Anda di halaman 1dari 14

SEJARAH LINGKUNGAN SEBAGAI HISTORIOGRAFI ALTERNATIF

Oleh
Nawiyanto
(Profesor dalam Bidang Sejarah Ekonomi dan Lingkungan, FIB Universitas Jember)

1. Pendahuluan
Sejarah lingkungan merupakan spesialisasi sejarah yang masih terabaikan di Indonesia. Belum
berkembangnya sejarah lingkungan semakin terasa manakala menempatkannya dalam konteks
kemajuan historiografi Indonesia yang cukup mengesankan dari segi tematis maupun metodologis
dalam beberapa dekade terakhir. Historigrafi Indonesia telah diperluas horizonnya dan diperkaya
bahasannya, misalnya melalui karya-karya sejarah sosial dan sejarah ekonomi terutama semenjak
dipromosikannya pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam pengkajian sejarah. Kajian Kuntowijoyo
(1980;2002) tentang perubahan sosial masyarakat agraris Madura, kajian Djoko Suryo (1982;1989)
mengenai kondisi sosial-ekonomi masyarakat pedesaan Semarang, dan Suhartono (1991) yang
membahas perubahan sosial di pedesaan Surakarta mengilustrasikan tren ini.
Perkembangan historiografi Indonesia juga ditandai dengan publikasi kajian-kajian sejarah
ekonomi. Berbagai survei historiografis telah memetakan isu-isu utama dalam historiografi ekonomi
Indonesia yang dihasilkan baik sejarawan asing maupun domestik (Lindblad, 1993;Van der Eng
(1996), Nawiyanto (2010). Isu-isu utama yang dibahas di antaranya adalah eksploitasi kolonial,
perkebunan, dinamika ekonomi lokal, kelompok-kelompok bisnis, perdagangan, dan pembangunan.
Pengayaan juga berlangsung melalui kajian-kajian sejarah maritim dan sejarah perkotaan
memperlihatkan arus pasang.
Kontribusi historiografi lingkungan terhadap perkembangan historiografi Indonesia belum
sebanding dengan cabang historiografi lainnya. Sejarawan Belanda, Peter Boomgaard (1997)
menengarai bahwa spesialisasi sejarah lingkungan Indonesia masih berada pada fase embrional.
Pernyataan ini masih tetap aktual meskipun dilontarkan sekitar dua dasawarsa silam. Buktinya
hingga dewasa ini belum banyak dihasilkan publikasi tentang sejarah lingkungan (di) Indonesia,
negeri tropis yang kaya dengan persoalan lingkungan. Fase embrional sejarah lingkungan juga
tampak kontrasnya bila dibandingkan dengan kajian-kajian ekologis atau lingkungan. Bidang terakhir
ini memasuki fase tumbuh-kembang. Hal ini ditandai dengan keberadaan pusat-pusat studi
lingkungan di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Publikasi akademis mengenai berbagai aspek
ekologi/lingkungan Indonesia juga terus meningkat. Publikasi yang tergolong monumental terwujud
dalam The Ecology of Indonesia Series, terdiri atas 7 volume tebal yang dirilis Environmental
Management Development in Indonesia Project (EMDI Project, 1996) sebagai produk kolaboratif
antara Indonesia dan Kanada.
Terbatasnya karya-karya bertema sejarah lingkungan membuat pemahaman tentang
sejarah lingkungan di Indonesia masih relatif dangkal dan terbatas. Kondisi ini berlaku baik di
kalangan awam maupun dunia akademis. Ketika mendengar istilah “sejarah lingkungan”, masih
banyak pihak yang mendapati dirinya bingung dan bertanya-tanya, pengetahuan sejarah macam
apakah ini? Imajinasi populer yang banyak berkembang pada umumnya mengaitkan sejarah dengan
kerajaan-kerajaan tradisional, para raja dan panglimanya pada masa lalu, orang-orang besar dalam
panggung sejarah kolonial, pergerakan kebangsaan dan sejenisnya. Konkretnya sejarah
dihubungkan misalnya dengan Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Mataram, Banten, Ternate, Tidore dan
sejenisnya. Sejarah juga menghidupkan imajinasi orang tentang Ken Arok dan Ken Dedes, Hayam
Wuruk dan Gajah Mada, Diponegoro, Trunojoyo, Mahmud Badaruddin. Imajinasi populer juga

1
mengaitkan sejarah dengan peristiwa-peristiwa besar pada masa lalu, misalnya proklamasi
kemerdekaan, agresi militer Belanda, pertempuran Surabaya, palagan Semarang, Bandung lautan
api, puputan Margarana, dan serangan umum 1 Maret. Dengan pemahaman konvensional
semacam ini, sejarah lingkungan masih berada di luar cakrawala pemahaman sejarah umumnya.
Sejarah lingkungan merupakan objek sejarah yang belum teridentifikasi dalam repositori
kesejarahan yang mereka punyai.
Di kalangan akademis pun kurangnya pemahaman tentang sejarah lingkungan masih sering
dijumpai. Hal ini terjadi salah satunya karena sejarah lingkungan sebagai disiplin masih berusia
sangat muda. Sejarah politik misalnya, sudah ditulis selama ribuan tahun sejak zaman Yunani-
Romawi, sedangkan sejarah lingkungan baru berkembang selama beberapa dekade. Mengingat
usianya yang masih muda, dapat dimengerti bahwa sejarah lingkungan dan permasalahan yang
menjadi bidang garapnya belum didefinisikan secara jelas dan tegas. Batas-batas sejarah
lingkungan dengan disiplin lain terkesan masih kabur dan berpori-pori, khususnya dengan geografi
historis dan ekologi historis (McNeill, 2003:9-10). Bidang garap sejarah lingkungan memang
berdekatan dengan kedua disiplin tersebut. Kedekatan sejarah lingkungan dengan geografi historis
terbentuk karena minat keduanya yang secara esensial relatif sama, yakni hubungan masyarakat
dan lingkungannya (Williams, 1994).
Perbedaan antara sejarah lingkungan dan geografis historis terletak terutama pada
metodologinya. Sejarawan pada umumnya bertolak dari bahan-bahan arsip atau dokumen tekstual,
sedangkan geografi historis juga mengandalkan “geo-arsip” termasuk di antaranya adalah rekaman
stratigrafis erosi dan perubahan kimiawi tanah (McNeill, 2003:9). Demikian pula, kedekatan sejarah
lingkungan dengan ekologi historis berangkat dari perhatian keduanya pada isu yang sama.
Perbedaannya, ekologi historis memperlihatkan kepekaan yang lebih tinggi terhadap teori, sistem
pengetahuan lokal, isu etnisitas dan kelas, sedangkan sejarah lingkungan yang lebih bersandar
pada retorika genetis-diakronis. Di samping itu, ekologi historis sering merupakan karya yang
dihasilkan secara kolaboratif dan bersifat lintas disiplin, sedangkan sejarah lingkungan pada
umumnya lebih menampilkan karya eksklusif sejarawan (McNeill, 2013:9).
Promosi dan popularisasi sejarah lingkungan sebagai spesialisasi sejarah yang layak
dikembangkan di Indonesia pertama-tama mengharuskan adanya pemahaman yang tepat dan
memadai atas sejarah lingkungan. Hal ini penting untuk menghindari miskonsepsi yang potensial
terjadi atas ranah kajian yang baru. Beberapa pertanyaan pokok dapat diajukan sebagai pangkal
tolak untuk membangun pemahaman terhadap spesialisasi sejarah yang relatif baru ini dan
signifikansi pengembangannya. Apakah yang dimaksud dengan sejarah lingkungan? Apakah yang
menjadi cakupan dan bidang garapnya? Manfaat apakah yang dapat dipetik dari sejarah
lingkungan? Bagaimana jejak dan prospek sejarah lingkungan di Indonesia?

2. Definisi dan Bidang Garap


Istilah sejarah lingkungan pertama kali dipakai oleh Roderick Nash pada tahun 1970 untuk menamai
kuliah yang disajikannya, American Environmental History, di Universitas California, Santa Barbara.
Mata kuliah ini dilukiskan Nash sebagai “new teaching frontier” (Padua, 2010:81). Pada tahun yang
sama, istilah sejarah lingkungan muncul sebagai judul artikel Nash dalam kopendium, The State of
American History, yang disunting Herbert Bass (1970). Dalam artikel yang menggambarkan
perkembangan sejarah lingkungan di Amerika Serikat ini, Nash mendefinisikan sejarah lingkungan
sebagai: “The total contact of man with his habitat and includes everything from urban design to
wilderness preservation” [Kontak menyeluruh manusia dengan habitatnya dan mencakup segala
sesuatu dari rancangan perkotaan hingga preservasi alam liar]. Sesuai dengan pengertian Nash,

2
kontak manusia dengan lingkungan membentuk sebuah garis kontinum, dari wujud yang paling
ekstrem berupa rancangan kota hingga wujud yang “abstrak” berupa alam liar yang dijaga
keasliannya melalui gagasan konservasi.
Sejarawan Belanda yang berafiliasi pada Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en
Volkenkunde/KITLV (Royal Institute of Linguistics and Anthropology, KITLV) di Leiden, Belanda,
Peter Boomgaard (1997:2) mendefinisikan sejarah lingkungan sebagai “A study of mutual relations
and influences between humans and their environment in the past” [kajian mengenai hubungan dan
pengaruh timbal balik antara manusia dengan lingkungan mereka pada masa lampau]. Definisi ini
secara esensial dekat dengan pengertian ilmu lingkungan atau ekologi. Ciri pembedanya terletak
pada penonjolan dimensi temporal “masa lampau” sebagai kekhasan kajian sejarah. Sejauh
pembahasan tentang hubungan dan pengaruh timbal balik antara manusia dengan lingkungan yang
disajikan selalu memperhatikan dimensi temporal atau bersifat diakronis, maka kajian tersebut
secara praktis masuk dalam kategori sejarah lingkungan.
Ahli sejarah lingkungan dari Australia, Richard Grove (1998) dalam karya berjudul, Nature
and the Orient, memberikan definisi sejarah lingkungan dengan cakupan sedikit lebih luas. Menurut
Grove, sejarah lingkungan adalah: “The historically documented part of the story of the life and death
… of societies and of species… in terms of their relationship with the world around them” [Bagian
yang terdokumentasi secara historis tentang kisah kehidupan dan kematian… masyarakat dan
spesies… dalam hubungan mereka dengan dunia sekitar mereka]. Definisi ini memperlihatkan
kesamaan dengan definisi yang diberikan Boomgaard dalam hal tekanan pada pada dimensi masa
lampau dalam interrelasi spesies dengan lingkungan. Bedanya, Grove mengakui bahwa “spesies”
baik flora dan fauna juga mempunyai tempat dalam kisah sejarah.
Sesuai dengan definis Grove tersebut, maka tema-tema seperti “Punahnya harimau Bali”,
“[Hampir] punahnya Harimau Jawa”, atau “Depopulasi Badak Jawa”, dan “Hilangnya varietas padi
lokal” layak diangkat menjadi tema riset sejarah lingkungan. Apalagi proses kepunahannya
disebabkan oleh faktor antropogenis yang terwujud sebagai konsekuensi aksi-aksi manusia.
Berbagai studi tentang tragedi sejarah yang membahas punahnya spesies fauna dari muka bumi
yang terjadi di Afrika, Amerika Utara dan tempat-tempat lain dapat dijadikan model kajian. Dapat
disebut di sini misalnya kajian Silverberg, The Aux, the Dodo, and the Oryx: Vanished and
Vanishing Creature [Burung Aux, Burung Dodo, dan Antelop: Makhluk yang telah punah dan sedang
menuju kepunahan] dan kajian Schorger (1955), The Passenger pigeon: Its Natural History and
Extinction [Merpati liar: Sejarah alamiah dan kepunahannya] (Crosby, 1995:1178).
Selain punahnya spesies tertentu, menciut dan menghilangnya vegetasi hutan juga dapat
ditulis kisahnya dalam konteks sejarah lingkungan. Melalui pengandaian sejarah (if history), dan
dengan mempertimbangkan kemampuan reproduksi masyarakat Jawa yang tinggi dan tradisi babad
mereka yang begitu kuat pada masa lalu, orang dengan mudah dapat membayangkan Jawa
sebagai “daratan tanpa hutan” (land without forest). Gambaran demikian niscaya terjadi bila
kebijakan konservasi dalam bentuk cagar alam dan suaka margasatwa tidak diadopsi sejak masa
kolonial dan tidak berlanjut pada masa kemerdekaan dalam bentuk taman nasional. Implementasi
gagasan konservasi lingkungan berhasil mempertahankan sisa-sisa hutan, keragaman fauna, dan
keelokan alam eksotis di Jawa dari kehancuran. Meskipun demikian, sebuah pertanyaan tetap
tinggal dan terus menghantui: akan bertahan sampai kapan? Pertanyaan demikian bukan mengada-
ada mengingat menguatnya agensi manusia dalam mengubah lingkungan. Hutan yang masih
tersisa masih terus menjadi sasaran penjarahan. Pada masa lalu luasnya hutan dipandang sebagai
masalah sehingga pembabatan hutan begitu diinginkan. Akan tetapi, sejak awal abad ke-20,
penciutan dan tidak adanya hutan justru yang dipandang menjadi masalah.

3
Berdasarkan percikan paparan tersebut, lantas apakah yang menjadi bidang garap sejarah
lingkungan? Dalam buku The End of the Earth, ahli sejarah lingkungan dari Amerika Serikat, Donald
Worster (1988) mengidentifikasi tiga wilayah penyelidikan sejarah lingkungan. Ketiga wilayah kajian
tersebut meliputi: 1) lingkungan alam pada masa lampau, 2) moda produksi, dan 3) persepsi,
ideologi dan nilai-nilai kultural. Dalam wilayah penyelidikan pertama, sejarah lingkungan berurusan
dengan lingkungan fisik pada masa lampau, perubahan/kerusakan ekosistem dalam hubungannya
dengan berkembang-biak atau punahnya populasi spesies sebagai bagian dari ekosistem. Dalam
kaitan dengan wilayah penyelidikan kedua, sejarah lingkungan membahas berbagai kegiatan sosio-
ekonomis dalam persentuhannya dengan lingkungan dengan melihat hubungan-hubungan dan
kelembagaan sosial yang muncul. Dibanding dengan dua wilayah kajian pertama yang lebih konkret,
wilayah kajian sejarah lingkungan yang ketiga tersebut lebih abstrak karena bersentuhan dengan
dunia gagasan atau ide.
Agak berbeda dengan Worster, menurut Tate bidang garap sejarah lingkungan merupakan
struktur yang tersusun atas empat lapisan. Keempat lapisan yang menyusun struktur tersebut, yakni:
1) persepsi dan sikap manusia terhadap alam; 2) inovasi teknologis dan dampak yang
ditimbulkannya terhadap lingkungan; 3) proses-proses ekologis; dan 4) respons publik yang muncul
dalam bentuk perdebatan, undang-undang dan peraturan politik yang terkait dengan lingkungan
(Tate dikutib dalam Williams, 1994:6). Pentingnya sejarah lingkungan untuk mengarahkan fokus
pada proses ekologis juga ditekankan oleh J. Donald Hughes (2009) dalam karya sejarah globalnya,
An Environmental History of the World. Proses ekologis ini, menurut Hughes, bersifat dinamis.
Asumsi kunci dalam pandangan ini adalah keyakinan akan adanya perubahan terus-menerus dalam
interrelasi antara manusia dengan lingkungannya. Perubahan yang terjadi bisa berada dalam
jangkauan kapasitas ekosistem untuk menetralisasi pengaruh-pengaruh buruknya, tetapi bisa juga
melampaui kapasitasnya sehingga mendatangkan kerusakan dan menggoyahkan keseimbangan
ekologis (Hughes, 2009:8).
Menurut McNeill, sejarah lingkungan mempunyai tiga varietas utama, yakni 1) sejarah
lingkungan material, 2) sejarah lingkungan intelektual/kultural, dan 3) sejarah lingkungan politis.
Sejarah lingkungan material membahas terutama perubahan-perubahan lingkungan secara fisik dan
bilogis, dan bagaimanan pengaruh-pengaruh perubahan tersebut terhadap masyarakat. Varietas ini
juga menaruh perhatian besar terhadap dimensi teknologis dan ekonomis kegiatan manusia.
Sejarah lingkungan intelektual/kultural lebih memusatkan perhatian pada representasi dan citra alam
dalam ekspresi seni dan sastra, bagaimana dalam perjalanan waktu representasi dan citra kultural
mengenai alam ini mengalami proses pergeseran dan perubahan, dan apa yang dapat diungkapkan
berbagai representasi kultural mengenai alam tersebut tentang masyarakat yang telah
menciptakannya. Sementara itu, sejarah lingkungan politis lebih menekuni garapan terutama
tentang persoalan hukum dan kebijakan negara dalam hubungannya dengan lingkungan alam
(McNeill, 2003:6-7).
Dari ketiga varietas sejarah lingkungan tersebut, sejarah lingkungan politis dan sejarah
lingkungan kultural/ intelektual merupakan varietas yang bersesuaian dengan tradisi dan preferensi
yang telah lama berkembang di kalangan sejarawan. Para sejarawan pada umumnya sudah akrab
dengan sumber, metode, dan pokok permasalahan yang dijumpai dalam kedua varietas tersebut.
Sementara itu, sejarah lingkungan material belum merupakan zona nyaman bagi sejarawan
konvensional. Varietas sejarah lingkungan ini menghadapkan kaum sejarawan pada tuntutan dan
tantangan baru yang jauh berbeda dengan tradisi yang telah mereka akrabi sebelumya dalam segi
sumber sejarah yang perlu dirujuk, perangkat keahlian riset yang harus dikuasai, dan kerangka
teoretis yang diperlukan untuk membangun argumentasi (McNeill, 2003:8-9). Dalam menggarap

4
sejarah lingkungan material diperlukan pendekatan yang berbeda. Bahan-bahan material yang
diperlukan pun berbeda. Sejarawan dituntut mempunyai kemampuan untuk menggali dan
memanfaatkan bahan-bahan informasi non-konvensional, yang banyak disediakan oleh kolega yang
berkecimpung dalam bidang geologi, meteorologi, epidemiologi, agronomi dan ilmu-ilmu eksakta
lainnya (Cronon, 1995:1189). Data sejarah lingkungan perlu dilacak misalnya dalam laporan laporan
pemerintah dan jurnal-jurnal ilmiah yang memuat angka, grafik, dan pembicaraan tentang isu-isu
dalam dunia sains seperti aliran air dan penyerbukan (Crosby, 1995:1181). Dengan kata lain,
sejarawan lingkungan perlu mengeksplorasi data-data baru yang pada umumnya jarang atau
bahkan belum pernah digunakan dalam historiografi konvensional.
Untuk menggarap tema-tema sejarah lingkungan, kolaborasi sejarah dengan ilmu-ilmu
sosial yang telah berkembang melalui penulisan sejarah baru yang bersifat deskriptif analitis,
dirasakan tidak lagi memadai. Penggarapan topik-topik sejarah lingkungan mengharuskan
kolaborasi sejarah dengan ilmu-ilmu eksakta sebagai kebutuhan vital agar diperoleh konstruksi
historiografis yang berdaya eksplanasi kuat.

3. Mengapa sejarah lingkungan dikembangkan?


Sejarah lingkungan sebagai unit analisis yang otonom merupakan bagian dari pencabangan sejarah
yang terus tumbuh ke dalam kajian-kajian baru. Pengembangan sejarah lingkungan menampilkan
sebuah pembaharuan historiografis yang paling mutakhir. Pembaharuan yang berawal dari Amerika
Serikat sejak tahun 1970-an ini menyambung inovasi-inovasi terdahulu dalam disiplin sejarah yang
mayoritas bermula dari Benua Eropa. Dapat dicatat misalnya inovasi dalam bentuk kajian sejarah
mikro yang muncul di Italia dan kajian sejarah sosial yang muncul di Inggris. Inovasi penting lainnya
adalah kajian sejarah total yang dikembangkan oleh Madzab Annales dari Perancis. Kelompok
sejarawan Annales dengan perhatiaanya pada isu-isu di luar sejarah politik telah melahirkan revolusi
dalam tradisi historiografi (Nawiyanto, 2000:18-33). Berbagai inovasi ini memang telah memberi
kontribusi besar bagi perluasan penulisan sejarah secara tematik maupun pengayaan dari segi
perspektif metodologis. Akan tetapi, kajian sejarah yang dilakukan masih dirasakan timpang, yakni
hanya menekankan kaitan horizontal antar kelompok masyarakat. Relasi struktural yang terjalin
antara manusia atau masyarakat dengan lingkungannya sebagai aspek yang juga penting sama
sekali belum menjadi fokus utama pembahasan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengembangan sejarah lingkungan merupakan
kritik terhadap praktek historiografis yang mengabaikan pentingnya menempatkan tindakan-tindakan
manusia dalam konteks relasi dengan lingkungan. Padahal, seperti dikemukakan Cronon (1993:13},
“semua sejarah manusia mempunyai konteks alamiah”. Berlawanan dengan realitas ini,
ketidakhadiran dimensi relasi manusia dengan lingkungan dirasakan masih mendominasi
historiografi hingga saat ini. Dominasi ini beresiko mengukuhkan keangkuhan dan sesat-pikir bahwa
manusia adalah mahkluk independen yang terpisah dari lingkungannya. Manusia tidak dipandang
sebagai bagian dari lingkungan, melainkan berposisi di atas alam. Perkembangan teknologis dan
pola kemajuan yang telah diraih manusia telah membentuk sikap yang digambarkan Aston dan
Laura (1998:35) sebagai “arogansi spesies”. Sikap arogan ini didasarkan pada keyakinan tentang
superioritas manusia atas elemen-elemen lingkungan alam lainnya.
Asumsi tersebut jelas naif karena eksistensi dan kelangsungan hidup spesies manusia
sangat tergantung pada lingkungan. Setiap hari manusia memasukkan ke dalam tubuhnya berbagai
elemen lingkungan dalam beragam wujud agar dapat terus hidup. Tanpa suplai elemen-elemen
lingkungan kehidupan manusia akan berakhir. Fakta ini menegaskan ketergantungan manusia
terhadap lingkungannya. Manusia memerlukan lingkungan alam untuk menopang keberadaan dan

5
kelangsungan hidupnya. Sebaliknya, tidaklah demikian dengan lingkungan alam. Lingkungan alam
bisa ada dan terus tetap ada tanpa kehadiran manusia sekalipun. Planet bumi diperkirakan telah
berusia jutaan bahkan miliaran tahun, sedangkan keberadaan manusia di panet bumi baru dalam
hitungan ribuan atau ratusan ribu tahun. Dengan kata lain, pernah ada kurun waktu dalam sejarah,
planet bumi ada tanpa kehadiran manusia. Arogansi spesies yang berpikir manusia berkedudukan
independen dari lingkungan adalah sebuah amnesia sejarah. Sejarah lingkungan dapat menjadi
sarana untuk mengembalikan kesadaran yang telah hilang bahwa manusia adalah bagian dari
lingkungan. Manusia bukanlah makhluk supra natural atau berkedudukan di atas alam. Sejarah
lingkungan sekaligus dikembangkan sebagai koreksi atas kesan salah dalam historiografi
kontemporer bahwa “manusia mengambang di atas planet” (Padua, 2010:91).
Peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah umat manusia terbukti dipengaruhi oleh faktor
lingkungan sebagai kekuatan pembentuknya. Sejarah Tanah Jawa mencatat peralihan kekuasaan
dari Jawa Tengah ke Jawa Timur pada abad ke-11 adalah akibat letusan Gunung Merapi. Contoh
yang lebih kolosal dari kasus Merapi adalah Letusan Gunung Tambora pada tahun 1815. Letusan ini
telah mendatangkan kiamat bagi empat kerajaan di Nusa Tenggara, yakni Kerajaan Dompu,
Tambora, Sanggar, dan Papekat (Lapian, 1987:216-217). Letusan Gunung Tambora yang
apokaliptik ini bahkan menjadi petaka global karena menyebabkan dampak berskala dunia. Lontaran
material dan partikel erupsi ke atmosfir telah menciptakan tirai debu yang menyelimuti planet bumi.
Tirai debu vulkanis ini mereduksi pancaran sinar matahari yang sampai ke permukaan bumi
sehingga terjadi penurunan temperatur bumi secara drastis dan menyebabkan perubahan cuaca
secara ekstrem. Dampak ini dirasakan di seantero planet bumi hingga beberapa tahun kemudian. Di
New England dampak letusan Tambora memunculkan ungkapan tahun 1816 sebagai “Tahun tanpa
Musim Panas” di New England, dan “Cuaca Dingin tanpa Akhir” di Amerika. Di Jerman tahun 1817
digambarkan sebagai “Tahun Pengemis” karena kegagalan panen dan kelangkaan bahan pangan
(Wood, 2015:18-19, 297-298). Tragis dan kolosalnya dampak kemanusiaan letusan Tambora lebih
jauh digambarkan Wood: “orang desa yang kelaparan dari Indonesia hingga Irlandia berduyun-
duyun meninggalkan daerah pedesaan menuju kota-kota pasar untuk meminta sedekah atau
menjual anak-anak mereka sebagai penukar makanan”.
Kedua ilustrasi tersebut secara jelas menunjukkan bahwa faktor lingkungan merupakan
kekuatan yang ikut menentukan jalannya sejarah. Manusia bukanlah satu-satunya faktor penentu
perkembangan sejarah, makhluk-mahkluk lain termasuk mikroorganisme dan proses alamiah juga
memainkan peranan yang menentukan dalam perkembangan sejarah. Oleh karena itu, faktor
lingkungan perlu diintegrasikan dalam narasi sejarah dan layak menjadi fokus pengkajian sejarah.
Proses dan peristiwa sejarah bukanlah kisah eksklusif mengenai peranan manusia yang ada dalam
ruangan hampa, melainkan manusia yang berkoeksistensi dengan lingkungan. Seperti dikemukakan
sejarawan besar Madzab Annales, Fernand Braudel, manusia adalah makhluk yang mempunyai
relasi intim dengan lingkungan alam yang menanggung dan memberi mereka makan. Bahkan labih
jauh menurut pandangan Braudel, manusia adalah “tawanan dari iklim, vegetasi, populasi satwa,
dan pertanian”. Manusia terikat dalam sebuah keseimbangan yang menjadi mapan secara perlahan-
lahan dengan lingkungannya, keterikatan yang tidak dapat dilepaskan begitu saja tanpa
mendatangkan resiko yang dapat mengganggu segalanya (dikutip dalam Crosby 1995:1185).
Kesadaran tersebut ikut memotivasi pengembangan sejarah lingkungan, yang dimaksudkan
untuk mendialogkan kemanusiaan dan lingkungan. Dialog ini berangkat dari pendirian bahwa sistem
alamiah dan sistem budaya saling berinteraksi, membentuk dan mempengaruhi satu sama lain.
Dalam kaitan dengan perubahan lingkungan, sejarah lingkungan mengasumsikan bahwa aktivitas
manusia mempunyai konsekuensi lingkungan dan perubahan dalam sistem alamiah, baik yang

6
digerakkan oleh kekuatan manusia maupun alam, juga berpengaruh terhadap manusia. Dalam
interrelasi ini, baik sistem alamiah maupun sistem budaya tidaklah statis, melainkan dinamis. Kedua
sistem dan interrelasi yang terjalin di antara keduanya terus berubah sepanjang waktu, dengan
skala dan irama yang bisa jadi sangat bervariasi (Cronon, 1993:13-14).
Pengembangan sejarah lingkungan bukan hanya merupakan bentuk otokritik atau kritik diri
dalam disiplin sejarah, melainkan juga menampilkan perhatian dan keprihatinan terhadap
konsekuensi negatif aktivitas manusia pada lingkungan alamiah. Dampak buruk tindakan-tindakan
manusia tampak misalnya dalam bentuk berbagai degradasi lingkungan, hilangnya kekayaan
keragaman hayati, dan rusaknya habitat-habitat alamiah yang begitu berharga (Rangan dan Carney,
2012). Dampak negatif manusia atas elemen-elemen lingkungan merupakan isu baru, yang
terbentuk dan menguat seiring dengan perkembangan kapitalisme modern. Dengan kemampuan
teknologi yang meningkat dan permintaan yang terus tumbuh dari sektor industri akan pasokan
bahan baku dan sumber energi telah mendorong ekstraksi sumberdaya alam secara masif dengan
berbagai dampak buruknya yang menjurus ke arah krisis dan bencana lingkungan global (Keraf,
2010:26-84). Dalam kaitan ini, sejarah lingkungan menawarkan kritik terhadap praktek kapitalisme
modern dan kolonialisme atas kerusakan-kerusakan lingkungan yang ditimbulkan (Nash, 1999:25).
Perkembangan sejarah lingkungan, dengan demikian, memperlihatkan diintegrasikannya
pertimbangan-pertimbangan kritis, etis-moralistis dalam pengkajian sejarah sebagai bentuk
pertanggung-jawaban publik atas profesi sejarah melalui respons terhadap kerusakan lingkungan
yang ditimbulkan kapitalisme modern.
Kapitalisme modern dan kolonialisme telah menciptakan apa yang dilukiskan Cronon
(1995:1179-1180) sebagai “momentum perubahan” dan “bencana-bencana ekologis”. Dalam
konteks sejarah Amerika, momentum perubahan itu hadir dalam bentuk ekspansi frontier ke arah
wilayah barat Amerika yang masih liar (American wild west) seiring masuknya kaum migran secara
bergelombang, yang diawali oleh kaum pedagang dan penjebak, disusul oleh peternak, penambang,
petani, dan orang-orang kota (Turner, 1920:4-18, 30-37). Dalam konteks koloni-koloni Barat di
wilayah tropis, perubahan-perubahan yang terjadi diikuti dengan bencana-bencana ekologis
khususnya akibat penggundulan hutan secara luas. Momentum perubahan dan bencana-bencana
ekologis tersebut telah menciptakan persemaian bagi berkecambahnya benih-benih sensitivitas
terhadap lingkungan dan “sense of environmental crisis” yang mengancam kelangsungan tatanan
kolonial. Kaum naturalis dan botanis dengan jaringan ilmiahnya yang mapan dan luas telah
memainkan peranan penting dalam membangun kesadaran lingkungan dan kedaruratan persoalan
yang tengah menghadang (Grove, 1995:480-485).
Persemaian bagi institusionalisasi sejarah lingkungan dipersubur oleh menguatnya
environmentalisme dan romantisasi bumi yang muncul di Amerika sejak 1960-an. Buku Rachel
Curson, Silent Spring, [Musim Semi yang Bisu] yang mengeluhkan efek DDT yang berlangsung
secara diam-diam namun sangat mematikan, telah menggugah kesadaran publik dan
mempersiapkan audiens bagi sejarah lingkungan (Crosby, 1995:1186). Environmentalisme populer
ini disebut Padua (2010:81) sebagai “suara-suara dari jalan” yang menghendaki perubahan dalam
sikap terhadap lingkungan alamiah dan sumberdayanya. Hal ini sejajar dengan pandangan Worster
bahwa kajian sejarah lingkungan telah dimotivasi oleh adanya dilema global dan gerakan
environmentalis populer yang tengah mendapatkan momentumnya (Worster, 1988). Sementara itu,
romantisasi bumi menguat dengan peristiwa pendaratan manusia di bulan yang mencengangkan.
Peristiwa ini membangkitkan imajinasi tentang keelokan bumi, sebagai satu-satunya planet yang
dapat mendukung kehidupan manusia. Bulan bukan tempat hunian bagi manusia. Demikian pula,
sistem tata surya dilukiskan sebagai tempat yang mati. Pendaratan manusia di bulan telah

7
mendorong banyak orang berubah menjadi pemuja bumi (Crosby, 1995:1185-1186). Kedua faktor
tersebut telah melapangkan jalan bagi institusionalisasi sejarah lingkungan.
Institusionalisasi sejarah lingkungan menampilkan peranan sejumlah tokoh ilmuwan. Dalam
barisan ini terdapat figur-figur sejarawan terkemuka, seperti Roderick Nash, Samuel Hayes, Alfred
Crosby, Donald Worster, William Cronon, dan J.R, McNeill. Publikasi yang mereka hasilkan diakui
begitu menginspirasi dan membangkitkan gairah yang semakin luas terhadap sejarah lingkungan.
Karya-karya di bidang sejarah lingkungan di Amerika dengan jelas mencerminkan kecenderungan
perluasan ini. Seperti diikhtisarkan Stewart (1998:352-353), karya-karya sejarah lingkungan sebelum
tahun 1980-an memusatkan perhatian pada interaksi antara manusia dengan lingkungan. Hal ini
direpresentasikan misalnya oleh Samuel Hayes (1959) melalui karyanya, Conservation and the
Gospel of Efficiency, yang membahas asal-usul gerakan konservasi di Amerika Serikat abad ke-19.
Publikasi lain yang berpengaruh besar adalah karya Roderick Nash (1967), The Wilderness and the
American Mind, yang membahas gagasan alam asli/liar (wilderness) dalam politik wilderness dan
gerakan preservasi alam asli di Amerika abad ke-20. Karya Hayes dan Nash ini menampilkan
varietas sejarah lingkungan yang berangkat dari tradisi sejarah politik. Sementara itu, tradisi sejarah
intelektual menghadirkan sejarah lingkungan dengan fokus pada gagasan tentang alam (nature),
misalnya seperti direpresentasikan, Traces in the Rhodian Shore: Nature and Culture in Western
Thought from Ancient Times to the End of the Eighteenth Century karya Clarence Glacken (1967).
Sejak sekitar tahun 1980-an, sejarah lingkungan menjadi wilayah kajian yang semakin
kompleks. Hal ini tampak dalam mosaik historiografi lingkungan dengan minat yang semakin
beragam. Sebagian kajian mengarahkan fokus pada lingkungan fisik pada masa silam. Fokus
demikian ditemukan, misalnya dalam karya William Cronon (1983), Changes in the Land: Indians,
Colonists and the Ecology of New England, yang menjelaskan perubahan tutupan hutan setelah
berlangsungnya kontak dengan Barat. Kajian menarik lainnya dihasilkan oleh Donald Worster (1979)
dengan karyanya yang berjudul Dust Bowl: The Southern Plain in the 1930s. Kajian ini membahas
kemarau besar yang berlangsung pada awal dekade 1930-an dengan memanfaatkan informasi
siklus musim kemarau. Sejak dekade 1980-an, muncul pula minat terhadap cara-cara manusia
mentransformasi lingkungan ke dalam sistem produksi dan konsumsi sumberdaya. Karya Donald
Worster (1985), Rivers of Empire: Water, Aridity, and the Growth of the American West, merupakan
ilustrasi menarik mengenai minat ke arah ini.

4. Manfaat Sejarah Lingkungan


Perhatian kaum sejarawan terhadap isu lingkungan tidak terlepas dari manfaat yang diberikan
cabang sejarah ini. Secara akademis sejarah lingkungan dinilai bermanfaat dalam menempatkan
“lingkungan” sebagai kategori analisis sejarah yang otonom, tidak kalah pentingnya dibanding
dengan kategori-kategori analisis lainnya (Cronon, 1993). Dengan fokusnya pada eksplorasi masa
lampau manusia sebagai bagian dari jejaring sistemik yang tersusun bersama dengan elemen
lingkungan lainnya, sejarah lingkungan menawarkan peluang-peluang mengamati proses sejarah
dalam konteks yang lebih holistik. Hal ini sekaligus menciptakan peluang kearah sintesis sejarah
yang lebih utuh dan terintegrasi (Cronon, 1993). Melalui sejarah lingkungan, sekat-sekat pemisah di
antara berbagai cabang sejarah menjadi lebih cair dan terbuka. Bahkan lebih jauh lagi, sejarah
lingkungan membuka harapan untuk memadukan kembali dunia pengetahuan manusia, antara ilmu-
ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora, yang telah lama mengalami perceraian dan
isolasi akibat kecenderungan fragmentasi dan spesialisasi (Lemerick, 2011:11).
Sejarah telah ditulis selama ribuan tahun dan terus ditulis hingga saat ini memang bukan
semata-mata didorong untuk mendapatkan manfaat akademis. Kisah-kisah mengenai berbagai

8
aspek masa lampau diyakini dapat memberi manfaat lain, yang lebih bersifat praktis. Persoalan ini
merupakan isu klasik yang telah dan terus menggelisahkan kalangan sejarawan dan filsuf sejarah.
Filsuf sejarah dari Perancis, Voltaire, sekitar satu setengah abad sebelumnya secara eksplisit
menegaskan asas kemanfaatan sebagai pedoman terpenting dalam menyeleksi dan membaca
kisah-kisah masa lalu yang begitu kompleks. Dengan menggunakan kemanfaatan sebagai kompas
dalam menjelajahi belantara masa lampau yang disuguhkan melalui kisah-kisah sejarah, Voltaire
menganjurkan untuk tidak membuang-buang waktu dengan memerhatikan kompleksitas detil yang
tidak berguna (Mazlish, 1966:60-61). Dalam rangka menjawab persoalan kemanfaatan pula, maka
melalui presentisme yang mereka kembangkan pada 1920-an di Amerika, sejarawan Charles Beard
dan Karl L. Becker merekomendasikan agar kebutuhan dan kepentingan sekarang (present needs
and interests) sebagai pangkal tolaknya (Ankersmit, 1987:330).
Dengan spirit mewujudkan sejarah yang bermanfaat pulalah, sejarah lingkungan
dikembangkan oleh para penganjurnya. Pengembangan sejarah lingkungan merupakan upaya
sejarawan dan peminat sejarah untuk membuat pengkajian dan kisah sejarah menjadi lebih relevan
dan bermanfaat. Seperti ditegaskan Mart A. Stewart (1998:362), kajian sejarah lingkungan telah
berkembang dengan berpangkal-tolak pada keyakinan akan manfaat yang dapat diberikan dengan
mengangkat persoalan urgen, yakni keprihatinan publik atas hubungan manusia dengan lingkungan
yang menjadi dasar bagi eksistensi dan kelangsungan hidup manusia. Dalam konteks ini sejarah
lingkungan merupakan sarana penting untuk merelevansikan kajian sejarah dengan kepentingan
dan kebutuhan masyarakat kontemporer. Melalui kajian-kajian sejarah lingkungan kelampauan
dengan kekinian dapat dipertautkan secara lebih nyata. Keterpautan diwujudkan melalui kontribusi
sejarah lingkungan dalam menggemakan perhatian atas kondisi-kondisi lingkungan yang
memprihatinkan pada masa kini (Ritvo, 2011:22).
Sejarah lingkungan telah memperlebar ruang dan peluang bagi para sejarawan untuk
berkontribusi dalam pencarian solusi atas persoalan dunia kontemporer. Cronon (1993:2)
menegaskan bahwa banyak karya penting dalam sejarah lingkungan menggarap subyeknya dengan
berpangkal tolak pada keprihatinan atas permasalahan aktual masa kini (present-day concerns).
Karya-karya tersebut dirancang sebagai dorongan kearah dilakukannya intervensi politik yang
diperlukan untuk mengoreksi kekeliruan-kekeliruan khususnya dalam memperlakukan lingkungan
alam dan potensi sumberdayanya. Bahkan mayoritas kajian sejarah lingkungan dimotivasi oleh
maksud memberi kontribusi bagi perumusan kebijakan lingkungan pada masa kini dan membantu
dalam mengubah dan merancang masa depan (Cronon, 1993:3), khususnya dalam kaitan dengan
interrelasi manusia dengan lingkungan. Tidak berlebihan, apabila Cronon menyatakan bahwa
sejarah lingkungan mempunyai kaitan erat dengan gerakan politik. Perdebatan tentang pentingnya
konservasi alam Amerika, misalnya, mendapat dorongan dari publikasi klasik karya Roderick Nash
(1967), The Wilderness and the American Mind.
Kepekaan yang tinggi terhadap isu lingkungan aktual, seperti yang diperlihatkan kajian
sejarah lingkungan, diyakini dapat membantu membebaskan disiplin sejarah dari kecenderungan
antikuarianis sempit. Orientasi antikuarianis adalah kecenderungan untuk berkiblat pada prinsip
masa lalu demi masa lalu, tanpa mempedulikan kontribusi apakah yang masa lalu bisa berikan bagi
kepentingan masa kini dan mendatang. Orientasi antikuarianis jelas kurang menguntungkan bagi
disiplin dan profesi sejarah. Orientasi demikian membuat disiplin sejarah dan mereka yang
menggelutinya hidup dalam menara gading, terasing dari masyarakat dan zamannya yang semakin
dinamis, berubah dengan tempo yang bertambah cepat. Akibatnya kehadiran sejarawan dan karya-
karya mereka terasa hampa tanpa makna dan tidak mampu membuat perbedaan signifikan bagi
penciptaan tatanan masyarakat yang lebih baik dan lebih adil. Ketidakmampuan memperlihatkan

9
secara meyakinkan relevansi sejarah dengan persoalan masa kini beresiko besar mempertaruhkan
disiplin dan profesi sejarah di ujung tanduk likuidasi dan stigmatisasi sebagai ilmu gadungan.
Sejarah lingkungan menciptakan pelipatgandaan peluang bagi penyelamatan profesi sejarah dan
membuka rute bagi profesi sejarah keluar dari pengasingannya (Lemerick, 2011:9)
Sejarah lingkungan juga menawarkan manfaat berupa pelajaran praktis atau kearifan
sejarah (historical wisdoms) yang dapat dijadikan acuan dalam menyikapi kehidupan berdasarkan
kajian-kajian yang telah dilakukan. Dari karya monumental Jared Diamond berjudul Collapse,
misalnya, diperoleh pelajaran berharga bahwa kegagalan dalam menjawab masalah-masalah
ekologis dapat menjadi penyebab runtuhnya masyarakat/peradaban. Proses ini terkait dengan apa
yang disebut Diamond sebagai ekosida (ecocide) atau penghancuran sumberdaya lingkungan yang
diandalkan masyarakat secara tidak sengaja yang berlangsung melalui delapan bentuk, yakni
penggundulan hutan dan perusakan habitat, problem tanah (erosi, penggaraman, dan hilangnya
kesuburan), persoalan manajemen sumber daya air, perburuan yang melampaui batas normal,
penangkapan ikan secara berlebihan, efek pengenalan spesies baru terhadap spesies asli,
pertumbuhan penduduk, dan peningkatan dampak per kapita manusia (Diamond, 2014:5).
Kegagalan atau keberhasilan masyarakat untuk menghindarkan diri dari keruntuhan dipengaruhi
oleh faktor-faktor yang diformulasikan Diamond sebagai “bingkai kerja lima poin”, yakni kerusakan
lingkungan, perubahan iklim, tetangga yang bermusuhan, mitra dagang yang bersahabat, dan
respons masyarakat terhadap terhadap problem lingkungan (Diamond, 2014:13-19).
Manfaat praktis lainnya dari sejarah lingkungan adalah membantu mengurangi polarisasi
dan perselisihan yang terjadi dalam masyarakat karena ketidakmampuan berpikir dan bernalar
secara historis sebagai akibat terjangkit penyakit “memori pendek”. Penalarannya hanya mampu
menjangkau rentetan peristiwa berjarak waktu beberapa tahun terakhir atau bahkan hanya dalam
waktu hitungan hari-hari belakangan ini. Dengan kemampuan berpikir dalam rentang waktu yang
panjang, akan diketahui bahwa sebagian akar dari persoalan lingkungan yang menghadang
lingkungan dewasa ini sebenarnya berasal dari masa silam. Pihak-pihak yang bertanggung-jawab
atas persoalan tersebut hidup seringkali hidup pada masa lampau, sehingga semangat yang terlalu
besar untuk menyalahkan kelompok-kelompok sezaman yang tidak disukai karena alasan-alasan
tertentu menjadi tidak relevan dan kurang tepat (Lemerick, 2011:10).

5. Jejak dan Prospek Sejarah Lingkungan (di) Indonesia


Bisa dikatakan bahwa baru pada tahun 1990-an kajian sejarah lingkungan (di) Indonesia baru mulai
berkecambah. Perkembangannya tidak diawali oleh sejarawan Indonesia, melainkan dirintis oleh tim
sejarawan Belanda yang diketuai oleh Profesor Peter Boomgaard melalui proyek riset yang
diluncurkan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde/KITLV (Royal Institute of
Linguistics and Anthropology, KITLV), dengan nama Proyek EDEN (Ecology, Demography, and
Economy in Nusantara) sejak tahun 1992. Proyek ini merupakan kegiatan riset yang diarahkan
untuk mengkaji sejarah lingkungan Indonesia selama kurun waktu empat abad sejak 1600 hingga
tahun 2000. Proyek EDEN telah menghasilkan sejumlah publikasi yang membuka cakrawala
pemahaman tentang interrelasi manusia dengan lingkungan di Indonesia pada masa lampau. Selain
karya bunga rampai dan monografi sejarah lingkungan, Proyek EDEN menerbitkan buletin bertajuk,
Indonesian Environmental History Newsletter. Buletin ini secara teratur memuat informasi berbagai
kegiatan akademis, publikasi artikel dan bibliografi seputar sejarah lingkungan Indonesia.
Publikasi purwaka yang lahir dari Proyek EDEN hadir dalam bentuk bunga rampai yang
disunting Peter Boomgaard dan David Henley (1997), Paper Landscapes: Explorations in the
Environmental History of Indonesia. Publikasi ini disusul dengan sejumlah monografi, yakni Forest of

10
Fortune?: The Environmental History of Southeast Borneo, 1600-1880 karya Han Knapen, kemudian
Fertility, Food and Fever: Population, Economy and Environment in North and Central Sulawesi,
1600-1930 karya David Henley. Kedua studi ini membahas bagaimana proses-proses demografis
dan sosio-ekonomis mengubah wajah lingkungan pada masa kolonial di lokasi yang berbeda.
Dari proyek EDEN terbit pula monografi Boomgaard (2001), Frontiers of Fear: Tigers and
People in the Malay World, 1600-1950, yang membahas hubungan manusia dengan harimau yang
terjalin di alam nyata maupun ekspresi kultural dalam masyarakat di Dunia Melayu. Boomgaard
menunjukkan bahwa pada masa lampau harimau sering dikaitkan dengan wabah dan ancaman bagi
kepentingan manusia. Munculnya harimau di desa-desa sekitar hutan selalu menebarkan ketakutan
di kalangan penduduk. Harimau adalah teror. Ketakutan pada harimau jelas tergambar dalam
julukan harimau pemangsa manusia (man-eating tigers), yang terbentuk melalui kejadian-kejadian
nyata. Ketakutan akan harimau, seperti ditunjukkan Boomgaard, juga terkait dengan kepercayaan
akan harimau sebagai perwujudan roh-roh leluhur, para raja dan pemuka masyarakat. Kuatnya
hubungan antara manusia dan harimau di Dunia Melayu terefleksikan pula dalam berbagai bentuk
ekspresi kultural yang menggunakan harimau sebagai elemennya. Harimau begitu dtakuti, tetapi
sekaligus dikagumi. Hal ini terbukti misalnya dengan penggunaan harimau sebagai bagian dari
identitas atau atribut kelompok.
Di kalangan sejarawan Indonesia, minat pada sejarah lingkungan juga mulai tumbuh. Hal ini
tampak dari munculnya beberapa kajian bertema sejarah lingkungan. Studi Nawiyanto (2007),
Environmental Change in a Frontier Region of Java: Besuki 1870-1970, membahas perubahan
lingkungan di ujung timur Jawa sebagai wilayah frontier. Perubahan lingkungan ini berlangsung
dengan agensi manusia melalui proses sosio-demografis dan moda-moda produksi ekonomi dalam
konteks eksploitasi agraris, yakni pertanian, perkebunan, perikanan, dan kehutanan. Melalui proses-
proses ini, dalam periode satu abad wilayah Besuki telah meninggalkan status frontiernya yang
dicirikan dengan melimpahnya sumber daya alam namun dengan penduduk yang sedikit, dan
berpenduduk jarang dan menyatu dengan pola Jawa yang telah terbentuk melalui proses berabad-
abad lamanya dari sudut demografis dan sosio-ekonomis, Besuki tidak lagi merupakan
pengecualian dari Jawa. Studi ini merupakan varietas sejarah lingkungan yang berangkat dari
sejarah ekonomi sebagai pangkal tolaknya.
Karya dengan nuansa perubahan lingkungan baru-baru ini juga dihasilkan oleh Sarkawi
(2016), Mengubah dan Merusak Lingkungan, Mengundang Air Bah. Studi ini membahas kaitan
dinamis antara perubahan lingkungan dan bencana banjir di Kota Surabaya pada abad ke-20.
Disimpulkan bahwa degradasi lingkungan dan perubahan lingkungan kota yang mengejawantahkan
faktor antropogenik atau agensi manusia bertanggung-jawab atas eskalasi banjir yang semakin
membesar dan siklus banjir yang semakin pendek. Studi yang dilakukan Sarkawi menampilkan
varietas sejarah lingkungan yang berangkat dari tradisi sejarah perkotaan. Dari tradisi yang sama,
sebelumnya telah terbit pula karya sejarah lingkungan yang dihasilkan Restu Gunawan (2010),
berjudul Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa. Melalui studi ini,
Restu Gunawan menunjukkan bahwa kegagalan dalam mengatasi banjir diJakarta disebabkan oleh
faktor penanganan yang terlambat dan parsial. Model penanganan semacam ini sangat kontras
dengan stadium problem yang bertambah kronis karena konversi peruntukan lahan perkotaan dan
tekanan demografis.
Berbagai kajian bertema sejarah lingkungan telah dihasilkan sebagai penulisan tugas akhir
dalam beberapa tahun terakhir. Penulisan sejarah lingkungan dengan fokus problem lingkungan
telah dihasilkan dalam bentuk studi kasus tentang banjir. Dapat disebut misalnya kajian Yeni Raziqa
(2012) tentang banjir di Panarukan, kajian Haris Suhud (2012) tentang banjir di Lamongan 1966-

11
1994, kajian Wilda Ismiyah (2013) mengenai banjir bandang di Panti 2006, kajian Eko Hari
Priyanto (2015) tentang banjir bandang di Semarang tahun 1990. Dengan variasi tekanan dan
cakupan, secara umum kajian-kajian tersebut berusaha mengungkap berbagai aspek banjir, yakni
aspek kausalitas banjir dengan mengidentifikasi faktor-faktor penyebabnya, aspek genetis banjir
dengan menampilkan kronologi, aspek dampak banjir dari segi ekonomi dan sosial, serta respons
terhadap banjir dari pihak pemerintah dan kelompok-kelompok masyarakat.
Selain kajian-kajian yang memusatkan perhatian pada problem banjir, mulai berkembang
pula sejarah lingkungan dengan nuansa politik. Dalam varietas ini dapat disebut misalnya tulisan
Nawiyanto (2014) mengenai “Gerakan lingkungan di Jawa masa kolonial”, yang membahas asal-
usul gerakan konservasi, motor penggerak, dan isu-isu yang menjadi fokus gerakan; Nawiyanto
(2015) dalam tulisan berjudul, “Berjuang menyelamatkan lingkungan”, yang membahas
kesinambungan dan kebaruan gerakan lingkungan di Jawa masa kemerdekaan. Diargumentasikan
bahwa kesinambungan gerakan terbentuk melalui kesamaan problem lingkungan yang dihadapi
pada kedua periode yakni lahan kritis, deforestasi, dan ancaman terhadap keragaman hayati.
Sementara, kebaruan hadir dalam bentuk keprihatinan atas problem polusi yang mulai merebak
seiring proses industrialisai, pertumbuhan populasi, dan dampak revolusi hijau. Kedua tulisan
merupakan karya sejarah lingkungan yang berangkat dari tradisi sejarah sosial. Dalam varietas ini
telah dihasilkan beberapa kajian menarik dalam ruang lingkup lokal, misalnya kajian Izzatul Kamilia
(2014), “Laskar Hijau: Kerusakan Hutan dan Munculnya Gerakan Konservasi di Lereng Gunung
Lamongan” dan kajian Sopyan Hadi (2015) tentang “Eksploitasi Gumuk di Kabupaten Jember”.
Jejak-jejak historiografi lingkungan (di) Indonesia tersebut memperlihatkan minat yang
sedang tumbuh terhadap spesialisasi sejarah lingkungan. Berbagai studi yang telah dilakukan tentu
saja belum merepresentasikan Indonesia yang begitu luas wilayahnya, heterogen lingkungannya,
dan kompleks permasalahannya. Mempertimbangkan fakta ini, historiografi lingkungan sangat
prospektif dan perlu dikembangkan menjadi penulisan sejarah alternatif di Indonesia. Sejarah
lingkungan tidak diragukan lagi relevan dengan kondisi dan kebutuhan Indonesia, negeri tropis yang
luas dan kaya dengan potensi lingkungan. Akan tetapi, di balik besarnya potensi yang dimiliki,
Indonesia bisa dibaratkan sebagai „negeri yang tidak pernah putus dirundung malang‟. Bencana-
bencana lingkungan sering menimpa dan datang silih berganti seiring dengan lintasan musim. Pada
waktu musim hujan bencana banjir dan tanah longsor masih sering terjadi. Sebaliknya, pada saat
musim kamarau, datang kekeringan, kebakaran hutan dan problem asap yang parah.
Sejarah bencana tampaknya selalu berulang dan pengulangan ini masih saja sulit dicegah
ibarat. Memang faktor alamiah merupakan bagian dari bencana itu, namun dalam berbagai kasus
keengganan untuk belajar dari pengalaman sejarah sering merupakan faktor yang menentukan dan
memperparah keadaan. Dalam konteks ini, sejarah lingkungan dapat menjadi bagian dari solusi
untuk mengatasi permasalahan lingkungan yang dihadapi. Sejarah lingkungan dapat berperan
dalam hal ini dengan menjalankan fungsi sebagai „lonceng peringatan‟ akan kritisnya problem
lingkungan yang menghadang maupun sebagai „reservoir pelajaran-pelajaran praktis‟ untuk
memandu dalam menyikapi persoalan lingkungan yang dihadapi.

DAFTAR PUSTAKA
Ankersmit, F.R. Refleksi tentang Sejarah: Pendapat-pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah.
Jakarta: PT Gramedia, 1987.
Ashton, John dan Ron Laura. The Perils of Progress. Sydney: University of New South Wales, 1998.

12
Boomgaard, Peter dan David Henley et al., (ed). Paper landscapes: Explorations in the
Environmental Histories of Indonesia. Leiden: KITLV Press, 1997.
Diamond, Jared. Collapse: Runtuhnya Peradaban-peradaban Dunia. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2014.
EMDI Project, The Ecology of Indonesia Series. 7 volume. Singapore: Periplus, 1996.
Grove, Richard H. Green Imperialism: Colonial Expansion, Tropical Island Edens and the Origins of
Environmentalism, 1600-1860. Melbourne: Cambridge University Press, 1995.
Gunawan, Restu. Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2010.
Hadi, Sopyan. “Eksploitasi Gumuk di Kabupaten Jember Tahun 1990-2013”. Skripsi. Fakultas Sastra
Universitas Jember, 2015.
Henley, David. Fertility, Food and Fever: Population, Economy and Environment in North and
Central Sulawesi, 1600-1930. Leiden: KITLV Press, 2005.
Hughes, J. Donald. An Environmental History of the World: Humandkind’s Changing Role in the
Community of Life. London: Routledge, 2009.
Ismiyah, Wilda. “Bencana Banjir Bandang di Kecamatan Panti Kabupaten Jember pada Tahun 2006.
Skripsi. Fakultas Sastra Universitas Jember, 2013.
Kamilia, Izzatul. “Laskar Hijau: Kerusakan Hutan dan Munculnya Gerakan Konservasi di Lereng
Gunung Lamongan Klakah 1999-2013”. Skripsi. Fakultas Sastra Universitas Jember, 2014.
Keraf, A. Sonny. Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global. Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Knapen, Hans. Forest of Fortune?: The Environmental History of Southeast Borneo, 1600-1880.
Leiden: KITLV Press, 2001.
Kuntowijoyo. “Social Change in an Agrarian Society: Madura 1850-1940”. Ph.D. Thesis. Columbia
University, 1980. Terbit edisi Indonesia sebagai, Perubahan Sosial dalam Masyarakat
Agraris: Madura 1850-1940. Yogykarta: Mata Bangsa, 2002.
Lapian, A.B. “Bencana Alam dan Penulisan Sejarah”, dalam T. Ibrahim Alfian dan H.J.
Kooesoemanto, et al. Dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 1992. 211-231.
Lemerick, Patricia. “The Repair of the Earth and the Redemption of the Historical Profession”, dalam
Kimberly Coulter dan Cristof Mauch (ed), The Future of Environmental History: Needs and
Opportunities, RCC and Federal Ministry of Education and Research, 3 (2011):9-12.
Lindblad, J. Th. “Key Themes in the Modern Economic History of Indonesia”. Dalam J. Thomas
Lindblad (ed.). New Challenges in the Modern Economic History of Indonesia. Leiden:
Programme of Indonesian Studies, 1993, 1-36.
Mazlish, Bruce. The Riddle of History: The Great Speculators from Vico to Freud. New York: Harper
& Row, 1966.
McNeill, J.R. “Observations on the Nature and Culture of Environmental History”, History and
Theory, 42(2003): 5-43.
McNeill, J.R. “The Historiography of Environmental History”, Encyclopedia of Life Support System.
Washington: Georgetown University.
Nash, Chaterine. “Environmental History, Philosophy, and Difference”, (http://www.idealibrary.com).
Nash, Roderick, “The State of Environmental History”, Herbert J. Bass (ed.), The State of American
History. Chicago: Quadrangle Book, 1970.
Nawiyanto, “Berjuang Menyelamatkan Lingkungan: Gerakan Lingkungan di Jawa Masa
Kemerdekaan, 1950-2000”. Jurnal Paramita (Terakreditasi DIKTI) Vol. 25 No. 1 (Januari
2015):51-72.

13
Nawiyanto. Gerakan Lingkungan di Jawa Masa Kolonial. Jurnal Paramita (Terakreditasi DIKTI) Vol.
24 No. 1 (Januari 2014):31-46.
Nawiyanto. “Revolution in the Tradition of Historiography: the Role of Annales School of History”.
Jurnal Ilmu-ilmu Humaniora, 1, 2(2000):18-33.
Nawiyanto. “Trends in the Economic Historiography of Indonesia since 1990”. Dalam J. Thomas
Lindblad dan Bambang Purwanto (ed.). Merajut Sejarah Ekonomi Indonesia: Essays in
Honour of Thee Kian Wie 75 Years Birthday. Yogyakarta: Ombak, 2013.
Padua, Jose Augusto. “The Theoretical Foundations of Environmental History‟, Estudos Avancados,
24, 68 (2010): 81-101.
Priyanto, Eko Hari. “Banjir Bandang di Kodya Semarang tahun 1990”. Skripsi. Fakultas Sastra
Universitas Jember, 2015.
Rangan, Haripriya, Judith Carnay dan Tim Denham. “Environmental History of Botanical Exchange
in the Indian Ocean World”, Environment and History, 18 (2012): 311-342.
Raziqa, Yeni.”Banjir Bandang di Situbondo”. Skripsi. Fakultas Sastra Universitas Jember, 2012.
Ritvo, Harriet. “Broader Horizon”, dalam Kimberly Coulter dan Cristof Mauch (ed), The Future of
Environmental History: Needs and Opportunities, RCC and Federal Ministry of Education
and Research, 3 (2011):22-23.
Sarkawi, “Mengubah dan Merusak Lingkungan, Mengundang Air Bah: Banjir di Kota Surabaya pada
Paruh Kedua Abad ke-20”, Disertasi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada,
2016.
Stewart, Mart A. “Environmental History: Profile of a Developing Field”, The History Teacher, 31,
3(1998):351-368.
Suhartono. Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta, 1830-1920. Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1991.
Suhud, Haris. “Banjir di Lamongan Tahun 1966-1994: Studi Historis tentang Sebab-sebab, Dampak,
dan Pengendaliaannya”. Skripsi. Fakultas Sastra Universitas Jember, 2012.
Suryo. Djoko. “Social and economic life in rural Semarang under colonial rule in the later 19th
century”. Ph.D. Thesis. Monash University, 1982. Terbit edisi Indonesia sebagai, Sejarah
Sosial Pedesaan Karesidenan Semarang 1830-1900. Yogyakarta: PAU Studi Sosial, 1989.
Turner, Frederick Jackson. The Frontier in American History. New York: Henry Holt, 1920.
Van der Eng, Pierre. “Challenging Changes: Current Themes in the Economic History of Indonesia”,
NEHA Bulletin, 10,2(1996):89-113.
Van der Eng, Pierre. Agricultural Growth in Indonesia: Productivity Change and Policy Impact since
1880. Basingstoke: Macmillan, 1996.
Williams, Michael. “The Relations of Environmental History and Historical Geography”, Journal of
Historical Geography, 20, 1(1994): 3-21.
Wood, Gillen D‟Arcy. Tambora 1815: Letusan Raksasa dari Indonesia. Jakarta Selatan: Change
Publication, 2015.
Worster, D (ed.). “Appendix: Doing Environmental History”, dalam D. Worster (ed). The End of the
Earth: Perspectives on Modern Environment History. Cambridge: Cambridge University
Press, 1988.
Worster, Donald (ed.). “Appendix: Doing Environmental History”, Donald Worster (ed.), The End of
the Earth: Perspectives on Modern Environment History. Cambridge: Cambridge University
Press, 1998.

14

Anda mungkin juga menyukai