dan mineral yang cukup.
Anak kemudian diamati sebagai pasien rawat jalan selama 6 minggu dan 3 bulan.
Mereka juga dimonitor secara ketat melalui telepon diantara kunjungan ke klinik. Pada grup
diet perubahan terhadap diet dapat dilakukan selama dibutuhkan konsultasi lewat telepon
untuk meningkatkan ketosis dan mengoptimalkan kontrol bangkitan. Intake protein
ditingkatkan selama dibutuhkan untuk mendapatkan kebutuhan yang direkomendasikan dan
modifikasi dapat dilakukan terhadap intake cairan dan makanan. Grup kontrol mendapatkan
diet normal dengan tanpa adanya input dietetik dan tetap diberikan pengobatan antiepileptik
yang sama selama 3 bulan.
Hasil primer mengenai efikasi adalah penurunan frekuensi bangkitan. Hal tersebut
dinilai oleh orang tua atau pengasuh berdasarkan tipe bangkitan dasar (absans, mioklonik,
atonik, tonik, tonik-klonik, dan fokal). Definisi mengenai masing-masing tipe bangkitan
disepakati bersama orang tua dan pengasuh saat awal penelitian. Frekuensi bangkitan
direkam setiap hari selama 4 hari pada periode aawal, dan selama periode penelitian. Jumlah
bangkitan selama 28 hari sebelum patokan waktu digunakan untuk menghitung rerata
bangkitan pada waktu penelitian, yang dituangkan dalam berntuk persentase dari nilai rerata
dasar bangkitan harian (misalnya, jumlah bangkitan selama 4 minggu sebelum anak memulai
perlakuan diet atau kontrol). Tidak dilakukan perubahan pada obat antiepilepsi selama 4
minggu awal ataupun selama 3 bulan periode uji.
Penilaian mengenai toleransi pasien terhadap diet dilakukan menggunakan kuesioner
yang terstandar. Ketosis dinilai 2 kali sehari menggunakan sampel urin dirumah dengan
Ketostix (Bayer, Germany) dan dengan pengukuran konsentrasi keton darah di klinik. Berat
dan tinggi badan selalu diukur disemua rumah sakit ketika kunjungan. 28

Analisis Statistik
Desain peneltian adalah uji komparatif dengan hipotesis diet ketogenik mungkin
memiliki efikasi yang lebih baik dibandingkan melanjutkan pengobatan antiepilepsi tanpa
adanya perubahan. Dengan penggunaan hipotesis kosong yaitu pada kedua grup tidak
memiliki perbedaan signifikan mengenai hasil keluaran kontrol bangkitan, dan ditentukan
batasan 25% sebagai perbedaan outcome sebagai kepentingan klinis dan besaran sampel
untuk membandingkan rerata keduanya dengan minimal 47 sampel per grup untuk dapat
mendeteksi perbedaan yang signifikan pada 5% dengan kekuatan 90%. Penghitungan
didasarkan pada keluaran yang diharapkan dengan rentang persentase rerata yaitu pada awal
adalah dari 0% hingga 150% (SD 37,5%). Sampel dengan rentang tersebut dapat mendeteksi
perbedaan sebesar 25% atau lebih dari persentase rerata bangkitan antar grup, setiap
perbedaan lebih dari tersebut akan di simpulkan sebagai signifikan secara klinis.
Persentase rerata dari bangkitan awal saat 3 bulan antara anak dengan diet ketogenik
dan kontrol dibandingkan secara unpair t test dan diverifikasi denga Mann-Whitney U test,
berdasarkan data yang ada. Regresi multipel linear digunakan untuk menilai hubungan antara
diet dan persentase dari bangkitan awal, dan menghitung jenis kelamin sampel dan masuk
kedalam kelompok usia yang mana. Responder rate lebih dari sama dengan 50% atau 90%
dari penurunan bangkitan di telah diatur dan Fisher’ exact tes digunakan untuk menghitung
perbedaan antara diet dan gurp kontrol yang tergantung pada nilai acuan. Sindrome epilepsi
dikombinasikan kedalam 2 kategori : yang memiliki gejala general dan memiliki gejala fokal.
Unpair t test digunakan untuk membandingkan rerata persentase dari bangkitan awal antara
kedua grup dengan general dan gejala fokal pada diet dan gurp kontrol pada 3 bulan.

Aturan mengenai suber pendanaan


Sumber pendanaan tidak memailkan peran dalam deian studi, pengambilan data,
analisis data, interpretasi hasil, penulisan laporan atau penentuan manuscrip untuk publikasi.
Penulis korespondensi memiliki akses pernuh terhadap data dan bertanggung jawab penuh
untuk mempublikasi.

Hasil
Anak yang disertakan dalam uji antara Desember 2011 dan Juli 2006 dan secara acak
masuk kedalam grup diet ataupun kontrol (gambar, tabel 1), 37 anak kedalam grup diet
disertakan dalam diet ketogenik klasik (LCT) dan 36 anak disertakan dalam diet ketogenik
MCT.
Karakteristik demografi dasar dari anak secara acak disertakan dalam grup dan yang
masuk dalam perhitungan akhir dalam tabel 1. Anak sejumlah 78 orang memiliki bangkitan
general (39 dalam diet grup dan 39 dalam grup kontrol) dan 57 anak memiliki gejala fokal
(27 dalam grup diet dan 30 grup kontrol). Sindrome epilepsi spesifik tertera dalam tabel 2.
Diagnosis lebih jauh termasuk 7 anak dengan epilepsi mioklonik berat pada balita dan 3 anak
yang kemudian diketahui memiliki penyakit neurodegeneratif, yang memnjadi berubah
diagnosisnya. Awalnya 6 anak tidak dalam pengobatan epilepsi karena pengobatan
sebelumnya tidak memiliki efek, 20 anak dengan 1 obat, 53 anak dengan 2 obat, 54 anak
dengan 3 obat, 11 anak dengan 4 obat. Rerata bangkitan adalah 11-6 kali perhari (13,3 pada
grup diet dan 10,1 grup kontrol). Delapan anak disertakan dari layanan umum dan semua
yang lain datang ke rumah sakit sebagai pasien rawat jalan meskipun mereka tinggal
dirumah.
Tabel 3 menunjukkan hasil dari persentase awal jumlah bangkitan pada kedua grup
pada 3 bulan. Frekuensi rerata bangkitan menurun sebesar 38% pada grup perlakuan dan
meningkat 37% pada grup kontrol. Perbedaan antar rerata persentase bangkitan awal saat 3
bulan antara grup diet dan kontrol sebesar 74,09% (95% CI 42.4-107. 4% ; p<0,0001).
Meskipun secara jelas ada kemiringan data antara rerata dan median antara kedua grup,
perbedaan tetap signifikan ketika dilakukan uji non parametrik. Perbedaan antara rerata
persentase awal bangkitan pada grup diet dan kontrol meningkat ringan ke 76,6% (44,4-
108,9; p<0,0001) ketika dilakukan perhitungan regresi linear . didapatkan ada 3 nilai ekstrim
pada grup kontrol yang memiliki peningkatan jumlah bangkitan lebih dari 400% pada saat 3
bulan. Pengeluaran nilai ekstrim sebelum analisis menurunkan rerata persentase dari
bangkitan dasar dari grup kontrol sebesar 1121,9% dan menurunkan perbedaan rerata antara
grup sebesar 50% (30·7–71·2; p<0·0001). Meskipun terdapar Confiden interval yang lebar
namun masih dalam range skenenario klinis, diet grup memiliki harapan keluaran yang lebih
baik dalam hal efikasi dibandingkan grup kontrol.
Saat 3 bulan, bebas dari bangkitan didapatkan pada 1 anak di grup diet dan tidak
didapatkan pada anak di grup kontrol. Tabel 4 menunjukkan nilai yang dihasilkan pada grup
diet dan kontrol lebihbdari sama dengan 50% atau 90% penurunan bangkitan setelah 3 bulan,
dengan jumlah total anak yang ikut serta dalam tiap perlakuan grup sebagai denominator.
Sepuluh anak keluar dari perlakuan diet sebelum 3 bulan: 3 karena ketidaksenangan
orang tua dengan pembatasan, 2 karena penolakan makanan yang diberikan dan lainnya
dengan peningkatan bangkitan, penurunan kesadaran yang ekstrim, konstipasi, muntah dan
diare. 1 anak ditemukan mengalami hematuria setelah beberapa minggu dalam grup diet dan
USG ginjal menunjukkan adanya debris yang mengindikasikan adanya resikko terbentuk
batu. Setelah terapi dengan potasium sitrat, anak kembali dalam diet tanpa adanya gejala
ulang. Tabel 5 menunjuikan raporan efek samping selama 3 bulan, seperti yang dilaporkan
dalam kuesioner yang dilengkapi oleh orang tua atau pengasuh. Sedikit efek yang tidak
diinginkan memicu terjadinya putus pengobatan dan harus diselesaikan dengan penyesuain
diet.
Jumlah anak yang didata pada grup sindrome individual terlalu kecil untuk
dibandingkan secara statistik. Terdapat 5 anak dengan penurunan lebih dari 90% bangkitan
memiliki spasme infantil, epilepsi general dengan gejala unspesifik, continuous spike wave of
slow sleep, epilepsi myoclonic astatic dan multifokal epilepsy, sebaliknya anak dengan
mioklonik astatik epilepsi dapat bebas dari bangkitan.
Terdapat 2 kategori yang disepakati : semua grup sindrome epilepsi dapat
dikelompokkan bersama sebagai yang berasal dari general simptomatik dan berasal dari
fokal. Tidak semua epilepsi sindrome dapa dimasukkan : 51 dari 54 anak dalam grup diet
yang dimasukkan untuk dianalisis secara luas dari diklasifikasikan dalam langkah ini (27
sebagai general simptomatik dan 24 sebagai simtomatik fokal) serta 41 dari 49 anak dalam
kontrol grup (19 sebagai general simptomatik dan 22 sebagai fokal simptomatik). Setelah 3
bulan penatalaksaan diet, persentase rerata dari bangkitan awal sebesar 62,3% pada general
simpomatik (p=0,865)/ pada grup kontrol , persentase rerata ddasar sebesar 160,5% pada
general simptomaaik grup dan 121,2% pada grup fokal simptomatik (p=0,285) setelah 3
bulan.

Diskusi
Penulis melaporkan hasil dari randomised controlled trial untuk menilai efikasi dari
diet ketogenik untuk mengobati epilepsi pada anak yang resisten pengobatan. Hasilnya jelas
menunjukkan keuntungan diet ketogenik meskipun tidak ada perubahan obat : bangkitan pada
54 anak yang menjalani diet memiliki rerata yang turun sebesar 62% dari nilai awal dan
meningkat hingga 137% pada kontrol grup dari nilai awal. Responder rates (tabel 4) memiliki
kemiripan dengan hasil RCT obat antiepilepsi terbaru versus plasebo. Peningkatan frekuensi
bangkitan terjadi pada grup kontrol, dimana tanpa disertai perubahan pengobatan menjadi hal
yang mengejutkan. Penjelasan yang paling mungkin adalah kebiasaan peningkatan frekuensi
bangkian pada 3 anak; ketika data dieklusi, peningkatan frekuensi bangkitan pada grup
kontrol saat 3 bulan hanya sebesar 12%. Hal tersebut tanmpak sebagai perbaikan dalam diri
penderita, yang mungkin menyebabkan keraguan adanya mamnfaat dari diet selama 3 bulan
tersebut. Ketika anak dengan bangkitan general simptomatik dibandingkan dengan fokal
simptomatik, tidak didapatkan adanya perbedaan yang signifikan. Kesimpulan lebih lanjut
dari perbedaan efikasi antara sinrome epilepsi akan dilakukkan ketika analisis 6 bulan dan 12
bulan setelah seluruh data tersedia.
Respon rate dari studi ini lebih rendah daripada reported rate, yaitu sebsar 50% dan
90% penurunan bangkitan. Perbedaan dapat dihitung dalam beberapa derajat, faktanya pada
grup kami mungkin terdapat resistensi obat yang lebih karena diet dimulai pada keadaan
klinis yang sudah lama. Terdapat kemungkinan ada bias dalam hal seleksi pada studi yang
lain, yaitu pemberian diet disesuaikan dengan tipe epilepsi yang diperkirakan lebih respon
dengan tatalaksana diet. Lebih jauh, anak dibawah 2 tahun tidak diikutkan dalam studi ini,
meskipun ada anggapan bahwa pada usia tersebut akan lebih merespon terhadap pemberian
diet dibandingkan anak yang lebih besar. Permasalahan usia harus diteliti lebih jauh lagi.
Perbandingan langsung dari hasil studi ini dengan studi yang sebelumnya telah dilaporkan
sulit untuk dinilai karena terdapat perbdaan besar dalam hal desain penelitian dan rendahnya
uji RCT. Proses randomisasi untuk menentukan kesertaan anak menggunakan proses
minimisasi yang menghitung berdasar usi dan lokasi penatalaksaan menghindari adanya bias
selesksi antar kelompok studi.
Studi kami memiliki jumlah besar dari non-starter dan yang berhenti mengikuti studi,
yang sangat sulit diprediksi dan tidak dilaporkan pada studi lain mengenai diet ketogenik. Hal
tersebut memiliki implikasi yang berguna untuk nutrisionis dalam hal melakukan perhitungan
ketogenik awal dan monitoring kaerena membutuhkan waktu yang banyak. Penilaian awal
dan proses penapisan adalah penting dan kriteria inklusi harus memastikan anak dengan
gangguan perilaku makan dapat diterapi sebelum dilakukan pembatasan diet. Kemauan dan
kepedulian penuh dari orang tua dan pengasuh dalam hal pembatsan dan monitoring diet
adalah seiring.
Hanysa kriang dari seperempat dari 55 anak dengan deit ketogenik yang memiliki
masalah hingga 3 bulan yaitu muntah, hilang energi atau kelaparan, lebih sedikit lagi yang
dilaporkan mengalami diare, nyeri perut atau gangguan perasa pada satu waktu selama
percobaan. Pada kebanyakan kasus mengenail permasalahan tolenasi dapat diselesaikan
dengan penyesuain diet dan tidak ada anak yang mengalami problem bera yang menyebabkan
berhenti diet saat 3 bulan. Kontipasi merupakan problem yang sering dilaporkan : 1/4 anak
pada grup diet dilaporkan mengalami hal tersebut. Meskipun disebutkan menjadi alasan
berhenti diet hanya 1 anak yang berhenti sebelum 3 bulan, sekitar ¼ anak tetap diet selama 3
bulan dan hanya butuh pbat untuk penyelesaikan permasalahan.
Secara keilmuan, kualitas penelitian ini dapat meningkat dengan masuknya data
bangkitan prospektif anak baik yang tidak mengikuti sejak awal maupun yang berhenti
sebelum 3 bulan; untuk tujuan analisis 50% dan 90% responder rates yang diharapkan ikut
serta, dihitung sebagai non-responder. Penelitian ini juga dapat ditingkatkan dengan proses
randomisasi doble-blind, yang direkomendasikan Glauser dan kawan-kawan untuk semua
33
kelas I atau II dari evidensi. Meskipun akan mustahil untuk memubtakan orang tua,
pengasuh dan anak karena diresepkan menu diet yang membutuhkan kerjasama yang erat,
lebih jauh, dietisian yang memberikan menu dilibatkan dalam pengambilan data dan tidak
dapat dibutakan. Peningkatan jiuga dapat dilakukan dengan perekrutan individu yang
independen dalam mengalokasian grup dan analisis data. Penggunaan riwayat bangkitan oleh
orang tua atau pengasuh mungkin dapat melewatkan bangkitan malam hari dan rentan
terhadap eror subjektif. Catatan data secara pribadi yang konsisten selama studi, meskipun
mungkin akan meningkat sepanjang waktu, yang mungnin dapat menjelaskan peningkatan
frekuensi bangkitan yang terdapat pada grup kontrol.
Meskipun terdapat batasan, studi ini menyajikan evidensi dari RCT diet ketogenik.
Kami menunjukkan efikasi diet dan harus disertakan dalam manajemen anak dengan epilepsi
resisten obat. Meskipun diet tidak dapat dihindari adanya efek samping, yang harus
dipertimbangkan adalah resiko dan manfaat adanya pengobatan lain yang dapat diberikan
pada anak.
Daftar pustaka

1. Wilder RM. The eff ects of ketonemia on the course of epilepsy. May Clin Proc 1921;
2: 307–08.
2. Peterman MG. The ketogenic diet in epilepsy. JAMA 1925; 84: 1979–83.
3. Hartman AL, Gasior M, Vining EP, Rogawski MA. The neuropharmacology of the
ketogenic diet. Pediatr Neurol 2007; 36: 281–92.
4. Freeman JM, Vining EP, Pillas DJ, Pyzik PL, Casey JC, Kelly LM. The effi cacy of
the ketogenic diet 1998: a prospective evaluation of intervention in 150 children.
Pediatrics 1998; 102: 1358–63.
5. Kang HC, Kim YJ, Kim DW, Kim HD. Efficacy and safety of the ketogenic diet for
intractable childhood epilepsy: Korean multicentric experience. Epilepsia 2005; 46:
272–79.
6. Coppola G, Veggiotti P, Cusmai R, et al. The ketogenic diet in children, adolescents
and young adults with refractory epilepsy: an Italian multicentric experience. Epilepsy
Res 2002; 48: 221–27.
7. Kankirawatana P, Jirapinyo P, Kankirawatana S, Wongarn R, Thamanasiri N.
Ketogenic diet: an alternative treatment for refractory epilepsy in children. J Med
Assoc Thai 2001; 84: 1027–32.
8. Maydell BV, Wyllie E, Akhtar N, et al. Effi cacy of the ketogenic diet in focal versus
generalized seizures. Pediatr Neurol 2001; 25: 208–12.
9. Vining EP, Freeman JM, Ballaban-Gil K, et al. A multicenter study of the effi cacy of
the ketogenic diet. Arch Neurol 1998; 55: 1433–37.
10. Keene DL. A systematic review of the use of the ketogenic diet in childhood epilepsy.
Pediatr Neurol 2006; 35: 1–5.
11. Lefevre F, Aronson N. Ketogenic diet for the treatment of refractory epilepsy in
children: a systematic review of effi cacy. Pediatrics 2000; 105: E46.
12. Levy R, Cooper P. Ketogenic diet for epilepsy. Cochrane Database Syst Rev 2003; 3:
CD001903.
13. Commission on antiepileptic drugs of the International League Against Epilepsy.
Guidelines for clinical evaluation of antiepileptic drugs. Epilepsia 1989; 30: 400–08.
14. Vining EP. Clinical effi cacy of the ketogenic diet. Epilepsy Res 1999; 37: 181–90.
15. Huttenlocher PR. Ketonemia and seizures: metabolic and anticonvulsant eff ects of
two ketogenic diets in childhood epilepsy. Pediatr Res 1976; 10: 536–40.
16. Huttenlocher PR, Wilbourn AJ, Signore JM. Medium-chain triglycerides as a therapy
for intractable childhood epilepsy. Neurology 1971; 21: 1097–103.
17. Schwartz RM, Eaton J, Bower BD, Aynsley-Green A. Ketogenic diets in the
treatment of epilepsy: short term clinical eff ects. Dev Med Child Neurol 1989; 31:
145–51.
18. Than KD, Kossoff EH, Rubenstein JE, Pyzik P, McGrogan JR, Vining EPG. Can you
predict an immediate, complete and sustained response to the ketogenic diet?
Epilepsia 2005; 46: 580–82.
19. Kossoff EH, Pyzik PL, McGrogan JR, Vining EP, Freeman JM. Effi cacy of the
ketogenic diet for infantile spasms. Pediatrics 2002; 109: 780–83.
20. Caraballo RH, Cersosimo RO, Sakr D, Cresta A, Escobal N, ejerman N. Ketogenic
diet in patients with Dravet syndrome. Epilepsia 2005: 46: 1539–44.
21. Kossoff EH, Thiele EA, Pfeifer HH, McGrogan JR, Freeman JM. Tuberous sclerosis
complex and the ketogenic diet. Epilepsia 2005: 46: 1684–86.
22. Oguni H, Tanaka T, Hayashi K, et al. Treatment and long-term prognosis of
myoclonic–astatic epilepsy of early childhood. Neuropediatrics 2002: 33: 122–32
23. Kilaru S, Bergquist AGK. Current treatment of myoclonic astatic epilepsy: clinical
experience at the Children’s Hospital of Philadelphia. Epilepsia 2007; 48: 1703–07.
24. Commission on Classifi cation and Terminology of the International League against
Epilepsy. Proposal for revised classifi cation of epilepsies and epileptic syndromes.
Epilepsia 1989: 30: 389–99.
25. Engel J Jr. A proposed diagnostic scheme for people with epileptic seizures and with
epilepsy: report of the ILAE task force on classifi cation and terminology. Epilepsia
2001; 42: 796–803.
26. Freeman JM, Freeman JB, Kelly MT. The ketogenic diet: a treatment for epilepsy, 3rd
edn. New York: Demos, 2000.
27. World Health Organisation. Energy and protein requirements. Report of a Joint
FAO/WHO/UNU expert consultation.Technical Report Series 1985; 724.
28. Neal EG, Chaff e HM, Edwards N, Lawson M, Schwartz R, Cross JH (2008). Growth
of children on classical and mediumchain triglyceride ketogenic diets. Pediatrics (in
press).
29. Motte J, Trevathan E, Arvidsson JF, et al. Lamotrigine for generalized seizures
associated with Lennox–Gastaut syndrome. N Engl J Med 1997; 337: 1807–12.
30. Biton V, Montouris GD, Ritter F, et al. A randomised, placebocontrolled study of
topiramate in primary generalised tonic–clonic seizures. Neurology 1999; 52: 1330–
37.
31. Henderson CB, Filloux FM, Alder SC, Lyon JL, Caplin DA. Effi cacy of the
ketogenic diet as a treatment option for epilepsy: meta-analysis. J Child Neurology
2006; 21: 193–98.
32. Nordli DR Jr, Kuroda MM, Carroll J, et al. Experience with the ketogenic diet in
infants. Pediatrics 2001; 108: 129–33.
33. Glauser T, Ben-Menachem E, Bourgeois B, et al. ILAE treatment guidelines:
evidence-based analysis of antiepileptic drug effi cacy and eff ectiveness as initial
monotherapy for epileptic seizures and syndromes. Epilepsia 2006; 47: 1094–120.

Anda mungkin juga menyukai