Anda di halaman 1dari 8

BAB II

MAKHLUK MANUSIA
Antropologi Budaya karya I Gede A.B. Wiranata, S.H.,M.H.

Tugas dari Mata Kuliah


ANTROPOLOGI BUDAYA
Dr. Luh Putu Sudini, S.H., M.Hum

Oleh
NI PUTU IKA ARMITHA PRATIWI
202110121047
46 A1

Prodi Ilmu Hukum


Universitas Warmadewa
RESUME ANTROPOLOGI BUDAYA

Identitas Buku
Judul Buku : Antropologi Budaya
Penulis : I Gede A.B. Wiranata, S.H., M.H.
Penerbit : PT. Citra Aditya Bakti
Jumlah Halaman : 182 halaman
25 Halaman Resume (BAB II)
Tahun Terbit : 2002
BAB II
MAKHLUK MANUSIA

A. KONSEP DASAR KAJIAN EVOLUSI

Makhluk manusia, menjadi sarana kajian ilmu antropologi selain prilaku budayanya.
Dari sudut biologi, ia merupakan salah satu makhluk di antara lebih dari sejuta makhluk
lain termasuk di dalamnya makhluk yang pernah atau masih mendiami muka bumi ini.
Kajian tentang evolusi primat dan makhluk manusia khususnya diawali dari konsep
berfikir evolusi masyarakat pada masa fase ke-II dalam perkembangan ilmu antropologi.

Menurut Koentjaraningrat (1997) garis besar teori ini menyatakan:


“Masyarakat dan kebudayaan manusia telah berevolusi dengan sangat lambat dalam
1 (satu) jangka waktu beribu-ribu tahun lamanya, dari tingkat-tingkat yang rendah,
melalui beberapa tingkat antara, sampai ke tingkat-tingkat tertinggi”

Pada masa itu, antropologi menjadi ilmu yang bersifat akademik, yaitu:
“Mempelajari manusia dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk mendapat
suatu pengertian tentang tingkat-tingkat kuno dalam sejarah evolusi dan sejarah
penyebaran kebudayaan manusia”
Proses evolusi sebagaimana dikemukakan Ariyono Suyono (1985) adalah:
“Suatu proses perkembangan yang berjalan secara lambat dari bentuk atau wujud
yang sederhana menjadi lebih sempurna atau lebih rumit”
Harsoyo dengan mengutip Morgan (1984) merumuskan batasan tentang evolusi organik
sebagai berikut:
“Organic Evolution means, that animals and plants at present living on earth have
descended from other in the past, and that in the course of time process of
diverergence has taken place”
Grolier Encyclopedia (2020) menyatakan evolusi sebagai suatu proses:
“Evolution is the process by which all living this things have aeveloped from
primitive organisms through changes occurring over billions of year, a progression
that includes the most advanced animals and plants. Exactly how evolution occurs is
still a matter of debate, but that it occurs is a scientific fact. Biologists agree that all
living things arose through a long history of changes shaped bt physical and
chemical processes that are skill taking place. It is plausible that all organisms can
be traced back to the origin of life from inanimate matter”
Salah satu penekun kajian evolusi yaitu Charles Darwin (1802-1889) cucu dari
Erasmus Darwin. Meskipun Darwin bukan satu-satuny ahli yang menguraikan tentang
proses evolusi, namun tonggak sejarah proses ini dapat dikatakan mulai pada dirinya. Inti
dari urian teorinya mengatakan bahwa bentuk hidup tertua di muka bumi, sesungguhnya
terdiri dari makhluk-makhluk 1 (satu) sel yang sangat sederhana, seperti misalnya
protozoa. Melalui rentan waktu ratusan juta tahun lamanya kemudian timbul,
berkembang dan berketurunan yang memunculkan jenis makhluk-makhluk baru yang
semakin kompleks. Salah satu makhluk tersebut sekarang telah berkembang melalui
suatu rangkaian proses evolusi berupa makhluk primat seperti kera dan manusia.

B. EVOLUSI CIRI-CIRI BIOLOGI

Proses percabangan yang demikian banyak menyebabkan sekarang ini di bumi


terdapat hampir 1 (satu) juta macam bentuk makhluk hidup. Demikian pula yang terjadi
menyangkut sejarah asal-usul manusia. Sebagaimana dikemukakan Morgan yang
dikutip oleh Harsoyo.
1. Sumber ciri-ciri organisme fisik
Sumber dari ciri-ciri evolusi biologi suatu makhluk yang dapat menyebabkan
perubahan itu terletak pada gen yang mengandung sel yang kemudian di dalamnya
terkandung kromosom. Setelah melalui proses kontrasepsi, sel telur bertemu dengan
sel buah. Dalam proses mitosis terjadi pembelahan (meiosis) yang secara periodik
berulang sampai akhirnya menghasilkan makhluk baru.
2. Perubahan dalam Proses Keturunan
Dari analisi yang dilakukan oleh para ahli, munculnya bentuk makhluk baru
merupakan akibat dari percabangan dari bentuk makhluk sebelumnya. Adapun
proses-proses yang kemungkinan menyebabkan mengapa suatu percabangan dapat
muncul dalam suatu proses penerusan keturunan
a. Proses Mutasi
Proses mutasi adalah proses yang berasal dari dalam tumbuh organisme.
Meskipun faktor ini cenderung terjadi pada sebagian besar makhluk hidup di
muka bumi, namun timbulnya proses mutasi ini tampaknya sampai saat ini belum
teridentifikasi penyebabnya.
b. Proses seleksi alamiah dan adaptasi
Dalam proses ini, akan terjadinya pemilahan individu yang dapat bertahan dan
beradaptasi dengan lingkungan. Dari waktu ke waktu individu yang tidak dapat
bertahan akan semakin berkurang jumlahnya, bahkan ada kecenderungan akan
punah. Makhluk yang dapat bertahan hidup akibat seleksi, dialah yang mampu
melahirkan keturunan dan memperkembangkan jenisnya. Akibatnya, individu
generasi berikutnya bertahan dengan ciri spesies yang baru. Dengan demikian,
muncul percabangan ras dari ras makhluk yang sebelumnya telah ada.
c. Proses menghilangnya gen secara kebetulan
Proses menghilangnya gen secara kebetulan juga dikenal dengan proses
penyimpangan genetis. Proses ini terjadi pada suatu makhluk dan memang benar-
benar secara kebetulan belaka. Gejala penerusan unsur-unsur keturunan yang
tersembunyi dalam gen yang semula didasarkan atas anggapan bahwa dalam
sirkulasi darah dan selanjutnya berkembang dalam keturunan berikutnya telah
lama diteliti oleh para ahli. Akan tetapi, anggapan ini ternyata keliru. Berdasarkan
penelitian silang bibit kacang ercis yang dilakukan oleh Gregor Johann Mendel
seorang pendeta di Moravia, menunjukkan bahwa munculnya sifat individu baru
selain dilatar belakangi oleh sifat individu aslinya juga ditentukan oleh faktor
dominan yang muncul.

C. EVOLUSI PERTAMA PRIMAT MANUSIA

Ilmu yang secara khusus mempelajari proses evolusi makhluk manusia adalah sub
ilmu antropologi yaitu ilmu paleoantropologi. Bahan dasar penelitiannya adalah bekas
bekas tubuh manusia, hewan, dan tumbuhan yang telah membatu (fosil). Bahan ini dapat
ditemukan di dalam lapisan bumi tertentu sehingga dalam kajian ini sangat dibutuhkan
bantuan ilmu geologi yang dimana ilmu ini mengkaji mengenai bebatuan.

1. Bentuk-bentuk Manusia Tertua


Dalam konsep antropologi, ada yang dinamakan missing-link yaitu makhluk
penghubung yang menjebatani manusia dan makhluk sejenisnya yang sebelumnya
ada. Ada sekurang-kurangnya 2 (dua) aliran yang mempertentangkan keberadaan
missing-link ini, yaitu:
a. Konsep lama
Konsep lama mengenai missing-link adalah anggapan seolah-olah bahwa
missing-link berada diantara kera dan manusia.
b. Konsep baru
Konsep baru yang mengganggap bukan lagi makhluk perantara yang hilang,
tetapi ia merupakan suatu mata rantai percabangan dengan asal mula makhluk
induk yang sejenis.
Meskipun demikian, terdapat beberapa fosil yang sempat ditemukan dalam
berbagai ekspedisi dan penggalian oleh para antropologi, yaitu:
a. Eoanthropus Dawsoni (manusia fajar)
Ditemukan oleh Charles Dawson pada tahun 1910 di lingkungan tambang
batu di Piltdown, Sussex, Inggris. Bagian yang ditemukan mulai dari tempurung
dan rahang bawah manusia yang hampir lengkap dan pada bagian rahang fosil ini,
sangat mirip dengan kera.
b. Australopithecus Africanus (Kera Afrika Selatan)
Pada tahun 1924, Profesor Raymond Dart dari Universitas Witwatersrand di
Johanesburg menemukan tempurung tengkorak binatang. Diduga fosil ini
campuran antara ciri-ciri kera dan hominidae. Selain itu juga ditemukan di
wilayah yang sama yaitu Homo Rhodesiensis dan Africanthropus Njarasiensis.
c. Sinanthropus Pekinensis (Orang Cina Peking atau Homo Erectus Cina)
David Black seorang ahli anatomi dari Kanada menemukan beberapa buah
fosil yang dinamai sinanthropus pekinensis dan kemudian dalam
perkembangannya dikenal dengan Homo Erectus Cina. Kemudian penerus Black,
yaitu Franz Wedenreich seorang yahudi pelarian dari Nazi Jerman selama 7
(tujuh) tahun penelitiannya secara lengkap menemukan 14 (empat belas) tulang
tengkorak, dan 147 (seratus empat puluh tujuh) gigi dari dugaan 32 (tiga puluh
dua) individu makhluk manusia purba. Selain itu ditemukan juga beberapa bekas
alat-alat batu, tulang serta bekal-bekas api.
d. Homo Heidelberg
Dr. Otto Schoetensach pada tahun 1907 menemukan tulang graham di dekat
kota kecil Mauer. Meskipun rahangnya relatif lebih besar, berdasarkan anatopi
rahang yang dimilikinya, giginya mirip manusia.
e. Homo Neanderthalensis
Prof. Sollas dari Universitas Oxford pada tahun 1848 menemukan sebuah
tengkorak seperti tulang tengkorak atas, tulang lengan dan tulang kaki sejenis
ditemukan di sebuah gua dekat Dusseldorf di lembah Neanderthal. Berdasarkan
strktur fisiknya, temuan ini diduga memiliki proses evolusi yang sangat dekat
dengan keluarga manusia modern (Homo Sapiens).
Indonesia juga memegang peranan penting dalam upaya mencari dan
memecahkan masalah asal-usul makhluk manusia karena di dalam kandungan
bumi Indonesia ditemukan bekas-bekas manusia yang tertua seperti:
1) Pithecanthropus Erectus
Seorang ahli bedah tentara Belanda Dr. Eugene Du Bois menemukan
fosil-fosil mata rantai yang hilang antara makhluk manusia dan kera. Setelah
dilakukan penggalian di Desa Kedung Brubus dan Desa Trinil di suatu
wilayah di tepian Sungai Bengawan Solo Jawa Tengah, ditemukannya fosil
hominida yang primitif berupa tengkorak atas, rahang bawah, dan sebuah
tulang paha. Dari hasil rekonstruksi, tampak seolah-olah rahang atas
menyerupai struktur tengkorak seekor kera besar dengan volume otak lebih
kecil dari yang dimiliki manusia. Giginya menunjukkan sifat manusia,
sedangkan bentuk tulang pahanya menunjukkan makhluk itu berdiri tegak. Du
Bois memberikan nama Pithecantropus Erectus (Manusia Kera yang berjalan
tegak).
Dalam penggalian selanjutnya, ditemukan beberapa tengkorak di
sekitar wilayah Mojokerto. Karena relatif masih mendekati struktur
Pithecantropus, maka diberi nama Pithecantropus Mojokertensis.
Pada kurun yang sama, Du Bois juga menemukan fosil yang
diperkirakan berumur 2.000.000 (dua jua) tahun di Desa Perning dekat
Majakerto dan di Desa Sangiran di dekat Surakarta. Fosil ini dinamakan
Pithecantropus Majakertensis.
2) Homo Soloensis dan Homo Wajakensis
GHR Von Konigswald menemukan 14 (empat belas) fosil
Pithecantropus di dekat Desa Ngandong (lembah Bengawan Solo, sebelah
utara Trinil) pada tahun 1931-1934. Oleh Teuku Jacob yang meneliti secara
lebih cermat dan kemudian diberi nama Pithecantropus Soloensis.
Oppenoorth seorang ahli geologi juga menemukan fosil manusia purba yang
struktur tubuh dan volume otaknya lebih berkembang sehingga diduga
memiliki tingkat yang lebih tinggi dari struktur pithecantropus, maka nama
yang diberikan adalah Homo Soloensis.
3) Meganthrophus Valeo Javanicus
Penemuan lainnya oleh GHR Von Konigswald tahun 1941 di dekat
Sangiran dalam lapisan yang sama dengan penemuan tahun 1936 di Desa
Perning. Struktur tubuh fosil ini memiliki ukuran yang luar biasa besarnya
dibanding dengan gorila laki-laki sehingga diberi nama Meganthropus Paleo
Javanicus. Selanjutnya ditemukan juga jenis fosil yang sama di daerah
Sangiran hingga 1973 dari Desa Sambungmacan di dekat Sragen. Keseluruhan
fosil yang ditemukan ini berjumlah 41 (empat puluh satu) buah.

2. Organisme Manusia
Dalam perjalanan evolusi untuk mempertahankan kehidupan, manusia cencerung
lebih mengandalkan adaptasi kultural daripada hanya semata-mata adaptasi biologis.
Otak manusia telah berevolusi paling jauh dibandingkan dengan primat lainnya. Jadi
dengan kamampuan akalnya dapat mengatasi berbagai keterbatasan alat biologisnya.
Kemampuan mengembangkan daya cipta menghasilkan berbagai sistem yang dapat
membantu dan menyambungkan keterbatasan kemampuannya itu. Keseluruhan
sistem yang dikembangkan dan disebut kebudayaan itu, meliputi:
- Sistem perlambanganan vokal atau bahasa
- Sistem pengetahuan
- Sistem organisasi sosial
- Sistem peralatan hidup dan teknologi
- Sistem mata pencaharian hidup
- Sistem religi
- Sistem kesenian

D. ANEKA WARNA MANUSIA

Karakteristik fisik, baik dari populasi maupun individu sesungguhnya adalah hasil
interaksi antara gen dan lingkungannya. Oleh karena itu, gen seseorang dapat
mempengaruhi warna kulit dan lain sebagainya. Dari kesamaan dan perbedaan ini,
muncullah konsep ras yaitu suatu golongan manusia yang menunjukkan berbagai ciri
tubuh yang tertentu dan mendekati kesamaan dengan suatu frekuensi yang besar.
Sepanjang sejarah pada beberapa periode lalu, muncul bahwa ras-ras tertentu juga
dianggap memiliki karakteristik ras secara khusus. Generalisasi itu tentunya tidak ada
hubungan sama sekali dengan makna biologis sesungguhnya. Tampaknya, konflik rasial
timbul karena dendam semata akibat permusuhan yang lama terpendam. Rasialis
digerakkan oleh klise-klise sosial dan jargon politik, bukan oleh pemahaman atas dasar
fakta ilmiah yang ada.

E. METODE KLASIFIKASI RAS MANUSIA

Dasar klasifikasi ras manusia adalah:


1. Ciri-ciri kualitatif
Ciri-ciri kualitatif ini seperti, warna kulit, bentuk rambut, hidung dan lainnya.
2. Ciri-ciri kuantatif
Ciri-ciri kantitatif yaitu seperti berat badan, ukuran badan, indeks tenggorokan, dan
lain-lain.
Akhir-akhir ini telah berkembang kajian klasifikassi secara fillogenetik yaitu
klasifikasi yang kecuali hanya menggambarkan persamaan-persamaan dan perbedaan-
perbedaan antara berbagai ras, juga mencoba menggambarkan hubungan asal-usul antara
ras-ras serta percabangannya. Meskipun secara teoritis kategorisasi ras dapat dilakukan,
namun pada kenyataannya ada perbedaan yang mendasar antara ras yang akhirnya dapat
saja mempengaruhi struktur pengelompokan ini, diantaranya:
1. Definisi itu tidaklah pasti
Tidak atau belumnya terdapat suatu kesepakatan berapa jumlah yang tepat
untuk menyatakan perbedaan genetis yang diperlukan untuk membentuk sebuah ras.
2. Varian khas yang saling berbeda
Tidak selalu suatu ras secara eksklusif mengandung varian yang khas dari
sebuah atau beberapa gen. Hanya jenis spesifikasi saja yang secara stimulan memiliki
prinsip dasar yang sama. Sehingga kondisi demikian tidak dapat dikatakan sebagai
ras mandiri, tetapi masih masuk dalam kategori jenis semata.
3. Sulitnya membedakan antar ras
Individu dari salah satu ras belum tentu secara pasti dapat dibedakan dari
individu-individu ras lain. Pada dasarnya pengaruh faktor keterbukaan genetik ras
yang diakibatkan oleh hubungan antar manusia, perkawinan silang antara suku
bangsa dan sebagainya mempersulit secara praktek pengelompokan antar ras secara
baku.

Anda mungkin juga menyukai