developmental psychology (Translator/Penerjemah: Juneman Abraham). New York: Worth Publishers.
Teori perkembangan
Meneliti atau mempelajari pembelajaran (learning) yang
dilakukan oleh anak berusia 6 tahun atau pun anak-anak lintas usia tidaklah dapat menghasilkan sebuah kesimpulan mengenai perkembangan (development). Hal yang kritis dalam sebuah teori psikologi perkembangan adalah perubahan sepanjang waktu.
Teori-teori perkembangan menekankan konsep-konsep pada
perubahan sepanjang waktu.
Teori-teori perkembangan juga menghubungkan perubahan
sepanjang waktu dengan hal-hal yang terjadi sebelumnya dan hal-hal yang terjadi berikutnya. Dengan demikian, sebuah teori perkembangan berupaya untuk menjelaskan proses- proses yang membuat sebuah fenomena (a) muncul dari perkembangan sebelumnya (prior development), dan (b) menimbulkan perkembangan lebih lanjut (subsequent development). Sebagai contoh, dengan meningkatnya jumlah representasi dalam mind seseorang secara simultan (proses perkembangan), strategi baru untuk mengulang-ulang (rehearsing) secara verbal daftar butir-butir untuk diingat dapat berkembang dari keterampilan sebelumnya (misalnya, menamai butir-butir tersebut), dan selanjutnya dapat berkombinasi dengan strategi-strategi lainnya untuk membuat ingatan (memori) menjadi lebih efisien.
Tiga tugas teori perkembangan adalah (1)
mendeskripsikan perubahan dalam satu atau sejumlah wilayah tingkah laku, (2) mendeskripsikan perubahan dalam relasi- relasi antar sejumlah wilayah tingkah laku, dan (3) menjelaskan rangkaian perkembangan yang telah dideskripsikan (Miller, 2010).
observasi langsung (direct observation) yang dipandu oleh
konsep-konsep teoretik dapat mendistorsi (membuat bias) alur tingkah laku yang diamati. Akibatnya, pengamat mencatat atau merekam perilaku-perilaku tertentu, serta mengabaikan perilaku-perilaku yang lain.
Tugas kedua dari teori perkembangan adalah mendeskripsikan
perubahan sepanjang waktu mengenai hubungan antar tingkah laku atau aspek-aspek aktivitas psikologis dalam satu wilayah perkembangan, serta antar sejumlah wilayah perkembangan. Dalam kasus konsep mengenai objek yang dikemukakan di atas, sebuah teori dapat mendeskripsikan atau menggambarkan bagaimana konsep objek tersebut berhubungan dengan sistem perkembangan memori anak-anak dan hubungan sosial anak- anak dengan satu objek tertentu (misalnya, ibu).
Tugas ketiga teori perkembangan adalah menjelaskan
rangkaian perkembangan. Pada kenyataannya, peristiwa- peristiwa perkembangan yang terjadi secara berurutan maupun bersamaan memerlukan penjelasan tertentu.
Salah satu cara untuk menafsirkan perubahan perkembangan
adalah dengan menghipotesiskan kesinambungan (kontinuitas) dalam perubahan yang tampak atau superfisial.
Ketika sebuah teori menjelaskan mengapa perkembangan
berproses dengan cara tertentu, pada saat yang sama teori tersebut menjelaskan mengapa kemungkinan perkembangan yang lain tidak terjadi. Mengapa A menimbulkan B dan bukan X?
Teori-teori perkembangan dapat memberikan dua kontribusi,
yakni (1) mengorganisasikan dan memberikan makna kepada fakta-fakta perkembangan, dan (2) memandu penelitian- penelitian perkembangan lebih lanjut.
Pesatnya penelitian mengenai anak-anak dalam dekade-dekade
terakhir menyebabkan urgensi untuk meninjau ulang teori-teori saat ini atau mengembangkan teori-teori baru untuk memaknai informasi yang kita miliki mengenai anak-anak.
Bebatuan yang sama dapat digunakan untuk membuat rumah-
rumah yang berbeda. Sama seperti itu, serangkaian fakta dapat diberikan makna-makna yang berbeda oleh ahli-ahli teori yang berbeda, dengan cara mengorganisasikan fakta-fakta secara berbeda, menekankan perilaku-perilaku yang berbeda, serta menyimpulkan konstruk-konstruk hipotetik yang berbeda.
Bebatuan yang sama dapat digunakan untuk membuat rumah-
rumah yang berbeda. Sama seperti itu, serangkaian fakta dapat diberikan makna-makna yang berbeda oleh ahli-ahli teori yang berbeda, dengan cara mengorganisasikan fakta-fakta secara berbeda, menekankan perilaku-perilaku yang berbeda, serta menyimpulkan konstruk-konstruk hipotetik yang berbeda. Peran ganda teori sebagai stimulator dan interpreter data dilukiskan dengan baik oleh penelitian agresi longitudinal dalam 22 tahun (Eron, 1987). Teori belajar tradisional, yang menekankan pada reduksi (pengurangan) dorongan, memandu pemilihan variabel-variabel terkait pada 1960, termasuk pengurangan dorongan agresif.
Meskipun teori-teori perkembangan berbeda isinya dan metode
penelitiannya, seluruhnya mengambil posisi yang sama pada sejumlah persoalan inti dari perkembangan. Ada empat isu kritis dalam teori perkembangan (Miller, 2010), yakni (1) Apakah sifat dasar manusia?, (2) Apakah perkembangan bersifat kualitatif ataukah kuantitatif?, (3) Bagaimanakah bawaan (natur) dan pengasuhan (nurtur) berkontribusi terhadap perkembangan?, serta (4) Apakah yang berkembang?
Apakah Sifat Dasar Manusia?
Para ahli filsafat ilmu mengidentifikasikan sejumlah pandangan
dunia dalam sejarah dunia Barat (Pepper, 1942). Tiga diantaranya dapat ditemukan dalam teori perkembangan (Overton, 1984; Reese, 1991), yakni pandangan mekanistik, pandangan organismik, dan pandangan kontekstual. Dalam pandangan mekanistik, dunia diibaratkan seperti sebuah mesin yang tersusun atas bagian-bagian yang beroperasi dalam ruang dan waktu. Pandangan mekanistik berakar dari fisika Newton. Di samping itu, pandangan ini juga terkait dengan filsafat empiris Locke (1632–1704) dan Hume (1711–1776), yang menggambarkan manusia sebagai makhluk yang pasif, seperti robot pasif, yang dimotivasikan oleh lingkungan atau sumber- sumber badaniah.
Sebaliknya, pandangan organismik mengambil model sistem
yang hidup, seperti tumbuhan atau binatang, ketimbang mesin. Citra sistem yang hidup ini diturunkan dari filsafat Leibniz (1646–1716) yang meyakini bahwa substansi berada dalam transisi yang berkelanjutan dari satu keadaan ke keadaan lain, sementara substansi tersebut menghasilkan kondisi-kondisi keluar melampaui dirinya sendiri dan suksesi yang tanpa henti. Leibniz menggambarkan dunia sebagai tersusun atas “keseluruhan” (wholes) yang tergorganisasikan yang secara inheren dan spontan aktif serta mengatur dirinya sendiri (self- regulating). Organisasi dan aktivitas yang terarah pada diri (self-directed) ini perlu atau merupakan sifat alami organisme.
Pandangan organismik tidak melihat sebab-sebab anteseden
(sebagaimana pandangan mekanistik), melainkan memandang properti-properti (atribut-atribut) dan tujuan-tujuan yang inheren (melekat) pada manusia.
Pandangan organismik bahwa anak-anak “mengkonstruksi”
(membangun) pengetahuan mereka secara aktif telah merumuskan dan menguji hipotesis-hipotesis (dugaan-dugaan) mengenai kategori-kategori objek dan sebab-sebab peristiwa.
Dalam pandangan kontekstualisme, metafora utamanya
bukanlah mesin atau pun sistem hidup, melainkan aksi historis atau sebuah permadani hiasan dinding. Tingkah laku memiliki makna (dan dapat “dijelaskan”) hanya dalam konteks sosial- historisnya.
Dengan demikian, kaum kontekstualis meyakini bahwa pola-
pola perkembangan anak-anak dapat berbeda antar kultur, subkultur, atau waktu historis.
Di samping ketiga pandangan metafisik tentang manusia di atas
(mekanistik, organismik, kontekstual), ideologi ekonomi dan politik tertentu memiliki pengaruh.
Dari perubahan sejarah yang dikemukakan di atas, kita mudah
melihat bahwa setiap teori psikologi perkembangan senantiasa memiliki pandangan tentang manusia yang merefleksikan keyakinan filosofis, ekonomis, dan politis.
Apakah Perkembangan itu Kualitatif atau Kuantitatif?
Apakah Perkembangan itu Kualitatif atau Kuantitatif?
Hal yang berkaitan dengan pandangan manusia adalah
persoalan mengenai basis perubahan perkembangan. Apakah perubahan itu kuantitatif atau kualitatif? Pandangan mekanistik dan kapitalistik menekankan perubahan kuantitatif. Pandangan organismik dan merkantilistik menekankan perubahan kualitatif. Pandangan kontekstual dapat menerima perubahan kuantitatif maupun kualitatif.
Perubahan kualitatif merupakan perubahan dalam jenis atau
tipe. Sebagai contoh di alam: telur à ulat àkepompong (Spiker, 1966). Contoh yang mengkontraskan perubahan kuantitatif dan kualitatif dapat ditemukan dalam perkembangan memori (ingatan). Apabila anak berusia 4 tahun dapat mengingat (recall) tiga objek, dan seorang anak 7 tahun dapat mengingat 7 objek dari serangkaian objek yang dilihat beberapa menit sebelumnya, kita dapat menyimpulkan perbedaan kuantitatif dalam fungsi mental mereka berdua. Pada tingkat yang lebih umum, isu perubahan kualitatif lawan kuantitatif menjadi isu perkembangan tahap lawan non-tahap. Ketika terdapat keserupaan dalam jumlah kemampuan atau tingkah laku baru sepanjang sebuah periode waktu, seorang teoris seringkali menyimpulkan bahwa anak tersebut berada dalam “tahap” tertentu. Sulit untuk menyatakan bilamana perubahan perkembangan itu kuantitatif atau kualitatif. Masalahnya adalah bahwa perubahan dapat nampak tiba-tiba dan kualitatif apabila menggunakan interval waktu panjang, sedangkan nampak kuantitatif apabila menggunakan interval waktu pendek untuk tingkah laku yang disampel.
Dewasa ini, perdebatan mengenai perkembangan
kuantitatif versus kualitatif berfokus pada dua persoalan. Pertama, apakah bentuk persis dari kurva perkembangan dari sejumlah keterampilan (Adolph, dkk., 2008) Kedua, persoalan kuantitatif-kualitatif muncul kembali akhir- akhir ini dalam sebuah diskusi mengenai bagaimana memaknai bayi-bayi yang nampaknya memiliki kompetensi seperti orang dewasa (Liben, 2008).
Bagaimana Natur dan Nurtur Berkontribusi Pada
Perkembangan?
Terhadap persoalan apakah perkembangan bersifat kualitatif
ataukah kuantitatif, para ahli tetap harus merujuk pada sebab- sebab atau kausa perkembangan. Kontroversi ini merebak tidak hanya dalam psikologi tetapi juga dalam filsafat. Dalam psikologi, pertanyaannya telah berubah. Pertanyaan awalnya adalah, “Manakah (hereditas atau lingkungan) yang menyebabkan tingkah laku?”, atau “Seberapa banyakkah masing-masing dari hereditas atau lingkungan diperlukan untuk menghasilkan tingkah laku?” Namun, pertanyaan ini telah digantikan dengan, “Berapa banyak variasi dalam tingkah laku lintas orang yang disebabkan oleh perbedaan herediter, dan berapa banyak yang disebabkan oleh perbedaan lingkungan?”, serta “Bagaimana (dengan cara apa) natur dan nurtur berinteraksi untuk menghasilkan perkembangan?”.
Dewasa ini jelas bahwa ada interaksi kompleks antara faktor
bawaan dan lingkungan yang bertanggungjawab terhadap perkembangan sebuah sifat atau tingkah laku dalam seorang individu dan variasi sifat atau tingkah laku antar-individu. Persoalan nature-nurtur merupakan wilayah penelitian neurosains kognitif yang paling aktif dan bergairah, yakni interaksi gen x lingkungan. Interaksi gen x lingkungan merujuk pada (a) efek-efek lingkungan yang memoderasi pengaruh genetik, atau (b) variasi genetik yang mempengaruhi kepekaan orang terhadap pengaruh lingkungan khusus, termasuk intervensi. Salah satu contoh riset interaksi gen x lingkungan menunjukkan bahwa lingkungan memoderasi pengaruh genetik adalah penelitian “risiko genetik” (genetic risk) (Brody, Beach, Philibert, Chen, & Murry, 2009). Penelitian ini menunjukkan bahwa sejumlah anak secara genetik berada dalam risiko masalah keperilakuan tertentu. Penelitian interaksi gen x lingkungan yang menunjukkan bahwa variasi genetik mempengaruhi sensitivitas seseorang terhadap peristiwa lingkungan khusus adalah studi faktor-faktor genetik dan kelekatan orang dewasa (adult attachment) (Caspers, dkk., 2009). Salah satu cara yang berguna untuk memikirkan interaksi gen x lingkungan ini, khususnya ekspresi gen, adalah menganalogikan DNA seseorang dengan perpustakaan besar (Champagne, 2009, h. 27): Sama seperti buku-buku tertentu, ada yang diblok dan ada yang mudah dijangkau, maka lingkungan maupun wilayah yang meregulasi DNA dapat memblok DNA atau membuatnya aksesibel, sehingga mempengaruhi seberapa mudah DNA diekspresikan. Lingkungan seringkali menyediakan, atau tidak menyediakan, pencetus (trigger). Perkembangan pesat berikutnya dalam penelitian natur-nurtur dirangsang oleh teknologi pencitraan otak baru yang menghasilkan peta kegiatan otak. Citra ini dihasilkan oleh perubahan dalam aliran darah (dalam fMRI), kegiatan metabolik dalam serebrum, atau aktivitas elektris. Hubungan kompleks antara biologi dan pengalaman dapat dilihat dalam produksi berlebihan sinapsis pada awal perkembangan yang didorong secara biologis, dan berhentinya produksi sinapsis karena tidak ada stimulasi oleh pengalaman.
Apakah Yang Berkembang?
Setiap ahli teori membuat klaim mengenai “esensi”
perkembangan, atau setidaknya unit analisis yang tepat untuk perkembangan; misalnya struktur kognitif, struktur psikis (id, ego, superego), strategi pemrosesan informasi, jejaring saraf, pola-pola tindakan, eksplorasi perseptual, modul-modul mental, dan perangkat kultural.
Teori Tahap Kognitif Piaget dan Neo-Piagetian
Teori Piaget menyatakan adanya tahapan tertentu (invarian)
yang dilewati anak dalam memperoleh pengetahuan tentang dunia (epistemologi genetik). Perubahan pada tiap tahap melibatkan perubahan struktur pikiran (Piaget, 1971). Piaget memandang anak-anak sebagai organisme aktif dan mengatur diri sendiri (self-regulating) yang berubah melalui sarana interaksi antara faktor bawaan dengan lingkungan. Piaget menekankan perubahan kualitatif, namun ia mengidentifikasikan perubahan kuantitatif tertentu pula.
Teori Psikoanalitik Freud dan Erikson
Ada dua kontribusi gagasan Freud terhadap psikologi
perkembangan. Pertama, Freud menyatakan bahwa tahun- tahun pertama kehidupan itu kritis sebab kepribadian dasar terbentuk sepanjang waktu tersebut. Kedua, ia meyakini bahwa kepribadian berkembang seiring anak menanggulangi rangkaian konflik. Setiap konflik melibatkan wilayah badan yang berbeda, yakni oral (mulut), anal (anus), falik (penis), dan genital (kelamin dewasa).
Teori Psikoanalitik Freud dan Erikson
Ada dua kontribusi gagasan Freud terhadap psikologi
perkembangan. Pertama, Freud menyatakan bahwa tahun- tahun pertama kehidupan itu kritis sebab kepribadian dasar terbentuk sepanjang waktu tersebut. Kedua, ia meyakini bahwa kepribadian berkembang seiring anak menanggulangi rangkaian konflik. Setiap konflik melibatkan wilayah badan yang berbeda, yakni oral (mulut), anal (anus), falik (penis), dan genital (kelamin dewasa). Dengan menggunakan model energi dari fisika, Freud mendeskripsikan sistem energi psikologis yang didistribusikan, ditransformasikan, dan diberhentikan dalam sebuah struktur psikologis. Freud memandang manusia sebagai makhluk yang didorong oleh insting (naluri), namun secara aktif mencoba menanggulangi (cope) konflik-konflik internal dan eksternal yang beragam. Teori perkembangan psikososial dari Erikson memodifikasi teori Freud dalam dua hal. Pertama, Erikson mengidentifikasikan pengaruh-pengaruh sosial yang penting terhadap perkembangan sepanjang rentang kehidupan. Kontribusi utama kedua dari Erikson terhadap teori psikonalitis adalah konsepnya bahwa kehidupan merupakan pencarian identitas (quest for identity).
Freud dan Erikson menghasilkan perspektif yang unik namun
saling melengkapi mengenai perkembangan.
Vygotsky dan Pendekatan Sosiobudaya
Pendekatan sosiokultural terhadap perkembangan memiliki
banyak akar pemikiran, utamanya dari Vygotsky (misalnya, Vygotsky, 1978). Teori Vygotsky memiliki pengaruh terhadap para psikolog perkembangan, khususnya dalam perkembangan kognitif. Di samping anak-dalam-aktivitas-dalam-konteks- kultural sebagai unit studi, sejumlah karakteristik lainnya mendefinisikan setting. Anak-anak berkembang dalam zona perkembangan proksimal, yakni jarak antara apa yang bisa dilakukan seorang anak tanpa bantuan dengan apa yang dapat dilakukan anak dengan bantuan. Seiring anak terlibat dalam aktivitas dengan orang lain, maka aktivitas inter-mental (khususnya dialog) menjadi aktivitas intramental. Dengan cara ini, maka keberfungsian mental individu memiliki asal sosiokultural. Perangkat teknis dan psikologis yang disediakan oleh kebudayaan memediasikan fungsi intelektual. Bagi Vygotsky, mekanisme perkembangan paling umum adalah proses dialektis, dalam hal mana dua gagasan atau fenomena kontradiktif disintesiskan menjadi sebuah gagasan atau fenomena. Terkait dengan aplikasi (terapan) teorinya, Vygotsky menulis mengenai pembelajaran dalam ruang kelas dan tentang anak-anak berkebutuhan khusus (special needs children). Penelitian Vygotskian yang bersifat sosiokultural dewasa ini berfokus pada pemecahan masalah kolaboratif, proses-proses perkembangan dalam berbagai kultur atau sepanjang waktu perubahan kultural, serta akulturasi melalui narasi dan percakapan (konversasi).
Teori Belajar Sosial
Teori belajar sosial mempertahankan semangat gerakan
behaviorisme, yakni penelitian yang ketat secara eksperimental tentang proses-proses belajar dasar.
Albert Bandura memberikan sumbangsih tiga konsep kunci
dalam teori belajar sosial:
Pertama, belajar melalui pengamatan (observational learning)
dapat lebih luas daripada sekadar meniru (mimicking) tingkah laku orang lain. Kedua, anak-anak mengatur dirinya sendiri (self-regulatory). Meskipun penguatan (reinforcement) tidak diperlukan untuk belajar, penguatan membantu untuk regulasi diri. Ketiga, triadik resiprokal sebab-akibat memberikan model perubahan tingkah laku. Anak-anak mengembangkan lima keterampilan yang sangat penting untuk belajar sosial, yakni simbolisasi, pembelajaran melalui orang lain (vicarious learning), regulasi diri, efikasi diri, dan kemampuan untuk melihat konsekuensi masa mendatang dari tingkah laku sekarang (Perry, 1989). Teori Bandura dapat diuji. Teori Bandura juga integratif, karena menyatukan bersama pemrosesan informasi dan proses-proses sosialisasi.
Teori Pemrosesan Informasi
Pendekatan pemrosesan informasi meneliti bagaimana kerja
sistem manipulasi simbolik oleh manusia. Manusia terbatas dalam hal seberapa banyak informasi yang dapat diprosesnya dalam waktu tertentu serta dalam seberapa cepat mereka dapat memproses informasi tersebut. Teori pemrosesan informasi telah diterapkan utamanya dalam lingkungan pendidikan, serta isu-isu yang menyangkut reliabilitas atau keterandalan kesaksian (eyewitness testimony) anak-anak muda.
Teori Etologi dan Evolusioner
Etologi, bersama dengan perspektif evolusioner lainnya,
merupakan salah satu kontribusi utama zoologi terhadap psikologi perkembangan, Ribuan jam yang dihabiskan untuk mengamati binatang (khususnya primata nonhuman) telah membantu kita memahami tingkah laku manusia dan perkembangannya. Sudut pandang etologis memiliki pengaruh yang besar dalam psikologi perkembangan dengan merangsang penelitian mengenai kelekatan (attachment). Terkait dengan perkembangan, teori etologi memandang manusia sebagai spesies yang ber-evolusi untuk bertahan hidup dalam lingkungan khusus tertentu. Etologi memiliki sejumlah kontribusi terhadap psikologi perkembangan, karena memberikan perspektif evolusioner yang mendorong peneliti untuk meninjau fungsi tingkah laku tertentu dari anak-anak.