Anda di halaman 1dari 40

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

NEONASIONALISME DAN POLITIK


MULTIKULTURALISME

Disusun Oleh :
Kevin Anderson 00000021755
Luh Gede Girani Saputri 00000021366
Lydia Alessia W. T 00000019866
Maureen Aretha 00000019656
Mushahigo 00000025595
Mochammad Karuniawan 00000024246
Natalia Supit 00000024823
Novita Anggraini 00000024922
Siti Nur Hartinah A. A. R 00000022365
Tri Ulfatul Qurro 00000023546

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
NOVEMBER 2018
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 1

BAB I 2
1.1 Latar Belakang 2
1.2 Pokok Masalah 4

BAB II 5
2.1 Neonasionalisme 5
2.1.1 Pengertian Neonasionalisme 5
2.1.2 Jenis Neonasionalisme 6
2.1.3 Karakteristik Neonasionalisme 8
2.1.4 Perkembangan Neonasionalisme 11
2.1.5 Neonasionalisme di Indonesia 12
2.1.6 Nasionalisme Pancasila 13
2.1.7 Neonasionalisme di Negara lain 16
2.2. Multikulturalisme 18
2.2.1 Definisi Multikulturalisme 18
2.2.2 Tiga Kaidah Epidemi 19
2.2.3 Hukum 20
2.2.4 Faktor Kelekatan 21
2.2.5 Kekuatan Konteks 22
2.2.6 Studi Kasus 22
2.2.7 Perkembangan Multikulturalisme 23
2.2.7.1 Multikulturalisme dan HAM 23
2.2.7.2 Multikulturalisme dan Globalisme 24
2.2.7.3 Multikulturalisme dan Demokrasi 24
2.2.8 Multikulturalisme di Indonesia 24
2.2.9 Penyebab Multikulturalisme di Indonesia 25
2.2.10 Pandangan tentang Masyarakat Multikultural 26
2.2.11 Macam-Macam Multikulturalisme 27
2.2.12 Konsep Multikulturalisme 28
2.2.13 Refleksi Teologis di Tengah Keberagaman Agama 30

BAB III 37

1
DAFTAR PUSTAKA 38

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Multikulturalisme merupakan suatu perkembangan yang relatif


paling anyar dalam khasanah ilmu pengetahuan terutama ilmu-ilmu
sosial.1 Dalam khasanah ilmu politik dikenal dengan aliran pemikiran
liberalisme yang dicetuskan oleh John Locke dan Stuart Mill.2
Multikulturalisme terus berkembang sesuai dengan perubahan sosial yang
dihadapi oleh umat manusia khususnya dalam dunia terbuka dan era
demokratisasi kehidupan. Perubahan sosial yang terjadi dengan sangat
cepat di dunia dewasa ini dalam pemikiran politik dan ekonomi
menyebabkan orang berpikir lebih lanjut mengenai liberalisme.3
Indonesia adalah suatu negara yang terdiri dari berbagai kelompok
etnis, budaya, suku dan agama sehingga Indonesia secara sederhana dapat
disebut sebagai masyarakat multikultural. Akan tetapi, di lain pihak,
realitas multikultural tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak
untuk merekonstruksi kembali kebudayaan nasional Indonesia yang dapat
menjadi integrating force yang mengikat seluruh keragaman etnis dan
budaya tersebut.4
Sebagai ideologi modern di bidang sosial politik dan kenegaraan,
nasionalisme muncul sekitar tahun 1779 dan dominan di Eropa pada tahun
1830. Revolusi Perancis pada akhir abad ke-18 sangat besar pengaruhnya
berkembangnya gagasan nasionalisme tersebut. Semenjak itu beberapa
kerajaan feudal mengalami proses integrasi menjadi ‘negara kebangsaan’
atau nation state yang wilayahnya menjadi lebih luas dan hidup dalam
1 Rob Reich, Bridging Liberalism and Multiculturalism in American Education (2002), halaman 11
2 Bakri Abbas, Empat Pemikiran Politik Barat (2003), halaman 36-37
3 John Markoff, Gelombang Demokrasi Dunia (terjemahan,2002)
4 H.A.R Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia
(2002)

2
sistem pemerintahan yang sama. Sejak itu di negara-negara Eropa dan
Amerika bermunculan pula gerakan-gerakan kebangsaan, dan segera
menjalar ke Asia. Hal ini disebabkan ampuhnya nasionalisme sebagai
ideology yang dapat mempersatukan banyak orang di negeri-negeri
jajahan dalam menentang kolonialisme.5
Sebagai warga dunia yang mempunyai hak yang sama atas bumi
ini secara komunal, prinsip kesanggrahan dari Neo-Nasionalisme, yaitu
satu posisi yang duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi bersifat lebih
manusiawi, dibandingkan sekedar menerima belas kasihan yang digariskan
dalam prinsip toleransi. Masyarakat Indonesia sangat unik dengan
keberagamannya, karakter warga masyarakatnya juga berbeda dan unik
sesuai dengan perkembangan wilayahnya dan budayanya masing-masing.
Konflik-konflik yang di Indonesia umumnya muncul sebagai akibat
keanekaragaman etnis, agama, ras, dan adat. Di dalam lingkungan
masyarakat, akan ditemukan bermacam-macam kelompok-kelompok
masyarakat yang memiliki karakteristiknya masing-masing. Perbedaan
dari karakteristiknya tersebut ini sangat berkaitan dengan stratifikasi dan
diferensiasi sosial.6

5 Rob Reich, op cit, halaman 59


6 George Ritzer, Teori Sosial Postmodern (terjemahan, 2003), halaman 323

3
1.2 Pokok Masalah
Masyarakat Indonesia memiliki berbagai macam budaya. Karakter
masyarakatnya juga berbeda dan unik sesuai dengan perkembangan
wilayah. Meskipun begitu, konflik-konflik yang muncul di Indonesia
umumnya sebagai akibat keanekaragaman etnis, agama, ras, dan adat. Di
dalam lingkungan masyarakat, akan ditemukan bermacam-macam
kelompok masyarakat yang memiliki ciri khas. Perbedaan dari
karakteristiknya tersebut ini sangat berkaitan dengan stratifikasi dan
diferensiasi sosial. Oleh karena itu, penulis ingin membahas bagaimana
neo-nasionalisme dan politik multikulturalisme di Indonesia.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Neonasionalisme
2.1.1 Pengertian Neonasionalisme
Menurut Hans Kohn, nasionalisme adalah suatu kepercayaan yang
dimiliki oleh sebagian besar individu di mana mereka menyatakan rasa
kebangsaan sebagai perasaan memiliki secara bersama di dalam suatu
bangsa.7 Jika Neo berarti baru dan nasionalisme berarti rasa kebanggan
terhadap bangsanya maka neo-nasionalisme berarti suatu gerakan modern
yang menunjukkan rasa kebanggaan dan kebangsaan terhadap negaranya.8
Neo-nasionalisme atau nasionalisme baru ini merupakan tipe
nasionalisme yang meningkat pada sekitar pertengahan tahun 2010 di
Eropa dan Amerika Utara dan kemudian di beberapa wilayah lain. Neo-
nasionalisme mengacu pada gelombang nasionalisme baru yang muncul
sebagai reaksi terhadap prakarsa supranasional atau globalis seperti
misalnya Uni Eropa dan Kemitraan Trans-Pasifik dan sebagai salah satu
upaya untuk mengembalikan bangsa mereka ke kemakmuran sebelumnya.
Oleh karena itu hal ini terkait dengan beberapa posisi, seperti populisme
sayap kanan, anti-globalisasi, nativisme, proteksionisme, oposisi terhadap
imigrasi, oposisi terhadap Islam dan Muslim dan Euroscepticism mana
yang berlaku dan faktanya perlawanan nasionalis terhadap liberalisme
global ini ternyata menjadi kekuatan yang paling berpengaruh dalam
politik Barat mulai pada tahun 2016.9
Dr. Hertz dalam bukunya “Nationality in History and Politcis” sendiri
mengemukakan 4 unsur nasionalisme yaitu :
1. Hasrat untuk mencapai kesatuan.

7 Hans Kohn. Western and Eastern Nationalism dalam John Hutchinson New York: Oxford University Press.
1996. Hlm 162-164
8 Liah Greenfeld. Etymology, Definition, Types. dalam Alexander J. Motyl Encyclopedia of Nationalism.
San Diego: Academic Press. 2000. Hlm 251-265.
9 Benedict Anderson. Western Nationalism and Eastern Nationalism. New York: New Left Review. May-
June 2001. Hlm 31-42.

5
2. Hasrat untuk mencapai kemerdekaan.
3. Hasrat untuk mencapai keaslian.
4. Hasrat untuk mencapai kehormatan bangsa.
Dari definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa negara dan bangsa
adalah sekelompok manusia yang :
1. Memiliki cita-cita bersama yang mengikat warga negara menjadi satu
kesatuan.
2. Memiliki sejarah hidup bersama sehingga tercipta rasa senasib
sepenanggungan.
3. Memiliki adat, budaya, dan kebiasaan yang sama sebagai akibat
pengalaman hidup bersama.
4. Menempati suatu wilayah tertentu yang merupakan kesatuan wilayah.
5. Teroganisir dalam suatu pemerintahan yang berdaulat sehingga mereka
terikat dalam suatu masyarakat hukum.

2.1.2 Jenis Neonasionalisme


1. Ethnic / Ethno Neonasionalisme
Nasionalisme etnis adalah jenis semangat kebangsaan dimana negara
memperoleh kebenaran politik dari budaya asal atau etnis sebuah
masyarakat. Nasionalisme etnis mendefinisikan bangsa dalam etnisitas
dimana unsur keturunan dari generasi sebelumnya, kesamaan budaya
bersama, anggota kelompok berasal nenek moyang mereka, dan kesamaan
bahasa sebagai10
2. Civic Nationalism / Nasionalisme Kewarganegaraan11
Nasionalisme kenegaraan adalah nasionalisme yang memperoleh
legitimasi politik berasal dari partisipasi aktif rakyatnya. Nasionalisme
kewarganegaraan berbasis pada tradisi rasionalisme dan liberalisme.
3. Romantic Nationalism / Nasionalisme Identitas

10 Benedict Anderson. Imagined Communities Reflections on the Origin and Spread of Nationalism,
London: London Publicist. 1983 Hlm 1-46.
11 Rogers Brubaker, “Civic” and “Ethnic” Nationalism dalam Ethnicity without Groups, Cambridge:
Harvard University Press. 2004. Hlm 132-146.

6
Nasionalisme romantik disebut juga sebagai nasionalisme
organik/nasionalisme identitas dimana negara memperoleh legitimasi
politik secara alamia (“organik”) dari konsekuensi dan ekspresi bangsa/ras.
4. Cultural Nationalism / Nasionalisme Budaya
Nasionalisme budaya mendefinisikan bangsa dan budaya saling mengisi
(sharing), dimana keanggotaan dalam suatu bangsa tidak diperoleh secara
otomatis berdasarkan keturunan/ anak-anak dari anggota bangsa dianggap
orang asing apabila dibesarkan dalan budaya lain. Atau kata lainnya
nasionalisme budaya berprinsip dimana negara memperoleh kebenaran
politik dari budaya bersama dan bukannya “sifat keturunan” seperti warna
kulit, ras, dan sebagainya.
5. State Nationalism / Nasionalisme Negara
Nasionalisme negara adalah variasi dari nasionalisme kewarganegaraan
dan sering diidentikan dengan nasionalisme etnis. Nasionalisme negara
berprinsip bahwa bangsa adalah sebuah komunitas yang memberikan
kontribusi kepada pemeliharaan kemampuan dan kekuatan negara
sehingga individu/ warga negara adalah wajib untuk memberikan
konstribusi pada tujuan itu.
6. Religious Nationalism / Nasionalisme Keagamaan
Nasionalisme keagamaan beranggapan bahwa negara memperoleh
legitimasi politik dari warganya yang menjalani kepatuhan terhadap
ajaran-ajaran agama, lebih dari teokrasi negara-bangsa.
7. Pan Nationalism / Pan Nasionalisme
Pan nasionalisme biasanya mengarah pada nasionalisme budaya dan etnis,
tetapi ‘bangsa’ yang dimaksud adalah kumpulan kelompok etnis dan
budaya terkait.
8. Diaspora Nationalism / Nasionalisme Diaspora
Nasionalisme diaspora mengacu pada perasaan nasionalis ketika diaspora
(tersebar). Perbedaan esensial anatara nasionalisme diaspora dan pas
nasionalisme adalah anggota diaspora yang menurut definisi tidak lagi
tinggal di tanah air mereka, baik secara nasion maupun secara etnis.

7
9. Teritorial Nationalism
Dimana perasaan nasionalisme didasarkan pada pernyataan bahwa semua
penduduk bangsa tertentu berutang kesetiaan pada tempat negara dimana
mereka dilahirkan .
10. Ultra Nationalism
Paham ultra nasionalis sering disebut fasist. Fasist adalah paham yang
mementingkan keunggulan ras dan menolak paham hubungan
internasional, karena menurut paham fasist ras lain berada dibawah ras
mereka. Tapi paham ultra nasionalist tidak menolak hubungan
internasional, negara lain diakui dalam paham ultranasionalis, tetapi
negara sendiri adalah yang terutama. Penyebaran paham ini pada intinya
lebih fokus untuk memberikan semangat kepada penduduk suatu negara.
11. Neo-Nationalism
Neo nasionalisme adalah suatu bentuk nasionalisme yang unik, yang
bereaksi pada proses globalisasi.12

2.1.3 Karakteristik Neonasionalisme

Tataran operasional Neo-Nasionalisme harus bersifat praksis,


antisipatif dan evaluatif terhadap fenomena paradoks
universalisme.Praksis yang bersifat antisipatif bagi Indonesia, dalam
menyambut datangnya gelombang Neo-Nasionalisme abad ini, antara
lain13 :
1. Memacu peningkatan kualitas pendidikan untuk membangun
2. Masyarakat profesional yang pada gilirannya mempertebal lapisan
masyarakat Indonesia golongan menengah dan atas. Kompetisi positif
pada lapisan-lapisan tersebut akan memperkecil gap antara kaya dan
miskin.

12Anthony Smith. The Varieties of Nationalism dalam Theories of Nationalism, New York: Holmes &
Meier Manchester. 1983. Hlm 211-229.
13 Sijori. Pearl River Delta, Yangtze River Delta, Newsweek, Special Issues, October-Desember 2003,
halaman 35

8
3. Mengembalikan roh atau jiwa Pancasila ke dalam batang tubuh UUD
1945 hasil empat kali amandemen.
4. Memperkuat barisan Islam tradisional (pribumi) dalam
keberhadapannya dengan Islam Universal yang bertipologi radikal.
5. Memacu penerapan alih teknologi tepat guna, dalam meningkatkan
segenap aspek ketahanan nasional.
6. Memacu pembangunan infrastruktur politik, sosial dan pertahanan atas
dasar kearifan nasional.
7. Memacu pembangunan infrastruktur ekonomi, budaya dan keamanan
atas dasar kearifan lokal.
8. Memacu pembangunan network (jejaring) ke berbagai sumber daya,
utamanya ekonomi perdagangan nasional, regional dan internasional.
9. Membuka akses yang seluas-luasnya terhadap Kapital (sumber daya
keuangan), baik di dalam maupun di luar negeri.
10. Memberlakukan sistem dwi-kewarganegaraan dengan negara- negara
tertentu, yang bersifat simbiosis mutualistis dalam memecahkan
berbagai common issues (isu bersama); misalnya, dalam mengatasi
ledakan penduduk yang tak terelakkan, perlu kewargaan-ganda dengan
negara yang jarang penduduknya. Demikian pula halnya untuk
mencapai tujuan mendapatkan akses ke berbagai sumber kapital, yang
terdapat di negara- negara maju dan kaya yang secara potensial tidak
bertentangan dengan semangat nasionalisme Indonesia.
11. Memberlakukan penyatuan mata uang regional negara-negara
ASEAN.
12. Memberlakukan wajib militer terhadap rakyat Indonesia berkondisi
produktif, berdasarkan konsep conscript (konskripsi) atau draft, dalam
rangka konsolidasi persatuan nasional bangsa Indonesia yang anti
sentimen SARA.
13. Melakukan moratorium terhadap pengelolaan berbagai jenis sumber
daya alam yang tak terbarukan.

9
14. Menyelenggarakan secara terus-menerus konsensus nasional
menghadapi berbagai macam isu global. Dalam menghadapi isu
separatisme, misalnya, harus diselenggarakan referendum nasional
untuk menentukan pendapat rakyat, bukan referendum lokal seperti
yang pernah dilakukan di Timor Timur pada 1999.
15. Meningkatkan akses secara berkelanjutan keberbagai badan kerjasama
internasional dan lembaga hukum internasional. Kekalahan negara
dalam sengketa internasional abad ini, cenderung merupakan akibat
lemahnya kekuatan lobby universal, baik di The International Court of
Justice maupun di The International Criminal of Court.
16. Melindungi segenap rakyat Indonesia dari aksi terorisme, dengan
memberlakukan Undang-undang intelijen yang berada di luar The
criminal justice system (sistem peradilan kriminal), sehingga mampu
memberikan ruang bagi early warning system (sistem pencegahan
dini).
Karena itu jelas bahwa kita harus membedakan antara nasionalisme
lama (atau klasik) dan fenomena baru neo-nasionalisme. Perbedaan utama
di antara keduanya antara lain sebagai berikut:
a) Nasionalisme berkembang di era negara-bangsa sebagai gerakan
untuk menyatukan komunitas dengan sejarah umum, budaya dan biasanya
bahasa di bawah atap negara-bangsa yang muncul pada saat itu tetapi juga
pada abad ke-20 ketika pembebasan nasional gerakan melawan kerajaan
kolonialis berjuang untuk negara bangsa mereka sendiri. Di sisi lain, neo-
nasionalisme berkembang di era globalisasi dengan tujuan melindungi
kedaulatan nasional negara-negara yang berada di bawah kepunahan
karena integrasi negara mereka.
b) Penekanan Nasionalisme adalah pada negara-bangsa (atau
aspirasi untuk satu), sedangkan penekanan neo-nasionalisme tidak begitu
banyak pada bangsa tetapi pada kedaulatan di ekonomi tetapi juga pada
tingkat politik dan budaya, yang telah bertahap dalam proses globalisasi;
c) Tidak seperti nasionalisme lama, neo-nasionalisme juga

10
menimbulkan tuntutan bahwa di masa lalu adalah bagian penting dari
agenda Kiri, seperti tuntutan untuk kesetaraan yang lebih besar (dalam
negara-bangsa dan antara negara-bangsa), permintaan untuk
meminimalkan kekuatan para elit, bahkan tuntutan anti-perang.
Tentu saja, mengingat asal-usul banyak partai neo-nasionalis dan
pendukung mereka, elemen-elemen ideologi nasionalis lama dapat
menembus mereka, seperti tren Islamofobia dan anti-imigrasi, yang
memberikan alasan kepada para elit untuk mengabaikan semua gerakan ini
sebagai 'jauh kanan'. Namun, tuntutan semacam itu sama sekali bukan
alasan utama mengapa gerakan semacam itu meluas. Khususnya demikian,
karena dapat dengan mudah ditunjukkan bahwa masalah pengungsi juga
merupakan bagian dan paket dari globalisasi dan '4 kebebasan' (modal,
tenaga kerja, barang dan jasa) ideologinya berkhotbah

2.1.4 Perkembangan Neonasionalisme


Mulai bertahapnya kepasifan pada negara-bagian dan negara
berdaulat menyebabkan berkembangnya neo-nasionalisme yang tidak
dapat dicegah, sebagai gerakan untuk menentukan nasib sendiri. Dengan
kata lain, kebutuhan masyarakat untuk penentuan nasib sendiri, di NWO,
tidak memiliki outlet lain selain negara-bangsa, seperti, hingga beberapa
tahun yang lalu, dunia didominasi oleh negara-bangsa, di mana
masyarakat dengan budaya, bahasa, adat istiadat, dapat mengekspresikan
dirinya sendiri.14
Negara-bangsa menjadi alat penentuan nasib sendiri, sebagaimana
dulu pada abad ke-20 ketika orang-orang di bawah pemerintahan kolonial
yang berjuang untuk pembebasan nasional mereka. 15 Kebudayaan nasional
tentu saja jelas bertentangan dengan budaya globalis seperti yang sekarang
seperti dipaksakan "dari atas" oleh para elit Transnasional dan nasional.
Budaya globalis ini didasarkan pada ideologi globalisasi

14 J.B.L. Mayall dan J. Jackson-Preece. Nationalism and International Relations. London: UCL. 2011. Hlm
27-36.
15 Tim Edensor. National Identity, Popular Culture and Everyday Life. Oxford:Berg. 2002.Hlm 139-170 .

11
multikulturalisme, perlindungan hak asasi manusia, dan lain-lain, yang
sebenarnya merupakan perluasan ideologi liberal klasik. Bahkan, Elite
Transnasional meluncurkan beberapa perang kriminal dalam tiga puluh
tahun terakhir atau lebih untuk "melindungi" hak asasi manusia
(Yugoslavia, Irak, Afghanistan, Libya dan secara tidak langsung Suriah)
yang menyebabkan jutaan kematian dan dislokasi populasi. Oleh karena
itu tidak disengaja bahwa ideologi globalis mencirikan berkembangnya
apa yang saya sebut neo-nasionalisme, sebagai kebangkitan 'liberalisme'.

2.1.5 Neonasionalisme di Indonesia


Nasionalisme di Indonesia adalah nasionalisme yang berhubungan
dengan keadilan sosial dan anti kolonialisme. Nasionalisme ini disebut
socio-nasionalisme oleh Bung Karno. Nasionalisme ini menghendaki
penghargaan, penghormatan, toleransi kepada bangsa atau suku-bangsa
lain. Pengalaman penderitaan yang dirasakan oleh bangsa Indonesia
bersama sebagai kaum terjajah melahirkan semangat solidaritas sebagai
satu komunitas yang bangkit dan hidup menjadi bangsa yang merdeka.
Semangat yang dihidupkan oleh para pejuang kemerdekaan hidup tidak
hanya dalam batas waktu tertentu, tetapi terus-menerus hingga kini dan
masa yang akan datang.
Sedangkan contoh neo-nasionalisme yang fenomenal di Indonesia
adalah antara lain seperti Gerakan Indonesia Mengajar yang digagas Anies
Baswedan, Gerakan Indonesia Berkebun oleh Ridwan Kamil, Gerakan
Historia oleh Asep Khambali dan gerakan-gerakan lain yang terus
berkembang. Bahkan sosok social entrepreneur yang tidak bermutasi
menjadi monster kapitalis juga begitu marak bermunculan. Sebut saja
Septuari Sugiarto dengan Sedekah Rombongannya, Tri Mumpuni dengan
pembangkit listriknya, Sandiaga Uno dengan Indonesia Setara Foundation-
nya mempunyai tujuan mulia untuk memberdayakan sesama warga
bangsa. Bahkan NGO-NGO tidak ketinggalan. Misalnya Dompet Dhuafa
yang sudah go internasional dan lembaga-lembaga sejenisnya yang

12
bermunculan, Rumah Zakat, PKPU, dan Al Azhar Peduli Ummat adalah
beberapa contohnya.16
Tidak berhenti disitu saja. Anak-anak muda berbakat Indonesia
juga sudah menunjukkan kiprah internasionalnya untuk menunjukkan
“Kami Bangsa Indonesia”. Iman Usman, Mapres Nasional yang berasal
dari Universitas Indonesia ini sudah mempunyai gerakan parlemen muda
dan penggagas Indonesia Future Leaders Summit. Ivan Ahda dengan
Forum Indonesia Muda yang rutin tiap tahun diadakan. Muhammad
Assad, yang menggemparkan dengan bukunya Notes From Qatar,
menaklukkan Malaysia dan Qatar dengan prestasi akademis gemilangnya
serta usahanya yang sudah berkiprah di Doha, Toronto dan Jakarta.17
Neonasionalisme ini berfokus pada kekuatan individu yang bisa
menggerakkan bangsanya dengan bantuan media sosial yang bertebaran
dimana-mana. Mereka memenuhi passion-nya, mematuhi satu takdir
hidupnya untuk menjadi ‘sesuatu’ bagi bangsanya. Bayangkan dengan
jumlah penduduk Indonesia yang 230 juta lebih ini jika sepuluh persennya
saja bisa menjadi ‘sesuatu’ tersebut, maka Indonesia mercusuar dunia akan
benar-benar terwujud nyata.

2.1.6 Nasionalisme Pancasila


Pancasila adalah dasar negara, karena itu negara ini harus berusaha
dengan berbagai upaya untuk menegakkan masyarakat yang berketuhanan,
adil dan bermoral, mempunyai jiwa ukhuwah (persaudaraan) atau
kebersamaan, demokrasi, dan menciptakan kemakmuran masyarakat
sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa ini. Apakah semua itu
terlaksana, atau adakah usaha yang dilakukan untuk menegakan nilai-nilai
Pancasila dengan sebenar-benarnya. Atau sebaliknya banyak kalangan
baik pejabat atau masyarakat secara umum menjadi orang yang “munafik”
dan berperilaku tidak sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa ini, yaitu
menjadi manusia yang mengingkari Pancasila.
16 Widhyatmoko D. Nasionalisme di Era Internet. Humaniora. 2015;6(2):147.
17 Akhmad Basori. Neonasionalisme. Jakarta: Kompasiana. Disitasi pada 15 November 2018

13
Nasionalisme yang digunakan sebagai alat pemersatu oleh para
pendiri bangsa ini adalah nasionalisme yang meneladani sifat-sifat dari
Tuhan, cinta akan keadilan, dan menghargai Hak Asasi Manusia. Disinilah
nilai-nilai Pancasila yang dimiliki bangsa ini diwujudkan.

Pertama, sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” menunjukkan bahwa


apa yang berlaku di negara ini harus sesuai dengan sifat-sifat Tuhan yang
tak terbatas, seperti Maha Besar, Maha Agung, Maha Pengasih, Maha
Penyayang, Maha Mengetahui, Maha Mendengarkan, dan sebagainya. 18

Azhar Basyir mengatakan sila ini adalah dasar kerohanian dan dasar moral
bagi masyarakat Indonesia dalam melaksanakan hidup bernegara dan
bermasyarakat. Contohnya, dalam kehidupan bernegara berarti dalam
penyelenggaraannya wajib menghargai, memperhatikan, dan menghormati
Tuhan Yang Maha Esa, dan tidak boleh menyimpang.19 Sila ini menjadi
dasar bagi rakyat Indonesia untuk memimpin ke jalan kebenaran, keadilan,
kebaikan, kejujuran, dan persaudaraan sebagaimana sifat-sifat yang
dimiliki Tuhan.

Kedua, yaitu sila “Kemanusia Yang Adil dan Beradab” dapat


diartikan bagaimana masyarakat bangsa Indonesia menjadi manusia yang
berpegang pada nilai adil dan berakhlak mulia. Ciri manusia yang adil dan
beradab dapat ditunjukkan dalam perbuatan. Misalnya tidak hanya
mementingkan kehidupan jasmani dan lahiriyah saja, tetapi juga
kehidupan rohani. Demikian pula, yang diutamakan bukan hanya yang
menyangkut kepentingan diri pribadi, tetapi juga kepentingan masyarakat. 20

18 Sunoto, (2003), Mengenal Filsafat Pancasila: Pendekatan melalui Metafisika, Logika, dan
Etika, Yogyakarta: Hanindita, hlm. 63.
19 Ahmad Azhar Basyir, (1993), Refleksi Atas Persoalan Keislaman; Seputar Filsafat, Hukum,
Politik, dan Ekonomi, Bandung: Mizan, hlm. 246.
20 Sunoto, op. cit., hlm. 81.

14
Sila ini menunjukkan bahwa para pendiri bangsa ini menginginkan di
Indonesia yang tegak dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yaitu
persamaan, keadilan, mencintai sesama, kesetiakawanan, serta
kemanusiaan.
Ketiga, dari sila “Persatuan Indonesia” menyatakan para pendiri
bangsa ini sadar bahwa tanpa persatuan dan kesatuan langkah tidak akan
terwujud tujuan yang sama, yang pada waktu itu dijadikan alat untuk
melepaskan diri dari kolonialisme. Hal itu tidak akan terwujud tanpa
adanya tujuan yang sama. Mereka juga menyadari bahwa masyarakat
Indonesia adalah masyarakat yang majemuk dan plural, yaitu masyarakat
yang terdiri dari berbagai pulau, suku, bahasa, agama, dan kepercayaan.
Mereka sadar bahwa perbedaan ini tidak dapat ditolak keberadaanya.
Tujuannya adalah agar terwujud bangsa yang mandiri dan mempunyai
harga diri. Karena itu dibutuhkan persatuan tanpa memandang suku atau
keyakinan apa yang dianutnya.
Keempat, sila yang berisi “Kerakyatan Yang Dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan” ini
menunjukan keharusan adanya kerakyatan atau demokrasi yang
memperhatikan dan menghormati nilai ketuhanan dan agama. Kerakyatan
atau demokrasi semacam ini berarti dalam menyelenggarakan kehidupan
bernegara harus dilakukan dengan cara bermusyawarah dan secara moral
dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan.21

Kelima, yaitu sila “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat


Indonesia” yang berarti setiap orang boleh memperoleh apa yang menjadi
haknya dan setiap orang memperoleh bagian yang sama dari kekayaan kita
bersama. Jadi dalam membangun keadilan sosial berarti menciptakan
struktur- struktur yang memungkinkan terlaksananya keadilan. 22
Konsekuensi yang harus dijalankan adalah kepentingan individu dan

21 Ahmad Azhar Basyir, op. cit., hlm. 249.


22 Franz Magnis Suseno, ( 2001), Kuasa dan Moral, Jakarta: Gramedia, hlm. 50-51.

15
kepentingan umum harus dalam suatu keseimbangan yang dinamis, harus
sesuai dengan keadaan, waktu, dan perkembangan zaman. Keadilan sosial
dapat tercapai apabila dapat memelihara kepentingan umum negara
sebagai negara, kepentingan umum para warga negara bersama,
kepentingan bersama dan kepentingan khusus dari para warga negara
secara perseorangan, suku bangsa, dan setiap golongan warga negara.23

2.1.7 Neonasionalisme di Negara lain

Bentuk Neo-nasionalisme tidak terkecuali tentu juga terjadi di


negara-negara di seluruh dunia diera modern ini. Suatu kejadian yang
cukup membuat kaget dunia internasional antara lain adalah ketika Negara
Inggris memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa setelah tergabung selama
44 tahun dalam peristiwa Brexit (British Exit).
Nasionalisme yang ada di Hong Kong berevolusi dari gerakan
lokalis di Hong Kong menekankan identitas Hong Kong yang berbeda
sebagai lawan identitas nasional China yang dipromosikan oleh
pemerintah Beijing yang semakin berkembang pada manajemen kota atas
urusan politik, ekonomi, dan sosialnya sendiri. Retorika lokalis, sering
bercampur dengan hak bangsa untuk menentukan nasib sendiri serta sikap
anti-imigrasi terhadap imigran dan China daratan, dan melestarikan
identitas dan budaya lokal yang mirip dengan nasionalisme baru Barat.
Selanjutnya, di Amerika kita melihat gerakan Neo-Nasionalisme
yang terkenal disuarakan oleh presiden Trump. Setelah pada 1980-an,
Ronald Reagan menuntut agar Mikhail Gorbachev menghancurkan
Tembok Berlin. Tiga puluh tahun kemudian, Donald Trump menyatakan
bahwa dunia membutuhkan lebih banyak dinding antar negara. Visi baru

23 Kaelan, (1996), Filsafat Pancasila, Yogyakarta: Paradigma, hlm. 155-156.

16
dunia yang saling silang dengan dinding ini mudah disebarkan dengan
bantuan alat-alat utama globalisasi: internet dan media sosial.
Tokoh-tokoh lain di dunia yang juga menunjukkan reaksi positif
atau pro terhadap ideologi Neo-Nasionalisme adalah Viktor Orbán dari
Hongaria, Andrzej Duda dari Polandia, dan Recep Tayyip Erdoğan dari
Turki sering datang untuk disebutkan, seperti juga Narendra Modi dari
India dan Rodrigo Duterte dari Filipina.24

24 Eric Hobsbawm, Nationalism in the Late Twentieth Century dalam Nations and Nationalisms since 1780.
Program, Myth Reality. Cambridge: Cambridge University Press. 1990. Hlm 163-192.

17
2.2. Multikulturalisme
2.2.1 Definisi Multikulturalisme
Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis,
multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan
isme (aliran/paham). Istilah Multikulturalisme menunjuk pada keberadaan
bersama (coexistence) sejumlah pengalaman kultural yang berbeda di
dalam sebuah kelompok atau masyarakat.
Sampai batas tertentu, semua masyarakat manusia dalam sejarah
berciri multikultural, dikarenakan adanya perbedaan dalam bidang gender,
generasi, pekerjaan, etnisitas dari rangkaian pengalaman yang berbeda.
Hanya, belakangan ini istilah multikulturalisme digunakan dalam kaitan
dengan masyarakat atau atau bagian masyarakat, yang memiliki
kebudayaan-kebudayaan yang berbeda akibat letak geografis atau historis
yang beranekaragam.
Pengertian kebudayaan di antara para ahli harus dipertaruhkan atau
dipertentangkan antara satu konsep yang dipunyai oleh seorang ahli
dengan konsep yang dipunyai ahli lainnya. Karena multikulturalisme itu
adalah sebuah ideology dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan
derajat manusia dan kemanusiaannya, maka konsep kebudayaan harus
dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia. 25
Indonesia memiliki budaya yang sangat beragam dari sabang
sampai merauke. Multikulturalisme digunakan di Indonesia untuk
merumuskan identitas diri sebagai bangsa yang otonom, yang tidak
dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politis, ekonomis, budaya
bangsa lain atau kelompok tertentu. Setiap negara mempunyai keadaan
politis dan historis yang berbeda. Sebagai contoh multikulturalisme di
Indonesia berbeda dengan multikulturalisme di Amerika Serikat,
Australia, dan Kanada.

25 Antonius Eddy Kristiyanto. OFM. Jakarta: Komisi Teologi Konferensi Waligereja Indonesia dan OBOR,
2014

18
Di Indonesia, menjadi identitas suatu kelompok merupakan
perspektif historis masyarakat Indonesia. Dan di dalam identitas tersebut
memiliki beragam sumber budaya. Seperti halnya mayoritas dalam
minoritas.26

2.2.2 Tiga Kaidah Epidemi

Epidemi itu sendiri adalah sebuah fungsi yang memiliki beberapa


unsur yakni: orang yang bertindak sebagai agen penginfeksi, agen
penginfeksi itu sendiri, dan lingkungan tempat beroperasinya agen
penginfeksi. Dan ketika sebuah epidemi meledak, ketika keseimbangan
tiba-tiba terganggu, ketika eskalasi meningkat setelah suatu kejadian, suatu
perubahan telah terjadi pada satu (atau dua atau tiga) unsur tadi. Epidemi
sangat terpengaruh oleh situasi, yaitu oleh keadaan, dan kondisi
lingkungan kejadian.
Tiga Kaidah Epidemi adalah : bersifat menular, perubahan kecil
entah bagaimana membawa perubahan besar, dan ketiga, perubahannya
tidak bertahap tetapi dramatis. Ketiga unsur perubahan ini disebut ”Hukum
tentang Yang Sedikit”, ”Faktor Kelekatan”, dan ”Kekuatan Konteks”.
Epidemi sangat terpengaruh oleh situasi, yaitu oleh keadaan, dan kondisi
lingkungan kejadian.
Hukum tentang yang sedikit artinya yaitu keberhasilan suatu
epidemi social sangat bergantung pada keterlibatan orang-orang yang
memiliki seperangkat keterampilan sosial langka. Faktor kelekatan artinya
yaitu ada sejumlah cara tertentu untuk membuat sebuah kesan mudah
menular dan terus diingat; ada perubahan yang meskipun sederhana sekali
baik dalam cara menyajikan maupun cara menyusun informasi yang dapat
menghasilkan perbedaan besar dari segi dampaknya. Kekuatan konteks
artinya yaitu adanya sifat masyarakat untuk memiliki “masalah
kecenderungan menjadi penonton” atau bystander problem.

26 Thomas Tokan Pureklolon. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2016. Hlm 172

19
2.2.3 Hukum
Pasal 28 C ayat 1 UUD 1945
● Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui
pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan
umat manusia.
Pasal 28 E ayat 1 dan 2 UUD 1945
● Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan,
memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali.
● Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Pasal 28 I ayat 1, 2 dan 3 UUD 1945
● Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan jati nurani,hak beragama hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak
dituntut atas hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
● Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan
terhadapa perlakuan yang bersifat diskriminatif itu
● Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati
selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Pasal 29 ayat 2 UUD 1945
● Negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaan itu.

20
Pasal 32 ayat 1 dan 2 UUD 1945
● Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia
ditengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
● Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah
sebagai kekayaan budaya
Pasal 4 UU No. 20 tahun 2003
● Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
● Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang
sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.
● Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung
sepanjang hayat.
● Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan,
membangun kemauan,dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam
proses pembelajaran.
● Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan
budaya membaca, menulis,dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.
● Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua
komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan
pengendalian mutu layanan pendidikan.

2.2.4 Faktor Kelekatan

Faktor kelekatan artinya yaitu ada sejumlah cara tertentu untuk


membuat sebuah kesan mudah menular dan terus diingat; ada perubahan
yang meskipun sederhana sekali baik dalam cara menyajikan maupun cara
menyusun informasi yang dapat menghasilkan perbedaan besar dari segi
dampaknya. Faktor kelekatan menyiratkan perubahan atau aksi harus
langsung dan berulang-ulang, karena untuk memicu epidemi, gagasan

21
harus mudah diingat dan merangsang orang untuk berbuat sesuatu.
Sayangnya di abad informasi ini, segala sesuatunya telah banyak diulang
dan hal ini menimbulkan masalah pada faktor kelekatan.

2.2.5 Kekuatan Konteks


Kekuatan Konteks artinya yaitu adanya sifat masyarakat
untuk memiliki “masalah kecenderungan menjadi penonton” atau
bystander problem. Dengan kata lain, kemampuan seseorang untuk
memiliki tanggung jawab tergantung pada beberapa jumlah orang yang
berada bersamanya pada saat suatu peristiwa terjadi. Kekuatan konteks
mengatakan bahwa dibanding kelihatannya, orang sesungguhnya jauh
lebih peka terhadap lingkungan sekitar. Kekuatan konteks membicarakan
bagaimana suatu lingkungan mempengaruhi seseorang.

2.2.6 Studi Kasus

Kasus Multikulturalisme Belanda sebagai Kritik atas Utopia


Multikulturalisme Indonesia
Banyak aksi kekerasan terhadap kelompok minoritas Indonesia
dalam beberapa tahun terakhir, menyiratkan gagalnya bangsa ini untuk
mengelola keragamannya. Sungguh ironis karena sejak didirikan, para
pendiri bangsa Indonesia mengembangkan gagasan bahwa Indonesia akan
tumbuh sebagai bangsa yang menjunjung tinggi keragaman budaya. Fakta
ini memunculkan perdebatan di kalangan cendekiawan Indonesia untuk
mengusulkan konsep multikulturalisme sebagai konsep ideal yang mampu
memecahkan masalah di Indonesia.
Terlepas dari perdebatan, tidak banyak tulisan yang berfokus pada
implementasi multikulturalisme pada kasus nyata. Makalah ini
menunjukkan bahwa implementasi multikulturalisme di Belanda bukanlah
konsep samping yang mungkin kita pikirkan sebelumnya. Kebijakan
multikulturalisme di Belanda telah menghadapi banyak tantangan negatif
yang tidak dapat diprediksi sebelumnya. Untuk menjelaskan masalah ini,

22
makalah ini mencoba menggambarkan dinamika toleransi wacana dan
multikulturalisme di Belanda. Bagaimana perkembangan gagasannya?
Tantangan apa yang harus dihadapi oleh nilai-nilai mereka? Selain itu
makalah ini juga akan menggambarkan relevansi kasus Belanda dengan
isu keberagaman di Indonesia saat ini.

2.2.7 Perkembangan Multikulturalisme


Telah kita lihat betapa pemikiran multikulturalisme telah
lahir dari perubahan sosial dan kehidupan umat manusia di dunia yang
berubah dengan cepat. Boleh dikatakan multikulturalisme telah lahir dari
perubahan paradigma mengenai hakikat kehidupan manusia dan manusia
itu sendiri.27 Oleh sebab itu perlu kita lihat kekuatan-kekuatan apa yang
telah mendorong maraknya pandangan multikulturalisme dewasa ini.
Menurut pendapat penulis setidaknya ada tiga hal yang mendorong
perkembangan pesatnya pemikiran multikulturalisme yaitu HAM,
globalisme, dan proses demokratisasi.

2.2.7.1 Multikulturalisme dan HAM

Di dalam sejarah kehidupan manusia, hak asasi manusia


tidak selalu diperhatikan. Ada masanya hak-hak manusia itu ditindas atau
tidak dihargai oleh karena kekuatan kekuasaan yang dipusatkan kepada
seseorang atau sekelompok elit penguasa seperti dalam totaliterisme,
kediktatoran, dan pemerintah kerajaan yang absolut. Hak asasi manusia
kemudian pada akhir abad 20 lebih disempurnakan meliputi sebidang
budaya yaitu hak asasi untuk memiliki kebudayaan sendiri (the right to
culture).28

2.2.7.2 Multikulturalisme dan Globalisme


Perkembangan multikuturalisme juga didorong oleh
keterbukaan kehidupan manusia karena terbentuknya apa yang disebut the
27 George Ritzer, Teori Sosial Postmodern (terjemahan, 2003), halaman 323
28 Lawrence E. Harrison and Samuel P. Huntington (ed.), Culture MAtters, How Values Shape Human
Frogress (2002), halaman 24

23
global village. Terutama didorong oleh kemajuan teknologi komunikasi,
hubungan antar manusia di dunia ini semakin terbuka dan menyatu
sehingga timbulah rasa persaudaraan dan juga rasa permusuhan yang
dimungkinkan oleh hubungan global yang semakin erat. Yang jelas ialah
di dalam hubungan kehidupan ekonomi, globalisasi melahirkan adanya
pasar terbuka (open market).29 Globalisme selain daripada melahirkan
bentuk-bentuk interaksi antar bangsa juga melahirkan berbagai masalah
budaya bahkan tidak jarang dapat terjadi benturan antar budaya
(Huntington).30

2.2.7.3 Multikulturalisme dan Demokrasi

Pengakuan terhadap hak asasi manusia yang semakin lama


semakin solid diakui oleh kehidupan global memicu pula pada suatu
pengakuan akan hak-hak politik dari manusia dalam kelompoknya. Inilah
yang disebut proses demokratisasi yang merasuk kehidupan bersama
manusia global. Proses demokratisasi sedang berjalan dengan sangat
pesatnya sejalan dengan keterbukaan kehidupan bersama manusia karena
kemajuan teknologi khususnya teknologi informasi. Dengan teknologi
informasi orang tidak hanya dapat mengenal dan melaksanakan hak-hak
politisnya tetapi juga mengenal akan hak budayanya termasuk budaya
kelompok dan budaya bangsa yang lain. Dapat dikatakan antara proses
demokratisasi dan multikulturalisme terjadi hubungan timbal balik.31

2.2.8 Multikulturalisme di Indonesia


Multikulturalisme di masyarakat terjadi ketika masyarakat
memiliki kultur atau budaya yang beragam. Menurut studi sosiologi dan
antropologi, masyarakat multikultural adalah masyarakat yang memiliki
etnik yang memiliki respect satu sama lain sehingga tercipta negara yang
memiliki kontribusi.

29 Sijori, Pearl River Delta, Yangtze River Delta, Newsweek, Special Issues, halaman 35
30 Samuel P.Huntington, The Clash of Civilization and Remaking of World Order (1996)
31 Ram Mahalingam & Cameron McCarthy. Multicultural Curiculum (2000), halaman 9

24
Alo 2005:68
Indonesia memiliki beragam suku dan budaya yang berbeda-beda
di berbagai tempat. Karena itu Indonesia dapat dikategorikan sebagai
bansa yang multikultural. Di Indonesia terdapat banyak suku seperti Jawa,
Sunda, Dayak, Bali, dan lain-lain. Karena adanya perbedaan tersebut, tidak
heran jika terdapat perbedaan prinsip dan kepercayaan. Contohnya
golongan A percaya bahwa setiap manusia yang mati tidak akan lahir
kembali sedangkan golongan B percaya bahwa manusia yang mati akan
hidup kembali melalui reinkarnasi. Kedua belah pihak memiliki pendapat
masing masing. Karena itu dapat terjadi konflik.

2.2.9 Penyebab Multikulturalisme di Indonesia

Pertama, perbedaan kebudayaan antar kelompok akan dikorbankan


berbagai persamaan yang mereka miliki untuk mendukung kebijakan-
kebijakan dari negara. Dengan demikian multikultural akan meregangkan
ikatan solidaritas. Multikulturalisme yang radikal akan membangkitkan
semangat untuk memisahkan diri dari kelompok-kelompok kultural.
Kedua, terjadi benturan prinsip kesetaraan antara elemen minoritas
didalam kelompok sosial. Contohnya menurut peneliti feminis, Susan
Moller mengatakan bahwa posisi perempuan dalam masyarakat lokal
melemah. Seperti adanya praktik-praktik poligami, pernikahan paksa,
penyunatan alat kelamin perempuan justru di legistimasi oleh
multikulturalisme yang memberikan hak otonom bagi setiap kelompok
kultural.
Menurut Anne Philips, situasi ini adalah benturan antar prinsip
kesetaraan sehingga terjadi konflik antara dua klaim kesetaraan.
Multikulturalisme ingin menghapuskan ketidaksetaraan yang dialami oleh
kelompok-kelompok minoritas dan feminisme ingin menghapuskan
ketidaksetaraan yang dialami oleh perempuan.
Oleh karena itu kita harus memandang multikulturalisme dengan
lebih menyeluruh. Bukan semata-mata untuk politik tetapi juga konsep

25
filosofis yang memiliki asumsi-asumsi yang problematis.
Multikulturalisme juga berkontribusi untuk menciptakan stereotipisasi
wujud-wujud kultural yang ada.

2.2.10 Pandangan tentang Masyarakat Multikultural

Di Indonesia, masyarakat bebas memilih agama dan kepercayaan


terhadap Tuhan yang Maha Esa. Setiap agama dan kepercayaan tersebut
memiliki tata cara yang berbeda. Karena perbedaan tersebut, muncul 3
pandangan yang berbeda.
1. Pandangan Primodialisme
Kelompok ini menganggap bahwa perbedaan-perbedaan yang berasal dari
genetika seperti suku, ras, agama, dan lain-lain merupakan sumber
utama lahirnya benturan-benturan kepentingan etnis maupun budaya.
2. Pandangan Kaum Instrumentalis
Kelompok ini berpendapat bahwa suku, agama, dan identitas yang lain
dianggap sebagai alat yang digunakan individu atau kelompok untuk
mengejar tujuan yang lebih besar baik dalam bentuk materiil maupun
nonmateriil
3. Pandangan Kaum Kontruktivisme
Kelompok ini menganggap identitas kelompok tidak bersifat kaku,
sebagaimana yang dibayangkan kaum primordialis. Bagi kelompok ini
etnisitas dapat diolah sehingga membentuk jaringan relasi pergaulan
sosial. Etnisitas adalah sumber kekayaan yang dimiliki manusia untuk
saling mengenal dan memperkaya budaya. Mereka menganggap
persamaan adalah anugerah dan perbedaan adalah berkah.32

32 S Sudharto, Multikulturalisme dalam Perspektif Empat Pilar Kebangsaan, halaman 20

26
2.2.11 Macam-Macam Multikulturalisme

Keragaman struktur budaya dalam masyarakat menjadikan


multikulturalisme terbagi menjadi beberapa bentuk, yaitu :
1. Multikulturalisme Isolasi
Masyarakat jenis ini biasanya menjalankan hidup secara otonom dan
terlibat dalam interaksi yang saling mengenal satu sama lain. Kelompok-
kelompok tersebut pada dasarnya menerima keragaman, namun pada saat
yang sama berusaha mempertahankan budaya mereka secara terpisah dari
masyarakat lain umumnya.
Contohnya : Masyarakat suku Kajang yang ada di Kabupaten Bulukumba
yang masih mengisolasi diri dan mempertahankan budaya mereka dari
budaya luar, namun tetap menerima keragaman masyarakat selain
masyarakat mereka seperti tetap berinteraksi dengan masyarakat lain.
2. Multikulturalisme Akomodatif
Masyarakat ini memiliki kultur dominan, yang membuat penyesuaian-
penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultural
kaum minoritas. Masyarakat multikultural akomodatif merumuskan dan
menerapkanundang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif
secara kultural, serta memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk
mengembangkan/ mempertahankan kebudayaan mereka. Sebaliknya,
kaum minoritas tidak menentang kultur dominan.
Contohnya : suku Jawa yang ada di daerah Palopo.
3. Multikulturalisme Otonomi
Dalam model ini kelompok-kelompok kultural utama berusaha
mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan
menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara
kolektif dapat diterima. Prinsip-prinsip pokok kehidupan kelompok-
kelompok dalam multikultural jenis ini adalah mempertahankan cara hidup
mereka masing-masing yang memiliki hak-hak sama dengan kelompok
dominan. Mereka juga menentang kelompok dominan dan berusaha

27
menciptakan suatu masyarakat di mana semua kelompok bisa eksis
sebagai mitra sejajar.
Contohnya : kelompok feminis yang memperjuangkan kesetaraan gender.
4. Multikulturalisme Kritikal / Interaktif
Jenis multikulturalisme ini terjadi pada masyarakat plural di mana
kelompok-kelompok yang ada sebenarnya tidak terlalu menuntut
kehidupan otonom, akan tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif
yang menegaskan perspektif-perspektif distingtif (membedakan) mereka.
Kelompok dominan dalam hal ini tentunya menolak, bahkan berusaha
secara paksa menerapkan budaya dominan mereka dengan mengorbankan
budaya kelompok-kelompok minoritas.
Contohnya : Kelompok lesbian, gay, biseksual dan transeksual (LGBT)
sebagai kelompok minoritas yang ingin diakui eksistensi oleh kelompok
mayoritas atau masyarakat luas, sebagai kelompok yang ingin
mendapatkan perlakuan yang sama dengan kelompok yang lain.
5. Multikulturalisme Kosmopolitan
Kehidupan dalam multikulturalisme jenis ini berusaha menghapus segala
macam batas-batas kultural untuk menciptakan masyarakat yang setiap
individu tidak lagi terikat pada budaya tertentu. Bisa juga sebaliknya, yaitu
tiap individu bebas dengan kehidupan-kehidupan lintas kultural atau
mengembangkan kehidupan kultural masing-masing.
Contohnya : Kehidupan di kota Makassar yang hidup berdampingan
dengan kultur yang berbeda.

2.2.12 Konsep Multikulturalisme

Perkembangan konsep multikulturalisme yang berkenaan dengan


hak asasi manusia, kehidupan politik, kehidupan sosial yang terus berubah,
pandangan mengenai budaya, dan juga pandangan mengenai pendidikan
demokrasi menunjukkan betapa konsep multikulturalisme mempunyai
banyak segi. Salah satu segi yang menarik misalnya dalam filsafat
posmodernisme. Promodernisme sangat mementingkan kepada local

28
system dan memustahilkan kebenaran universal (Alois A. Nugroho,
2003).33 Dengan sendirinya berbicara mengenai kompetisi antara
peradaban misalnya dalam percaturan supremasi kebudayaan Barat dan
kebudayan Timur merupakan suatu kesalahan berpikir oleh karena setiap
kebudayaan memiliki nilainya sendiri. Adalah merupakan suatu kenyatan
bahwa setiap manusia menghormati hak-hak untuk berbeda dengan orang
lain.34
Selain konsep multikulturalisme di dalam perkembangannya,
demikian juga perlu disimak pengembangan arti budaya di dalam
pengertian mutikulturalisme. Rob Reich yang membedakan antara
multikulturalisme deskriptif dan normatif.35 yang dimaksud dengan
multikulturalisme deskriptif yaitu kenyataan sosial yang dikenal oleh para
pakar ilmu politik sebagai kenyataan pluralistik. Multikuturalisme
deskriptif tidak mengakui adanya satu konsep mengenai apa yang disebut
sesuatu yang baik (good). Sesuatu yang baik bergantung kepada nilai
pluralistik di dalam masyarakat. Dengan demikian kebenaran yang absolut
dan tinggal tidak dikenal kedalam konsep multikulturalisme.
Multikulturalisme normatif berkaitan dengan dasar-dasar moral.
dasar -dasar moral antara lain keterikatan seseorang dalam suatu negara-
bangsa. Artinya terdapat suatu ikatan moral dari anggota-anggotanya
didalam batas-batas negara-bangsa untuk melakukan sesuatu sebagaimana
yang telah menjadi kesepakatan bersama. Inilah yang dimaksudkan oleh
Benedict Anderson tentang “the imagined community” atau komunitas
yang dibayangkan oleh suatu kelompok yang mengikat anggota-
anggotanya. Dalam kaitan ini multikultural normatif merupakan suatu
kritik sosial atau rekonstruksi sosial dalam membangun suatu keinginan
bersama dari suatu kelompok membangun sebuah wadah di dalam
pluralitas budaya yang ada di dalam komunitas tersebut.36
33 Alios A Nugroho, Benturan Peradaban, Muktikulturalisme, dan Fungsi Rasio, KOMPAS, 4 April 2003
34 Sonia Neito, Affig Diversity (2000)
35 Ibid, halaman 11
36 Harya W. Bachtiar, “Integrasi NAsional Indonesia” dan Harry Tjan Silalahi “pemahaman Baru
Kebangsaan” dalam Merumuskan Kembali Bangsa Indonesia (2002), halaman 322

29
2.2.13 Refleksi Teologis di Tengah Keberagaman Agama

Situasi konflik agama juga dialami Indonesia dalam dasawarsa


terakhir. Berbagai kerusuhan terjadi di daerah, antara lain di Tasikmalaya,
Situbondo, Kupang, Sambas, Poso dan juga di Maluku. Padahal, Indonesia
selama ini dikenal sebagai bangsa yang plural, beradab, dan memiliki
semangat teloransi antara satu dengan yang lainnya dengan semangat
kerukunan. Perbedaan agama di Indoensia bukan merupakan hal baru,
akan tapi sudah terpatri sejak nenek moyang. Sayang sekali, suasana
kerukunan kehidupan di masyarakat itu diusik secara brutal oleh berbagai
kepentingan sempit dari pihak-pihak yang mengiginkan Indonesia
bercerai-berai melalui konflik sosial.
Upaya untuk membangun kerukunan agama kembali setelah
tercerai- berainya masyarakat akibat dari konflik agama sangat diperlukan
dalam membangun harmoni kehidupan. Kerukunan umat beragama
merupakan bagian dari pilar pembangunan, yang memberikan pengaruh
besar pada keberhasilan. Dengan semakin mantapnya kerukunan antar
umat beragama maupun intern umat beragama, akan semakin kokoh pula
persatuan dan kesatuan bangsa. Pada saat yang sama, upaya untuk
memanfaatkan agama untuk melegitimasi konflik sosial akan semakin sulit
dilakukan oleh pihak- pihak yang tidak bertanggung jawab.

Pola Kerukunan di Bali


Nilai-nilai budaya di Bali tidak bisa terlepas dengan pengaruh
Agama Hindu. Tidak dapat dihindari bahwa pengaruh Agama Hindu dan
budaya India di Bali demikian besarnya, hal ini dibuktikan dari berbagai
peninggalan purbakala seperti diungkapkan oleh Swellengrebel (1960:17),
yaitu: sumber utamanya adalah prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh
para raja yang banyak jumlahnya baik yang tertulis pada batu maupun
pada logam (tembaga). Prasasti-prasasti itu menceritakan para raja yang
memerintah dan para menterinya, hubungannya dengan administrasi
pemerintahan pusat dan orang-orang di desa-desa, peraturan di bidang

30
keagamaan, aturan yang. berhubungan dengan pengairan, perpajakan, dan
sebagainya. Sumber lainnya adalah peninggalan purbakala, arca-arca dan
artifak-artifak, sumber-sumber teks berupa berbagai manuskrip (lontar)
yang cukup banyak jumlahnya.
Posisi agama sebagai bagian dari budaya di masyarakat Bali,
menjadikan agama Hindu menempati posisi penting dalam ranah sosial.
Dominasi kebudayaan Hindu sebagai mayoritas menjadikan pola
kehidupan di Bali di pengaruhi oleh ajaran-ajaran Hindu, sehingga posisi
agama-agama lain hanya menjadi bagian kecil dari warna sosial. Dalam
posisi seperti itu maka ruang interaksi budaya antar umat agama dengan
agama lain hampir tidak ada karena agama lain di luar agama Hindu tidak
mampu mewarnai corak budaya Bali.
Dalam sosial budaya seperti itu, Lembaga Adat Banjar sebagai
pusat kegiatan sosial menempati posisi cukup strategis untuk menjaga
harmoni kerukunan umat beragama. Fungsi Banjar sebagai bagian dari
penjaga budaya Bali memberikan pengaruh kuat dimasyarakat dalam akti
tas sosial. Konsep “nyama braya” hidup bersama menempatkan
persaudaraan senegara, persaudaraan sebangsa, dan persaudaraan sesama
umat manusia.
Selain nyama bray di Banjar Adat juga memiliki tradisi sima
karma yaitu upaya untuk menyerap aspirasi masyarakat baik dalam bentuk
saran, masukan hingga kritik, yang diadakan sebulan sekali dengan tidak
melihat latar belakangnya. Mereka yang datang dalam forum sima karma
bisa berdialog dengan bebas tanpa membedakan latar bekang agama.Pada
kegiatan sosial terdapat tradisi gotong-royong. Gotong royong dilakukan
sebagai kewajiban warga terhadap lingkungan sosialnya. Gotong royong
biasanya dilakukan atas perintah ketua adat dalam bentuk kebersihan
lingkungan atau persiapan dalam acara perhelatan seperti pernikahan.
Dalam pernikahan inilah ada tradisi ngejot. Ngejot merupakan bentuk
penghormatan pada tamu muslim pada perhelatan perkawinan dengan

31
memberikan hidangan khusus, yaitu hidangan yang diolah dengan cara
muslim untuk menghindari tercampurnya makanan dengan daging babi.

Kerukunan Masyarakat di Jawa Tengah


Dari empat lokasi penelitian yang dilakukan di Provinsi Jawa
Tengah, pola interaksi umat beragama yang mengarah pada bentuk
kerukunan yang terwadahi dalam tradisi lokal. Di Kecamatan Kaloran
Temanggung, ditemukan tradisi gotong-royong, nyadran. Di Ambarawa
terdapat tradisi cheng beng (nyadran ala Khonghucu), sonjo, dan lebaran
bersama. Sementara untuk wilayah Kudus ditemukan tradisi larangan
menyembih sapi, sebagai bentuk penghormatan pada kepercayaan Hindu.
Gotong rotong dalam istilah Jawa disebut sambatan yaitu
melakukan kegiatan bersama untuk sebuah tujuan tertentu. Gotong royong
biasa dilakukan dalam rangka memperbaiki rumah, sarana sosial,
perhelatan perkawinan, perkuburan, dan akti tas-akti tas sosial lainnya
termasuk perbaikan tempat ibadah. Dalam acara gotong-royong, tokoh
yang paling berperan yaitu tokoh masyarakat.
Nyadran adalah tradisi yang biasanya dilakukan pada bulan Ruwah
(penanggalan jawa) atau Sya’ban. Nyadran dilakukan dalam bentuk
mengirim do’a pada arwah leluhur, nenek moyang, kerabat, yang telah
meninggal dunia. Nyadran dapat dilakukan di perkuburan atau dirumah
sendiri melalui acara kenduri. Nyadran yang mengandung nilai kerukunan
yaitu nyadran yang dilakukan diperkuburan desa, karena bisa melibatkan
berbagai kelompok agama. Kelompok agama yang terlibat, dengan
kesadarannya meningalkan atribut keagamaan lebur dalam ritual tradisi.
Tradisi “sonjo” dilakukan sebagai bentuk silaturahmi antar warga,
sanak famili, kerabat, dan saudara. Pada bentuk sosial, sonjo umumnya
untuk menghormati kematian dengan “melek-melek” (terjaga sampai
malam), atau dalam malam-malam perhelatan berkaitan dengan upacara
daur hidup. Dengan sonjo masyarakat dapat mendo’akan seseorang yang
telah meninggal dunia tanpa membedakan agama apapun.

32
Lebaran bersama dimaksudkan sebagai bentuk ungkapan saling
memaafkan atas kesalahan yang dilakukan sebagai sesama manusia.
Lebaran bersama diisi dengan saling mengunjungi antar kerabat, saudara,
teman, tanpa membedakan agama. Dalam pertemuan itulah, mereka bisa
saling memberikan maaf atas kesalahan yang dilakukan selama bergaul,
tanpa membedakan latar belakang agama.
Kalau ditengok pada literature lain, sebagian dari tradisi lokal yang
ditemukan hampir dapat ditemukan pada wilayah lain di Jawa Tengah.
Tradisi lokal seperti gotong royong, nyadran, sonjo, dan lebaran bersama
merupakan bagian dari kearifan tradisi Jawa. Tradisi itu merupakan bagian
dari tradisi lama yang telah mendapatkan kondi kasi dari agama-agama
baru, terutama Islam. Sehingga melalui tradisi ini dapat terjalin
komunikasi antara sebuah komunitas dengan keyakinan lokal yang telah
menggumpal.

Pola Kerukunan Kalimantan Barat


Pada ranah sosial, pola interaksi antar umat beragama di
Kalimantan Barat mengarah pada simbolisasi adat dengan agama. Identi
kasi pemeluk agama terkait dengan identi kasi etnis dengan sistem
adatnya. Seperti pemeluk Islam di Kalimantan Barat diidentikkan dengan
etnis Melayu, meskipun itu berasal dari suku dayak. Bahkan anggota suku
Dayak yang memeluk Islam dianggap telah keluar dari anggota suku
dengan menanggalkan identitas budayanya.
Kekuatan pengaruh suku yang begitu kuat dalam masyarakat
Kalimantan memunculkan pengukukan identitas etnis dalam bentuk
organisasi massa seperti Dewan Adat Dayak (DAD), Majelis Adat Budaya
Melayu (MABM), Ikatan Keluarga Besar Madura (IKBM), Kerukunan
Sulawesi Selatan (KSS) Paguyuban Masyarakat Jawa (PMJ), Kerabat
Batak (KB) dan Majelis Adat Budaya Tionghoa (MABT).
Dengan adanya organisasi massa beridentitas etnik tentu
diharapkan bisa mempermudah pembentukan pola kerukunan umat

33
beragama di Kalimantan. Akan tetapi dalam praktek kehidupan sosial,
keberadaan organisasi massa itu justru lebih dekat bersentuhan dengan
politik praktis. Padahal organisasi massa tersebut selain sebagai identitas
etnis juga melekat simbol-simbol agama.
Dominasi adat dalam kehidupan masyarakat sebetulnya bisa
menjadi modal sosial menciptakan kerukunan umat beragama. Akan tetapi
adat justru lebih berperan dalam ranah politik. Akibatnya pola kerukunan
umat beragama di Kalimantan Barat tidak membumi. Dalam pola
kerukunan di Kalimantan Barat tidak ditemukan bentuk kerukunan yang
terwadahi secara kuat dalam kultur budaya. Akibatnya, pola kerukunan
antar umat beragama masih berada pada dataran kulit, hanya sebatas untuk
menjaga kestabilan sosial dan ekonomi.
Akibat dari pola sosial seperti itu, bentuk kerukunan yang ada
hanya sebatas kerukunan sebagai warga masyarakat. Bentuk kerukunan
yang ada yaitu saling mengunjungi ketika ada perhelatan perkawinan,
kelahiran atau kematian. Bentuk kerukunan yang lebih luas, yaitu ketika
terjadi acara berkaitan dengan peringatan hari-hari besar nasional seperti
peringatan hari kemerdekaan RI, upacara robok-robok, upacara capgomeh,
dan upacara naik dangau. Keterlibatan anggota agama lain dalam acara itu,
hanya sebatas tamu undangan, penonton atau panitia pendukung.

2.3 Multikulturalisme dalam Kedokteran


Dalam dunia kedokteran, perilaku seorang dokter harus
berpedoman pada kode etik kedokteran. Semua telah diatur agar tidak
terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam menjalankan tugasnya.

34
Di Indonesia, tahun 1908, berawal dari kelompok mahasiswa
kedokteran Jawa mendirikan sebuah organisasi. Organisasi tersebut
bernama Boedi Utomo. Sekarang peristiwa tersebut secara resmi
diperingati sebagai hari kebangkitan Nasional. Tapi statuta organisasi
tersebut sebenarnya menyatakan bahwa tujuan organisasi itu adalah untuk
mempromosikan kebudayaan Jawa. Dapat diartikan dalam pengertian ini,
organisasi itu belum merupakan organisasi yang sepenuhnya nasionalis.
Tiga tahun kemudian, munculah organisasi-organisasi baru yang memiliki
tujuan mempromosikan kepentingan kelompok mereka sendiri. Seperti
Syarikat Dagang Islam yang kemudian merubah nama mereka menjadi
sebuah partai politik Syarikat Islam. Dengan demikian, organisasi secara
internal masih sangat kuat dipengaruhi oleh ikatan etnoreligius. Dan secara
eksternal basis religiusnya memisahkannya dari kelompok orang-orang
non-Muslim.37
Hal inilah yang tidak ada di dunia kedokteran. Seorang dokter
maupun tenaga medis tidak dipatok oleh budaya, etnis, ras, dan lain
sebagainya dalam menjalankan profesinya. Telah dijelaskan pula di dalam
kode etik kedokteran bahwa setiap dokter harus senantiasa mengingat akan
kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Selain itu, seorang dokter
harus berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-
benarnya.38
Hal inilah yang menjadi dasar bahwa di dunia kedokteran
menggunakan sistem politik multikulturalisme. Walaupun berbeda ras,
budaya, status sosial ekonomi sebagai seorang dokter maupun tenaga
medis tidak diperbolehkan memilah-milah dalam menolong orang. Karena
semua pasien memiliki hak mendapat perlakuan kesehatan yang sama.

37 Robert W Hefner, Politik Multikulturalisme-Menggugat Realitas Kebangsaan, halaman 472


38 Kode Etik Kedokteran Indonesia, halaman 3-4

35
BAB III
PENUTUP

Dari keseluruhan uraian kita dapat menarik kesimpulan bahwa


nasionalisme merupakan suatu perilaku dan ideologi. Sebagai ideologi, ia jarang

36
berjalan sendirian, ia selalu berjalan bersamaan dengan ideologi politik lainnya.
Sehingga, wajah dan bentuk nasionalisme itu pun beraneka ragam.
Nasionalismepun dapat bersifat ahistoris dalam arti seolah buta terhadap berbagai
kekejaman dan luka akibat ideologi di masa silam di hampir seluruh belahan
dunia (terutama abad 19 dan 20). Meski demikian, semangat dasar nasionalisme
tetap ada dan tidak mungkin hilang, bahkan telah mewarnai berbagai ideologi
politik lainnya. Karena itu, suatu konsekuensi logis akan kita terima. Entah
nasionalisme itu, dalam arti semangat maupun ideologi politik lainnya, atau entah
ia muncul dalam rupa dan karakter yang lain.
Neo-nasionalisme merupakan suatu definisi yang mempunyai makna lebih
dari sekedar nasionalisme demokratis, melainkan nasionalisme multikultural.
Nasionalisme multikultural tidak berjalan mundur seperti etno-nasionalisme, juga
tidak kaku seperti nasionalisme dengan model nation-sate. Nasionalisme
multikultural adalah nasionalisme yang tidak lagi dibangun di atas konsep
kebangsaan tertentu, melainkan dibangun di atas kesatuan kultural. Nasionalisme
multikultural berarti sistem politik yang terintegrasi oleh semangat nasionalisme
sebagai roh penguat dan pengukuh dari institusi politik suatu negara, di mana
negara yang dimaksud tersusun dari inter-relasi, komunikasi, dan inter-dependensi
atas sistem kultur yang berbeda-beda. Kesatuan komunitas berdasarkan karakter
kultural yang lebih dinamis dibandingkan dengan kesatuan komunitas berdasarkan
karakter kebangsaan. Itulah yang membuat nasionalisme multikultural lebih
dinamis, lebih lentur, namun juga lebih rasional dan etis.

DAFTAR PUSTAKA

37
A.M. Hendropriyono. 2017. Ide dan Praksis Neo-Nasionalisme dalam
Menghadapi Tantangan Globalisasi. Jakarta: Jurnal Publikasi.
Abdul Hadi W.M. 2010. Kebudayaan dan Nasionalisme Indonesia dalam
Budaya, Sastra, Falsafah. [Internet]. [Diakses 10 November 2018].
Tersedia pada:
https://ahmadsamantho.wordpress.com/2010/03/31/kebudayaan-
dan-nasionalisme-indonesia/
Ariffudin Ismail. 2010. Refleksi Pola Kerukunan Umat Beragama
(Fenomena
Keagamaan di Jawa Tengah, Bali dan Kalimantan Barat). Jakarta:
Jurnal Analisa. 17;02.
Basyir Ahmad Azhar. 1993. Refleksi Atas Persoalan Keislaman; Seputar
Filsafat, Hukum, Politik, dan Ekonomi, Bandung: Mizan.
Benedict Anderson: Western Nationalism and Eastern Nationalism. 2004.
New Left Review. May-June 2001. 31-42. Rogers Brubaker:
“Civic” and “Ethnic” Nationalism. In. Ethnicity without Groups.
Cambridge, Mass.: Harvard University Press. 132-146.
Borradori, Giovanna. 2005, judul asli Philosophy in Time of Terror,
diterjemahkan oleh Alfons Taryadi, dengan judul: Filsafat dalam
Masa Teror, Dialog dengan Jürgen Habermas dan Jacques Derrida,
Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Fajri Agam, Karnoto Ajeng, dkk. Toleransi dalam Multikulturalisme di
Indonesia. 2016 [Internet]. [Diakses 15 November 2018]. Tersedia
pada: https://www.scribd.com/doc/315267443/MAKALAH-
MULTIKULTURALISME-DI-INDONESIA2-docx
Franz Magnis Suseno, ( 2001), Kuasa dan Moral, Jakarta: Gramedia.

Kaelan, (1996), Filsafat Pancasila, Yogyakarta: Paradigma.

Hefner Robert W. 2007. Politik Multikulturalisme-Menggugat Realitas


Kebangsaan. Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 472.
Kristiyanto, Antonius Eddy. 2014. Multikulturalisme ; Kekayaan dan
Tantangannya di Indonesia. Jakarta. 1.

38
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia (MKEK). 2002. Kode
Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik
Kedokteran Indonesia. Jakarta : IDI, halaman 3-4
Rogers Brubaker. 1998. Myths and Misconceptions in the Study of
Nationalism. In. John Hall (ed.): The State of the Nation: Ernest
Gellner and the Theory of Nationalism. Cambridge: Cambridge
University Press. 272-305.
Suardi. 2017. Masyarakat Multikulturalisme di Indonesia. Universitas
Muhammadiyah Makassar . [diakses 11 November 2018]. Tersedia
pada :
https://www.researchgate.net/publication/321728030_MASYARA
KAT_MULTIKULTURALISME_INDONESIA
Sudharto, S. 2012. Multikulturalisme dalam Perspektif Empat Pilar
Kebangsaan. Jakarta: CIVIS.
Sunoto. 2003. Mengenal Filsafat Pancasila: Pendekatan melalui
Metafisika, Logika, dan Etika, Yogyakarta: Hanindita.

Supriyoko Ki. 2005. Pendidikan Multikultural dan Revitalisasi Hukum


Adat Dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: Direktorat Jenderal
Kebudayaaan.
Thomas Tokan Pureklolon. 2016. Definisi Multikulturalisme. Jakarta: PT.
Gramedia
Pustaka Utama.
Widhyatmoko D. 2015. Nasionalisme di Era Internet. Jakarta: Humaniora.

39

Anda mungkin juga menyukai