Disusun Oleh :
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2021
I. Pendahuluan
Konsumsi makanan laut, terutama ikan, meningkat seperti jamur di seluruh dunia.
Banyak negara seperti Jepang, Thailand, Malaysia, dan Indonesia dikenal sebagai surganya
pecinta seafood. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat,
pemerintah di masing-masing negara akan terus melakukan inovasi baik kebijakan maupun
teknologi agar industri perikanan tetap hidup di negaranya. Sektor perikanan dianggap
sebagai salah satu sektor yang memberikan kontribusi besar bagi pendapatan negara, serta
produk pertanian lainnya. Dapat dikatakan konsumsi ikan cukup tinggi di berbagai negara
seperti Thailand, dimana konsumsi seafood per kapita per tahun sekitar 29,17 Kg pada tahun
2017. Sedangkan Indonesia sekitar 44,67 Kg hingga yang tertinggi dipegang oleh Malaysia
sekitar 57,62 Kg di tahun 2017. Sementara itu, negara yang tidak memiliki pantai (Landlock
State) untuk memenuhi konsumsi makanan lautnya juga akan mengikuti konsumsi ikan.
Salah satu hal yang bisa dilakukan yakni mengimpor dari negara lain, penangkapan ikan tidak
hanya untuk konsumsi dalam negeri, tetapi juga untuk perdagangan. Negara-negara yang
melihat peluang karena tingginya permintaan hasil perikanan tentunya akan menempuh
berbagai cara untuk meningkatkan produksinya agar dapat dijual ke negara lain dan
memperoleh keuntungan. Tentu melihat peluang karena tingginya permintaan produk
seafood, negara-negara akan melakukan berbagai cara untuk meningkatkan produksi agar
bisa menjualnya ke negara lain dan mendapat untung. Hadirnya GATT/WTO yang
merupakan fase Internasionalisme di mana semua peraturan terkait perdagangan tidak lagi
berdasarkan hukum nasional masing-masing tetapi pada aturan hukum internasional yang
harus diikuti oleh negara.
Masalah sering muncul karena bahkan perusahaan perikanan skala besar terus
menerima subsidi, terutama untuk sektor energi seperti bahan bakar, karena subsidi
penangkapan ikan dianggap kurang tepat sasaran oleh sebagian nelayan. Inilah penyebab
penangkapan ikan yang berlebihan. Dapat dikatakan bahwa penangkapan ikan yang
berlebihan memiliki efek domino yang pada akhirnya akan menghancurkan perekonomian
negara dan menggoyahkan ekosistem laut. Pada tahun 1990, negara-negara di dunia berjuang
untuk mengakhiri subsidi perikanan, dan mereka ditempatkan dalam agenda debat
internasional sebagai tanggapan atas penelitian yang dilakukan oleh Food and Agriculture
Organization, United Environment Programme, Unilever and Conservation International,
dan Bank Dunia. Studi telah menyimpulkan bahwa ada korelasi kuat antara subsidi dan
pengurangan stok ikan dunia.
II. Pembahasan
Subsidi pada dasarnya diatur dalam GATT 1947 dan secara umum dianggap sebagai
efek yang baik, sebagai mekanisme di mana kebijakan pemerintah mengenai bantuan
pemerintah dapat dilaksanakan. Namun, di era sekarang, pandangan negara tentang subsidi
telah berubah karena pertanyaan tentang efektivitas dan pengendaliannya. Selain itu, ada
keraguan tentang peran pemerintah dalam masyarakat dan ekonomi, serta tentang sifat relatif
perlindungan lingkungan dan pembangunan ekonomi, sehingga subsidi di banyak bidang
ekonomi sering dipandang sebagai hal yang buruk, terutama di sektor perikanan. Kemudian,
dalam rezim WTO, pemberian subsidi diatur dalam Pasal XVI Perjanjian Perdagangan
Dunia. Disusun dan diatur lebih lanjut dalam Agreement on Subsidis and Countervailing
Measures, serta Rancangan Presiden AD dan Subsidi dan Tindakan Countervailing, yang
sampai saat ini telah diterima secara luas oleh negara-negara berkembang, termasuk
perjuangan Indonesia.
Pasal-pasal ini diatur lebih lanjut dalam Perjanjian Hibah dan langkah-langkah
kompensasi. Pasal 1 Perjanjian SCM memberikan definisi hibah, yaitu adanya kontribusi
keuangan oleh pemerintah atau instansi pemerintah, baik dalam bentuk transfer dana secara
langsung, seperti hibah, pinjaman dan penyertaan, atau potensi transfer dana. dana. atau
kewajiban langsung. Pendapatan pemerintah yang tidak dipungut dari penyediaan barang atau
jasa selain infrastruktur publik atau dari pembelian barang oleh pemerintah, serta dari
mekanisme pendanaan badan-badan swasta yang ditunjuk oleh pemerintah untuk
melaksanakan satu atau lebih fungsi pemerintahan. Subsidi juga dianggap ada jika ada suatu
bentuk pendapatan atau bantuan harga sebagaimana dimaksud dalam Pasal XVI GATT 1994,
dan semua kondisi tersebut harus memberikan keuntungan. Jika dilihat dalam ASCM
Agreement membagi “Specificity” menjadi empat jenis, yaitu :
ASCM membagi subsidi kedalam 3 (ketiga) kategori utama, yaitu: Subsidi yang
dilarang (prohibited subsidies) sebagaimana diatur dalam bagian II ASCM, merupakan
subsidi yang diberikan oleh pemerintah yang terdiri dari subsidi produk ekspor dan produk
substitusi impor. Ada dua tipe subsidi ekspor, subsidi ekspor de jure subsidi yang secara
nyata tercantum dalam sebuah peraturan perundang-undangan sebuah pemerintahan artinya
subsidi ini memang dilegitimasi untuk diterapkan terhadap kegiatan eksport tersebut. Tipe
yang kedua, subsidi ekspor de facto tipe ini cukup sulit untuk dibuktikan apakah memang ada
pemberian subsidi atau tidak karena subsidi yang diberikan tidak didasarkan aturan
perundang-undangan. Sehingga bisa saja sebenarnya tidak memerlukan adanya subsidi atau
senyatanya tidak memerlukan sebuah persyaratan subsidi, dan ekspor dapat berjalan lancar
tanpa adanya subsidi.
Subsidi yang dapat dikenakan tindakan sebagaimana diatur dalam Bagian III
Perjanjian SCM adalah subsidi yang penerapannya tidak dilarang tetapi harus memenuhi
persyaratan tertentu. Syarat yang dimaksud adalah subsidi yang diberikan tidak menimbulkan
dampak negatif dan diduga merugikan negara lain. Pasal 4 menjelaskan apa yang dimaksud
dengan dan apakah tidak menimbulkan kerugian atau kerugian terhadap industri dalam negeri
anggota lainnya. Tidak mengakibatkan penghapusan manfaat yang diperoleh secara langsung
atau tidak langsung kepada Anggota lain dan merugikan kepentingan anggota lain yang diatur
dalam Bagian IV ASCM, adalah hibah yang berdasarkan perkembangannya, subsidi
perikanan pada awalnya akan diatur dalam Perjanjian WTO yang menetapkan mandat untuk
merundingkan peraturan yang akan mengatur subsidi perikanan di bawah Putaran Doha 2001.
Mandat tersebut kemudian dikembangkan pada tahun 2005, memerintahkan larangan subsidi
tertentu yang berkontribusi pada kelebihan kapasitas. dan penangkapan ikan yang berlebihan,
yang sejauh ini dianggap berdampak negatif pada stok ikan global, meningkatkan
transparansi dan memasukkan aturan tentang perlakuan khusus dan berbeda yang tepat dan
efektif untuk anggota negara berkembang dan LDCs.
Pembahasan Chair’s draft masih terus dilakukan hingga 2020. Ditujukan untuk
menyempurnakan pasal-pasalnya karena draft ini hanya mengatur sektor perikanan tangkap
dilaut, sedangkan perikanan tangkap di perairan darat dan budidaya tidak dimasukan. Dari
pembahasan diatas seharusnya kebijakan Indonesia untuk menerapakan subsidi dibidang
perikanan sekiranya akan mendapatkan perlakuan khusus, namun harus dipastikan apakah
subsidi tersebut tidak merusak sistem perikanan berkelanjutan seperti yang dipersyaratkan.
Selama ini, subsidi perikanan dinilai berdampak pada tiga aspek, yakni perdagangan,
lingkungan, dan pembangunan berkelanjutan. Terhadap lingkungan, dampak dapat
mempengaruhi dua hal, yaitu dampak terhadap perikanan, dari segala bentuk subsidi yang
ditawarkan, meskipun subsidi perikanan dirancang dengan baik dapat berkontribusi pada
perikanan yang berkelanjutan, namun sebagian besar subsidi masih berpotensi merugikan
stok ikan. terutama jika tidak dikelola secara efektif. Misalnya, subsidi berkontribusi
langsung pada kelebihan kapasitas dan penangkapan ikan yang berlebihan, seperti subsidi
untuk modal atau biaya operasional. Selain itu, berdampak pada ekosistem dan
keanekaragaman hayati, dan penangkapan ikan yang berlebihan karena subsidi perikanan
berdampak pada hubungan ekologis. Pengurangan jumlah spesies dapat mengubah
keseimbangan ekosistem dan mungkin mempengaruhi ketersediaan spesies tersebut. Selain
itu, subsidi perikanan seperti penggunaan alat tangkap juga dapat merugikan habitat dasar
laut. Selain berdampak pada perdagangan dan lingkungan, subsidi perikanan juga diharapkan
dapat mempengaruhi pembangunan berkelanjutan. Ada tiga hal penting ketika membahas
pembangunan berkelanjutan, yaitu: kelestarian lingkungan, keberlanjutan sosial politik dan
keberlanjutan ekonomi. Subsidi yang ditujukan untuk meningkatkan hasil tangkapan juga
dapat meningkatkan tingkat tangkapan untuk spesies yang tidak diinginkan.
Indonesia harus berbasis pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu perlu lebih
diperhatikan kegiatan-kegiatan yang lebih terencana yang dapat meningkatkan kemakmuran
dan kesejahteraan masyarakat dengan mengutamakan kelestarian fungsi lingkungan hidup
untuk masa kini dan masa yang akan datang. Dengan demikian, Indonesia jelas telah
menjadikan pembangunan berkelanjutan sebagai landasan sistem ekonomi nasionalnya. Salah
satunya dalam industri perikanan yang dikenal dengan adanya perikanan berkelanjutan.
Marine Stewardship Council mendefinisikan perikanan berkelanjutan sebagai cara yang
berbeda untuk menghasilkan ikan, sehingga dapat berlanjut pada tingkat yang wajar dengan
memperhatikan kesehatan ekologi, meminimalkan efek buruk yang dapat mengganggu
perikanan, keanekaragaman, struktur dan fungsi ekosistem, dan dikelola dan dijalankan
secara adil dan merata. tanggung jawab. Dan konsisten dengan hukum dan peraturan lokal,
nasional dan internasional dengan tujuan memenuhi dan mempertahankan kebutuhan
generasi sekarang dan mendatang.
Analisis Penerapan Kebijakan Subsidi Perikanan Indonesia Berdasarkan Pengaturan
Subsidi Perikanan WTO
Indonesia yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia dan terbagi menjadi 11
wilayah pengelolaan perikanan, seharusnya mendapatkan keuntungan dari sektor ekonomi
industri perikanan, namun sayangnya nelayan Indonesia belum mencapai tingkat ekonomi
menengah. Strategi kebijakan tersebut memiliki visi terselenggaranya sektor kelautan dan
perikanan Indonesia yang mandiri, maju, kuat, dan berlandaskan kepentingan nasional
berdasarkan tiga pilar kedaulatan, keberlanjutan, dan kemakmuran. Melalui tiga regulasinya,
Indonesia berupaya melegitimasi subsidi pemerintah dan bantuan perikanan untuk
mendorong pemanfaatan yang maksimal ini. Pertama, kelayakan tindakan hibah didasarkan
pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang kemudian ketiga tindakan tersebut
melalui Permen KP No. 60 Tahun 2017 tentang Pedoman Umum Penyaluran Bantuan
Pemerintah kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Semua program subsidi ini tidak merugikan perdagangan internasional, karena hanya
mendukung kesejahteraan nelayan skala kecil. Pengumuman yang dijelaskan Indonesia cukup
jelas dan kemungkinan dampak dari penerapan subsidi. Mesin ice flake kapasitas 5 -10 ton.
Pengembangan pasar ikan modern. Selain itu, itu berarti sistem rantai pendingin; Truk
berpendingin. Sementara itu, hanya bantuan untuk penelitian kelautan dan perikanan dan
program sumber daya manusia yang tidak termasuk dalam subsidi, yang dilarang dalam draft
teks konsolidasi perjanjian Biro Adad SCM. Penerapan subsidi perikanan Indonesia tidaklah
dilarang berdasarkan ASCM dan Draft Consolidate Chair Texts of the Adand SCM
Agreements. Karena dua Pengaturan tersebut juga mengatur special and differential
treatment for developing countries untuk negara berkembang ketentuan dalam Pasal 1 tidak
berlaku bagi negara berkembang dan LDCs dengan didasarkan beberapa ketentuan.
1. Kegiatan dilakukan harus atas nama para pekerja ikan, atas dasar individu yang dapat
mencakup anggota keluarga, atau diorganisasikan dalam asosiasi; (2) hasil tangkapan
dikonsumsi dan diperdagangkan dengan jumlah keuntungan kecil oleh para pekerja
ikan dan keluarga mereka; dan (3) tidak ada hubungan antara pimpinan dan pekerja
utama dalam kegiatan yang dilakukan. Harus memastikan adanya langkah-langkah
pengelolaan perikanan yang bertujuan untuk memastikan perikanan berkelanjutan.
2. Sedangkan subsidi untuk modernisasi dan biaya operasi kegiataan penangkapan ikan
tidak dilarang asalkan digunakan secara eksklusif untuk penangkapan ikan di laut
dengan menggunakan kapal-kapal geladak yang panjangnya tidak lebih dari 10 meter,
atau perahuperahu penangkap berbagai ukuran panjang. Kegiataan tersebut dapat
dilakukan di ZEE mereka dan tentu saja tidak boleh melebihi kapasitas yang telah
ditentukan dalam FAO.
Dari penjelasan ini dapatlah ditemukan jawaban bahwa kebijakan subsidi perikanan di
Indonesia dapat dibenarkan dalam perdagangan Internasional. Karena pada prinsipnya subsidi
tetap diperbolehkan dalam komoditas primer sebagai bentuk dukungan untuk
mengembangkan hasil dari komoditi seperti perikanan, kehutanan, dan pertanian.
III. Kesimpulan