Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH FILSAFAT HUKUM ISLAM

TENTANG
SUMBER DAN METODE PENETAPAN HUKUM ISLAM

OLEH : KELOMPOK 4
NAMA : ------------------
 MUHAMMAD AWALUDIN
(152. 102. 014)
 ROHANIS
(152. 102.0 )
JURUSAN : AS – A
SEMSTER : III ( TIGA )
---------------------------------------------------------------------------------------------------

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )


MATARAM
2011
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah Swt, yang telah melimpahkan rahmat
taufik dan hidayahnya kepada kita semua. Dan tak lupa pula salawat serta salam
kami haturkan kepangkuan baginda nabi besar Muhammad Saw, karena berkat
perjuangan dan usaha beliau kita semua dapat menikmati islam dengan sebaik-
baiknya agama.
Syukur alhamdulillah makalah ini bisa selesai tepat pada waktunya.
Didalam makalah ini kami akan membahas tentang “Sumber dan Metode
Penetapan Hukum Islam”. Kami mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak
Dosen Mata Kuliah Filsafat Hukum Islam ( Muh. Harfin Juhdi ) yang telah
memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada kami untuk membuat makalah
ini. Dengan rendah hati, kami ingin menyampaikan beribu maaf apabila terjadi
kesalahan dan kekeliruan pada penulisan makalah ini. Kami juga mohon kritik
dan sarannya dalam penyempurnaan makalah ini, karena kami masih dalam tahap
belajar.
Akhirul kalam jazakumullahu khairon ,wassalam.

Mataram, 15 Desember 2011

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Sumber- Sumber Hukum Islam


a. Al-qur’an
b. Al-Hadits
c. Ijtihad
2.2 Metode Penetapan Hukum Islam

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hukum Islam mencerminkan seperangkat norma Ilahi yang mengatur tata
hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia lainnya
dalam kehidupan sosial hubungan manusia dengan benda dan alam lingkungan
hidupnya.
Norma Illahi yang mengatur tata hubungan tersebut adalah kaidah-kaidah
dalam arti khusus atau kaidah ibadah murni, mengatur cara dan upacara hubungan
langsung antara manusia dengan sesamanya dan makhluk lain di lingkungannya.
Ciri khas hukum Islam, yakni berwatak universal, berlaku abadi untuk umat Islam
dimanapun mereka berada, tidak terbatas pada umat Islam dimanapun mereka
berada, tidak terbatas pada umat Islam di suatu tempat atau negara pada suatu
masa, menghormati martabat manusia sebagai kesatuan jiwa dan raga, rohani dan
jasmani, serta memuliakan manusia dan kemanusiaan secara keseluruhan,
pelaksanaan dalam praktik digerakkan oleh iman dan akhlak umat Islam. Banyak
teori tentang sumber hukum Islam, tetapi penulis akan menuliskan tentang sumber
hukum Islam yang terdiri dari Al-Quran, Hadits, dan Ijtihad. Dalam makalah ini
akan dijelaskan mengenai sumber-sumber hukum Islam dan metode pembentukan
hukum Islam.

1.2 Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah menambah pengetahuan kita


khususnya para mahasiswa akan sumber hukum Islam dan metode penetapannya
dari zaman Rasul sampai kepada zaman sekarang ini.
BAB II
PEMBAHSAN
2.1 SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM

Agama Islam memiliki pedoman yang sangat penting dalam


menghadapi hidup. Setiap muslim diwajibkan agar berpedoman dengan sumber-
sumber tersebut. Sumber-sumber tersebut terdapat beberapa bagian1. Sumber yang
paling penting, sempurna, tidak diragukan, berlaku sepanjang zaman dan
diwajibkan pula setiap muslim atas pemahamannya yaitu Al-Quran. Sumber
lainnya cukup penting dalam pengaplikasian dari Al-Quran ke kehidupan sehari-
hari yaitu Hadits dan ijtihad yang diambil berdasarkan kedua sumber tersebut.

a) Al-Qur’an al-karim
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw
dengan bahasa Arab dengan perantaraan malaikat Jibril, sebagai hujjah
(argumentasi) bagi-Nya dalam mendakwahkan kerasulan-Nya dan sebagai
pedoman hidup bagi manusia yang dapat dipergunakan untuk mencari
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat serta sebagai media untuk bertaqarrub
(mendekatkan diri) kepada Tuhan dengan membacanya. Wahyu Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw ini terwujud dalam bahasa arab dan
secara autentik terhimpun dalam mushaf.2
* Dalil : alqur’an menjadi sumber Hukum Islam (an-nisa : 59 )
        
           
3
         
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

1 Jamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997

2 Azyumardi Azra, Buku Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, cet. III.Direktorat Perguruan Agama Islam, Jakarta, 2002,
hlm. 61.
3
Al-qur’an surat An-nisa’:59
Nama-Nama Al-Qur’an, adapun nama –nama al Qur’an yaitu :

1. Al kitab (kitabullah),yang merupakan sinonim dari kata Al Qur’an


artinya,kitab suci sebagai petunjuk bagi oranh yang bertakwa.

2. Az-zikr,artinya peringatan,

3. Al- furqan, artinya pembeda,

4. As-suhuf berarti lembaran-lembaran,

Keistimewaan yang di miliki Al-Qur’an sebagai wahyu Allah ini ada banyak
sekali, di antaranya yaitu:
a. Lafadh dan maknanya berasal dari Tuhan.
Lafadh yang berbahasa Arab itu dimasukkan ke dalam dada Nabi
Muhammad, kemudian beliau membaca dan terus menyampaikannya
kepada umat. Sebagai bukti bahwa Al-Qur’an itu datang dari sisi Allah
ialah ketidaksanggupan (kelemahan) orang-orang membuat tandingannya
walaupun mereka sastrawan sekalipun.
b. Al-Qur’an sampai kepada kita secara mutawatir
Cara penyampaian yang menimbulkan keyakinan tentang kebenarannya,
karena disampaikan oleh sekian banyak orang yang mustahil mereka
bersepakat bohong.
c. Tidak ada yang bisa memalsukan Al-Qur’an karena ia terjaga
keasliannya.
Firman Allah dalam surat Al-Hijr ayat 9
       
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya
Kami benar-benar memeliharanya”.
Fungsi Al-Qur’an :
1.Petunjuk bagi Manusia.
Allah swt menurunkan Al-Qur’ansebagai petujuk umar manusia,seperti yang
dijelaskan dalam surat (QS AL-Baqarah :2)
         
Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.

2. Sumber pokok ajaran islam.


Fungsi AL-Qur’an sebagai sumber ajaran islam sudah diyakini dan diakui
kebenarannya oleh segenap hukum islam.Adapun ajarannya meliputi persoalan
kemanusiaan secara umum seperti hukum, ibadah, ekonomi, politik, social,
budaya, pendidikan, ilmu pengetahuan dan seni.

3. Peringatan dan pelajaran bagi manusia.

Bagi kita,umat uyang akan datang kemudian rentu harus pandai mengambil
hikmah dan pelajaran dari kisah-kisah yang diterangkan dalam Al-Qur’an.

4. sebagai mukjizat Nabi Muhammad saw.

Turunnya Al-Qur’an merupakan salah satu mukjizat yang dimilki oleh nabi
Muhammad saw.

Hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an ada 3 yaitu :


1. Hukum I’tiqadiyah
Hukum I’tiqadiyah yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban
para mukallaf untuk mempercayai Allah, malaikat-malaikat Allah, Kitab-kitab
Allah, Rasul-rasul Allah dan hari pembalasan.
2. Hukum akhlaq
Hukum Akhlaq yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan kewajiban
orang mukallaf untuk menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan
menjauhkan dirinya dari sifat-sifat yang tercela.
3. Hukum amaliah
Hukum amaliah yaitu yang bersangkutan dengan perkataan,
perbuatanperbuatan, perjanjian-perjanjian, dan mu’amalah (kerja sama) sesama
manusia.

b) Al-Hadits
Hadits (bahasa Arab: ‫الحديث‬,) adalah perkataan dan perbuatan dari Nabi
Muhammad. Dalam terminologi Islam istilah hadits berarti melaporkan/
mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad.
Namun pada saat ini kata hadits mengalami perluasan makna, sehingga
disinonimkan dengan sunnah, maka bisa berarti segala perkataan (sabda),
perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang
dijadikan ketetapan ataupun hukum. Hadits menurut ahli hadits adalah sesuatu
yang didapatkan dari Nabi SAW yang terdiri dari ucapan, perbuatan,
persetujuan.

Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan


kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah Al-Qur'an. Kedudukan hadits
sebagai sumber hukum islam kedua, telah diterima oleh semua ulama dan
umat islam. Hal ini di kuatkan dengan ayat al-qur’an surat an-nisa’:80

           
 
80. Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa
yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi
mereka.

Dengan demikian jelaslah bahwa hadits merupakan sumber hukum islam


disamping al-qur’an. Orang-orang yang menolak hadits sebagai hukum islam,
berrarti hakikatnya orang itu menolak al-qur’an. Mereka yang menolak hadits
sebagai sumber hukum islam, lebih disebabkan keterbatasan pengetahuan mereka
terhadap al-qur’an dan kepada hadits.

Hadits dapat dibedakan kepada 3 macam:


a. Sunnah qauliyah (perkataan), yaitu sabda yang beliau sampaikan dalam
beraneka tujuan dan kejadian .
b. Sunnah fi’liyah (perbuatan), yaitu segala tindakan Rasulullah saw.
c. Sunnah taqririyah (persetujuan) perkataan atau perbuatan sebagian
sahabat yang telah disetujui oleh Rasulullah saw. secara diam-diam atau
tidak di bantahnya atau disetujui melalui pujian yang baik.

*macam-macam hadits : Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya perawi

o Hadits Mutawatir : adits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang


dari beberapa sanad yang tidak mungkin sepakat untuk berdusta.

o Hadits Ahad : hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih


tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir.
 Hadits Shahih : hadits yang bersambung sanadnya, ia
diriwayatkan oleh orang yang adil lagi dhobit.

 Hadits Hasan : hadits yang banyak sumbernya atau jalannya


dan dikalangan perawinya tidak ada yang disangka dusta

 Hadits Dha’if : hadits yang tidak bersambung sanadnya dan


diriwayatkan oleh orang yang tidak adil dan tidak dhobit.

 Menurut Macam Periwayatannya

o Hadits yang bersambung sanadnya (hadits Marfu’ atau Maushul)

o Hadits yang terputus sanadnya

 Hadits Mu’allaq : hadits yang tergantung, yaitu hadits yang


permulaan sanadnya dibuang oleh seorang atau lebih
hingga akhir sanadnya.

 Hadits Mursal : hadits yang diriwayatkan oleh para tabi’in


dari Nabi Muhammad SAW tanpa menyebutkan sahabat
tempat menerima hadits itu.

 Hadits Mudallas : hadits yang diriwayatkan oleh sanad


yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya,
padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad ataupun pada
gurunya.

 Hadits Munqathi : hadits yang gugur atau hilang seorang


atau dua orang perawi selain sahabat dan tabi’in.

 Hadits Mu’dhol : hadits yang diriwayatkan oleh para tabi’it


dan tabi’in dari Nabi Muhammad SAW atau dari Sahabat
tanpa menyebutkan tabi’in yang menjadi sanadnya.
 Hadits-hadits dha’if disebabkan oleh cacat perawi

o Hadits Maudhu’ : hadits dalam sanadnya terdapat perawi yang


berdusta atau dituduh dusta.

o Hadits Matruk : hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang


perawi saja sedangkan perawi itu dituduh berdusta.

o Hadits Mungkar : hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang


perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya / jujur.

o Hadits Mu’allal : hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits
yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi.

o Hadits Mudhthorib : hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi


dari beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidak sama dan
kontradiksi dengan yang dikompromikan.

o Hadits Maqlub : hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang


dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau
sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi).

o Hadits Munqalib : hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga


pengertiannya berubah.

o Hadits Mudraj : hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi


yang didalamnya terdapat tambahan yang bukan hadits.

o Hadits Syadz : hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah


(terpercaya) yang bertentangan dengan hadits lain yang
diriwayatkan dari perawi-perawi (periwayat / pembawa) yang
terpercaya pula.

Nisbah (hubungan) Al-Qur’an dengan Al-hadits:


1. Menguatkan (muakkid)
Menguatkan hukum suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya di
dalam Al-Qur’an. Jadi, Al-Qur’an sebagai penetap hukum dan hadits sebagai
penguatnya.

2. Memberikan keterangan (bayan)


Memberi keterangan ayat-ayat Al-Qur’an, artinya memberikan perincian
ayat-ayat Qur’an yang masih umum.

c) Ijtihad
Ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan berfikir untuk
mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil syara’, yaitu Al-Qur’an dan hadits.
Orang-orang yang mampu menetapkan hukum suatu peristiwa dengan jalan
ini disebut mujtahid.
Peristiwa-peristiwa yang dapat diijtihadkan yaitu:
a. Peristiwa-peristiwa yang ditunjuk oleh nash yang zhaniyulwurud
(haditshadits ahad) dan zhaniyud dalalah (nash Al-Qur’an dan hadits yang
masih dapat ditafsirkan dan dita’wilkan)
b. Peristiwa yang tidak ada nashnya sama sekali.
Syarat-syarat seorang mujtahid :4
a) Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-
Qur’an, baik menurut bahasa maupun syariah.
b) Menguasai dan mengetahui hadis-hadis tentang hukum, baik menurut
bahasa maupun syariat.

4
Jamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997
c) Mengetahui nasakh dan mansukh dari Al-Qur’an dan sunnah, supaya tidak
salah dalam menetapkan hokum.
d) Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama,
sehingga ijtihad-nya tidak bertentangan dengan ijma’.
e) Mengetahui qiyas dan berbagai persyaratannya serta meng-instimbat-nya,
karena qiyas merupakan kaidah dalam berijtihad.
f) Mengetahui bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan
bahasa, serta berbagai problematikanya.
g) Mengetahui ilmu  fiqih yang merupakan fondasi dari ijtihad.
h) Mengetahui maqashidu asy-syariah (tujuan syariat) secara umum.
*macam-macam tingkatan Ijtihad
1. Ijtihad Muthlaq/Mustaqil,
Ijtihad Muthlaq yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara menciptakan
sendiri norma-norma dan kaidah istinbath yang dipergunakan sebagai
sistem/metode bagi seorang mujtahid dalam menggali hukum.
2. Ijtihad Muntasib
Ijtihad Muntasib yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dengan
mempergunakan norma-norma dan kaidah- kaidah istinbath imamnya (mujtahid
muthlaq/Mustaqil).
3. Ijtihad mazhab atau fatwa
Ijtihad mazhab atau fatwa yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid
dalam lingkungan madzhab tertentu.
4. Ijtihad tarjih
Ijtihad tarjih yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara mentarjih dari
beberapa pendapat yang ada.

*Ijtihad di bagi menjadi beberapa bagian ( macam- macam) yaitu sebagai berikut:
1. Ijma’
Ijma’ menurut bahasa arab berarti kesepakatan atau sependapat dengan
suatu hal, menurut istilah ijma’ adalah kesepakatan mujtahid tentang hukum
syara’ dari suatu peristiwa setelah Rosul wafat.
2. Qias
Qias menurut bahasa berarti menyamakan , membandingkan atau
mengukur. Secara istilah qias adalah menetapkan hukum suatu kejadian atau
peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkan dengan
suatu kejadian yang telah ditetapakan hukumnya berdasarkan nash karena ada
persamaan illat/sifat diantara kejadian atau peristiwa itu.
3. Istihsan
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik,
menurut istilah istihsan adalah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada
suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasarkan dalil syara’ menuju
hukum lain dari peristiwa itu juga. karena ada suatu dalil syara’ yang
mengharuskan untuk meninggalkanya.
4. Maslahah mursalah
Maslahah mursalah adalah suatu kemaslahatan dimana syar;i tidak
mensyariatkan sutau hukum ntuk merealisir kemaslahatan itu dan tidak ada dalil
yang menunjukkan atas pengakuanya atau pembatalanya.
5. Urf
Urf menurut bahasa adalah kebiasaan sedangkan menurt istilah sesuatu
yang telah dikenal orang banyak dan menjadi tradisi mereka dan tentunya tradisi
disini adalah kebiasaan yang tidak dilarang.
6. Istishab
Istishab menurut bahasa adalah pengakuan adanya perhubungan. secara
istilah adalah menetapkan hokum terhadap sesuatu berdasar keadaan sebelumnya
sehingga ada dalil yang menyebutkan atas perubahan keadaan tersebut.

2.2 METODE PENETAPAN HUKUM ISLAM


Secara etimologis, metode berasal dari kata 'met' dan 'hodes' yang berarti
melalui. Sedangkan istilah metode adalah jalan atau cara yang harus ditempuh
untuk mencapai suatu tujuan. Sehingga Metode Penetapan Hukum Islam berarti
cara yang ditempuh dalam menetapkan hukum islam.
Sumber hukum pada masa Rasulullah tetap berpegang teguh pada
AlQuran Al-Karim dan Sunnah Rasulullah. Pengenalan Al-Quran terhadap
hukum, mayoritasnya bersifat universal tidak parsial dan global tidak rinci. Untuk
memahami Al-Quran, dibutuhkan Sunnah. Oleh karena itu, sumber dari Al-Quran
yang universal diperjelas dengan sunnah.
Dalam istilah ilmu Ushul Fiqh motede penetapan hukum dipakai dengan
istilah “Istinbath”. 5Istinbath artinya adalah mengeluarkan hukum dari dalil, jalan
istinbath ini memberikan kaidah-kaidah yang bertalian dengan pengeluaran
hukum dari dalil.
Dalam penetapan hukum islam secara umum dapat di kelompokkan
kepada tiga macam6: yaitu
 pertama,
metode verbal (at-turuq al-lafzdiyah) yaitu metode penetapan hukum yang
bertumpu kepada analisis kebahasaan. Thuruq lafdziyah dikatakan juga
sebagai
pendekatan lafadz yang penerapannya membutuhkan beberapa factor
pendukung yaitu:
a. Penguasaan terhadap makna (pengertian) dari lafadz-lafadz nash
serta konotasinya dari segi umum dan khusus,
b. Mengetahui dalalahnya apakah menggunakan manthuq lafdzi
( ataukan termasuk dalalah yang mafhum yang diambil dari
konteks kalimat;
c. Mengerti batasan-batasan (qayyid) yang membatasi ibarah-ibarah
nash;
 Kedua,

5
Effendi, Satria. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana. 2005.

6
http://ruqi86.blogspot.com/2011/04/metode-istinbat-hukum-islam-1.html?
zx=87615352c9140354#uds-search-results
metode substansial (at-turuq al-ma’nawiyah), yaitu metode penetapan
hukum yang bertumpu kepada pengertian implisit nash dengan menggali
substansi-substansi hukum islam (al-iltifatila al-ma’aniwa al-maqasid).
 Ketiga
Metode kontemporer yaitu suatu cara yang ditempuh pada masa kini
(modern) untuk mencapai atau menetapkan Hukum Islam.
Seorang Fazlur Rahman memaparkan tentang metode kontemporer ini ke
dalam Istilah “Double Movement” yaitu :
_Gerakan pertama; kembali kepada teks dan kondisi sosio-historis yang
meliputi teks.
_Gerakan kedua; melihat kondisi sosio-cultural pembaca atau tempet teks
itu akan diterapkan.
Ada pula yang merinci metode pendekatan menjadi tiga pola yaitu :
1. Metode bayani
Metode bayani adalah suatu penjelasan secara komprehensif terhadap teks
nas untuk mengetahui bagaimana cara lafal nas menunjukkan kepada hukum
yang dimaksudkannya.
2. Metode ta’lili
Metode ta’lili adalah upaya penggalian hukum yang bertumpu pada
penentuan ‘illat-‘illat hukum yang terdapat dalam suatu nas. Penalaran ini
didukung oleh kenyataan bahwa penuturan suatu masalah dalam nas diiringi
dengan penyebutan ‘illat-‘illat hukumnya.
Muhammad Salam Madkur mendefinisikan “Upaya seorang faqih dalam
menggali hukum yang tidak dijelaskan oleh nas} baik secara qat’i maupun
zanni dan tidak pula terdapat dalam ijma’, di mana untuk mencapainya dengan
melihat amarat (‘illat) yang sudah diletakkan oleh Syari’ untuk menunjukkan
pada hukumnya”.
3. Metode al-istislāhī
Metode Istislahi adalah penalaran untuk menetapkan hukum Syar‘ atas
sesuatu  perbuatan berdasarkan kemaslahatan dengan menggunakan ayat-ayat
al-Qur’an atau Hadith mengandung konsep umum sebagai dalil sandarannya.
Dengan kata lain, kegiatan-kegiatan yang berupaya menetapkan hukum
suatu masalah atas dasar pertimbangan kemaslahatan karena tidak ada ayat al-
Qur’an dan Hadith khusus yang dapat digunakan.
Sedangkan Abu ishaq Ibrahim ibn Musa ibn Muhammad Al-Lakhmi Al
Garnati merumuskan sebuah konsep al_istiqra’, yaitu penelitian terhadap
partikular-partikular makna nash, hukum-hukum spesifik (far’iyah), dan realitas
sejarah (tradisi) untuk di tetapkan suatu hukum umum, baik sifatnya pasti (qot’i)
maupun dugaan kuat (zhanni). Al_istiqra’ al-Man’nawi merupakan suatu metode
penetapan hukum yang tidak saja menggunakan satu dalil tertentu, melainkan
dengan sejumlah dalil yang digabungkan antara satu dengan yang lain yang
mengandung aspek dan tujuan berbeda, sehingga terbentuklah suatu perkara
hukum berdasarkan gabungan dalil-dalil tersebut.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Islam mempunyai dua sumber hukum yang utama yaitu Al-Qur’an dan
Hadits, sedangkan untuk merumuskan suatu hukum baru yang tidak terdapat pada
keduanya diperlukanlah ijtihad yang tetap mendasarkan pada Al-Qur’an dan
hadits. Sehingga dapat dikatakan bahwa ijtihad merupakan sumber hukum islam
yang ke-tiga.

Metode Penetapan Hukum Islam berarti cara yang ditempuh dalam


menetapkan hukum islam. Dalam penetapan hukum islam secara umum dapat di
kelompokkan kepada tiga macam: yaitu
1. metode verbal (at-turuq al-lafzdiyah)
2. metode substansial (at-turuq al-ma’nawiyah)
3. Metode kontemporer
DAFTAR PUSTAKA

 Basyir, Ahmad Azhar. Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam.


Yogyakarta: UII Pres Yogyakarta. 1984.
 Jamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
1997
 Effendi, Satria. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana. 2005.
 Azyumardi Azra, Buku Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi
Umum,
III.Direktorat Perguruan Agama Islam, Jakarta, 2002.
 Syah, Ismail Muhammad. Filsafat Hukum Islam. Jakarta:Bumi Aksara.
1992.
 Al-Qur’an
 http://ruqi86.blogspot.com/2011/04/metode-istinbat-hukum-islam-1.html?
zx=87615352c9140354#uds-search-results

Anda mungkin juga menyukai