PROPOSAL PENELITIAN
Oleh :
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MEDAN
2020
i
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan...............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................iv
DAFTAR TABEL..................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1. Latar Belakang..........................................................................................1
ii
2.3. Nyamuk Culex sp....................................................................................17
2.3.3. Habitat..............................................................................................21
2.3.4. Perilaku............................................................................................21
2.5. Hipotesis..................................................................................................23
3.3.1. Populasi............................................................................................24
3.3.2. Sampel..............................................................................................24
3.6.1. Alat...................................................................................................28
3.6.2. Bahan...............................................................................................29
iii
3.7.4. Penentuan Konsentrasi.....................................................................33
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................36
iv
DAFTAR GAMBAR
Hal
Gambar 2.1.Tanaman Kemangi (Ocimum sanctum)............................................10
Gambar 2.2. Telur Nyamuk Culex sp..................................................................18
Gambar 2.3.Perbedaan Larva InstarI, II, III dan IV.............................................19
Gambar 2.4.Morfologi Pupa Nyamuk Culex sp...................................................20
Gambar 2.5. Morfologi Culex sp Dewasa............................................................20
Gambar 2.6. Perbedaan Nyamuk Culex, Anopheles dan Aedes...........................21
Gambar 2.7. Skema kerangka berfikir dalam penelitian......................................22
Gambar 3.1. Skema Prosedur Uji Pendahuluan...................................................25
Gambar 3.2. Skema Prosedru Uji Sesungguhnya................................................26
Gambar 3.3. Skema Pembuatan Ekstrak Daun Kemangi ...................................30
iv
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 3.1.Alat yang digunakan dalam penelitian.................................................28
Tabel 3.2.Bahan yang digunakan dalam penelitan...............................................29
Tabel 3.3. Jadwal Penelitian.................................................................................35
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
Enceohalitis. Di Bogor ditemukan tiga jenis spesies yang merupakan vektor
penyakit filariasis pada anjing (Dirofilaria
2
2
Selain filariasis limfatik ada beberapa penyakit lain yang disebabkan oleh
Culex sp yaitu Japanese Encephalitis, St. Louis Encephalitis dan West Nile Virus.
Japanese Encephalitis merupakan penyakit radang otak menuar bersifat zoonis,
menyerang hewan dan manusia yang ditandai denga demam, gejala saraf,
gangguan motorik, perilaku dan kelainan reproduksi. Penyakit ini disebarkan
melalui gigitan nyamuk dengan perantaraan hewan lain. Babi sebagai salah satu
hewan pejamu terbaiak dalam perkembangan virus JE dan virus JE dapat
ditularkan dari gigitan nyamuk yang terinfeksi. Di indonesia JE dapat ditemukan
sepanjang tahun pada semua usia tetapi sebagian besar pada usia 2-10 tahun.
Sedangkan St. Louis Encephalitis dan West Nile Virus merupakan penyakit
endemi yang ditemukan di luar Indonesia seperti negara Afrika, India, Israe,
Prancis, Rumania, dan Asia Barat. Penyakit ini menyerang saraf pusat yang
disebabkan virus. Manusia tertular penyakit ini melalui gigitan nyamuk yang telah
terifeksi virus yang dimana sebelumnya telah menggigit burung yang terinfeksi
virus. Penyakit ini dapat terjadi tanpa gejala hingga gejala kesakitan parah seperti
kerusakan sistem saraf pusat permanen hingga kematian (Zumrotus, 2009).
Untuk pencegahan penyakit, institusi kesehatan perlu menambah informasi
tentang filariasis dan pencegahannya kepada masyarakat. Salah satunya adalah
dengan melakukan pengendalian vektor filaria melalui pemberantasan sarang
nyamuk serta peningkatan penemuan dini filariasin melalui screening darah jari
(Dheo, 2019). Tindakan membunuh nyamuk dewasa tidak efisien sehingga lebih
dianjurkan untuk membunuh larva nyamuk dengan larvisida atau mencegah
cucukan. Pengunaan larvasida untuk membunuh larva nyamuk paling efektif pada
larva instar I karena merupakan masa larva paling sensitif, aktif bergerak dan
makan. (Djojosumarto, 2008).
Penggunaan larvasida merupakan cara yang paling umum digunakan oleh
masyarakat untuk mengendalikan pertumbuhan vektor tersebut (Aradilla, 2009).
Larvasida yang sering ditemui di lapangan adalah abate berbahan aktif temefos.
Pada tahun 1980, temefos 1% (abate) ditetapkan sebagai bagian dari program
pemberantasan massal larva nyamuk di Indonesia, tetapi penggunaan larvasida
kimia menimbulakan dampak negatif seperti peningkatan resistensi nyamuk,
4
3. Tingkat toksisitas dan efek sublethal dari ekstrak daun kemangi dalam
membunuh larva nyamuk Culex sp instar I sebagai vektor dari penyakit
Filariasis
9
Spesies : Ocimum sanctum Linn. (Verma, 2016)
10
10
hghsg
G
11
Gambar 2.1. Tanaman Kemangi (Ocimum santum) (A. Tanaman kemangi utuh, B. Bunga
Kemngi, C. Daun Kemangi) (Sumber: Gunarto, 2011)
2.1.3. Asal, Persebaran dan Habitat Kemangi
Tanaman ini berasal dari daerah tropis Asia dan kepulauan di daerah
Pasifik. Pertama kali ditemukan dan diplah di India. Kini tanaman ini tersebar luas
di Asia, Afrika, Amerika Tengah, dan Selatan. Seara komersial banyak
dibudidayakan di Eropa bagian Selatan, Mesir, Maroko, Indonesia, dan
California. Di Indonesia tanaman kemangi banyak ditemukan di daerah Sumatera,
Jawa, dan Maluku. Namun dibudidayakan di daerah Jawa barat untuk dicari
kandungan minyak atsirinya. Kemangi adalah tumbuhan liar dan berbau harum.
Tanaman ini tumbuh dengan baik di dataran rendah hingga tinggi, sensitif
terhadap iklim dingin dan untuk perbanyakan tanaman kemangi dapat
diperbanyak dengan biji (Kurniasih, 2014).
Di Indonesia kemangi banyak terdapat di daerah Jawa dan Madura. Banyak
ditemukan di sekitar pinggiran ladang, sawah kering, juga di taman dan di pinggir
jala, hutan terbuka, padang rumput, tumbuh liar di jalanan, dan kadang-kadang
juga dibudidayakan. Tanaman ini dapat tumbuh pada dataran rendah hingga
ketinggian 1100 meter di atas permukaan laut. Ocimum sanctum biasanya tumbuh
antara pertengahan Februari sampai akhir September dan berbunga sekitar bulan
April (Sudarsono et al., 2002)
2.1.4. Kandungan Kemangi (Ocimum sanctum L.)
Kandungan kemangi yang terdapat di dalam Ocimum sanctum L. yaitu
minyak atsiri, karbohidrat, fitosterol, alkaloid, fenolik, tanin, lignin, pati saponin,
flavonoid, terpenoid, antrakuinon, minyak volatil termasuk metil sinamat, metil
heptenon, metil nonilkeon, kamfor, dan sitral (Dhale et al., 2012; Sarma, 2011).
Bahan kimia yang terkandung dalam kemangi antara lain 3,7-dimetil-1,6-
oktadien-3ol (linalool 3,94 mg/g), 4-alil-2alil-2-metoksifenol (eugenol 0,896
mg/g) dan 1,8-sineol (0,288 mg/g) yang diidentifikasi melalui metode GC/MS
(Larasati, 2016).
Kandungan bahan kimia yang terdapat pada seluruh bagian tanaman
kemangi adalah 1,8 sineol, anethol, apigenin, stigmaasterol, triptofan, tanin,
sterol, dan boron (Gunawan, 2011). Selain itu, Daun kemangi kaya akan mineral
12
makro yaitu kalsium, fosfor, dan magnesium, juga mengandung betakaroten dan
vitmnin C. Pada skrining fitokimia daun kemangi positif mengandung senyawa
kimia metabolit sekunder alkaloid, saponin, steroid, flavonoid, dan tanin
(Sopianti, 2018). Daun kemangi juga mengandung komponen non gizi antara lain
senyawa flavonoid, eugenol, boron, anetol, arginin, dan minyak atsiri. Komposisi
yang terkandung didalam kemangi antara lain grotenoid 19,77 0,01%, total
phenolic 2,09 0,10% dan total flavonoid 1,87 0,02% (Bhattacharya et al.,
2014).
Kandungan kimia dari daun kemangi yang bersifat larvasida adalah eugenol,
flavonoid, saponin, tanin, dan triterpenoid. Flavonoid dan saponin dapat
digunakan sebagai insektisida dan larvasida. Senyawa saponin dapat bersifat
larvasida dengan menurunkan tegangan permukaan selaput mukosa traktus
digestivus larva sehingga dinding traktus menjadi korosif, sedangkan flavonoid
merupakan senyawa yang bersifat toksik terhadap serangga (Juwitawati, 2007).
2.1.5. Manfaat Kemangi (Ocimum sanctum L.)
Manfaat daun kemangi salah satunya dapat dijadikan sebagai larvasida
alami. Daun kemangi dapat bersifat larvasida pada nyamuk Anopheles maculatus
dan Aedes aegypti (Lestari, 2010). Manfaat sebagai larvasida berasal dari
kandungan senyawa yang terkandung dalam tumbuhan dan diduga berfungsi
sebagai larvasida. Diantaranya adalah golongan sianida saponin, tanin, flavonoid,
alkaloid, minyak atsiri dan steroid dan salah satu tumbuhan yang memiliki
kandungan senyawa tersebut adalah daun kemangi (Kardinan, 2003).
Berikut ini adalah cara kerja senyawa tersebut yaitu Eugenol dengan
bertindak sebagai racun perut yang membunuh larva dengan masuk ke dalam
tubuh larva, maka alat pencernaannya akan terganggu. Selain itu, senyawa ini
menghambat reseptor perasa pada mulut larva. Hal ini mengakibatkan larva gagal
mendapatkan stimulus rasa sehingga tidak mampu mengenali makanannya.
Akibatnya larva mati kelaparan, selain itu eugenol juga dapat mempengaruhi
susunan sistem saraf pada serangga sehingga dapat digunakan sebagai insektisida
(Damar, 2008).
13
Uji toksisitas adalah suatu uji untuk menentukan potenisal suatu senyawa
sebagai racun, mengenali kondisi biologis/lingkungan munculnya efek toksis, dan
mengkarakterisasi aksi/efek (Wirasuta, 2007). Toksisitas merupakan sifat relatif
dari suatu zat kimia, dalam kemampuannya menimbulkan efek berbahaya atau
penyimpangan mekanisme biologi pada suatu organisme, istilah ini relatif yang
15
mengestimasi penggunaan jalur oral ini pada studi toksisitas subkronis yang lebih
ekstensif berikutnya (Loomis, 1978).
2.2.2. Metode Uji Lethal Concentration (LC50)
Lethal Concentration 50 (LC50) yaitu konsentrasi yang menyebabkan
kematian sebanyak 50% dari organisme uji yang dapat diestimasi dengan grafik
dan perhitungan pada suatu waktu penagamatan tertentu, misalnya LC 50 48 jam,
LC50 96 jam sampai waktu hidup hewan uji. Lethal Concentration 50 atau biasa
disingkat LC50 adalah suatu perhitungan untuk menentukan keaktifan dari suatu
ekstrak atau senyawa. misalnya larva Artemia salina. Suatu konsentrasi
mematikan (Lethal Concentration) adalah analisa secara statistik yang
menggunakan uji Whole Effluent Toxiity (WET) untuk menaksir lethalitas sampel
effluent. Tingkat toksisitas dari ekstrak tanaman dapat ditentukan dengan melihat
harga LC50-nya. Apabila harga LC50 lebih kecil dari 1000 µ/ml dikatakan toksik,
sebaliknya apabila harga LC50 lebih besar dari 1000 µ/ml dikatakan tidak toksik.
Tingkat toksisitas tersebut memberi makna terhadap potensi aktivitasnya sebagai
antitumor (Yulianto, 2017).
Uji Lethal Concentration 50 (LC50) merupakan uji hayati yang menentukan
tingkat toksisitas dari suatu zat atau bahan pencemar dan digunakan juga untuk
pemantauan rutin suatu limbah. Ada dua tahapan dalam penelitian uji LC50 yaitu :
1. Uji pendahuluan yaitu untuk menentukan batas kritis konsentrasi, yaitu
konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian terbesar mendekati 50% dan
kematian terkecil mendekati 50%
2. Uji lanjutan yaitu setelah diketahui batas kritis, selanjutnya ditentukan
konsentrasi akut berdasarkan seri logaritma konsentrasi yang dimodifikasi
(Yulianto, 2017).
Dalam uji LC50 dosis toksisitas ditentukan dengan cara menentukan nilai
ambang atas dan ambang bawah. Nilai ambang batas berfungsi menentukan
konsentrasi perlakuan pada uji toksisitas subletal dilakukan dengan menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL). Konsentrasi perlakuan uji toksisitas subletal
ditenukan dengan perhitungan Busvine yaitu :
17
Pada umumnya segala uji toksisitas dilakukan pada hewan yang mudah
didapatkan. Pemilihan hewan yang digunakan untuk uji toksisitas harus
mempertimbangkan beberapa faktor seperti sensitifitas, cara metabolisme sediaan
uji, kecepatan tumbuh serta mudah tidaknya cara panganan sewaktu dilakukan
percobaan. Uji toksisitas terdiri atas pemberian suatu senyawa pada hewan uji
pada suatu saat dan pengamatan efek yang terjadi pada hewan uji (Loomis, 1978).
Hewan uji yang digunakan haruslah sehat, pada usia aktif dan sensitif.
Biasanya digunakan hewan muda. Pengujian laboratorium dapat dilakukan
terhadap sampel vektor atau binatang pembawa penyakit maupun terhadap bahan
pengendali (pestisida). Pengujian laboratorium terhadap sampel dilakukan untuk
megetahui status kevektoran, status resistensi, dan kebutuhan penguji lainnya.
Pengujian laboratorium terhadap bahan pestisida dilakukan untuk mengetahui
kandungan bahan aktif, toksisitas, dan efikasi (KemenKes, 2017).
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Subkelas : Pteryota
Ordo : Diptera
Subordo : Nematocera
Famili : Cullicidae
Subfamili : Cullicinae
Genus : Culex
Spesies : Culex sp
Daur hidup nyamuk Culex sp terdiri dari telur, larva, pupa, dan nyamuk
dewasa berikut ini uraian morfologi nyamuk Anopheles mulai telur hingga imago.
Nyamuk Culex sp termasuk dalam hewan yang bermetamorfosis sempurna
1) Telur
Nyamuk Culex sp dapat bertelur 100-400 butir yang akan menetas 24-30
jam setelah diletakkan diatas air. Nyamuk Culex sp bertelur di air tawar yang
relatif kotor, seperti pada genangan air, got salura air, dan tempat pembuangan air
limbah rumah tangga. Telur Culex sp berbentuk seperti ampul obat dengan ukuran
0,4-0,6µ, bagian bawah (posterior) mempunyai benjilan kecil (corolla) dan saling
melekat satu dengan lainnya dengan zat semen membentuk seperti rakit dengan
panjang sekitar 1,8 cm dengan lebar sekitar 0,6 cm. Pada saat nyamuk Culex sp
baru meletakkan telurnya, telur tersebut berwarna putih, setelah beberapa menit
berubah warna menjadi abu-abu, dan kurang dari 20 menit kemudian, telur
tersebut akan berubah menjadi berwarna hitam. (Prianto, 2000)
2) Larva
Dalam waktu 2-3 hari telur akan menetas menjad larva yang disebut dengan
larva instar I. Selanjutnya akan berembang menjadi larva instar II, III, dan IV
dalam waktu sekitar 6-8 hari. Sesuai dengan temperatur dan ketersediaan makanan
yang ada pada lingkungannya. Setiap akhir instar, larva akan melakukan
pergantian kulit (moulting). Morfologi larva terdiri dari caput yang ditumbuhi
rambut, abdomen dengan 10 segmen atau ruas. Pada ruas ke 9 bermodifikasi
menjadi siphon yang memiliki cirikhas bentuknya panjang menyerupai tabung
yang dilengkapi 3 bundel bulu-bulu dan ruas ke 10 menjadi ekor (anal-gills). Ciri
khas larva Culex sp ada pada siphon yang panjangnya 4 kali lebih panjang
daripada lava nyamuk lainnya. Sifon (corong nafas) digantungkan pada
permukaan air, sehingga dengan demikian larva dapat mengambil makanannya.
Sesuai dengan perkembangannya larva nyamuk dibagi menjadi empat tahap instar
yaiu instar I, II, III, dan IV.
Instar I yaitu tahap pada hari ke 1-2 setelah telur menetas dengan
ukuran 1-2 mm. Cirinya duri (spine) pada dada dan siphon belum
jelas
Instar II yaitu pada hari ke 2-3 setelah telur menetas dengan ukuran
2,5-3,5 mm. Dengan duri-duri belum jelas dan siphon mulai
menghitam
Instar III yaitu pada hari ke 3-4 setelah telur menetas dengan uuran
4-5 mm. Dengan ciri duri-duri dada mulai jelas, siphon mulai
menghitam dan corong kepala berwarna cokelat kehitaman
Instar IV yaitu pada hari ke 4-6 setelah telur menetas dengan ukuran
5-6 mm. Dengan warna kepala terlihat gelap siphon tampak jelas
(Hoedojo, 2000). Gambaran perbedaan morfologi dapat dilihat pada
gambar 2.3
20
Gambar 2.3. Perbedaan larva instar I, II, III, dan IV (Sumber : Gani, 2011)
3) Pupa
Waktu yang dibutuhkan dari seekor larva untuk menjadi pupa adalah pada
hari ke 5-8 setelah menetas. Pada fase pupa untuk menjadi nyamuk berlangsung
selama 1-3 hari. Pada saat menjadi pupa, bagian kepala dan dada bergabung
menjadi cephalothoraks dengan perut melengkung sehingga terlihat seperti bentuk
koma dan pada fase ini tidak makan dan tidak aktif, biasanya mengapung di
permukaan air dengan membentuk sudut 45o, dan bernafas dengan alat corong
pernafasan (trumpets) dan jika diganggu pupa akan bergerak kebawah air dan
akan kembali ke permukaan (Stephanie, 2013).
mendeteksi melalui bau nyamuk betina, palpus yang terdiri dari 5 ruas yang
berfungsi sebagai pendeteksi tingkat kelembapan lingkungan, dan proboscis yang
digunakan unutk menghisap makanan. Pada nyamuk jantan palpus lebih panjang
atau sama dengan proboscis sayap berbentuk sempit panjang dengan ujung
runcing dan kaki yang berwarna lebih gelap dari tubuhnya. Nyamuk jantan hanya
hidup selama sekitar 10 hari sedangkan betina dapat mencapai 2 bulan
(Manimegalai, 2014).
Gambar 2.6. Perbedaan Nyamuk Culex Anopheles dan Aedes (Sumber: WHO, 1982)
22
2.3.3. Habitat
2.3.4. Perilaku
Nyamuk Culex sp biasa hidup di genangan air yang kotor dan keruh seperti
di got rumah ataupun genangan air kotor. Nyamuk jantan dan betina dewasa
biasanya memakan netar dari tumbuh-tumbuhan. Nektar akan menjadi sumber
energi pada saat nyamuk terbang. Selain itu nyamuk Culex sp betina juga
menghisap darah hewan dan manusia pada malam hari untuk pematanga telur.
Nyamuk Culex sp dikenal sebagai nocturnal mosquito yang sering masuk ke
dalam rumah-rumah terutama pada tengah malam. Dan pada siang hari akan
istirahat. Nyamuk ini bersifat endofagik (hidup berada di dalam rumah) juga
eksofagik (hidup berada di luar rumah). Culex sp lebih sering menghisap darah
manusia pada malam hari beberapa jam sebeluum matahari terbit dengan puncak
waktunya 01.00-02.00. setelah menghisap darah nyamuk betina akan istirahat
selama 2-3 hari lagi untu menunggu telurnya matang. Nyamuk-nyamuk itu lebih
sering berisitirahat di rumah sehingga disebut nyamuk rumahan (Brown, 1998).
Tingkat toksisitas
Perilaku Larva
2.5. Hipotesis
METODE PENELITIAN
3.3.1. Populasi
Populasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah nyamuk Culex sp
dan stadium nyamuk yang dipakai pada penelitian ini adalah stadium larva instar
1 yang diperoleh dengan menetaskan telur Culex sp yang didapat dari genangan
air dengan kondisi cukup keruh dan kotor di sekitaran Pancing, Medan Tembung
dan Perjuangan, Sumatera utara.
3.3.2. Sampel
Besar pengambilan sampel pada penelitian ini berdasarkan standar World
Health Orgnitatiton Guidelines For Effacacy Testing of Household Insecticide
Products, untuk penelitian laboratorium pada sampel nyamuk adalah 10 ekor
untuk tiap perlakuan dan dilakukan tiga kali pengulangan (WHO, 2009). Sampel
pada penelitian ini terdiri dari 6 kelompok perlakuan dan dibagi ke dalam lima
kelompok perlakukan dengan satu kelompok kontrol. Dan tiap kelompok
perlakukan berjumlah 10 ekor larva dengan tiga kali pengulangan pada uji
sesungguhnya
24
25
10 10 10 10 10 10
Larva Larva Larva Larva Larva Larva
27
24 jam
Uji analisisKelom
probit untukKelom
menentukanKelom
berapa konsentrasi
Kelom Kelom ekstrakKelom
pok daun kemangi
pok 2 yangpokakan dipakai
pok 4 pada pok
penelitian uji
1 3 5 pok 6
sesungguhnya
Kontrol Ekstrak Ekstrak Ekstrak Ekstrak Ekstrak
0% daun daun daun daun daun
(hanya kemangi kemangi kemangi kemangi kemangi
aquades) 0,5% 1,5% 2,5% 3,5% 4,5%
10 10 10 10 10 10
Larva Larva Larva Larva Larva Larva
29
LSD
*Catatan: X% = konsentrasi yang didapatkan dari analisis probit uji pendahuluan
Gambar 3.2 Skema Prosedur Uji Sesungguhnya
kemangi pada konsentrasi yang berbeda untuk menentukan nilai LC 50-24. Dan
kematian larva ditandai dengan tidak adanya respon gerakan larva pada saat
disentuh.
3.4.2.3. Variabel Terkendali
Variabel terkendali pada penelitian ini adalah jumlah larva nyamuk Culex
sp instar I dalam satu kelompok perlakuan, konsentrasi ekstrak daun kemangi,
volume air, kualitas air dan suhu.
Jenis data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah kuantitatif. Data
kuantitatif adalah data yang diperoleh berupa angka-angka yang berasal dari hasil
berupa konsentrasi ekstrak daun kemangi yang tepat untuk membunuh 50% larva
nyamuk Culex sp instar I dari tiap kelompok perlakuan dalam waktu 24 jam (nilai
LC50-24).
3.6.1. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada tabel berikut ini :
Tabel 3.1. Alat yang digunakan dalam penelitian
No Nama Alat Spesifikasi Fungsi
1 Cawan Ukuran medium Sebagai wadah untuk
Petridish (100x200mm) Terbuat mengamati jentik pada tiap
31
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini disajikan dalam tabel berikut :
Tabel 3.2. Bahan yang digunakan dalam penelitian
32
menghaluskan dan
menimbang daun kemangi
metabolit sekunder yang lebih banyak dari daun yang lebih muda atau lebih tua.
Kemudian daun kemangi dicuci bersih dengan air mengalir untuk menghilangkan
kotoran yang menempel. Daun kemangi selanjutkan dikeringkan dengan
menggunakan oven untuk memperoleh simplisia.
Proses pembuatan ekstrak daun Kemangi dilakukan dengan metode
maserasi. Simplisia daun kemangi yang dihasilkan ditimbang terlebih dahulu
sebanyak 200 gram. Simplisia sebanyak 200 gram dimasukkan ke dalam toples
kaca dan dilarutkan menggunakan etanol 96% dengan perbandingan 1:10 (100
gram dilarutkan dengan 1000 ml etanol) setelah itu diaduk dengan batang
pengaduk. Selama proses perendaman dilakukan pengadukan dengan batang
pengaduk setiap 8 jam sekali. Proses perendaman dilakukan selama 72 jam tanpa
paparan sinar matahari. Selanjutnya hasil berupa filtrat diambil dengan cara
penyaringan dan larutan di maserasi kembali dengan cara yang sama sampai
diperoleh larutan yang jernih. Kemudian ekstrak diuapkan menggunakan rotary
evaporator pada suhu 40oC hingga diperoleh ekstrak yang kental ( 20 ml).
Setelah itu untuk memperoleh ekstrak dalam bentuk pasta. Hasil ekstrak yang
sudah diuapkan dipidahkan ke dalam wadah dan dimasukkan ke dalam oven
dengan suhu 40oC dan ditunggu hingga hasil berbentuk pasta.
3.7.2. Preparasi Sampel Larva
Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva nyamuk Culex
sp pada tahap instar I yang diperoleh dengan mencari telur nyamuk Culex sp di
parit dan selokan dengan air yang tenang di sekitar perumahan medan perjuangan.
Dan memasang perangkap dengan memancing agar nyamuk bertelur didalam
suatu wadah dengan cara melarutkan air cucian beras, ragih kue dengan air dan
meletakkan wadah tersebut tempat yang terdapat banyak nyamuk di sekitar
pemukiman warga di pancing, Medan perjuangan. Setelah itu mengamati apakah
telur dalam wadah tersebut termasuk jenis Culex sp. Setelah itu menunggu 1-2
hari hingga telur menetas menjadi larva Culex sp instar I. Setelah itu sebelum
dilakukan penelitian uji pendahuluan dan uji sesungguhnya larva yang diperoleh
tersebut akan diaklimatsasi di dalam aquades selama 1 jam.
35
a b c d e
= = = = … ..(2)
n a b c d
Keterangan :
N = Konsentrasi ambang atas (ml/L)
n = Konsentrasi ambang bawah (ml/L)
K = Jumlah interval konsentrasi
a,b,c,d,e merupakan konsentrasi yang diuji dengan a sebagai konsentrasi
terkecil dengan menggunakan rumus 1 dan 2 maka didapatkan uji toksisitas sub
letal (LC50 24 jam) sebagai berikut :
K0 = kontrol (tanpa penambahan ekstrak daun kemangi)
K1 = konsentrasi ekstrak daun kemangi a
37
36
37
Dinata. 2008. Basmi Lalat Dengan Jeruk Manis. Semarang Retrived from
http://ardastrudentsblog.undip.ac.id/2008
Farida. I.F. 2006. Pengeruh Granul Ekstrak daun Babadotan dalam Menghambat
Pertumbuhan Larva Nyamuk Aedes aegypti L. Karya Ilmiah. Malang:
Universitas Brawijaya
Gani, Yogi, Ismail. 2011. Efek Residu Bacillus thuringinensisi israelensis
terhadap Aedes albopictus dan Culex quinquiquefasciatus Di Dalam Bak
Fiber Glass, Kerami, dan Semen. Depok; Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Ismatullah, A., Kurniawan B., Wintoko R., Setianingrum. 2014. Uji Efektifiitas
Larvasida Daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) Terhadap
Larva Aedes agypti Instar III. Jurnal Medical Faculty of Lampung
University
Dhale, D., Birari, A., Dhulgande, S., 2012. Preliminary Screening of
Antibacterial and Phytochemical Studies of Ocimum Americanum Linn.
Journal of Ecobiotechnology, 2, pp. 11-13.
Djojosumarto, P. 2008. Panduan Lengkap Pestisida & Aplikasinya. Agromedia ;
Jakarta
Duke, J. Phytochemical and Ethnobotanical Databases (Ocimum sanctum).
http://sun.ars-grin.gov:8080/npgspub/xsql/duke/plantdisp.xsql?taxon=2021
(28 september 2020)
Ginting, S. 2004. Pengaruh Lama Penyulingan Terhadap Rendemen dan Mutu
Minyak Atsiri Daun Sereh Wangi. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera
Utara.
Gunarto. 2011. Khasiat Tanaman Kemangi. http://artikel.us/art05-06.html
Dipublikasikan (21 September 2020)
Gunawan, E. 2011. Efek Potensiasi Larvasida Kombinasi Ekstrak Daun Kemangi
(Ocimum sanctum L.) dan Biji Jarak (Ricinus communis L.) Terhadap
Aedes aegypti. Skripsi.Surakarta: Universitas Sebelas Maret
Harison K. 2007. Eugenol:cloves. http://3dchem.com/molecules.asp?ID=333. (30
Oktober 2020)
38
Lestari, E. 2010. 2010. Efektifitas Ekstrak Daun Kemangi Terhadap Larva Instar
III Anopheles maculatus, Skripsi, Jurusan Pendidikan Dokter, Fakultas
Kedokteran; Universitas Islam Indonesia
Loomis, T.A. 1978. Toksikologi Dasar. Semarang; IKIP Semarang Press
Maylia, Novita. 2014. Daun Kemangi (Ocimum annum) Sebagai Bahan Alternatif
Pembuatan Hand Sanitizer. 9(2): 136-142
Novizan, 2002. Membuat dan Memanfaatan Pestisida Ramah Lingkungan.
Jakarta ; Agromedia Pustaka
Manimegalai K., Sukaya S. 2014. Biology of the Filarial Vector, Culex
quinquefasciatuss (Diptera:Culicidae). Int. Journal .Curr. Microbiol. App.
Sci 3(4); 73-81
Prianto J., Tjahaya., Darwanto. 2008. Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama
Rahayu, M., dan Solihat, M.F. 2018. Toksikologi Klinik. Jakarta: Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia
Roomoser, W.S., Stoffolano, J.G. 1998. The Science of Entomology (Fourth
Edition). McGraww Hill Company; Singapore
Safar, R. 2010. Parasitologi Kedokteran Protozoologi, Helmintologi, Entomologi.
Bandung: Yrama Widya
Safwan. 2016. Pengaruh Ekstrak Daun Kemangi (Ocimum sanctum L.) Terhadap
Motilitas dan Konsetrasi Spermatozoa Mencit Jantan (Mus musculus).
Jurnal Ilmiah Ibnu Sina, 1(2); 173-181.
Sarma, D. Sai Koteswar., Babu, A. 2011. Pharmacognostic and phytochemical
studies of Ocimum americanum. Journal of Chemical and Pharmaceutical
Research, 3(3)
Shashi, B.M., & K.N., Ashooke. 1991. Tripenoid Saponons Discovered between
1987 and 1989. Phytochemistry, 30 (5): 57-58
Soekirno, Mardjan, Ariati, Yusniar, Mardiana. 2006. Jenis-jenis Nyamuk yang
Ditemukan Di Kabupaten Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat;
Jurnal Ekologi Kesehatan. Vol 5 No. 1; 356-360
Sopianti, D.S., Dede, W.S. 2018. Skrining Fitokimia dan Profil KLT Metabolit
Sekunder dari Daun Ruku-ruku (Ocimum tenulflorum L.) dan Daun
40
Wirakusumah Emma S., 2007. Jus Buah & Sayuran untuk Menjaga Kesehatan &
Kebugaran Anda, Depok: Penebar Swadaya
Wirasuta, I.M.A.G., dan Rasmaya, N. 2007. Toksikologi Umum. Denpasar:
UDAYANA Press
Yulianto, dan Nurul, A. 2017. TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN. Jakarta:
KEMENKES RI
Zainal, B., Aini, F., Lestari, W. 2016. Aktivitas Antifungi Ekstrak Daun Kemangi
(Ocinum americanum L.) Terhadap Fungi F. oxysorum Schlecht. Jurnal
Biota, 2(1);99-103
Zulkarnain. 2004. Culex spesies di Kecamatan Sako Kota Palembang; Jurnal
Kedokteran dan Kesehatan, Vol; 36, No 4
Zumrotus S. 2009. Ancaman Dari Nyamuk Culex sp yang Terabaikan. Serba serbi
Vektor. BALABA. Vol. 5, No. 01; 21-23