Anda di halaman 1dari 34

Laporan Kasus

ASMA BRONKHIAL

Disusun Oleh :
Muhammad Rofi
NIM. 2008437662

Pembimbing:
dr. Sri Indah Indriani, Sp.P

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PULMONOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD
PEKANBARU
2021

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Asma merupakan penyakit saluran napas kronik yang ditandai dengan
gejala bervariasi yaitu dari mengi, sesak napas, rasa berat di dada dan atau batuk.
Asma umumnya mengenai 1-18% populasi dan kecenderungan terjadi
peningkatan prevalensi asma di berbagai negara. Asma sebagai gangguan
inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya.1
World Health Organization (WHO) memperkirakan pada tahun 2019
terdapat 262 juta orang menderita asma di seluruh dunia dan terdapat angka
kematian sebanyak 461.000 orang.2 Berdasarkan Global Asthma Report pada
tahun 2018, penyakit asma termasuk 15% penyebab kematian di dunia. Angka
kejadian asma diperkirakan terjadi pada 339 juta orang di seluruh dunia.3
National Health Interview Survey di Amerika Serikat memperkirakan
bahwa setidaknya 6,5 juta orang orang mengalami asma. Di Indonesia kasus asma
rawat inap terbesar terdapat di Provinsi Jawa Timur (7.942 kasus) sedangkan
Provinsi Papua memiliki kasus rawat inap terendah (15 kasus). Di Riau, jumlah
kasus rawat inap penyakit asma pada tahun 2017 adalah 1.341 kasus, sedangkan
jumlah kasus rawat jalan penyakit asma adalah 10.122 kasus.4
Asma dapat terjadi pada berbagai kelompok usia. Keluhan asma dapat
dicetuskan oleh berbagai faktor seperti pajanan alergi/iritan, perubahan cuaca
serta infeksi virus. Asma berhubungan dengan hiperaktivitas saluran napas, baik
terhadap stimulus langsung dan tidak langsung. Penyakit ini mempunyai dampak
sosial pada pasien, yaitu mengganggu aktivitas dan menurunkan produktivitas,
serta meningkatkan biaya kesehatan. Gejala dan obstruksi saluran napas dapat
segera berkurang dengan obat-obatan bahkan dapat mengalami bebas serangan
dalam hitungan pekan atau bulan. Tujuan penatalaksanaan asma adalah
menjadikan asma terkontrol sehingga kualitas hidup pasien meningkat.1

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Menurut Global Initiative For Asthma (GINA) asma adalah suatu penyakit
heterogen dengan karakteristik adanya inflamasi saluran napas kronik yang di
tandai dengan mengi, nafas yang pendek, dada terasa berat dan batuk yang terjadi
secara episodik dan dipengaruhi oleh faktor pencetus. Gejala dapat di penggaruhi
dan diperburuk oleh beberapa faktor seperti infeksi virus, alergen, merokok,
olahraga dan stres.5
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mendefinisikan bahwa asma
memiliki karakteristik inflamasi kronik saluran napas. Penyakit ini ditandai
dengan riwayat gejala pernapasan mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk
yang bervariasi dalam hal waktu dan intensitas, disertai dengan variasi hambatan
aliran udara ekspirasi. Asma berhubungan dengan hiperaktivitas saluran napas.
Hiperaktivitas dan inflamasi dapat terjadi terus menerus, tetapi dapat membaik
dengan pengobatan.1

2.2 Faktor Risiko


Faktor risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor
pejamu (host faktor) dan faktor lingkungan. Kemungkinan terjadinya interaksi
faktor genetik / pejamu dengan lingkungan dapat dipikirkan melalui1 :
• Pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan
genetik asma.
• Baik lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko
penyakit asma.

3
Gambar. Interaksi faktor genetik dan lingkungan pada kejadian asma

A. Faktor Pejamu
Asma sebagai penyakit yang diturunkan telah dibuktikan dari berbagai
penelitian. Faktor genetik merupakan predisposisi untuk berkembangnya asma.
Fenotip berkaitan dengan asma, dikaitkan dengan ukuran subjektif (gejala) dan
objektif (hipereaktivitas bronkus, kadar IgE serum) dan atau keduanya. Adapun
faktor pejamu penyakit asma adalah sebagai berikut1:
1. Predisposisi genetik
2. Alergik (atopi)
3. Hiperaktivitas bronkus
4. Inflamasi jalan napas
5. Jenis kelamin
6. Ras/etnik
7. Hipotesis higiene
8. Obesitas
9. Depresi

B. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan dibagi menjadi dua yaitu yang mempengaruhi dengan
kecendrungan atau predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma, dan yang
menyebabkan eksaserbasi (serangan) dan menyebabkan gejala menetap.1

4
a. Faktor lingkungan yang mempengaruhi berkembangnya asma pada individu
dengan predisposisi asma
1. Alergen di dalam ruangan à alergen binatang, alergen kecoa, jamur ,
tungau debu rumah, bulu binatang
2. Alergen di luar ruangan à tepung sari bunga, jamur
3. Bahan lingkungan kerja
4. Asap rokok à perokok aktif dan perokok pasif
5. Polusi udara à polusi udara di luar dan di dalam ruangan
6. Infeksi parasit
7. Status sosioekonomi
8. Besar keluarga
9. Diet dan obat
10. Microbiome
11. Obesitas
b. Faktor lingkungan mencetuskan eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-
gejala asma menetap
1. Alergen di dalam dan di luar ruangan
2. Polusi udara di dalam dan di luar ruangan
3. Infeksi pernapasan
4. Exercise dan hiperventilasi
5. Perubahan cuaca
6. Sulfur dioksida
7. Makanan, aditif (pengawet, penyedap, pewarna makanan), obat
8. Ekspresi emosi yang berlebihan
9. Asap rokok
10. Iritan (parfum, bau-bau merangsang, household spray)

2.3 Klasifikasi
Klasifikasi pada asma baik saat serangan akut maupun berdasarkan berat
penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka
panjang, karena semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan.1

5
a. Derajat Asma pada Keadaan Stabil Sebelum Pengobatan
Derajat
Gejala Gejala Malam Faal Paru
Asma
Intermiten Bulanan: ≤ 2 kali sebulan APE ≥80%
* Gejala <1x/minggu * VEP1 ≥80% nilai
* Tanpa gejala di prediksi APE ≥80% nilai
luar serangan terbaik
* Serangan * Variabilitas APE <20%
singkat
Persisten Mingguan: > 2 kali APE > 80%
Ringan * Gejala sebulan * VEP1 ≥ 80% nilai
>1x/minggu, tetapi prediksi APE ≥ 80%
< 1x/hari nilai terbaik
* Serangan dapat * Variabilias APE 20-30%
mengganggu aktivitas
dan tidur

Persisten Harian: > 1x seminggu APE 60 – 80%


Sedang * Gejala setiap hari * VEP1 60-80% nilai
* Membutuhkan prediksi APE 60-80%
bronkodilator setiap nilai terbaik
hari * Variabilitas APE >30%
* Serangan
mengganggu
aktivitas dan tidur
Persisten Terus-menerus: Sering APE ≤ 60%
Berat * Gejala terus menerus * VEP1≤60% nilai
* Sering kambuh prediksi APE ≤60%
* Aktivitas fisik nilai terbaik
terbatas * Variabilitas APE >30%

Tabel 1. Klasifikasi derajat berat asma pada keadaan stabil sebelum pengobatan

b. Derajat Berat Eksaserbasi Asma


Berat Serangan Akut
Gejala dan Tanda
Keadaan Mengancam
Ringan-sedang Berat
jiwa

Berbicara Frasa Kata per kata

Posisi Duduk Duduk membungkuk Penurunan kesadaran,


silent chest, pernapasan
Kesadaran Tidak agitasi Agitasi paradoksal

Frekuensi napas Meningkat <30 >30 kali/menit

6
kali/menit

Otot bantu napas Tidak ada Ada

Frekuensi nadi 100-120 kali/menit >120 kali/menit

Saturasi <90-95% <90%

APE >50% nilai prediksi <50% nilai prediksi

Tabel 2. Klasifikasi derajat berat eksaserbasi asma

Fenotipe Asma
a. Asma Alergi
Fenotipe asma yang paling mudah dikenali, sering dimulai sejak masa
kanak-kanak, berhubungan dengan riwayat alergi dalam keluarga seperti
eksim, rhinitis alergi dan alergi makanan serta obat-obatan. Pemeriksaan
induksi sputum pada pasien ini sebelum pengobtan menunjukkan inflamasi
eosinophil di saluran napas. Asma jenis ini memiliki respons terapi yang
baik dengan kortikosteroid inflamasi
b. Asma Nonalergi
Beberapa orang dewasa memiliki asma yang tidak berhubungan dengan
alergi. Gambaran sel dari sputum pasien ini dapat bersifat neutrofilik,
eosinofilik atau hanya mengandung beberapa sel inflamasi
(pausigranulositik). Pasien kategori ini memiliki respons yang kurang baik
dengan kortikosteroid inflamasi.
c. Asma Awitan (onset) lambat
Sebagian pasien asma dewasa khususnya perempuan, mengalami asma
pertama kali pada usia dewasa. Pasien ini cenderung tidak memiliki riwayat
alergi dan membutuhkan terapi kortikosteroid dosis tinggi.
d. Asma dengan Obstruksi Saluran Napas
Pasien asma yang mempunyai gejala demam dalam jangka waktu lama
menyebabkan terjadinya obstruksi saluran napas yang menetap yang diduga
disebabkan oleh remodelling saluran napas.

7
e. Asma dengan Obesitas
Beberapa pasien asma dengan obesitas memiliki keluhan pernapasan yang
menonjol dan inflamasi saluran napas eosinophil yang sedikit.

2.4 Patofisiologi
Patofisiologi pada asma melibatkan tiga hal yaitu inflamasi saluran napas,
hiperplasia otot polos dan obstruktif saluran napas. Peradangan kronik saluran
napas pada asma tidak hanya sebatas inflamasi alergik, akan tetapi merupakan
proses respons imun yang melibatkan respons innate dan adaptive. Selain itu
peradangan kronik saluran napas tersebut tidak hanya melibatkan sel-sel inflamasi
dengan mediator-mediator inflamasinya, tetapi juga melibatkan jaringan dan sel
tubuh seperti otot polos bronkus (airway smooth muscles/ASM), dan sel epitel
saluran napas.1
Respon imun innate mempunyai peran penting pada proses inflamasi
asma. Sel dendritik mengekspresikan reseptor-reseptor sistem imun innate dan
berpotensi menangkap alergen serta memprosesnya menjadi peptida-peptida kecil
untuk dipresentasikan kepada sel limfosit T melalui MHC I, MHC II dan reseptor
sel T. Pada asma alergik, sel dendritik mempresentasikan alergen kepada sel T
(CD4) yang menginduksi terbentuknya Th (t helper) dengan sitokin-sitokinnya
terutama IL-4, IL-5 dan IL-13 yang kemudian menstimulasi sel limfosit B
sehingga terjadi proliferasi dan terbentuk antibodi yaitu igE, igE akan berikatan
dengan sel mast yang mana sel mast memiliki reseptor yang mampu berikatan
dengan igE.1
Sel mast berasal dari epitel dan lamina propria. Sel mast mengeluarkan
mediator inflamasi berupa histamin, prostaglandin dan leukotrien sehingga
terjadilah degradasi dan akibatnya menyebabkan epitel merenggang sehingga
sitokin berikatan dengan saraf vagus. Sehingga menstimulasi pengiriman sinyal
dan merangsang pengeluaran asetilkolin yang dapat menyebabkan
bronkokontriksi pada otot polos. Sel mast juga dapat memanggil sel-sel imun
yang lain seperti neutrofil dan eosinofil. Netrofil mengeluarkan sitokin-sitokin
inflamasi yang juga dapat menyebabkan bronkokontriksi dan merangsang

8
pembentukan mukus yang berlebihan sehingga menyebabkan obstruksi saluran
napas dan hiperplasia otot polos.1
Pada asma non alergik, inflamasi eosinofilik terjadi melalui jalur polutan,
bakteri, glikolipid yang menginduksi pelepasan Pelepasan IL-5 dan IL-13 dapat
menyebabkan peningkatan eosinofil, yang dapat menyebabkan hipersekresi
mukus dan hiperaktivasi saluran napas, hal ini menyebabkan late onset eosinofilik
pada asma (kekambuhan pada asma yang terjadi 4-6 jam terpapar ya antigen).1

2.5 Diagnosis
Anamnesis
Penegakkan diagnosis asma dilakukan dengan mengidentifikasi
karakteristik gejala respirasi seperti mengi, sesak, dada terasa berat, atau batuk
dan hambatan aliran udara yang bervariasi. Pola gejala yang dialami oleh pasien
perlu digali lebih dalam karena gejala tersebut juga dapat disebabkan oleh
gangguan saluran napas lain. Hal yang perlu diperhatikan antara lain adalah saat
pasien mengalami gejala tersebut untuk pertama kalinya, apakah gejala tersebut
membaik secara spontan atau dengan pengobatan, atau bila pasien sudah
terdiagnosis asma sebelumnya (perlu ditanyakan kapan pasien memulai terapi).1
Gejala-gejala berikut merupakan karakteristik asma, antara lain:1
• Lebih dari 1 gejala (mengi, sesak, batuk dan dada terasa berat) terutama pada
orang dewasa
• Gejala umumnya lebih berat pada malam atau awal pagi hari
• Gejala bervariasi menurut waktu dan intensitas
• Gejala dicetuskan oleh infeksi virus (flu), aktivitas fisik, pajanan alergen,
perubahan cuaca, emosi, serta iritan seperti asap rokok atau bau yang
menyengat
Gejala-gejala yang mengurangi kecurigaan terhadap asma antara lain adalah1 :
• Batuk tanpa disertai gejala pernapasan lainnya
• Produksi sputum kronik
• Sesak berhubungan dengan rasa kantuk, kepala terasa ringan atau kesemutan
• Nyeri dada
• Inspirasi dengan suara napas yang cukup keras dan dipicu oleh aktivitas fisis

9
Gejala pemapasan pada asma seringkali dimulai sejak masa kanak-kanak.
Ada riwayat rinitis alergi atau eksim kulit atau riwayat asma maupun alergi dalam
keluarga meningkatkan kemungkinan terjadinya gejala perapasan terkait dengan
asma. Walaupun demikian, kondisi tersebut tidak spesifik untuk asma dan belum
tentu ditemukan pada semua fenotip asma. Pasien dengan rinitis alergi atau
dermatitis atopik sebaiknya ditanyakan lebih lanjut mengenai ada tidaknya gejala
pemapasan.1

Pemeriksaan Fisik1
a. Pemeriksaan fisik pada asma bervariasi dari normal pada saat stabil (tidak
eksaserbasi), sampai didapatkan gambaran klinis yang berat yaitu pada
eksaserbasi akut berat.
b. Kelainan pemeriksaan fisik yang paling sering ditemukan adalah mengi pada
auskultasi, merupakan tanda terdapatnya obstruksi jalan nafas. Wheezing pada
umumnya bilateral, polifonik dan lebih terdengar pada fase ekspirasi.
c. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan
hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi
penderita bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk
mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan
dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi.
d. Pada beberapa pasien, pemeriksaan fisik dapat tidak terdengar mengi atau
hanya terdengar jika melakukan ekspirasi paksa. Hal itu menunjukkan
obstruksi jalan nafas yang tidak berat, sehingga intensitas bunyi nafas
tambahan tersebut (mengi) tidak keras, nada tidak tinggi dan hanya terdengar
pada 1 fase pernafasan (ekspirasi). Semakin berat obstruksi jalan nafas
semakin tinggi nadanya dan semakin keras intensitasnya dan terdengar pada
kedua fase pernafasan (inspirasi dan ekspirasi).
e. Pada serangan yang sangat berat mengi dapat tidak terdengar. Pada obstruksi
jalan nafas yang sangat berat mengi dapat tidak terdengar (silent chest), tetapi
biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi,
hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas.

10
Pemeriksaan Penunjang1
1. Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa (VEP1) dan kapasitas vital paksa (KVP)
melalui prosedur standar bergantung pada kemampuan penderita. Untuk
mendapatkan nilai akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang
reproducible dan acceptable. Pemeriksaan VEP1/KVP lebih baik
dibandingkan APE. Obstruksi saluran pernapasan dapat diketahui dari nilai
rasio VEP1/KVP <75% atau VEP1<80% nilai prediksi. Penurunan rasio
VEP1/KVP menandakan adanya obstruksi atau hambatan aliran udara.
Apabila setelah diberi bronkodilator terjadi peningkatan VEP1/KVP ≥ 12%
dan APE ≥ 20%, maka dapat dikatakan diagnosis asma.
2. Arus Puncak Respirasi (APE)
Pemeriksaan ini dapat menggunakan spirometri atau dengan alat peak
expiratory flow meter (PEF). Alat PEF ini dapat digunakan di rumah untuk
memantau kondisi asma pasien dan menilai reversibilitas asma.
3. Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus sebaiknya dilakukan pada penderita dengan gejala asma
dan faal paru normal. Uji ini dilakukan apabila penilaian awal tidak
menunjukkan hambatan aliran udara. Uji ini mempunyai sensitivitas yang
tinggi tetapi spesifisitasnya rendah, artinya hasil negatif dapat menyingkirkan
diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti bahwa
penderita tersebut asma. Hasil positif dapat ditemukan pada penyakit lain
seperti rinitis alergika, PPOK, bronkiektasis, dan fibrosis kistik. Inhalasi
metakolin, histamin, latihan, dan inhalasi manitol.
4. Uji Alergi
Komponen alergi dalam asma dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan uji
kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut dapat membantu untuk
mengetahui faktor pencetus. Uji kulit atau skin prick test memiliki sensitivitas
yang tinggi namun juga perlu dikonfirmasi dengan riwayat pasien.
Pengukuran IgE spesifik serum lebih mahal dan tidak meyakinkan.
5. Ekshalasi Nitric Oxide
Konsentrasi FENO (Fraksional Ekshalasi Nitric Oxide) meningkat pada asma

11
eosinofilik, tidak ditetapkan ada manfaat untuk mendiagnosis asma. FENO
dapat menurun pada perokok dan saat terjadi bronkokonstriksi. FENO dapat
meningkat atau menurun pada infeksi virus.

2.6 Diagnosis Banding


Diagnosis pada asma antara lain sebagai berikut1:
Dewasa :
• Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
• Bronkitis kronik
• Gagal jantung kongestif
• Batuk kronik akibat faktor lain
• Disfungsi laring
• Obstruksi mekanis (misalnya tumor)
• Emboli paru
Anak :
• Rinosinusitis
• Refluks gastroesofageal
• Infeksi respiratorik bawah viral berulang
• Displasia bronkopulmoner
• Tuberkulosis
• Malformasi kongenital yang menyebabkan penyempitan saluran respiratorik
• intratorakal
• Aspirasi benda asing
• Sindrom diskinesia silier primer
• Defisiensi imun
• Penyakit jantung bawaan

12
Perbedaan PPOK dan asma9

Perbedaan PPOK Asma


Onset Biasanya > 40 tahun Semua umur, biasanya anak-
anak
Riwayat merokok Biasanya > 20 bungkus/tahun Biasanya tidak merokok
Riwayat keluarga Biasanya tidak ada, kecuali Biasanya ada
kekurangan α-1 antitrypsin
Reversible saluran Tidak reversible penuh, hanya Sangat reversible.
napas reversible sebagian dengan Biasanya fungsi paru hamper
bronkodilator. normal
Berhenti merokok dapat
mengurangi penurunan fungsi
paru.
Pola gejala Biasanya kronik progresif Bervariasi dari hari ke hari
lambat tidak spesifik (malam/menjelang pagi)
Batuk (paling Dini hari Malam/setelah latihan
menonjol)
Sputum purulent Khas Jarang
Peningkatan Ig E Jarang Sering
Eosinofil Jarang Sering

2.7 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan asma stabil adalah untuk mengontrol penyakit dan
menjadikan asma terkontrol. Terdapat 4 faktor, yaitu:1
1. Medikasi (pengontrol dan pelega)
2. 5 tahapan pengobatan
3. Penatalaksanaan non farmakologis
4. Penanganan asma mandiri dan edukasi bahwa pengobatan asma jangka
panjang agar asma terkontrol.

13
Penatalaksanaan asma bronkial terdiri dari non farmakologi dan farmakologi1 :
a. Penatalaksanaan non farmakologi
Tujuan penatalaksanaan non farmakologis yaitu untuk meningkatkan kontrol
gejala atau menurunkan risiko eksaserbasi. Penatalaksanaan non farmakologis
terdiri dari:
1. Olahraga
- Untuk meningkatkan kebugaran fisik
- Membantu otot-otot pernapasan
- Senam Asma Indonesia
- Pada kasus EIA (Exercise Induced Asthma), sebelum olahraga dapat
diberikan SABA inhalasi.
2. Berhenti Merokok
Asap rokok merupakan oksidan yang dapat menyebabkan inflamasi. Asap
rokok dapat mempercepat perburukan fungsi paru dan meningkatkan
risiko terjadinya penyakit lain, seperti bronkitis.
3. Lingkungan kerja
Hindari bahan-bahan faktor pencetus di tempat kerja (contoh: hindari
polusi udara, asap rokok, dan iritan).

b. Penatalaksanaan farmakologi terdiri dari1 :


Prinsip pengobatan asma dibagi menjadi dua golongan yaitu:
1. Pengontrol (Controller)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma
terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebu pencegah, yang
termasuk obat pengontrol:
§ Kortikosteroid inhalasi
Merupakan pilihan bagi asma serangan ringan sampai berat dan merupakan
medikasi jangka panjang paling efektif untuk mengontrol asma. Manfaat obat
ini yaitu dapat menurunkan hiperaktivitas bronkus, menurunkan gejala,
menurunkan frekuensi dan berat serangan, serta dapat memperbaiki kualitas
hidup.

14
§ Kortikosteroid sistemik
Diberikan melalui oral atau parenteral. Biasanya dipakai sebagai pengontrol
asma persisten berat setiap hari atau selang sehari. Biasanya pada asma yang
sangat parah, tidak terkontrol dengan ICS dosis tinggi, agonis β2 kerja lambat,
antagonis leukotrien, teofilin, dan tidak terkontrol dengan dosis tinggi, maka
dapat diberikan kortikosteroid sistemik dosis rendah. Efek sampingnya terdiri
dari osteoporosis, hipertensi, diabetes, katarak, supresi hipotalamus atau
pituitari, obesitasi, glaukoma, sindroma cushing, muka bulan, tukak lambung,
menurunkan imun, striae.
§ Kromalin (sodium kromoglikat dan redokromil sodium)
Digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten ringan. Kromalin
merupakan antiinflamasi nonsteroid yang menghambat pelepasan mediator
dari sel mast yang diperantarai IgE. Manfaat obat ini yaitu memperbaiki faal
paru dan gejala, menurunkan hipereaktivitas bronkus. Obat ini dalam bentuk
inhalasi dan dosis 4-6 mg untuk melihat pemberiannya bermanfaat atau tidak.
§ Metilsantin
Obat ini dapat dikombinasikan dengan β2 agonis kerja singkat dan merupakan
bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner seperti
antiinflamasi. Obat tambahan pada asma berat. Obat ini lebih murah, dapat
mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru. Efek sampingnya adalah pada
dosis tinggi (10 mg/kgBB/hari), mual dan muntah, takikardi, atirmia,
intoksiskasi teofilin (kejang atau kematian). Tidak dapat diberikan sebagai
reliever apabila telah menggunakan controller.
§ β2 agonis kerja lama
Salmaterol dan formaterol termasuk di dalam β2 agonis kerja lama inhalasi
yang mempunyai waktu kerja lama (>12 jam). Pemberian inhalasi pada
preparat ini menghasilkan efek bronkodilatasi lebih baik dibandingkan dengan
preparat oral. Obat ini dapat diberikan kombinasi dengan inhalasi ICS.
Manfaatnya dalah merelaksasi otot polos, meningkatkan kebersihan
mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah, memodulasi
pelepasan mediator sel mast dan basofil.

15
§ Leukotriene modifiers
Mekanisme kerja obat ini yaitu menghambat 5-lipoksigenasi sehingga
memblok sintesis leukotrien atau memblok reseptor (contoh: zafirlukas dan
montelukas). Pada kasus Aspirin Induced Asthma dapat memberikan respon
yang baik. Obat ini merupakan antiasma relatif baru dengan pemberian secara
oral. Leukotriene dapat juga bersifat bronkodilator, mempunyai efek
antiinflamasi, dapat menurunkan kebutuhan dosis kortikosteroid inhalasi
penderita asma persisten sedang sampai berat, dan dapat mengontrol asma
pada pasien yang tidak terkontrol dengan steroid inhalasi. Obat yang tersedia
di Indonesia adalah zafirlukas dan montelukas.
§ Tiotropium
Asetilkolin menyebabkan efek inflamasi dan menarik sel-sel proinflamasi dan
pelepasan sitokin. Obat ini merupakan efek antagonis reseptor M2 dan M3.
Obat ini digunakan pada asma eksaserbasi persisten walaupun sudah diberikan
LABA dan steroid inhalasi.
§ Anti IgE (Omalizumab)
Pada asma eksaserbasi persisten walaupun LABA dan steroid inhalasi sudah
diberikan dosis maksimum. Merupakan antibodi monoklonal rekombinan
antimunoglobulin E dan mengobati alergi sehingga mengurangi konsentrasi
IGE bebas di plasma antibodi. Obat ini menghambat pelepasan mediator
inflamasi sel mast dan basofil. Injeksi subkutan tiap 2 minggu atau 4 minggu
dengan dosis sesuai dengan serum IgE dan berat badan.

2. Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan nafas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala
akut seperti mengi, rasa berat didada dan batuk, tetapi tidak memperbaiki
inflamasi jalan nafas atau menurunkan hiperesponsif jalan nafas.
§ β2 agonis kerja singkat
Obat yang termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan
prokaterol, mempunyai waktu kerja yang cepat. Formaterol mempunyai onset

16
yang cepat dan durasi lama. Pemberian ini dapat secara inhalasi atau oral.
Obat ini merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan sangat bermanfaat
sebagai praterapi pada exercise-induced asthma. Merelaksasi otot saluran
napas, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas
pembuluh darah dan memodulasi pelepasan mediator dari sel mast. Pilihan
untuk serangan akut dan praterapi EIA. Apabila tidak respon dengan baik,
maka perlu pemberian ICS. Efek samping obat ini adalah merangsang
kardiovaskular, tremor otot rangka, dan hipokalemia.
§ Antikolinergik atau antimuskarinik kerja singkat
Mekanisme kerja anti-kolinergik memblok efek penglepasan asetilkolin dari
saraf kolinergik pada jalan napas.Pemberiannya secara inhalasi. Efeknya lama,
membutuhkan 30-60 menit untuki mencapai efek maksimum. Menurunkan
tonus kolinergik vagal intrinsik dan menghambat refleks bronkokonstriksi
oleh karena iritan.
• Metilstatin
Amiofillin kerja singkat dapat dipertimbangkan untuk mengatasi gejala walau
disadari onset atau awitannya lebih lama daripada antagonis beta-2 kerja
singkat. Bermanfaat untuk respiratory drive, memperkuar fungsi otot
pernapasan, dan mempertahankan respon SABA. Pada sma berat atau kurang
respon dengan SABA saja.
• Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat apabila
tidak tersedia β2 agonis atau tidak respon dengan SABA. Pada pasien diatas
usia 45 tahun dengan riwayat kardiovaskular jangan diberikan. Pemberian bisa
intravena namun harus selalu dipantau dan monitor.

17
Pilihan terapi berdasarkan derajat berat asma

Tabel. Pilihan terapi berdasarkan derajat berat asma


Penilaian Control Asma

Tabel. Penilaian control asma

18
Tatalaksana Asma Stabil

Tabel. Pilihan tatalaksana pada asma stabil

19
Penanganan Asma Mandiri
Sistem penanganan asma mandiri membantu penderita memahami kondisi
kronik dan bervariasinya keadaan penyakit asma. Mengajak penderita memantau
kondisinya sendiri, identifikasi perburukan asma sehari-hari, mengontrol gejala
dan mengetahui kapan penderita membutuhkan bantuan medis/ dokter. 1

Tabel 4. ACT Asma

20
Tatalaksana pada Asma Eksaserbasi Akut di Faskes Primer

Tabel. Pilihan terapi pada Asma Eksaserbasi Akut di Faskes Primer

21
Tatalaksana pada Asma Eksaserbasi di IGD

Tabel. Pilihan terapi pada Asma Eksaserbasi di IGD

22
BAB III

ILUSTRASI KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. E

Umur : 39 tahun

Alamat : Jalan Suka Terus NO 25 default RT.RW Kec Sail

Pekanbaru

Pekerjaan : Perawat rumah sakit

Tanggal masuk RSUD : 01 November 2021

ANAMNESIS (Auto dan allo anamnesis)

Keluhan Utama

Pasien datang ke poli klinik rsud arifin ahmad untuk kontrol kondisi asma dengan

sesak nafas yang semakin memberat sejak 2 minggu SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien masuk ke Poliklinik Paru RSUD AA untuk kontrol. Sesak nafas sudah

dirasakan dari 2 minggu SMRS. Sesak napas dirasakan hilang timbul disertai

bunyi “mengi”. Sesak napas muncul lebih 1 kali sehari dan lebih 2 kali dalam

seminggu dan mengganggu aktivitas. Sesak juga muncul pada malam hari dan

dini hari. Sesak nafas dipengaruhi oleh debu saat pasien membersihkan karpet di

tambah aktivitas yang cukup padat,dan pasein juga alergi makanan seperti apel

hijau dan coklat. Sesak nafas berkurang dengan diberikan obat yaitu symbicort,

keluhan sesak nafas disertai batuk kering. Pasien juga mengeluhkan dada terasa

23
berat. Demam dan keringat malam hari (-), penurunan nafsu makan (-), penurunan

berat badan (-). Mual (-) muntah (-), BAB dan BAK tidak ada keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu

- Riwayat asma sejak ± 21 tahun yang lalu, alergi terhadap udara dingin,

terkena debu dan makanan seperti coklat dan apel hijau

- Alergi terhadap makanan coklat dan apel hijau

- Tidak ada riwayat penggunaan OAT

- Tidak ada riwayat diabetes mellitus

- Tidak ada riwayat keganasan

Riwayat Penyakit Keluarga

- Riwayat Asma (-)

- Riwayat hipertensi (ibu pasien)

- Riwayat Alergi (-)

- Riwayat penyakit jantung (-)

- Riwayat DM (Ibu pasien)

- Riwayat TB paru dalam keluarga (-)

- Riwayat keganasan (-)

Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi dan Kebiasaan

- Perawat rsud arifin ahmad

- Pasien tidak merokok

- Riwayat konsumsi alkohol (-)

- Riwayat konsumsi jamu-jamuan (-)

24
- Pasien mengaku jarang berolahraga

- Ventilasi rumah cukup, pencahayaan cukup

PEMERIKSAAN FISIS

Pemeriksaan Umum

- Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

- Kesadaran : Komposmentis kooperatif

- Tekanan darah : 126/95 mmHg

- Nadi : 86 x/menit

- SpO2 : 99% (no device)

- Suhu : 36,5°C

- Napas : 18 x/ menit

- Tinggi Badan : 153 cm

- Berat Badan : 70 kg

- IMT : 29,9 kg/m2 (Obesitas grade I)

Kepala

- Mata : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pupil isokor,

diameter pupil kiri dan kanan 2/2 mm, reflek cahaya +/+.

- Telinga : deformitas daun telinga (-), cairan (-), darah (-)

- Hidung : nafas cuping hidung (-), cairan (-), darah (-)

- Mulut : mukosa basah, lidah tidak kotor, bibir sianosis (-)

- Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-), JVP 5±2 cmH20

25
Toraks

Paru

- Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris kanan dan kiri,

penggunaan otot bantu pernafasan (-), retraksi dinding

dada (-)

- Palpasi : Vokal fremitus sama pada paru kanan dan kiri

- Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru

- Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung

- Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat

- Palpasi : iktus kordis teraba di SIK VI linea midklavikula sinistra

- Perkusi

§ Batas jantung kanan : Linea parasternalis dekstra SIK IV

§ Batas jantung kiri : Linea midklavikula sinistra SIK VI

- Auskultasi : bunyi jantung S1 dan S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

- Inspeksi : Perut tampak buncit, venektasi (-), scar (-)

- Auskultasi : bising usus (+) 10x/menit

- Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-)

- Perkusi : timpani, shifting dullness (-)

Ekstremitas

- Atas : Edema (-/-), akral hangat, capillary refilling time < 2 detik.

- Bawah : Edema (-/-), akral hangat, capillary refilling time < 2 detik.

26
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah Rutin
Hb : 13,7 g/dl
Leukosit : 5,81 x 103/ul
Hematokrit : 41,5 %
Trombosit : 283 x 103/ul
Eritrosit : 4,79 x 106/ul
MCV : 86,6 fL
MCH : 28,6 pg
MCHC : 33,0 g/dl
Hitung jenis
Basofil : 0,3%
Eosinofi : 3,3%(H)
Neutrofil : 34,8%(L)
Limfosit : 51,6%(H)
Monosit : 10,0%(H)
Kimia darah
AST : 16 U/L
ALT : 17 U/L
GDS : 93 mg/dl
Ureum : 21,0 mg/dl
Kreatinin : 0,62 mg/dl

27
Foto Toraks

Pembacaan :

- Identitas Ny. E usia 39 tahun

- Marker R

- Foto PA

- Kekerasan cukup

- Trakea midline

- Jaringan Lunak >2cm

- Costae, vertebrae, clavicula dan scapula intak, tidak ada tanda-tanda

fraktur

- Diafragma kanan dan kiri licin

- Sudut costofrenikus kanan dan kiri lancip

28
- CTR >50%

Kesan :

Jantung : Dalam batas normal

Pulmo : Dalam batas normal

RESUME

Pasien masuk ke Poliklinik Paru RSUD AA dengan keluhan sesak napas yang

memberat sejak 1 hari SMRS. Sesak nafas sudah dirasakan dari 2 minggu SMRS.

Sesak napas dirasakan hilang timbul disertai bunyi “mengi”. Sesak napas muncul

lebih dari 2 kali dalam seminggu dan mengganggu aktivitas. Sesak juga muncul

pada malam hari dan dini hari. Sesak nafas dipengaruhi oleh debu saat pasien

membersihkan karpet rumah. Pasien juga alergi terhadap makananan seperti apel

hijau dan coklat. Sesak nafas berkurang dengan diberi inhaler, keluhan sesak nafas

disertai batuk kering. Pasien juga mengeluhkan dada terasa berat. Pasien memiliki

riwayat asma sejak ± 21 tahun yang lalu. Pemeriksaan fisik ditemukan SpO2 97 %

dan wheezing (-/-).

DIAGNOSIS KERJA

Asma Bronkhial persisten sedang, tidak terkontrol

RENCANA PENATALAKSANAAN

Ø Non farmakologis

• Bed rest

• Hindari faktor pencetus

29
Ø Farmakologis

• Seretide 25 mg 1x1 puff

RENCANA PEMERIKSAAN

• Spirometri

30
BAB IV

PEMBAHASAN

Diagnosa pada pasien ini adalah asma intermiten sedang. Hal ini berkaitan

dengan keluhan serangan sesak nafas pada pasien dengan riwayat asma. Pada

anamnesis pasien mengeluhkan Sesak napas dirasakan terus menerus disertai

bunyi “mengi”. Sesak napas muncul sebanyak 1-2 kali sehari dan lebih 2 kali

dalam seminggu. Sesak muncul pada saat malam hari dan subuh sehingga pasien

sulit untuk tidur dan menganggu aktivitas. Hal ini sesuai dengan kriteria

klasifikasi derajat asma persisten sedang berdasarkan gambaran klinis. Pasien

merasakan sesak nafas yang dapat disebabkan oleh penyempitan saluran nafas

karena adanya faktor pencetus yaitu alergi terhadap debu ketika pasien

membersihkan karpet rumah.1

Pemeriksaan fisik umum pasien tidak tampak gelisah, kesadaran pasien

komposmentis, dengan tekanan darah 126/95 mmHg, pernapasan 21 x/menit, nadi

86x/menit. Pada inspeksi tidak terlihat penggunaan otot bantu pernapasan. Pada

auskultasi paru tidak terdengar suara wheezing di kedua lapangan paru saat akhir

ekspirasi. Pada pemeriksaan fisis didapatkan kondisi pasien normal. Hal ini

dikarenakan pasien datang saat kondisi asma tidak kambuh..1,8 Pada pasien ini

ditemukan hasil radiologi terdapat pulmo dan Cor dalam batas normal.

Pada pasien ini diberikan tatalaksana non-farmakologi dan farmakologi.

Tatalaksana non-farmakologi pada pasien ini adalah bedrest dan edukasi untuk

hindari faktor pencetus. Tatalaksana farmakologi pada pasien ini adalah terapi

kombinasi inhalasi steroid dan brokodilator long acting ß2agonis kerja cepat yaitu

seritide dan ventoline. Penggunaan kombinasi long-acting β2-agonis kerja lama

31
dan kortikosteroid (seritide) dengan short-acting β2-agonis kerja cepay

(venitoline) untuk pengontrol dan reliever. seritide dan ventoline bekerja secepat

dan seefektif SABA (short acting beta 2 agonist) dalam menimbulkan efek

bronkodilatasi.10 Pada pasien asma di butuhkan parameter objektif untuk menilai

berat asma dengan mengukur faal paru menggunakan spirometri. Pada spirometri

digunakan untuk mencari volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan

kapasitas vital paksa (KVP).11

Serangan asma bervariasi dari ringan sampai berat bahkan dapat

mengancam jiwa. Seringnya serangan asma menunjukkan penanganan asma

sehari-hari yang kurang tepat. Penanganan asma ditekankan pada penanganan

jangka panjang dengan tetap memperhatikan serangan asma akut atau perburukan

gejala dengan memberikan penangan yang tepat. Terapi asma pada saat serangan

meliputi beberapa hal diantaranya yaitu menjaga saturasi oksigen arteri tetap

adekuat dengan oksigenasi, membebaskan obstruksi jalan napas dengan

bronkodilator inhalasi kerja cepat (2-agonis dan antikolinergik) dan mengurangi

inflamasi saluran napas serta mencegah kekambuhan dengan pemberian

kortikosteroid sistemik yang lebih awal.

Penilaian berat serangan asma merupakan langkah pertama dalam

penanganan serangan akut. Langkah selanjutnya adalah memberikan pengobatan

yang tepat sesuai algoritma tatalaksana serangan asma di rumah sakit, kemudian

selanjutnya menilai respon pengobatan dan memberikan tindakan apa yang

sebaiknya diberikan pada penderita (pulang, dirawat atau dirawat di ICU).12 Pada

pasien ini didapatkan serangan sedang dengan eksaserabisi ringan sedang

sehingga disarankan ke IGD untuk dilakukan nebulaizer.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma (Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan di Indonesia). Jakarta: 2021

2. World health organization (WHO). Asthma. 2021.

3. Global Asthma Report. Asthma. 2018.

4. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Penderita asma di


Indonesia. 2019.

5. Global Initiative For Asthma. Global strategy for asthma management and
prevention 2021.

6. Kummar V, Abbas A, Aster J, Nasar I, Cornain S. Buku ajar patologi robbins.


Edisi 9. Singapore: Elsevier;2015.p.461-3.

7. Prince SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit


edisi 6. Jakarta: Penerbit buku kedokteron EGC; 2013.

8. Riyanto BS, Hisyam B. Obstruksi Saluran Pernafasan Akut. Dalam: Buku


Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 2. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu penyakit
Dalam FKUI, 2014. 1590-607.

9. Global Initiative for Chronic Lung Disease (GOLD). Global Strategy for the
diagnosis, management and prevention of chronic obstructive pulmonary
disease. National Institutes of Health. National heart, Lung and blood Institute.
Update 2020.

10. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pertemuan Ilmiah Respirologi (PIR)


Nasional. Surakarta. 2015

11. Zab Mosenifar, MD, FACP, FCCP. Asthma Guidelines. 2017. Available on
https://emedicine.medscape.com/article/296301-guidelines.

12. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional pengendalian


penyakit asma. Jakarta. 2000.

33
34

Anda mungkin juga menyukai