Anda di halaman 1dari 13

Mongabay, situs berita lingkungan

Jalan Trans Papua Hampir Semua Terhubung,


Dampak bagi Orang Papua dan Lingkungan?
oleh Asrida Elisabeth [Jayapura] di 5 October 2020

  Sebagian Jalan Trans Papua, sudah rampung dan antar wilayah pun sudah terhubung,
salah satu Jayapura-Wamena. Jalan trans Papua, telah menghubungkan dua wilayah
itu. Jalan ini membelah perkampungan, hutan belantara termasuk kawasan konservasi.
  Data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KPUPR) menyebutkan,
panjang jalan trans Papua di Papua mencapai 2.902 km. Hingga kini, tinggal sekitar
200-300 kilometer belum tersambung.
  Hasil penelitian The Asia Foundation (TAF) bekerjasama dengan Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan, salah satu kawasan konservasi yang dilalui
jalan trans Papua di pegunungan adalah Taman Nasional Lorentz. Taman nasional ini
memiliki keragaman hayati sangat tinggi. Bahkan, disebut sebagai kawasan dengan
ekosistem terlengkap di Kawasan Asia Pasifik.
  Pembangunan infrastruktur jalan di Tanah Papua, katanya, disarankan tak mengikuti
pendekatan pembangunan infrastruktur konektivitas di seluruh Indonesia, dengan jalan
dan jembatan lebih fokus untuk peningkatan ekonomi dan pergerakan komoditas.
Pembangunan jalan di Papua, harus memperhatikan konteks non-ekonomi seperti relasi
sosial dan lingkungan hidup.

 Kini, ada dua pilihan untuk pergi dari Jayapura ke Wamena. Lewat udara atau menempuh jalan
darat. Hutan lebat, sungai, dan gunung tinggi yang biasa tampak dari pesawat, kini bisa dilalui
dengan mobil atau motor. Jalan trans Papua, telah menghubungkan dua wilayah itu. Jalan ini
membelah perkampungan, hutan belantara termasuk kawasan konservasi.

Wamena adalah ibu kota Kabupaten Jayawijaya. Kota di Lembah Baliem ini sejak lama jadi
pusat aktivitas ekonomi dan pemerintahan di wilayah pegunungan tengah Papua. Letaknya 1.800
meter di atas permukaan laut. Dengan pesawat, Wamena bisa terjangkau dalam 45 menit dari
Bandara Sentani, Kabupaten Jayapura.

Proyek jalan trans Papua membuat wilayah ini akhirnya bisa ditembus dengan jalan darat. Jalan
trans Papua, satu proyek infrastruktur utama Pemerintahan Joko Widodo di Papua dan Papua
Barat. Ia masuk dalam proyek strategis nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KPUPR) menyebutkan, panjang
jalan trans Papua di Papua mencapai 2.902 km. Ini meliputi ruas Jalan Merauke-Tanah Merah-
Waropko (543 km), Waropko-Oksibil (136 km), Dekai-Oksibil (225 km), dan Kenyam-Dekai
(180 km). Lalu, Wamena-Habema-Kenyam-Mamug (295 km), Jayapura-Elelim-Wamena (585
km), Wamena-Mulia-Ilaga-Enarotali (466 km), Wagete-Timika (196 km), dan Enarotali-Wagete-
Nabire (285 km).

Jayapura-Elelim-Wamena adalah ruas jalan trans Papua terpanjang di Papua. Elelim, ibu kota
Kabupaten Yalimo. Sebelumnya sudah ada jalan darat dari Wamena ke Elelim. Menembus jalan
ini, jalur baru dibuka dari Jayapura melalui Senggi, Kabupaten Keerom.

Pada Juni 2018, untuk pertama kali warga gunakan jalan ini. Yoni Walela, mahasiswa di satu
perguruan tinggi di Kota Jayapura pernah lalui jalan ini. Yoni, dari Kampung Wogi di Wamena.
Bersama 31 orang lain, melakukan perjalanan dari Jayapura, sebagian dengan tujuan Elelim.

“Saking semangatnya, ada beberapa teman yang sudah rencana naik (ke Wamena). Saya juga
tergerak hati untuk ikut,” kata Yoni saat ditemui Senin (28/9/20) di Jayapura.

Motor, peralatan bengkel, bahan bakar, makanan, dan obat-obatan jadi teman perjalanan. Guna
meminimalisir kesulitan, satu motor ditumpangi satu orang. Jalan dari Kota Jayapura hingga
Distrik Senggi, Keerom relatif mudah dilalui karena sudah beraspal. Begitu juga sampai di
Distrik Benaho, Kabupaten Yalimo hingga Kota Wamena. Sisanya baru dibuka.

“Karena baru buka dan belum ada kendaraan lewat jadi masih aman dan bagus. Beberapa
jembatan belum jadi, hingga kita harus pikul (angkat) motor, lalu jalan lagi.”

Dua sungai yang waktu itu belum tersambung atau belum ada jembatan adalah Kali Yahuli dan
Kali Kil. Beberapa kendaraan rusak dan harus berhenti untuk diperbaiki. Dari Jayapura perlu tiga
hari sampai di Kota Wamena.

“Dari Benawa masuk ke Elelim itu yang agak susah. Di situ yang rawan kecelakaan. Ada satu
gunung paling tinggi dari antara semua gunung di situ. Mereka bikin jalan dengan kasi botak di
atasnya. Jalan di atas, tidak di samping.”

“Kita harus naik sampai di puncak itu lalu sampai di atas kita harus turun lagi. Turunnya
berkelok-kelok sampai tiba di bawah lalu ke sebelah naik lagi.”

Sepanjang ruas jalan yang baru dibuka sepi dan tidak ada pemukiman warga.

Yoni kembali melakukan perjalanan pada Agustus 2019. Jembatan-jembatan sudah terbangun.
Waktu tempuh ke Wamena jadi dua hari dan sudah bisa dilalui mobil. Sebagian besar mobil
mengangkut barang termasuk bahan bangunan seperti semen.

Mengejar konektivitas

Dalam rencana pembangunan nasional, Papua dan Maluku menjadi satu simpul koridor ekonomi.
Sebagai satu koridor ekonomi, akan ada proyek investasi berbasis sumber daya alam,
pengembangan kawasan khusus, sampai dengan penciptaan pusat-pusat perekonomian baru.
Pembangunan infrastruktur jalan, salah satu cara menghubungkan wilayah-wilayah ini. Adapun
lima kegiatan ekonomi utama di koridor Papua-Maluku adalah pertanian pangan, tembaga, nikel,
migas, dan perikanan.

Jalan trans Papua jadi proyek nasional karena menghubungkan Papua dan Papua Barat. Proyek
yang direncanakan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dikerjakan KPUPR
melalui Balai Jalan Nasional.

“Jalan trans Jayapura Wamena itu nanti dari Wamena lanjut lagi ke Lani Jaya, ada yang langsung
ke Tolikara, Puncak, Puncak Jaya, Paniai, Nabire, sampai ke Papua Barat,” kata Yan Ukago,
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Yalimo, akhir
September lalu.

Proyek ini, katanya, ditangani pemerintah pusat dan dikerjakan Balai Jalan Nasional. “Kebetulan
melewati Kabupaten Yalimo,” katanya.

Yan menyebutkan, konektivitas antar wilayah jadi target proyek jalan trans Papua. Target saat
ini, katanya, jalan sudah bisa dilalui meski belum semua bagus. Peningkatan jalan, sampai semua
beraspal memerlukan waktu lama dan dana besar.

Pembangunan jalan melaui tiga tahap. Pertama, tahap pembangunan atau pembongkaran hutan
sampai terbentuk badan jalan. Kedua, peningkatan badan jalan, jalan labil dipadatkan dengan
material. Ketiga, peningkatan dengan pengaspalan.

“Dari sifatnya tidak bisa kerja sekaligus. Harus bertahap. Itu tergantung anggaran. Satu kilometer
itu bisa mencapai Rp12 milliar. Kalau pembangunan bisa Rp3-Rp4 milliar. Peningkatan bisa
sampai Rp5-Rp6 milliar. Terus aspal juga sama. Jadi, kira-kira bisa mencapai Rp12 miliar
persatu kilometer.”

Dalam pengerjaan proyek jalan trans Papua, pemerintah kabupaten bertanggungjawab mengurus
soal lahan terutama pelepasan lahan yang melewati kebun atau pemukiman warga.

“Tidak semua tempat ada pelepasan. Kalau melewati lahan kebun, lahan pinang atau dulu pernah
berkebun itu memang mereka menuntut pelepasan. Itu biasa nego. Intinya walaupun ada pro
kontra, ada pemalangan tetapi pembangunan bisa berjalan karena sesungguhnya masyarakat
sadar, jalan ini penting untuk masyarakat demi kemajuan daerah.”

Lewati kawasan konservasi

Di Kabupaten Yalimo, panjang ruas jalan trans Papua mencapai 380 km. Yan mengatakan,
sekitar 100 km melewati Suaka Marga Satwa Membrambo Foja.

“Dari Benawa, Jembatan Yahuli sampai Elelim itu masuk kawasan lindung. Tetapi status
kawasan bisa diubah dengan izin Menteri Kehutanan (Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan). Jadi, jalan sudah terbangun, artinya proses sudah dilalui.”
Meskipun demikian, katanya, walau status hukum kawasan sudah berubah, tak akan
menghentikan dampak lingkungan yang akan timbul.

Yan menyakini akan ada pemukiman baru di ruas Jalan Trans Papua yang saat ini masih sepi.

“Ketika jalan dibuka agak jauh ke sana di hutan sana, mereka (masyarakat) juga akan pindah ke
sana karena itu juga wilayah mereka. Mereka akan bermukim di sepanjang jalan.”

Dengan begitu, katanya, otomatis, daerah yang awalnya hutan belantara karena ada jalan, akan
jadi pemukiman, berkebun maupun peruntukan lain. “Dari segi ekologi atau lingkungan itu
berpengaruh.”

Belum diketahui keseluruhan kawasan konservasi yang dilalui jalan trans Papua. Hasil penelitian
The Asia Foundation (TAF) bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
menyebutkan, salah satu kawasan konservasi yang dilalui jalan trans Papua di pegunungan
adalah Taman Nasional Lorentz. Taman nasional ini memiliki keragaman hayati sangat tinggi.
Bahkan, disebut sebagai kawasan dengan ekosistem terlengkap di Kawasan Asia Pasifik.

Pada 1999, Unesco menetapkan kawasan itu sebagai situs warisan dunia. Taman Nasional
Lorentz merupakan kawasan konservasi terluas di Asia Tenggara, dengan luas sekitar 2,35 juta
hektar. Jalan trans Papua Habema-Nduga-Kenyam, melewati kawasan ini.

Kalau merujuk Undang-undang Nomor 5.1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya, tak boleh ada jalan. Pembangunan jalan ini juga lewat Keputusan Menteri
Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK.782/Menhut-II/2012.

Permen ini mengatur tentang perubahan atas Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan
Nomor 891/KPTS-II/1999 tentang penunjukan kawasan hutan di wilayah Irian Jaya seluas 42.
224.840 hektar. Pertumbuhan ekonomi jadi alasan perubahan fungsi kawasan ini.

“Kalau kita bayangkan di masa akan datang kalau jalur ini sudah sangat bagus, kemudian
konektivitas meningkat dan trip banyak di situ, bisa jadi punya potensi mengganggu keragaman
hayati di Taman Nasional Lorentz,” kata Yulia Indri Sari, koordinator tim peneliti saat
diwawancarai Selasa (29/9/20).

Dari catatan Unesco, di kawasan itu ada tanaman sangat penting dan langka, hutan notofhagus
dengan status terancam (endangered).

Tim mengutip laporan Unesco 2014 dan 2015 serta laporan KLHK. Disebutkan, pembangunan
jalan di jalur ini menyalahi prosedur. Tidak ada dokumen resmi analisis mengenai dampak
lingkungan (amdal) dan berita acara penebangan pohon untuk pembukaan jalan.

Jalan untuk komunitas bukan komoditas

Pemerintah berambisi menghubungkan Merauke hingga Sorong lewat pembangunan jalan trans
Papua. TAF dan LIPI justru menyarankan, pemerintah lebih banyak membangun jalan-jalan
antar kampung dan pusat-pusat layanan kesehatan, pendidikan, ekonomi di distrik dan kabupaten
di Papua.

Jalan-jalan ini yang lebih diperlukan terutama Orang Asli Papua (OAP), yang sebagian besar
skala ekonomi penghidupannya belum membutuhkan pasar di luar kabupaten di mana mereka
tinggal.

Pembangunan infrastruktur jalan di Tanah Papua, katanya, disarankan tak mengikuti pendekatan
pembangunan infrastruktur konektivitas di seluruh Indonesia, dengan jalan dan jembatan lebih
fokus untuk peningkatan ekonomi dan pergerakan komoditas. Pembangunan jalan di Papua,
harus memperhatikan konteks non-ekonomi seperti relasi sosial dan lingkungan hidup.

“Pesan utama kami itu tadi, jalan itu penting, tetapi yang berorientasi untuk komunitas Orang
Asli Papua, bukan semata-mata pertumbuhan ekonomi,” kata Yulia.

Penelitian TAF dan LIPI pada Januari sampai Juni 2018. Mereka ingin melihat dampak
pembangunan jalan trans Papua terhadap penghidupan OAP dan lingkungan hidup. Penelitian ini
secara khusus melihat pembangunan jalan trans Papua pada era Jokowi. Jalur yang diamati
antara lain jalur Jayapura-Waris-Senggi, Wamena-Elelim, Wamena- Habema, Sorong-Mega-
Sausapor, Sorong-Batu Payung, Manokwari-Kebar, Manokwari-Ransiki- Bintuni, dan
Manokwari-Pegunungan Arfak-Ransiki.

Tim peneliti mengunjungi jalur-jalur itu, mengamati, mewawancarai warga, pengguna jalan,
penyedia layanan dasar, dan pemerintah.

Dalam penelitian ini menunjukkan, pembanguan jalan trans Papua era Jokowi memang cepat
mendorong perbaikan jalan. Ada kegiatan pelebaran, pengaspalan, pengerasan hingga
pembukaan jalan baru.

Pembangunan jalan berdampak positif pada peningkatan layanan dasar kesehatan dan pendidikan
orang asli Papua. Warga lebih mudah mengakses sekolah-sekolah di wilayah perkotaan. Petugas
kesehatan juga jadi lebih sering berada di tempat karena angkutan ke tempat tugas lebih lancar
dan mudah terjangkau dari wilayah tempat tinggal mereka.

Namun, sebut penelitian itu, pembangunan jalan trans Papua ini tidak berdampak signifikan pada
pertumbuhan ekonomi orang asli Papua.

Barang-barang dari luar menjadi lebih mudah masuk. Sebaliknya, tidak ada komoditas hasil
usaha masyarakat ke luar. Kondisi ini karena hasil pertanian masyarakat biasa skala kecil dan
dijual di pasar-pasar di pusat kabupaten atau distrik.

“Yang terjadi konektivitas yang meningkat karena perbaikan jalan pada masa Jokowi itu lebih
bisa dimanfaatkan oleh pendatang karena keahlian dan networking mereka lebih cocok dengan
perdagangan,” katanya.
Peneliti juga menyoroti dampak terhadap relasi sosial. Satu sisi, pembangunan jalan trans Papua
meningkatkan intensitas perjumpaan antar warga, sisi lain berpotensi meningkatkan ketegangan.

Ketegangan terutama terjadi antara orang asli Papua dengan warga pendatang. Ada kekhawatiran
pembukaan jalan trans Papua akan memudahkan orang-orang masuk dan menguasai sumber-
sumber penghidupan.

Pasca jalan terbuka, kerusakan lingkungan mulai terjadi. Selain melewati kawasan konservasi,
masalah sampah dan peningkatan aktivitas penebangan hutan cukup signifikan di beberapa
tempat. Masyarakat dipakai oleh para cukong untuk menebang dan menjual kayu-kayu.
Pemekaran kampung-kampung baru dan program dana desa juga ikut berpengaruh pada
peningkatan permintaan kayu untuk pembangunan rumah.

Hasil penelitian beserta rekomendasi, katanya, sudah disampaikan ke pemerintah seperti


Bappenas, Kantor Sekretariat Presiden, KPUPR, Pemerintah Papua dan Papua Barat awal 2019.

Hadi Sucahyono, Kepala Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW) mengatakan,


komitmen KPUPR terhadap Papua sangat tinggi. Terbukti kucuran anggaran naik dari 2016
sampai 2019. Pada 2019, anggaran sampai Rp 6 triliun Papua dan Papua Barat lebih Rp3 triliun.

“Angka tinggi ini menunjukkan komitmen kita untuk membangun Papua. Namun kita harus
introspeksi diri, seberapa jauh manfatnya untuk masyarakat. KPUPR konsern juga tentang hal
itu,” katanya, dalam rapat koordinasi awal Agustus lalu dikutip dari laman KPUPR.

Beberapa proyek infrastruktur sudah berjalan, seperti pembangunan Jalan Trans Papua yang
menyambungkan barat ke timur dan utara ke selatan. Hingga kini, katanya, tinggal sedikit belum
tersambung, sekitar 200-300 kilometer dari total 3.000-an kilometer.

Proyek lain, katanya, pembangunan Jembatan Holtekamp dan Pos Lintas Batas Negara atau
PLBN, salah satu di Skouw di Jayapura Papua.

(https://www.mongabay.co.id/2020/10/05/jalan-trans-papua-hampir-semua-terhubung-dampak-
bagi-orang-papua-dan-lingkungan/)

Trans Papua Dibangun untuk Siapa?


Masyarakat atau Investor
Selasa, 10 Maret 2020 - 13:24 | 72.61k

Editor: Wahyu Nurdiyanto

TIMESINDONESIA, MALANG – Pembangunan infrastruktur diera kepemimpinan Presiden


Joko Widodo sangat pesat, yang menjadi perhatian dari pembangunan infrastrutur ini adalah
jalan, baik jalan tol maupun pembangunan jalan baru yaitu Trans Papua. Papua mempunyai
perhatian khusus dari pemerintah, karena pembangunan di tanah Papua sangat tertinggal dan
tidak diperhatikan sebelumnya dari pemerintah pusat

Pemerintah dalam membangun infrastruktur tentu memiliki tujuan tertentu, baik untuk
masyarakat maupun untuk kepentingan lainnya. Tidak banyak yang menuai pro dan kontra dari
pembangunan Trans Papua itu sendiri, terutama dari masyarakat di sana. Ada menganggap
pembangunan ini tidak memihak kepada masyarakat, ada juga yang menganggap bahwa dengan
pembangunan ini dapat meningkatkan perekonomian masyarakat, karena adanya akses yang
memadai dengan adanya jalan baru.

Pembangunan Trans Papua mendapatkan biaya dairi APBN Negara, pemerintah mengalokasikan
anggaran besar dari APBN untuk pembangunannya. Tidak hanya APBN saja yang menjadi
sumber anggarannya, namun pemerintah bekerjasama juga dengan invertor untuk membantu
pemerintah dalam melancarkan pembagunannya, karena pemerintah tidak mampu untuk
menganggarkan pembanguannya sampai selesai dengan APBN, karena biayanya yang begitu
besar. Dengan bergabungnya invertor ini dalam pembangunannya tidak menutup kemungkinan
investor harus mendapatkan keuntungannya. Menurut saya, pemerintah dalam membangun Trans
Papua ini tentu ada tujuan tertentu yang tak kasap mata oleh masyarakat, diluar keuntungan
Negara dan masyarakat.

Investor Ikut Campur Dalam Pembangunan

Anggaran yang sangat besar dalam pembangunanya, pemerintah tidak mampu untuk
menyelesaikan pembangunan jalan itu, dikarenakan besarnya anggaran dan APBN pun tidak
mampu membiayainya, pemerintah (Kementrian PU) membuka jalan untuk investor sebagai
pemberi modal untuk pembangunannya dan memelihara jalan apabila nantinya ada kerusakan,
tentu sesuai jangka waktu yang telah disepakati.

Menurut saya, dengan bergabungnya investor tidak menutup kemungkinan yang akan menguasai
Trans Papua adalah investor, kenapa itu bisa terjadi, karena mereka menaggap bahwa mereka
juga ikut terlibat langsung dalam pembangunannya, sehingga mereka dengan leluasa
menggunakan jalan untuk melancarkan bisnisnya disana. Dan tidak menutup kemungkinan juga
akan membangun perusahaan-perusahaan besar disana, seperti yang kita ketahui bersama, kalau
tanah papua adalah tanah yang kaya akan sumber daya alamnya (SDA). Kemungkianan
selanjutnya adalah perusahaan-perusahaan itu akan mengeksploitasi SDA yang ada disana.
Menurut saya, dengan bergabungnya investor ini, membuka peluang bagi investor untuk
menguasai perekonomian di Papua, karena merekalah yang memiliki modal, siapa yang memiliki
modal dialah yang berkuasa.

Apakah Pembangunan Untuk Masyarakat?

Pembangunan Trans Papua, tentu tidak berjalan dengan mulus, masih banyaknya masyarakat
yang kontra dengan adanya pembangunan ini. Masyarakat menganggap bahwa pembangunan ini
tidak sesuai dengan keinginan masyarakat di sana. Masyarakat Papua yang masih bergantung
dengan alam dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya, menilai adanya pembangunan ini
membuat banyak hutan-hutan yang dirusak untuk pembukaan jalan.
Perusakan hutan ini lah yang menurut saya yang menjadi permasalah besar dimasyarakat.
Masyarakat tidak terima kalau hutan-hutannya dirusak demi kepentingan yang tidak memihak
kepada mereka. Tentu masih banyak hutan-hutan disana yang menjadi hutan adat masyarakat
disana, apabila pemerintah merusak hutan itu pasti melukai hati nurani masyarakat, karena
banyak masyarakat yang masih bergantung dengan hutan (alam).

Banyaknya konflik yang terjadi selama pembangunan itu berlangsung, seperti konflik dengan
ormas-ormas dan banyak masyarakat ataupun pekerja yang meninggal tanpa keterangan yang
jelas dari pemerintah. Menurut saya, itulah tindakan yang menggambarkan bahwasannya
masyarakat tidak terima kalau ada pembangunan Trans Papua, karena mereka menganggap
bahwa penguasa sajalah yang dapat menikmati fasilitas yang diberikan oleh Negara. Banyaknya
masyarakat yang mengungsi dari daerahnya ke daerah lain, karena mereka terganggung dengan
tindakan-tindakan dari pemerintah, mereka merasa terancam karena banyaknya konflik yang
terjadi. Dan menurut saya pembangunan ini tidak terfokus untuk kesejahteraan masyarakat dalam
hal pemerataan okonomi, namun memberi peluang untuk investor dalam menguasai
perekonomian di Papua. (*)

https://www.timesindonesia.co.id/read/news/255514/trans-papua-dibangun-untuk-siapa-masyarakat-
atau-investor

Potensi Hutan yang Hilang Akibat Proyek


Jalan Trans-Papua Mencapai Tiga Kali Kota
Yogyakarta
Selasa, 6 Juli 2021 | 23:25 WIB

AKARTA, KOMPAS.TV - Salah satu yang diprioritaskan dalam Proyek Strategis Nasional
(PSN), pembangunan Jalan Trans-Papua justru disebut berpotensi menghilangkan ribuan hektare
tutupan hutan.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengungkapkan, dalam jangka panjang, proyek
JalanTrans-Papua diprediksi dapat memusnahkan 12.469 hektare tutupan hutan atau seluas tiga
kali Kota Yogyakarta.

Organisasi independen tersebut mengemukakan perkiraan itu kala merilis hasil desk study-nya
yang berjudul Analisis Pengaruh Rencana Pembangunan Major Project Jalan Trans Papua
Terhadap Aspek Sosial-Ekologis Papua, Selasa (6/7/2021).

Dalam acara tersebut, Walhi juga menuturkan bahwa sekitar 4.772 hektare lahan terancam itu
merupakan hutan lindung.
Peneliti Walhi, Umi Marufah memaparkan bahwa proyek yang telah dimulai sejak 2001 hingga
2019 tersebut telah menghilangkan banyak hutan di tanah Papua.

Dengan rincian, 34 persen non-kawasan hutan yang hilang, 22 persen kawasan hutan lindung
konservasi, dan 44 persen hutan produksi.

Seperti pembangunan ruas jalan Fakfak-Windesi, yang menurut Umi, telah menghilangkan


hampir 4.000 hektare hutan produksi.

Sementara, pada ruas jalan Wagete-Timika, telah hilang 2.000 lebih hektare hutan produksi dan
500 hektare hutan lindung.

Lalu, ruas jalan Wanggar-Kwatisore-Kp Muri juga melenyapkan lebih dari 1.500 hektare hutan
produksi dan 500 hektare hutan lindung serta konservasi.

Adapun di ruas jalan Wamena-Elelim-Jayapura, telah menghilangkan hampir 1.500 hektare


hutan lindung dan 2.500 hektare hutan produksi.

"Dari tahun ke tahun terjadi penurunan tutupan hutan, seiring dengan meningkatnya panjang ruas
jalan yang dikerjakan," papar Umi, seperti dikutip dari Kompas.com, Selasa (6/7/2021).

Walhi memprediksi, dalam jangka pendek ketika terjadi pembukaan hutan lagi untuk
melanjutkan pembangunan 74 kilometer jalan yang masih tersisa bisa menghilangkan 57 hektar
hutan.

"Jika ada pembukaan jalan lagi maka menghilangkan 57 hektar tutupan hutan, 20 hektar di
antaranya adalah hutan lindung," jelas Umi.

Walhi juga memperhitungkan, dalam jangka menengah, sebanyak 1.290 hektare tutupan hutan
akan hilang sebagai efek tepi dari pembangunan 100 meter jalan.

Dari luas tutupan hutan yang hilang itu, 464 hektar di antaranya termasuk ke dalam kawasan
hutan lindung.

Dengan hilangnya tutupan hutan, maka beberapa keaneka ragaman hayati seperti flora fauna
yang dilindingi pun terancam keberadannya.

Misalnya, Anggrek Kasut Ungu dan Kanguru Pohon Mbaiso yang merupakan dua mahkluk
hidup endemik yang terancam punah dan hidup di beberapa area hutan di sekitar Jalan Trans-
Papua.

Diketahui, proyek Jalan Trans-Papua terdiri dari sembilan ruas jalan dan rencananya akan
dibangun sepanjang 2.300 kilometer. Hingga kini, berdasarkan citra satelit terdapat 74 kilometer yang
masih terputus dan dalam tahap pembangunan lanjutan.
https://www.kompas.tv/article/190330/potensi-hutan-yang-hilang-akibat-proyek-jalan-trans-
papua-mencapai-tiga-kali-kota-yogyakarta?page=3

Catatan untuk Pembangunan Jalan Trans


Papua
Jimmy Demianus Ijie - detikNews

Selasa, 29 Sep 2020 12:00 WIB

Jakarta -

Salah satu komitmen Presiden Joko Widodo selama menjabat sebagai presiden Indonesia adalah
menggenjot pembangunan infrastruktur dan konektivitas antarwilayah, terutama di daerah
tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Salah satu daerah yang menjadi prioritas pembangunan
infrastruktur adalah Provinsi Papua dan Papua Barat.

Presiden meyakini program pembangunan infrastruktur, terutama di Papua, akan dapat


meningkatkan mobilitas, mengangkat ekonomi lokal, dan pada akhirnya meningkatkan taraf
hidup masyarakatnya. Maka dilakukanlah pembangunan jalan yang menghubungkan seluruh
wilayah Papua, yang disebut sebagai jalan Trans Papua, dengan panjang sekitar 4.330 kilometer.
Jalan tersebut membentang dari kota Sorong di Provinsi Papua Barat hingga Merauke di Provinsi
Papua.

Pembangunan jalan Trans Papua tersebut tentu sangat berarti bagi orang Papua. Mengingat
pembangunan infrastruktur seperti jalan adalah salah satu masalah mendesak yang harus dikerjakan
pemerintah, karena masih terjadinya keterisolasian warga di beberapa wilayah Papua, akibat
infrastruktur yang terbatas selama ini.

Kehadiran jalan Trans Papua secara ekonomi bernilai tinggi karena bisa memangkas waktu
distribusi barang, sehingga membuat harga bahan pokok lebih terjangkau. Selama ini harga
barang-barang kebutuhan pokok di Papua relatif lebih mahal karena harus diangkut melalui
udara. Dengan adanya jalan Trans Papua, otomatis akan menurunkan biaya logistik, sehingga
harga-harga barang juga bisa ikut turun.

Sejujurnya, kita masyarakat di Papua, selama pemerintahan Presiden Joko Widodo merasa
bersyukur dan berterima kasih, karena telah banyak kemajuan pembangunan infrastruktur di
Provinsi Papua dan Papua Barat. Kami tidak meragukan bagaimana kesungguhan Presiden Joko
Widodo membangun Papua dengan hati, sehingga kemajuan infrastruktur sangat terlihat pesat
sekarang, jika dibandingkan kepemimpinan presiden sebelumnya.

Mengutamakan pembangunan infrastruktur bagi bumi Papua itu juga mengindikasikan adanya
pemahaman Presiden Joko Widodo bahwa dalam menghadapi persoalan Papua tidak harus selalu
melalui pendekatan keamanan, dengan memobilisasi kekuatan angkatan bersenjata, tetapi hanya
diperlukan adanya kehadiran negara dalam bentuk konsistensi sikap dan komitmen tinggi untuk
membangun infrastruktur, seperti jalan, jembatan, pelabuhan, dan bandara.

Dengan menerobos isolasi geografis, secara efek multiplier akan mendorong percepatan
tercapainya kesejahteraan rakyat di satu sisi, dan di sisi lain memperkokoh integrasi orang Papua
kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Jalan Trans Papua tidak lain adalah bentuk aktualisasi dari konsep pembangunan Presiden Joko
Widodo yang hendak menghapus kesan bahwa pembangunan hanya terpusat di Pulau Jawa saja
atau "Jawasentris." Dirinya menginginkan pembangunan merata di seluruh wilayah Indonesia
atau disebut "Indonesiasentris".

Terkait dengan pembangunan Trans Papua, sejauh ini sudah mulai terlihat manfaat dari
pembangunan tersebut bagi rakyat Papua. Namun di samping itu, kita juga tidak bisa
menghindari adanya beberapa masalah yang perlu untuk ditangani segera, agar tujuan mulia
pembangunan jalan Trans Papua tidak tercederai.

Setidaknya ada beberapa catatan yang harus diperhatikan agar pembangunan jalan Trans Papua
benar-benar bermanfaat bagi rakyat Papua. Pertama, pembangunan jalan Trans Papua jangan
justru memfasilitasi eksploitasi Sumber Daya Alam di bumi Papua.

Selama proses pembangunan jalan Trans Papua telah bermunculan suara sumbang, baik itu dari
kalangan rakyat Papua sendiri maupun pengamat di luar Papua, yang mempertanyakan
manfaatnya, terutama bagi orang asli Papua. Mengingat, selama pembangunan masih saja terjadi
illegal logging di beberapa tempat, bahkan banyak kamp kayu hasil penebangan ke arah sekitar
Taman Nasional Lorentz Papua, yang seharusnya termasuk kawasan dilindungi.

Kedua, pembangunan jangan sampai mengancam ekonomi orang Papua. Keberadaan Jalan Trans
Papua di satu sisi memudahkan akses warga, namun di sisi lain banyak dianggap malah
mengancam ekonomi warga Papua sendiri. Dengan adanya kemudahan infrastruktur, hasil-hasil
pertanian dan peternakan dari luar Papua menjadi lebih banyak masuk ke Papua. Sehingga hasil
perkebunan dan peternakan orang asli Papua pun terancam, karena harus bersaing dengan
membludaknya hasil pertanian dan peternakan dari luar Papua. Di sini perlu peran pemerintah
bagaimana menerapkan kebijakan perlindungan bagi ekonomi warga lokal.

Ketiga, pembangunan jalan Trans Papua perlu memperhatikan pembangunan jalan kampung.
Seperti kita ketahui bahwa proyek jalan Trans Papua hanya menghubungkan antarkabupaten atau
kota. Sehingga manfaatnya kurang dirasakan secara langsung oleh warga selama jalan
penghubung antarkampung belum layak. Padahal, jalan antarkampung dan distrik justru lebih
dibutuhkan warga Papua untuk menunjang berbagai kegiatan usaha seperti mendistribusikan
hasil perkebunan dan peternakan ke pasar.

Keempat, proses pembangunan harus melibatkan warga lokal, baik dari sisi perencanaan maupun
pelaksanaan. Dalam hal ini pemerintah pusat harus melakukan evaluasi, sudah sejauh mana
pelibatan warga lokal Papua diakomodasi dalam pembangunan jalan Trans Papua. Apakah sudah
betul-betul mengikuti prinsip pelibatan masyarakat lokal? Kalau memang belum terpenuhi,
seharusnya segera bisa diperbaiki. Pelibatan warga lokal dalam proses pembangunan itu juga
penting dilakukan sebagai bentuk pemenuhan komitmen Indonesia terhadap Sustainable
Development Goals (SDGs). Artinya, harus ada pelibatan masyarakat lokal dalam setiap
perencanaan pembangunan.

Kelima, dibutuhkan keseriusan dalam membangun. Sejauh ini proses pembangunan jalan Trans
Papua terlihat masih tidak tuntas di beberapa titik. Alias melompat-lompat dari satu tempat ke
tempat lain. Di beberapa titik pun terlihat pembangunan tidak efisien karena melalui jalan yang
lebih panjang, melewati bukit, dan berliku. Padahal ada pilihan ruas jalan lain yang lebih dekat
dan relatif datar sehingga lebih efisien.

Kesan kurang serius itu juga bisa terjadi karena organisasi satuan kerja pelaksananya tidak fokus
akibat beban tugas terlalu berat dan luas. Misalnya satuan kerja di Balai Bina Marga kota Sorong
yang wilayah kerjanya harus meliputi kota Sorong sampai perbatasan kabupaten Sorong, bahkan
sampai ke Kabupaten Tambrauw. Wilayah kerja yang terlalu luas itu membuat sulit membagi
waktu dan tenaga untuk mengontrol kualitas dan efisiensi pembangunan.

Keenam, perlu ketersediaan alokasi anggaran yang tidak sedikit. Demi merampungkan
pembangunan jalan Trans Papua yang membentang dari Sorong sampai Merauke, memerlukan
anggaran yang tidak sedikit. Apalagi untuk membangun jalan yang layak dengan pengaspalan,
dan bukan hanya sekadar membuat ketersambungan jalan dari Sorong sampai Merauke.

Kita memahami, anggaran yang masih terbatas membuat jalan Trans Papua belum semuanya
bisa beraspal. Kadangkala di beberapa tempat ruas jalannya masih berupa tanah. Dengan
keterbatasan alokasi anggaran tersebut, sudah saatnya pemerintah pusat lebih memfokuskan
alokasi anggaran pembangunan infrastruktur di Papua bagi pembangunan jalan Trans Papua agar
bisa beraspal seluruhnya dan layak digunakan.

Oleh karena itu, demi memfokuskan anggaran untuk penyelesaian pengaspalan jalan Trans
Papua, akan lebih bijak jika pemerintah pusat menunda rencana pembangunan jalan kereta api
Trans Papua, yang anggarannya diperkirakan akan menelan sekitar Rp 31 triliun. Lebih baik
anggaran yang besar itu dialokasikan untuk menuntaskan pembangunan jalan Trans Papua.
Apalagi kereta api belum menjadi alat transportasi yang urgen untuk rakyat Papua saat ini.

Terlepas dari berbagai catatan dan evaluasi yang perlu untuk segera diperbaiki tersebut, kita
terutama warga Papua berharap pembangunan jalan Trans Papua bisa terselesaikan dengan tuntas
sebelum berakhirnya periode kedua Presiden Joko Widodo. Sehingga mampu meninggalkan
kesan baik, membangkitkan kepercayaan orang Papua akan kehadiran negara, sekaligus
memperkokoh integrasi orang Papua terhadap NKRI. Selain itu, rakyat Papua pun tentu akan
mencatat bahwa pembangunan jalan yang menghubungkan Sorong hingga Merauke dapat
terselesaikan dengan tuntas di masa Presiden Joko Widodo dengan Menteri PUPR Basoeki
Hadimoeljono.

Jimmy Demianus Ijie, SH anggota DPR F-PDI Perjuangan Dapil Papua Barat
https://news.detik.com/kolom/d-5192311/catatan-untuk-pembangunan-jalan-trans-papua

Anda mungkin juga menyukai