Anda di halaman 1dari 10

QUIZ 1

MATA KULIAH EKONOMI INTERNASIONAL

Resume Artikel/ Jurnal

Topik : “Penerapan Instrumen Perdagangan Internasional”

Dosen Pengampu” : Bapak Putu Mahardika Adi Saputra, SE.,MSi,MA.,PhD

Disusun Oleh :

Ananda Rizky Hari Pradana (205020101111020)

Kelas Ekonomi Internasional AC

JURUSAN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2021
I. Pendahuluan

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan subsidi perikanan untuk


mendorong pengembangan industri perikanan karena sektor ini berkontribusi terhadap
pembangunan nasional. Selama ini Indonesia merupakan anggota WTO, dan perjanjian WTO
melarang pemberian subsidi selain subsidi perikanan yang dapat mengakibatkan menipisnya
stok ikan dan kerusakan biota laut. Untuk menjawab permasalahan tersebut, artikel ini akan
fokus pada bagaimana subsidi perikanan WTO diatur dan kemudian melihat apakah relevansi
subsidi perikanan dan pembangunan berkelanjutan akan menjawab pertanyaan apakah
penerapan Kebijakan Subsidi Perikanan di Indonesia dapat dibenarkan dalam sistem WTO.
Ada jaminan bahwa implementasi kebijakan tersebut sejalan dengan manajemen yang efektif
dalam pendistribusiannya, namun Indonesia tentunya akan terus berkembang, meski masih
ada beberapa kendala. Kebijakan agar pemberian subsidi perikanan tidak bertentangan
dengan perikanan berkelanjutan dan tercapainya tujuan Indonesia menjadi poros maritim
dunia. Penulis melakukan penelitian dengan menggunakan metode hukum normatif
(Normative Law Research) dan dianalisis secara kualitatif.

Konsumsi makanan laut, terutama ikan, meningkat seperti jamur di seluruh dunia.
Banyak negara seperti Jepang, Thailand, Malaysia, dan Indonesia dikenal sebagai surganya
pecinta seafood. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat,
pemerintah di masing-masing negara akan terus melakukan inovasi baik kebijakan maupun
teknologi agar industri perikanan tetap hidup di negaranya. Sektor perikanan dianggap
sebagai salah satu sektor yang memberikan kontribusi besar bagi pendapatan negara, serta
produk pertanian lainnya. Dapat dikatakan konsumsi ikan cukup tinggi di berbagai negara
seperti Thailand, dimana konsumsi seafood per kapita per tahun sekitar 29,17 Kg pada tahun
2017. Sedangkan Indonesia sekitar 44,67 Kg hingga yang tertinggi dipegang oleh Malaysia
sekitar 57,62 Kg di tahun 2017. Sementara itu, negara yang tidak memiliki pantai (Landlock
State) untuk memenuhi konsumsi makanan lautnya juga akan mengikuti konsumsi ikan.
Salah satu hal yang bisa dilakukan yakni mengimpor dari negara lain, penangkapan ikan tidak
hanya untuk konsumsi dalam negeri, tetapi juga untuk perdagangan. Negara-negara yang
melihat peluang karena tingginya permintaan hasil perikanan tentunya akan menempuh
berbagai cara untuk meningkatkan produksinya agar dapat dijual ke negara lain dan
memperoleh keuntungan. Tentu melihat peluang karena tingginya permintaan produk
seafood, negara-negara akan melakukan berbagai cara untuk meningkatkan produksi agar
bisa menjualnya ke negara lain dan mendapat untung. Hadirnya GATT/WTO yang
merupakan fase Internasionalisme di mana semua peraturan terkait perdagangan tidak lagi
berdasarkan hukum nasional masing-masing tetapi pada aturan hukum internasional yang
harus diikuti oleh negara.

Ambisi negara untuk meningkatkan pendapatan dan diakui sebagai poros


perdagangan dunia seringkali mendorong negara untuk menerapkan berbagai kebijakan
nasional, termasuk subsidi, dalam kegiatan komersialnya. Subsidi tergolong praktik yang
tidak adil karena dirasakan dapat memicu penghapusan persaingan yang sehat dalam
mekanisme pasar dan menghentikan lingkungan bisnis yang kompetitif, serta merugikan
sistem siklus ekonomi dunia. Namun pada intinya, subsidi juga penting untuk mendukung
peningkatan kualitas ekonomi, membantu masyarakat berpenghasilan rendah memenuhi
kebutuhan ekonominya, dan mencegah kebangkrutan pelaku usaha kecil. Indonesia telah
memberikan subsidi di berbagai sektor seperti BBM, LPG 3 Kg, dan Pertanian. Selain itu,
pemasaran nelayan tradisional masih dinilai lemah karena kurangnya fasilitas yang memadai
seperti peralatan pendingin yang baik, yang dapat membahayakan hasil tangkapan. Untuk itu
terkadang mangsanya digunakan untuk konsumsi keluarga saja karena kondisi mangsanya
dinilai tidak layak jual. Dalam pidato kepresidenan tahun 2014, Bapak Jokowi mengatakan
laut adalah masa depan bangsa di mana ia memiliki kepentingan nasional dalam industri
maritim, bertujuan untuk menjadikan Indonesia poros maritim dunia. Langkah ini
diwujudkan dalam lima pilar utama, salah satunya pada pilar kedua untuk melindungi sumber
daya laut dan berupaya menciptakan dominasi di sektor makanan laut, di mana nelayan
menjadi pilar utama. Subsidi perikanan dinilai sebagai langkah tepat bagi nelayan Indonesia
untuk memanfaatkan kekayaan laut yang ada. Tujuannya untuk menunjang kebutuhan
operasional nelayan dalam melakukan pekerjaannya.

Masalah sering muncul karena bahkan perusahaan perikanan skala besar terus
menerima subsidi, terutama untuk sektor energi seperti bahan bakar, karena subsidi
penangkapan ikan dianggap kurang tepat sasaran oleh sebagian nelayan. Inilah penyebab
penangkapan ikan yang berlebihan. Dapat dikatakan bahwa penangkapan ikan yang
berlebihan memiliki efek domino yang pada akhirnya akan menghancurkan perekonomian
negara dan menggoyahkan ekosistem laut. Pada tahun 1990, negara-negara di dunia berjuang
untuk mengakhiri subsidi perikanan, dan mereka ditempatkan dalam agenda debat
internasional sebagai tanggapan atas penelitian yang dilakukan oleh Food and Agriculture
Organization, United Environment Programme, Unilever and Conservation International,
dan Bank Dunia. Studi telah menyimpulkan bahwa ada korelasi kuat antara subsidi dan
pengurangan stok ikan dunia.

II. Pembahasan

Dalam sistem perdagangan internasional, terdapat beberapa prinsip yang harus


dipatuhi oleh setiap negara anggota, seperti Prinsip Most Favored Nation, yaitu setiap
anggota harus memperlakukan mitra dagangnya secara adil. Perlakuan adalah larangan yang
berkaitan dengan perlakuan yang berbeda antara barang luar negeri dengan barang produksi
dalam negeri. Kemudian ada Fair Trade Principles yang melarang negara anggota
menerapkan kebijakan yang pada akhirnya akan merugikan negara mitra dagang lainnya.
Prinsip ini dimaksudkan untuk menghilangkan praktik kecurangan dalam kegiatan komersial
seperti pemberian subsidi. Prinsip mengikat tarif dimaksudkan untuk memberikan jaminan
yang lebih dapat diprediksi sehingga dapat dipantau jika suatu negara anggota
memberlakukan hambatan tarif atas bea masuk yang tidak wajar. Padahal kita tahu bahwa
pengenaan bea masuk dapat dilihat sebagai tindakan balasan terhadap praktik negara
pengekspor yang mensubsidi produk ekspor.

Subsidi pada dasarnya diatur dalam GATT 1947 dan secara umum dianggap sebagai
efek yang baik, sebagai mekanisme di mana kebijakan pemerintah mengenai bantuan
pemerintah dapat dilaksanakan. Namun, di era sekarang, pandangan negara tentang subsidi
telah berubah karena pertanyaan tentang efektivitas dan pengendaliannya. Selain itu, ada
keraguan tentang peran pemerintah dalam masyarakat dan ekonomi, serta tentang sifat relatif
perlindungan lingkungan dan pembangunan ekonomi, sehingga subsidi di banyak bidang
ekonomi sering dipandang sebagai hal yang buruk, terutama di sektor perikanan. Kemudian,
dalam rezim WTO, pemberian subsidi diatur dalam Pasal XVI Perjanjian Perdagangan
Dunia. Disusun dan diatur lebih lanjut dalam Agreement on Subsidis and Countervailing
Measures, serta Rancangan Presiden AD dan Subsidi dan Tindakan Countervailing, yang
sampai saat ini telah diterima secara luas oleh negara-negara berkembang, termasuk
perjuangan Indonesia.

Dalam bukunya International Economic Law, Andreas F. Lowenfield mendefinisikan


subsidi sebagai transfer kekayaan dari dana publik kepada sekelompok penerima yang
keberadaannya dianggap tidak mampu bertahan atau mempertahankan posisinya jika hanya
didasarkan pada kekuatan pasar. Pasal XVI WTO mengatur bahwa suatu Negara Anggota
yang memberikan atau mempertahankan subsidi dalam bentuk apapun yang mengakibatkan
peningkatan ekspor atau pengurangan impor harus memberitahukan kepada Para Pihak
mengenai jumlah dan sifat dari subsidi yang diberikan. Pemberitahuan juga dibuat tentang
dampak subsidi pada jumlah yang diperdagangkan dan keadaan yang memaksa pemerintah
negara tersebut untuk memberikan subsidi di sektor yang bersangkutan.

Pasal-pasal ini diatur lebih lanjut dalam Perjanjian Hibah dan langkah-langkah
kompensasi. Pasal 1 Perjanjian SCM memberikan definisi hibah, yaitu adanya kontribusi
keuangan oleh pemerintah atau instansi pemerintah, baik dalam bentuk transfer dana secara
langsung, seperti hibah, pinjaman dan penyertaan, atau potensi transfer dana. dana. atau
kewajiban langsung. Pendapatan pemerintah yang tidak dipungut dari penyediaan barang atau
jasa selain infrastruktur publik atau dari pembelian barang oleh pemerintah, serta dari
mekanisme pendanaan badan-badan swasta yang ditunjuk oleh pemerintah untuk
melaksanakan satu atau lebih fungsi pemerintahan. Subsidi juga dianggap ada jika ada suatu
bentuk pendapatan atau bantuan harga sebagaimana dimaksud dalam Pasal XVI GATT 1994,
dan semua kondisi tersebut harus memberikan keuntungan. Jika dilihat dalam ASCM
Agreement membagi “Specificity” menjadi empat jenis, yaitu :

1. Enterprise-specificity, Pemerintah menargetkan perusahaan tertentu atau perusahaan-


perusahaan untuk memberikan subsidi-nya.
2. Industry-Specificity, Targetnya adalah sektor-sektor industri tertentu atau sektor yang
dianggap perlu untuk diberikan subsidi.
3. Regional-Specificity, Targetnya adalah produsen di bagian tertentu wilayahnya untuk
subsidi.
4. Prohibited-Subsidies, Targetnya adalah barang-barang ekspor atau barang-barang
yang menggunakan input domestik untuk diberikan subsidi.

ASCM membagi subsidi kedalam 3 (ketiga) kategori utama, yaitu: Subsidi yang
dilarang (prohibited subsidies) sebagaimana diatur dalam bagian II ASCM, merupakan
subsidi yang diberikan oleh pemerintah yang terdiri dari subsidi produk ekspor dan produk
substitusi impor. Ada dua tipe subsidi ekspor, subsidi ekspor de jure subsidi yang secara
nyata tercantum dalam sebuah peraturan perundang-undangan sebuah pemerintahan artinya
subsidi ini memang dilegitimasi untuk diterapkan terhadap kegiatan eksport tersebut. Tipe
yang kedua, subsidi ekspor de facto tipe ini cukup sulit untuk dibuktikan apakah memang ada
pemberian subsidi atau tidak karena subsidi yang diberikan tidak didasarkan aturan
perundang-undangan. Sehingga bisa saja sebenarnya tidak memerlukan adanya subsidi atau
senyatanya tidak memerlukan sebuah persyaratan subsidi, dan ekspor dapat berjalan lancar
tanpa adanya subsidi.

Subsidi yang dapat dikenakan tindakan sebagaimana diatur dalam Bagian III
Perjanjian SCM adalah subsidi yang penerapannya tidak dilarang tetapi harus memenuhi
persyaratan tertentu. Syarat yang dimaksud adalah subsidi yang diberikan tidak menimbulkan
dampak negatif dan diduga merugikan negara lain. Pasal 4 menjelaskan apa yang dimaksud
dengan dan apakah tidak menimbulkan kerugian atau kerugian terhadap industri dalam negeri
anggota lainnya. Tidak mengakibatkan penghapusan manfaat yang diperoleh secara langsung
atau tidak langsung kepada Anggota lain dan merugikan kepentingan anggota lain yang diatur
dalam Bagian IV ASCM, adalah hibah yang berdasarkan perkembangannya, subsidi
perikanan pada awalnya akan diatur dalam Perjanjian WTO yang menetapkan mandat untuk
merundingkan peraturan yang akan mengatur subsidi perikanan di bawah Putaran Doha 2001.
Mandat tersebut kemudian dikembangkan pada tahun 2005, memerintahkan larangan subsidi
tertentu yang berkontribusi pada kelebihan kapasitas. dan penangkapan ikan yang berlebihan,
yang sejauh ini dianggap berdampak negatif pada stok ikan global, meningkatkan
transparansi dan memasukkan aturan tentang perlakuan khusus dan berbeda yang tepat dan
efektif untuk anggota negara berkembang dan LDCs.

Pada Pasal 1 Chair’s Draft memuat subsidi yang dilarang yaitu :

1. Subsidi yang mengarah pada keuntungan konstruksi, perbaikan, pembaruan, renovasi,


modernisasi, atau modifikasi bagi kapal penangkap, termasuk subsidi untuk
pembangunan fasilitas.
2. Subsidi yang diberikan untuk transfer kapal atau kapal pengangkut ke negara ketiga
termasuk melalui penciptaan perusahaan patungan dengan mitra negara ketiga.
3. Subsidi terkait pada biaya operasi dari kapal penangkap ikan (termasuk biaya lisensi,
bahan bakar, es, umpan, personel, biaya sosial, asuransi, peralatan, dan dukungan di
laut) atau pendaratan atau aktivitas pemrosesan di dalam atau di dekat pelabuhan
untuk produkproduk perikanan tangkapan laut; atau subsidi untuk menutupi kerugian
operasi dari kapal atau kegiatan tersebut.
4. Subsidi yang berhubungan dengan, atau dalam bentuk infrastruktur pelabuhan atau
fasilitas pelabuhan fisik lainnya secara eksklusif atau terutama untuk kegiatan yang
berkaitan dengan penangkapan ikan (misalnya, fasilitas pendaratan ikan, fasilitas
penyimpanan ikan dalam atau di dekat fasilitas pengolahan ikan pelabuhan).
5. Subsidi pendapatan bagi orang atau badan hukum yang terlibat dalam kegiatan
penangkapan ikan (income support for natural or legal persons engaged in marine
wild capture fishing).
6. Subsidi dukungan harga untuk produk perikanan tangkap laut.
7. Subsidi yang timbul dari transfer lebih lanjut, oleh pemerintah Anggota pembayar,
tentang hak akses yang diperolehnya dari pemerintah Anggota lain untuk perikanan di
dalam yurisdiksi Anggota lain tersebut.
8. Subsidi manfaat yang diberikan pada kapal yang melakukan IUU Fishing.

Pembahasan Chair’s draft masih terus dilakukan hingga 2020. Ditujukan untuk
menyempurnakan pasal-pasalnya karena draft ini hanya mengatur sektor perikanan tangkap
dilaut, sedangkan perikanan tangkap di perairan darat dan budidaya tidak dimasukan. Dari
pembahasan diatas seharusnya kebijakan Indonesia untuk menerapakan subsidi dibidang
perikanan sekiranya akan mendapatkan perlakuan khusus, namun harus dipastikan apakah
subsidi tersebut tidak merusak sistem perikanan berkelanjutan seperti yang dipersyaratkan.

Relevansi Subsidi Perikanan dan Sustainable Development

Sejak implementasinya, negosiasi subsidi perikanan WTO telah berfokus pada


keberlanjutan karena aturan subsidi WTO yang ada telah menyelesaikan distorsi, potensi
perdagangan yang disebabkan oleh subsidi. Program SDGs Perserikatan Bangsa-Bangsa
dalam Tujuan 14 menekankan perlunya konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan sumber
daya kelautan, kelautan, dan maritim untuk pembangunan berkelanjutan. IUU. SDG Goal
14.6 menyatakan bahwa pada tahun 2020, bentuk-bentuk subsidi perikanan tertentu yang
mengarah pada penangkapan ikan yang berlebihan dan penangkapan ikan yang berlebihan
dilarang. Ini harus menghilangkan subsidi yang berkontribusi pada penangkapan ikan ilegal,
tidak dilaporkan dan tidak diatur dan tidak memperkenalkan subsidi baru, mengakui bahwa
perlakuan khusus dan efektif konsisten dengan negara berkembang dan kurang berkembang
harus menjadi bagian integral dari negosiasi subsidi perikanan WTO. Studi Perikanan WTO
Dunia.

Selama ini, subsidi perikanan dinilai berdampak pada tiga aspek, yakni perdagangan,
lingkungan, dan pembangunan berkelanjutan. Terhadap lingkungan, dampak dapat
mempengaruhi dua hal, yaitu dampak terhadap perikanan, dari segala bentuk subsidi yang
ditawarkan, meskipun subsidi perikanan dirancang dengan baik dapat berkontribusi pada
perikanan yang berkelanjutan, namun sebagian besar subsidi masih berpotensi merugikan
stok ikan. terutama jika tidak dikelola secara efektif. Misalnya, subsidi berkontribusi
langsung pada kelebihan kapasitas dan penangkapan ikan yang berlebihan, seperti subsidi
untuk modal atau biaya operasional. Selain itu, berdampak pada ekosistem dan
keanekaragaman hayati, dan penangkapan ikan yang berlebihan karena subsidi perikanan
berdampak pada hubungan ekologis. Pengurangan jumlah spesies dapat mengubah
keseimbangan ekosistem dan mungkin mempengaruhi ketersediaan spesies tersebut. Selain
itu, subsidi perikanan seperti penggunaan alat tangkap juga dapat merugikan habitat dasar
laut. Selain berdampak pada perdagangan dan lingkungan, subsidi perikanan juga diharapkan
dapat mempengaruhi pembangunan berkelanjutan. Ada tiga hal penting ketika membahas
pembangunan berkelanjutan, yaitu: kelestarian lingkungan, keberlanjutan sosial politik dan
keberlanjutan ekonomi. Subsidi yang ditujukan untuk meningkatkan hasil tangkapan juga
dapat meningkatkan tingkat tangkapan untuk spesies yang tidak diinginkan.

Indonesia harus berbasis pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu perlu lebih
diperhatikan kegiatan-kegiatan yang lebih terencana yang dapat meningkatkan kemakmuran
dan kesejahteraan masyarakat dengan mengutamakan kelestarian fungsi lingkungan hidup
untuk masa kini dan masa yang akan datang. Dengan demikian, Indonesia jelas telah
menjadikan pembangunan berkelanjutan sebagai landasan sistem ekonomi nasionalnya. Salah
satunya dalam industri perikanan yang dikenal dengan adanya perikanan berkelanjutan.
Marine Stewardship Council mendefinisikan perikanan berkelanjutan sebagai cara yang
berbeda untuk menghasilkan ikan, sehingga dapat berlanjut pada tingkat yang wajar dengan
memperhatikan kesehatan ekologi, meminimalkan efek buruk yang dapat mengganggu
perikanan, keanekaragaman, struktur dan fungsi ekosistem, dan dikelola dan dijalankan
secara adil dan merata. tanggung jawab. Dan konsisten dengan hukum dan peraturan lokal,
nasional dan internasional dengan tujuan memenuhi dan mempertahankan kebutuhan
generasi sekarang dan mendatang.
Analisis Penerapan Kebijakan Subsidi Perikanan Indonesia Berdasarkan Pengaturan
Subsidi Perikanan WTO

Indonesia yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia dan terbagi menjadi 11
wilayah pengelolaan perikanan, seharusnya mendapatkan keuntungan dari sektor ekonomi
industri perikanan, namun sayangnya nelayan Indonesia belum mencapai tingkat ekonomi
menengah. Strategi kebijakan tersebut memiliki visi terselenggaranya sektor kelautan dan
perikanan Indonesia yang mandiri, maju, kuat, dan berlandaskan kepentingan nasional
berdasarkan tiga pilar kedaulatan, keberlanjutan, dan kemakmuran. Melalui tiga regulasinya,
Indonesia berupaya melegitimasi subsidi pemerintah dan bantuan perikanan untuk
mendorong pemanfaatan yang maksimal ini. Pertama, kelayakan tindakan hibah didasarkan
pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang kemudian ketiga tindakan tersebut
melalui Permen KP No. 60 Tahun 2017 tentang Pedoman Umum Penyaluran Bantuan
Pemerintah kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Semua program subsidi ini tidak merugikan perdagangan internasional, karena hanya
mendukung kesejahteraan nelayan skala kecil. Pengumuman yang dijelaskan Indonesia cukup
jelas dan kemungkinan dampak dari penerapan subsidi. Mesin ice flake kapasitas 5 -10 ton.
Pengembangan pasar ikan modern. Selain itu, itu berarti sistem rantai pendingin; Truk
berpendingin. Sementara itu, hanya bantuan untuk penelitian kelautan dan perikanan dan
program sumber daya manusia yang tidak termasuk dalam subsidi, yang dilarang dalam draft
teks konsolidasi perjanjian Biro Adad SCM. Penerapan subsidi perikanan Indonesia tidaklah
dilarang berdasarkan ASCM dan Draft Consolidate Chair Texts of the Adand SCM
Agreements. Karena dua Pengaturan tersebut juga mengatur special and differential
treatment for developing countries untuk negara berkembang ketentuan dalam Pasal 1 tidak
berlaku bagi negara berkembang dan LDCs dengan didasarkan beberapa ketentuan.

1. Kegiatan dilakukan harus atas nama para pekerja ikan, atas dasar individu yang dapat
mencakup anggota keluarga, atau diorganisasikan dalam asosiasi; (2) hasil tangkapan
dikonsumsi dan diperdagangkan dengan jumlah keuntungan kecil oleh para pekerja
ikan dan keluarga mereka; dan (3) tidak ada hubungan antara pimpinan dan pekerja
utama dalam kegiatan yang dilakukan. Harus memastikan adanya langkah-langkah
pengelolaan perikanan yang bertujuan untuk memastikan perikanan berkelanjutan.
2. Sedangkan subsidi untuk modernisasi dan biaya operasi kegiataan penangkapan ikan
tidak dilarang asalkan digunakan secara eksklusif untuk penangkapan ikan di laut
dengan menggunakan kapal-kapal geladak yang panjangnya tidak lebih dari 10 meter,
atau perahuperahu penangkap berbagai ukuran panjang. Kegiataan tersebut dapat
dilakukan di ZEE mereka dan tentu saja tidak boleh melebihi kapasitas yang telah
ditentukan dalam FAO.

Dari penjelasan ini dapatlah ditemukan jawaban bahwa kebijakan subsidi perikanan di
Indonesia dapat dibenarkan dalam perdagangan Internasional. Karena pada prinsipnya subsidi
tetap diperbolehkan dalam komoditas primer sebagai bentuk dukungan untuk
mengembangkan hasil dari komoditi seperti perikanan, kehutanan, dan pertanian.

III. Kesimpulan

Penerapan subsidi perikanan di Indonesia tentunya tidak melanggar ketentuan


perdagangan internasional , karena Indonesia yang selama ini menyatakan diri sebagai negara
berkembang mengakibatkan penerapan ketentuan S&DT terus berlanjut. Selain itu, ada
jaminan bahwa implementasi kebijakan telah sejalan dengan manajemen distribusi yang
efektif, meskipun masih ada beberapa kendala, Indonesia tentu akan terus berbenah. Secara
khusus, kebijakan untuk memastikan pemberian subsidi perikanan tidak bertentangan dengan
perikanan berkelanjutan dan tujuan Indonesia sebagai poros maritim dunia dapat tercapai.
Subsidi perikanan bukanlah penyebab utama menipisnya stok ikan dunia.

Anda mungkin juga menyukai