Anda di halaman 1dari 15

Kehidupan sebagai

Penerjemah (3):
Perkembangan Manusia
SUMMARY ;

SOURCE : Miller, P. H. (2009). Theories of


developmental psychology (Translator/Penerjemah:
Juneman Abraham). New York: Worth Publishers.

Teori perkembangan

Meneliti atau mempelajari pembelajaran (learning) yang


dilakukan oleh anak berusia 6 tahun atau pun anak-anak lintas
usia tidaklah dapat menghasilkan sebuah kesimpulan mengenai
perkembangan (development). Hal yang kritis dalam sebuah
teori psikologi perkembangan adalah perubahan sepanjang
waktu.

Teori-teori perkembangan menekankan konsep-konsep pada


perubahan sepanjang waktu.

Teori-teori perkembangan juga menghubungkan perubahan


sepanjang waktu dengan hal-hal yang terjadi sebelumnya dan
hal-hal yang terjadi berikutnya. Dengan demikian, sebuah teori
perkembangan berupaya untuk menjelaskan proses-
proses yang membuat sebuah fenomena (a) muncul dari
perkembangan sebelumnya (prior development), dan (b)
menimbulkan perkembangan lebih lanjut (subsequent
development). Sebagai contoh, dengan meningkatnya jumlah
representasi dalam mind seseorang secara simultan (proses
perkembangan), strategi baru untuk mengulang-ulang
(rehearsing) secara verbal daftar butir-butir untuk diingat
dapat berkembang dari keterampilan sebelumnya (misalnya,
menamai butir-butir tersebut), dan selanjutnya dapat
berkombinasi dengan strategi-strategi lainnya untuk membuat
ingatan (memori) menjadi lebih efisien.

Tiga tugas teori perkembangan adalah (1)


mendeskripsikan perubahan dalam satu atau sejumlah wilayah
tingkah laku, (2) mendeskripsikan perubahan dalam relasi-
relasi antar sejumlah wilayah tingkah laku, dan (3) menjelaskan
rangkaian perkembangan yang telah dideskripsikan (Miller,
2010).

observasi langsung (direct observation) yang dipandu oleh


konsep-konsep teoretik dapat mendistorsi (membuat bias) alur
tingkah laku yang diamati. Akibatnya, pengamat mencatat atau
merekam perilaku-perilaku tertentu, serta mengabaikan
perilaku-perilaku yang lain.

Tugas kedua dari teori perkembangan adalah mendeskripsikan


perubahan sepanjang waktu mengenai hubungan antar tingkah
laku atau aspek-aspek aktivitas psikologis dalam satu wilayah
perkembangan, serta antar sejumlah wilayah perkembangan.
Dalam kasus konsep mengenai objek yang dikemukakan di atas,
sebuah teori dapat mendeskripsikan atau menggambarkan
bagaimana konsep objek tersebut berhubungan dengan sistem
perkembangan memori anak-anak dan hubungan sosial anak-
anak dengan satu objek tertentu (misalnya, ibu).

Tugas ketiga teori perkembangan adalah menjelaskan


rangkaian perkembangan. Pada kenyataannya, peristiwa-
peristiwa perkembangan yang terjadi secara berurutan maupun
bersamaan memerlukan penjelasan tertentu.

Salah satu cara untuk menafsirkan perubahan perkembangan


adalah dengan menghipotesiskan kesinambungan (kontinuitas)
dalam perubahan yang tampak atau superfisial.

Ketika sebuah teori menjelaskan mengapa perkembangan


berproses dengan cara tertentu, pada saat yang sama teori
tersebut menjelaskan mengapa kemungkinan perkembangan
yang lain tidak terjadi. Mengapa A menimbulkan B dan
bukan X?

Teori-teori perkembangan dapat memberikan dua kontribusi,


yakni (1) mengorganisasikan dan memberikan makna kepada
fakta-fakta perkembangan, dan (2) memandu penelitian-
penelitian perkembangan lebih lanjut.

Pesatnya penelitian mengenai anak-anak dalam dekade-dekade


terakhir menyebabkan urgensi untuk meninjau ulang teori-teori
saat ini atau mengembangkan teori-teori baru untuk memaknai
informasi yang kita miliki mengenai anak-anak.

Bebatuan yang sama dapat digunakan untuk membuat rumah-


rumah yang berbeda. Sama seperti itu, serangkaian fakta dapat
diberikan makna-makna yang berbeda oleh ahli-ahli teori yang
berbeda, dengan cara mengorganisasikan fakta-fakta secara
berbeda, menekankan perilaku-perilaku yang berbeda, serta
menyimpulkan konstruk-konstruk hipotetik yang berbeda.

Bebatuan yang sama dapat digunakan untuk membuat rumah-


rumah yang berbeda. Sama seperti itu, serangkaian fakta dapat
diberikan makna-makna yang berbeda oleh ahli-ahli teori yang
berbeda, dengan cara mengorganisasikan fakta-fakta secara
berbeda, menekankan perilaku-perilaku yang berbeda, serta
menyimpulkan konstruk-konstruk hipotetik yang
berbeda. Peran ganda teori sebagai stimulator dan interpreter
data dilukiskan dengan baik oleh penelitian agresi longitudinal
dalam 22 tahun (Eron, 1987). Teori belajar tradisional, yang
menekankan pada reduksi (pengurangan) dorongan, memandu
pemilihan variabel-variabel terkait pada 1960, termasuk
pengurangan dorongan agresif.

Meskipun teori-teori perkembangan berbeda isinya dan metode


penelitiannya, seluruhnya mengambil posisi yang sama pada
sejumlah persoalan inti dari perkembangan. Ada empat isu
kritis dalam teori perkembangan (Miller, 2010), yakni (1)
Apakah sifat dasar manusia?, (2) Apakah perkembangan
bersifat kualitatif ataukah kuantitatif?, (3) Bagaimanakah
bawaan (natur) dan pengasuhan (nurtur) berkontribusi
terhadap perkembangan?, serta (4) Apakah yang berkembang?

Apakah Sifat Dasar Manusia?

Para ahli filsafat ilmu mengidentifikasikan sejumlah pandangan


dunia dalam sejarah dunia Barat (Pepper, 1942). Tiga
diantaranya dapat ditemukan dalam teori perkembangan
(Overton, 1984; Reese, 1991), yakni pandangan mekanistik,
pandangan organismik, dan pandangan kontekstual. Dalam
pandangan mekanistik, dunia diibaratkan seperti sebuah mesin
yang tersusun atas bagian-bagian yang beroperasi dalam ruang
dan waktu. Pandangan mekanistik berakar dari fisika Newton.
Di samping itu, pandangan ini juga terkait dengan filsafat
empiris Locke (1632–1704) dan Hume (1711–1776), yang
menggambarkan manusia sebagai makhluk yang pasif, seperti
robot pasif, yang dimotivasikan oleh lingkungan atau sumber-
sumber badaniah.

Sebaliknya, pandangan organismik mengambil model sistem


yang hidup, seperti tumbuhan atau binatang, ketimbang mesin.
Citra sistem yang hidup ini diturunkan dari filsafat Leibniz
(1646–1716) yang meyakini bahwa substansi berada dalam
transisi yang berkelanjutan dari satu keadaan ke keadaan lain,
sementara substansi tersebut menghasilkan kondisi-kondisi
keluar melampaui dirinya sendiri dan suksesi yang tanpa henti.
Leibniz menggambarkan dunia sebagai tersusun atas
“keseluruhan” (wholes) yang tergorganisasikan yang secara
inheren dan spontan aktif serta mengatur dirinya sendiri (self-
regulating). Organisasi dan aktivitas yang terarah pada diri
(self-directed) ini perlu atau merupakan sifat alami organisme.

Pandangan organismik tidak melihat sebab-sebab anteseden


(sebagaimana pandangan mekanistik), melainkan memandang
properti-properti (atribut-atribut) dan tujuan-tujuan yang
inheren (melekat) pada manusia.

Pandangan organismik bahwa anak-anak “mengkonstruksi”


(membangun) pengetahuan mereka secara aktif telah
merumuskan dan menguji hipotesis-hipotesis (dugaan-dugaan)
mengenai kategori-kategori objek dan sebab-sebab peristiwa.

Dalam pandangan kontekstualisme, metafora utamanya


bukanlah mesin atau pun sistem hidup, melainkan aksi historis
atau sebuah permadani hiasan dinding. Tingkah laku memiliki
makna (dan dapat “dijelaskan”) hanya dalam konteks sosial-
historisnya.

Dengan demikian, kaum kontekstualis meyakini bahwa pola-


pola perkembangan anak-anak dapat berbeda antar kultur,
subkultur, atau waktu historis.

Di samping ketiga pandangan metafisik tentang manusia di atas


(mekanistik, organismik, kontekstual), ideologi ekonomi dan
politik tertentu memiliki pengaruh.

Dari perubahan sejarah yang dikemukakan di atas, kita mudah


melihat bahwa setiap teori psikologi perkembangan senantiasa
memiliki pandangan tentang manusia yang merefleksikan
keyakinan filosofis, ekonomis, dan politis.

Apakah Perkembangan itu Kualitatif atau Kuantitatif?

Apakah Perkembangan itu Kualitatif atau Kuantitatif?

Hal yang berkaitan dengan pandangan manusia adalah


persoalan mengenai basis perubahan perkembangan. Apakah
perubahan itu kuantitatif atau kualitatif? Pandangan mekanistik
dan kapitalistik menekankan perubahan kuantitatif. Pandangan
organismik dan merkantilistik menekankan perubahan
kualitatif. Pandangan kontekstual dapat menerima perubahan
kuantitatif maupun kualitatif.

Perubahan kualitatif merupakan perubahan dalam jenis atau


tipe. Sebagai contoh di alam: telur à ulat àkepompong (Spiker,
1966).
Contoh yang mengkontraskan perubahan kuantitatif dan
kualitatif dapat ditemukan dalam perkembangan memori
(ingatan). Apabila anak berusia 4 tahun dapat mengingat
(recall) tiga objek, dan seorang anak 7 tahun dapat mengingat 7
objek dari serangkaian objek yang dilihat beberapa menit
sebelumnya, kita dapat menyimpulkan perbedaan kuantitatif
dalam fungsi mental mereka berdua.
Pada tingkat yang lebih umum, isu perubahan
kualitatif lawan kuantitatif menjadi isu perkembangan
tahap lawan non-tahap. Ketika terdapat keserupaan dalam
jumlah kemampuan atau tingkah laku baru sepanjang sebuah
periode waktu, seorang teoris seringkali menyimpulkan bahwa
anak tersebut berada dalam “tahap” tertentu.
Sulit untuk menyatakan bilamana perubahan perkembangan itu
kuantitatif atau kualitatif. Masalahnya adalah bahwa perubahan
dapat nampak tiba-tiba dan kualitatif apabila menggunakan
interval waktu panjang, sedangkan nampak kuantitatif apabila
menggunakan interval waktu pendek untuk tingkah laku yang
disampel.

Dewasa ini, perdebatan mengenai perkembangan


kuantitatif versus kualitatif berfokus pada dua
persoalan. Pertama, apakah bentuk persis dari kurva
perkembangan dari sejumlah keterampilan (Adolph, dkk.,
2008)
Kedua, persoalan kuantitatif-kualitatif muncul kembali akhir-
akhir ini dalam sebuah diskusi mengenai bagaimana memaknai
bayi-bayi yang nampaknya memiliki kompetensi seperti orang
dewasa (Liben, 2008).

Bagaimana Natur dan Nurtur Berkontribusi Pada


Perkembangan?

Terhadap persoalan apakah perkembangan bersifat kualitatif


ataukah kuantitatif, para ahli tetap harus merujuk pada sebab-
sebab atau kausa perkembangan.
Kontroversi ini merebak tidak hanya dalam psikologi tetapi juga
dalam filsafat.
Dalam psikologi, pertanyaannya telah berubah. Pertanyaan
awalnya adalah, “Manakah (hereditas atau lingkungan) yang
menyebabkan tingkah laku?”, atau “Seberapa
banyakkah masing-masing dari hereditas atau lingkungan
diperlukan untuk menghasilkan tingkah laku?” Namun,
pertanyaan ini telah digantikan dengan, “Berapa banyak
variasi dalam tingkah laku lintas orang yang disebabkan oleh
perbedaan herediter, dan berapa banyak yang disebabkan oleh
perbedaan lingkungan?”, serta “Bagaimana (dengan cara apa)
natur dan nurtur berinteraksi untuk menghasilkan
perkembangan?”.

Dewasa ini jelas bahwa ada interaksi kompleks antara faktor


bawaan dan lingkungan yang bertanggungjawab terhadap
perkembangan sebuah sifat atau tingkah laku dalam seorang
individu dan variasi sifat atau tingkah laku antar-individu.
Persoalan nature-nurtur merupakan wilayah penelitian
neurosains kognitif yang paling aktif dan bergairah, yakni
interaksi gen x lingkungan. Interaksi gen x lingkungan merujuk
pada (a) efek-efek lingkungan yang memoderasi pengaruh
genetik, atau (b) variasi genetik yang mempengaruhi kepekaan
orang terhadap pengaruh lingkungan khusus, termasuk
intervensi.
Salah satu contoh riset interaksi gen x lingkungan menunjukkan
bahwa lingkungan memoderasi pengaruh genetik adalah
penelitian “risiko genetik” (genetic risk) (Brody, Beach,
Philibert, Chen, & Murry, 2009). Penelitian ini menunjukkan
bahwa sejumlah anak secara genetik berada dalam risiko
masalah keperilakuan tertentu.
Penelitian interaksi gen x lingkungan yang menunjukkan bahwa
variasi genetik mempengaruhi sensitivitas seseorang terhadap
peristiwa lingkungan khusus adalah studi faktor-faktor genetik
dan kelekatan orang dewasa (adult attachment) (Caspers, dkk.,
2009).
Salah satu cara yang berguna untuk memikirkan interaksi gen x
lingkungan ini, khususnya ekspresi gen, adalah menganalogikan
DNA seseorang dengan perpustakaan besar (Champagne, 2009,
h. 27):
Sama seperti buku-buku tertentu, ada yang diblok dan ada yang
mudah dijangkau, maka lingkungan maupun wilayah yang
meregulasi DNA dapat memblok DNA atau membuatnya
aksesibel, sehingga mempengaruhi seberapa mudah DNA
diekspresikan. Lingkungan seringkali menyediakan, atau tidak
menyediakan, pencetus (trigger). Perkembangan pesat
berikutnya dalam penelitian natur-nurtur dirangsang oleh
teknologi pencitraan otak baru yang menghasilkan peta
kegiatan otak. Citra ini dihasilkan oleh perubahan dalam aliran
darah (dalam fMRI), kegiatan metabolik dalam serebrum, atau
aktivitas elektris.
Hubungan kompleks antara biologi dan pengalaman dapat
dilihat dalam produksi berlebihan sinapsis pada awal
perkembangan yang didorong secara biologis, dan berhentinya
produksi sinapsis karena tidak ada stimulasi oleh pengalaman.

Apakah Yang Berkembang?

Setiap ahli teori membuat klaim mengenai “esensi”


perkembangan, atau setidaknya unit analisis yang tepat untuk
perkembangan; misalnya struktur kognitif, struktur psikis (id,
ego, superego), strategi pemrosesan informasi, jejaring saraf,
pola-pola tindakan, eksplorasi perseptual, modul-modul
mental, dan perangkat kultural.

Teori Tahap Kognitif Piaget dan Neo-Piagetian

Teori Piaget menyatakan adanya tahapan tertentu (invarian)


yang dilewati anak dalam memperoleh pengetahuan tentang
dunia (epistemologi genetik).
Perubahan pada tiap tahap melibatkan perubahan struktur
pikiran (Piaget, 1971).
Piaget memandang anak-anak sebagai organisme aktif dan
mengatur diri sendiri (self-regulating) yang berubah melalui
sarana interaksi antara faktor bawaan dengan lingkungan.
Piaget menekankan perubahan kualitatif, namun ia
mengidentifikasikan perubahan kuantitatif tertentu pula.

Teori Psikoanalitik Freud dan Erikson

Ada dua kontribusi gagasan Freud terhadap psikologi


perkembangan. Pertama, Freud menyatakan bahwa tahun-
tahun pertama kehidupan itu kritis sebab kepribadian dasar
terbentuk sepanjang waktu tersebut. Kedua, ia meyakini bahwa
kepribadian berkembang seiring anak menanggulangi
rangkaian konflik. Setiap konflik melibatkan wilayah badan
yang berbeda, yakni oral (mulut), anal (anus), falik (penis), dan
genital (kelamin dewasa).

Teori Psikoanalitik Freud dan Erikson

Ada dua kontribusi gagasan Freud terhadap psikologi


perkembangan. Pertama, Freud menyatakan bahwa tahun-
tahun pertama kehidupan itu kritis sebab kepribadian dasar
terbentuk sepanjang waktu tersebut. Kedua, ia meyakini bahwa
kepribadian berkembang seiring anak menanggulangi
rangkaian konflik. Setiap konflik melibatkan wilayah badan
yang berbeda, yakni oral (mulut), anal (anus), falik (penis), dan
genital (kelamin dewasa).
Dengan menggunakan model energi dari fisika, Freud
mendeskripsikan sistem energi psikologis yang didistribusikan,
ditransformasikan, dan diberhentikan dalam sebuah struktur
psikologis.
Freud memandang manusia sebagai makhluk yang didorong
oleh insting (naluri), namun secara aktif mencoba
menanggulangi (cope) konflik-konflik internal dan eksternal
yang beragam.
Teori perkembangan psikososial dari Erikson memodifikasi
teori Freud dalam dua hal. Pertama, Erikson
mengidentifikasikan pengaruh-pengaruh sosial yang penting
terhadap perkembangan sepanjang rentang kehidupan.
Kontribusi utama kedua dari Erikson terhadap teori psikonalitis
adalah konsepnya bahwa kehidupan merupakan pencarian
identitas (quest for identity).

Freud dan Erikson menghasilkan perspektif yang unik namun


saling melengkapi mengenai perkembangan.

Vygotsky dan Pendekatan Sosiobudaya

Pendekatan sosiokultural terhadap perkembangan memiliki


banyak akar pemikiran, utamanya dari Vygotsky (misalnya,
Vygotsky, 1978). Teori Vygotsky memiliki pengaruh terhadap
para psikolog perkembangan, khususnya dalam perkembangan
kognitif. Di samping anak-dalam-aktivitas-dalam-konteks-
kultural sebagai unit studi, sejumlah karakteristik lainnya
mendefinisikan setting. Anak-anak berkembang dalam zona
perkembangan proksimal, yakni jarak antara apa yang bisa
dilakukan seorang anak tanpa bantuan dengan apa yang dapat
dilakukan anak dengan bantuan.
Seiring anak terlibat dalam aktivitas dengan orang lain, maka
aktivitas inter-mental (khususnya dialog) menjadi aktivitas
intramental. Dengan cara ini, maka keberfungsian mental
individu memiliki asal sosiokultural.
Perangkat teknis dan psikologis yang disediakan oleh
kebudayaan memediasikan fungsi intelektual.
Bagi Vygotsky, mekanisme perkembangan paling umum adalah
proses dialektis, dalam hal mana dua gagasan atau fenomena
kontradiktif disintesiskan menjadi sebuah gagasan atau
fenomena. Terkait dengan aplikasi (terapan) teorinya, Vygotsky
menulis mengenai pembelajaran dalam ruang kelas dan tentang
anak-anak berkebutuhan khusus (special needs children).
Penelitian Vygotskian yang bersifat sosiokultural dewasa ini
berfokus pada pemecahan masalah kolaboratif, proses-proses
perkembangan dalam berbagai kultur atau sepanjang waktu
perubahan kultural, serta akulturasi melalui narasi dan
percakapan (konversasi).

Teori Belajar Sosial

Teori belajar sosial mempertahankan semangat gerakan


behaviorisme, yakni penelitian yang ketat secara eksperimental
tentang proses-proses belajar dasar.

Albert Bandura memberikan sumbangsih tiga konsep kunci


dalam teori belajar sosial:

Pertama, belajar melalui pengamatan (observational learning)


dapat lebih luas daripada sekadar meniru (mimicking) tingkah
laku orang lain.
Kedua, anak-anak mengatur dirinya sendiri (self-regulatory).
Meskipun penguatan (reinforcement) tidak diperlukan untuk
belajar, penguatan membantu untuk regulasi diri.
Ketiga, triadik resiprokal sebab-akibat memberikan model
perubahan tingkah laku.
Anak-anak mengembangkan lima keterampilan yang sangat
penting untuk belajar sosial, yakni simbolisasi, pembelajaran
melalui orang lain (vicarious learning), regulasi diri, efikasi
diri, dan kemampuan untuk melihat konsekuensi masa
mendatang dari tingkah laku sekarang (Perry, 1989). Teori
Bandura dapat diuji. Teori Bandura juga integratif, karena
menyatukan bersama pemrosesan informasi dan proses-proses
sosialisasi.

Teori Pemrosesan Informasi

Pendekatan pemrosesan informasi meneliti bagaimana kerja


sistem manipulasi simbolik oleh manusia.
Manusia terbatas dalam hal seberapa banyak informasi yang
dapat diprosesnya dalam waktu tertentu serta dalam seberapa
cepat mereka dapat memproses informasi tersebut. Teori
pemrosesan informasi telah diterapkan utamanya dalam
lingkungan pendidikan, serta isu-isu yang menyangkut
reliabilitas atau keterandalan kesaksian (eyewitness testimony)
anak-anak muda.

Teori Etologi dan Evolusioner

Etologi, bersama dengan perspektif evolusioner lainnya,


merupakan salah satu kontribusi utama zoologi terhadap
psikologi perkembangan, Ribuan jam yang dihabiskan untuk
mengamati binatang (khususnya primata nonhuman) telah
membantu kita memahami tingkah laku manusia dan
perkembangannya. Sudut pandang etologis memiliki pengaruh
yang besar dalam psikologi perkembangan dengan merangsang
penelitian mengenai kelekatan (attachment). Terkait dengan
perkembangan, teori etologi memandang manusia sebagai
spesies yang ber-evolusi untuk bertahan hidup dalam
lingkungan khusus tertentu. Etologi memiliki sejumlah
kontribusi terhadap psikologi perkembangan, karena
memberikan perspektif evolusioner yang mendorong peneliti
untuk meninjau fungsi tingkah laku tertentu dari anak-anak.

Anda mungkin juga menyukai