Anda di halaman 1dari 6

Nama : Fahrunisa Aqidatul Izzah

NIM : 200210402023

ANALISIS STRUKTUR CERITA PENDEK


Judul Cerpen : Kutukan Cermin Buruk Rupa
Karya : Elizabeth Gabriela
Terbitam : 5 September 2021 07:27 WIB

Abstrak:
Butuh beberapa menit bagi Mona untuk memikirkan pertanyaan dari Cermin menimbulkan
pertanyaan baru dalam hatinya. Sebenarnya siapakah yang memiliki hak untuk menentukan
seseorang layak disebut cantik atau jelek.
Alasan:
Pada paragraf pertama, dapat dikatakan sebagai abstrak, karena paragraf tersebut
menggambarkan bagian awal cerita yang akan dikisahkan oleh penulis. Dapat kita lihat
pada penggalan kalimat yang memaparkan gambaran awal cerita, yakni: “Sebenarnya
siapakah yang memiliki hak untuk menentukan seseorang layak disebut cantik atau jelek”.

Orientasi:
Di kamar Mona ada sebuah cermin terkutuk yang selalu menampilkan keburukan orang yang
becermin kepadanya, maka dari itu ia disebut Cermin Buruk Rupa. Ia bisa berbicara dan
membaca pikiran orang yang becermin kepadanya. Sang Cermin acap kali mengajukan
pertanyaan yang terbentuk berdasarkan apa yang disebut standar sosial. Konon kutukan
tersebut bisa dipatahkan dengan menjawab pertanyaannya melalui sebuah solusi.
Alasan:
Paragraf tersebut dapat dikatakan sebagai orientasi, karena penulis mulai memperkenalkan
para tokoh dan juga latar cerita. Dapat kita lihat pada penggalan kalimat sebagai berikut:
“Di kamar Mona ada sebuah cermin terkutuk yang selalu menampilkan keburukan orang
yang becermin kepadanya, maka dari itu ia disebut Cermin Buruk Rupa.”

Komplikasi:
”Ketika kau becermin, hal apa yang pertama kali terlintas dalam pikiranmu?”
”Saat menatap kaca, bagaimana perasaanmu terhadap visual dirimu sendiri?”
”Bayangan pantulan dirimu terpeta dalam sebuah bingkai, lantas apa kalimat yang terucap
dari bibirmu saat menatapnya?”
Tiga pertanyaan dari Cermin dijawab sekaligus oleh Mona, ”Jelek.”
”Kalau begini terus kutukanku tak akan patah,” Cermin mengeluh mendapati jawaban Mona
yang penuh problematik.
Alasan:
Paragraf tersebut dapat dikatakan sebagai komplikasi, karena memaparkan awal suatu
masalah yang dihadapi oleh tokoh. Hal tersebut dapat kita lihat pada penggalan kalimat
berikut:
”Saat menatap kaca, bagaimana perasaanmu terhadap visual dirimu sendiri?”
”Bayangan pantulan dirimu terpeta dalam sebuah bingkai, lantas apa kalimat yang terucap
dari bibirmu saat menatapnya?”
Tiga pertanyaan dari Cermin dijawab sekaligus oleh Mona, ”Jelek.”

Evaluasi:
Sudah tiga puluh menit Mona memandangi bayangan seorang gadis di balik cermin. Tiada
hentinya Mona menghujat betapa buruknya perawakan gadis itu. Struktur wajah bulat, tangan
bergelambir, badan ditumbuhi bulu-bulu halus, banyak jerawat matang berhias nanah kuning
kehijauan di dahi, jangan lupakan pori-pori di pipi yang bisa menyaingi adonan martabak. Air
mukanya pun kelam, tiada senyum. Sama sekali tidak ada cantik-cantiknya. Padahal Mona
sudah bolak-balik pergi ke klinik kecantikan.
”Bagaimana caranya untuk mematahkan kutukan buruk rupa yang menimpamu?” ujar Mona
lelah.
Cermin memberikan petunjuk, ”Apa yang tidak dapat dilihat, tapi bisa dirasakan?”
Tetapi Mona malah sibuk mengoceh. ”Duh, mataku sipit sekali. Apa aku operasi plastik
saja?”
”Seratus operasi pun tak akan berguna kalau kau terus merasa jelek,” cibir Cermin.
Mona melotot sebal, ingin sekali menghancurkan cermin di hadapannya.
Setiap bulan pada akhir pekan dan tidak ada jam kantor, Mona selalu menemui Dokter Fify
untuk memperbaiki penampilannya. Tiga bulan lalu, hidungnya dibedah agar tidak pesek lagi.
Dua bulan lalu, Dokter Fify menyuntikkan bakteri Clostridium botulinum ke seluruh wajah
Mona dalam prosedur botox. Yang paling hangat, bulan lalu di sepanjang pipi Mona dibelek
karena harus ditanam benang. Awal dari semuanya akibat dari kulit Mona yang seperti arang,
Dokter Fify pun memberikan suntikan putih. Hasilnya memang membuat kulit Mona menjadi
lebih cerah, tapi ia belum puas. Bagian-bagian tubuhnya yang lain masih harus dipermak.
Mona menghempaskan pantat ke atas kursi, seketika itu juga perutnya menjadi berlipat-lipat.
Selulit memenuhi bagian paha samping, menjijikkan. ”Aku gendut sekali!”
Bentuk tubuh Mona memang curvy, itu sudah keturunan genetik dari neneknya. Namun,
Mona membencinya lebih dari apa pun. Di sudut cermin ada gambar seorang wanita berkulit
putih mulus dan bertubuh langsing. Mona sengaja menempel katalog model pakaian dalam di
sana agar ia termotivasi. Namun yang terjadi malah hal lain: kebencian.
Cermin mencemooh, ”Kau ingin menjadi seperti cewek dalam katalog pakaian dalam?”
”Ya karena dia sangat cantik,” balas Mona.
”Kata siapa dia cantik?”
”Semua orang,” dahi Mona berkerut saat menjawab. Tidak ada satu pun orang yang
memandang gadis berkulit putih-mulus dan memiliki tubuh langsing sebagai sosok jelek.
”Sadar tidak, sebenarnya kau ingin menjadi cantik hanya karena ingin mengesankan
masyarakat?” tukas Cermin. ”Semua keinginanmu dilandasi tafsiran bagaimana orang-orang
memaknai kata cantik.”
”Pokoknya aku mau secantik dia!” Mona bersikukuh.
”Tapi sampai kapan pun kau tidak akan bisa!”
”Kenapa?!”
”Karena kau adalah kau. Kau bukan orang lain,” kata Cermin. ”Jadilah cantik untuk dirimu
sendiri, bukan untuk dipandang cantik akibat mengikuti standar sosial.”
Mona membuang napas kasar, mulai membuka sebuah kotak berisi seperangkat alat sihir.
Alat-alat ini disebut alat sihir karena mereka mampu membuat penampilan Mona berbeda.
Segera saja di atas meja beragam kuas serta kosmetik berserakan tak karuan. Kabel catokan
dan alat pengering rambut pun turut meramaikan meja rias yang sebelumnya sudah dipenuhi
berbotol-botol skin care. Mona harus bergegas bersiap untuk pergi ke klinik kecantikan
langganannya dalam rangka pemeriksaan rutin.
Hal pertama yang dilakukan adalah menghabiskan 15 menit untuk menggambar alis. Pensil
berwarna hitam bergerak-gerak melukis dengan lihai mengikuti tren. Menyulap helaian
rambut berantakan seperti hutan di atas mata Mona menjadi tanda centang terbalik.
”Nanti aku harus konsultasi ke Dokter Fify perihal sulam alis agar aku tampak semakin
cantik,” gumam Mona.
Cermin mengejek, ”Percuma. Kan sudah kubilang, seratus operasi tak akan bisa melenyapkan
hal-hal yang kau benci dari dirimu seutuhnya.”
Mona meraung, ”Aku sangat membencimu!”
”Pantas saja kutukanku tak kunjung selesai!” tandas Cermin masam.
Kemudian ia mengambil kotak berisi cairan berwarna satu nuansa lebih terang dibandingkan
kulit aslinya, dibubuhkannya di atas spons, lalu ditepuk-tepuk ke seluruh penjuru permukaan
wajahnya. Lantas beralih ke benda untuk menyamarkan bekas-bekas jerawat hingga kulit
Mona semulus pantat bayi. Lanjut ke krim kontur sebagai bantuan agar garis-garis rahangnya
lebih menonjol.
”Bagaimana caranya menghilangkan double chin?” Mona menyentuh lipatan di bawah
dagunya.
”Sedot lemak oke tuh,” Cermin terkikik mengolok.
Mona memberikan tatapan berang kepada Cermin. Menyerah dengan perkara struktur wajah,
Mona beralih menggoreskan bubuk kecoklatan pada masing-masing sisi batang hidungnya
agar tampak semakin mancung. Tak ketinggalan menaruh serbuk mengkilap di bagian
tengah. Setiap Mona selesai dengan satu jenis kosmetik, ia akan menimpuk wajahnya dengan
kosmetik lain. ”Masih kurang!” keluhnya.
”Memangnya kau pernah merasa cukup?” tukas Cermin.
Jarum jam terus bergerak ke kanan seiringan dengan kelopak mata diberi bermacam-macam
warna. Mona berkata, ”Riasanku harus terlihat natural!”
Sang Cermin terbahak merendahkan, ”Natural kau bilang?”
Mona cemberut sembari memoles lipstik ke atas bibir. ”Apa ya merek serum yang bisa
membuat bibir merah alami?”
”Poles saja bibirmu dengan tinta permanen,” kata Cermin mengejek.
Mona beralih ke maskara, ”Lusa aku harus sambung bulu mata. Bulu mata asliku pendek,
jelek!”
”Kau tidak akan pernah menjadi cantik kalau kau terus-terusan merasa jelek!” gertak Cermin.
Total dua jam penuh Mona akhirnya selesai. Ia bangkit, mematut-matutkan diri lagi di depan
kaca. Sekarang Mona melihat gadis yang berpenampilan sedikit lebih baik daripada dua jam
lalu, tetapi tetap saja belum layak untuk disebut cantik. Mona merasa muak sekaligus letih.
”Andaikan saja aku bisa lebih kurus…, sudah berapa kalori yang masuk ke dalam tubuhku
hari ini?” Mona mulai menghitung, sejak pagi ia baru meneguk segelas susu tanpa lemak dan
memakan sebuah pisang.
Padahal dengan tinggi 157 cm dan berat 53 kg, Mona termasuk dalam kategori sehat. ”Kau
mau sekurus apa lagi?” ucap Cermin jengah.
”Sampai seperti dia,” Mona menunjuk gambar gadis langsing dalam katalog.
”Sudah kubilang, sampai kapan pun kau tidak akan bisa!” bentak Cermin.
Mona menatap cermin dengan pilu, semua masalah kecantikan ini sangat melelahkan.
”Memangnya aku sejelek apa sih?”
”Kata siapa kau jelek?”
”Diriku sendiri,” jawabnya pelan. Jika dibandingkan dengan para gadis rupawan dalam
katalog pakaian dalam, Mona bagaikan debu kotor.
Cermin memberikan balasan berupa pertanyaan lain, ”Bagaimana jika kata cantik tak pernah
ada di dunia ini?”
Alasan:
Pada bagian tersebut dapat dikatakan sebagai evaluasi, karena pada bagian ini terjadi
konflik masalah yang semakin memuncak. Dapat kita lihat pada saat Mona selalu mengeluh
kepada Cermin Buruk Rupa akan kekurangan yang ada pada dirinya. Hal tersebut mengarah
kepada konflik bagian klimaks bahwa Mona menginginkan untuk melakukan operasi plastik

Resolusi:
Butuh beberapa menit bagi Mona untuk berpikir, memikirkan pertanyaan dari Cermin
menimbulkan pertanyaan baru dalam hatinya. Sebenarnya siapakah yang memiliki hak untuk
menentukan seseorang layak disebut cantik atau jelek? Kenapa pula Mona harus mengikuti
tolok ukur kecantikan buatan orang awam? Itu tidak lebih dari hal konyol yang berujung
membunuh kasih.
Akhirnya Mona berujar, ”Sepertinya hidupku akan lebih tenteram.”
”Kuberi pertanyaan lain, mau sampai kapan kau menjadi orang pertama yang mengklaim
dirimu jelek?” tuntut Cermin. ”Kenapa kau jahat sekali kepada diri sendiri?!”
Mona membisu. Sebutir air mata milik gadis di dalam cermin bergulir di pipinya yang
dipoles blush on. Beriringan dengan itu wajah Mona juga ikut basah.
”Kumohon, berhentilah menjadi hakim kecantikan!” pinta Cermin.
”Jadi…, apa yang harus kulakukan?” balas Mona serak.
”Kuyakin kau mengetahui jawabannya dalam dirimu sendiri,” Cermin menatapnya lekat.
Mona tertegun sesaat. Lalu untuk langkah pertama ia mengambil ponsel, menelepon Dokter
Fify.
”Halo Mona, kamu kapan sampai?” sapa suara sang Dokter.
Mona mengambil napas dalam, ”Maaf, Dok, saya tidak jadi datang ke klinik.”
Sambungan selesai. Ia melepas gambar katalog di sudut cermin, merobek, dan membuangnya
ke tempat sampah. Lalu Mona kembali menatap Cermin.
Alasan:
Pada bagian tersebut, dapat dikatakan sebagai resolusi karena menggambarkan bagian
akhir permasalahan yang terjadi pada cerpen. Dapat kita lihat pada penggalan kalimat
sebagai berikut:
Butuh beberapa menit bagi Mona untuk berpikir, memikirkan pertanyaan dari Cermin
menimbulkan pertanyaan baru dalam hatinya. Sebenarnya siapakah yang memiliki hak untuk
menentukan seseorang layak disebut cantik atau jelek?
Hal tersebut adalah gambaran akhir cerita bahwa Mona segera memutuskan untuk
melakukan operasi plastik atau tidak.

Koda:
”Sekarang jawab dan berikan solusi atas pertanyaanku, bagaimana cara menjadi cantik?”
”Dengan belajar mencintai diri sendiri,” balas Mona.
Kini Sang Cermin diam membisu. Tetapi masing-masing ujung bibir Mona tertarik ke atas,
melukiskan sebuah senyum, dan kemudian sosok di dalam cermin juga ikut tersenyum.
Kutukan Cermin Buruk Rupa telah terpatahkan.
TAMAT
 
Elizabeth Gabriela, biasa disapa Gaby, mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia
Nusantara yang sedang menempuh program magang di Ubud Writers and Readers Festival.
Ia tinggal di Jakarta. Mimpi terbesar Gaby adalah menulis novel dan kisahnya diangkat ke
layar lebar.
Alfonzo Ronald Koapaha. Lahir di Bandung, purnabakti dari Program Studi DKV-FSRD-
ITB, yang telah berkontribusi selama 34 tahun. Selama ini karya DKV yang dihasilkan
berkaitan dengan museum, pameran, sign system, corporate identity perusahaan dan
kementerian di dalam dan di luar negeri. Saat ini mengajar di Universitas Widyatama, Institut
Teknologi Batam, dan mengelola serta berkarya di Studio 181 dan Elina Keramik di Kota
Bandung.
Alasan:
Pada bagian tersebut termasuk bagian koda, karena mengandung nilai atau pesan moral
yang terdapat pada sebuah cerpen yang disampaikan oleh penulis kepada para pembaca.
Pesan moral yang disampaikan yakni bealajarlah mencintai diri sendiri.

Anda mungkin juga menyukai