Anda di halaman 1dari 3

Nama : Nur Ainun Hafizah

Nim : 4520091038

Tugas ke-1
Mencari penjelasan terkait metode filsafat!
Filsafat adalah suatu ilmu yang menggunakan daya berpikir yang sangat luar biasa. Filsafat sebagaimana
yang telah dipahami bersama adalah hasil pemikiran filsuf.
A. Metode Kritis
Metode ini dipergunakan oleh Sokrates dan Plato. Tingkat intensif, telah memiliki pengetahuan filsafat
dan pendekatannya historis. Memahami isi, mengajukan kritik baik dengan bentuk menentang atau
dukungan terhadap ajaran filsafat yang sedang dipelajari. Mengkritik dengan pendapat sendiri atau juga
menggunakan pendapat filsuf lain.
Metode ini bersifat analisa istilah dan pendapat, kemudian disistematiskan dalam hermeneutika yang
menjelaskan keyakinan dan memperlihatkan pertentangan. Dengan jalan bertanya (dialog), membedakan,
membersihkan, menyisihkan, dan menolak, pada akhirnya akan ditemukan yang terbaik di antaranya.
Yang terbaik inilah dikatakan hakikat sesuatu, tentu sampai timbul “hakikat” baru melalui metode kritis
lagi. Metode Sokrates ini biasanya tidak mencapai hasil yang definitive.

B. Metode Intuitif
Metode ini dipergunakan oleh Plotinos dan Bergson. Intuisi juga berarti daya (kemampuan) untuk
memiliki pengetahuan segera dan langsung mengenai sesuatu tanpa mempergunakan rasio. Sebagai
metode yang prosesnya menggunakan aktivitas kontemplasi dengan melakukan perenungan secara intens
dan mendalam, pada dasarnya metode intuisi buka metode antirasional, melainkan suprarasional bahkan
bersifat spiritual.
Metode Bergson dan Plotinus sering dikatakan tidak bertumpu pada intelek dan rasio manusia, tetapi
bukan bersifat anti-intelektual. Metode keduanya lebih bersifat supra intelektual. Manusia terkadang
harus mengambil jarak dan berjauhan dengan logika, serta menyerahkan diri pada kemurnian kenyataan
dan keaslian fitrah manusia. Ini bukan berarti logika harus dibungkam dan rasio diceraikan, tetapi untuk
bisa menganalisis dan jangan terjerat olehnya.

C. Metode Skolastik
Metode ini banyak berkembang pada abad pertengaha. Thomas Aquinas (1225-1247) merupakan salah
satu pengajuannya. Pada masa Klasik, Aristoteles juga dikatakan sebagai pengguna metode sintetis
deduktif. Pada abad pertengahan, filsafat ini dikuasai oleh pemikiran teologi.
Metode skolastik ini kerap disebut metode sintetis-deduktif. Sesuai dengan namanya, metode skolastik
menunjukkan kaitan yang erat dengan metode mengajar. Untuk tingkat yang lebih tinggi “lectio” diikuti
dengan “disputatio” (pendebatan). Disputasio memiliki komposisinya sebagai berikut :
- Persoalan (quaestio) diterangkan oleh dosen.
- Keberatan-keberatan (videtur quod non) diajukan.
- Jawaban (salutio) diberikan oleh mahasiswa senior .
- Kesimpulan (determination/summarium) diberikan oleh dosen.
Acara disputio membahas berbagai topik yang sangat luas. Dalam diputios ditekankan dua hal yaitu :
- Ordo disciplinae, yaitu urutan-urutan yang tepat dalam mengajukan soal-soal diskusi, harus
disarankan menjadi ordo intentiones (jalan penemuan).
- Cara berpikir harus memenuhi aturan-aturan logika formal.
Suasana disputasio memupuk sikap kritis sehat dan cara berpikir otonom. Metode skolastik ini meratakan
jalan bagi timbulnya metode-metode terbaru dan terbaik pada periode berikut .

D. Metode Geometri
Metode geometri yang dikreasikan Rene Descartes dan pengikutnya. Menurutnya, hanya pengalamanlah
yang menyajikan pengertian benar, maka semua pengertian atau ide dalam intropeksi kemudian
dibandingkan dengan cerapan-cerapaan atau impresi dan kemudian disusun secara geometris.
Dalam metodenya Descrates mengintegrasikan logika, analisa geometris dan aljabar dengan menghindari
kelemahannya. Metode ini membuat kombinasi dari pemahaman intuitif akan pemecahan soal dan uraian
analitis. Mengembalikan oal itu kehal yang telah diketahui tetapi akan menghasilkan pengertian baru.
Filsafat Descrates ini disebut filsafat modern (modern philoshopy). Metode yang rasional inilah yang
akan menghasilkan aliran atau paham nasionalisme dalam srudi filsafat.

E. Metode Transendentasi
Metode ini sering dijuluki “neo-skolatik”, yang bertitik tolak dari tepatnya pengertian tertentu yaitu
dengan jalan analisis yang diselidiki syarat-syarat apriori bagi pengertian yang sedemikian rumit dan
kompleks. Immanuel Kant (1724-1804) merupakan pelopor ini.
Adanya kesatuan pemahaman transdental ini menjadi dasarnya adanya “aku transcendental”. Uraian Kant
ini mampu menjelaskan kemungkinan pemahaman ilmu alam dan tuntutan moral yang selama ini terpisah
dan dipertentangkan. Pemikiran Kant ini telah melampaui keterbatasan aliran filsafat sebelumnya.
Walaupun demikian, Kant masih berkeyakinan bahwa kenyataan itu jauh lebih luas daripada apa yang
dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

F. Metode Dialektis
Metode dialektis dari Hegel dan Marxs, yakni metode yang digunakan dengan jalan mengikuti dinamika
pikiran sendiri menurut triade tesis, antritesis, dan sintesis sebagai suatu hakikat kenyataan dicapai.
Sistem Hegel bersifat deduktif yaitu logika intrinsic yang meniscayakan ada dalam konsep. Dari sisi lain
ia juga memasukkan induksi prinsipil yang beranjak kepada yang lebih konkrit. Metode Hegel memang
merupakan dialektika antara konsep murni (apriori) dan fakta konkrit (aposteriori) dalam suatu bentuk
sintesis.
Menurut Hegel ada tahap yang harus dilalui untuk mencapai kebenaran yaitu kontradiksi-kontradiksi
yang berfungsi sebagai motor dialektik.
G. Metode Empiris
Metode ini dipergunakan oleh Thomas Hobbes, John Locke, Barkeley, dan Hume. Metode ini berpijak
pada sikap bahwa hanya pengalamanlah yang dapat menyajikan pengertian yang benar, maka semua
pengertian (ide-ide). Secara garis besar metode ini menekankan pada pengalaman sebagai sumber utama
kebenaran.

H. Metode Fenomenologi-hermenuitis
Metode ini dipergunakan oleh Edmund Husserl dan kelompok eksistensialisme. Metode ini pada
prinsipnya melakukan pemotongan secara sistematis (reduction), refleksi atas fenomena dalam kesadaran
mencapai penglihatan hakikat-hakikat murni.

I. Metode Analisis Bahasa


Metode ini dipergunakan oleh Ludwig W. Metode ini pada prinsipnya melakukan analisa berdasarkan
pemakaian bahasa sehari-hari (ordinary language), sehingga dapat ditentukan sah atau tidaknya ucapan-
ucapan filosofis.
Wittgenstein menyatakan bahwa “berbicara” merupakan tingkah laku tertentu untuk menyampaikan
pikiran. Karenanya, pikiran dan bahasa tidak dapat dipisahkan. Pikiran bukanlah suatu proses di balik
atau terpisah dari bahasa melainkan terjadi dalam dan terdiri dari linguistic behavior.

Anda mungkin juga menyukai