Anda di halaman 1dari 61

FORMULASI DAN EVALUASI SEDIAAN PATCH

EKSTRAK ETANOL DAUN NILAM (Pogostemon


cablin Benth)

ELISABETH
15.01.181

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI MAKASSAR


MAKASSAR
2019
ABSTRAK
Judul : Formulasi Patch Ekstrak Etanol Daun Nilam (Pogostemon
cablin Benth.)
(Dibimbing oleh : Zulham dan Amriani Sapra)
Daun Nilam (Pogostemon cablin Benth.) merupakan salah
satu tanaman obat tradisional yang lama digunakan masyarakat untuk
berbagai tujuan pengobatan, salah satunyanya pengehillang nyeri
(analgetik). Daun nilam mengandung berbagai senyawa bioaktif yaitu
senyawa alkaloid, flavanoid dan tanin. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui karakteristik patch ekstrak daun nilam dengan variasi
konsentrasi polimer HPMC dan PVP yaitu F1 (1 g : 0,5 g), F2 (0,5 g : 1
g), F3 ( 1 g : 1 g). Pengujian dilakukan meliputi uji organoleptik, uji
keseragaman bobot, uji ketahanan lipat, uji ketebalan, uji susut
pengeringan, dan uji daya serap kelembaban. Hasil pengujian
menunjukkan F1 dengan perbandiangan HPMC dan PVP F1 (1 g : 0,5
g), menunjukkan karakteristik fisik patch yang baik, keseragaman bobot
yang seragam dengan rata-rata 2,83 g, ketebalan patch 0,41 mm,
ketahana lipat >200, susut pengeringan 5,33 % dan daya serap
kelembaban 5,82 %.

Kata kunci : Pogostemon cablin Benth., patch, karakteristik fisik


BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Kulit merupakan lapisan pelindung tubuh terhadap pengaruh luar,

baik pengaruh fisik maupun pengaruh kimia. Penampilan kulit biasanya

terganggu dengan adanya rangsangan sentuhan, rasa sakit maupun

pengaruh buruk dari luar. Gangguan-gangguan ini dapat menyebabkan

kulit terkena penyakit. Penyakit yang paling sering diderita dalam

permasalah kulit ini adalah jerawat (Wasitaatmadja, 2008).

Jerawat merupakan penyakit pada permukaan kulit wajah, leher,

dada dan punggung yang muncul pada saat kelenjar minyak pada kulit

terlalu aktif sehingga pori-pori kulit akan tersumbat oleh timbunan lemak

yang berlebihan. Jika timbunan itu bercampur dengan keringat, debu dan

kotoran lain maka akan menyebabkan timbunan lemak dengan bintik

hitam diatasnya yang disebut komedo. Jika pada komedo itu terdapat

infeksi bakteri, maka terjadilah peradangan yang dikenal dengan jerawat

yang ukurannya bervariasi mulai dari ukuran kecil sampai ukuran besar

serta berwarna merah, kadang-kadang bernanah serta menimbulkan rasa

nyeri (Djajadisastra et al, 2009).

Faktor utama yang terlibat dalam pembentukan jerawat adalah

peningkatan produksi sebum, peluruhan keratinosit, pertumbuhan bakteri

dan inflamasi. Mikroorganisme seperti Propionibacterium acnes berperan

dalam patogenesis penyakit ini dengan cara memproduksi metabolit yang

1
dapat bereaksi dengan sebum sehingga meningkatkan proses inflamasi

(Laianto, 2014).

Sampai saat ini belum ada cara penyembuhan yang tuntas terhadap

jerawat, meskipun ada beberapa cara yang sangat menolong. Salah

satunya penggunaan antibiotik sebagai solusi untuk jerawat yang masih

banyak diresepkan. Namun obat yang diresepkan ini memiliki efek

samping dalam penggunaannya sebagai anti jerawat antara lain iritasi

pada kulit wajah, sementara penggunaan antibiotik jangka panjang selain

dapat menimbulkan resistensi dapat menimbulkan kerusakan organ dan

imunohipersensitivitas. Oleh karena itu masyarakat mulai beralih dengan

mengunakan tanaman tradisional dibandingkan dengan obat-obatan

sintesis karena obat jerawat yang menggunakan bahan-bahan alam akan

berefek lebih aman pada kulit wajah dibandingkan senyawa kimia

(Laianto, 2014; Djajadisastra et al, 2009).

Perlu pencarian tumbuhan yang berfungsi sebagai antibakteri. Salah

satu tumbuhan yang secara empiris dapat menyembuhkan berbagai jenis

penyakit dan memiliki khasiat antibakteri ialah daun Sampare (Glochidion

sp. var. Biak). Tumbuhan sampare merupakan salah satu tumbuhan dari

famili Phyllanthaceae yang berasal dari Kabupaten Biak Papua yang

tumbuh liar di daerah beriklim hutan hujan tropis, mulai dari dataran

rendah sampai ketinggian kira-kira 8-25 m dpl (diatas permukaan laut)

(Chrystomo et al, 2014 dan 2015).


Menurut Oktalia, dkk (2017) yang telah melakukan analisis fitokimia.

Daun sampare menunjukkan hasil bahwa skrining fitokimia simplisia dan

ekstrak daun sampare mengandung senyawa golongan alkaloid,

flavonoid, saponin, tanin dan kuinon. Senyawa metabolit sekunder yang

terkandung dalam daun sampare memiliki daya hambat terhadap

pertumbuhan bakteri. Senyawa golongan alkaloid mampu mendenaturasi

protein sehingga merusak aktivitas enzim sehingga akan menyebabkan

kematian sel bakteri (Robinson, 1991; Anggita, 2018). Senyawa golongan

flavonoid dapat menghambat pertumbuhan bakteri, mendenaturasi protein

sel bakteri, merusak membran sel tanpa dapat diperbaiki kembali dan

dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram positif dan gram negatif

(Juliantina, 2008; Cowan, 1999; Octaviani dan Syafrina, 2018). Senyawa

saponin yang bersifat detergen bekerja dengan membentuk suatu

kompleks dengan sterol yang terdapat pada membran sehingga

menyebabkan kerusakan membran pada bakteri (Barile et al, 2006). Dan

senyawa tannin memiliki mekanisme yaitu menyebabkan lisis pada bakteri

dan memiliki kemampuan untuk menginaktifkan enzim bakteri serta

mengganggu jalannya protein pada membran sel (Sapara, 2016).

Pada penelitian ini ekstrak etanol daun sampare dibuat dalam bentuk

sediaan gel anti jerawat karena bentuk sediaan gel lebih baik digunakan

pada pengobatan jerawat, karena sediaan gel dengan pelarut yang polar

lebih mudah dibersihkan dari permukaan kulit setelah pemakaian dan

tidak mengandung minyak yang dapat meningkatkan keparahan pada


jerawat. Keuntungan lain dari sediaan gel yaitu tidak lengket dan

merupakan sediaan yang cepat menguap serta dapat menghantarkan

obat dengan baik ke dalam kulit, hal ini dapat menyebabkan jerawat

menjadi cepat kering (Sasanti dkk, 2006 dan Pelen dkk, 2016).

I.2 Rumusan masalah

1. Apakah ekstrak etanol daun sampare (Glochidion sp var. Biak) dapat

diformulasi dalam bentuk gel yang stabil terhadap Propionibacterium

acnes ?

2. Bagaimana efektivitas gel ekstrak etanol daun sampare (Glochidion sp

var. Biak) terhadap bakteri Propionibacterium acnes ?

I.3 Tujuan penelitian

1. Memperoleh sediaan gel ekstrak etanol daun sampare (Glochidion sp

var. Biak) yang stabil sebagai antibakteri terhadap Propionibacterium

acnes.

2. Mengetahui efektivitas gel ekstrak etanol daun sampare (Glochidion sp

var. Biak) terhadap bakteri Propionibacterium acnes.

I.4 Manfaat penelitian

Penelitian ini dapat memberikan informasi ilmiah mengenai potensi

ekstrak etanol daun sampare (Glochidion sp var. Biak) sebagai antibakteri

terhadap Propionibacterium acnes yang diaplikasikan dalam bentuk

sediaan gel.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Uraian tumbuhan

II.1.1 Klasifikasi tanaman daun Sampare (Glochidion sp var. Biak)

Adapun klasifikasi tanaman daun sampare Glochidion sp var. Biak

menurut Kementerian riset (2018) adalah sebagai berikut :

Regnum : Plantae

Divisio : Magnoliophyta

Classis : Magnoliopsida

Ordo : Euphorbiales

Familia : Euphorbiaceae
Gambar 1. Tumbuhan sampare (Glochidion sp.
Var. Biak)
Genus : Glochidion

Species : Glochidion sp

Varietas : Glochidion sp var. Biak

II.1.2 Morfologi tanaman

Sampare (Glochidion sp var. Biak) berupa tumbuhan perdu, tinggi 2-

3 m dan cabang menyudut ke atas. Daun majemuk menyirip gasal, anak

daun berseling, berpasangan 8–15 pasang, bangun anak daun

memanjang oval dan ketika masih muda berwarna kecoklatan agak

merah. Ranting dan tangkai daun merah kecoklatan, bunga tersebar di

ketiak anak daun, daun mahkota bunga berwarna kehijaun sedikit

kekuningan, ukuran kecil 3-5 mm seperti lonceng. Buah bulat berkendaga

5 bagian, ukuran diameter 1-1,5 cm, berwarna hijau sewaktu masih muda

5
dan kalau sudah tua berwarna kehitaman. Biji kecil berwarna hitam,

berbunga dan dapat berbuah sepanjang tahun tanpa mengenal musim

(Chrystomo dkk, 2016).

Habitat dan penyebaran tumbuhan sampare adalah tumbuh liar

dihutan hujan tropis dengan habitat tanah yang agak kering, ditanah

gembur, didataran terbuka, diladang atau ditepi-tepi jalan. Menyebar luas

didaerah tropis, banyak tumbuh didaerah Biak Papua mulai dari dataran

rendah sampai ketinggian kira-kira 8-25 m dpl (diatas permukaan laut)

(Chrystomo dkk, 2016).

II.1.3 Kandungan kimia

Kandungan kimia yang terdapat pada daun sampare (Glochidion sp

var. Biak) mengandung senyawa golongan alkaloid, flavonoid, tanin,

saponin dan kuinon tetapi tidak dijumpai adanya triterpenoid dan steroid

(Oktalia, dkk, 2017).

II.1.4 Khasiat Tanaman

1. Senyawa golongan alkaloid

Mekanisme aktifitas antibakteri golongan senyawa alkaloid yaitu

dengan cara mengganggu penyusunan peptidoglikan melalui reaksi

antara gugus basa dari alkaloid dengan senyawa asam amino yang

menyusun dinding sel sehingga tidak terbentuk lapisan dinding sel bakteri

secara utuh dan alkaloid juga mampu mendenaturasi protein sehingga

merusak aktivitas enzim yang menyebabkan kematian sel bakteri

(Robinson, 1991; Anggita, 2018).


2. Senyawa golongan flavanoid

Menurut Vickery (1981) beberapa jenis flavonoid berfungsi sebagai

zat antibiotik, misalnya antivirus dan antijamur, peradangan pembuluh

darah dan dapat digunakan sebagai racun ikan. Selain itu, flavonoid juga

berperan langsung sebagai antibiotik dengan mengganggu fungsi dari

mikroorganisme, seperti bakteri atau virus (Subroto dan Saputro, 2006).

Mekanisme penghambatan flavonoid terhadap pertumbuhan bakteri

diduga karena kemampuan senyawa tersebut membentuk kompleks

dengan protein ekstraseluler, mengaktivasi enzim, dan merusak membran

sel. Pada umumnya senyawa flavonoid dapat menghambat pertumbuhan

bakteri gram positif dan gram negatif (Cowan, 1999). Mekanisme flavonoid

dapat menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara membentuk

senyawa kompleks terhadap protein ekstraseluler yang mengganggu

keutuhan membran sel bakteri, mekanisme kerjanya dengan cara

mendenaturasi protein sel bakteri dan merusak membran sel tanpa dapat

diperbaiki kembali dengan keluarnya senyawa intraseluler (Juliantina,

2008; Octaviani dan Syafrina, 2018).

3. Senyawa golongan saponin

Menurut Mursito (2002), saponin bersifat sebagai antiseptik pada

luka permukaan, bekerja sebagai bakteriostatik yang biasanya digunakan

untuk infeksi pada kulit, mukosa dan melawan infeksi pada luka. Senyawa

saponin yang bersifat detergen bekerja dengan membentuk suatu

kompleks dengan sterol yang terdapat pada membran, sehingga


menyebabkan kerusakan membran (Barile et al, 2006). Senyawa saponin

juga berinteraksi dengan membran fosfolipid sel yang bersifat

impermeabel terhadap senyawa-senyawa lipofilik sehingga menyebabkan

integritas membran menurun, morfologi membran sel berubah, dan

akhirnya dapat menyebabkan membran sel rapuh dan lisis (Yani, 2004).

Rusaknya membran sel bakteri mengakibatkan membran plasma pecah,

sel kehilangan sitoplasma, transport zat terganggu dan metabolisme

terhambat sehingga bakteri mengalami hambatan pertumbuhan bahkan

kematian sehingga menyebabkan sel bakteri lisis (Tortora et al, 2007).

4. Senyawa golongan tannin

Senyawa golongan tanin memiliki mekanisme mengkoagulasi dan

mendenaturasi protein. Tanin berikatan dengan protein membentuk ion

H+ dan mengakibatkan pH menjadi asam sehingga protein terdenaturasi.

Kondisi asam menginaktif enzim pada bakteri dan menyebabkan

metabolisme terganggu, kerusakan sel bahkan kematian. Tanin dapat

menghambat enzim reverse transcriptase dan DNA topoisomerase

sehingga sel bakteri tidak dapat terbentuk. Senyawa tanin dapat

mengerutkan dinding sel atau membran sel sehingga mengganggu

permeabilitas sel yang dapat menyebabkan terganggunya aktivitas hidup

bakteri sehingga mengakibatkan pertumbuhan bakteri terhambat dan

menimbulkan kematian (Ajizah, 2004). Tanin merupakan senyawa yang

bersifat polar dan menurut Sapara (2016) mekanisme kerja tanin yaitu

menyebabkan lisis pada bakteri karena memiliki target pada dinding sel
polipeptida sehingga dinding sel tidak terbentuk sempurna dan tanin

memiliki kemampuan untuk menginaktifkan enzim bakteri dan

mengganggu jalannya protein pada membran sel.

II.2 Simplisia

II.2.1 Definisi Simplisia

Simplisia adalah bahan alam yang digunakan sebagai bahan obat

dan belum mengalami pengolahan apapun juga, kecuali dinyatakan lain

berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan menjadi

simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan (mineral). Simplisia

nabati adalah simplisia yang berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan

atau eksudat tumbuhan. Eksudat tumbuhan ialah isi sel yang secara

spontan keluar dari tumbuhan atau isi sel yang dengan cara tertentu

dipisahkan dari tumbuhannya dan belum berupa senyawa kimia murni

(Ditjen POM, 2000).

II.2.2 Cara Pembuatan Simplisia

Dasar pembuatan simplisia meliputi beberapa tahapan. Adapun

tahapan tersebut dimulai dari pengumpulan bahan baku, sortasi basah,

pencucian, pengubah bentuk, pengeringan, sortasi kering, pengepakan

dan penyimpanan (Gunawan dan Mulyani, 2004).

1. Sortasi Basah

Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau

bahan-bahan asing lainnya dari bahan simplisia. Misalnya bahan simplisia

yang dibuat dari akar suatu tanaman obat, bahan-bahan asing seperti
tanah, kerikil, rumput, batang, daun, akar yang telah rusak, serta kotoran

lain yang harus dibuang.

2. Pencucian

Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan kotoran lain

yang melekat pada bahan simplisia. Pencucuian dilakukan dengan air

bersih misalnya dari mata air, air sumur atau air PAM. Simplisia yang

mengandung zat yang mudah larut di dalam air yang mengalir, sebaiknya

dilakukan pencucian dalam waktu sesingkat mungkin.

3. Perajangan

Beberapa jenis bahan simplisia perlu mengalami proses perajangan.

Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses

pengeringan, pengepakan dan penggilingan. Perajangan dapat dilakukan

denga pisau, dengan alat perajang khusus sehingga diperoleh irisan tipis

atau potongan dengan ukuran yang dikehendaki. Semakin tipis bahan

yang dikeringkan maka semakin cepat penguapan air sehingga

mempercepat waktu pengeringan. Akan tetapi irisan yang terlalu tipis juga

menyebabkan berkurangnya atau hilangnya zat yang berkhasiat yang

mudah menguap.

4. Pengeringan

Tujuan pengeringan adalah untuk mendapatkan simplisia yang tidak

mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama.

Dengan mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik akan

dicegah penurunan mutu atau perusakan simplisia. Pengeringan simplisia


dilakukan dengan menggunakan sinar matahari atau menggunakan alat

pengering.

5. Sortasi Kering

Sortasi kering adalah pemilihan bahan setelah mengalami proses

pengeringan. Pemilihan dilakukan terhadap bahan-bahan yang rusak.

6. Pengepakan dan Penyimpanan

Selesai tahap pengeringan dan sortasi kering selesai, maka simplisia

perlu ditempatkan dalam satu wadah tersendiri agar tidak saling

bercampur antara simplisia yang satu dengan yang lainnya.

II.3 Ekstrak

II.3.1 Definisi Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi

senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan

pelarut yang sesuai, kemudian pelarut diuapkan dan massa atau serbuk

yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang

telah ditentukan (Ditjen POM, 1995).

II.3.2 Metode Ekstraksi

Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya

dengan menggunakan pelarut yang sesuai (Mukhriani, 2014). Pembuatan

ekstrak (ekstraksi) bisa dilakukan dengan berbagai metode sesuai dengan

sifat dan tujuannya (Sulharmita, 2013).

Metode ekstraksi maserasi merupakan metode sederhana yang

banyak digunakan. Cara ini sesuai, baik untuk skala kecil maupun skala
industri (Agoes, 2007). Metode ini dilakukan dengan cara merendam

serbuk simplisia kedalam cairan penyari selama beberapa hari pada

temperatur kamar dan terlindung dari cahaya (Depkes, 1985). Maserasi

umumnya dilakukan dengan cara memasukkan simplisia yang sudah

diserbukkan dengan derajat halus tertentu sebanyak 10 bagian dalam

bejana maserasi yang dilengkapi pengaduk mekanik, kemudian

ditambahkan 7,5 bagian cairan penyari ditutup dan dibiarkan selama 3-5

hari pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya sambil berulang-

ulang diaduk. Setelah 3-5 hari cairan penyari disaring ke dalam wadah

penampung, kemudian ampasnya diperas dan ditambah cairan penyari

lagi secukupnya dan diaduk kemudian disaring lagi sehingga diperoleh

sari 100 bagian. Sari yang diperoleh ditutup dan disimpan pada tempat

yang terlindung dari cahaya selama 2 hari, endapan yang terbentuk

dipisahkan dan filtratnya dipekatkan (Depkes, 1985).

Pemilihan metode ekstraksi maserasi dibandingkan dengan metode

ekstraksi lainnya adalah prosedur dan peralan yang digunakan

sederhana, tidak dipanaskan sehingga bahan alam tidak menjadi terurai.

Ekstraksi dingin memungkinkan banyak senyawa terekstraksi, meskipun

beberapa senyawa memiliki kelarutan terbatas dalam pelarut pada suhu

kamar (Heinrich et al, 2004).


II.4 Propionibacterium acnes

1. Klasifikasi Propionibacterium acnes

Adapun klasifikasi dari Propionibacterium acnes menurut Khan

(2009) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Bacteria

Filum : Actinobacteria

Kelas : Actinobacteridae

Ordo : Actinomycetales

Famili : Propionibacteriaceae Gambar 2. Bakteri Propionibacterium acnes

Genus : Propionibacterium

Spesies : Propionibacterium acnes

2. Morfologi Propionibacterium acnes

Propionibacterium acnes adalah flora normal kulit terutama diwajah

yang tergolong dalam kelompok bakteri Corynebacteria. Bakteri ini

berperan pada pathogenesis jerawat yang dapat menyebabkan inflamasi,

bakteri ini berbentuk batang dan dapat hidup diudara serta menghasilkan

spora. Inflamasi timbul karena perusakan stratum corneum dan stratum

germinativum dengan mensekresikan bahan kimia yang menghancurkan

dinding pori. Obat-obat yang digunakan untuk pengobatan jerawat sampai

saat ini masih terus dikembangkan. Salah satu solusi mengatasi jerawat

adalah membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri penyebab

jerawat dengan antibiotik seperti eritromisin, clyndamicin, tetrasiklin dan

benzoil peroksida akan tetapi dalam dekade terakhir ini resistensi


antibiotik terhadap Propionibacterium acnes semakin meningkat (Khan,

2009; Loveckova dan Havlikova, 2002).

Propionibacterium acnes merupakan bakteri gram positif, anaerob

fakultatif, tumbuh dipori yang kecil dan berkembang biak relatif lambat (18-

24 jam). Pertumbuhan optimum terjadi pada suhu 30°C-37°C, koloni

bakteri ini pada media agar berwarna kuning muda sampai merah muda

dan memiliki bentuk yang khas (Zain, 2012).

Propionibacterium acnes berperan pada pathogenesis jerawat

dengan menghasilkan lipase yang memecah asam lemak bebas dari lipid

kulit dan asam lemak ini dapat mengakibatkan inflamasi pada jaringan

ketika berhubungan dengan sistem imun dan mendukung terjadinya

jerawat. Bakteri ini tipikal bakteri anaerob gram positif yang toleran

terhadap udara, genome dari bakteri ini telah dirangkai dan sebuah

penelitian menunjukkan beberapa gen yang dapat menghasilkan enzim

untuk meluruhkan kulit dan protein yang mungkin immunogenic

(mengaktifkan sistem kekebalan tubuh). Ciri-ciri penting dari bakteri

Propionibacterium acnes adalah berbentuk batang tak teratur yang terlihat

pada pewarnaan gram positif serta bakteri ini dapat tumbuh diudara dan

tidak menghasilakan endospore, bakteri ini dapat berbentuk filament

bercabang atau campuran antara bentuk batang/filament dengan bentuk

kokoid. Propionibacterium acnes memerlukan oksigen mulai dari aerob

atau anaerob fakultatif sampai ke mikroerofilik atau anaerob. Beberapa

bersifat patogen untuk hewan dan tanaman (Khan, 2009).


II.5 Jerawat

Jerawat merupakan penyakit pada permukaan kulit wajah, leher,

dada dan punggung yang muncul pada saat kelenjar minyak pada kulit

terlalu aktiv sehingga pori-pori kulit akan tersumbat oleh timbunan lemak

yang berlebihan. Jika timbunan itu bercampur dengan keringat, debu dan

kotoran lain maka akan menyebabkan timbunan lemak dengan bintik

hitam diatasnya yang disebut komedo. Jika pada komedo itu terdapat

infeksi bakteri, maka terjadilah peradangan yang dikenal dengan jerawat

yang ukurannya bervariasi mulai dari ukuran kecil sampai ukuran besar

serta berwarna merah, kadang-kadang bernanah serta menimbulkan rasa

nyeri (Djajadisastra et al, 2009).

Faktor utama yang terlibat dalam pembentukan jerawat adalah

peningkatan produksi sebum, peluruhan keratinosit, pertumbuhan bakteri

dan inflamasi. Mikroorganisme seperti Propionibacterium acnes berperan

dalam patogenesis penyakit ini dengan cara memproduksi metabolit yang

dapat bereaksi dengan sebum sehingga meningkatkan proses inflamasi

(Laianto, 2014).

Ada 3 tipe jenis jerawat yang sering dijumpai yaitu (Dewi, 2009) :

1. Komedo

Komedo adalah pori-pori yang tersumbat, dapat terbuka atau

tertutup. Komedo yang terbuka disebut sebagai blackhead, terlihat seperti

pori-pori yang membesar dan menghitam. Berwarna hitam sebenarnya

bukan kotoran tetapi merupakan penyumbat pori yang berwarna karena


teroksidasi dengan udara. Sedangkan komedo yang tertutup atau

whiteheads, biasanya memiliki kulit yang tumbuh diatas pori-pori yang

tersumbat maka terlihat seperti tonjolan putih kecil-kecil dibawah kulit.

Jerawat ini disebabkan sel-sel kulit mati dan kelenjar minyak yang

berlebihn pada kulit.

2. Jerawat biasa atau klasik

Jenis jerawat klasik ini mudah dikenal yaitu terdapat tonjolan kecil

berwarna pink atau kemerahan, hal ini terjadi karena pori-pori yang

tersumbat terinfeksi dengan bakteri yang terdapat dipermukaan kulit, kuas

make-up dan jari tangan. Stress, hormone dan udara yang lembab dapat

memperbesar kemungkinan infeksi jerawat karena menyebabkan kulit

memproduksi minyak yang merupakan tempat perkembangbiakan bakteri.

3. Jerawat batu atau jerawat jagung (Cystic acne)

Biasanya jerawat batu memiliki bentuk yang besar dengan tonjolan-

tonjolan yang meradang hebat dan berkumpul diseluruh wajah. Penderita

jerawat ini dikarenakan faktor genetik yang memiliki banyak kelenjar

minyak sehingga pertumbuhan sel-sel kulit tidak normal dan tidak dapat

mengalami regenerasi secepat kulit normal.

Mekanisme terjadinya jerawat adalah bakteri Propionibacterium

acnes merusak stratum korneum dan stratum germinat dengan cara

menyeksresikan bahan kimia yang menghancurkan dinding pori-pori

sehingga dapat menyebabkan inflamasi. Asam lemak dan minyak kulit

tersumbat kemudian mengeras. Jika jerawat disentuh maka inflamasi


akan meluas sehingga padatan asam lemak dan minyak kulit yang

mengeras akan membesar (Sugita, 2010).

II.6 Metode uji mikrobiologi

Penentuan aktivitas dan efektivitas antimikroba dapat dilakukan

dengan dua metode, yaitu metode difusi dan metode dilusi. Pada metode

difusi termasuk didalamnya metode disk diffusion (tes Kirby dan Baur), E-

test, ditch-plate technique dan cup-plate technique. Sedangkan pada

metode dilusi termasuk didalamnya metode dilusi cair dan dilusi padat

(Pratiwi, 2008).

a. Metode difusi menurut Pratiwi (2008) diantaranya :

1. Metode disk diffusion (tes Kirby dan Baur) menggunakan piringan yang

berisi agen mikroba, kemudian diletakkan pada media agar yang

sebelumnya telah di tanami mikroorganisme sehingga agen

antimikroba dapat berdifusi pada media agar tersebut. Area jernih

mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh

agen antimikroba pada permukaan media agar.

2. Metode E-test digunakan untuk mengestimasi Kadar Hambat Minimum

(KHM), yaitu konsentrasi minimal suatu agen antimikroba untuk dapat

menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Pada metode ini

digunakan strip plastik yang mengandung agen antimikroba dari kadar

terendah sampai tertinggi dan diletakkan pada permukaan media agar

yang telah ditanami mikroorganisme. Pengamatan dilakukan pada

area jernih yang ditimbulkan yang menunjukkan kadar agen


antimikroba yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada

media agar.

3. Metode ditch-plate technique, pada metode ini sampel uji berupa agen

antmikroba yang diletakkan pada parit yang dibuat dengan cara

memotong media agar dalam cawan petri pada bagian tengah secara

membujur dan mikroba uji (maksimum 6 macam) digoreskan kearah

parit yang berisi agen antimikroba tersebut.

4. Metode cup-plate technique, metode ini serupa dengan disk diffusion

dimana dibuat sumur pada media agar yang telah ditanami dengan

mikroorganisme dan pada sumur tersebut diberi agen antimikroba

yang akan diuji.

b. Metode dilusi menurut Pratiwi (2008) diantarannya :

1. Metode difusi cair / broth dilution test (serial diution), metode ini

digunakan untuk mengukur Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dan

Kadar Bunuh Minimum (KBM). Cara yang dilakukan adalah dengan

membuat seri pengenceran agen antimikroba pada medium cair yang

ditambahkan dengan mikroba uji. Larutan uji agen antimikroba pada

kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba

uji ditetapkan sebagai Konsentrasi Hambat Minimum (KHM). Larutan

yang ditetapkan sebagai Konsentrasi Hambat Minimum (KHM)

tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media cair tanpa penaanaman

mikroba uji ataupun agen antimikroba dan diinkubasi umumnya selama


18-24 jam. Media cair yang terlihat jernih setelah diinkubasi ditetepkan

sebagai Kadar Bunuh Minimum (KBM).

2. Metode dilusi padat (Solid dilution test), metode ini serupa dengan

metode dilusi cair namun menggunakan media padat (Solid).

Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen antimikroba yang

diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji.

II.7 Pengukuran zona hambat

Potensi dari suatu antimikroba diperkirakan dengan membandingkan

zona hambat pertumbuhan terhadap mikroorganisme yang sensitiv dari

hasil penghambatan suatu konsentrasi larutan uji dibandingkan dengan

antibiotik. Aktivitas antibakteri dinyatakan positif apabila terbentuk zona

hambat berupa zona bening disekeliling kertas cakram dan bagian yang

dihitung jangka sorong adalah diameter dari zona hambat yang terbentuk

(Anonim, 2001; Pratiwi, 2008).

II.8 Kulit

II.8.1 Anatomi Kulit

Kulit adalah bagian tubuh yang terletak paling luar, dan merupakan

bagian terluas meliputi hampir 2 m 2 dari luas permukaan tubuh. Kulit

merupakan organ yang esensial dan vital serta merupakan cermin dari

kesehatan dan kehidupan seseorang. Susunan kulit sangat kompleks,

elastis dan sensitif, serta bervariasi tergantung pada keadaan iklim, umur,

seks, ras, dan lokasinya pada tubuh. Kelembutan, ketebalan, ketipisan

dan elastisitas kulit juga bervariasi. Kulit yang elastis dan longgar terdapat
pada kelopak mata dan bibir, sedangkan yang tebal dan tegang terdapat

pada telapak kaki. Kulit yang kasar terdapat pada skrotum (kantong buah

zakar) dan labia mayor (bibir kemaluan besar), sedangkan kulit yang halus

terdapat disekitar mata dan leher. Kulit berfungsi untuk melindungi,

mengatur suhu tubuh, mengekskresikan zat-zat yang tidak berguna,

mensintesis vitamin D, dan sebagai alat pengindra bagi manusia (Yessi,

2015).

II.8.2 Struktur Kulit

Gambar 2. Bagian-bagian kulit (Graham, 2005)

Secara garis besar kulit terbagi atas tiga lapisan utama yaitu :

a. Epidermis

Epidermis tidak menggandung pembuluh darah dan sangat

bergantung kepada dermis untuk suplai nutrisi dan pembuangan limbah

dengan cara difusi melalui dermoepidermal junction. Epidermis ini

bertingkat-tingkat, epithelium skuamosa yang utamanya mengandung

keratinosit. Permukaan epidermis mengandung didalamnya stratum

germinativum, stratum spinosum, stratum granulosum, dan stratum

korneum (Amirlak, 2015).


Adapun bagian-bagian epidermis yaitu: (Djuanda, 2003)

1. Stratum korneum (Lapisan Tanduk) adalah lapisan kulit yang paling

luar dan terdiri dari beberapa lapisan sel-sel gepeng yang mati, tidak

berinti, dan protoplasmanya telah berubah menjadi keratin.

2. Stratum lusidum (daerah sawar atau lapisan jernih) terdapat langsung

dibawah lapisan korneum, merupakan lapisan sel-sel gepeng tanpa inti

dengan protoplasma yang berubah menjadi protein yang disebut

eleidin. Lapisan tersebut tampak lebih jelas ditelapak tangan dan kaki.

3. Stratum granulosum (lapisan keratohialin) merupakan 2 atau 3 lapis

sel-sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti

diantaranya. Butir-butir kasar ini terdiri atas keratohialin.

4. Stratum spinosum (stratum malphigi atau sel duri) terdiri atas beberapa

lapis sel yang berbentuk poligonal yang besarnya berbeda-beda

karena adanya proses mitosis. Protoplasmanya jernih karena banyak

mengandung glikogen dan inti terletak ditengah-tengah. Sel-sel ini

makin dekat ke permukaan makin gepeng bentuknya. Diantara sel-sel

stratum spinosun terdapat jembatan-jembatan antar sel yang terdiri

atas protoplasma dan tonofibril atau keratin. Pelekatan antar jembatan-

jembatan ini membentuk penebalan bulat kecil yang disebut nodulus

Bizzozero. Diantara sel-sel spinosum terdapat pula sel Langerhans.

Sel-sel stratum spinosum mengandung banyak glikogen.

5. Stratum germinativum (Stratum Basale) terdiri atas sel-sel berbentuk

kubus yang tersusun vertikal pada perbatasan dermo-epidermal


berbasis seperti pagar (palisade). Lapisan ini merupakan lapisan

epidermis yang paling bawah. Sel-sel basal ini mengalami mitosis dan

berfungsi reproduktif. Lapisan ini terdiri atas dua jenis sel yaitu sel-sel

yang berbentuk kolumnar dengan protoplasma basofilik inti lonjong

dan besar, dihubungkan satu dengan lain oleh jembatang antar sel dan

sel pembentuk melanin atau clear cell yang merupakan sel-sel

berwarna muda, dengan sitoplasma basofilik dan inti gelap dan

mengandung butir pigmen melanosome.

b. Dermis

Dermis adalah lapisan dibawah epidermis yang jauh lebih tebal dari

pada epidermis. Lapisan ini terbentuk oleh lapisan elastis dan fibrosa

padat dengan elemen selular, kelenjar dan folikel rambut. Secara garis

besar dermis dibagi menjadi dua bagian yaitu :

1. Pars papilare yaitu bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung

serabut saraf dan pembuluh darah.

2. Pars retikulare yaitu bagian bawah dermis yang menonjol kearah

subkutan, bagian ini terdiri atas serabut-serabut penunjang misalnya

serabut kolagen, elastin dan retikulin.

Jaringan sekeliling dermis terbentuk oleh mucopolysaccharides

(utamanya asam hialuronat), chondroitin sulfat dan glikoprotein.

Sedangkan lapisan permukaan dalam dermis mengandung lapisan

subkutaneus dan panniculus adiposus yang berfungsi sebagai bantalan

(Amirlak, 2015).
c. Subkutan

Subkutan adalah kelanjutan dermis yang terdiri atas jaringan ikat

longgar berisi sel-sel lemak didalamnya. Sel-sel lemak merupakan sel

bulat, besar, dengan inti terdesak ke pinggir sitoplasma lemak yang

bertambah. Sel-sel ini membentuk kelompok yang dipisahkan satu dengan

yang lain oleh trabekula yang fibrosa. Pembuluh darah subkutan berasal

dari arteri septokutaneus atau fasciokutaneus perforator. Pembuluh darah

berfungsi sebagai penyuplai darah ke jaringan ikat yang mempunyai

kontak yang dekat seperti tulang, otot, fascia, syaraf, dan lemak.

Pembuluh darah kutaneus beranastomosis dengan pembuluh darah

kutaneus lainnya untuk membentuk jaringan kutaneus pada kulit. Hal ini

membuat jaringan subkutan dapat bertahan hidup dengan suplai darahnya

sendiri (Amirlak, 2015).

II.9 Gel

Gel didefinisikan sebagai suatu sistem setengah padat yang terdiri

dari suatu dispersi yang tersusun baik dari partikel anorganik yang kecil

atau molekul organik yang besar dan saling diserapi cairan (Ansel, 2008).

Gel mempunyai kekakuan yang disebabkan oleh jaringan yang saling

menganyam dari fase terdispersi yang mengurung medium

pendispersinya (air). Perubahan suhu dapat menyebabkan gel kembali ke

bentuk cairnya. Beberapa gel menjadi encer setelah pengocokan dan

segera menjadi setengah padat atau padat kembali setelah dibiarkan

beberapa waktu (tiksotropi) (Ansel, 1989).


Bentuk sediaan gel lebih baik digunakan pada pengobatan jerawat

karena sediaan gel dengan pelarut yang polar lebih mudah dibersihkan

dari permukaan kulit setelah pemakaian dan tidak mengandung minyak

yang dapat meningkatkan keparahan jerawat (Sasanti dkk, 2006).

II.9.1 Klasifikasi Gel

Gel dikategorikan menjadi 2 sistem klasifikasi. Sistem pertama

membagi gel menjadi inorganik dan organik, yang lainnya membedakan

mereka dengan klasifikasi hidrogel dan organogel. Gel inorganik

bersistem 2 fase dan gel organik bersistem 1 fase. Hidrogel mengandung

bahan terdispersi seperti koloid (terlarut pada air) meliputi hidrogel

organik, natural dan gum sintetik serta hidrogel inorganik (Prastianto,

2016).

Hidrogel adalah jaringan polimer hidrofilik yang terikat silang dan

memiliki kapasitas mengembang (swelling) dengan menyerap air atau

cairan biologis namun tidak larut karena adanya ikatan silang. Sesuai

dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan akan bahan baru yang

dapat diaplikasikan dibidang kesehatan, aplikasi hidrogel pada beberapa

tahun belakangan ini diteliti dan dikembangkan untuk aplikasi dibidang

biomedis. Salah satu aplikasi hidrogel dengan prospek yang menjanjikan

adalah untuk pembalut luka. Hal ini didasarkan pada sifat fisik dari

hidrogel yaitu kemampuannya dalam menahan air dan bersifat sebagai

pembasah permukaan (Darma, 2015).


Sifat hidrogel yaitu kandungan airnya relatif tinggi dan bersifat

lembut, konsistensinya elastis sehingga kuat (Swarbrick and Boylan,

1992). Hidrogel cocok untuk penerapan pada kulit dengan fungsi kelenjar

sebaseus yang berlebihan. Setelah kering akan meninggalkan suatu film

tembus pandang yang elastis dengan daya lekat tinggi yang tidak

menyumbat pori kulit dan mudah dicuci dengan air (Voight, 1994).

II.9.2 Karakteristik Gel (Lieberman, 1996)

Bahan pembentuk gel yang digunakan untuk sediaan kosmetik dan

farmasetik harus inert, aman digunakan dan tidak bereaksi dengan

komponen lainnya dalam formulasi. Gel harus menunjukkan sedikit

perubahan viskositas pada saat penyimpanan maupun digunakan. Karena

umumnya gel merupakan polisakarida alam yang mana cocok untuk

pertumbuhan mikroba, maka harus mengandung pengawet untuk

mencegah kontaminasi mikroba. Selain itu gel untuk penggunaan topikal

tidak boleh terlalu encer dan konsentrasi yang terlalu tinggi dari bahan

pembentuk gel dapat menyebabkan gel sulit untuk dikeluarkan saat

hendak digunakan. Karakteristik gel harus disesuaikan dengan tujuan

penggunaan sediaan yang diharapkan.

1. Swelling

Gel dapat mengembang karena komponen pembentuk gel dapat

mengabsorbsi larutan sehingga terjadi pertambahan volume. Pelarut

berpenetrasi ke dalam matriks gel sehingga interaksi gel dengan gel

digantikan dengan interaksi antara gel dengan pelarut.


2. Synersis

Suatu proses yang terjadi akibat adanya kontraksi didalam massa

gel. Cairan yang terjerat akan keluar dan berada diatas permukaan

gel, pada waktu pembentukan gel terjadi tekanan yang elastis

sehingga terbentuk massa gel yang tegar. Mekanisme terjadinya

kontraksi berhubungan dengan fase relaksasi akibat adanya tekanan

elastis pada saat terbentuknya gel. Adanya perubahan ketegaran gel

akan mengakibatkan jarak antara matriks berubah, sehingga

memungkinkan cairan bergerak menuju permukaan. Sinersis dapat

terjadi pada hydrogel maupun organogel dan sinersis terjadi ketika

kontraksi polimer menurun.

3. Suhu

Efek suhu mempengaruhi struktur gel, gel dapat terbentuk melalui

penurunan temperature tapi dapat juga pembentukan gel terjadi

setelah pemanasan hingga suhu tertentu seperti polimer MC, HPMC

terlarut hanya pada air yang dingin membentuk larutan kental. Pada

peningkatan suhu larutan tersebut membentuk gel fenomena

pembentuk gel atau pemisahan fase yang disebabkan oleh

pemanasan disebut thermogelation.

4. Efek elektrolit

Konsentrassi elektrolit yang sangat tinggi akan berpengaruh pada

gel hidrofilik dimana ion berkompetisi secara aktif dengan koloid

terhadap pelarut yang ada. Gel Na-alginat akan segera mengeras


dengan adanya sejumlah konsentrasi ion kalsium yang disebabkan

terjadinya pengen depan arsial dari alginat sebagai kalsium alginat

yang tidak larut.

5. Elastisitas dan Regiditas

Sifat ini merupakan karakteristik dari gel gelatin agar dan nitro

selulosa, selama transformasi dari bentuk sol menjadi gel terjadi

peningkatan konsentrasi pembentuk gel.

6. Rheologi

Larutan pembentuk gel (gelling agent) dan disperse padatan yang

terflokulasi memberikan sifat aliran pseudoplastis yang khas dan

menunjukkan aliran non-Newton yang di karakterisasi oleh penurunan

viskositas dan peningkatan laju alir.

II.8.3 Keuntungan gel

Keuntungan gel pada formulasi sediaan anti jerawat yaitu:

(Lieberman, 1996)

1. Waktu kontak lama. Kulit mempunyai pembatas cukup tebal, sehingga

dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk zat aktiv dapat berpenetrasi.

2. Kadar air dalam gel tinggi. Jumlah air yang banyak dalam gel akan

menghidrasi statum corneum sehingga terjadi perubahan permeabilitas

stratum corneum menjadi lebih permeable terhadap zat aktif yang

dapat meningkatkan permeasi zat aktif.

3. Resiko timbulnya peradangan ditekan. Kandungan air yang tinggi pada

gel dapat mengurangi resiko peradangan lebih lanjut akibat


menumpuknya lipida pada pori-pori karena lipida tersebut merupakan

sumber nutrisi bakteri jerawat.

II.9 Monografi Bahan

1. Carbopol 940

Carbopol merupakan polimer bobot molekul tinggi sintesis dari asam

akrilat yang disambung silang dengan allyl sukrosa atau allyl eter dari

pentaerythriol. Carbopol mengandung 52% dan 68% gugus asam

karboksilat (COOH) dihitung pada keadaan kering. Carbopol berbentuk

serbuk putih, memiliki tekstur seperti bulu, halus, bersifat asam, bubuk

higroskopis dengan sedikit bau yang khas. Dapat mengembang dalam air,

gliserin dan setelah dinetralkan. Carbopol bersifat tidak larut tetapi dapat

mengembang dan pada suhu ruangan dispersi karbopol dapat

mempertahankan viskositasnya selama penyimpanan jangka panjang

(Rowe, 2009).

Carbopol dapat membentuk hydrogel dalam air atau larutan alkali

karena adanya hidrasi gugus karboksil pada strukturnya. Carbopol dapat

membentuk gel yang halus dan transparent ketika konsentrasinya diatas

0,5%. Pada penambahan trietanolamin (TEA) ke larutan polimer tersebut

dapat menetralkan carbopol yang sebelumnya bersifat asam, jumlah

trietanolamin (TEA) yang ditambahkan berpengaruh pada viskositas gel

carbopol. Jumlah trietanolamin (TEA) yang tinggi dapat menyebabkan gel

yang dihasilkan menjadi semakin kental dan terjadi pembentukan gel yang

lebih kompleks dibandingkan ketika trietanolamin (TEA) ditambahkan


dalam jumlah yang lebih rendah, viskositas gel yang terlalu kental dapat

mengakibatkan pelepasan obat dari gel menjadi lebih sulit (Yen et al,

2015).

Carbopol merupakan gelling agent (meningkatkan konsistensi

sediaan) yang dapat memodifikasi sifat alir dan viskositas serta dapat

menjadi agen penstabil suatu sediaan topikal. Penggunaan carbopol

sebagai gelling agent yang baik adalah antara kisaran 0,5% - 2% dan

viskositas dari sediaan topikal yang mengandung gelling agent carbopol

mulai stabil pada pH 6 – 11. Penggunaan wadah gelas, plastik dan resin-

lined direkomendasikan untuk penyimpanan formula yang mengandung

carbopol (Rowe, 2009).

2. Propilenglikol

Propilenglikol merupakan cairan jernih, tidak berwarna, kental, praktis

tidak berbau dengan rasa manis dan sedikit tajam yang menyerupai

gliserin. Propilenglikol dapat digunakan sebagai humektan, pelarut,

disinfektan, ekstraktan dan pengawet pada berbagai sediaan parenteral

maupun non parenteral. Propilenglikol adalah pelarut umum yang baik dari

pada gliserin dan melarutkan berbagai macam bahan seperti

kortikosteroid, fenol, obat sulfa, barbiturat, vitamin (A dan D) dan alkaloid

(Rowe, 2009).

Pada sediaan gel propilenglikol dapat digunakan sebagai humektan,

dimana humektan dapat menjaga kestabilan sediaan gel dengan

mengabsorbsi lembab dari lingkungan atau mencegah air dalam gel dan
mempertahankan kelembapan kulit sehingga kulit tidak kering.

Propilenglikol digunakan sebagai humektan pada kisaran konsentari ±

15%, propilenglikol akan tetap stabil jika ditambahkan dengan etanol

(95%) dan gliserin atau air (Rowe, 2009).

3. Trietanolamin (TEA)

Trietanolamin digunakan secara luas pada formulasi sediaan topikal.

Trietanolamin akan bereakasi dengan asam mineral menjadi bentuk

garam kristal dan ester dengan adanya asam lemak tinggi. Trietanolamin

dapat berubah menjadi warna coklat dengan paparan udara dan cahaya

serta sangat higroskopis. Kegunaannya adalah sebagai penstabil

karbopol. Trietanolamin memiliki pH 10,5, larut dalam air, metanol, karbon

tetraklorida dan aseton (Rowe, 2009).

4. DMDM Hydantoin

DMDM Hydantoin merupakan salah satu jenis pengawet yang

dimaksudkan untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang dapat

merusak sediaan. Konsentrasi aman DMDM Hydantoin dalam produk

kosmetik adalah 0,1%-1%. Digunakan sebagai bahan antimikroba dengan

spektrum luas, efektif untuk fungi, kapang serta bakteri gram positif dan

bakteri gram negatif. DMDM hydantoin atau 1,3-dimethylol-5,5-dimethyl

hydantoin, 1,3-Bis (Hydroxymethyl)-5,5-Dimethyl-2,4-Imidazolidenedione,

dengan berat molekul 188,19 dan memiliki penampakan berbentuk cair

dan berwarna bening dengan sedikit berbau. Stabil dalam rentang pH

yang luas dan kondisi temperatur (Ann Liebert, 1989; Nurdianti, 2018).
5. Air suling (Aquadest)

Air suling (Aquadest) adalah air murni yang diperoleh dengan cara

penyulingan. Air murni dapat diperoleh dengan cara penyulingan,

pertukaran ion, osmosis terbalik atau dengan cara yang sesuai. Air murni

digunakan dalam sediaan-sediaan yang membutuhkan air terkecuali untuk

parenteral, aquadest tidak dapat digunakan (Ansel, 1989).

Air suling berupa cairan bening, tidak berwarna, tidak berbau dan

tidak berasa. Kegunaannya adalah sebagai pelarut. Air dapat bereaksi

dengan obat-obatan dan eksipien lain yang rentan terhadap hidrolisis

(dekomposisi dalam keberadaan air atau uap air) pada suhu tinggi,

bereaksi dengan logam alkali dan oksidannya seperti kalsium oksida dan

magnesium oksida. Air juga bereaksi dengan garam anhidrat untuk

membentuk hidrat dari berbagai komposisi, bahan organik tertentu dan

kalsium karbida (Anonim,1979).


BAB III

METODE PENELITIAN

III.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental skala

laboratorium.

III.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2018 sampai Juli

2019. Penelitian dilakukan di Laboratorium Laboratorium Farmasetika

Universitas Muslim Indonesia, Mikrobiologi Farmasi dan Laboratorium

Farmasetika, Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Makassar.

III.3 Pelaksanaan Penelitian

III.3.1 Alat dan Bahan

1. Alat

Alat yang di gunakan pada penelitian ini yaitu, autoklaf

(Allamerican®), alat-alat gelas (pyrex®), batang pengaduk, bunsen, botol

coklat, cotton but steril, cawan petri, cawan porselin, jangka sorong,

inkubator (Memment®), kaca arloji, kapas, kasa, climatic chamber

(Climacell®), lumpang dan alu, objek glass, paperdisk, pencadang, pH

meter (Sartorius®), pH universal, pingset, rak tabung, sendok tanduk,

spoit, timbangan analitik (Mettler Toledo®), toples kaca, viskometer

(Brookfield®) dan vial.

32
2. Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu, aquadest, bakteri

Propionibacterium acnes, karbopol 940, Dimetil Sulfoksida (DMSO),

DMDM Hydantoin, tumbuhan daun sampare, etanol 96%, Medi-klin

(klindamicin), Natrium clorida (NaCl), Nutrient agar (NA), Propilenglikol

dan Trietanolamin (TEA).

III.3.2 Cara kerja pengolahan sampel

1. Penyiapan simplisia

Tumbuhan sampare diperoleh dari Biak, Kabupaten Biak Numfor,

Papua. Pertama-tama dilakukan pengambilan sampel, kemudian disortasi

basah, dicuci dengan menggunakan air mengalir, dirajang, dikeringkan

dengan menggunakan lemari pengering, dan disortasi kering lalu dibuat

serbuk simplisia.

2. Ekstraksi

Serbuk simplisia sebanyak 500 g dimaserasi dengan pelarut etanol

96% dengan perbandingan 1 : 7,5 selama 3 hari. Pertama-tama sampel

dimasukkan ke dalam toples kaca, kemudian dibasahi dengan

menggunakan pelarut yang digunakan sampai sampel terbasahi dengan

sempurna. Kemudian masukkan sisa pelarut dan didiamkan hingga 3 hari

sambil sesekali diaduk. Setelah 3 hari maserat kemudian disaring dengan

menggunakan kertas saring, kemudian residu yang didapatkan di

maserasi kembali dengan cara yang sama dan filtrat yang telah
didapatkan digabung kemudian diuapkan dengan alat rotary evaporator

sehingga didapatkan ekstrak kental.

III.3.3 Uji aktivitas ekstrak etanol daun sampare terhadap bakteri

Propionibacterium acnes

1. Sterilisasi alat

Alat-alat yang akan disterilkan dicuci bersih terlebih dahulu,

dikeringkan dan dibungkus dengan kertas. Disterilkan dengan autoklaf

dengan suhu 121°C selama 15 menit, kemudian untuk alat-alat non skala

disterilkan menggunakan oven selama 2 jam dengan suhu 181°C dan

untuk alat seperti pingset disterilkan dengan metode Flamber yaitu

direndam dengan alkohol selama 5 menit kemudian dipijarkan dengan api

bunsen.

2. Pembuatan medium Nutrient Agar (NA)

Nutrient agar (NA) sebanyak 10 gram dimasukkan ke dalam

erlenmeyer kemudian dilarutkan dengan aquadest 500 mL, dipanaskan

hingga homogen dan diatur pH medium yang berkisar antara 6,8 - 7,2

kemudian disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit.

3. Peremajaan bakteri

Dimasukkan medium Nutrient Agar (NA) sebanyak 10 mL ke dalam

tabung reaksi yang telah disterilisasi kemudian tabung reaksi yang telah

berisi medium tersebut dimiringkan dan dibiarkan hingga medium tersebut

memadat. Setelah medium memadat kemudian diambil 1 ose bakteri dan


digoreskan ke medium Nutrient Agar (NA) miring dalam tabung reaksi dan

diinkubasi dalam inkubator pada suhu 37°C selama 24 jam.

4. Suspensi bakteri

Sebanyak 2 mL NaCl 0,9% (Natrium Clorida) disuspensikan ke

dalam tabung reaksi yang berisi hasil peremajan bakteri

Propionibacterium acnes, dihomogenkan dan dipindahkan ke dalam

tabung reaksi yang telah disterilisasi. Kemudian kekeruhannya dilihat

dengan membandingkan kekeruhan standar 0,5 Mc Farland atau setara

dengan 3 x 108 CFU/mL.

5. Pembuatan larutan uji

a. Larutan DMSO 10% (Dimetil sulfoksida)

Dibuat larutan DMSO sebanyak 100 mL dengan mengambil 10

mL larutan DMSO kemudian dicukupkan dengan menggunakan

aquadest dan disimpan didalam botol coklat.

b. Larutan ekstrak etanol daun sampare

Ditimbang ekstrak etanol daun sampare dengan masing-masing

konsentrasi yaitu konsentrasi 3% sebanyak 0,06 gram, 5% sebanyak

0,1 gram dan 7% sebanyak 0,14 gram. Kemudian ekstrak yang telah

ditimbang masing-masing dilarutkan dengan DMSO 10% sebanyak 2

mL dan dimasukkan ke dalam vial.

6. Pengujian aktivitas antibakteri

Uji aktivitas antibakteri dilakukan dengan metode difusi kertas

cakram. Hasil daya uji antibakteri didasarkan pada pengukuran Diameter


Daerah Hambat (DDH) pertumbuhan bakteri yang terbentuk disekeliling

kertas cakram (Paperdisk) dan terdapat zona bening disekitar kertas

cakram (Paperdisk) tersebut. Medium Nutrient agar (NA) dituang ke dalam

cawan petri sebanyak 20 mL, kemudian diletakkan diatas meja yang

memiliki permukaan rata dan ditunggu beberapa saat sampai medium

tersebut memadat. Setelah medium memadat, suspensi bakteri disebar

kepermukaan medium secara merata dengan menggunakan cuttunbut

steril.

Kertas cakram (Paperdisk) yang telah direndam dengan masing-

masing konsentrasi uji (3%, 5%, 7%, kontrol negativ yaitu DMSO) dan

control positif digunakan kertas cakram antibiotik clyndamicin yang

masing-masing paperdisk tersebut telah direndam selama 15 menit dan

dikeringan selama ± 15 menit, kemudian diletakkan dipermukaan agar dan

cawan petri dibungkus menggunakan plastik buah kemudian diinkubasi

dalam keadaan posisi terbalik pada suhu 37°C selama 24 jam. Diamater

Daerah Hambat (DDH) yang tebentuk disekitar kertas cakram setelah 24

jam diukur dengan menggunakan jangka sorong.

III.3.4 Formulasi gel ekstrak etanol daun sampare (Glochidion sp var.

Biak)

Formulasi gel dibuat dengan tiga variasi konsentrasi carbopol 940

sebagai gelling agent, yang dapat dilihat pada tabel berikut:


Tabel 1. Formula gel ekstrak daun sampare

Formula (F)

Bahan F1 F2 F3 Kegunaan

Ekstrak daun sampare 3% 3% 3% Zat aktif

Carbopol 940 1,5% 2% 3% Gelling Agent

Propilenglikol 10% 10% 10% Humektan

Trietanolamin (TEA) qs qs qs Penstabil pH

DMDM Hydantoin Pengawet


0,5% 0,5% 0,5%
Aquadest ad 100% 100% 100% Pelarut

Gel ekstrak etanol dibuat dalam 50 gram, dimana pembuatan gel

ekstrak etanol daun sampare dilakukan dengan mendispersikan carbopol

940 (1,5%, 2% dan 3%) dengan ± 45 mL aquadest yang telah dipanaskan

hingga suhu 70°C membentuk cairan kental bening dan didiamkan 1x24

jam hingga jernih. Ditambahkan Trietanolamin (TEA) ditambahkan dan

diaduk sampai homogen hingga terbentuk massa gel dan didapatkan

sesuai dengan rentang pH kulit yaitu 4,5-6,5. Kemudian ditambahkan

ekstrak daun sampare yang telah dilarutkan dengan propilenglikol, digerus

homogen dan ditambahkan DMDM Hydantoin, kemudian digerus hingga

homogen dan dimasukkan ke dalam wadah.

III.3.5 Evaluasi sediaan gel


1. Kondisi penyimpanan dipercepat

Salah satu cara mempercepat evaluasi kestabilan adalah dengan

penyimpanan selama beberapa periode (waktu) pada suhu yang lebih

tinggi atau lebih rendah dari normal. Penyimpanan dipercepat dilakukan

dengan alat climatic chamber pada suhu 5°C dan 35°C selama 24 jam

dengan 6 siklus (Wahyudin dkk, 2018).

2. Uji organoleptik

Uji organoleptik dilakukan terhadap gel yang meliputi pemeriksaan

warna dan bau yang dilakukan secara visual sebelum dan sesudah

kondisi penyimpanan dipercepat (Ansel, 1998).

3. Uji homogenitas

Pengujian homogenitas dilakukan dengan cara sampel gel dioleskan

pada objek glass atau bahan transparan lain yang cocok, sediaan harus

menunjukkan susunan yang homogen dan tidak terlihat adanya butiran

kasar (Ditjen POM, 1985)

4. Uji pH

Pengukuran pH dilakukan sebelum dan sesudah kondisi

penyimpanan dipercepat dimana diambil gel sebanyak 1 gram kemudian

di larutkan dengan air sebanyak 10 mL dan dihomogenkan kemudian

diukur pHnya menggunakan pH meter hasil pengukuran menunjukkan pH

pada kulit yaitu 4,5 – 6,5 (Naibaho, 2013).

5. Uji viskositas
Pengukuran viskositas dilakukan sebelum dan sesudah kondisi

penyimpanan dipercepat pengukuran viskositas dilakukan terhadap

sediaan gel dengan menggunakan viscometer brookfield. Hal ini dilakukan

dengan cara mencelupkan spindle ke dalam sediaan sediaan gel

kemudian dilihat nilai viskositasnya (Voight, 1995)

6. Uji Daya Lekat

Pengujian daya lekat dilakukan sebelum dan sesudah kondisi

penyimpanan dipercepat dengan cara mengambil gel 0,5 g diletakkan

diatas gelas objek kemudian diletakkan gelas objek lainnya diatasnya,

tekan dengan beban 250 gram selama 5 menit. Kemudian beban diangkat

dan ditarik dengan beban lainnya, setelah itu dicatat waktu hingga kedua

objek gelas tersebut terlepas (Riski dkk, 2017).

7. Uji Daya Sebar

Pengujian daya sebar dilakukan sebelum dan sesudah kondisi

penyimpanan dipercapat dengan cara mengambil gel sebanyak 0,5 gram

diletakkan diatas kaca objek ditutup dengan kaca objek lainnya kemudian

didiamkan selama 1 menit, diukur diameter sebar gel. Kemudian

diletakkan beban 50 gram dan dibiarkan selama 1 menit, diukur diameter

sebar gel, setelahnya ditambahkan 100 gram beban dan didiamkan

selama 1 menit kemudian diukur diameter yang konstan (Rusli dan

Yeniati, 2019).

III.3.6 Pengujian efektivitas antibakteri


Uji efektivitas antibakteri dilakukan dengan menggunakan metode

difusi sumuran. Hasil daya uji antibakteri didasarkan pada pengukuran

Diameter Daerah Hambat (DDH) pertumbuhan bakteri yang terbentuk

disekeliling sumuran dan terdapat zona bening disekitar sumuran tersebut.

Medium Nutrient agar (NA) dituang ke dalam cawan petri sebanyak 5 mL

sebagai base layer, kemudian diletakkan diatas meja yang memiliki

permukaan rata dan ditunggu beberapa saat sampai medium tersebut

memadat. Setelah medium memadat, diletakkan masing-masing

pencadang ke permukaan medium secara merata kemudian tuang set

layer yang telah berisi 20 μL suspensi bakteri dan 10 mL medium NA

kemudian biarkan memadat. Setelah memadat lepas pencadang dan

masukkan sediaan ke dalam sumuran yang telah terbentuk, bungkus

cawan petri menggunakan plastik buah kemudian diinkubasi pada suhu

37°C selama 24 jam. Diamater Daerah Hambat (DDH) yang tebentuk

disekitar sumuran setelah 24 jam diukur dengan menggunakan jangka

sorong.

III.4 Variabel penelitian

Variabel bebas : Formulasi gel ekstrak etanol daun sampare

(Glochidion sp. var. Biak)

Variabel terikat : Uji efektivitas gel ekstrak etanol daun sampare

(Glochidion sp var. Biak) terhadap Propionibacterium

acnes
BAB IV

PEMBAHASAN

IV.1 Ekstraksi dan pengujian aktivitas

Pada penelitian ini simplisia daun sampare diekstraksi dengan

metode maserasi selama 3x24 jam menggunakan pelarut etanol 96%

karena pelarut etanol 96% memiliki kemampuan menyari dengan polaritas

yang luas mulai dari senyawa nonpolar sampai dengan polar. Metode

ekstraksi ini dilakukan dengan sesekali pengadukan, disaring dan

diremaserasi. Ekstrak yang diperoleh setelah proses ekstraksi simplisia

sebanyak 500 gram dengan metode maserasi adalah 13,52 gram dengan

nilai rendemen sebesar 2,704% yang menandakan semakin tinggi nilai

rendemen yang dihasilkan maka semakin banyak nilai ekstrak yang akan

didapatkan.

Ekstrak yang diperoleh diuji terhadap Propionibacterium acnes pada

konsentrasi 3%, 5% dan 7%. Kontrol positif digunakan Clindamicyn

karena antibiotik ini bersifat bakteriostatik dan bakteriosida dengan

sprektum sempit yang dimaksudkan agar antibiotik ini dapat fokus pada

bakteri gram positif penyebab jerawat, Clindamicyn memiliki mekanisme

dalam membunuh bakteri dengan cara mencegah sintesa protein dari

bakteri (Budyantara, 2010). Kontrol negatif yang digunakan adalah DMSO

(Dimetil sulfoksida) karena DMSO pada konsentrasi 10% tidak

memberikan daya hambat terhadap bakteri uji. Propionibacterium acnes

41
dipilih sebagai bakteri uji karena sering ditemukan pada kulit manusia

yang menjadi sumber infeksi disekitar wajah dan punggung.

Gambar 3. Diameter zona hambat ekstrak daun sampare terhadap


Propionibacterium acnes

Berdasarkan diagram pada gambar 3 diperoleh hasil konsentrasi

hambatan terhadap bakteri Propionibacterium acnes yang memiliki

kisaran daya hambat 10,2-12,1 mm. Pada kisaran konsentrasi 3-7%,

konsentrasi 3% dipilih untuk digunakan pada formulasi gel karena kategori

daya hambat pada konsentrasi 3%, 5% dan 7% memiliki hasil yang tidak

berbeda jauh. Selain itu dengan mempertimbangkan aspek formulasi,

dikhawatirkan konsentrasi ekstrak yang besar akan mempengaruhi bentuk

fisik dari sediaan gel tersebut.

Mekanisme aktivitas antibakteri golongan senyawa alkaloid mampu

mendenaturasi protein sehingga merusak aktivitas enzim sehingga akan

menyebabkan kematian sel bakteri (Robinson, 1991; Anggita, 2018).

Senyawa golongan flavonoid dapat menghambat pertumbuhan bakteri,

mendenaturasi protein sel bakteri, merusak membran sel tanpa dapat


diperbaiki kembali dan dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram

positif dan gram negatif (Juliantina, 2008; Cowan, 1999; Octaviani dan

Syafrina, 2018). Senyawa saponin yang bersifat detergen bekerja dengan

membentuk suatu kompleks dengan sterol yang terdapat pada membran

sehingga menyebabkan kerusakan membran pada bakteri (Barile et al,

2006). Dan senyawa tanin memiliki mekanisme yaitu menyebabkan lisis

pada bakteri dan memiliki kemampuan untuk menginaktifkan enzim

bakteri serta mengganggu jalannya protein pada membran sel (Sapara,

2016).

Mekanisme dari masing-masing senyawa metabolit sekunder

tersebut saling bersinergis sehingga menambah aktivitas dan

efektivitasnya dalam menghambat pertumbuhan bakteri (Yulia, 2006;

Robinson, 1995).

IV.2 Formulasi dan evaluasi gel ekstrak daun sampare

Selanjutnya dilakukan formulasi ekstrak daun sampare dengan

mengambil konsentrasi terendah dari uji aktivitas ekstarak daun sampare

yaitu sebesar 3% karena hasil zona hambat yang didapatkan tidak

berbeda secara signifikan dan mempertimbangkan aspek formulasi,

dikhawatirkan konsentrasi ekstrak yang besar akan mempengaruhi bentuk

fisik dari sediaan gel tersebut. Ekstrak daun sampare dibuat dalam

sediaan gel dengan variasi carbopol 940 untuk mengetahui formula gel

antibakteri ekstrak daun sampare yang stabil dan memiliki daya hambat

paling baik terhadap bakteri propionibacterium acnes. Digunakan carbopol


940 karena carbopol 940 pada konsentrasi 0,5% memiliki viskositas

40.000-60.000 cPs, sedangkan carbopol 934 memiliki viskositas 30.500-

39.400 cPs (Rowe, 2006). Semakin besar viskositas gel maka akan

mempengaruhi sifat fisik gel yang akan menyebabkan peningkatan

viskositas gel, daya lekat, menurunkan daya sebar gel dan semakin besar

viskositas gel maka pelepasan obat akan semakin lambat. Ekstrak daun

sampare yang dibuat dalam formulasi gel kemudian dievaluasi kestabilan

fisik gel sebelum dan sesudah penyimpanan dipercepat diantaranya yaitu

organoleptik, homogenitas, pengukuran pH, viskositas, daya sebar dan

daya lekat.

Hasil kestabilan fisik gel pada pengujian organoleptik dapat dilihat

pada tabel 2.

Tabel 2. Hasil pengujian organoleptik

Sebelum Sesudah
Formula Keterangan penyimpanan penyimpanan
dipercepat dipercepat
F1 Bau Khas Khas
Bentuk Semi padat Semi padat
Warna Cokelat Cokelat
F2 Bau Khas Khas
Bentuk Semi padat Semi padat
Warna Cokelat Cokelat
F3 Bau Khas Khas
Bentuk Semi padat Semi padat
Warna Cokelat Cokelat
Keterangan tabel: F1 (konsentrasi gelling agent carbopol 1,5%)
F2 (konsentrasi gelling agent carbopol 2%)
F3 (konsentrasi gelling agent carbopol 3%)

Dari hasil pengamatan organoleptik terhadap ketiga formula sebelum

dan sesudah penyimpanan dipercepat menunjukkan bahwa semua


sediaan gel stabil secara fisik karena tidak mengalami perubahan pada

bau, bentuk dan warna.

Kemudian dilakukan uji kestabilan fisik homogenitas yang dapat

dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Hasil pengujian homogenitas

Formula Homogenitas
Sebelum penyimpanaan Sesudah penyimpanaan
dipercepat dipercepat
F1 Homogen Homogen
F2 Homogen Homogen
F3 Homogen Homogen
Keterangan tabel: F1 (konsentrasi gelling agent carbopol 1,5%)
F2 (konsentrasi gelling agent carbopol 2%)
F3 (konsentrasi gelling agent carbopol 3%)

Pada uji homogenitas menunjukkan ketiga formulasi sediaan gel

tetap homogen, tidak terdapat partikel padat yang terdapat didalam gel

serta tidak terdapat pembentukan gel yang masih menggumpal atau tidak

merata dalam sediaan baik sebelum maupun sesudah penyimpanan

dipercepat. Hal ini menunjukkan bahwa komponen dalam ketiga formula

terdispersi secara merata dan stabil selama pengujian.

Selanjutnya dilakukan uji pengukuran pH yang dapat dilihat pada

tabel 4.

Tabel 4. Hasil pengukuran pH

Sebelum penyimpanaan Sesudah penyimpanaan


Formula dipercepat dipercepat
F1 4,51 4,22
F2 4,43 4,08
F3 4,58 4,35
Keterangan tabel: F1 (konsentrasi gelling agent carbopol 1,5%)
F2 (konsentrasi gelling agent carbopol 2%)
F3 (konsentrasi gelling agent carbopol 3%)
Berdasarkan pengukuran pH yang telah dilakukan dengan

menggunakan pH meter menunjukkan terjadinya perubahan pH pada gel

sebelum dan sesudah penyimpanan dipercepat hal ini dapat dipengaruhi

oleh lingkungan seperti gas-gas udara yang bersifat asam yang masuk

dalam sediaan gel (Lasmida, 2012) dan kemungkinan disebabkan karena

pengaruh CO2 karena CO2 bereaksi denga fasa air sehingga menjadi asam

(Septiani, 2012). Menurut Tranggono (2007) nilai sediaan gel dapat

diterima oleh kulit yaitu memiliki kisaran pH 4,5-6,5 karena jika gel berada

pada kisaran pH asam akan menyebabkan kulit menjadi teriritasi

sedangkan jika gel memiliki pH basa maka akan membuat kulit menjadi

kering atau bersisik.

Selanjutnya dilakukan uji viskositas sediaan gel dengan

menggunakan viscometer brookfield yang dapat dilihat pada tabel 5

Tabel 5. Hasil pengujian viskositas

Formula Viskositas (cPs)


Sebelum penyimpanaan Sesudah penyimpanaan
dipercepat dipercepat
F1 106.000 70.000
F2 136.000 110.000
F3 Tidak terbaca Tidak terbaca
Keterangan tabel: F1 (konsentrasi gelling agent carbopol 1,5%)
F2 (konsentrasi gelling agent carbopol 2%)
F3 (konsentrasi gelling agent carbopol 3%)

Viskositas suatu sediaan semisolid khususnya gel mempunyai

hubungan dengan absorbsi obat melalui kulit. Pada semua formula

menunjukkan hasil yang tidak sesuai setelah penyimpanan dipercepat,

berdasarkan hasil pengukuran viskositas ketiga formula didapatkan hasil

pada sediaan F1 dan F2 mengalami penurunan viskositas setelah


penyimpanan dipercepat, penurunan nilai viskositas dapat disebabkan

karena sediaan gel menunjukkan karakteristik sinersis yang merupakan

proses keluarnya cairan yang terjerat dalam gel sehingga memungkinkan

cairan untuk bergerak menuju ke permukaan oleh karena itu sediaan

mengalami penurunan viskositas (Astuti dan Hartono, 2017). Terjadinya

penurunan viskositas dapat disebabkan oleh kondisi lingkungan

penyimpanan seperti suhu, kelembapan udara dan kemasan yang kurang

kedap dapat menyebabkan gel menyerap uap air dari luar sehingga

menambah volume air dalam gel serta semakin lama proses penyimpanan

maka jumlah gelembung udara akan semakin berkurang (Rowe, 2006).

Pada sediaan gel F3 memiliki konsentrasi gelling agent yang tinggi

sehingga kekentalannya lebih besar dari sediaan gel F1 dan sediaan gel

F2 sehingga menyebabkan sediaan gel F3 tidak terbaca viskostasnya

pada Viscometer brookfield. Dari ketiga formula tersebut dapat

disimpulkan bahwa nilai viskositas yang diperoleh tidak ada yang masuk

dalam kisaran yang ditentukan karena menurut SNI (1996) nilai viskositas

sediaan gel yang baik ada pada rentang 3.000-50.000 cPs (Pratiwi, 2016).

Selanjutnya dilakukan uji daya sebar sediaan gel yang dapat dilihat

pada tabel 6.
Tabel 6. Hasil pengujian daya sebar

Uji daya sebar (cm)


Formula Sebelum penyimpanaan Sesudah penyimpanaan
dipercepat dipercepat
F1 7.5 7.7
F2 6.3 7.3
F3 5.1 4.8
Keterangan tabel: F1 (konsentrasi gelling agent carbopol 1,5%)
F2 (konsentrasi gelling agent carbopol 2%)
F3 (konsentrasi gelling agent carbopol 3%)

Pengujian daya sebar dilakukan untuk mengetahui sediaan

menyebar pada lokasi pemakaian dan elastisnya apabila dioleskan pada

kulit sehingga memberikan kenyamanan pada saat pemakaian. Pada

pengujian daya sebar gel, diperoleh hasil pada pengujian F1 dan F2

mengalami peningkatan daya sebar setelah penyimpanan dipercepat dan

pada F3 terjadi penurunan daya sebar setelah penyimpanan dipercepat,

penurunan daya sebar terjadi melalui meningkatnya ukuran unit molekul

karena telah mengabsorpsi pelarut sehingga cairan tersebut tertahan dan

meningkatkan tahanan untuk mengalir dan menyebar (Martin et al, 1993).

Hal ini memperlihatkan bahwa penambahan konsentasi carbopol

menyebabkan F3 mengalami penurunan daya sebar, salah satu faktor

yang mempengaruhi daya sebar gel adalah jumlah dan kekuatan matriks

gel dimana semakin banyak dan kuat matriks gel maka daya sebar akan

semakin menurun. Pembentukan gel bertanggung jawab terhadap

terbentuknya matriks gel, sehingga kenaikan konsentrasinya akan

menambah dan memperkuat matriks gel (Lieberman, 1996) dan

peningkatan daya sebar disebabkan terjadinya penurunan pada nilai

viskositas gel karena nilai viskositas berbanding terbalik dengan nilai daya
sebar (Riski, 2016). Dalam sistem gel yang bertanggung jawab terhadap

terbentuknya matriks gel adalah gelling agen dimana kenaikan

konsentrasi gelling agen akan menambah dan memperkuat matriks gel.

Oleh karena itu faktor dominan yang menentukan respon daya sebar

adalah konsentrasi carbopol dalam basis karena semakin tinggi

konsentrasi carbopol maka semakin kecil daya sebar yang dihasilkan,

sedangkan semakin rendah konsentrasi carbopol maka semakin besar

daya sebar yang dihasilkan seperti pada F1 dan F2 yang mengalami

peningkatan daya sebar setelah penyimpanan dipercepat. Daya sebar

yang diperoleh setelah penyimpanan dipercepat dari ketiga formula

tersebut tidak ada yang memenuhi kisaran yang di tentukan, daya sebar

gel yang baik berada paada rentang 5-7 cm hal ini juga dapat dipengaruhi

oleh kondisi penyimpanan dan suhu.

Selanjutnya dilakukan uji daya lekat sediaan gel yang dapat dilihat

pada tabel 7.

Tabel 7. Hasil pengujian daya lekat

Uji daya lekat (Detik)


Formula Sebelum penyimpanaan Sesudah penyimpanaan
dipercepat dipercepat
F1 0.42 0.19
F2 0.73 0.35
F3 0.27 0.42
Keterangan tabel: F1 (konsentrasi gelling agent carbopol 1,5%)
F2 (konsentrasi gelling agent carbopol 2%)
F3 (konsentrasi gelling agent carbopol 3%)

Pengamatan daya lekat dilakukan untuk mengetahui kemampuan

sediaan gel bertahan dipermukaan kulit ketika dioleskan. Semakin besar

nilai daya lekat maka akan berpengaruh pada kemampuan sediaan


melekat pada kulit dan melepaskan bahan aktif. Pada pengujian ini

didapatkan hasil bahwa F1 dan F2 menunjukkan bahwa terjadi penurunan

daya lekat setelah penyimpanan dipercepat dan F3 mengalami

peningkatan daya lekat setelah penyimpanan dipercepat, hal ini dapat

dipengaruhi oleh basis dan komponen lain dalam sediaan serta suhu,

adanya penurunan daya lekat dapat disebabkan karena nilai viskositas

yang menurun karena daya lekat berbanding lurus dengan viskositas

(Riski, 2016). Hasil yang diperoleh pada pengujian ini tidak stabil karena

tidak memasuki rentang daya lekat yang telah ditetapkan yaitu 2,00-3,00

detik (Betageri dan Prabhu, 2002).

Kemudian dilakukan pengujian efektifitas gel ekstrak daun sampare

(Glochidion sp) terhadap salah satu bakteri penyebab jerawat yaitu

Propionibacterium acnes dengan menggunakan tiga sediaan gel dengan

berbagai variasi carbopol yaitu F1 (1,5%), F2 (2%) dan F3 (3%), kontrol

negatif yang digunakan berupa basis tanpa ekstrak dan kontrol positif

berupa sediaan gel anti jerawat yang beredar dipasaran yaitu Medi-klin

yang mengandung clyndamicin.


Gambar 4. Diamater zona hambat gel ekstrak daun sampare terhadap
Propionibacterium acnes

Berdasarkan diagram pada gambar 4, telah dilakukan uji efektivitas

gel esktrak daun sampare terhadap Propionibacterium acnes dan

diperoleh hasil terdapat zona bening disekitar sumuran yang menunjukkan

bahwa gel ekstrak daun sampare memiliki efektivitas sebagai antijerawat

dalam bentuk sediaan gel. Pada grafik diatas menunjukkan bahwa formula

gel yang stabil dan memiliki zona hambat tertinggi setelah kontrol positif

yaitu gel F1 dengan konsentrasi carbopol 1,5% dengan nilai 15,0 mm,

kemudian F2 dengan nilai 13,3 mm dan F3 dengan nilai 10,8 mm

sedangkan kontrol negatif tidak menunjukkan adanya zona hambat

disekitar sumuran. Hal ini menunjukkan bahwa daya hambat ekstrak daun

sampare lebih besar setelah dibuat dalam bentuk sediaan dibandingkan

dalam bentuk ekstrak karena pada pengujian aktivitas maupun efektivitas

dilakukan metode yang berbeda. Pada uji efektivitas digunakan metode

sumuran dengan volume yang digunakan lebih banyak dan lebih kental

dibandingkan dengan uji aktivitas dengan menggunakan paperdisk. Faktor


lain yang dapat menyebabkan zona hambat setelah dibuat dalam bentuk

sediaan lebih besar dibandingkan dengan zona hambat pada uji aktivitas

adalah difusi dan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi difusi

adalah kekentalan.

Dari pengujian ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun sampare

memiliki efektivitas antibakteri terhadap Propionibacterium acnes. Dari

grafik diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin rendah konsentrasi

carbopol sebagai gelling agent yang digunakan maka semakin tinggi zona

hambat yang didapatkan, sebaliknya semakin besar konsentrasi carbopol

sebagai gelling agent yang digunakan maka semakin rendah zona hambat

yang didapatkan atau semakin rendah kemampuan gel tersebut sebagai

antibakteri terhadap Propionibacterium acnes. Perbedaan daya hambat

tersebut dipengaruhi oleh adanya gelling agent yang dapat mempengaruhi

pelepasan ekstrak untuk menghambat bakteri. Konsentrasi yang

digunakan sebagai gelling agent cukup besar sehingga viskositas yang

dihasilkan besar, oleh karena itu semakin besar viskositasnya maka

semakin besar juga tahanannya sehingga menyebabkan zat aktif sulit

untuk berdifusi begitupun sebaliknya.


BAB V

PENUTUP

V.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa

1. Ekstrak daun sampare yang diformulasikan dalam bentuk gel

didapatkan hasil formula yang mengalami perubahan ketidakstabilan

setelah penyimpanan dipercepat dibeberapa evaluasi yaitu pH,

viskositas, daya sebar dan daya lekat sehingga F1, F2 dan F3

dinyatakan tidak stabil.

2. Pengujian gel efektivitas ekstrak daun sampare memiliki efektivitas

terhadap bakteri Propionibacterium acnes karena terdapatnya zona

hambat disekitar sumuran dan gel yang memiiki efektivitas antibakteri

paling besar dari ketiga formula yaitu F1 dengan daya hambat 15,0

mm.

V.2 Saran

Sebaiknya dilakukan formulasi gel dengan menggunakan gelling


agent yang berbeda.

53
DAFTAR PUSTAKA
Agoes, G. 2007. Teknologi Bahan Alam. ITB Press : Bandung.
Ajizah, A. 2004. Sensitivitas Salmonella thypymurium Terhadap Ekstrak
Daun Psidium guajava L. Jurnal Bioscientiae
Amirlak, B. (2015, July 18). Skin Anatomy: Overview, Epidermis, Dermis.
Diambil kembali dari Medscape:
http://emedicine.medscape.com/article/1294744- overview
Anggita, A., Fakhrurrazi., Harris, A., 2018. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak
Etanol Daun Putri Malu (Mimosa pudica) Terhadap Bakteri
Pseudomonas aeruginosa. Jimver E-ISSN, 2540-9492
Anggraini, D., Rahmawati, N dan Hafsah, S. 2013. Formulasi Gel
Antijeraawat Dari Ekstrak Etil Asetat Gambir. Sekolah Tinggi Ilmu
Farmasi Riau, Pekanbaru. Jurnal Penelitian Farmasi Indinesia.
Anonim. 1979. Farmakope Indonesia Edisi ketiga. Depkes RI : Jakarta
Anonim. 2001. British Pharmacopeia. Published on The Recommendation
of The Medicine Commision. The Stasioner Office. London.
Ansel, H. C. 1989.Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. UI Press: Jakarta
Ansel, H. C. 2008. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, ed IV, Alih bahasa
Ibrahim, F. Jakarta: UI Press.
Astuti dan Hartono. 2017. Formulasi Dan Uji Stabilitas Fisik Sediaan Gel
Antiseptic Tangan Minyakatsiri Bunga Lavender (Lavandula
angudtifolia miller). Jurnal Farmaka Fakultas Farmasi. Universitas Al
Ghifari: Bandung.
Barile, E., G. Bonanomi, V. Antignani, B. Zolfaghari, S.E. Sajjadi, F. Scala,
and V. Lanzotti, 2006, Saponins from Allium minutiflorum with
Antifungal Activity, Phytochemistry.
Betageri G., Prabhu S. 2002. Semisolid Preparation, dalam Swarbick, J.
And Boylan, J.C., (Eds.), Encyclopedia of Pharmaceutical Technology,
2nd Ed. New York: Marcel Dekker
Budyantara, R. 2010. Perbandingan Tingkat Kesembuhan Luka Bakar
Antara Pemberian Madu Dan Klindamicin Secara Topical Pada Tikus
Putih (Rattus novergicus). Skripsi, Lampung: Universitas Lampung.
Chrystomo L.Y., I.M. Budi, A.K. Karim dan A. Pongtiku. 2014. Studi
etnofaarmasi penggunaan tumbuhan obat Glochidion sp. untuk
mengobati penyakit malaria oleh masyarakat lokal Biak. Prosiding

54
Seminar Nasional Biologi Indonesia, Jurusan Biologi, FMIPA,
Universitas Cenderawasih : Jayapura.
Chrystomo L.Y., I.M. Budi, A.K. Karim dan A. Pongtiku. 2015. Observasi
klinik penggunaan tumbuhan obat Glochdion sp dalam bentuk teh
celup untuk menyembuhkan penyakit malaria oleh masyarakat Papua.
Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Biologi Indonesia (PBI) Ke-
23, Universitas Cenderawasih : Jayapura.
Chrystomo, L.Y., A.K. Karim, N.N. Artantri, S. Dwa, Y. Wona dan A.
Pongtiku. 2016. Tumbuhan obat tradisional Papua berdasarkan
kearifan lokal masyarakat. Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Sentra
Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional (Sentra P3T).
Penerbit Nulisbuku Jendela Dunia.
Cowan, M.M., 1999, Plant Product as Antimicrobial Agents, J.
Microbiology Reviews.
Departemen Kesehatan. 1985. Cara Pembuatan Simplisia. Depkes RI:
Jakarta.
Dewi, S.A. 2009. Cara Ampuh Mengobati Jerawat. Buana pustaka.
Jakarta
Ditjen POM. (1985). Formularium Kosmetika Indonesia. Depkes RI:
Jakarta
Ditjen POM. 1995. Farmakope Indonesia ed IV. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia : Jakarta.
Ditjen POM. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta.
Djajadisastra, Mun’im, A., dan Dessy, N.P. 2009. Formulasi Gel Topikal
Dari Ekstrak Nerii Folium Dalam Sediaan Anti Jerawat. Jurnal Farmasi
Indonesia Vol. IV NO. IV. Universitas Indonesia Fakultas MIPA.
Djuanda, Adhi. 2003. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin.Fakultas
Kedokteran. Universitas Indonesia. Jakarta.
Gunawan D dan Mulyani S.2004. Ilmu Obat Alam Farmakognosi Jilid I
Penebar Swadaya : Jakarta.
Graham, R., Brown, 2005. Lecture Notes Dermatologi, diterjemahkan oleh
Anies, Z, M., Edisi ke-8. Erlangga: Jakarta
Heinrich, Michael., Barnes, et all. 2004. Fundamental of pharmacognosy
and phytotherapi. Hungary : Elsevier
Juliantina, F.,Citra, D.A.,Nirwani, B, dkk. 2009. Manfaat Sirih Merah (Piper
crocatum) Sebagai Agen Antibakteri Terhadap Bakteri Gram Positif
Dan Gram Negative. Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan Indonesia.
Kementrian riset. 2018. Hasil identifikasi tanaman sampare (Glochidion sp
var. Biak). Laboratorium Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Teknologi dan Pendidikan Tinggi : Universitas
Negri Makassar.
Khan, Z.Z., Assi, M & Moore, T.A. 2009. Recurrent Epidual Abscess
Caused by Propionibacterium acnes. Kansas Journal of Medicine.
Laianto, S. 2014. Uji Efektivitas Sediaan Gel Antijerawat Ekstrak Etanol
Buah Pare (Momordika charantia) Terhadap Staphylococcus epidermis
dan Propionibacterium acnes Dengan Metode Difusi. Program Studi
Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura Pontianak:
Pontianak.
Lieberman H, Rieger MM, Banker GS. 1996. Pharmaceutical Dosage
Form: Disperse System Volume 1.Marcel Dekker Inc, New York.
Loveckova, Y and I. Havlikova, 2002, A Microbiological Appoach to Acne
Vulgaris, Papers, 146 (2): 29-32.
Mukhriani. 2014. Ekstraksi, Pemisahan Senyawa dan Identifikasi
Senyawa Aktif. Fakultas Ilmu Kesehatan UIN Alaudin: Makassar.
Mursito, B., 2002, Ramuan Tradisional untuk Penyakit Malaria, Penebar
Swadaya, Jakarta.
Naibaho, D.H., Yamkan, V,Y., Weni, Wiyono,. (2013). Pengaruh Basis
Salep Terhadap Formulasi Sediaan Salep Ekstrak Daun Kemangi
(Ocinum sanchum L.) pada Kulit Punggung Kelinci yang dibuat Infeksi
Staphylococcus aureus. Jurnal ilmiah Farmasi. UNSRAT: Manado.
Oktalia ganis, Chrystomo Y.Linus, Karim K. Aditya. 2017. Uji aktivitas
sitotoksik dan analisis fitokimia ekstrak etanol daun sampare
(Glochidion sp.). FMIPA Universitas Cenderawasih Jayapura : Papua.
Oktaviani, M dan Syafrina. 2018. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol
Daun Dan Kulit Batang Sawo (Manilkara zapota (L.) Van Royen).
Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia.
Pelen Sunuh, Wulkur Adeanne, Tyas Citraning Gayatri. 2016. Formulasi
Sediaan Gel Antijerawat Minyak Atsiri Kulit Batang Kayu Manis
(Cinnamommum burmannii) dan Uji Aktifitas Terhadao Bakteri
Staphylococcus aureus.
Pradana, Dedi, et al. 2013. Uji Daya Hambat Ekstrak Kulit Batang
Rhizophora Mucronata Terhadap Pertumbuhan Bakteri Aeromonas
hydrophila, Streptococcus agalactiae Dan Jamur Saprolegnia sp.
Secara In Vitro. Dapartemen Biologi, Fakultas MIPA, Universitas
Sumatera Utara. Medan. Indonesia.
Prastianto B.A., 2016, Optimasi Gelling Agent Carbopol 940 dan
Humektan Sorbitol Dalam Formulasi Sediaan Gel Ekstrak Etanol Daun
Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis), Skripsi, Fakultas
Farmasi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Yogyakarta.
Pratiwi S.T. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Penerbit Erlangga. Jakarta
Riski Radhia, dkk. 2017. Formulasi Krim Pemutih Dari Fitosom Ekstrak
Daun Murbei (Morus alba L.). Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Makassar:
Makassar.
Riski, R., Umar, AH dan Rismadani. 2016. Formulasi Emulgel
Antiinflamasi Dari Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) Strain
wistar (In Vivo). Publikasi Ilmiah. Fakultas Kedokteran Gigi: Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Robinson, T., 19951, 19912. Kandungan Organik Tanaman Tinggi, ITB
Press: Bandung.
Rowe, C Raymond. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipient Sixth
Edition.Pharmaceutical Press.
Rusli, Nirwana Dan Yeniati Niluh. 2019. Formulasi Sediaan Gel Lender
Ikan Lele (Clarias geriepinus L) Sebagai Penyembuh Luka Dengan
Variasi Basis Carbopol 934. Politeknik Bina Husada Kendari: Kendari
Sultra
Sapara, T., U., Waworuntu, O., Juliantrin. 2016. Efektivitas Antibaakteri
Ekstrak Daun Pacar Air (Impatients balsamina L.) Terhadap
Pertumbuhan Porphyromonas gingivalis. Program Studi Pendidikan
Dokter Gigi Fakultas Kedok UNSRAT Vol 5 No 4
Sasanti, T.J., Wibowo, M.S., Fidrianny, I., & Caroline, S. (2006). Formulasi
Gel Ekstrak Air Teh Hijau dan Penentuan Aktivitas Antibakterinya
terhadap Propionibacteria acnes (Skripsi). Sekolah Farmasi-ITB,
Bandung.
Subroto, M.A dan H. Saputro, 2006, Gempur Penyakit dengan Sarang
Semut, Penebar Swadaya, Jakarta.
Sugita, T., Miyamoto, M., Tsuboi R., Takatori, K., Ikeda, R. & Nishikawa,
A. 2010. In Vitro Activities of Azole Antifungal Agents Againts
Propionibacteriun acnes Isolad from Patients with Acne Vulgaris. Biol
Pharm Bull.
Sulharmita. 2013. Ekstraksi Asam Lemak dari Daging Buah Alpukat
(Persea americana Mill.). Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi : Padang.
Suryawiria U. 1978. Mikroba Lingkungan. Edisi ke-2. Institut Teknologi
Bandung: Bandung.
Tortora, G.J., B.R. Funke and C.L. Case, 2007, Microbiology, 9 th Edition,
Pearson Education, San Francisco.
Tranggono RI, dan Latifah F., 2007, Buku Pegangan Kosmetik,
PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Wahyudin munifah, kurniati ajeng, Aridewi gusti ayu putu. 2018.
Pengaruh Konsentrasi Carbopol 940 Terhadap Stabilitas Fisik
Sediaan Masker Ekstrak Buah Mengkudu (Morinda ciftifolia .L)
Sebagai Anti Jerawat. Jurusan Farmasi Fakultas Kedokteran Dan Ilmu
Kesehatan UIN Alauddin Makassar : Universitas Indonesia Timur.
Wasitaatmadja, S. M. 2008. Penuntun Ilmu Kosmetik Medic. UI press:
Jakarta
Yani, A., 2004, Fraksinasi Komponen Aktif Antibakteri Ekstrak Kulit
Batang Tanaman Berenuk (Crescentia cujete L), [Thesis], Tidak
dipublikasikan, Departemen Kimia Institut Pertanian Bogor.
Yessi Febrianti, Dkk,. 2015. Pembuatan Sediaan Pelembut Tumit Bentuk
Batang (Stick) Kombinasi Ekstrak Buah Alpukat (Persea americana
Mill.) dengan Serbuk Getah Buah Pepaya (Carica papaya Linn.).
Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia. Vol IV Hal. 2
Yulia, R., 2006, Kandungan Tanin dan Potensi Anti Streptococcus mutans
Daun Teh var. Assamica pada berbagai Tahap Pengolahan, Tidak
dipublikasikan, Program Studi Biokimia Fakultas MIPA Institut
Pertanian Bogor, [Skripsi].
Vickery, M.L and B. Vickery, 1981, Secondary Plant Metabilsm, The
Macmillan Press LTD, London and Baisngstoke.
Voight, R., 1994, Buku Pengantar Teknologi Farmasi, 572-574,
diterjemahkan oleh Soedani, N., Edisi V, Yogyakarta, Universitas
Gadjah Mada Press.
Voight, R, 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Edisi V,
Diterjemahkan oleh S.Noer, Universitas Gadjah Mada Press,
Yogyakarta.
Zain, D.M., 2012. Formulasi Krim Antibakteri dengan Kombinasi Ekstrak
Propolis Lebah Lokal (Trigona spp) dan Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia
Swingle). Skripsi, Sarjana Farmasi, Universitas Islam Bandung.

Anda mungkin juga menyukai