Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

AZHAB NUZUL

Dosen Pengampu:

Hamdan M. Pd.

Disusun Oleh:

Nama Kelompok:

1. Jumaine Wardatul Agni

2. Jayadi Ahmad

3. Fauzan Hamzani

4. Hilmi Aziz

INSTITUT AGAMA ISLAM QAMARUL HUDA

FAKULTAS TARBIYAH

BAGU PRINGGARATA LOMBOK TENGAH


i
KATA PENGANTAR

AlhamdulillahirobbilAalalamiin. Puji Syukur kehadirat Allah swt yang telah memberikan dan
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua, wabil khusus untuk kami sehingga makalah
ini bisa kami selesaikan.

Dan tak lupa kita haturkan shalawat dan salam kita kepada junjungan baginda Nabi Agung
Muhammad saw. Karena berkat beliaulah kita masih bisa merasakan nikmatnya iman dan islam sampai
saat ini.

Kami berharap semoga dengan tersusunnya makalah kami ini, kita bisa sama-sama mendapatkan
pengetahuan , dan kami minta maaf jika ada kekeliruan dan kesalahan dalam menyususn makalah kami
ini. Semoga makalah kami ini bisa bermanfaat bagi kita semua dalam proses beljar dan menuntut ilmu
kita. Amiin Ya RobbalAalamiin.

Terakhir kami selaku penyusun makalah ini, sangat berterimakasih atas saran dan dukungan teman-
teman, dan terimkasih juga tidak lupa kami ucapkan kepda Dosen Pengampu mata kuliah “Ulumul
Qur’an”.

Akhirul Kalam, WaAllahulmuafiqIlaAquamitthoriq.

ii
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia di ciptakan Allah di muka bumi ini tiada lain hanya untuk beribadah
kepada Allah dan tugas manusia di muka bumi ini adalah sebagai khalifah untuk
mengemban semua amanah yang diberikan Allah swt. Dan juga harus melaksanakan
dengan tulus mengabdi kepada Allah dan memberikan pelayanan dengan baik kepada
semuanya. Amanah merupakan sebuah konsep sangat penting dalam Al-Qur’an yang
berkaitan dengan hakikat spiritual keberagaman muslim. Kata Amanah mempunyai
makna yang mendalam dan fundamental dalam islam ia tidak saja mempunyai kaitan
yang erat dengan esensi kekhalifahan manusia. Baik iman maupun akhlak, tetapi juga
ada syarat dan nilai-nilai etik yang dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara.1
Amanah dalam bahasa Indonesia adalah kata yang menunjukan makna
“Kepercayaan” menggunakan dua kata yaitu amanah atau amanat. Aamanah memiliki
beberapa arti antara lain:2
1. Pesan yang dititipkan kepada orang lain untuk disampaikan keamanahannya
2. Sebagai pesan yang baik
3. Sebagai Nasehat yang baik dan berguna dari orang tua
4. Sebagai perintah dari atasan3

Diketahui juga bahwa amanah adalah salah satu sifat Nabi Muhammad saw.
Amanah juga dapat diartikan yaitu: “Dapat dipercaya” Nabi adalah orang yang pertama
dipercayai oleh Allah swt.4
Al-Aufi berkata dari Ibnu Abbas yang dimaksud dengan amanah adalah ketaatan
yang ditawarkan kepada Adam, akan tetapi mereka tidk menyanggupinya. Lalu Allah
berfirman kepada Adam “Sesungguhnya aku memberikan amanah kepada langit dan
bumi serta gunung-gunung akan tetapi mereka tidak menyanggupinya”. 5

1
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan kenegaraan, (Lajnah Pentasihan Mushaf Al-Qur’an), p.102
2
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan kenegaraan, p.102
3
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan kenegaraan, p.102
4
Abujamin Roham, Ensiklopedi Lintas Agama, p.53
5
Abujamin Roham, Ensiklopedi Lintas Agama, p53
Ali Bin Abi Talhah berkata dari Ibnu Abbas amanah adalah Kewajiban-kewajiban
yang ditawarkan oleh Allah SWT, kepada langit, bumi, dan gunung –gunung jika
mereka menunaikannya Allah SWT, akan membalas mereka. dan jika mereka Menyia-
nyiakannya niscaya Allah SWT, akan menyiksa mereka. mereka enggan menerimanya
dan menolaknnya bukan karena maksiat akan tatapi karena ta`dzim (menghormati)
Agama Allah SWT.
Semua pendapat tersebut tidak saling bertentangan, bahkan saling melengkapi
semuanya kembali kepada makna bahwa amanah tersebut adalah taklif (pembebanan)
serta menerima berbagai perintah dan larangan.6
Amanah itu mempunyai arti yang sangat luas mencakup berbagai pengertian,
namun titiknnya yaitu bahwa manusia harus mempunyai perasaan tanggung jawab
terhadap apa yang dilakukan di atas pundaknnya diapun sadar bahwa semuannya
akan dipertanggung jawabkan manusia, baik kepada Allah yang menciptakannya
maupun terhadap sesama makhluk. Kewajiban dan tanggung jawab itu adalah
demikian berat, sehingga makhluk-makhluk lain selain dari manusia, tidak berani
menerima dan memikulnnya hal tersebut difirmankan Allah SWT, dalam Al-Qur`an
surat Al-`Ahzab7 ayat :33:72
Yang artinya: Sesunngguhnnya kami telah menawarkan amanah kepada langit,
bumi dan gunung-gunung tetapi semuannya enggan untuk memikul amanah itu. Dan
mereka khawatir tidak akan melaksanakannya lalu dipikullah amanah itu oleh
manusia. Sungguh manusia itu amat dzolim dan amat bodoh. (Qur`an surah Al-Ahzab
ayat :72 )

Mengenai syarah ayat di atas oleh Al- Maragy menyatakan bahwa adannya kata ‫اال‬
‫ رض‬yakni kepada kesiapan langit dan bumi ‫ األمانة‬yakni segala sesuatu yang
dipercayakan kepada seseorang, baik berupa perintah maupun larangan, tentang
urusan-urusan Agama dan dunia. Dan yang dimaksud disini ialah Beban-beban
Agama disebut amanah , karena merupakan hak-hak yang diwajibkan oleh Allah atas
orang-orang mukallaf dan dipercayakan kepada mereka agar dilaksanakan dan
diwajibkan atas mereka. agar diterima dengan penuh kepatuhan dan ketaatan
bahkan mereka disuruh menjaga dan melaksanakannya tanpa melalaikan sedikitpun
dari
2

6
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman Ishaq Alu Syaikh, “Lubaabut Tafsif min Ibni Katsir.” Penerjemah, M.Abduh
ghoffar E.M dan Abu Ihsan AL-Atsari, Tafsir Ibnu Katsir, p.543-544
7
Muhammad Quraish Shihab, Kisah dan Hikmah Kehidupan, p.89
padannya yakni mereka tidak siap menerima. Kata ‫ إ نه‬yakni sesunguhnya manusia
adalah banyak penganiayaannya, karena ia diliputi oleh kekuatan marah kata ‫جهوال‬
yakni bannyak kebodohan tentang akibat-akibat segala perkara, karena diliputi
kekuatan syahwat.8
Ada amanah yang merupakan kepercayaan yang diberikan kepada seseorang
misalnnya berutang tanpa ruangan, karena dipercayakan oleh orang yang berpiutang.
Maka amanah ini hendaklah dipenuhi, dengan pengertian hutang dibayar dengan
penuh menurut waktunnya.9
Bahwa amanah adalah segala sesuatu yang dipikul/ ditanggung manusia, baik
sesuatu terkait dengan urusan Agama maupun urusan dunia, baik terkait dengan
perbuatan maupun dengan perkataan dimana puncak amanah adalah penjagaan
dan pelaksanaannya.
Dalam Al-Qur`an lafadz yang mengarah pada makna amanah atau kepercayaan
berulang sebannyak 20 kali yang kesemuannya dalam bentuk Islam kecuali satu
lafadz dalam bentuk fi`il yaitu ‫ اؤتمن‬dalam Al-Qur`an surah : al-baqarah 2: 28310

Namun untuk mengetahui substansi amanah adalah kepercayaan yang diberikan


orang lain terhadapnnya sehingga menimbulkan ketenangan jiwa, hal tersebut dapat
terlihat dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah:283
Yang artinya: Jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak memperoleh
seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia
bertaqwa kepada Allah, Tuhannya dan janganlah kamu Menyembunyikan kesaksian,
Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang
berdosa hatinya dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Qur`an
surah Al-Baqarah ayat :283 )

Jika dilihat dari sisi subjeknnya (pemberi amanah) maka amanah bisa datang dari
Allah SWT. Sebagaiman yang dipaparkan dalam Al-Qur’an surah Al- Ahzab ayat:72 di
atas. Dan kadang amanah tersebut datang dari manusia itu sendiri sebagaimana yang
tertera dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat : 283 yang tersebut di atas.
3

8
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, p.549
9
Ahmad Mustafa AL- Maraghi, “Mustafa Al-Babi Al-Halabi” penerjemah, Ansori Umar Sitanggal, Hery Noer Aly,
dan Bahrun ABubakar, Tafsir Al-Maraghi, p.72
10
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, p.432
Sedangkan jika dilihat dari objeknnya (orang yang melaksanakan amanah) maka
amanah diberikan kepada Malaikat, Jin, Manusia, baik para Nabi maupun bukan para
Nabi.11
ketaatan tersebut, yaitu melakukan Beban-beban syari`at dan bahwa
perakteknnya sangat berat dan sukar bagi jiwa, kemudian diterangkan pula bahwa
ketaatan yang mereka lakukan penolakan yang berupa tidak menerima dan tidak
melazimkan dari melakukannya semua itu tidaklah karena pemaksaan. 12
Menurut Hamka dalam tafsirnnya mengatakan bahwa ayat tersebut yang telah
disebutkan di atas bermaksud menggambarkan secara majaz atau dengan ungkapan,
betapa berat amanah itu, sehingga gunung-gunung bumi dan langit pun tidak bersedia
memikulnnya. maka yang mampu mengemban amanah tersebut adalah manusia,
karena manusia diberi kemampuan oleh Allah, walupun mereka ternyata kemudian
berupa dzalim, terhadap dirinnya sendiri maupun orang lain serta bertindak bodoh
dengan mengkhianati amanah itu.13
Berangkat dari ketiga unsur tersebut dan penafsiran para ulam tafsir dapat di
pahami bahwa amanah adalah kepercayaan yang diberikan oleh Allah SWT. atau
makluk lain untuk dilaksanakan oleh orang yang diberi amanah yang meliputi
Malaikat, Jin, dan Manusia, atau bahkan alam semesta.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Konsep Amanah dalam Al-Qur`an?


2. Bagaimana Pandangan Para Mufasir tentang Amanah?
3. Apa Saja yang Menjadi Objek Amanah ?

C. Tujuan Penelitian
Dalam suatu penelitian tentunya penulis mempunyai tujuantujuan tertentu
Tujuannya sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui konsep amanah dalam Al-Qur`an
2. Untuk mengetahui bagaimana pandangan para munfasir tentang amanah
3. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi objek amanah
4

11
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahan, p.432
12
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahan, p.432
13
Hamka, Tafsir Al-Azhar, p.81
D. Manfaat Penelitian
Bagi manusia agar bisa bertanggung jawab terhadap apa yang diamanahkan oleh
Allah SWT, terlebih-lebih oleh manusia. Agar manusia dapat dipercayai kembali oleh
orang yang memberikan amanah tersebut. Khususnnya bagi penulis agar mampu
mengetahuhi makna amanah yang tercantum dalam Al-Qur`an.
E. Telaah Pustaka

Ada beberapa literatur yang berkaitan dengan Amanah dalam persepektif al-
Qur`an diantaranya adalah:
1. Ayanah, dalam penelitiannya yang berjudul Tangggung Jawab Manusia Menurut Al-
Quran, yang merupakan sebuah Skripsi Jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuludin Dakwah
dan Adab IAIN “Sultan Maulana Hasanudin Banten” tahun 2007. 14 Bahwasannya letak
perbedaan dengan judul skripsi saya yaitu tentang pengaplikasian manusia itu sendiri.
Dan bagaimana manusia bisa bertanggung jawab terhadap apa yang di embannya.
2. Nurhasanah, dalam penelitiannya yang berjudul amanah dalam al-Qur`an
menjelaskan bahwasannya segala kewajiban yang dibebankan oleh Allah SWT, kepada
manusia ataupun kewajiban yang diberikan oleh seseorang kepada manusia, ataupun
kewajiban yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain. Dan dari kewajiban itu
mereka akan diminta pertanggung jawabannya. 15 Namun letak perbedaannya dengan
judul skripsi saya yaitu tentang penafsiran-penafsiran ayat, dan penafsiran-penafsiran
kalimat dalam ayat tersebut. Skripsi ini akan menjadi pendukung sekaligus penyeimbang
pada penelitian tentang Amanah dalam persepektif Al-Qur`an.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan yang dimaksud dengan
penelitian kepustakaan adalah kepustakaan (Library Research), yaitu usaha
untuk memperoleh data dengan cara mendalam, mencermati, menelaah, dan
mengidentifikasi pengetahuan yang ada dalam kepustakaan (sumber bacaan,
buku, referensi) atau hasil penelitian lain.16 Data yang diambil berasal dari dua
sumber data primer dan sekunder.

2. Sumber Penelitian
14
Ayanah Tanggung Jawab Manusia Menurut Al-Qur’an, “Sultan Maulana Usuluddin”
15
Nurhasanah, Amanah Dalam Al-Qur’an, Skripsi yang diajukan pada fakultas Usuluddin Institut Agama Islam
Negeri Sunan Kalijaga.
16
Zaini Arifin, penelitian pendidikan Metode Paradigma Baru, p.53
Karena penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, yang dimaksud
penelitian kepustakaan (Library Research) adalah data yang digunakan dalam
penelitian ini digolongkan menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder.
Adapun data primer dalam pembahasan ini adalah sebagai pokok bahan acuan
sedangkan data sekunder adalah bahan pelengkap acuan.
3. Metode Analisis
Dalam penelitian ini penulis berusaha memahami, mengkaji, dan menelaah
pengertian amanah, Pandangan para mufasir, objek amanah, Menuju
tercapainnya tujuan penelitian.

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Asbab Al-nuzul


Secara bahasa Asbabun Nuzul terdiri dari dua kata yaitu Asbab, jamak dari sabab
yang berarti sebab atau latar belakang, sedangkan Nuzul merupakan bentuk masdar dari
anzala yang berarti turun. Pengertian asbab an-nuzul secara istilah adalah sesuatu yang
melatarbelakangi turunnya suatu ayat, yang mencakup suatu permasalahan dan
menerangkan suatu hukum pada saat terjadi peristiwa-peristiwa. 17
Menurut Quraish Shihab berdasarkan kutipan dari al-Zarqani, asbab an-nuzul
adalah suatu kejadian yang menyebabkan turunnya suatu ayat atau beberapa ayat, atau
suatu peristiwa yang dapat dijadikan petunjuk hukum berkenaan turunnya suatu ayat.
M. Hasbi Ash Shiddieqy mengartikan Asbabun Nuzul sebagai kejadian yang karenanya
diturunkan Al-Qur’an untuk menerangkan hukumnya di hari timbul kejadiankejadian itu
dan suasana yang didalamnya Al-Qur’an diturunkan serta membicarakan sebab yang
tersebut itu, baik diturunkan langsung sesudah terjadi sebab itu ataupun kemudian
lantaran sesuatu hikmah.18
Nurcholish Madjid menyatakan bahwa asbabun adalah konsep, teori atau berita
tentang adanya sebab-sebab turunnya wahyu tertentu dari Al-Qur’an kepada Nabi
Muhammad SAW, baik berupa satu ayat, satu rangkaian ayat maupun satu surat. Subhi
Shalih menyatakan bahwa Asbabun Nuzul itu sangat berkenaan dengan sesuatu yang
menjadi sebab turunnya sebuah ayat atau beberapa ayat, atau suatu pertanyaan yang
menjadi sebab turunnya ayat sebagai jawaban, atau sebagai penjelasan yang
diturunkan pada waktu terjadinya suatu peristiwa.19
Az-Zarqani berpendapat bahwa asbabun nuzul adalah keterangan mengenai suatu
ayat atau rangkaian ayat yang berisi tentang sebab-sebab turunnya atau menjelaskan
hukum suatu kasus pada waktu kejadiannya. Dari pengertian tersebut di atas dapat
ditarik dua kategori mengenai sebab turunnya suatu ayat. Pertama, suatu ayat turun
ketika terjadi suatu peristiwa. Sebagaimana diriwayatkan Ibn Abbas tentang perintah
Allah kepada Nabi SAW untuk memperingatkan kerabat dekatnya. Kemudian Nabi SAW
naik ke bukit Shafa dan memperingatkan kaum kerabatnya akan azab yang pedih. Ketika
itu Abu Lahab berkata, “Celakalah engkau
7

17
http://www.al-aziziyah.com/.../147-asbab-an-nuzul-sebagai-langkah-awal-memahami-al-quran.html-Tembolok
18
Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, hlm. 30
19
Subhi Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an (terjemah Nur Rakhim dkk), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm.
160
apakah engkau mengumpulkan kami hanya untuk urusan ini?”, lalu ia berdiri. Maka
turunlah surat Al-Lahab.
Kedua, suatu ayat turun apabila Rasulullah ditanya tentang sesuatu hal, maka
turunlah ayat Al-Qur’an yang menerangkan hukumnya. Seperti pengaduan Khaulah binti
Sa’labah kepada Nabi SAW berkenaan dengan zihar yang dijatuhkan suaminya, Aus bin
Samit, padahal Khaulah telah menghabiskan masa mudanya dan telah sering melahirkan
karenanya. Namun sekarang ia dikenai zihar oleh suaminya ketika sudah tua dan tidak
melahirkan lagi. Kemudian turunlah ayat, “Sesungguhnya Allah telah mendengar
perkataan perempuan yang mengadu kepadamu tentang suaminya”, yakni Aus bin
Samit.
Asbabun nuzul menggambarkan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an memiliki hubungan
dialektis dengan fenomena sosio-kultural masyarakat. Namun demikian, perlu
ditegaskan bahwa Asbabun nuzul tidak berhubungan secara kausal dengan materi yang
bersangkutan. Artinya, tidak bisa diterima pernyataan bahwa jika suatu sebab tidak ada,
maka ayat itu tidak akan turun.
Komaruddin Hidayat memposisikan persoalan ini dengan menyatakan bahwa kitab
suci Al-Qur’an, sebagaimana kitab suci yang lain dari agama samawi, memang diyakini
memiliki dua dimensi, yaitu historis dan transhistoris. Kitab suci menjembatani jarak
antara Tuhan dan manusia. Tuhan hadir menyapa manusia di balik hijab kalamNya yang
kemudian menyejarah
B. Sumber dan Cara Mengetahui Asbab Al-nuzul
Pedoman dasar para ulama dalam mengetahui asbabun nuzul ialah riwayat shahih
yang berasal dari Rasulullah atau dari sahabat. Itu disebabkan pemberitahuan seorang
sahabat mengenai hal seperti ini, bila jelas, maka nal itu bukan sekadar pendapat
(ra’yu), tetapi ia mempunyai hukum marfu’ (disandarkan pada Rasulullah). Al-Wahidi
mengatakan:”Tidak halal berpendapat mengenai asbabun nuzul Kitab kecuali dengan
berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang
menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang
pengertiannya serta bersungguh-sungguh dalam mencarinya.”20
Inilah jalan yang ditempuh oleh ulama salaf. Mereka amat berhati-hati untuk
mengatakan sesuatu mengenai asbabun nuzul tanpa pengetahuan yang jelas.
Muhammad bin Sirin mengatakan:”Ketika ku tanyakan kepada ‘Ubaidah mengenai satu
ayat Qur’an, dijawabnya:”Bertakwalah kepada Allah dan berkatalah yang benar. Orang-
orang yang mengetahui mengenai apa Qur’an itu diturunkan telah meninggal.”
8

20
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, (Pustaka Litera AntarNusa). hlm.107
Maksudnya, para sahabat. Apabila seorang tokoh ulama semacam Ibn Sirin, yang
termasuk tokoh tabi’in terkemuka sudah demikian berhati-hati dan cermat mengenai
riwayat dan kata-kata yang menentukan, maka hal itu menunjukkan, orang harus
mengetahui benar-benar asbabun nuzul. Oleh karena itu, yang dapat dijadikan
pegangan dalam asbabun nuzul adalah riwayat ucapan-ucapan sahabat yang bentuknya
seperti musnad, yang secara pasti menunjukkan asbabun nuzul. As-Suyuti berpendapat
bahwa bila ucapan seorang tabi’in secara jelas menunjukkan asbabun nuzul, maka
ucapan itu dapat diterima. Dan mempunyai kedudukan mursal bila penyandaran
kepada tabi’in itu benar dan ia termasuk salah seorang imam tafsir yang mengambil
ilmunya dari para sahabat, seperti Mujahid, ‘Ikrimah dan Sa’id bin Jubair serta didukung
oleh hadis mursal yang lain.
Keabsahan asbab an-nuzul melalui riwayat yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW, tetapi tidak semua riwayat shahih. Riwayat yang shahih adalah
riwayat yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan para ahli hadits.
Lebih spesifik lagi ialah riwayat dari orang yang terlibat dan mengalami peristiwa pada
saat wahyu diturunkan. Riwayat dari tabi’in yang tidak merujuk kepada Rasulullah dan
para sahabat dianggap dhaif (lemah).
Dalam periwayatan asbab an-nuzul dapat dikenali melalui empat cara yaitu:21
1) Asbab an-nuzul disebutkan dengan redaksi yang sharih (jelas) atau jelas
ungkapannya berupa (sebab turun ayat ini adalah demikian), ungkapan seperti ini
menunjukkan bahwa sudah jelas dan tidak ada kemungkinan mengandung makna
lain.
2) Asbab an-nuzul yang tidak disebut dengan lafaz sababu (sebab), tetapi hanya
dengan mendatangkan lafaz fa ta’qibiyah bermakna maka atau kemudian dalam
rangkaian suatu riwayat, termasuk riwayat tentang turunnya suatu ayat setelah
terjadi peristiwa. Seperti berkaitan dengan pertanyaan orang Yahudi pada masalah
mendatangi isteriisteri dari dhuburnya. Maka turun surat Al-Baqarah ayat 223,
artinya:”Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka
datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki,
dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertaqwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya, dan berilah kabar gembira
orang-orang yang beriman.
3) Asbab an-nuzul dipahami secara pasti dari konteksnya. Turunnya ayat tersebut
setelah adanya pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad SAW.
Kemudian ia diberi
9

21
http://www.al-aziziyah.com/.../147-asbab-an-nuzul-sebagai-langkah-awal-memahami-al-quran.html-Tembolok
wahyu oleh Allah untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan ayat yang baru
diturunkan tersebut.
4) Asbab an-nuzul tidak disebutkan ungkapan sebab secara tegas.
Tetapi menggunakan ungkapan dalam redaksi ini dikategorikan untuk menerangkan
sebab nuzul suatu ayat, juga ada kemungkinan sebagai penjelasan tentang kandungan
hukum atau persoalan yang sedang dihadapi.
Berbeda pendapat dalam menggolongkan cara yang keempat sebagai asbab an-
nuzul, ada yang mengatakan sebagai penjelasan hukum, bukan sebagai sebab turunnya
ayat. Menurut Supiana berdasarkan kutipan dari al-Zarkasyi berpendapat bahwa
kebiasaan para sahabat dan tabi’in telah diketahui apabila mereka mengatakan “ayat ini
nuzul tentang ini” maksudnya adalah menerangkan bahwa ayat ini mengandung hukum
tertentu, bukan untuk menerangkan sebab turun ayat. Namun, satu-satunya jalan untuk
menentukan salah satu dari dua makna yang terkandung dalam redaksi itu adalah
konteks pembicaraannya. Maka perlu diteliti apakah ia menunjukkan sebab nuzul atau
bukan, dalam hal ini sangat menentukan qarinah dari riwayat tersebut.
Selanjutnya ia menjelaskan, jika terdapat dua redaksi tentang persoalan yang sama,
salah satu ada nash menunjukkan sebab turunnya ayat, sedangkan yang lain tidak
demikian, maka redaksi yang pertama diambil sebagai sebabnya dan redaksi yang lain
dianggap sebagai penjelasan hukum yang terkandung dalam ayat tersebut.
Jika ada dua riwayat yang menyebutkan sebab nuzul yang berlainan, maka yang
mu’tamad ialah riwayat yang sanadnya lebih shahih dari yang lain. Jika kedua sanadnya
sederajat, maka dikuatkan riwayat yang peristiwanya menyaksikan kasus dan kisah. Jika
tidak mungkin dilakukan tarjih (dipilih yang lebih kuat), maka dikategorikan ke dalam
ayat yang memiliki beberapa sebab nuzul dengan terulangnya kasus dan peristiwa.

C. Metode Penelitian dan Pentarjihan Asbab Al-nuzul


Penelitian dilakukan terhadap riwayat yang mengemukakan asbab an-nuzul, karena
banyak riwayat tidak memenuhi syarat keshahihannya. Adakala banyak ayat yang turun
pada peristiwa yang sama, disebut:

Dan adakala sebaliknya yaitu banyak terjadi peristiwa pada satu ayat yang turun,
disebut:

10
Apabila asbab an-nuzul suatu ayat diterangkan oleh beberapa riwayat, maka muncul
beberapa kemungkinan sebagai berikut:
1. Kedua riwayat tersebut yang satu shahih dan yang lain tidak.
2. Kedua riwayat tersebut shahih, tetapi salah satunya ada dalil yang memperkuat
dan yang lain tidak.
3. Kedua riwayat tersebut shahih dan tidak ditemukan dalil yang memperkuatkan
salah satunya tetapi dapat dikompromikan.
4. Kedua riwayat tersebut shahih dan tidak ada dalil yang memperkuatkan salah
satunya dan kedua-duanya tidak mungkin dikompromikan.

Untuk menjelaskan permasalahan beberapa riwayat diatas adalah:


1. Apabila kedua riwayat shahih, yang pertama menyatakan sebab turunnya ayat
dengan tegas, sedangkan yang kedua tidak, maka diambil riwayat yang pertama.
2. Apabila kedua riwayat shahih, salah satunya ditarjihkan, sedangkan yang lain
diriwayatkan oleh perawi yang menyaksikan sendiri, maka dipilih riwayat yang
lebih rajih (kuat).
3. Apabila kedua riwayat menerangkan sebab riwayat yang lebih rajih dan yang
lebih shahih, sedangkan lain shahih tetapi marjuh (dipandang lebih lemah),
maka diambil riwayat yang shahih lagi rajih.

D. Kedudukan Asbab Al-nuzul dalam Pemahaman Al-Qur’an


Mengetahui sebab-sebab turunnya ayat mempunyai peran yang sangat signifikan
dalam memahami Al-Qur’an. Di antara fungsi dan manfaatnya adalah mengetahui
hikmah ditetapkannya suatu hukum. Di samping itu, mengetahui asbab al-nuzul
merupakan cara atau metode yang paling akurat dan kuat untuk memahami kandungan
Al-Qur’an. Alasannya, dengan mengetahui sebab, musabab atau akibat ditetapkannya
suatu hukum akan diketahui dengan jelas.22
Berikut ini paparan dua kisah yang dapat dijadikan dasar bagi kita, betapa tanpa
mengetahui sebab-sebab turunnya ayat, banyak mufasir yang tergelincir dan tidak
dapat memahami makna dan maksud sebenarnya dari ayat-ayat Al-Quran

11

22
Muhammad ibn ‘Alawi Al-Maliki, Samudra Ilmu-ilmu Al-Qur’an: Ringkasan kitab Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an,
(Mizan Pustaka), hlm. 21-22.
Pertama, kisah Marwan ibn Al-Hakam. Dalam sebuah hadis riwayat Al-Bukhari dan
Muslim diceritakan bahwa Marwan pernah membaca firman Allah SWT, yang
artinya:”Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira
dengan apa yang telah mereka kerjakan dan suka dipuji atas perbuatan yang belum
mereka kerjakan terlepas dari siksa. Bagi mereka siksa yang pedih.” (QS. Ali Imran: 188)

Setelah membaca ayat tersebut, Marwan berkata, “Seandainya benar setiap orang
yang merasa gembira dengan apa yang telah dikerjakannya dan suka dipuji atas apa
yang belum dilakukannya akan disiksa, maka semua orang juga akan disiksa.” Secara
tekstual, apa yang dipahami Marwan adalah benar. Namun, secara kontekstual tidaklah
demikian. Ibn ‘Abbas menjelaskan bahwa ayat tersebut sebetulnya turun berkenaan
dengan kebiasaan Ahl Al-Kitab (Yahudi dan Nasrani) dalam berbohong. Yaitu, jika Nabi
Muhammad SAW bertanya tentang sesuatu, mereka menjawab dengan jawaban yang
menyembunyikan kebenaran. Mereka seolah-olah telah memberi jawaban, sekaligus
mencari pujian dari Nabi dengan apa yang mereka lakukan. (HR. Al-Bukhari dan
Muslim).
Kedua, kisah ‘Utsman ibn Mazh’un dan ‘Amr ibn Ma’dikarib. Kedua sahabat ini
menganggap bahwa minuman keras (khamar) diperbolehkan dalam Islam. Mereka
berdua berargumen dengan firman Allah SWT, yang artinya:”Tidak ada dosa atas orang-
orang yang beriman dan beramal saleh mengenai apa yang telah mereka makan
dahulu.” (QS. Al-Maidah: 93). Seandainya mereka mengetahui sebab turunnya ayat
tersebut, tentu tidak akan berpendapat seperti itu. Sebab, ayat tersebut turun
berkenaan dengan beberapa orang yang mempertanyakan mengapa minuman keras
diharamkan? Lantas, apabila khamar disebut sebagai kotoran atau sesuatu yang keji
(rijs), bagaimana dengan nasib para syahid yang pernah meminumnya? Dalam konteks
itulah, QS. Al-Maidah turun untuk memberi jawaban. (HR. Imam Ahmad, Al-Nasai, dan
yang lain).
Begitu juga dengan firman Allah SWT yang artinya:”Maka ke arah mana saja kamu
berpaling atau menghadap, di sana ada Wajah Allah (Kiblat/ Ka’bah). (QS. Al-Baqarah:
115). Seandainya sebab turun ayat tersebut tidak diketahui, pasti akan ada yang
berkata, “Secara tekstual, ayat tersebut menunjukkan bahwa orang yang melakukan
shalat tidak wajib menghadap kiblat, baik di rumah maupun di perjalanan.” Pendapat
seperti ini, tentu saja bertentangan dengan ijma’(konsensus para ulama). Namun,
apabila sebab turunnya diketahui, menjadi jelas bahwa ayat tersebut turun berkenaan
dengan pelaksanaan shalat sunnah di perjalanan (safar).

12
Selain itu, juga berkenaan dengan orang yang melakukan shalat berdasarkan ijtihadnya,
kemudian sadar bahwa dia telah keliru dalam berijtihad.
Asbabun nuzul memiliki kedudukan (fungsi) yang penting dalam
memahami/menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an, sekurang-kurangnya untuk sejumlah ayat
tertentu. Ada beberapa kegunaan yang dapat dipetik dari mengetahui asbabun nuzul,
diantaranya:
a. Mengetahui sisi-sisi positif (hikmah) yang mendorong atas pensyari’atan hukum.
b. Dalam mengkhususkan hukum bagi siapa yang berpegang dengan kaidah:”
bahwasanya ungkapan (teks) Al-Qur’an itu didasarkan atas kekhususan sebab,
dan
c. Kenyataan menunjukkan bahwa adakalanya lafal dalam ayat Al-Qur’an itu
bersifat umum, dan terkadang memerlukan pengkhususan yang
pengkhususannya itu sendiri justru terletak pada pengetahuan tentang sebab
turun ayat itu.23

13

23
Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 3, (Pustaka Firdaus, 2004), hlm. 111.
BAB III
PENUTUP

Mempelajari asbab an-nuzul sangat penting bagi yang ingin mengkaji ilmu tafsir,
bahkan sebuah kewajiban bagi ahli tafsir. Cara mengetahui asbab an-nuzul pertama,
dengan riwayat yang shahih, yakni riwayat yang memenuhi syarat-syarat yang telah
ditetapkan oleh para ahli hadits. Kedua, menggunakan lafadh fa at-ta’qibiyah bermakna
maka atau kemudian. Ketiga, dipahami dari konteks yang jelas. Keempat, tidak
disebutkan secara tegas terhadap redaksi. Ada ulama yang berpendapat sebagai
penjelasan tentang hukum.
Metode penelitian dan pentarjihan asbab an-nuzul harus dilakukan penelitian
terhadap riwayatnya, karena ada dua kategori dalam sebab penurunannya. Pertama,
banyak turun ayat pada satu peristiwa, sedangkan yang kedua, banyak terjadi peristiwa
pada satu ayat yang turun.
Kedudukan asbab an-nuzul dalam pemahaman Al-Qur’an sangat membantu dalam
memahami Al-Qur’an, apabila tidak niscaya banyak kekeliruannya. Kebanyakan ulama
untuk menjadikan pedoman hukum lebih sepakat pada “umum lafadh” daripada
“khusus sebab”, karena mempunyai tiga macam dalil yaitu: pertama, lafadh syar’I saja
yang menjadikan hujjah dan dalil. Kedua, kaidah tersebut ditanggungkan kepada makna
selama tidak ada pemalingannya dari makna tersebut. Ketiga, para sahabat dan
mujtahid kebanyakan tanpa memerlukan qias atau mencari dalil apabila berhujjah
dengan lafadh yang umum dari sebab yang khusus

14
DARTAR PUSTAKA

Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Litera AntarNusa, 2009

Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Dana Bhakti Prima Yasa, 1998

Muhammad Ibn ‘Alawi Al-Maliki, Samudra Ilmu-ilmu Al-Qur’an: Ringkasan kitab Al-Itqan fi
‘Ulum Al-Qur’an, Mizan Pustaka, 2003

Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 3, Pustaka Firdaus, 2004

http://www. al-aziziyah.com/…/147-asbab-an-nuzul-sebagai-langkah-awal-memahami-
alquran.html-Tembolok

15

Anda mungkin juga menyukai