Anda di halaman 1dari 9

Jurnal Peternakan Indonesia, Oktober 2014 Vol.

16 (3)
ISSN 1907-1760

Performa Reproduksi Sapi Perah di Sumatera Barat

Reproduction Performance of Dairy Cows in West Sumatra

Reswati, Jaswandi dan E. Nurdin


Fakultas Peternakan Universitas Andalas
Kampus Unand Limau Manis Padang 25163
E-mail: reswatisyafri@yahoo.com
(Diterima: 03 Januari 2013 ; Disetujui: 13 Mei 2013)

ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mengetahui performa reproduksi sapi perah di Sumatera Barat.
Metode yang dilakukan adalah survey terhadap 24 ekor sapi perah yang dikelola oleh perusahaan
di Kabupaten 50 Kota dan 35 ekor sapi perah yang dikelola oleh peternakan rakyat di Kota Padang
Panjang. Analisis data dengan deskriptif, serta dilakukan uji T dengan program SPSS versi 12.
Hasil penelitian menunjukkan umur beranak pertama (Age at First Calving) sapi perah di
Kabupaten 50 Kota dan Kota Padang Panjang masing-masing 31,63±6,37 bulan dan 30,17±4,10
bulan; masa kosong (Days Open) 260,63±147,04 hari dan 192,26±114,04 hari; sedangkan selang
beranak (calving interval) 548,63±168,30 hari dan 477,26±114,04 hari. Performa reproduksi di
kedua daerah ini belum baik karena melebihi jangka waktu optimal untuk ketiga variabel tersebut.
Tidak ada perbedaan (P>0,05) antara penampilan reproduksi sapi perah di kedua daerah penelitian.
Kata kunci : sapi perah, performans reproduksi, umur beranak pertama, masa kosong, selang
beranak
ABSTRACT
The objective of this research was to analyse reproduction performance of dairy cows in
West Sumatra. A survey was carried out to 24 dairy cows at an enterprise in 50 Kota District and
35 dairy cows owned by small-scale dairy farmers in Padang Panjang. Collected data were
analyzed by descriptive approach as well as T test using SPSS version 12. The results showed that
cow average age at the first calving at both locations were 31,63 ± 6,37 months and 30,17 ± 4,10
months respectively; the average of days open was 260,63 ± 147,04 days and 192,26 ± 114,04 days
respectively; and the average of calving interval was 548,63 ± 168,3 days and 477,26 ± 114,04
dayas respectively. Thus, reproduction performance had been categorized as not good enough due
to go beyond the optimal standard duration based on those three indicators. There was not a
significant (P>0.05) reproduction performace of dairy cows between both farms location.
Keywords : dairy cow, reproduction performance, age at first calving, days open and calving
interval

PENDAHULUAN tidak dapat dipenuhi oleh produksi susu dalam


Susu sapi merupakan salah satu sumber negeri sehingga harus dilakukan impor berupa
protein hewani yang mengandung nilai nutrisi susu segar maupun produk olahan susu. Dari
data yang tersedia (Ditjen Peternakan dan
tinggi sebagai penyumbang dalam pemenuhan
Angka Kecukupan Gizi (AKG) masyarakat di Kesehatan Hewan, 2013) terlihat bahwa ter-
Indonesia. Kebutuhan akan susu sapi dan pro- jadi peningkatan impor susu dan produknya
duknya terus meningkat dari tahun ke tahun mulai tahun 2010, 2011 dan 2012 dengan
sebagai akibat dari bertambahnya jumlah pen- jumlah masing-masing sebanyak 231.396 ton,
duduk, pendapatan dan tingkat kesadaran mas- 247.495 ton dan 386.116 ton. Impor ini akan
yarakat Indonesia. Namun kebutuhan tersebut terus meningkat jika produksi susu dalam
negeri tidak ditingkatkan.

Performa Reproduksi Sapi Perah... (Reswati et al.) 157


Vol. 16 (3)

Sumatera Barat merupakan salah satu Salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk
provinsi sentra pengembangan sapi perah dan mengatasi hal tersebut adalah dengan melaku-
sebagai daerah penyumbang dalam pemenu- kan perbaikan manajemen pemeliharaan, salah
han kebutuhan susu nasional, namun pada satunya adalah manajemen reproduksi.
tahun 2012 tercatat populasi sapi perahnya Manajemen reproduksi merupakan bagi-
hanya 0,11% dari populasi sapi perah di an yang amat penting dalam suatu usaha pe-
Indonesia (Ditjen Peternakan dan Kesehatan ternakan karena daya reproduksi kelompok
Hewan, 2013). Populasi sapi perah terbesar ternak yang tinggi disertai dengan manajemen
(43,44%) terdapat di Kota Padang Panjang reproduksi yang baik akan menghasilkan efisi-
sementara sisanya tersebar di beberapa daerah ensi yang tinggi dengan produktivitas ternak
lain seperti Kabupaten 50 Kota, Solok, Tanah yang tinggi pula. Performans reproduksi yang
Datar, Agam, Kota Padang, Payakumbuh, sering menjadi indikator dalam penilaian efisi-
Sawahlunto dan Bukittinggi (Dinas Peterna- ensi reproduksi adalah umur beranak pertama
kan Provinsi Sumbar, 2012). Perkembangan (age at first calving), waktu kosong (days
usaha peternakan sapi perah di Sumatera Barat open) dan jarak beranak (calving interal),
kurang menggembirakan terlihat dari partum- karena ketiga faktor ini berpengaruh terhadap
buhan negatif populasi sapi perah mulai tahun produksi susu.
2009 sebanyak 826 ekor dan pada tahun 2012 Umur beranak pertama merupakan fak-
menjadi 642 ekor (Dinas Peternakan Provinsi tor yang penting dalam pemeliharaan sapi da-
Sumbar, 2012). Dari data tersebut terlihat bah- ra, semakin lambat umur beranak pertama ma-
wa terdapat permasalahan dalam pertumbuhan ka biaya pemeliharaan akan semakin tinggi.
populasinya, sehingga perkembangan usaha Berdasarkan perbandingan produksi susu dan
peternakan sapi perah di Sumatera Barat tidak biaya pemeliharaan, sapi perah yang beranak
sesuai dengan yang diharapkan. Tidak musta- pertama pada umur 23-24 bulan akan lebih
hil populasi ini akan terus menurun jika tidak menguntungkan bagi usaha peternakan sapi
segera dicari akar permasalahan dan solusi perah (Pirlo et al., 2000). Biaya pemeliharaan
pemecahan masalahnya sehingga pertumbu- akan berkurang 18% bila umur beranak perta-
han populasi sapi perah di Sumatera Barat ma berkurang dari 25 bulan menjadi 21 bulan
dapat ditingkatkan dan memberikan kontribusi (Tozer and Heinrichs, 2001).
yang lebih besar dalam memenuhi kebutuhan Jarak beranak (calving internal) meru-
susu secara nasional. pakan jarak antara satu kelahiran dengan kela-
Produksi susu dan reproduksi merupa- hiran berikutnya. Melahirkan kembali disam-
kan dua hal yang tidak dapat dipisahkan ping menghasilkan pedet berarti juga kembali
karena keduanya merupakan faktor utama menghasilkan susu yang akan memberikan ke-
yang mempengaruhi efisiensi dan keuntungan untungan kepada peternak. Jarak beranak di-
usaha peternakan sapi perah (Bujko et al., pengaruhi oleh lamanya masa kosong (days
2012). Seekor sapi perah akan menghasilkan open). Semakin panjang masa kosong maka
susu setelah melahirkan dan akan berlanjut semakin panjang jarak beranak, berarti me-
jika proses reproduksi terus berlangsung. Jika nunda kesempatan peternak untuk menda-
proses reproduksi berjalan normal maka setiap patkan keuntungan yang berasal dari produksi
tahun seekor sapi perah dapat menghasilkan susu dan anak. Panjangnya jarak beranak ini
satu ekor anak dengan produksi susu normal akan menyebabkan lambatnya pertumbuhan
sesuai dengan potensi genetik masing-masing populasi sapi perah di Indonesia.
individu, sehingga pertumbuhan populasi Dalam upaya peningkatan populasi sapi
dapat mencapai tingkat yang optimal. Namun perah di Sumatera Barat maka dilakukan pe-
bila siklus reproduksi tidak berjalan secara nelitian yang bertujuan untuk mendapatkan
normal, maka selang beranak (calving inter- gambaran tentang performans reproduksi sapi
nal) menjadi panjang yang akan menyebab- perah yang meliputi umur beranak bertama
kan partumbuhan populasi menjadi lambat. (age at first calving), masa kosong (days

158 Performa Reproduksi Sapi Perah... (Reswati et al.)


Vol. 16 (3)

open) dan selang beranak (calving interval. (Statistical Product and Service Solution)
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat versi 12.
ditemukan permasalahan yang dihadapi dalam
pengembangan populasi usaha sapi perah di HASIL DAN PEMBAHASAN
Sumatera Barat dilihat dari aspek performa
Kondisi Umum
reproduksinya. Kabupaten 50 Kota merupakan salah
satu kabupaten di Sumatera Barat dengan
METODE topografi daerah yang bervariasi antara datar,
Penelitian ini dilaksanakan pada dua bergelombang dan berbukit-bukit dengan
daerah sentra sapi perah di Sumatera Barat ketinggian 110 ± 791 meter di atas permukaan
yaitu Kabupaten 50 Kota dan Kota Padang laut. Usaha peternakan PT. Situjuh Organik
Panjang. Usaha peternakan sapi perah yang Madani berada di kaki Gunung Sago sehingga
dipilih sebagai responden adalah PT. Situjuh berudara sejuk dengan suhu berkisar antara
Organik Madani yang terletak di Jorong 170±230 C (BPS Kabupaten 50 Kota, 2011)
Subarang Tabek Nagari Situjuah Banda yang sangat mendukung untuk pemeliharaan
Dalam Kecamatan Situjuah Limo Nagari sapi perah jenis Friesien Holstein (FH). Pada
Kabupaten 50 Kota dan usaha peternakan saat penelitian ini terdapat 56 ekor sapi yang
rakyat di Kota Padang Panjang. terdiri dari 5 ekor sapi simmental dan 51 ekor
Penelitian dilakukan dengan menggu- sapi FH (24 ekor induk, 3 ekor jantan, 13 ekor
nakan metode survey dan pengamatan lang- dara dan 11 ekor anak jantan dan betina)
sung ke lokasi usaha peternakan. Pemilihan dengan rataan produksi susu harian 10,15 kg
sampel dilakukan dengan teknik purposive per ekor.
sampling dengan memilih sapi yang telah Kota Padang Panjang adalah kota berha-
memasuki masa laktasi satu sampai dengan wa sejuk yang berada pada ketinggian 650-
empat. Data yang dikumpulkan adalah data 850 meter di atas permukaan laut dengan suhu
primer yang berasal dari catatan reproduksi berkisar antara 180-250C (BPS Kota Padang
sapi perah sebanyak 24 ekor di Kabupaten 50 Panjang, 2011). Terdapat gunung aktif yaitu
Kota dan 35 ekor di Kota Padang Panjang. Gunung Merapi sehingga memiliki tanah
Kemudian dilakukan wawancara dengan subur dan memungkinkan tumbuhnya hijauan
peternak menggunakan daftar pertanyaan pakan ternak dengan baik, juga menunjang
(kuisioner) serta pengamatan langsung di untuk pengembangbiakan sapi perah karena
lapangan. Sedangkan data sekunder diperoleh suhu udaranya yang sejuk. Karakteristik peter-
dari instansi terkait dan studi literatur. nak sapi perah di Kota Padang Panjang dapat
Variabel performa reproduksi yang di- dilihat pada Tabel 1.
amati adalah : 1) Umur beranak pertama (age Usaha peternakan sapi perah di Kota
at first calving) yaitu umur saat sapi pertama Padang Panjang ini merupakan peternakan
kali beranak yang dihitung dalam bulan, 2) rakyat yang umumnya tergabung dalam ke-
Masa kosong (Days Open) yang dihitung lompok tani. Peternak umumnya mendapat
mulai saat sapi melahirkan sampai terjadinya bantuan sapi jenis FH dari pemerintah dimulai
bunting kembali dan 3) Selang beranak (cal- sejak tahun 1981 sampai dengan sekarang. Ra-
ving interval) yaitu jarak kelahiran antara dua taan umur peternak 44,83 tahun dimana
anak yang dihitung dalam hari. Data yang di- 38,89% diantaranya berumur 25-40 tahun dan
peroleh dianalisa dengan menggunakan 61,11% berumur 41-60 tahun. Sebagian besar
analisa deskriptif yaitu dalam bentuk rataan peternak (77,77%) berpendidikan SLTA ke
dan standar deviasi. Untuk melihat perban- bawah sedangkan yang lainnya (22,23%) ber-
dingan antara performans reproduksi sapi pe- pendidikan diploma dan Sarjana. Tingkat pen-
rah yang ada di Kabupaten 50 Kota dan Kota didikan peternak di Kota Padang Panjang ini
Padang Panjang dilakukan Uji T dengan mem- lebih tinggi dari peternak sapi perah di Kebon
pergunakan program komputer SPSS Pedes Kota Bogor yang berpendidikan sarjana

Performa Reproduksi Sapi Perah... (Reswati et al.) 159


Vol. 16 (3)

Tabel 1. Karakteristik peternak dan usaha peternakan sapi perah di Kota Padang Panjang
No. Kriteria Rataan Persentase
1 Umur Peternak (tahun) 44,83
a. 25 ± 40 tahun 38,89
b. 41± 60 tahun 61,11
2 Pendidikan :
a. SLTA ke bawah 77,77
b. Diploma dan S1 22,23
3 Pengalaman usaha (tahun) 6,42
a. 1 ± 5 tahun 66,67
b. 6 ± 10 tahun 11,11
c. 10 ± 21 tahun 22,22
4 Kepemilikan ternak
a. Jumlah sapi yang dipelihara (ekor) 4,83
b. Jumlah Sapi Laktasi (ekor) 2,00

hanya sebanyak 3,23%, sedangkan sisanya dan anaknya dipelihara sebagai sapi potong
(96,77%) berpendidikan SD dan SLTA (Man- yang memiliki nilai jual tinggi. Mereka ber-
daka dan Hutagaol, 2005). Kemampuan untuk anggapan bahwa usaha penggemukan sapi po-
mengadopsi ilmu pengetahuan dipengaruhi tong akan menghasilkan keuntungan yang le-
oleh tingkat pendidikan peternak. Dengan se- bih besar dan cara pemeliharaannya pun tidak
makin tingginya tingkat pendidikan peternak, terlalu rumit dibandingkan dengan pemeliha-
maka cara berfikir peternak akan lebih maju raan sapi perah.
dan terbuka untuk menerima inovasi dalam Usaha peternakan sapi perah Padang
rangka pengembangan usaha mereka. Keterli- Panjang ini merupakan mata pencaharian uta-
batan mereka dalam usaha peternakan men- ma bagi sebagian (50,00%) peternak, sedang-
dukung program pemerintah dalam mencip- kan yang lainnya (50%) bermatapencarian uta-
takan lapangan pekerjaan sendiri dan diha- ma sebagai petani, PNS, pedagang dan jenis
rapkan dapat memberi motivasi bagi generasi pekerjaan lainnya. Rataan kepemilikan sapi
muda lainnya untuk berusaha. perah 4,83 ekor (3,16 satuan ternak) dengan
Pengalaman peternak dalam mengelola rataan jumlah sapi laktasi 2,00 ekor atau
usaha sapi perah di Kota Padang Panjang ini 41,41% dari rataan kepemilikan ternak.
6,42 tahun yang dibagi dalam tiga kelompok Sudono (2003) menyatakan bahwa usa-
pengalaman yaitu, 1-5 tahun (66,67%), 6 - 10 ha sapi perah baru akan memberikan keuntu-
tahun (11,11%) 10-21 tahun (22,22%). Bila ngan bila kepemilikan sapi laktasi 60% dari
dilihat dari sejarah perkembangan usaha peter- jumlah sapi yang dipelihara sehingga biaya
nakan sapi perah rakyat di Padang Panjang, pemeliharaan dapat ditutupi dengan penda-
semestinya banyak peternak yang berpe- patan yang diperoleh dari produksi susu dan
ngalaman lebih dari 10 tahun. Namun sebagi- memberikan keuntungan bagi peternak. Angka
an dari peternak yang ikut merintis pengem- kepemilikan sapi perah di Padang Panjang le-
bangan sapi perah di daerah ini tidak lagi bih rendah bila dibandingkan dengan rataan
memelihara sapi perah. Hal ini disebabkan kepemilikian sapi perah di Kecamatan Geta-
karena sulitnya pemasaran susu sehingga se- san Kabupaten Semarang sebanyak 5,45 ekor
bagian peternak sapi perah beralih ke usaha dengan rataan sapi laktasi 2,33 ekor (Mukson
budidaya sapi potong dengan mengembang- et al., 2009) namun lebih tinggi bila diban-
kan jenis sapi simmental. Induk-induk sapi dingkan dengan kepemilikan sapi perah di De-
perah yang mereka miliki disilangkan dengan sa Tajur Halang Bogor sebanyak4,07 ekor
sapi simental melalui inseminasi buatan (IB) (Krisna,2006).

160 Performa Reproduksi Sapi Perah... (Reswati et al.)


Vol. 16 (3)

Tabel 2. Performa reproduksi sapi perah di Kabupaten 50 Kota dan Kota Padang Panjang
No. Variabel Kab. 50 Kota Kota Padang
Panjang
1 Umur Beranak Pertama (Age at First Calving) (bulan) 31,63±6,37 30,17±4,10
2 Masa Kosong (Days Open) (hari) 260,63±147,04 192,26±114,04
3 Selang Beranak (Calving Interval) (hari) 548,63±168,30 477,26±114,04

Di Kabupaten Banyumas 3,27 ekor (Mastuti ada perbedaan (P>0,05) umur beranak perta-
dan Hidayat, 2009). Rataan produksi susu ma sapi perah di kedua daerah penelitian.
harian sapi perah di Padang Panjang 9,88 Hal ini disebabkan karena sistim perole-
kg±2,00 kg. han bibit sapi perahnya hampir sama dimana
Hasil penelitian yang dilakukan oleh peternak menerima sapi dalam keadaan bun-
Mukson, et al. (2009) menunjukkan bahwa se- ting 4-5 bulan. Bibit sapi perah yang dipeli-
cara umum faktor umur, pengalaman usaha, hara oleh PT. Situjuh Organik Madani di
pendidikan, jumlah sapi laktasi, jumlah ang- Kabupaten 50 Kota diperoleh dengan cara
gota rumah tangga, curahan tenaga kerja, pa- membeli langsung ke daerah Jawa Barat mela-
kan hijauan, pakan konsentrat dan luas kan- lui agen di daerah tersebut, sedangkan peter-
dang secara bersama-sama berpengaruh sangat nak di Kota Padang Panjang memperolah sapi
nyata terhadap kinerja usaha sapi perah ber- melalui Dinas Peternakan karena umumnya
dasarkan produksi susu. Selanjutnya dijelas- sapi yang mereka pelihara adalah sapi bantuan
kan bahwa secara parsial jumlah ternak laktasi pemerintah. Bibit sapi yang telah bunting 4-5
berpengaruh sangat nyata (P<0,01), umur pe- bulan akan melahirkan setelah beberapa bulan
ternak berpengaruh nyata (P<0,05), sedangkan dipelihara oleh peternak. Namun ada beberapa
pendidikan dan curahan tenaga kerja berpe- ekor sapi yang mengalami keguguran akibat
ngaruh nyata pada taraf 10% terhadap kinerja perjalanan jauh dari daerah asalnya sehingga
usaha sapi perah. peternak harus mengawinkannya kembali de-
ngan cara inseminasi buatan (IB) di farm me-
Umur Beranak Pertama (Age at First
reka masing-masing. Hal ini akan memper-
Calving)
Hasil penelitian tentang performa repro- panjang umur beranak pertama yang tentunya
duksi sapi perah di Kabupaten 50 Kota dan juga akan menambah biaya pemeliharaan.
Kota Padang Panjang dapat dilihat pada Tabel Faktor lain yang dapat menjadi penyebab la-
2. Rataan umur beranak pertama sapi perah di manya umur beranak pertama adalah keter-
Kabupaten 50 Kota dan Kota Padang Panjang lambatan peternak pemilik di daerah asalnya
masing-masing 31,63±6,37 bulan dan 30,17± untuk mengawinkan sapi dara disebabkan
4,10 bulan. Umur beranak pertama ini masih kondisi tubuh sapi yang kecil atau lambatnya
termasuk dalam kategori baik berdasarkan dewasa kelamin.
standar Ditjen Peternakan (1992) yaitu antara Keputusan tentang kapan seekor sapi
2,5±3 tahun, namun berdasarkan hasil pene- mulai dikawinkan biasanya didasarkan teru-
litian Froidmont et al. (2012) umur beranak tama pada usia dan kondisi tubuh sapi yang
pertama yang terbaik yaitu pada umur 22±26 juga dipengaruhi oleh tingkat nutrisi ransum
karena akan menghasilkan produksi susu yang dan kesehatan sapi. Pertumbuhan yang buruk
selama periode pemeliharaan disebabkan nut-
maksimal pada laktasi pertama. Umur beranak
pertama di Kabupaten 50 Kota dan Kota risi yang rendah dan atau penyakit akan me-
Padang Panjang lebih lambat dari hasil nyebabkan pertumbuhannya terganggu dan
penelitian Sopiyana (2006) dan Atabany, et al. tertundanya dewasa kelamin (Tozer dan
(2011) yaitu pada umur 29,13 bulan dan 28,7 Heinrichs, 2001; Brickell et al., 2009). Sudo-
bulan. Hasil uji t menunjukkan bahwa tidak no (2003) menyatakan bahwa sapi yang men-
dapat nutrisi yang baik setelah sapih dapat
mencapai dewasa kelamin pada umur 9±11

Performa Reproduksi Sapi Perah... (Reswati et al.) 161


Vol. 16 (3)

bulan sehingga dapat beranak pada umur 2 yang terlalu pendek kurang dari 85 hari akan
tahun, sedangkan sapi yang mendapat nutrisi memperpendek panjang laktasi yang berakibat
yang buruk baru akan dewasa kelamin pada kepada berkurangnya jumlah produksi susu
umur 18±20 bulan. Asupan protein dan energi pada laktasi yang sedang berjalan (Kusnadi
merupakan faktor yang paling mempengaruhi dan Juarni 2007). Bertambahnya masa kosong
kondisi tubuh sapi, ketersediaan energi yang di atas 165 hari akan meningkatkan produksi
tidak memadai dalam ransum akan menunda susu (Atabany et al., 2011). Panjangnya masa
dewasa kelamin pada sapi dara (Graves dan kosong pada sapi perah di Kabupaten 50 Kota
McLean, 2003). Jika sapi dara yang baru dan Kota Padang Panjang antara lain disebab-
memulai siklus reproduksi normal mendapat kan karena : 1) lamanya muncul berahi kem-
ransum yang defisiensi energi, akan menye- bali setelah melahirkan; 2) kurangnya penge-
babkan siklus reproduksinya terhenti tahuan peternak dalam mendeteksi estrus
(Lanyasunya et al., 2005). setelah melahirkan; dan 3) terjadinya kawin
Menurut Tozer dan Heinrichs (2001) berulang. Menurut Stevensen (2001) penyebab
mempercepat umur beranak pertama akan panjangnya masa kosong terjadi karena
mengurangi biaya pemeliharaan sapi dara. gangguan fisiologis (reproduksi), keterlamba-
Beranak pertama pada umur <24 bulan akan tan IB, berahi tenang sehingga sulit mendetek-
memberikan keuntungan ekonomi dengan sinya dan teknik IB yang kurang baik. Peter-
dampak minimal pada kemampuan laktasi nak di Kabupaten 50 Kota maupun di Kota
selama sapi diberi makan dengan baik sebe- Padang Panjang mengeluhkan sering terjadi-
lum pubertas dan mencapai bobot badan yang nya kegagalan IB sehingga service per
memadai pada saat melahirkan (Amburgh, et conception menjadi tinggi. Panjangnya masa
al., 1998). Dari hasil penelitian yang dilaku- kosong ini akan berakibat kepada panjangnya
kan Tozer dan Henirichs (2001), biaya peme- selang beranak. Petugas kesehatan hewan
liharaan akan berkurang 18% jika umur sapi setempat mengatakan bahwa seringnya terja-
beranak pertama dipercepat dari 25 bulan di kegagalan IB karena : 1) hipofungsi ova-
menjadi 21 bulan. Namun hasil penelitian rium yang ditunjukkan dengan permukaan
Hoffman et al. (1996) mempercepat umur ovarium yang licin karena tidak adanya
beranak pertama dibawah umur 23 bulan pertumbuhan folikel yang menyebabkan tidak
umumnya menyebabkan menurunnya pro- munculnya gejala berahi (anestrus) setelah
duksi susu selama laktasi pertama, sedangkan melahirkan; 2) kurang lancarnya komunikasi
menunda waktu beranak pertama sampai 26,5 antara peternak dengan inseminator sehingga
bulan meningkatkan produksi susu pada waktu inseminasi tidak tepat. Ketidaksuburan
laktasi pertama sebanyak 275 kg dibandingkan ternak adalah salah satu faktor penyebab
dengan sapi yang beranak pertama pada umur kerugian dalam usaha peternakan sapi perah.
23,3 bulan. Lanyasunya, et al. (2005) menyatakan bahwa
efisiensi reproduksi yang tinggi pada suatu
Masa Kosong (Days Open)
usaha ternak sapi perah tergantung kepada
Masa kosong sapi perah di Kabupaten
nutrisi dan manajemen yang baik. Dalam
50 Kota dan Kota Padang Panjang seperti
penelitiannya dijelaskan bahwa selain defisi-
yang terlihat pada Tabel 2. masing-masing
ensi energi dan protein, defisiensi mineral juga
260,79±146,90 dan 192,26±114,04. Masa
sangat terkait dalam menurunkan performans
kosong ini jauh lebih panjang dari hasil pene-
reproduksi sapi perah. Hardjopranjoto (1995)
litian Leksnawati (2009) dan Atabany, et al.
menguraikan bahwa kejadian kawin berulang
(2011) pada sapi perah di Boyolali dan
pada sapi perah sering terjadi pada perkawinan
Purwokerto yaitu masing-masing 103±19,92
dengan inseminasi buatan dibandingkan
hari dan 138,8±7,9 hari. Dela Rosa (2002)
perkawinan alam, dan hal ini lebih sering
menyatakan bahwa selang beranak 12-13
terjadi pada induk yang telah beberapa kali
bulan dapat terlaksana bila masa kosong
melahirkan yang disebabkan karena kondisi
berkisar antara 85-115 hari. Masa kosong

162 Performa Reproduksi Sapi Perah... (Reswati et al.)


Vol. 16 (3)

lingkungan uterus pada sapi yang tua semakin dan produksi susu semakin tertunda. Dengan
kurang serasi untuk kehidupan embrio. selang beranak 12-13 bulan, peternak akan
Menurut Royal et al. (2000) kegagalan mendapatkan keuntungan yang optimal. Di-
kebuntingan dapat menggambarkan adanya samping itu tingkat kelahiran dan pertamba-
disfungsi hypotalamus, kelenjar pituitary, han populasi sapi perah secara nasional dapat
ovarium, uterus maupun kematian embrio ditingkatkan.
dini. Pada induk normal sering menjadi penye- Selang beranak yang panjang dapat dise-
bab kawin berulang karena pada dasarnya babkan oleh panjangnya masa kosong. La-
embrio sampai umur 40 hari kondisinya masih manya kebuntingan juga akan menentukan
labil dan mudah dipengaruhi oleh lingkungan panjangnya selang beranak (Nurjadi dan Wah-
yang tidak serasi atau kekurangan pakan. juningsih, 2011). Panjangnya selang beranak
Hasil uji t memperlihatkan bahwa tidak sapi perah di Kabupaten 50 Kota dan Kota
ada perbedaan (P>0,05) masa kosong antara Padang Panjang ini disebabkan karena lama-
sapi perah di Kabupaten 50 Kota dan Kota nya waktu kosong seperti terlihat di atas
Padang Panjang. Hal ini disebabkan karena bahwa masa kosong sapi perah di kedua
permasalahan yang dihadapi oleh kedua usaha daerah ini cukup panjang yaitu 260,79±146,90
peternakan ini hampir sama yaitu 1) tingginya dan 192,26±114,04. Tidak ada perbedaan
angka service per conception; dan 2) kualitas antara selang beranak sapi perah di Kabupaten
makanan yang rendah sehingga kemungkinan 50 Kota dan Kota Padang Panjang (P>0,05).
adanya gangguan reproduksi karena kekura- Hal ini disebabkan karena tatalaksana pemeli-
ngan nutrisi. haraan sapi perah di kedua daerah ini tidak
jauh berbeda dalam pemilihan bibit, manaje-
Selang Beranak (Calving Interval)
Selang beranak sapi perah di Kabupaten men pakan dan manajemen reproduksi. Di-
50 Kota dan Kota Padang Panjang masing- samping itu masa kosong sapi perah di kedua
masing 561,00±168,30 hari dan 492,86± daerah ini secara statistik tidak berbeda
128,38 hari. Selang beranak merupakan salah sehingga selang beranak pun tidak berbeda.
satu yang menjadi faktor dalam penilaian pe-
nampilan reproduksi. Selang beranak di Ka- KESIMPULAN
bupaten 50 Kota dan Kota Padang Panjang ti- Hasil penelitian menunjukkah bahwa
dak termasuk dalam rentang yang ideal karena performa reproduksi sapi perah di Kabupaten
menurut Sudono (2003) selang beranak yang 50 Kota dan Kota Padang Panjang yang terdiri
optimal adalah 12±13 bulan. Selang beranak dari umur beranak pertama (Age of First Ca-
sapi perah di kedua daerah ini lebih lama bila lving), masa kosong (Days Open) dan selang
dibandingkan dengan hasil penelitian Iskandar beranak (Calving Interval) secara statistik ti-
dan Farizal (2011), dan Sopiyana (2006) de- dak menunjukkan adanya perbedaan (P>0,05).
ngan rataan selang beranak sapi perah di Rataan umur beranak pertama, masa kosong
daerah penelitiannya berturut-turut 377 hari dan selang beranak sapi perah di Kabupaten
dan 376,03 hari. Rendahnya tingkat pertamba- 50 Kota berturut-turut adalah 31,63±6,37
han populasi sapi perah di Indonesia sebagai bulan, 260,63±147,04 hari dan 548,63±168,3
akibat menurunnya tingkat kelahiran yang di- hari, sedangkan di Kota Padang Panjang
sebabkan oleh selang beranak yang melebihi berturut-turut 30,17±4,10 bulan, 192,26±
12 bulan (Siregar, 2003). Ball dan Peters 114,04 hari dan 477,26±114,04 hari. Performa
(2004) menyatakan bahwa efisiensi Repro- reproduksi ini belum baik karena melebihi
duksi dikatakan baik apabila seekor induk sapi waktu yang optimal untuk ketiga variabel
dapat menghasilkan satu pedet dalam satu ta- tersebut. Dalam upaya pengembangan dan
hun. Semakin lama selang beranak maka biaya peningkatan populasi sapi perah di Sumatera
pemeliharaan yang dikeluarkan oleh peternak Barat permasalahan ini perlu diatasi dengan
semakin tinggi dan kesempatan untuk men- pembenahan tatalaksana pemeliharaan
dapatkan kentungan dari pedet yang dilahirkan

Performa Reproduksi Sapi Perah... (Reswati et al.) 163


Vol. 16 (3)

sehingga performans reproduksi sapi perah National Congress of Buiatria of the


menjadi optimal. Mexican Assosiation of Doctor
Specialist Veterinarians in Bovine.
DAFTAR PUSTAKA Acapulco, Mexico.
Amburgh, V. M. E., D. M. Galton, D. E. Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Barat.
Bauman, R. W Everett, D. G. Fox, L. E. 2012. Data base peternakan propinsi
Chase, and H. N. Erb. 1998. Effects of sumatera barat tahun 1996 s/d 2005.
three prepubertal body growth rates on dinas peternakan Provinsi Sumbar. Pa-
performance of Holsteinheifersduring dang.
first lactation. J. Dairy Sci. 81:527±538. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Atabany, A., B.P. Purwanto, T.Toharmat, dan Hewan. 2013. Data 5 tahun subsektor
A. Anggraeni. 2011. Hubungan masa peternakan ditjen peternakan dan kese-
kosong dengan produktivitas pada sapi hatan hewan kementerian pertanian re-
perah friesian holstein di Baturraden, publik indonesia, Jakarta.
Indonesia. Media Peternakan-Journal of Ditjen Peternakan. 1992. Pedoman identifikasi
Animal Science and Technology faktor penentu teknis peternakan. Pro-
34(2):77-82. yek Peningkatan Produksi Peternakan.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lima Puluh Diklat Peternakan, Jakarta.
Kota. 2011. Kabupaten Lima Puluh Froidmont, E., P. Mayeres, P. Picron, A.
Kota dalam Angka. Badan Pusat Sta- Turlot, V. Planchon, & D. Stilmant.
tistik Kabupaten Lima Puluh Kota. 2012. Association between age at first
Badan Pusat Statistik Kota Padang Panjang. calving, year and season of first calving
2011. Padang Panjang dalam Angka. and milk production in Holstein cows.
Badan Pusat Statistik Kota Padang Pan- Animal 7(04): 665-672.
jang. Graves, W.M. and A.K. McLean. 2003.
Ball, P. J., and A.R. Peters. 2004. Reproduc- Improving dairy heifer reproduction ma-
tion in Cattle. Blackwell Publishing. nagement cooperative extension service.
Australia. University of Gerogia College of Agri-
culture and Environemtal Science.
Brickell, J.S., N. Bourne, M.M. McGowan,
Bulletin 1235/July 2003 1-4.
and D.C. Wathes. 2009. Effect of
growth and development during the Hardjopranjoto, S. 1995. Ilmu Kemajiran pada
rearing period on the subsequent fertility Ternak. Airlangga University Press,
of nulliparous Holstein-Friesian heifers. Surabaya.
Theriogenology 72:408-416. doi:10. Heinrichs, A.J., 1993. Raising Dairy Repla-
1016/j.theriogenology.2009.03.015 cement to meet the needs of the 21st cen-
Bujko, J., J. Candrák, P. Strapák, J. äLWQê tury. J. Dairy Sci. 76:1254-1260.
C. +UQþiU (YDOXDWLRQ RI UHOD- Hoffman, P.C., N.M. Brehm, S.G. Price, and
tionship between traits of milk produc- A. Prill-Adema. 1996. Effect of
tion and reproduction traits in dairy ccelerated growth and early calving on
cows of the Slovak spotted breed. lactation performance of primiparous
Scientific Papers Animal Science and Holstein heifer. J. Dairy Sci. 79:2024-
Biotechnologies 45(1):115-120. 2031.
De la Rosa, R.R.M.A., G.F. Osnaya and G.R. Iskandar dan Farizal. 2011. Prestasi repro-
Perez. 2002. Integral analysis of the duksi sapi persilangan yang dipelihara di
days opened up in the reproductive dataran rendah dan dataran tinggi Jambi.
efficiency of cluster milkman. XXVI

164 Performa Reproduksi Sapi Perah... (Reswati et al.)


Vol. 16 (3)

Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri mempengaruhi kinerja usaha ternak sapi
Sains 13(1):25-28. perah rakyat di Kecamatan Getasan
Kabupaten Semarang. Prosiding Semi-
Krisna, R. dan E. Manshur. 2006. Tingkat
nar Nasional Kebangkitan Peternakan.
kepemilikan sapi (skala usaha)peter-
Semarang.
nakan dan hubungannya dengan keun-
tungan usaha tani ternak pada kelompok Nurjadi dan S.Wahyuningsih. 2011. Penam-
tani ternak sapi perah di desa Tajur pilan reproduksi sapi peranakan ongole
Halang Bogor. Jurnal Penyuluhan Perta- dan peranakan limousin di Kabupaten
nian Vol.1 No.1, Mei 2006. Malang. Jurnak Ternak Tropika 12(1)
:76-81.
Kusnadi, U dan, E Juarni. 2007. Optimalisasi
pendapatan usaha pemeliharaan sapi Pirlo, G., F. Miglior and M. Speroni. 2000
perah dalam upaya peningkatan produk- Effect of age at first calving on produc-
si susu nasional. Wartazoa Vol 17 No. 2 tion traits and on difference be-tween
Tahun 2007. Balai Penelitian Ternak. milk returns and rearing costs in Italian
Bogor. Holsteins. Journal of Dairy Science
83:606-608.
Lanyasunya, T. P., H.H. Musa, Z.P. Yang,
D.M. Mekki, & E.A. Mukisira. 2005. Royal, M.D., A.O. Darwash, A.P.F. Flint, R.
Effects of poor nutrition on reproduction Webb, J.A. Woolliams and G.E.
of dairy stock on smallholder farms in Lammbing. 2000. Declining fertility in
the tropics. Pakistan Journal of Nutrition dairy cattle : changes in traditional and
4(2):117-122. endocrine parameters of fertility. Anim.
Sci. 70:487-501.
Leksnawati, A.Y. 2009. Penampilan repro-
duksi induk sapi perah peranakan Siregar, S. B. 2003. Peluang dan tantangan
Friesian Holstein di Kelompok Ternak peningkatan produksi susu nasional.
KUD Mojosongo Boyolali. Digital Lib- Wartazoa 13(2):48-55.
rary Perpustakaan Digital Universitas
Sopiyana, S. 2006. Analisis penerapan aspek
Sebelas Maret. http://digilib.uns.ac.id teknis peternakan pada berbagai skala
/abstrak_11463_penampilan-reproduksi-
usaha peternakan sapi perah di Kabupa-
induk-sapi-perah-peranakan-friesian-
ten Garut Jawa Barat. Animal Produc-
holstein-di-kelompok-ternak-kud-
tion Vol.8 (3):216-225.
mojosongo-boyolali.html.
Stevensen, J.S. 2001. Reproductive mana-
Mandaka, S., dan M. P. Hutagaol. 2005.
gement of dairy cows in high milk pro-
Analisis fungsi keuntungan, efisiensi
ducing herds. J. Dairy Sci. 84
ekonomi dan kemungkinan skema kredit
(E.Suppl.): E128-E143.
bagi pengembangan skala usaha peterna-
kan sapi perah rakyat di Keluraharan Sudono, A., Rosdiana, R. Fina dan B. Setia-
Kebon Pedes, Kota Bogor. Jurnal Agro wan. 2003. Beternak Sapi perah Secara
Ekonomi 23(2):191-208. Intensif. Penerbit Agro Media Pustaka.
Jakarta.
Mastuti, S., dan N.N. Hidayat. 2009. Peranan
tenaga kerja perempuan dalam usaha Tozer, P. R., and A. J. Heinrichs. 2001. What
ternak sapi perah di Kabupaten affects the costs of raising replacement
Banyumas. Animal Prod. 11:40-47. dairy heifers: A multiple-component
analysis. J. Dairy Sci. 84:1836±1844.
Mukson, T. Ekowati, M. Handayani dan D.W.
Harjanti. 2009. Faktor-faktor yang

Performa Reproduksi Sapi Perah... (Reswati et al.) 165

Anda mungkin juga menyukai