Anda di halaman 1dari 20

Makalah Qur’an Hadist

BAB 3
Keteguhan Imanku Dengan Ibadah

Disusun Oleh:
Kelompok 4
Nama
~ Fiani Wulansari
~ Najibatun Nisa
~ Restika Az Zahra
~ Sabrina Adha Atifa

MTsN 1 Pelaihari
Program Kelas Unggulan
Tahun Pelajaran 2015/2016
Kata Pengantar

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Qur’an hadist untuk teman-
teman.

Makalah Qur’an Hadist ini telah kami susun dengan maksimal dan
mendapatkan bantuan dari berbagai teman sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua teman-teman yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih


ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.
Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan
kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah Qur’an Hadist
ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah Qur’an Hadist ini dapat
memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Pelaihari, November
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

Bab 1 Pendahuluan .............................................. 1

Rumusan Masalah ...................................... 2

Bab 2 Pembahasan .............................................. 3

A.Pengertian Iman ...................................... 3

B.Pengertian Ibadah ................................... 5

C.Pengertian Etika ...................................... 8

Bab 3 Penutup ...................................................... 14

A.Kesimpulan ............................................. 14

B.Saran ....................................................... 15

Catatan Kaki

Daftar Pustaka
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia diciptakan bukan sekedar hidup mendiami dunia ini dan


kemudianmengalami kematian tanpa adanya pertanggung-jawaban kepada
penciptanya, melainkan manusia itu diciptakan oleh Allah SWT untuk mengapdi
kepada-Nya. Sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an surah al Bayyinah ayat 5

"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan


memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang
lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan
yang demikian Itulah agama yang lurus.

Dapat kita pahami dari ayat ini bahwa manusia diciptakan bukan sekedar
sebagai unsur pelengkap isi alam saja yang hidupnya tanpa tujuan, tugas
dan tanggung-jawab. Sebagai makhluk yang diciptakan paling sempurna,
pada hakikatnya manusia diperintahkan untuk mengabdi kepada
penciptanya, Allah SWT.

Pada prinsipnya pengabdian manusia (ibadah) merupakan sari dari ajaran


Islam yang mempunyai arti penyerahan diri secara total pada kehendak
Allah SWT. Dengan demikian, hal ini akan mewujudkan suatu sikap dan
perbuatan dalam bentuk ibadah. Apabila ini dapat dicapai sebagai nilai
dalam sikap dan perilaku manusia, maka akan lahir suatu keyakinan
untuk tetap mengabdikan diri kepada Allah SWT dan tentunya bila
keyakinan itu kemudian diwujudkan dalam bentuk amal keseharian akan
menjadikan maslahah dalam kehidupan sosial.

1
B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan iman ?

2. Apa yang dimaksud dengan ibadah ?

3. Apa yang dimaksud dengan etika ?

4. Bagaimana hubungan antara iman, ibadah dan etika ?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Iman
Iman secara lughat atau secara bahasa berasal dari lafadz tashdiq yang
artinya percaya (baik percaya kepada yang benar atau kepada yang bathil
atau campuran keduanya).[1] Sedangkan menurut syara’ iman adalah
membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan serta
mengamalkan dengan perbuatan. Yang dimaksud membenarkan dengan
hati yaitu mempercayai dan meyakini segala yang dibawa Rasulullah saw.
Yang dimaksud dengan mengikrarkan dengan lisan adalah mengucap dua
kalimah syahadat. Sedangkan maksud dari mengamalkan dengan
perbuatan yaitu hati mengamalkan dalam bentuk keyakinan dan badan
mengamalkan dalam bentuk ibadah jika syarat – syarat diatas terpenuhi
maka seorang dapat dikatakan “Mukmin”.[2]

Konsep iman adalah pokok yang mendasari keseluruhan pemikiran


tentang keyakinan dan kepercayaan dalam hal-hal keagamaan.

Konsep iman yang dikemukakan oleh aliran-aliran yang ada dalam teologi
islam kesemuanya memiliki perbedaan, meskipun terdapat sedikit
persamaan. Berikut akan di jelaskan konsep iman pada tiap aliran-aliran
tersebut yaitu :

a. Konsep iman menurut asy’ariah

Asy’ariah berpendapat bahwasanya akal manusia tidak dapat sampai


kepada kewajiban mengetahui Tuhan. Dan manusia mengetahuinya
melalui wahyu. Menurut mereka iman ialah at-tasdiqu billah, yaitu

3
membenarkan kabar tentang adanya Allah. Dalam batasan lengkapnya,
iman ialah pengakuan dalam hati tentang ke-Esaan Allah dan tentang
kebenaran rasul serta segala apa yang yang mereka bawa. Menurut
mereka iman bukan ma-rifat atau amal.

b. Konsep iman menurut mu’tazilah

Mu’tazilah berpendapat bawa akal manusia bisa sampai mengetahui


kepada kewajiban mengetahui tuhan. Menirut mereka iman bukanlah
tads(membenarkan) tetapi amal yang timbul akibat dari mengetahui
tuhan. Menurut mereka iman bukan hanya dengan pengakuan dan
ucapan lisan, tetapi juga direalisasikan oleh perbuatan-perbuatan.

c. Konsep iman menurut maturidiah Bukhara

Sama halnya dengan asy’ariah, maturidiah Bukhara berpendapat bahwa


akal manusia tidak bisa sampai kewajiban mengetahui Tuhan. Menurut
mereka iman tidak bisa mengambil bentuk ma’rifah atau amal, tetapi
haruslah merupakan tads. Dan menurut mereka iman adalah kunci
masuk surga dan amal akan menentukan tingkatan yang akan dimasuki
seseorang dalam surga.

d. Konsep menurut maturidiah Samarkand

Maturidiah samarkand sependapat dengan mu’tazilah, bahwa akal


manusia akan sampai mengetahui Tuhan dan iman bukanlah hanya
sekedar tads malainkan ma’rifah atau amal.[3]

4
B. Pengertian Ibadah
Kata ibadah dalam bahasa Arab merupakan bentuk mahsdar dari kata-
kata ‘abdun yang arti generiknya menunjuk pada pengertian patuh dan
tunduk, menghambakan dan menghinakan diri.[4] Secara umum
pengertian ibadah dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu ibadah dalam
pengertian umum dan ibadah dalam pengertian khusus. Ibadah dalam
pengertian umum, ialah segala aktivitas jiwa dan raga manusia (makhluk,
yang diciptakan) yang ditujukan kepada Allah (al-Khaliq, Sang Maha
Pencipta), sebagai tanda ketundukkan dan kepatuhan hamba tersebut
kepada-Nya. Sedangkan ibadah dalam pengertian khusus, ialah semua
kegiatan ibadah yang ketentuannya telah digariskan oleh nash-nash al-
Qur’an maupun hadis, yang ketentuan-ketentuan itu tidak boleh
ditambah, dikurangi atau diubah.

Di dalam kata ibadah terkandung makna ketundukan yang


mendalam, berasal dari getaran jiwa yang merasakan kebesaran dari apa
yang disembah (al-Ma’bud), dan dari keyakinan tentang adanya suatu
kekuatan tak terbatas yang dimilki apa yang disembah itu. Getaran jiwa
karena merasakan kemahaagungan yang disembah itu sendiri merupakan
roh atau jiwa dari suatu ibadah. Sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam ibn
Katsir dalam tafsir menjelaskan bahwa “ Ibadah itu, ialah suatu
pengertian yang mengumpulkan kesempurnaan cinta, tunduk dan takut”.
Akan tetapi, tidak cukup sekadar demikian saja, suatu ibadah dalam Islam
harus pula dibarengi dengan perasaan kepasrahan mutlak kepada Allah,
karena suatu ibadah yang tidak disertai dengan penyerahan diri secara
mutlak, sama dengan menentang tindakan ibadah itu sendiri.

5
Penyerahan diri itu mengandung arti yang seluas-luasnya, bahwa
seseorang yang melakukan ibadah menyatakan pengakuan diri sebagai
makhluk (yang diciptakan) dan sebagai hamba, yang disembah adalah al-
Khaliq (Yang Mencipta) dan Tuhan. Kesadaran seperti inilah yang

melahirkan getaran jiwa, setiap kali seorang hamba mendengar nama


Tuhan disebut dan ayat-ayat Tuhan dibacakan.

Sebagaimana firman Allah:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang


apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila
dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka
(karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal” (QS. Al-Anfal,
8:2)[5]

Ibadah itu mensyukuri nikmat Allah SWT. Atas dasar inilah tidak
diharuskan kita, baik oleh syara’ maupun oleh akal, beribadah kepada
selain Allah SWT. Karena Allah sendiri yang berhak menerimanya,
lantaran Allah sendiri yang memberikan nikmat yang paling besar kepada
kita yaitu hidup, wujud dan segala yang berhubungan dengannya. Kita
meyakini benar bahwa Allah-lah yang memberikan nikmat kepada kita.
Maka mensyukuri “orang” yang memberikan nikmat itu wajib.

6
Dan kita yakin pula bahwa Tuhan menimbulkan bencana atas hamba-
Nya yang enggan mengibadati-Nya didalam dunia ini dan akan memberi
balasan yang setimpal di akherat kelak kepada mereka yang taat dan
yang maksiat masing-masing menurut yang layak mereka peroleh.

Untuk mewujudkan ibadah hamba itu, Tuhan memerintahkan hamba


beribadat kepada-Nya. Tuhan mengeluarkan perintah-Nya ini,
sebenarnya adalah suatu keutamaan-Nya yang besar kepada kita. Jika
kita renungi hakikat ibadah, kita pun yakin bahwa perintah beribadah itu
pada hakikatnya berupa peringatan, memperingatkan kita menunaikan
kewajiban terhadap “orang” yang telah melimpahkan karunia-Nya.

Diterima tidaknya ibadah-ibadah itu terkait kepada dua faktor yang


penting:

~ Ibadah dilaksanakan atas dasar ikhlas.

Firman Allah SWT

Artinya: “Katakan olehmu, bahwasanya aku diperintahkan menyembah


Allah (beribadah kepada-Nya) seraya mengikhlaskan taat kepada-Nya,
dan diperintahkan supaya aku merupakan orang pertama yang
menyerahkan diri kepada-Nya”. (QS. Az-Zumar/39:11-12)

7
~ Ibadah dilakukan secara yang sah (sesuai petunjuk syara’).

Firman Allah SWT:

Artinya: “Barang siapa mengharap suoaya menjumpai Tuhannya,


hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih. Dan janganlah ia
mensyarikatkan seseorang dengan Tuhannya dalam ibadahnya itu”. (QS.
Al Kahfi/18:110)[6]

C. Pengertian Etika
Perkataan etika berasal dari bahasa yunani ethos yang berarti kebiasaan.
Yang dimaksud adalah kebiasaan baik atau kebiasaan buruk. Dalam
kepustakaan umumnya kata etika diartikan sebagai ilmu. Makna etika
dalam KBBI misalnya adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang
buruk dan tentang hak dan kewajiban moral atau akhlak. Didalam
ensiklopedi pendidikan diterangkan bahwa etika adalah filsafat tentang
nilai, kesusilaan tentng baik dan buruk. Kecuali mempelajari nilai-nilai,
etika merupakan pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri. Sebagai
cabang filsafat yang mempelajari tingkah laku manusia untuk
menentukan nilai perbuatan baik atau buruk ukuran yang
dipergunakannya adalah akal pikiran. Akal lah yang menentukan apakah
perbuatan manusia itu baik atau buruk. Secara etimologi, akhlak atau
etika berasal dari bahasa arab, jama’ dari khuluqun artinya perangai;

tingkah laku atau tabiat.

8
Kalimat tersebut mempunyai persamaan dengan khalqun yang berarti
kejadian, serta erat hubungannya dengan khaliq yang artinya pencipta,
makhluk yang artinya yang diciptakan. Sedangkan secara terminologi,
akhlak didefinisikan oleh beberapa ahli sebagai berikut:

a. Menurut prof. Dr. Muhammad Amin, akhlak adalah segla sesuatu


kehendak yang terbiasa dilakukan.

b. Menurut ibnu maskawih, akhlak adalah perilaku jiwa seseorang


yang mendorong untuk melakukan kegiatan-kegiatan tanpa melalui
pertimbangan.

c. Menurut al-Gazali, akhlak adalah segala sifat yang tertanam dalam


hati yang menimbulkan kegiatan-kegiatan dengan ringan dan tanpa
memerlukan pemikiran sebagai pertimbangan

Jadi, dapat disimpulkan bahwa pengertian akhlak adalah suatu perbuatan


sebagai sebuah kebiasaan yang berpangkal dari dalam hati, jiwa dan
kehendak yang timbul secara spontan.[7]

D. Hubungan antara Iman, Ibadah dan Etika

1. Hubungan Iman dengan Ibadah

Hubungan iman dan ibadah adalah sejauh mana keimanan dapat


mempengaruhi ibadah dan etika atau moral dan sebaliknya. Keimanan
atau akidah adalah fondasi dari semua ajaran islam, yaitu akidah, syariah
dan akhlak. Seseorang yang telah beriman atau berakidah harus
mengimplentasikan keimanannya dengan syariah yaitu beribadah kepada
Allah dan bermuamalah dengan sesama manusia dan alam sekitar.

9
Akidah diwujudkan dalam pengucapan dua kalimat syahadat, diimani,
diyakini, dan dibenarkan dalam hatinya. Sebagai wujud keimanannya
kepada Allah, dia harus melaksanakan syariah berupa ibadah mahdah
dan ibadah muamalah ghairu mahdah. Yang mana ibadah madhah
artinya penghambaan yang murni merupakan hubungan antara hamba
dengan Allah secara langsung seperti : menjalankan ibadah sholat.
Sedangkan ibadah muamalah ghairu madhah artinya segala amalan yang
diizinkan oleh Allah, misalnya ibadah ghairu madhah ialah belajar, dzikir,
dakwah, tolong menolong dan lain sebagainya.

Orang yang beriman disebut mukmin. Sedangkan seorang mukmin yang


telah melakukan ibadah dan melakukan muamalah disebut muslim.
Seorang mukmin belum dikatakan muslim apabila dia belum
melaksanakan ibadah, baik ibadah mahdah maupun ibadah ghairu
mahdah. Keimanan dan keislaman seseorang harus dilengkapi dengan
ibadah dalam rukun islam yaitu syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji
(bagi yang mampu).

Kualitas iman seseorang ditentukan oleh kualitas dan kuantitas ibadah


orang tersebut. Makin kuat iman seseorang semakin kuat dan tinggi
frekuensi ibadahnya. Demikian pula sebaliknya apabila semakin baik dan
sempurna ibadah yang dilakukan seseorang, maka semakin mantap
keimanan didalam dirinya. Pelaksanaan ibadah yang yang di landasi iman
yang kuat memberikan dampak yang postif terhadap sikap dan perilaku
seorang muslim.[8]

10
2. Hubungan Iman dengan Etika

Keterkaitan iman dan etika dapat dilihat melalui beberapa analsis sebagai
berikut:

a. Dilihat dari segi objek bahasannya

Sebagaimana diuraikan sebelumnya, iman membahas masalah tuhan,


baik dari Zat, sifat dan perbuatan-Nya. Kepercayaan yang mantap kepada
Tuhan yang demikian itu, akan menjadi landasan untuk mengarahkan
amal perbuatan yang dilakukan oleh manusia, sehingga perbuatan
manusia menjadi ikhlas dan keikhlasan ini merupakan salah satu akhlak
yang mulia’

Allah Swt berfirman:

Artinya: “Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan


ikhlas mentaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga

agar melaksanakan shalat dan menunaikan zakat dan yang itulah agama
yang lurus”(QS.Al-Bayyinah:5)

11
b. Dilihat dari segi fungsinya

Iman menghendaki seseorang tidak hanya cukup dengan menghafal


rukun iman dan dalil-dalilnya saja, tetapi yang terpenting adalah agar
orang yang bertauhid itu meniru dan menyontoh tehadap subjek yang
ada dalam rukun iman itu. jika kita memiliki sifat-sifat mulia, maka
sebaiknya manusia yang bertauhid meniru sifat-sifat tuhan itu. Misalnya
meniru sifat Ar-Rahman, Ar-Rahim.

3. Hubungan Iman Ibadah dan Etika

Iman ibadah dan etika juga memiliki hubungan kausalitas (sebab akibat).
Kualitas iman seseorang ditentukan oleh kualitas dan kuantitas ibadah
orang tersebut. Makin tinggi kualitas ibadah seseoarang (misal shalat
makin khusu’, mengurangi atau menghilangkan syirik kepada Allah). Dan
kuantitasnya ( misal menambah shalat wajib dengan shalat sunnah,

banyak bershadaqah) akan menambah dan mempertebal iman


seseorang, makin mengurangi dan mempertipis, bahkan dapat
menghilangkan kualitas iman seseorang kepada Allah SWT.

Pelaksanaan ibadah yang dilandasi iman yang kuat memberikan dampak


positif terhadap sikap dan perilaku atau akhlak seorang muslim.

Allah berfirman :

Artinya : “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab


(Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat
Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang
lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

12
(Al-Ankabut 45)

Shalat itu mengandung dua hikmah, yaitu dapat menjadi pencegah diri
dari perbuatan keji dan perbuatan munkar. Maksudnya dapat menjadi
pengekang diri dari kebiasaan melakukan kedua perbuatan tersebut dan
mendorong pelakunya dapat menghindarinya. sehingga seeorang akan
tunduk dan patuh kepada aturan-aturan Allah. Dengan demikianlah
sangat erat hubungan dan saling mempengaruhi antara iman dengan
ibadah kepada Allah SWT dalam mempengaruhi akhlak seseorang.[9]

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Iman adalah membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan serta


mengamalkan dengan perbuatan. Yang dimaksud membenarkan dengan
hati yaitu mempercayai dan me

nyakini segala yang dibawa oleh Rasulullah. Yang dimaksud dengan


mengikrarkan dengan lisan adalah mengucap dengan dua kalimah syahadat.
Sedangkan maksud dari mengamalkan dengan perbuatan yaitu hati mengamalkan
dalam bentuk keyakinan dan badan mengamalkan dalam bentuk ibadah. Jika
syarat-syarat diatas terpenuhi maka seseorang akan dikatakan mukmin.

Iman dengan ibadah juga memiliki hubungan kasualitas (sebab-akibat).


Kualitas iman seseorang ditentukan oleh kualitas dan kuantitas ibadah
orang tersebut. Makin tinggi kualitas ibadah seseorang(misal : shalat
makin khusu’, mengurangi atau menghilangkan syirik kepada Allah ). Dan
kuantitasnya (misal : menambah shalat wajib dengan dan shalt sunnah,
banyak bershadaqah) akan menambah dan mempertebal iman
seseorang, makin mengurangi dan mempertipis, bahkan dapat
menghilangkan kualitas seseorang kepada Allah SWT.

Hubungan iman dengan ihsan dan etika pergaulan seakan tidak pernah
lepas, karena sejauh mana keimanan dapat mempengaruhi ibadah dan
etika pergaulan. Misalnya :Seseorang apabila imannya kuat dan tkun
beribadahnya maka moral atau tingkah lakunya akan menjadi baik karena
merasa karena merasa tingkah lakunya akan slalu diawasi oleh Allah
SWT.

14
B. Saran

Semoga makalah Ilmu Tauhid yang berisi tentang “Hubungan Iman,


Ibadah dan Etika (Akhlak)” ini dapat bermanfaat bagi kita. Khususnya bagi
mahasiswa STAIN KUDUS, pembaca dan pendengar.

15
Catatan Kaki

[1] Fathul Mufid, Ilmu Tauhid/Kalam, Stain Kudus, Kudus; 2009, hal 82

[2]://jumadibismillahsukses.blogspot.com/2011/11/hubungan-iman-dengan-ibadah-dan-etika [3]
//sitimasrifah9.blogspot.com/2013/06/hubungan-antara-iman-ibadah-dan-ilmu. [4]Azyumardi
Azra, Kajian Tematik Al-Qur’an Tentang Fiqih dan Ibadah, Angkasa, Bandung; 2008, hal 34

[5] Ibid., hal 41-43

[6] Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, KULIAH IBADAH “Ibadah Ditinjau dari Segi Hukum dan
Hikmah”, Pustaka Rizki Putri, Semarang;2000, hal 10-13.

[7] //sitimasrifah9.blogspot.com/2013/06/hubungan-antara-iman-ibadah-dan-ilmu [8://roicha-


mufida.blogspot.com/2012/05/hubungan-iman-dengan-ibadah-dan-etika

[9://sitimasrifah9.blogspot.com/2013/06/hubungan-antara-iman-ibadah-dan-ilmu.
Daftar Pustaka

Restika Az Zahra.2015.Qur’an Hadist.Pelaihari:

Fiani Wulansari.2015.Qur’an Hadist.Pelaihari:

Najibatun Nisa.2015.Qur’an Hadist.Pelaihari:

Sabrina Adha Atifa.2015.Qur’an Hadist.Pelaihari:

Anda mungkin juga menyukai