Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Autisme adalah gangguan perkembangan yang umumnya menimpa anak-
anak. Gangguan ini membuat anak tidak mampu berinteraksi sosial dan
seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri (Aizid, Rizem, 2011). Autisme
adalah ketidakmampuan perkembangan yang biasanya terlihat sebelum usia
dua setengah tahun dan ditandai dengan gangguan pada wicara dan bahasa,
mobilitas, persepsi, dan hubungan interpersonal (Speer, Kathleen Morgan,
2007).
Setiap tahun di seluruh dunia, kasus autism mengalami peningkatan. Di
Amerika Serikat pada tahun 2000 angka autism meningkat menjadi 1 dari 150
anak memiliki kecenderungan menderita autism (Autism Research Institute).
Berdasarkan data International Congress on Autism tahun 2006 tercatat 1 dari
150 anak punya kecenderungan autism. Pada tahun yang sama data dari Pusat
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Centers for Desease Control and
Prevention) Amerika Serikat menyebut, prevalensi penyandang autism di
beberapa negara bagian adalah 1 dari 88 anak usia 8 tahun. Penelitian di
Korea Selatan tahun 2005-2009 menemukan autism pada 26,4 dari 1000 anak
usia 7-12 tahun. Meningkatnya jumlah kasus autism ini kemungkinan karena
semakin berkembangnya metode diagnosis, sehingga semakin banyak anak
ditemukan Autism Spectrum Disorder (ASD).
Sampai saat ini, belum ada data pasti mengenai jumlah penyandang
autism di Indonesia. Dari catatan praktik dokter diketahui, dokter menangani
3-5 pasien autism per tahun pada 1980. Menurut Sutadi (2003), sebelum
tahun 1990-an prevalensi ASD pada anak berkisar 2-5 penderita dari 10.000
anak usia di bawah 12 tahun, dan setelah itu jumlahnya meningkat menjadi
empat kali lipat. Sementara itu, menurut Kelana dan Elmy (2007) menyatakan
bahwa prevalensi ASD di Indonesia berkisar 400.000 anak, laki-laki lebih
banyak daripada perempuan dengan perbandingan 4:1 (Handojo, 2003).
Penderita autis di Indonesia sampai tahun 2004 telah mencapai angka 7000
orang (Depkes, 2004). Setiap tahunnya, jumlah tersebut diyakini mengalami
pertumbuhan sebesar 5%.
Ada beberapa terapi yang dapat dilakukan pada penderita autism antara
lain adalah terapi pendengaran, terapi visual, terapi bicara, terapi bermain,
terapi sosial, dan pendidikan khusus. Selain terapi tersebut, pada penderita
autism juga perlu diperhatikan diet yang bisa dikonsumsi oleh penderita.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep autism ?
2. Bagaimana konsep komunikasi verbal ?
3. Bagaimana asuhan keperawatan pada penderita autism dengan gangguan
komunikasi verbal ?

1.3 Tujuan
A. Tujuan Umum
Menjelaskan tentang konsep teori dan asuhan keperawatan pada pasien
dengan gangguan komunikasi verbal pada klien autisme
B. Tujuan Khusus
1. Mengetahui dan mampu menjelaskan konsep autism
2. Mengetahui dan mampu menjelaskan konsep komunikasi verbal
3. Dapat memberikan asuhan keperawatan yang baik dan tepat pada klien
dengan gangguan komunikasi verbal pada klien autism
4. Mampu mengaplikasikan asuhan keperawatan pada klien dengan
gangguan komunikasi verbal pada klien autism dengan baik dan benar

1.4 Manfaat
1. Memberikan informasi tentang autism
2. Menambah pengetahuan dan keterampilan dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien autisme
3. Dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi  mahasiswa  tentang
asuhan keperawatan pada klien gangguan komunikasi verbal pada
klien autism

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Autisme


Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif yang ditandai oleh
adanya kelainan atau kendala perkembangan yang muncul sebelum usia 3
tahun, dan dengan ciri kelainan fungsi dalam tiga bidang interaksi sosial,
komunikasi, dan perilaku yang terbatas dan berulang (Aeni, dkk, 2001).
Autisme berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Penyandang autisme
seakan-akan hidup dalam dunianya sendiri. Istilah autisme baru dikenalkan
oleh Leo Kanner sejak tahun 1943 (Handojo, 2008). Autisme adalah
ketidakmampuan perkembangan yang biasanya terlihat sebelum usia dua
setengah tahun dan ditandai dengan gangguan pada wicara dan bahasa,
mobilitas, persepsi, dan hubungan interpersonal (Speer, Kathleen Morgan,
2007).
Autisme adalah gangguan perkembangan yang umumnya menimpa anak-
anak. Gangguan ini membuat anak tidak mampu berinteraksi sosial dan
seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri (Aizid, Rizem, 2011). Autisme
merupakan gangguan perkembangan khususnya terjadi pada masa anak-anak,
yang membuat seseorang tidak mampu mengadakan interaksi sosial dan
seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri. Tanda-tanda autisme biasanya
muncul pada tahun pertama dan selalu sebelum berusia 3 tahun. Autisme 2 – 4
kali lebih sering ditemukan pada anak laki-laki.

2.2 Etiologi
Beberapa hal menjadi faktor penyebab terjadinya autisme, yaitu antara
lain :
a. Faktor Genetik : Adanya kelainan kromosom pada anak autisme, tetapi
kelainan itu tidak berada pada kromosom yang selalu sama. Ditemukan
20 gen yang terkait dengan munculnya gangguan autisme, tetapi gejala
autisme baru bisa muncul jika kombinasi dari banyak gen. Faktor pada
anak autisme, dimungkinkan penyebabnya adanya kelainan kromosom
yang disebutkan syndrome fragile-x (ditemukan pada 5-20%
penyandang autisme).
b. Faktor Cacat (Kelainan pada Bayi) : Disini penyebab autis dapat
dikarenakan adanya kelainan pada otak anak, yang berhubungan
dengan jumlah sel saraf baik itu selama kehamilan ataupun setelah
persalinan. Juga disebabkan adanya Kongenital Rubella, Herpes
Simplex Enchepalitis dan Cytomegalovirus infection.
c. Faktor Kelahiran dan Persalinan : Proses kehamilan ibu juga salah satu
faktor yang cukup berperan dalam timbulnya gangguan autis, seperti
komplikasi saat kehamilan dan persalinan. Seperti adanya pendarahan

3
yang disertai terhisapnya cairan ketuban yang bercampur feces, dan
obat-obatan ke dalam janin, ditambah dengan adanya keracunan seperti
logam berat timah, arsen, ataupun merkuri yang bisa saja berasal dari
polusi udara, air bahkan makanan.
d. Faktor dari lingkungan yaitu kontaminasi bahan kimia beracun dan
logam-logam berat berikut ini :
1. Merkuri (Hg) : Logam berat merkuri merupakan cairan yang
berwarna putih keperakan. Paparan logam berat Hg dapat berupa
metyl mercury dan etyl mercury (thimerosal) dalam vaksin.
Merkuri dapat mempengaruhi otak, sistem saraf, dan saluran cerna.
Racun merkuri menyebabkan defisit kognitif dan sosial termasuk
kehilangan kemampuan berbicara atau kegagalan untuk
mengembangkan gangguan memori, konsentrasi yang buruk,
kesulitan dalam mengartikan kata-kata dari berbagai macam
tingkah laku autisme.
2. Timbal : Dikenal sebagai neurotoksin yang diartikan sebagai
pembunuh sel-sel otak. Kadar timbal yang berlebihan pada darah
anak-anak akan mempengaruhi kemampuan belajar anak, defisit
perhatian dan sindroma hiperaktivitas.
3. Kadmium (Cd) : Bahan alami yang terdapat pada kerak bumi.
Logam berat ini murni berupa logam. Logam berwarna putih perak
lunak dapat menyebabkan kerusakan sel membran sehingga logam
berat lain dipercepat atau dipermudah masuk ke dalam sel.
4. Arsenik (As) : Banyak digunakan pengusaha atau kontraktor untuk
membangun ruang bermain, geladak kapal atau pagar rumah.
Arsenik dapat diisap, ditelan dan diabsorbsi lewat kontak kulit.
Arsenik dapat disimpan di otak, tulang, jaringan tubuh, serta akan
merusaknya secara serius. Gejalanya yang berlangsung lambat
dapat menyebabkan diabetes dan kanker, juga dapat menyebabkan
stroke dan sakit jantung. Dalam jangka lama dapat merusak liver,
ginjal dan SSP.
5. Aluminium (Al) : Keracunana aluminium adalah keadaan serius
yang terjadi bila mengabsorbsi sejumlah besar aluminium yang
sering disimpan di dalam otak. Pemaparan aluminium di dapatkan
dari konsumsi aluminium dari produk antasid dan air minum
(panic aluminium). Aluminium masuk ke tubuh lewat sistem
digestif, paru-paru dan kulit sebelum masuk ke jaringan tubuh.
e. Faktor Model Vaksinasi : Ada pendapat yang mengatakan bahwa
terlalu banyak vaksin Hepatitis B yang termasuk dalam MMR
(Mumps, Measles dan Rubbella) bisa berakibat anak mengidap
penyakit autisme. Hal ini dikarenakan vaksin ini mengandung zat
pengawet Thimerosal, yang terdiri dari Etilmerkuri yang menjadi

4
penyebab utama sindrom Autisme Spectrum Disorder (Lumbantobing,
2001).
f. Faktor Alergi : Beberapa penelitian menunjukkan keluhan autisme
dipengaruhi dan diperberat oleh banyak hal, salah satunya karena
manifestasi alergi. Dari penelitian yang pernah dilakukan, dilaporkan
bahwa autisme berkaitan erat dengan alergi. Penelitian lain
menyebutkan setelah dilakukan eliminasi makanan beberapa gejala
autisme tampak membaik secara bermakna. Hal ini dapat juga
dibuktikan dalam beberapa penelitian yang menunjukkan adanya
perbaikan gejala pada anak autisme yang menderita alergi, setelah
dilakukan penanganan eliminasi diet alergi. Beberapa laporan lain
mengatakan bahwa gejala autisme semakin memburuk bila manifestasi
alergi muncul.

2.3 Patofisiologi
Logam berat yang masuk ke dalam tubuh, menimbulkan akibat
dekstruktif yang sangat dahsyat. Misalnya, sel otak yang sedang berkembang
bila ditetesi merkuri akan langsung rusak. Merkuri terutama merusak myelin,
yaitu selaput pelindung saraf-saraf otak. Akibatnya, sel- sel saraf otak tampak
seperti kabel-kabel listrik yang terbuka dan rusak, tidak bisa lagi berfungsi
dengan baik. (Kurniasih, dkk., 2002).
Selain itu, merkuri juga menyebabkan enzim DPP-4 tidak berfungsi.
Enzim ini berfungsi sebagai pemecah gluten dan kasein. Hal inilah yang
menyebabkan gluten dan kasein tidak bisa tercerna dengan baik di dalam usus.
Dampak lainnya adalah turunnya daya kekebalan tubuh. Akibatnya, anak
penyandang autis menjadi gampang sakit karena sel-sel pertahanan tubuhnya
menurun drastis, sehingga tidak cukup jumlahnya untuk melawan bibit
penyakit yang masuk. (Kurniasih, dkk., 2002).
Biasanya bila anak sakit, orangtua akan langsung membawanya ke dokter
dan oleh dokter akan diberi antibiotika. Padahal, antibiotika tak saja
membunuh kuman-kuman penyakit, tetapi juga bakteri-bakteri baik di dalam
perut, yaitu Lactobacillus. Dengan terbunuhnya Lactobacillus, keseimbangan
yang ada di dalam usus menjadi berubah. Jamur yang pertumbuhannya selama
ini dikontrol oleh Lactobacillus, bisa berkembang biak dengan bebas di dalam
usus alias tak terkendali. Jamur ini beranak-pinak sembari menempelkan diri
ke dinding usus dan mengeluarkan enzim pencernaannya sendiri. Akibatnya,
dinding mukosa usus menjadi berlubang-lubang kecil. Lubang-lubang kecil ini
meningkatkan permeabilitas usus, yaitu kemampuan usus untuk menyerap
partikel-partikel makanan. (Kurniasih, dkk., 2002).
Karena dinding usus penuh dengan jamur yang tumbuh seperti tanaman
merambat pada dinding usus, enzim pencernaan pun terhalang. Jadi,
kurangnya enzim pencernaan pada penyandang autisme ini selain disebabkan

5
tidak berfungsinya enzim DPP-4 sehingga tidak bisa memecah gluten dan
casein, juga akibat kurangnya enzim pencernaan yang lain. (Kurniasih, dkk.,
2002).
Akibat kurangnya enzim pencernaan yang berfungsi untuk memecah
gluten dan kasein, maka gluten dan kasein tidak dipecah menjadi asam amino
(struktur terkecil dari protein). Pada orang normal, protein yang bisa diserap
oleh tubuh hanya yang berbentuk asam amino. Bila ada gangguan pencernaan,
sebagian gluten dan kasein tadi belum dipecah menjadi asam amino,
melainkan masih terdiri dari rangkaian beberapa asam amino yang disebut
peptide dan yang tak bisa diserap tubuh karena ukurannya yang besar.
(Kurniasih,dkk., 2002).
Namun, karena keadaan mukosa usus lebih bisa ditembus air, peptide
sanggup menyelinap melalui lubang-lubang kecil pada mukosa, lalu terserap
oleh usus dan dibawa aliran darah hingga ke otak. Disini, jika peptide bersatu
dengan sel-sel reseptor opiod, mereka akan bereaksi seperti morfin. Peptide
yang berasal dari gluten akan menjadi gluteomorphin, sedangkan peptide yang
berasal dari kasein akan menjadi caseomorphin. (Sianturi, 2003).
Dinding usus yang lebih bisa ditembus air ini, juga mendasari keadaan
multiple food allergy (alergi terhadap berbagai jenis makanan) pada
penyandang autisme. Makanan-makanan yang belum tercerna dengan
sempurna akan menyelinap melewati lubang-lubang kecil pada dinding usus.
Di luar dinding usus, sudah menunggu sel-sel pembuat sel-sel pembuat
antibodi. Oleh sel-sel antibodi, makanan yang belum tercerna sempurna tadi
dianggap sebagai zat asing dalam tubuh. Bila kebetulan yang belum tercerna
ini adalah telur, maka telur akan disergap sel-sel pembuat antibodi selanjutnya
akan dibuatkan antibodi untuk telur. Akibatnya, tubuh si penyandang autisme
menjadi alergi terhadap telur. Hal sama terjadi untuk bahan-bahan makanan
lainnya. Jika keadaan dinding usus ini tidak cepat-cepat diperbaiki, daftar
makanan yang dapat menyebabkan reaksi alergi pada anak pun bisa bertambah
panjang. (Kurniasih,dkk., 2002).

2.4 Manifestasi Klinis


Diantara gejala dan tanda yang paling penting adalah kemampuan
komunikasi verbal dan non verbal yang tidak atau kurang berkembang,
kelainan pada pola bicara, gangguan kemampuan mempertahankan
percakapan, permainan sosial yang abnormal, tidak adanya empati, dan
ketidakmampuan untuk berteman. Sering juga memperlihatkan gerak tubuh
yang stereotipik, minat yang sangat sempit, dan keasyikan dengan bagian-
bagian tubuh. Anak autistik menarik diri dan menghabiskan waktunya untuk
bermain sendiri. Muncul perilaku ritualistik, yang mencerminkan kebutuhan
anak untuk memelihara lingkungan yang tetap dan dapat diramalkan. Kontak
mata minimal atau tidak ada. Pengamatan visual terhadap gerakan jari dan

6
tangan, pengunyahan benda, dan menggosok permukaan dapat menunjukkan
penguatan kesadaran dan sensitivitas terhadap beberapa rangsangan,
sedangkan hilangnya respons terhadap nyeri dan kurangnya respon terkejut
terhadap suara keras yang mendadak menunjukkan menurunnya sensitivitas
pada rangsangan lain. Jika berbicara memperlihatkan ekholalia, perbalikan
kata ganti (pronomial), berpuisi yang tidak berujung dan bentuk bahasa aneh
lainnya dpat menonjol.
Gejala-gejala akan tampak makin jelas setelah anak mencapai usia tiga
tahun, yaitu meliputi hal berikut (IDAI, 2004).
1. Gangguan dalam bidang komunikasi verbal dan nonverbal
a. Terlambat bicara
b. Meracau dengan bahasa yang tak dapat dimengerti orang lain
c. Bila kata-kata mulai diucapkan, ia tidak mengerti artinya
d. Bicara tidak dipakai untuk komunikasi
e. Banyak meniru atau membeo (echolalia)
f. Beberapa anak sangat pandai menirukan nyanyian, nada dan kata-
kata tanpa mengerti artinya. Sebagian dari anak-anak ini tetap tak
dapat bicara sampai dewasa
g. Bila menginginkan sesuatu ia menarik tangan yang terdekat dan
mengharapkan tangan tersebut melakukan sesuatu untuknya
2. Gangguan dalam bidang interaksi sosial
a. Menolak atau menghindar untuk bertatap mata
b. Tak mau menengok bila dipanggil
c. Sering kali menolak untuk dipeluk
d. Tak ada usaha untuk melakukan interaksi dengan orang lain, lebih
asyik main sendiri
e. Bila didekati untuk diajak main, ia malah menjauh
3. Gangguan dalam bidang perilaku
a. Perilaku yang berlebihan (excess) dan kekurangan (deficient)
b. Kadang-kadang ada kelekatan pada benda tertentu, seperti kartu,
kertas, gambar, gelang karet, atau apa saja yang terus dipegangnya
dan dibawa kemana saja
c. Perilaku ritual (ritualistic)
4. Gangguan dalam bidang perasaan atau emosi
a. Tidak dapat ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain, misalnya
melihat anak menangis, maka ia tidak akan merasa kasihan, tetapi
merasa terganggu dan anak yang menangis tersebut mungkin
didatangi dan dipukul
b. Kadang tertawa sendiri, menangis atau marah tanpa sebab yang
nyata
c. Sering mengamuk tak terkendali (bisa menjadi agresif dan
destruktif)

7
5. Gangguan dalam persepsi sensori
a. Mencium atau menggigit mainan atau benda apa saja
b. Bila mendengar suara tertentu, maka ia langsung menutup telinga
c. Tidak menyukai rabaan atau pelukan
d. Merasa sangat tidak nyaman bila dipakaikan pakaian dari bahan
yang kasar

2.5 Klasifikasi Autisme


Klasifikasi Autisme dibagi menjadi 2 yaitu,
1. Classic Autism:
a. Onset usia 3-6 bulan
b. Melakukan gerakan berulang-ulang, agresivitas tinggi, mencederai
orang lain atau objek
c. 70-80% mengalami retardasi mental
2. Autistic Syndrome:
a. Umumnya terjadi pada awal usia
b. Onset 15-18 bulan
c. Tidak ada kelainan jiwa tap kelainan biologik (intervensi medis)
d. Predisposisi genetik
e. Faktor pencetus bervariasi

2.6 Nutrisi untuk Anak Autisme


Gizi pada anak normal sebenarnya juga berlaku pada anak autisme.
Hanya saja, karena adanya sejumlah gangguan dalam sistem pencernaan anak
autisme, memungkinkan proses pencernaan zat-zat gizi dalam makanan
menjadi tidak sempurna. Padahal masukan gizi pada anak normal harus
variatif dan berasal dari semua jenis makanan. Oleh karena itu, sejumlah
bahan makanan dihentikan dan tidak lagi diberikan kepada anak autisme.
Kemudian, bahan makanan tersebut diganti dengan bahan makanan lain yang
memiliki kesetaraan komposisi gizi (Wijayakusuma, 2008).
Meskipun neurotransmitter sudah dibentuk oleh zat gizi dalam makanan,
tetapi tidak dapat berfungsi dengan baik dalam tubuh anak autisme.
Kompleksnya gangguan pada tubuh anak autisme mendukung hal ini sehingga
anak autisme membutuhkan sebuah terapi lain untuk mendukung optimalitas
kerja neurotransmitter tadi. Terapi yang sangat baik untuk perbaikan
neurotransmitter adalah terapi yang bersifat neurofisiologis (Wijayakusuma,
2008).
Anak autisme membutuhkan pengembalian fungsi alat pencernaan
sehingga bisa menyerap kebutuhan nutrisi, zinc, serta membuang toksik,
merkuri, timah hitam, dan sebagainya. Detoksifikasi bertujuan untuk
menghilangkan atau menurunkan kadar bahan-bahan beracun yang lebih
tinggi dalam tubuh anak autisme dibanding dengan anak normal agar tidak

8
mengancam perkembangan otak. Terapi ini meliputi mandi sauna, pemijatan,
dan shower, yang diikuti olahraga, konsumsi vitamin dosis tinggi, serta air
putih minimal dua liter sehari. Hal tersebut juga dapat digunakan untuk
meningkatkan dan memperbaiki fungsi organ tubuh seperti jantung, paru-paru,
ginjal, liver, pankreas, limpa, lambung, usus, dan alat reproduksi.

2.7 Gangguan Komunikasi Verbal pada Autisme


Autisme merupakan gangguan perkembangan fungsi otak yang salah
satunya mencakup bidang komunikasi verbal (bahasa). Anak dengan autisme
mempunyai kesulitan dalam perkembangan kemampuan berbahasa dan sulit
memahami ucapan orang lain. Tetapi tidak semua anak autis mempunya
permasalahan ini. Tergantung dari kemampuan intelektual dan perkembangan
sosialnya. Beberapa anak autisme mungkin tidak bisa berbicara bukan karena
pengucapan katanya tetapi karena kesulitan dalam penggunaan bahasa yang
efektif terutama ketika mereka berkomunikasi dengan orang lain. Banyak
yang mempunyai masalah dengan makna dan ritme kata dan kalimat, mereka
juga tidak bisa memahami bahasa tubuh dan bunyi vokal. Ada beberapa pola
berbahasa dan perilaku yang sering ditemukan pada anak autis:
1. Repetitive or rigid language: Sering anak dengan autisme yang dapat
berbicara akan mengatakan sesuatu yang tidak mempunyai makna atau
keluar dari topik pembicaraan dengan orang lain. Sebagai contohnya,
seorang anak akan menghitung dari satu sampai lima berulang kali atau
anak mungkin mengulang-ulang kata yang pernah dia dengar, baru saja
dikatakan oleh seseorang, atau kata yang mereka lihat di televisi dan
program komersial (echolalia).
2. Narrow interests and exceptional abilities: Beberapa anak dengan autisme
mungkin akan membuat monolog tentang topik yang menurut mereka
menarik meskipun tidak mampu untuk membuatnya menjadi komunikasi
dua arah dengan orang lain. Lainnya mungkin juga mempunyai bakat
musik atau bakat menghitung matematika seperti menghitung kalender.
3. Uneven language development: Banyak anak dengan autisme
mengembangkan beberapa kemampuan berbahasa, namun tidak seimbang
dengan anak normal lainnya. Contohnya, mereka mempunyai ingatan
bagus tentang informasi yang baru saja dilihat atau didengar. Beberapa
anak dapat membaca kata sebelum usia 5 tahun tetapi tidak mampu untuk
memahaminya. Mereka sering tidak berespon terhadap pembicaraan orang
lain.
4. Poor nonverbal conversation skills: Anak dengan autisme tidak mampu
memahami gerak tubuh seperti menunjuk suatu objek. Mereka sering
menghindari kontak mata yang menurut mereka tidak menarik.

9
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan umum untuk anak autisme (Wijayakusuma, 2008):
1. Mengurangi kepekaan (desensitisasi) terhadap bunyi, rasa perabaan kulit,
cahaya, rasa makanan, dan lain-lain serta mengusahakan perubahan
perilaku
2. Bila kebiasaan perilaku dan tutur bahasanya yang kacau bertambah
memburuk, saatnya memerlukan bimbingan khusus
3. Latihan bicara berbahasa, dan bahasa isyarat diperlukan untuk
memberikan pelatihan dan bimbingan bagi anak yang mengalami ganguan
berbahasa berat
4. Psikoterapi lebih diperlukan pada autisme anak yang lebih besar daripada
untuk anak autisme yang masih balita
5. Latihan kerja dan beberapa program persiapan bergaul dan bekerja di
masyarakat bagi anak autisme yang sudah besar atau remaja
6. Fasilitas perawatan gigi dan pelayanan kesehatan khusus untuk penderita
autisme
7. Persiapan fasilitas lain di dalam masyarakat sehingga penderita autisme
tidak terlalu tergantung pada orang di sekitarnya.
Penatalaksanaan khusus untuk anak autisme:
1. Terapi Pendengaran
Terapi pendengaran yang dilakukan sejak usia 3 tahun dapat mengatasi
kekurangpekaan terhadap bunyi tertentu. Setelah pengobatan pendengaran
yang memuaskan tersebut anak akan mulai belajar hidup dengan
kelemahannya, mulai mengatasi kekurangannya sehingga mekanisme
pertahanannya tidak digunakan lagi. Perlahan anak akan mulai bergaul
dengan teman sebaya dan mulai belajar mengatasi isolasi sosialnya. Pada
usia dewasa, anak tersebut akan berhasil berbaur dengan kehidupan
normal (Yatim, 2003).
2. Terapi Visual
Individu dengan autisme lebih mudah belajar dengan melihat (visual
learnes atau visual thinkers). Hal ini yang kemudian dipakai untuk
mengembangkan metode belajar komunikasi melalui gambar-gambar,
misalnya dengan metode Picture Exchange Communication System
(PECS). Beberapa video games bisa juga dipakai untuk mengembangkan
keterampilan komunikasi.
3. Terapi Bicara
Gangguan bicara dan berbahasa diderita oleh hampir semua anak autisme.
Anak dipaksa untuk bicara kata demi kata serta cara ucapan harus
diperhatikan. Anak dipaksa untuk memandang terapis, karena diharapkan
anak dapat meniru gerakan bibir terapis.

10
4. Terapi Bermain
Anak yang lebih kecil sering mengungkapkan apa yang menjadi
perhatiannya dan masalah-masalah perkembangan dalam terapi permainan,
cara-cara khusus yang dirancang untuk membantu ekspresi simbolik dan
metaforik individu (Behrman, 1996). Anak ini membutuhkan pertolongan
dalam keterampilan berkomunikasi dua arah dan bermain di tempat
bermain. Bermain dengan teman sebaya berguna untuk belajar bicara,
komunikasi dan interaksi sosial.
5. Terapi Sosial
Kekurangan yang paling mendasar bagi individu autis adalah dalam
komunikasi dan interaksi. Seorang terapis sosial membantu dengan
memberi fasilitas untuk bergaul dengan teman sebaya.
6. Pendidikan Khusus
Anak autisme mudah terganggu perhatiannya, sehingga pada pendidikan
khusus satu guru menghadapi satu anak dalam ruangan yang tidak luas dan
tidak ada gambar-gambar di dinding atau benda-benda yang tidak perlu,
yang dapat mengalihkan perhatian anak. Setelah ada perkembamgan, maka
mulai dilibatkan dalam lingkungan kelompok kecil, kemudian baru
kelompok yang lebih besar. Bila telah mampu bergaul dan berkomunikasi,
maka mulai dimasukkan pendidikan biasa di TK dan SD untuk anak
normal.

2.9 Prognosis Gangguan Komunikasi Verbal pada Autisme


Beberapa anak terutama mereka yang mengalami gangguan bicara dapat
tumbuh pada kehidupan marginal, dapat berdiri sendiri, sekalipun terisolasi
dalam masyarakat. Namun untuk beberapa anak penempatan lama pada
institusi merupakan hasil akhir. Prognosis yang lebih baik adalah keterkaitan
intelegensi yang lebih tinggi, kemampuan bicara fungsional, dan kurangnya
gejala-gejala perilaku aneh.

2.10Komplikasi Autisme
Komplikasi yang dapat terjadi pada anak autis adalah beban berat efek
metabolisme seperti peningkatan berat badan, dislipidemia dan
hiperlipidemia. Penderita Autisme disertai alergi makanan sering mengalami
gangguan sistem imun. Diantaranya adalah adanya gangguan beberapa tipe
defisiensi sistem imun berupa defisiensi myeloperoxidase, Severe Combined
Immunodeficiency Disease (SCID), defisiensi Ig A selektif, defisiensi
komplemen C4b dan kelainan autoimun lainnya. Adanya gangguan tersebut
mengakibatkan adanya gangguan sistem imun yang berfungsi menghancurkan
jamur, virus dan bakteri. Hal ini mengakibatkan penderita autisme sering
mengalami gangguan infeksi jamur (candidiasis), infeksi saluran napas dan
mudah terkena penyakit infeksi lainnya secara berulang.

11
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

Ny. T (35 tahun) membawa anak pertamanya (An. L) usia 2 tahun ke


RSUD Dr. Soetomo dengan keluhan An. L tidak dapat memberikan atau
menanggapi respon saat ibunya atau orang lain memanggilnya. An. L kelihatan
bingung dan tidak dapat menjawab pertanyaan ibunya. Jika menginginkan sesuatu
An. L hanya menarik-narik tangan orang yang dikenalnya tanpa berbicara dan
mengharapkan tangan tersebut melakukan sesuatu untuknya. An. L juga menutup
diri terhadap pergaulan social, lebih senang bermain sendiri daripada bermain
dengan teman sebayanya. Ny. T sangat khawatir dengan kondisi anaknya tersebut.
An. L lebih sering mengoceh dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh orang
lain. Ny. T mengatakan bahwa An. L sampai umur 1.5 tahun pun masih belum
bisa bicara dengan jelas. Ny. T dan keluarga hanya menganggap ini adalah
masalah keterlambatan pertumbuhan saja. Ny. T juga mengatakan bahwa saat
mengandung An. L pernah mengalami pendarahan ringan saat setelah trimester
pertama. Saat lahir pun An. L juga mengalami keterlambatan dalam respon
menangis dan berat badan <2500 gram. Setelah dilakukan pengkajian, Saat diajak
berinteraksi, respon An. L sangat lambat, tidak memiliki kontak mata, dan
jawaban An. L juga menyimpang dari pertanyaan yang diberikan oleh perawat.
Saat diberikan mainan oleh perawat An. L terlihat kurang berminat. Saat
dilakukan pemeriksaan TTV didapatkan hasil: Tekanan darah: 110/80 mmHg,
Nadi: 100x/ menit, RR: 28x/ menit, Suhu: 37 0C, tidak ada gangguan pendengaran.
Diagnosa medis: Autis dengan gangguan komunikasi verbal.

Identitas Pasien
Nama: An. L
Jenis Kelamin: Laki-Laki
Umur: 2 tahun
Tanggal MRS: 10 November 2016
Sumber Informasi: Ny. T (Ibu pasien)
Alamat: Jl. Mulyorejo Tengah, Surabaya

Riwayat Kesehatan
Riwayat Kesehatan Dahulu:
Ny. T mengatakan bahwa pernah mengalami pendarahan ringan saat setelah
trimester pertama saat mengandung An.L. Saat lahir pun An.L juga mengalami
keterlambatan dalam respon menangis. Serta memiliki BB <2500 gram saat lahir.

12
Riwayat Kesehatan Sekarang:
An. L tidak dapat memberikan atau menanggapi respon saat ibunya atau orang
lain memanggilnya. An. L kelihatan bingung dan tidak dapat menjawab
pertanyaan ibunya. Jika menginginkan sesuatu An. L hanya menarik-narik tangan
orang yang dikenalnya tanpa berbicara dan mengharapkan tangan tersebut
melakukan sesuatu untuknya. An. L juga menutup diri terhadap pergaulan social,
lebih senang bermain sendiri daripada bermain dengan teman sebayanya. An. L
lebih sering mengoceh dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh orang lain.

Riwayat Kesehatan Keluarga:


Tidak ada anggota keluarga yang mengalami kejadian seperti yang dialami oleh
An.L

Alasan Masuk
Klien masuk RSUD Dr. Soetomo pada tanggal 10 Oktober 2016 diantar
oleh ibunya. Alasan masuk RS dikarenakan klien tidak dapat memberikan atau
menanggapi respon saat ibunya atau orang lain memanggilnya. Klien terlihat
bingung dan tidak dapat menjawab pertanyaan ibunya. Jika menginginkan sesuatu
klien hanya menarik-narik tangan orang yang dikenalnya tanpa berbicara dan
mengharapkan tangan tersebut melakukan sesuatu untuknya. Klien juga menutup
diri terhadap pergaulan sosial, lebih senang bermain sendiri daripada bermain
dengan teman sebayanya. Klien lebih sering mengoceh dengan bahasa yang tidak
dimengerti oleh orang lain.

Faktor Predisposisi
Sebelumnya klien belum pernah diperiksakan ke Rumah Sakit dan juga belum
mendapatkan pengobatan apapun. Anggota keluarga juga tidak ada yang memiliki
riwayat sakit autis. Ny. T mengatakan pernah mengalami pendarahan ringan saat
setelah trimester pertama saat mengandung An. L. Saat lahir pun An. L juga
mengalami keterlambatan dalam respon menangis.

Pemeriksaan Fisik
Status perkembangan anak:
1. Tidak ada kontak mata pada anak
2. Sering tidak merespon panggilan, tapi bila mendengar suara yang
disukainya akan bereaksi dengan cepat
3. Terdapat Ekolalia
4. Sulit fokus pada objek semula bila anak berpaling ke objek lain
5. Anak tertarik pada sentuhan (menyentuh/ disentuh)
6. Tidak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi lebih suka mengoceh
dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh orang lain
7. Kelihatan bingung saat diberikan pertanyaan

13
Keluhan fisik:
Tidak ada gangguan pendengaran.
TTV: Tekanan darah: 110/80 mmHg, Nadi: 100x/ menit, RR: 28x/ menit,
Suhu: 370C.

Psikososial
Genogram

Keterangan:
= Laki-laki = Klien
= Perempuan 2
= Meninggal = Tinggal bersama
= Putus hubungan / cerai = ikatan pernikahan

= garis keturunan

Penjelasan: klien merupakan anak pertama, usia klien sekarang adalah 2


tahun. Kedua orang tua klien masih hidup dan mereka tinggal dalam satu
rumah.

Konsep Diri
Ny. T dapat memahami yang terjadi dan ikhlas dalam menjalani segala yang
menjadi ketentuan Tuhan. Keluarga besar juga memberikan dukungan sangat baik
sekali dan memberi motivasi agar selalu tegar dan sabar.

Hubungan Sosial
Ny. T mengatakan bahwa kontak mata klien sangat kurang, tidak bisa bermain
dengan teman sebaya, tidak bisa berempati, kurang mampu mengadakan
hubungan sosial dan emosional timbal balik dengan orang disekitarnya.

Spiritual
Klien beragama Islam mengikuti kedua orang tuanya.

14
Masalah Psikologis
An. L sering merasa bingung saat diberikan pertanyaan sehingga membuatnya
merasa ketakutan.

Analisa Data
Data Fokus Masalah Keperawatan

Data Subjektif (DS): Gangguan komunikasi verbal


Ny. T mengatatakan bahwa An. L tidak
dapat memberikan atau menanggapi
respon saat ibunya atau orang lain
memanggilnya. An. L kelihatan bingung
dan tidak dapat menjawab pertanyaan
ibunya. Jika menginginkan sesuatu An.
L hanya menarik-narik tangan orang
yang dikenalnya tanpa berbicara dan
mengharapkan tangan tersebut
melakukan sesuatu untuknya. An. L juga
menutup diri terhadap pergaulan social,
lebih senang bermain sendiri daripada
bermain dengan teman sebayanya. An. L
lebih sering mengoceh dengan bahasa
yang tidak dimengerti oleh orang lain.
Data Objektif (DO):
1. Tidak ada kontak mata pada
anak
2. Sering tidak merespon
panggilan, tapi bila mendengar
suara yang disukainya akan
bereaksi dengan cepat
3. Terdapat Ekolalia
4. Sulit fokus pada objek semula
bila anak berpaling ke objek lain
5. Anak tertarik pada sentuhan
(menyentuh/ disentuh)
6. Tidak menggunakan bahasa
untuk berkomunikasi lebih suka
mengoceh dengan bahasa yang
tidak dimengerti oleh orang lain
7. Kelihatan bingung saat diberikan
pertanyaan

15
Pohon Masalah

Gangguan Komunikasi Verbal

Stimulasi sensori yang kurang adekuat

Kurangnya pengetahuan orang tua

Diagnosa Keperawatan
1. Domain 5. Perception/ Cognition
Class 5. Communication
Code. 00051
Diagnosa: Gangguan Komunikasi verbal berhubungan dengan stimulasi
sensori yang kurang adekuat

Intervensi
NOC NIC
Tujuan: Setelah diberikan intervensi Aktif Mendengarkan (4920):
selama 3x24 jam, kemampuan 1. Menampilkan ketertarikan pada
komunikasi klien bertambah. pasien
Kriteria: 2. Gunakan pertanyaan atau
1. Komunikasi (0902): pernyataan untuk mendorong
a. Penggunaan bahasa lisan (4) ekspresi pikiran, perasaan, dan
Ket 4 = Sedikit terkompromi kekhawatiran
3. Perhatikan emosi
2. Perkembangan anak: 2 tahun 4. Dengarkan nada, tempo, volume,
(0104): pitch, dan infleksi suara
a. Menggunakan frase dua sampai 5. Perhatikan waktu respon klien
tiga kata (5) sehingga mencerminkan
Ket 5 = Ditunjukkan secara konsisten pemahaman tentang pesan yang
diterima
3. Kognisi (0900): 6. Perjelas pesan melalui penggunaan
a. Konsentrasi (5) pertanyaan dan umpan balik
b. Orientasi kognitif (5) 7. Verifikasi pemahaman klien melalui
c. Memori baru (5) penggunaan pertanyaan atau umpan
Ket 5: Tidak terganggu balik
8. Gunakan keheningan /
mendengarkan mendorong ekspresi
perasaan, pikiran, dan kekhawatiran
Peningkatan komunikasi: Penurunan

16
kemampuan bicara (4976):
1. Monitor proses kognitif, anatomis
dan fisiologis yang terkait dengan
kemampuan bicara (misalnya,
memori, mendengar, dan bahasa)
2. Pantau reaksi frustrasi, kemarahan,
depresi, atau tanggapan klien
terhadap gangguan kemampuan
bicara
3. Kenali perilaku emosional dan fisik
sebagai bentuk komunikasi
4. Menyediakan metode alternatif
untuk komunikasi (misalnya,
menulis tablet, flash kartu, berkedip
mata, papan komunikasi dengan
gambar dan huruf, isyarat tangan
atau gerakan, dan komputer)
5. Menyesuaikan gaya komunikasi
klien (mendengarkan dengan penuh
perhatian, memberikan satu ide,
berbicara perlahan-lahan dan
menghindari berteriak.
6. Bekerja sama dengan keluarga dan
terapis wicara untuk
mengembangkan rencana
komunikasi efektif

Terapi Seni (4330):


1. Mengidentifikasi bentuk kegiatan
berbasis seni
2. Mengidentifikasi media seni yang
akan digunakan, seperti gambar
(misalnya, potret diri, gambar-
gambar manusia, keluarga gambar
kinetik)
3. Menyediakan perlengkapan yang
sesuai untuk tingkat perkembangan
dan tujuan untuk terapi
4. Berikan lingkungan yang tenang
yang bebas dari gangguan
5. Memantau keterlibatan klien
selama proses pembuatan seni,

17
termasuk komentar verbal dan
perilaku
6. Mendorong klien untuk
menggambarkan gambar atau
kreasi seni

Evaluasi
1. Klien mampu berkomunikasi dengan cara yang dimengerti oleh orang lain
2. Klien memulai interaksi verbal dan non verbal dengan orang lain
3. Klien dapat mengucapkan nama panggilan dirinya dan orangtua atau orang
terdekatnya dengan menggunakan verbal

18
BAB 4
KESIMPULAN

Autisme adalah gangguan perkembangan yang umumnya menimpa anak-


anak. Gangguan ini membuat anak tidak mampu berinteraksi sosial dan
seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri (Aizid, Rizem, 2011). Autisme
adalah ketidakmampuan perkembangan yang biasanya terlihat sebelum usia
dua setengah tahun dan ditandai dengan gangguan pada wicara dan bahasa,
mobilitas, persepsi, dan hubungan interpersonal (Speer, Kathleen Morgan,
2007).
Beberapa hal menjadi faktor penyebab terjadinya autisme, yaitu antara
lain faktor genetic, faktor cacat (kelainan pada bayi), faktor kelahiran dan
persalinan, faktor dari lingkungan, faktor model vaksinasi, dan faktor alergi.
Diantara gejala dan tanda yang paling penting adalah kemampuan
komunikasi verbal dan non verbal yang tidak atau kurang berkembang,
kelainan pada pola bicara, gangguan kemampuan mempertahankan
percakapan, permainan sosial yang abnormal, tidak adanya empati, dan
ketidakmampuan untuk berteman. Sering juga memperlihatkan gerak tubuh
yang stereotipik, minat yang sangat sempit, dan keasyikan dengan bagian-
bagian tubuh. Anak autistik menarik diri dan menghabiskan waktunya untuk
bermain sendiri.
Gizi pada anak normal sebenarnya juga berlaku pada anak autisme.
Hanya saja, karena adanya sejumlah gangguan dalam sistem pencernaan anak
autisme, memungkinkan proses pencernaan zat-zat gizi dalam makanan
menjadi tidak sempurna. Padahal masukan gizi pada anak normal harus
variatif dan berasal dari semua jenis makanan. Oleh karena itu, sejumlah
bahan makanan dihentikan dan tidak lagi diberikan kepada anak autisme.
Kemudian, bahan makanan tersebut diganti dengan bahan makanan lain yang
memiliki kesetaraan komposisi gizi (Wijayakusuma, 2008).
Terapi yang dilakukan pada anak dengan autism adalah terapi
pendengaran, terapi visual, terapi bicara, terapi bermain, terapi sosial, dan
pendidikan khusus. Komplikasi yang dapat terjadi pada anak autis adalah
beban berat efek metabolisme seperti peningkatan berat badan, dislipidemia
dan hyperlipidemia.

19
DAFTAR PUSTAKA

Aeni, dkk. 2001. Gangguan Perkembangan Pervasif : Ilustrasi 1 Kasus. Jurnal


Medika Nusantara, Vol : 22(2) : 347-54

Behrman, Kliegman & Arvin, Nelson. 1996. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15.
Jakarta: EGC.

Bulechek, Gloria M, Howard K. Butcher, and Joanne McCloskey Dochterman.


2014. Nursing Interventions Classification (NIC) Sixth Edition. Mosby

Handojo, Y. 2008. Autisme: Petunjuk Praktis dan Pedoman Materi untuk


Mengejar Anak Normal, Autis, dan Perilaku Lain. Jakarta : Bhuana Ilmu
Populer.

Herdman, T.H. and Kamitsuru. 2014. NANDA International Nursing


Diagnosis:Definitions& Classification, 2015-2017. Oxford: Willey
Blackwell

Judarwanto. 2007. Terapi Anak Autis di Rumah. Jakarta : Puspa Swara

Kurniasih, dkk. 2002. Menangani Anak Autis. Jakarta : Gramedia Majalah Nakita

Muhith, Abdul. 2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa Teori dan Aplikasi.


Yogyakarta : Andi

Moorhead, Sue, Marion Johnson, Meridean L. Maas, and Elizabeth


Swanson.Nursing Outcomes Classification (NOC) Measurement of Health
Outcomes Fifth Edition. Elsevier

Pusponegoro, H., D. 2006. “Apakah yang Dimaksud dengan Autisme”.


http://www.idai.or.id. Sanitasi : Diakses 6 November 2016, Pukul 14.00
WIB.

Speer, Kathleen Morgan. 2007. Rencana Asuhan Keperawatan Pediatric. Jakarta :


EGC.

U.S. Departement of Health & Human Services. 2016. Autism Spectrum


Disorders: Communication Problems in Children. USA: National
institutes of Health.

20
Wijayakusuma, Hembing. 2008. Psikoterapi Anak Autisma. Jakarta: Pustaka
Populer Obor

Yatim, Faisal. 2003. Autisme: Suatu Gangguan Jiwa pada Anak. Jakarta : Pustaka
Populer Obor

Yayasan Autisme Indonesia. 2007. 10 Jenis Terapi Autis.


http://autism.or.id.Sanitasi : Diakses 6 November 2016, Pukul 19.00 WIB.

Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC). 2013. Buku Penanganan dan


Pendidikan Autis di YPAC, http://ypacnasional.org/buku-penanganan-
danpendidikan-autis-di-ypac/ diakses pada 14 November 2016 pukul 20.25
WIB

No name. Penerapan Model Lingusitik Klinis dalam Terapi Anak-Anak Penderita


Autis. Diakses
http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_I
NDONESIA/198001292005011-
ANDIKA_DUTHA_BACHARI/AUTIS.pdf pada 14 November 2016
pukul 20.36 WIB

21

Anda mungkin juga menyukai