Anda di halaman 1dari 8

“KELEPASAN - DETACHMENT”

Jalan Kesempurnaan VIII-XI (X, 1-3, 5-6)


Oleh: Eki Junedin, OCD

Pengantar

 KELEPASAN atau ketidakterikatan 1 dari 3 kebajikan dasar


St. Teresa mengenai doa. Dua lainnya: KASIH TERHADAP
SESAMA & KERENDAHAN HATI (akan direnungkan terpisah).

 Acuan utama refleksi saya, buku Jalan Kesempurnaan X, 1-6


(Bab VIII-XI; 4 bab, sangat panjang mengingat pentingnya).

 Saya memberi fokus bagi permenungan saya atas tema


hari ini dengan pertanyaan kunci: APA dan BAGAIMANA?
(Apa tentang hakikat; bagaimana tentang caranya).

Pertama, hakekat: “Apa itu kelepasan menurut STA?”

 Karena tulisan STA berangkat dari pengalaman, maka ia


tidak membuat batasan makna atau definisi tentang
KELEPASAN. St. Teresa memberi kita pemahaman tentang
kelepasan dalam hubungan dengan kerendahan hati.
“Keduanya bagai dua saudara yang tak terpisahkan.
Keduanya selalu bergandengan tangan.” (lih. JK X, 3). Jika
kita memiliki kelepasan hati yang sempurna, maka pasti di
sana pula ada kerendahan hati.

 Namun, menurut STA, “Kedua kebajikan ini, yakni


kelepasan dan kerendahan hati, bisa menyembunyikan diri
dari orang yang memilikinya. Meskipun orang lain

1
mengatakan itu kepadanya, ia tidak dapat melihat dan
menyadarinya. (JK X, 4)

 (Hati-hati, jika Anda dan saya mulai mengatakan bahwa


saya cukup rendah hati atau memiliki kelepasan yang
cukup, itu bisa jadi tanda bahwa kita tidak memilikinya. Itu
harus dikatakan orang lain) Mengapa? Kebajikan itu hanya
dapat dikenali oleh orang-orang dengan siapa kita berelasi.

 Lagi, STA menulis, “Kelepasan yang sempurna akan


mencakup semua hal lainnya. Artinya, jika seseorang atau
jiwa tidak peduli akan makhluk ciptaan apapun, selain
mencintai Tuhan, pencipta saja, maka Tuhan akan
memberikan dengan cuma-cuma kebajikan dan rahmat
lainnya.” (lih. JK VIII, 1)

 Untuk orang yang ingin maju di jalan ini, St. Teresa


menasihati, “Jangan mudah terlelap dan merasa aman.
Karena orang demikian sama seperti mereka yang setelah
mengunci pintu rumahnya, lalu berbaring, sementara
pencuri-pencuri sudah ada di dalam rumah.” (JK X, 1) Benar,
“Tidak ada pencuri yang lebih jahat daripada yang tinggal di
dalam rumah.” (JK X, 1)

 Mengenai keadaan batin kita pun demikian. Ada begitu


banyak hal yang kita biarkan menetap di dalam dan
merampas kebebasan rohani kita. Apa yang kita anggap itu
bisa membawa hiburan dan kepuasan, ternyata menjadi
racun, dan bagai pencuri yang mengganggu batin kita.

2
 Maka, pada bagian berikutnya, berdasarkan pengalaman
STA, saya hendak mengajak kita untuk melihat apa sajakah
hal yang kerap kita kunci di dalam diri kita dan akhirnya
merebut kebebasan batin kita?

2 poin kunci pada bagian kedua: “Dari hal apa sajakah


kita mesti melepaskan diri? Dan untuk apa?” [Entengnya,
KELEPASAN DARI APA dan KELEPASAN UNTUK APA].

LEPAS DARI APA?

1. Kelepasan dari keluarga (konteks hidup membiara):

 Teresa mengakui, “Amatlah alamiah bahwa kehendak kita


lebih mudah lekat pada keluarga daripada terhadap orang-
orang lainnya.” (JK IX, 3)

 Tetapi, St. Teresa menasihati, “Bila kita katakan bahwa kita


meninggalkan semuanya demi Tuhan, namun kita tidak
melepaskan diri dari hal yang utama, yakni keluarga kita,
maka kita belum melepaskan.” (JK IX, 2)

 Apakah ini berarti bahwa sama sekali tidak boleh


berhubungan lagi dengan keluarga? Rupanya tidak. Sebab,
STA justru katakan, “Tetapi juga salah dan tidak
berkebajikan bagi mereka yang tidak menyukai keluarganya
dan tidak bertemu dengan mereka.” (JK IX, 2)

 Mari kita perjelas di sini. Melepaskan berbeda dengan


melupakan. Jika kita melepaskan, kita sedang menyembah
dengan benar, karena Tuhan disembah dengan pantas jika
kita mengesampingkan hal lainnya. Sedangkan, jika kita

3
melupakan, kita malahan sedang mengabaikan panggilan
Kristiani kita untuk mengasihi semua orang atas cara yang
sama.

 Teresa katakan lagi, “Percayalah, suster-susterku, jika kamu


menyembah Tuhan sebagaimana mestinya, kamu tidak
akan menemukan keluarga [amigas: teman-teman] yang
lebih baik daripada mereka yang dikirim Tuhan kepadamu.”
(IX, 4)

 Tuhan tidak pernah salah menempatkan orang-orang


untuk hidup bersama kita.

 Jika kita mudah mengeluh tentang orang-orang terdekat


yang Tuhan tempatkan dalam komunitas hidup kita,
termasuk dalam keluarga-keluarga, lingkungan hidup
apapun, bisa jadi itu tanda bahwa kita tidak sedang
menyembah Tuhan dengan cara yang pantas. Itu tanda kita
mesti memperbaiki situasi hidup batin kita. Cara pandang
mesti diubah. (covid)

2. Lepas dari tubuh

 St. Teresa menganjurkan agar kita melepaskan cinta akan


tubuh kita dengan mengingatkan, “Setan akan mengatakan
bahwa kita perlu mengasihani diri jika kita mau menjalani
aturan biara/ ordo. Dan sekian banyak di antara kita yang
mencoba menghayati regula dengan jalan menjaga
kesehatan kita, sehingga kita mati tanpa pernah
menghayatinya bahkan selama satu bulan pun.” (JK X, 5).

4
 Godaan iblis itu halus. Tapi, sangat beracun. Jangan
berdebat dengan iblis.

 Godaan akan membuat seseorang menganggap tindakan


mati raga, sebagai hal yang merugikan diri sendiri, karena
itu mereka jadi takut bermati raga, berhenti puasa,
meskipun jika itu hal yang dituntut oleh ordo atau oleh
Gereja (lih. JK X, 6).

 “Jangan berpikir untuk mengeluh tentang kelemahan-


kelemahan dan sakit-sakit kecil yang diderita, sebab
kadang-kadang setan membuat kamu mengkhayalkannya.”
(JK XI, 2)

 Contoh: pilek/ sakit kepala sedikit saja, sudah tidak ibadat,


hari berikutnya sakit lagi, lalu itu menjadi kebiasaan.

 “Jika kamu tidak mulai membiasakan untuk membicarakan


keluhan dengan Tuhan saja, kamu takkan pernah berhenti
mengeluh.” (JK XI, 2). Teresa menggarisbawahi ini, dan
menilai juga menjadi salah satu alasan terjadinya kurang
disiplin dalam biara-biara.

 Poin penting lainnya tentang kelepasan atas tubuh, STA


menulis, “…Semakin kita mengasihi tubuh kita, semakin
banyak alasan yang didapat untuk mengeluh. Jika ada hal
yang kelihatannya masuk akal, betapapun kecilnya itu, jiwa
yang malang akan dikuasainya dan terhalang untuk maju.”
(JK XI, 2)

 Ini berkaitan dengan keinginan. The power of desire is


limitless - kekuatan dari keinginan tidak terbatas. Semakin

5
keinginan itu dilayani, maka ia akan semakin menuntut
lebih. Setelah keinginan yang satu terpuaskan, timbul
keinginan lainnya…

3. Lepas dari kecenderungan mementingkan hidup dan diri


sendiri

 Kita sudah tahu sebelumnya, bahwa salah satu tanda nyata


dari sikap kelepasan adalah “tidak mudah mengeluh”.

 Teresa membandingkan: “Berapa banyak orang miskin


yang tidak tahu kepada siapa ia harus mengeluh?” (JK XI, 3)

 “Juga banyak wanita menikah, yang berkedudukan tinggi,


punya keluhan dan cobaan yang serius, tetapi tak pernah
mengeluhkan kepada suaminya karena takut
membosankan mereka.” (JK XI, 3)

 “Atau bila seorang wanita tidak bahagia dengan


pernikahannya, ia tidak bicara atau mengeluh tentang hal
itu. Jangan sampai ketahuan oleh suaminya.” (JK XI, 3)

 Ini gambaran konkrit dari pengalaman STA, bahwa ada


begitu banyak orang yang meski punya banyak alasan
untuk mengeluh, tapi mereka menjalani hidup tanpa
pernah mengeluh sedikitpun. Bagaimana dengan kita?

 STA menantang para susternya, dan juga kita sekalian, “Jika


begitu, tidak dapatkah kita merahasiakannya hanya antara
kita dan Tuhan? Belajarlah menderita sedikit demi cinta
kepada Tuhan, tanpa menceritakannya kepada semua
orang.” (JK XI, 3)

6
 Ini bagian dari kemartiran tak berdarah, tetapi menuntut
pengorbanan yang tidak sedikit.

LEPAS UNTUK APA? Untuk apakah kita mesti belajar


kelepasan? Ini sekaligus pesan aplikatif bagi kita. Apa yang
secara konkrit bisa kita buat?

Tujuan #1:

 Agar rela menanggung penderitaan. St. Teresa katakan,


“Tujuan kamu berada di sini, bukan untuk hidup enak bagi
Kristus, tetapi untuk mati bagi Dia” (lih. JK X, 5). Kerelaan
untuk menderita dan mati bagi Kristus menuntut kelepasan
sempurna. Sejauh saya menangkap, STA tidak
memaksudkan kematian dalam arti harafiah, tetapi,
kematian terus-menerus dari kebiasaan buruk,
kecendrungan tidak sehat, dan prilaku yang menyimpang.

Tujuan #2:

 Agar maju di jalan doa. Agar sehat secara batiniah. Tidak


mencari penghiburan bagi diri sendiri, tetapi bagi orang
lain. “Keluarga boleh kunjung ke biara jika butuh dihibur,
bukannya untuk menghibur suster atau frater dalam biara.”

Tujuan #3:

 Agar dapat mencintai sesama secara bebas.

 Siapakah sesama itu? Orang-orang dengan siapa kita


dikumpulkan Tuhan. Itu adalah anggota biara, saudara
sekomunitas, suami, istri, anak-anak buah dari perkawinan,

7
keluarga besar, rekan kerja, teman pergaulan, anak-anak di
panti asuhan, tempat pengungsian, dsb. Hanya dengan
kurang memikirkan tentang diri, kita dapat memikirkan
orang lain. Hanya dengan kurang peduli terhadap
kesenangan pribadi, kita mampu peduli terhadap orang
lain.

 Oki, kelepasan hanya dapat dipelajari dalam kebersamaan,


bukan keterasingan.

 Saya percaya bahwa semakin kita melepaskan, semakin


besar kesempatan untuk kita mengasihi. Bukan lagi
terbatas pada mengasihi diri sendiri, tetapi mengasihi
Tuhan dan sesama.

 “Kita bisa memberi tanpa mengasihi, tetapi kita tidak bisa


mengasihi tanpa memberi.”

 Bagi STA, hakikat dari cinta kasih adalah pemberian diri.


Dan pemberian diri terbaik hanya bisa dilakukan jika ada
semangat kelepasan hati yang sempurna.

 Semoga rahmat Tuhan melalui doa-doa STA dan juga


teladan hidupnya, memberi kita keyakinan yang sama
untuk mulai secara perlahan, dari hari ke hari belajar sikap
kelepasan hati dalam apapun bentuk hidup yang kita jalani.

 Mari kita hening sejenak…

Jogja, 08-10-2021

Anda mungkin juga menyukai