Anda di halaman 1dari 104

TUGAS

“REVIEW JURNAL”
Diajukan sebagai Pemenuhan Tugas Mata Kuliah Teknik Penyusunan Skripsi
Dosen Pengampuh : Arie Gunawan H.Z., S.Psi.,M.Psi.,Psikolog

OLEH :

AHMAD WADY MUHAZZIR


NIM/KELAS : 4518091120/A

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS BOSOWA
MAKASSAR
2021
JOURNAL 1.

IDENTITY
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers
JOURNAL :
TITTLE : DINAMIKA PSIKOLOGIS PELAKU RADIKALISME
AUTHOR : Kuntarto dan Rindha Widyaningsih
REVIEWER IDENTITY : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jenderal Soedirman

THE ABSTRACT
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika psikologis pelaku radikalisme. Penelitian
dilakukan di Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Cilacap dengan pertimbangan secara geografis
kedua daerah tersebut rawan berkembang paham radikalisme karena berada pada jalur
penghubung antara Jawa Barat dan Yogyakarta yang memiliki indeks radikalisme tinggi. Informan
dalam penelitian ini berasal dari Polres Banyumas, Polres Cilacap, Kesbangpol Kabupaten Banyumas
dan Kesbangpol kabupaten Cilacap. Metode yang digunakan dalam peneitian ini adalah melalui in-
depth interview yang diperkuat dengan data skunder dan literatur pendukung. Hasil yang diperoleh
dari penelitian ini adalah terdapat tiga hipotesis mengapa seseorang menjadi pelaku radikalisme,
yaitu (1) Frustration-Aggresion Hypothesis (perceived deprivation atau persepsi kehilangan,
permasalahan yang menyangkut kebutuhan politik, ekonomi, dan personal), (2) Negative Identity
Hypothesis (marah dan perasaan tak berdaya yang melibatkan penolakan dari peran yang
diinginkan keluarga dan masyarakat), (3) Narsissistic Rage Hypothesis (permasalahan mental,
sosiopatik, arogan, narsistik, gangguan kepribadian).

THE INTRODUCTION AND


LITERATURE REVIEW
Raikalisme merupakan permasalahan yang kompleks, upaya untuk memahami perilaku radikal
tersebut baik itu dilakukan perseorangan maupun kelompok perlu diperhitungkan beragam sudut
pandang. Pembahasan radikalisme tidak bisa dipisahkan dari kondisi sosial dan budaya, tradisi
religius hingga mekanisme psikologis pada orang yang terlibat dalam aksi radikal. Kekayaan sudut
pandang yang ada memberikan sumbangan tentang bagaimana para radikalis memandang dunia
ini dan bertindak di dunia ini. Sesungguhnya tidak ada bidang eksklusif tertentu yang mampu
mengantarkan penjelasan-penjelasan perilaku radikal secara memadai. Diperlukan adanya
elaborasi pemikiran, sudut pandang dari berbagai bidang sehingga dihasilkan pandangan yang
menyeluruh mengenai radikalisme.
perspektif psikologi menemukan hal yang senada, yaitu hampir tidak ditemukan adanya gejala
gangguan kejiwaan atau psikopatologis pada para radikalis atau anggota kelompok teroris. Secara
psikologis mereka dinyatakan tidak mengalami gangguan kejiawaan walaupun memang ada pelaku
teror yang mengalami depresi atau shizofrenia, namun jumlahnya tidak signifikan . Hal ini
menunjukkan bahwa keterlibatan dalam paham radikal dipengaruhi oleh dinamika psikologi yang
berasal dari faktor eksternal maupun internal. penelitian ini radikalisme akan dibahas dari sudut
pandang psikologi untuk memahami mengapa seseorang menganut paham radikal bahkan hingga
melahirkan aksi kekerasan atas dasar pandangan radikal tersebut. Pendekatan psikologi merupakan
salah satu pendekatan yang penting untuk memahami radikalisme, terutama berkaitan dengan
memahami proses psikologis dan psikososial hingga seseorang menganut paham radikal bahkan
hingga menjadi teroris.
2
METHODOLOGY
Penelitian dilakukan di Wilayah Banyumas dan Cilacap, dengan pertimbangan secara geografis
daerah tersebut merupakan pintu gerbang yang menjadi penghubung antara Jawa Tengah, Jawa
Barat dan Yogyakarta yang memiliki tingkat radikalisme yang tinggi. Informan dalamhal ini
kepolsian banyumas dan cilacap, Kesbangpol banyumas dan cilacap, lalu pemilihan informan dipilih
metode Snowball Sampling.
Karena radikalisme merupakan isu sensitif sehingga wawancara memerlukan kroscek lagi melalui
metode triangulasi data yang dilakukan dengan cara membandingkan informasi atau data dengan
cara yang berdeda. Agar memperoleh informasi yang utuh dan handal metode yang digunakan
adalah wawancara bebas dan wawancara terstruktur. Hasil wawancara kemudian dielaborasi
dengan teori dari berbagai perspektif dengan menggunakan literatur yang relevan. Kemudian
dalam penyajiannya digunakan Content analysis untuk mengambil makna yang terkandung dalam
suatu data hasil penelitian. Hasil wawancara dikaitkan dan dipadukan dengan berbagai teori dan
literatur pendukung terkait dengan tema. Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk teks
naratif.
RESULTS/FINDINGS
Paham radikal adalah sesuatu yang sifatnya mendalam di hati dan pikiran namun tidak selalu
diwujudkan dalam bentuk kekerasan seperti aksi teror, bisa jadi paham radikal hanya sebatas
pemikiran dan sikap individu yang ditujukan untuk dirinya sendiri. Jadi dalam hal ini orang yang
memiliki pemikiran radikal belum tentu menjadi teroris. Menjadi teroris dengan melakukan aksi-
aksi teror dan kekerasan adalah sebuah pilihan yang sangat dipengaruhi oleh proses psikologis yang
dialami oleh seseorang. Kemudian ada 3 hipotesis yang mendasari:
1. Frustration-Aggresion Hypothesis (perceived deprivation atau persepsi kehilangan,
permasalahan yang menyangkut kebutuhan politik, ekonomi, dan personal)
Frustasi adalah suatu situasi yang umum dialami oleh seseorang. Frustasi merupakan
terhambat atau gagalnya individu dalam memperoleh pencapaian (achievement)
sebagaimana yang diharapkan, atau mengalami hambatan untuk bertindak mencapai
tujuan secara bebas. Dollard (dalam Krahe, 2005) menyatakan bahwa setiap perilaku agresi
dapat disebabkan oleh frustasi. Pendekatan ini menitikberatkan pada agresi sebagai reaksi
atas frustasi, atau frustasi selalu mengakibatkan agresi. Dalam hal ini frustasi diartikan
sebagai sejumlah perilaku yang bertujuan merintangi atau mengganjal. Berkowitz
menyatakan bahwa perkembangan dewasa ini turut memodifikasi pengertian tersebut.
Frustasi menimbulkan kemarahan,yang membuat kita siap bersikap agresif. Munculnya
agresi sangat bergantung pada ada tidaknya aggressive cues (gejala-gejala agresi), stimulus
yang berasosiasi dengan agresi ataupun kekerasan di masa lalu, akan memicu kembali
perilaku agresi. Agresi muncul ketika frustasi yang dialami menghasilkan perasaan negative.
2. Negative Identity Hypothesis (marah dan perasaan tak berdaya yang melibatkan penolakan
dari peran yang diinginkan keluarga dan masyarakat)
teori identitas sosial menjelaskan bahwa baik secara sadar maupun tidak disadari individu
merupakan bagian dari kelompok tertentu dan bukan semata-mata menjadi individu yang
mutlak satu dalam kehidupannya. Konsep identitas sosial adalah bagaimana seseorang itu
secara sosial dapat didefinisikan (Verkuyten, 2005). katan-ikatan primodial dan emosial
yang sama akan memberikan penguatan pada identitas sosial yang dimiliki. Misalnya
dukungan politik yang diberikan pada orang yang berasal dari golongan/manhaj yang sama
dengan dirinya. Menggunakan sudut pandang teori ini, munculnya radikalisme didorong
3
oleh adanya perasaan negatif atas identitas yang dimiliki seseorang. Kekecewaan dan
kegagalan serta pengabaian yang terjadi pada seseorang mendorong perilaku
menggunakan kekerasan. Perasaan marah ini bisa berasal dari faktor eksternal, misalnya
kondisi ekonomi dan politik yang tidak sesuai dengan harapan, atau yang berasal dari faktor
internal, misalnya perasaan terasing dan terabaikan, self-esteem yang rendah, dan
perasaan tidak berguna akan menyebabkan rasa marah dan termanifestasi dalam perilaku
agresi terorisme.
3. Narsissistic Rage Hypothesis (permasalahan mental, sosiopatik, arogan, narsistik, gangguan
kepribadian)
Kajian psikologi atas tindakan radikal dan terorisme selalu dikaitkan dengan kemungkinan
adanya psikopatologi, abnormalitas dan kemungkinan gangguan kejiwaan pada pelaku.
Namun dari berbagai kasus radikalisme dan terorisme yang ditemukan di seluruh dunia
hanya sedikit ditemukan pelaku teror yang benar-benar disebabkan karena faktor
psikopatologi. Hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan seseorang dalam kelompok radikal
bukanlah disebabkan karena penyakit kejiwaan namun dilakukan dengan kesadaran.
Mereka adalah sekumpulan orang normal yang melakukan aksinya berdasarkan keyakinan
dan ideologi yang dilandasi oleh suatu tujuan tertentu.
Istilah 'narsisis' berasal dari tokoh mitologi Yunani, Narcissus yang terkenal jatuh cinta pada
bayangannya sendiri. Karena itu, seorang narsisis adalah orang yang menunjukkan minat
yang berlebihan pada citra dan diri mereka sendiri dan mengejar aktivitas berdasarkan
keyakinan mereka sendiri yang sombong atau egois. Ada perbedaan penting antara
egosentrisme dan narsisisme. Egosentris merupakan kondisi yang menekankan pada
pemikiran, minat, dan pendapat yang ingin selalu didengarkan dan diutamakan, sedangkan
narsistik lebih menakankan pada keindahan kualitas mental atau fisik mereka. Tipe
kepribadian narsistik secara alami akan fokus pada kesempurnaan dan mengatur diri
mereka sendiri untuk menjadi pusat perhatian dalam semua aspek kehidupan mereka. Bagi
Freud, cedera narsistik terjadi ketika seorang individu narsistik dihadapkan pada situasi
yang berlawanan dengan keyakinan mereka yang dipegang teguh tentang diri mereka
sendiri.
Wujud kemarahan narsistik yang eksterem akan mendorong seseoang melakukan tindakan
agresi. Wujud agresi manusia yang berbahaya yang paling mengerikan bukanlah yang
berwujud perilaku liar, regresif atau kekerasan fisik, akan tetapi berupa bentuk kegiatan
yang teratur dan terorganisir dimana perilaku merusak berpadu dengan keyakinan
absolutarian tentang kebesaran mereka yang diilhami dari figur-figur panutan mereka. Hal
ini dapat dilihat dari penganut paham radikal yang menjadikan sosok pemimpin kharismatik
yang memotivasi munculnya tindak kekerasan (Kohut 2007).

ANALYSIS / DISCUSSION
Tindak lanjut dari pemahaman radikal yang ada dalam diri seseorang kemudian akan mewujud
menjadi aksi terorisme. Terdapat tiga hipotesis yang mendasari riset ini yaitu (1) Frustration-
Aggresion Hypothesis (perceived deprivation atau persepsi kehilangan, permasalahan yang
menyangkut kebutuhan politik, ekonomi, dan personal), (2) Negative Identity Hypothesis (marah
dan perasaan tak berdaya yang melibatkan penolakan dari peran yang diinginkan keluarga dan
masyarakat), (3) Narsissistic Rage Hypothesis (permasalahan mental, sosiopatik, arogan, narsistik,

4
gangguan kepribadian). (Gazi dan Ihwan 2011). Ketiga ini menjelaskan pada arah dari perilaku
paham radikal ke agresi.

CONCLUSION
Melalui hipotesis perilaku aksi terorisme kita dapat memahami bagaimana mentalitas menjadi
radikalis terbangun. Radikalisme adalah suatu permasalahan yang kompleks dan tidak akan pernah
bisa diselesaikan hanya menggunakan pendekatan hukum represif. Memahami bagaimana perilaku
radikal terjadi merupakan suatu celah yang tepat dalam usaha mencegah radikalisme secara efektif.

RECOMMENDATIONS
Berbagai upaya pencegahan radikalisme telah banyak dikaji dan dibahas oleh berbagai ahli dan
peneliti dari berbagai negara, namun hal yang harus diperhatikan adalah upaya pencegahan dan
juga penanggulangan radikalisme harus memperhatikan kondisi dan karakter bangsa Indonesia
karena anatomi terorisme adalah sesuatu yang unik tergantung dimana dia berada. Upaya
pencegahan dan penanggulangan di negara maju belum tentu dapat sukses diterapkan di negara
dengan kondisi yang berbeda

STRENGTHS
Penelitian ini mengantarkan pemahaman bahwa inti dari munculnya radikalisme sangat terkait
dengan kehidupan pribadi pelaku yang dimulai sejak masa anak-anak. Bahwa pengabaian,
kekecewaan, keterasingan, dan pengaruh lingkungan memberikan dampak yang sangat signifikan
bagi munculnya perilaku agresi, keterlibatan seseorang dalam kelompok teror dan bahkan
melakukan aksi kekerasan dengan rasa heroik tanpa rasa bersalah.

WEAKNESSES
upaya pencegahan dan juga penanggulangan radikalisme harus memperhatikan kondisi dan
karakter bangsa Indonesia karena anatomi terorisme adalah sesuatu yang unik tergantung dimana
dia berada, maka bisa jadi pada analisisnya pun berlaku hal yang sama.

JOURNAL 2

IDENTITY
Jurnal Psikologi Integratif Prodi Psikologi UIN Sunan Kalijaga Vol.
JOURNAL :
8, Nomor 1, 2020 Halaman 1-28
Pengakuan Bahwa Aksi Kelompok-Sendiri Bisa Mengancam
KelompokLain (Acknowledgements of Threatening Ingroup
TITTLE :
Actions) dan Perannya dalam Meredam Ekstremisme
(Extremism) dan Radikalisme Kekerasan (Violent Radicalism)

5
AUTHOR : Ali Mashuri , Esti Zaduqisti , Sukma Nurmala
Ali Mashuri (Jurusan Psikologi Universitas Brawijaya Malang),
REVIEWER IDENTITY : Esti zaduqisti (Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah), Sukma
Nurmala (Jurusan Psikologi Universitas Brawijaya Malang).

THE ABSTRACT
Penelitian ini bertujuan untuk menguji mekanisme psikologis mengapa keterbukaan untuk
mengakui tindakan kelompok-sendiri (ingroup) yang bisa mengancam eksistensi kelompok-lain
(outgroup), yang disingkat dengan istilah acknowledgements of threatening ingroup actions,
berperan dalam meredam permasalahan esktremisme (extremism) dan radikalisme kekerasan
(violent radicalism) yang mengatasnamakan Islam di Indonesia. Survei korelasional yang melibatkan
404 mahasiswa Muslim dari berbagai universitas di Indonesia dalam penelitian ini menemukan
bahwa acknowledgements of threatening ingroup actions berkontribusi menangkal esktremisme
dan radikalisme kekerasan karena perannya dalam meningkatkan sikap kritis terhadap kelompok-
sendiri atas pelanggaran terhadap kelompok lain (ingroup wrongdoings). Sikap kritis ini mencakup
penerimaan atas pelanggaran terhadap kelompok-lain (acceptance of ingroup wrongdoings),
tanggungjawab atas pelanggaran terhadap kelompok-lain (ingroup responsibility), dan amarah atas
aksi pelanggaran tersebut (anger against ingroup actions). Temuan-temuan empiris ini
mengimplikasikan bahwa acknowledgements of threatening ingroup actions memfasilitasi kognisi
dan emosi rekonsiliatif Muslim, yang selanjutnya berperan dalam meredam ekstremisme dan
radikalisme kekerasan dalam hubungan mereka dengan non-Muslim. Implikasi teoretis dan praktis
dari temuan-temuan empiris ini dielaborasi dalam bagian diskusi, yang juga menyoroti sejumlah
kelemahan atau kekurangan dalam penelitian ini.

THE INTRODUCTION AND


LITERATURE REVIEW
Indonesia adalah negara plural. Selain Islam, negara mengakui secara formal eksistensi lima agama
lain, yaitu Kristen Protestan, Kristen Katolik, Budha, Hindu, dan Konfusianisme (Parker, 2017).
Namun sangat disayangkan sejumlah aksi terorisme yang mengatasnamakan Islam di Indonesia
berpotensi mengancam eksistensi agamaagama lain, mulai dari bom Bali di tahun 2002 (Tan, 2003)
sampai dengan tragedi bom bunuh-diri di Surabaya tahun 2018 yang menyasar gereja (Schulze,
2018). Terorisme adalah masalah nasional yang secara serius bisa mengancam kelangsungan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang didirikan atas dasar pengakuan terhadap
pluralisme beragama. Menemukan solusi yang efektif untuk meredam terorisme dengan demikian
merupakan langkah penelitian dan terapan sosial yang sangat penting dan relevan di Indonesia.
Radikalisme agama dan terorisme secara empiris tidak terkait secara langsung. Seorang teroris
kemungkinan besar adalah seorang radikal. Meskipun demikian, tidak semua orang radikal
otomatis adalah seorang teroris (Sugiono, 2011). Terlepas dari argumentasi ini, terdapat
kesepakatan akademis bahwa radikalisme adalah pemicu terbesar dibandingkan dengan faktor-
faktor lain dalam memantik terorisme (Lombardi dkk., 2014).
Di Indonesia, sebagai respon terhadap trend aksi radikalisme dan terorisme yang
mengatasnamakan Islam, sejumlah penelitian psikologi telah dilakukan dengan tujuan
mengidentifikasi faktor-faktor pemantik radikalisme di kalangan sejumlah Muslim. Sebagai contoh,
Muluk, Sumaktoyo, dan Ruth (2012) melaporkan bahwa dukungan atas penerapan syariat Islam
dan fundamentalisme Islam adalah variabelvariabel yang memprediksi radikalisme dalam bentuk
dukungan terhadap jihad yang membenarkan penggunaan kekerasan. Sementara itu, penelitian
oleh Milla, Faturrochman, dan Ancok (2013) menemukan peran pemimpin kelompokkelompok
6
radikal sebagai pemantik radikalisme. Faktor lain yang ikut berkontribusi adalah faktor situasional,
yaitu persepsi-persepsi di kalangan Muslim bahwa pihak Barat telah menginvasi negara-negara
Muslim (Putra & Sukabdi, 2013), serta persepsi bahwa agama-agama lain telah memperlakukan
Muslim secara tidak adil (Yustisia, Shadiqi, Milla, & Muluk, 2020). Penelitian lain menemukan peran
jaringan sosial dalam proses radikalisasi sebagian Muslim di Indonesia (Hakim & Mujahidah, 2020).
salah satu kunci sukses untuk menangani radikalisme Islam adalah penanaman sikap positif dari
tahanan teroris dalam menerima dan menjalani program deradikalisasi. Faktor lain adalah
pelatihan ekspresi emosi dan fleksibilitas kognitif dalam program deradikalisasi tahanan teroris.
Dengan pelatihan ini, tahanan teroris mampu lebih terbuka dan menerima demokrasi dan
sebaliknya, bersikap anti atau menolak sistem negara khilafah (Muluk, Umam, & Milla, 2019).
Dalam penelitian ini, kami mengajukan gagasan yang mengandung sebuah kebaruan bila
dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya baik di Indonesia maupun di luar negeri.
Kebaruan ini terkait dengan peran pengakuan bahwa aksi Muslim bisa mengancam eksistensi non-
Muslim di Indonesia (acknowledgement of threatening ingroup actions) yang belum pernah diuji
perannya secara empiris dalam mengatasi masalah radikalisme Islam.

METHODOLOGY
Sebanyak 404 Mahasiswa muslim dari berbagai universitas di Indonesia (179 laki-laki, 225
perempuan; 320 etnis Jawa, 84 etnis non-Jawa; 253 jurusan noneksakta, 151 jurusan eksakta;
Musia = 20,78, SDusia = 1,99) Sampel penelitian ini diperoleh melalui convenient sampling sebagai
bentuk non-random sampling atas dasar akses yang dimiliki oleh peneliti. Sebanyak 8 subjek
penelitian menyatakan diri sebagai mahasiswa non-Muslim sehingga dieliminasi dalam analisis
Metode penelitian yang diterapkan adalah survei korelasional dimana semua variabel yang terkait
diukur melalui skala psikologi.
Penelitian dilakukan secara daring dengan menyebarluaskan angket atau kuesioner berisi sejumlah
pertanyaan. Subjek penelitian diminta untuk menjawab setiap pertanyaan dengan memilih salah
satu di antara lima opsi jawaban yang bergerak dari 1 (sangat tidak setuju) sampai dengan 7 (sangat
setuju). Skor untuk masing masing variabel dalam penelitian ini dihitung atas dasar nilai rata-rata
untuk semua pertanyaan dalam masing-masing variabel.
RESULTS/FINDINGS
acknowledgements of threatening ingroup actions secara signifikan memprediksi ke arah positif
acceptance of ingroup wrongdoings (β = .41, SE = 0.05, p < .001), ingroup responsibility (β = .37, SE
= 0.05, p < .001), anger against ingroup actions (β = .29, SE = 0.06, p < .001), dan empathetic
collective angst (β = .49, SE = 0.05, p < .001). Hasil-hasil ini mengkonfirmasi Hipotesis 1. Peran
acknowledgements of threatening ingroup actions dalam meredam atau memprediksi ke arah
negatif ekstremisme melalui acceptance of ingroup wrongdoings (Indirect effect: β = -.09, SE = 0.03,
p = .012) dan empathetic collective angst (Indirect effect: β = .13, SE = 0.03, p < .015) adalah
signifikan, tetapi tidak signifikan melalui ingroup responsibility (Indirect effect: β = -.05, SE = 0.03,
p = .068) dan anger against ingroup actions (Indirect effect: β = -.02, SE = 0.02, p = .437). Hipotesis
2 dengan demikian terbukti secara parsial.
Hipotesis 3 juga terbukti secara parsial karena ekstremisme secara signifikan memediasi peran
acceptance of ingroup wrongdoings (Indirect effect: β = -.12, SE = 0.05, p = .013) dan empathetic
collective angst (Indirect effect: β = .15, SE = 0.04, p < .001) dalam meredam radikalisme kekerasan,
tetapi tidak signifikan dalam memediasi peran ingroup responsibility (Indirect effect: β = -.08, SE =

7
0.05, p = .065) dan anger (Indirect effect: β = -.03, SE = 0.04, p = .436) dalam meredam radikalisme
kekerasan.

ANALYSIS / DISCUSSION
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji peran acknowledgements of threatening ingroup
actions dalam meredam ekstremisme dan radikalisme kekerasan, khususnya di kalangan
mahasiswa Muslim. Temuan dalam Studi 1 menunjukkan, mendukung hipotesis yang ditetapkan
(Hipotesis 1), bahwa acknowledgements of threatening ingroup actions secara signifikan bisa
memprediksi secara positif acceptance of ingroup wrongdoings, ingroup responsibility, anger
against ingroup actions, dan empathetic collective angst. Hipotesis 2 terbukti secara parsial dimana
hubungan antara acknowledgements of threatening ingroup actions dan ekstremisme secara
signifikan dimediasi oleh acceptance of ingroup wrongdoings dan empathetic collective angst,
tetapi secara tidak signifikan dimediasi oleh ingroup responsibility dan anger against ingroup
actions. Hipotesis 3 juga terbukti secara parsial dimana ekstremisme secara signifikan memediasi
hubungan antara acceptance of ingroup wrongdoings dan empathetic collective angst dengan
radikalisme kekerasan tetapi secara tidak signifikan memediasi hubungan antara ingroup
responsibility dan anger against ingroup actions dengan radikalisme kekerasan.
Literatur dalam psikologi sosial selama ini memfokuskan pada konsep
ancaman antarkelompok (intergroup threat) yang bersifat inward, merefleksikan sejauh mana
kelompok-lain (outgroup) telah, sedang, ataupaun akan memberi ancaman pada kelompok-sendiri
(ingroup). Ancaman antarkelompok yang bersifat inward ini dioperasionalisasikan baik secara
realistik atau objektif, yang menjadi fokus kajian dari realistic conflict theory (RCT; Campbell, 1965)
atau disebut juga dengan realistic group conflict theory (RGCT; Jackson, 1993), maupun secara
perseptual atau subjektif, yang menjadi fokus kajian dari integrated threat theory of prejudice (ITT;
Stephan & Renfro, 2002). Ancaman antarkelompok yang bersifat inward telah ditemukan menjadi
pemantik konflik kolektif (Riek, Mania, & Gaertner, 2006). Dalam penelitian ini, berbeda dengan
literatur psikologi sosial sebelumnya, ancaman antar kelompok dioperasionalisasikan secara
outward, merefleksikan kesadaran dan pengakuan bahwa aksi-aksi ingroup bisa memberi ancaman
terhadap outgroup.

CONCLUSION
Dalam penelitian ini, acknowledgements of threatening ingroup actions terdiri dari tiga dimensi
atau faktor, yaitu symbolic annihilation (sejauh mana anggota ingroup menyadari dan mengakui
bahwa aksi-aksi kelompok mereka bisa membahayakan keberadaan identitas, budaya, atau norma-
norma outgroup), realistic annihilation (sejauh mana anggota ingroup menyadari dan mengakui
bahwa aksi-aksi kelompok mereka bisa membahayakan keberadaan fisik ataupun kekuasaan
outgroup), dan past victimisation (sejauh mana anggota ingroup memikirkan tentang derita yang
dialami oleh outgroup akibat aksi-aksi kelompok mereka). Terkait dengan dimensi terakhir, yaitu
past victimisation, penelitian sebelumnya oleh Green dkk. (2017) menemukan bahwa pengakuan
anggota ingroup bahwa aksi-aksi kelompok mereka telah mengakibatkan penderitaan kepada
outgroup (acknowledgements of outgroup suffering) berkontribusi dalam meningkatkan
perdamaian antarkelompok karena pengakuan tersebut mendorong ingroup untuk bersedia
memaafkan kesalahankesalahan outgroup (forgiveness) dan merasa bersalah atas
pelanggaranpelanggaran ingroup terhadap outgroup (feelings of guilt). Hasil penelitian lain
(Andrighetto, Halabi, & Nadler, 2018) yang relevan meskipun dengan arah fokus yang berkebalikan
8
juga menemukan bahwa pengakuan dari outgroup bahwa aksi-aksi kelompok mereka telah
memberikan penderitaan bagi ingroup mendorong ingroup untuk mempercayai pemimpin
outgroup (trust towards outgroup leaders) dan kemauan untuk memaafkan kesalahan-kesalahan
outgroup (willingness to forgive outgroup members).

RECOMMENDATIONS
merekrut sampel non-mahaiswa, dengan tujuan untuk menguji sejauh mana hasil-hasil empiris
dalam penelitian ini bersifat konsisten atau bisa digeneralisasikan pada sampel dengan karakteristik
yang berbeda dan lebih beragam.

STRENGTHS
hasil-hasil empiris dalam penelitian ini bersifat konsisten

WEAKNESSES
Kelemahan pertama terkait dengan sampel penelitian yang terbatas pada mahasiswa. isu
conceptual replication. Radikalisme tidak sebatas terkait dengan Islam atau Muslim. Radikalisme
juga muncul sebagai fenomena sosial di kalangan pemeluk agama lain selain Islam.

JOURNAL 3

IDENTITY
JOURNAL : Jurnal Psikologi, Volume 17 Nomor 1, Juni 2021
Penggunaan Media Sosial Dan Pemahaman Tentang Radikalisme
TITTLE :
Di Kalangan Pelajar Muslim
Amirah Diniaty, Susilawati Susilawati, Zarkasih Zarkasih, Rian
AUTHOR :
Vebrianto
REVIEWER IDENTITY : ex: Becce, (Mahasiswa S1 Psikologi, Universitas Bosowa)

THE ABSTRACT
Media sosial merupakan salah satu sarana penyebarluasan paham radikal terutama bagi generasi
muda. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap penggunaan media sosial oleh pelajar musllim
di tingkat sekolah menangah atas, dan kaitannya dengan pemahaman mereka tentang radikalisme.
Jenis penelitian ini adalah survey terhadap 316 orang pelajar dari 5 sekolah menengah atas yang
ada di kecamatan Tampan Pekanbaru. Sampel penelitian ini diambil secara random dengan teknik
purposive sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan angket dalam bentuk google form
yang berisi pertanyaan tentang; jenis dan konten media sosial yang diakses, intensitas dan upaya
yang dilakukan pelajar untuk menggunakan media sosial. Pemahaman tentang radikalisme dilihat
9
dari jawaban responden terhadap item-item yang diklasifikasi menjadi skala likert. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pelajar yang intensitas akses media sosialnya rendah, cendrung kurang
memahami tentang radikalisme dan bahayanya. Jika dilihat dari mean jawaban responden yang
intensitas penggunaan media sosialnya rendah, ternyata tidak paham tentang radikalisme. Artinya
semakin mereka sering mengakses media sosial, semakin sering mereka mendapatkan informasi
tentang radikalisme. Perlu ada penelitian yang lebih detil apa saja informasi tentang radikalisme
yang mereka dapatkan di media sosial tersebut.

THE INTRODUCTION AND


LITERATURE REVIEW
Pelajar tingkat sekolah menengah adalah aset bangsa yang menurut sumber BPS, tahun 2011 ada
44 juta anak umur 10-19 ahun. Merekalah yang akan menjadi bagian dari usia produktif penduduk
Indonesia di tahun 2045 yang diperkirakan berjumlah 70% dari total jumlah penduduk, yang disebut
sebagai generasi emas. Hasil survei Alvara Strategic Research tahun 2014 menjelaskan generasi usia
15-34 tahun sangat tinggi tingkat ketergantungannya pada koneksi internet. Hasil penelitian lain
menunjukkan mengakses media sosial menjadi tujuan mayoritas remaja menggunakan internet
mencapai 64,4% (Pasquala, Sciacca dan Hichy, 2015), terutama dengan menggunakan handphone.
Penelitian yang dilakukan oleh Vebrianto et al (2020) menunjukkan bahwa media sosial
memengaruhi pemahaman beragama mahasiswa; sebanyak 100 orang (40,0%) lebih terpengaruh
oleh twitter dan 99 orang (39,6%) oleh sosial media whatsapp kemudian diikuti oleh media lainnya
youtube dan face book. Dengan interaksi yang sangat sering dan sering seramai 55,2% atau 139
orang yang menggunakan sedangkan yang jarang adalah seramai 89 orang (35,6%) sedangkan
lainnya di bawah 10 persen. Faktanya dampak negatif media sosial juga menjadi media
penyebarluasan tindakan intoleransi, paham radikalisme, terorisme di Indonesia. Radikalisme atau
kekerasan dalam agama dan atas nama agama saat ini cukup mengkhawatirkan (Riyadi, 2016). Hasil
penelitian John Obert Voll tentang jaringan teroris bukan lagi mata rantai terpenting dalam kaitan
dengan mentransformasikan politik komunitas muslim di seluruh dunia, melainkan jaringan
intelektual dan pertukaran ideologi melalui media internet (Agus, 2016).
Hasil penelitian Ghifari (2017) menemukan bahwa Kemenkominfo & PBNU memblokir situs 300
dari 900 yang mengandung konten radikalisme di tahun 2011. Pada tahun 2015, Kemenkominfo
memblokiran 22 situs (Islam) yang menyebarkan paham radikalisme. Pemblokiran ini atas
permintaan BNPT dengan 3 kriteria: (1) menggunakan kekerasan dengan mengatasnamakan
agama, (2) takfiri (mengkafirkan orang lain), (3) memaknai jihad secara terbatas. Data BNPT
melansir sejak 2010-2015 ada 814.594 situs serupa yang sudah diblokir (Ghifari, 2017).
Radikalisme merupakan suatu perbuatan penyimpangan yang dilakukan dengan anggapan bahwa
semua tindakan yang dilakukan adalah benar sehingga menyalahkan segala tindakan yang
dilakukan kelompok lain hingga menimbulkan perbuatan anarkis. Nur (2019) menjelaskan bahwa
radikalisme muncul diakibatkan suatu kelompok dengan kondisi ekonomi relatif baik sehingga
mereka terasa dipinggirkan. Selain itu kebencian mereka terhadap prilaku rezim yang berkuasa
menghambat kegiatan sosial mereka. Radikalisme muncul bukan hanya dikarenakan faktor
perekonomian, namun dikarenakan perbedaan ideologi dalam doktrin agama. Sikap radikalisme
muncul dengan mengatasnamakan Islam. Terorisme muncul diakibatkan sikap radikal yang
memuncak sudah menjiwai seorang individu sehingga merusak bahkan membunuh sekelompok
yang dianggap ancaman serta jihad baginya. Anastasia (2018) menjelaskan terorisme dan
radikalisme dapat mengguncang rasa keIndonesiaan yang beragam, tidak toleran dan tidak
menerima terhadap perubahan. Selain itu Hasnah dan Rasyidin (2019) sikap terorisme memasuki

10
era millennium ketiga, serangkaian peristiwa pemboman situs milik negara Barat telah terjadi, dan
menimbulkan citra negatif dunia Barat terhadap Indonesia.
Terdapat empat ciri utama radikalisme yaitu: (a) gerakan atau paham anti NKRI (b) gerakan atau
paham yang anti pancasila (c) gerakan atau paham yang menyebarkan intoleransi (d) gerakan atau
paham yang mengajak ke tindakan kekerasan (Kartini, 2019). Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan
penggunaan media sosial oleh pelajar muslim dan pemahaman mereka tentang radikalisme. Hasil
penelitian ini menjadi sinyal yang harus diwaspadai orang tua, para pendidik tentang seberapa
mengkhawatirkannya generasi milenial muslim dalam menggunakan internet.

METHODOLOGY
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survei lapangan. Survei
dilakukan dengan menggunakan google form pada responden yaitu pelajar muslim di sekolah
menengah atas berbasis Islam di kota Pekanbaru, dan sekolah menengah umum.
Subjek penelitian ini adalah pelajar muslim berjumlah 316 orang dari 5 sekolah menengah atas
berbasis Islam yang ada di kecamatan Tampan Pekanbaru. Sampel penelitian ini diambil secara
random dengan teknik purposive sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan angket dalam
bentuk google form, data dianalisis secara deskriptif kuantitatif menggunakan software SPSS versi
22 untuk menjelaskan frekuansi dan persentase dari data yang di tampilkan.

11
RESULTS/FINDINGS
Penggunaan Media Sosial oleh Pelajar Muslim 1. Jenis media sosial yang paling banyak di digunakan
pelajar adalah Instagram (34,17%), Whatshap (32,22 %) dan Facebook (31,02%). 2. Intensitas
penggunaan media sosial terlihat dalam tabel 4 bahwa sebagian besar (44%) antara 3-7 jam dalam
sehari. Bahkan ada yang mengakses lebih dari 10 jam dalam sehari (4,7%) dan tampa batas (0,9%).
3. Perangkat dan pulsa untuk mengakses media sosial Hampir semua responden (85,8%) memiliki
sendiri handphone untuk mengakses media sosial. 4. Pemahaman pelajar tentang radikalisme dan
bahayanya masih tergolong rendah terlihat dari dari jawabannya terhadap item-item yang
diklasifikasi. 5. Intensitas Penggunaan Media Sosial dan Pemahaman tentang Radikalisme di
kalangan Pelajar t bahwa jumlah pelajar yang akses media sosialnya rendah lebih banyak kurang
memahami tentang radikalisme dan bahayanya.

ANALYSIS / DISCUSSION
Temuan penelitian memetakan penggunaan media sosial oleh pelajar muslim lebih banyak pada
jenis instagram, whatshapp dan facebook, dengan waktu yang digunakan untuk mengakses
sebagian besar (44%) antara 3-7 jam dalam sehari. Hampir semua responden (70,9%) menggunakan
handphone/smartphone untuk mengakses internet, dan 85,8% memiliki sendiri handphone
tersebut. Untuk dapat mengakses media sosial sebagian dari responden (58, 28%) menggunakan
uang jajan mereka sendiri. Konten yang diakses responden banyak (31%) pada chatting pribadi, dan
akademik (28,2%).
Hasil penelitian lain menunjukkan mengakses media sosial menjadi tujuan mayoritas remaja
menggunakan internet mencapai 64,4% (Pasquala, Sciacca dan Hichy, 2015). Selain itu internet juga
dijadikan sebagai media belajar yang dianggap efektif karena dapat digunakan secara acak
berdasarkan keinginan anak, gagasan yang disajikan sesuai dengan simbol dan grafik, dan dapat
melibatkan interaktivitas siswa yang tinggi (Khairuni, 2016). Young (2004), menjelaskan kebanyak
orang menggunakan internet untuk memperbaiki mood dan melupakan tentang masalah pribadi
mereka. Mereka menggunakan internet untuk menyalurkan perasaan negatif sehingga berharap
lebih baik. Mereka mengemukakan tentang permasalahan pribadi mereka pada media sosial untuk
katarsis yang dapat mengakibatkan timbulnya permasalahan baru.
akses terhadap media sosial memberikan informasi tentang radikalisme. Namun perlu diwaspadai
adanya hoax yang dapat memberikan informasi tidak benar pada pelajar melalui media sosial. Hoax
adalah perbuatan dengan sengaja (penipuan dan kebohongan) yang bertujuan agar targetnya
menerima dan mempercayai informasi yang salah—dalam bentuk tulisan, gambar, dan cerita lisan
yang akhir-akhir ini lebih banyak dalam bentuk berita palsu. Survei Mastel (2017) menjelaskan
bahwa hoax lebih banyak berisi isu sosial politik (91,8%), tentang sara (86,6%) dan kesehatan
(41,2%). Paham radikalisme dapat tergolong dalam isu politik dan sara dapat tersebar berupa hoax,
yang harus diwaspadai oleh pelajar muslim saat mengakses media sosial.Untuk itu perlu
dikembangkan literasi counter radikalisme berbasis media sosial (Farah Noersativa, 2018). Peran
pemerintah diperlukan mengingat pola monitoring jaringan radikal sering menggunakan media
sosial sebagai kendaraannya, sehingga literasi melawan radikalisme berbasis dengan media sosial
menjadi sangat penting.

CONCLUSION

12
Temuan penting penelitian ini adalah bahwa semakin tinggi intensitas remaja mengakses media
sosial, maka akan semakin sering mereka mendapatkan informasi tentang radikalisme. Perlu
diwaspadai informasi yang tidak benar (hoaks) dari media sosial yang diakses. Perlu dibentuk sikap
seorang pelajar muslim yang cerdas dalam mengelola informasi dan menggunakan sosial media
agar terhindar dari berita hoax dan radikalisme. Agama islam mengajarkan pemeluknya untuk
saling menghormati, harmonis, damai dan hidup sejahtera. Munculnya garis keras yang
mengatasnamakan islam dalam interaksi antar manusia dimungkinkan oleh kesalhan dalam
memahami ayat Al Quran.

RECOMMENDATIONS
Dari penelitian ini disarankan adanya sosialisasi yang komprehensif dan intens mengenai
penggunaan sosial media sehat bagi remaja guna menangkal paham radikalisme yang bertentangan
dengan ajaran agama islam sebagai agama pembawa kedamaian.

STRENGTHS
Hal yang menarik dari penelitian ini bahwa jumlah pelajar yang akses media sosialnya rendah lebih
banyak kurang memahami tentang radikalisme dan bahayanya. Jika dilihat dari mean jawaban
responden yang penggunaan media sosialnya rendah, ternyata tidak paham tentang radikalisme
dari skor mean mencapai 70,10, dan mean 59,00 untuk sangat tidak paham. Ini berarti bahwa akses
terhadap media sosial memberikan informasi tentang radikalisme.

JOURNAL 4

IDENTITY
JOURNAL : Psikoborneo
Pengaruh Konformitas Dan Internalisasi Nilai-Nilai Islam
TITTLE :
Terhadap Pemikiran Radikalisme
AUTHOR : Hardiansyah
Program Studi Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
REVIEWER IDENTITY :
Universitas Mulawarman Samarinda

THE ABSTRACT
Munculnya organisasi-organisasi Islam yang representasi agamanya meluas jauh ke luar negeri,
melintasi batas negara. Inilah yang menyebabkan munculnya ide-ide agama baru di kalangan
mahasiswa Muslim. Gagasan radikalisme di kalangan mahasiswa terjadi karena beberapa faktor
salah satunya adalah adanya pengaruh sosial untuk mengikuti norma-norma yang ada dalam
kelompok konformitas, serta doktrin yang diberikan berupa pemahaman atau pengahayatan nilai-
nilai agama Islam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kesesuaian dan internalisasi
nilai-nilai Islam pada Pusat Kajian Islam Mahasiswa Universitas Mulawarman. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kuantitatif. Subjek penelitian ini adalah 100 anggota Universitas Islam
Pusat Studi Universitas Mulawarman yang dipilih dengan menggunakan teknik simple random
sampling. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah skala kesesuaian, internalisasi nilai-
nilai Islam dan pemikiran radikal. Data yang terkumpul dianalisis dengan metode Structural
Equation Modeling (SEM) dengan bantuan software Amos versi 22. Hasil penelitian menunjukkan
13
bahwa kesesuaian dengan pemikiran radikal menunjukkan nilai CR sebesar -0.857 ≤ 1.96 dan nilai
P sebesar 0.391> 0.05 yang artinya konformitas tidak berpengaruh pada pemikiran radikalisme.
Kemudian pada internalisasi nilai-nilai Islam dengan pemikiran radikalisme menunjukkan nilai C.R
sebesar -0,292 ≤ 1,96 dan nilai P sebesar 0,770> 0,05 yang berarti dalam internalisasi nilai-nilai Islam
tidak terdapat pengaruh terhadap pemikiran radikalisme.

THE INTRODUCTION AND


LITERATURE REVIEW
Indonesia merupakan Negara dengan penduduk yang beragama islam di dunia dalam hal ini
pemerintah telah memberikan fasilitas perguruan tinggi kepada setiap penduduk sehingga dapat
melanjutkan studinya untuk mendapatkan gelar sarjana. Perguruan tinggi adalahwadah bagi
mahasiswa yang memiliki banyak potensi untuk memunculkan potensi tersebut. Mahasiswa
dengan mayoritas usia dewasa awal masi mencari kemana orientasi masa depan yang akan di
tempuh. Merekka masih memerlukan beberapa pengaruh yang dapat menunjang dan memfasilitasi
prinsip dan jati diri yang sedang dicari. Maka berdasarkan hal tersebut dimanfaatkan oleh kelompok
radikal untuk mempengaruhi dengan konsep radikalisme yang mereka bawa (Aliakov, 2012). sesuai
dengan teori Erik erikson yaitu identitas vs kekacauan identitas, pencarian jati diri mulai
berlangsung dalam tahap ini, apabila seseorang dalam mencari jari dirinya bergaul dengan
lingkungan yang baik maka akan tercipta identitas yang baik pula, namun sebaliknya jika remaja
bergaul dalam lingkungan yang kurang baik maka akan timbul kekacauan identitas pada diri remaja
tersebut.
Dalam perguruan tinggi tidak terpisahkan dengan yang namanya organisasi. Sekarang yang marak
adalah munculnya organisasi keislaman dimana representasi keagamaan mereka jauh merujuk
keluar negeri, melintas batas negara. Inilah yang menimbulka munculnya paham-paham
keagamaan baru dikalangan mahasiswa muslim. Mereka merepresentasikan diri dalam Lembaga
Dakwah Kampus, halaqah dengan berbagai nama, dan komite-komite aksi mahasiswa. Mereka juga
muncul dalam bentuk diskusi dan kajian jumatan yang rutin dengan mengangkat issu-issu
keagamaan yang lebih radikal dan ekstrim.
Salah satu organisasi kemahasiswaan islam di Universitas Mulawarman adalah Pusat Studi Islam
Mahasiswa (Pusdima) dimana Pusdima merupakan unit kegiatan mahasiswa yang berada dibawah
tanggung jawab Rektor Universitas Mulawarman bergerak dibidang dakwah dan pembinaan.
Potensi munculnya radikalisme dikarenakan adanya aktifitas keagamaan kampus ditemukan corak
metode (thoriqoh) penerapan ideologi Khilafah Islamiyah, metode menjaga ideologi berbasis
hukum Islam, dan metode penyebarluasan ideologi berupa dakwah dan jihad, bentuk kajian dan
aktifitas sosial-keagamaan bersistem halaqah dan mentoring (Pusltibang Pendidikan Agama dan
Kebudayaan, 2005).
Menurut Nurjanah (2013) radikalisme adalah sebuah gerakan yang berbasis islam yang
dimaksudkan untuk melakukan pembaruan dalam masalah sosial, politik, atau keagamaan,
dilakukan dengan cara drastis, keras, dan tanpa kompromi kepada pihak-pihak yang dianggap
musuh, dengan satu prinsip bahwa hanya syariat islam dan penerapan syariat islam menjadi ide
perjuangannya.
Sears (1994) berpendapat bahwa bila seseorang menampilkan perilaku tertentu disebabkan oleh
karena orang orang lain menampilkan perilaku tersebut, disebut konformitas. Muhaimin (2001)
mengatakan bahwa proses dalam menginternalisasikan nilai-nilai islam yaitu: yaitu pendekatan
indoktrinasi, pendekatan modal reasoning, pendekatan forecasting concequence, pendekatan
klasifikasi nilai, dan pendekatan internalisasi. Hal ini sejalan yang dikemukakan Azra (2011)
radikalisme Islam adalah ide-ide, pemikiran, ideologi dan gerakan Islam, yang mengarah kepada
14
aktivitas intimidasi, kekerasan dan teror, baik karena doktrin keagamaan, membela diri, maupun
bentuk respon terhadap lawan politik yang ditunjuknya. Biasanya mereka, berbasis pada alasan
perlawanan terbuka terhadap kebijakan politik dan ekonomi imperialisme Barat, serta dominasi
dan hegemoni kebudayaan yang merugikan kaum muslim.
Menurut Alim (2006) internalisasi adalah menyatunya nilai dalam diri seseorang, atau dalam bahasa
psikologi merupakan penyesuaian keyakinan, nilai, sikap, perilaku, praktik dan aturan baku pada
diri seseorang. Menurut Rahmawati (2014) internalisasi nilai-nilai islam adalah proses penghayatan,
pendalaman dan penguasaan secara mendalam melaului binaan dan bimbingan terhadap nilai-nilai
material yang terwujud dalam kenyataan pengalaman rohani jasmani. Internalisasi nilai-nilai islam
merupakan suatu proses memasukan nilai-nilai agama islam secara penuh kedalam hati, sehingga
ruh dan jiwa bergerak berdasarkan ajaran agama islam (Alam, 2016).

METHODOLOGY
Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif, dalam penelitian ini terdapat tiga variable bebas
dan satu variable terikat. Varabel bebas yaitu konformitas dan internalisasi nilai-nilai islam
sedangkan varabel terikat yaitu pemikiran radikalisme. Sampel dalam penelitian ini adalah Pusat
Studi Islam Mahasiswa Universitas Mulawarman periode 2016- 2017 yang berjumlah sebanyak 100
anggota.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu alat pengukuran atau
instrumen. Instrumen penelitian yang digunakan ada tiga yaitu skala perilaku radikalisme,
konformitas dan internalisasi nilai-nilai islam. Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan
teknik uji coba atau try out kepada anggota pusdima yang di fasilitasi oleh Lembaga Dakwah
Kampus di masing fakultas Universitas mulawarman sebanyak 89 anggota.
RESULTS/FINDINGS
Hipotesis dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh konformitas terhadap pemikiran
radikalisme dan internaliasi nilai-nilai Islam terhadap. Tehnik analisis data yang digunakan adalah
Structural Equation Model (SEM). Untuk menganalisas hasil output, pengaruh antar variabel
signifikan jika nilai, C.R ≥1.96 dan nilai P < 0.05. Berdasarkan tabel 28, dapat diketahui bahwa pada
konformitas dengan pemikiran radikalisme menunjukan nilai C.R sebesar -0.857 ≤ 1.96 dan nilai P
sebesar 0.391 > 0.05 yang artinya konformitas tidak memiliki pengaruh terhadap pemikiran
radikalisme. Kemudian pada internalisasi nilai-nilai Islam dengan pemikiran radikalisme
menunjukan nilai C.R sebesar - 0.292 ≤ 1.96 dan nilai P sebesar 0.770 > 0.05 yang artinya
internalisasi nilai-nilai Islam tidak memiliki pengaruh terhadap pemikiran radikalisme.

ANALYSIS / DISCUSSION
terori Erik Erikson yang menyatakan bahwa identitas vs kekacauan identitas, pencarian jati diri
mulai berlangsung dalam tahap ini, apabila seseorang dalam mencari jari dirinya bergaul dengan
lingkungan yang baik maka akan tercipta identitas yang baik pula, namun sebaliknya jika remaja
bergaul dalam lingkungan yang kurang baik maka akan timbul kekacauan identitas pada diri remaja
tersebut. Hal ini sesusai dengan teori Marcia identity diffusion yaitu remaja dengan status ini
merupakan remaja yang mengalami kebingungan tentang siapa dirinya dan mau apa dalam
hidupnya, selain itu mereka juga menunjukan karakteristik seperti konsep diri yang kuat,
menunjukan tingkat kecemasan dan ketegangan internal yang tinggi dan tidak dapat
memperkirakan ciri atau sifat kepribadian yang dimilikinya (Santrcok, 2007) Berdasarkan uraian
tersebut maka dapat disimpulkan konformitas tidak memiliki pengaruh terhadap pemikiran

15
radikalisme, tetapi remaja yang sedang mencari jati dirinya akan sangat mudah didoktrin mengenai
dasar pembenaran terhadap aksi radikal atas nama agama sehingga munculah pemikiran
radikalisme dikalangan mahasiswa.
pada internalisasi nilai-nilai Islam dengan pemikiran radikalisme menunjukan nilai C.R sebesar -
0.292 ≤ 1.96 dan nilai P sebesar 0.770 > 0.05 yang artinya internalisasi nilai-nilai Islam tidak memiliki
pengaruh terhadap pemikiran radikalisme. Hal ini bermakna agama Islam mengajarkan hal yang
baik dan tidak pernah mengajarkan tentang kekerasan, hal tersebut sejalan dengan Alam (2016),
internalisasi nilai-nilai Islam adalah proses pemasukan nilai-nilai agama Islam secara penuh kedalam
hati, sehingga ruh dan jiwa bergerak berdasarkan ajaran agama Islam dan membawa manusia pada
kebahagian, kesejahtraan, dan keselamatan manusia baik dalam dunia maupun kehidupan akhirat
kelak.
internalisasi nilai-nilai Islam tidak memiliki pengaruh terhadap pemikirarn radikalisme, tetapi
pemahaman agama yang masih kurang, sempit, dapat menyebabkan paham-paham agama seperti
ini dengan mudah akan menggiring pada keyakinan yang cenderung memiliki pemikiran akan
radikalisme.

CONCLUSION
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, peneliti menyimpulkan bahwa:
1. Tidak terdapat pengaruh konformitas terhadap pemikiran radikalisme pada pusat studi islam
mahasiswa Universitas Mulawarman.
2. Tidak terdapat pengaruh internalisasi nilai-nilai islam terhadap peemikiran radikalisme pada
pusat studi islam mahasiswa Universitas Mulawarman.

RECOMMENDATIONS
Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang pemikiran radikalisme
sebaiknya lebih dilihat lagi mengenai skala yang digunakan tidak boleh sempit dan harus secara
hukum islam. Bagi peneliti selanjutnya sebaiknya membuat scraning di latar belakang sebaiknya
internalisasi agama Islam harus luas, tidak boleh sempit, membuka cakrawala dengan cara studi
banding dengan ustadz dari luar

JOURNAL 5

IDENTITY
ACADEMIA (Accelerating the world's research)
JOURNAL :
BIMBINGAN KONSELING MELALUI PENDIDIAN MULTIKULTUAL
TITTLE : TERHAPAP ANAK-ANAK DAN REMAJA DALAM
PENANGGULANGAN PAHAM ADIALISME
AUTHOR : Lilam Kadarin Nuriyanto
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang, Jawa
REVIEWER IDENTITY :
Tengah, Indonesia

16
THE ABSTRACT
Paham radikalisme merupakan akar dari ketidakrukunan antar umat beragama. Anak-anak dan
remaja adalah generasi penerus yang harus dilindungi dari radikalisme, sehingga perlu penanganan
yang tepat. Pendidikan multikultural sangat diperlukan dalam membentuk generasi saling
menghormati dalam setiap perbedaan. Keadaan psikologis anak-anak dan remaja harus tetap
dipertahankan dalam pendidikan multikultural. Dalam pembentukan komunitas lintas agama,
dunia bermain untuk anakanak dan suasana santai untuk remaja harus tetap dipertahankan

THE INTRODUCTION AND


LITERATURE REVIEW
Pada paham keagamaan telah tumbuh perkembangan baru yang dinamakan radikalisme.
Radikalisme sering digunakan dalam pemahaman terhadap ajaran agama atau aliran tertentu. Commented [U1]:
radikalisme merupakan paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial
dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Kelompok radikal sering diartikan sebagai kelompok
yang suka menggunakan cara kekerasan dalam menyelesaikan masalah atau mencapai tujuannya.
Gejala radikalisme ini bisa dilihat sejak terjadinya reformasi tahun 1998, ketika menjelang turunnya
Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Berlanjut pada kerusuhan besar-besaran yang terjadi
di Jakarta yang merambat ke kota Surakarta. Sehingga fenomena kebebasan menghiasi kehidupan
masyarakat Indonesia dalam segala ruang kehidupannya. Hal ini ditandai dengan seringnya terjadi
kerusuhan-kerusuhan antar etnik dan agama. Misalnya di Sampit Kalimantan Tengah antara suku
Dayak dan Madura, serta kerusuhan antar agama antara Islam dan Kristen di Ambon.
Yang menjadi penyebab tidak harmonisnya hubungan antar individu atau kelompok dalam sebuah
negara yang multikultural adalah sikap prejudis, stereotip, dan diskriminasi. Prejudis biasanya
memandang sebuah kelompok secara general, padahal didalam kelompok itu sebenarnya terdapat
beragai macam variasi. Tulisan ini merupakan pengembangan dari hasil penelitian penulis pada
tahun 2013 di Kota Surakarta lewat lembaga Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang
yang berjudul Dinamika Hubungan Antar Umat Beragama Pola Pengelolaan Kerukunan Antar Umat
Beragama Di Kota Surakarta. Selain itu juga hasil penelitian dari Balai Penelitian dan Pengembangan
Agama Makasar yang berjudul Persepsi Dan Sikap Siswa Terhadap Tindakan Kekerasan Atas Nama
Agama.
Piaget, seorang pakar psikologi kognitif dan psikologi anak, memandang inteligensi/kecerdasan
sebagai suatu proses adaptif dan menekankan bahwa adaptasi melibatkan fungsi intelektual.
Menurutnya telah terjadi keseimbangan antara kegiatan organisme dengan kegiatan
lingkungannya yang disebut proses adaptasi. . Dengan demikian lingkungan mendorong terus
menerus organisme untuk menyesuaikan diri terhadap situasi riil, sebaliknya organisme secara
konstan juga menghadapi lingkungannya sebagai suatu struktur yang merupakan bagian dari
dirinya (Gunarsa, 1987; Hurlock, 1991; 1996; Soemantri, 2005; dan Santrock, 2007), Piaget
mengemukakan tentang adanya tahapan/periodisasi dalam perkembangan kognitif individu.
Pendidikan konseling melalui multikultural pada masa anakanak sangat penting sekali, karena bila
sudah tertanam sejak dini maka kelak akan diperoleh generasi penerus bangsa yang mudah untuk
mengerti dan menghormati sesuatu yang berbeda dengan dirinya. Sesuai dengan teori-teori diatas
bahwa anak-anak merupakan masa emas untuk membentuk pribadi dikelak kemudian hari. Sebagai
dasar atau pondasi pembentukan sikap maka perlu diadakan kegiatan-kegiatan yang dalam
tujuannya untuk menanamkan nilai-nilai multikultur tanpa harus menghiraukan dunianya yang
sebenarnya yaitu dunia bermain.
Pembentukan komunitas anak-anak dan remaja merupakan sebuah gerakan model baru dalam
bentuk lintas agama. Dimana mereka membentuk sebuah forum dengan tidak meninggalkan
17
dunianya sebagai dunia bermain pada masa anak-anak dan bergaul secara merdeka tanpa ikatan-
ikatan birokratis yang bisa membelenggu gelora jiwa masa remajanya.
Konsep bimbingan dan konseling dengan multikultural dalam menanggulangi Paham radikalisme
dikalangan anak-anak dan remaja, tentunya tidak lepas dari peran psikologi perkembangan anak
dan remaja. Dalam pendekatan konsep mulitikultural bisa sebagai penggerak kelompok-kelompok
masyarakat dimana saling menghormati dan menerima satu dengan yang lain. Kaum mayoritas bisa
menghormati terhadap kaum minoritas, sebaliknya kalum minoritas bisa menghormati keberadaan
kaum mayoritas. Konsep untuk saling menghargai dan menerima satu dengan yang lain merupakan
modal dalam membina kerukunan pada kelompok masyarakat yang plural.

METHODOLOGY
Kualitatif naratif berdasarkan literature yang ada.

RESULTS/FINDINGS
pengalaman yang luar biasa pada dalam diri anak-anak yang memang sebelumnya belum pernah
berkunjung ke tempat-tepat beribadah selain di agamanya. Anak-anak akan menemukan hal-hal
baru yang pasti akan dihubungkan dengan pemahaman agamanya. Sehingga akan muncul berbagai
pemikiran-pemikiran baru sesuatu yang terkadang sangat bertentangan dengan pemahaman
terhadap agamanya. Anak akan sangat berkesan sekali karena mempunyai pengalaman yang ia
dapatkan secara langsung dan alami. Misalnya di setiap masjid kebanyakan ada tulisan arab Allah
dan Muhammad, tetapi ketika berkunjung ke tempat ibadah lainnya tidak ada. Kalau ke maasjid
harus lepas alas kaki, tetapi di tempat ibada lainnya ada yang tidak mensyaratkannya, tentunya ini
juga akan muncul pertanyaan-pertanyaan di benak anakanak. Disinilah peran orang dewasa harus
bisa menjelaskan dengan arif dan bijaksana sesuai dengan dunianya, agar mudag dipahami dan
dimengerti olah anak-anak. Sehingga munculah pengetahuan baru bagi anak-anak ternyata ada
perbedaan-perbedaan disekelilingnya.
Pembentukan komunitas anak-anak dan remaja merupakan sebuah gerakan model baru dalam
bentuk lintas agama. Dimana mereka membentuk sebuah forum dengan tidak meninggalkan
dunianya sebagai dunia bermain pada masa anak-anak dan bergaul secara merdeka tanpa ikatan-
ikatan birokratis yang bisa membelenggu gelora jiwa masa remajanya.
Para anak-anak dan remaja yang merupakan usia pelajar tanpa disadari selalu ditanamkan untuk
mencapai sesuatu yang seragam. Sistem pembelajaran yang masih lebih besar komunikasi satu arah
dari pendidik ke siswa lebih menguatkan adanya sistem pemaksaan atas keseragaman. Karena
masih minimnya komunikasi timbal balik antara keduanya. Sehingga tidak memunculkan kreatiitas
pada diri siswa. Pendidikan multikultural sangat diperlukan bagi para siswa agar terlatih untuk
mengakui adanya perbedaan diantara mereka. Dalam hal ini sangat dibutuhkan sehingga
penanaman nilai-nilai multikultural sejak masa kanak-kanak sangat diperlukan sekali. Sehingga
pada tahapan remaja atau pelajar hanya perlu memoles atau menyempurnakannya saja. Tentu hal
ini lebih mudah daripada bila penanaman pendidikan multikultural baru dimulai sejak uisa remaja.

ANALYSIS / DISCUSSION

18
Bentuk-bentuk penanggulangan fenomena radikalisme dikalangan anak-anak adalah dengan
mengajak mereka untuk berkumpul besama dalam sebuah wadah komunitas lintas agama.
Komunitas ini bentuknya bebas tidak ada batasan-batasan yang sangat mengikat. Dalam komunitas
ini belum harus mempunyai tujuan tertentu. Yang terpenting adalah jangan meninggalkan jati diri
dari dunia anak-anak, yaitu bermain. Dimana anak-anak harus tetap pada aspek bermain gembira
dengan pengarahan untuk mendapatkan pengetahuan baru dibidang perbedaan keagamaan
dengan linkungannya. Bentuk-bentuk penanggulangan fenomena radikalisme dikalangan remaja
adalah dengan mengajak mereka untuk berkumpul besama dalam sebuah wadah komunitas lintas
agama. Pada remaja juga tetap pada semangat jiwa yang masih sangat bergejolak ingin bebas dalam
mencari jati diri. Dalam komunitas sudah ada tujuannya karena remaja sudah bisa berpikir dan
mencerna mana yang baik dan mana yang tidak bermanfaat. Diperlukan sebuah komunitas yang
tidak santai tetapi serius dalam mencapai tujuannya. Kumpul bersama merupakan hal terpenting,
sehingga dalam perbincangan-perbincangan kepentingan komunitas tetap terbungkus dalam
suasana santai sesuai dengan jiwa remaja. Peran pendidikan konseling mulitikultural dalam
penanggulangan paham radikalisme di kalangan anak-anak dan remaja merupakan hal yang sangat
penting karena mereka adalah generasi penerus bangsa. Apabila jiwa mudah untuk memahami dan
mengerti dengan segala perbedaan yang ada disekitarya bila dilatih sejak usia dini dan remaja maka
akan menghasilkan generasi yang kuat dalam berwawasan kerukunan. Karena kerukunan
merupakan modal utama dalam pencapaian kehidupan yang damai berdampingan, sehingga
pembangunan sebuah negara bisa berjalan dengan lancar tanpa ada faktor gangguan dari
inharmonisasi dalam negeri.

CONCLUSION
Bentuk-bentuk penanggulangan fenomena radikalisme dikalangan anak-anak adalah dengan
mengajak mereka untuk berkumpul besama dalam sebuah wadah komunitas lintas agama.
Komunitas ini bentuknya bebas tidak ada batasan-batasan yang sangat mengikat. Dalam komunitas
ini belum harus mempunyai tujuan tertentu. Yang terpenting adalah jangan meninggalkan jati diri
dari dunia anak-anak, yaitu bermain. Dimana anak-anak harus tetap pada aspek bermain gembira
dengan pengarahan untuk mendapatkan pengetahuan baru dibidang perbedaan keagamaan
dengan linkungannya. Bentuk-bentuk penanggulangan fenomena radikalisme dikalangan remaja
adalah dengan mengajak mereka untuk berkumpul besama dalam sebuah wadah komunitas lintas
agama. Peran pendidikan konseling mulitikultural dalam penanggulangan paham radikalisme di
kalangan anak-anak dan remaja merupakan hal yang sangat penting karena mereka adalah generasi
penerus bangsa.

RECOMMENDATIONS
Menggunakan instrument penelitian yang bisam menjelaskan fenomena tersebut

WEAKNESSES

19
Penelitian ini kurang kuat dalam hal instrumen

JOURNAL 6

IDENTITY
Persona: Jurnal Psikologi Indonesia
JOURNAL :
Model Pembelajaran Multikultural pada Pesantren Modern
TITTLE :
sebagai Upaya Mereduksi Paham Radikalisme
AUTHOR : Suhadianto Suhadianto, Eko April Ariyanto, Isrida Yul Arifiana
REVIEWER IDENTITY : Fakultas PsikologiUniversitas 17 Agustus 1945 Surabaya

THE ABSTRACT
Radikalisme sebagai bagian dari paham fundamentalis telah menjadi ancaman yang nyata bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Aksi-aksi radikalisme semakin massif dilakukan dengan
melibatkan generasi muda. Pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua memiliki model
pembelajaran yang sangat dipercaya oleh masyarakat. Pesantren diharapkan dapat menjadi
benteng penangkal paham fundamentalis melalui pembelajaran multikultural yang diterapkan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa praktek pembelajaran multikultural di pondok
pesantren dan dampak pembelajaran multikultural di pondok pesantren. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan mengambil fokus penelitian pada pondok pesantren
Darussalam, Sengon Kabupaten Jombang. Metode pengambilan data dilakukan dengan
menggunakan interview serta observasi terhadap subjek yaitu pemimpin pondok pesantren, ustad
serta santri. Validitas hasil penelitian dilakukan melalui triangulasi data. Hasil penelitian
menunjukan bahwa pondok pesantren Darusalam Jombang telah menerapkan prinsip
pembelajaran multikultural yang meliputi: content integration, The knowledge construction
process, Equity Pedagogy, Prejudice reduction. Selain itu dampak pembelajaran tersebut membuat
santri mampu memahami perbedaan, toleransi, dan keberagaman sehingga mampu membentengi
diri dari paham fundamentalis.

THE INTRODUCTION AND


LITERATURE REVIEW
Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 merupakan tonggak kebebasan bagi setiap orang
untuk bersuara dan menyampaikan pendapat. Masyarakat Indonesia secara politik kemudian
mendirikan parta-partai politik sebagai wadah penyampaian aspirasi, tercatat sekitar34 partai
politik yang terdaftar dan ikut pemilu pada tahun 1999. Partai politik memiliki landasan yang
berbeda-beda untuk menarik masa mulai nasionalisme, syariat islam dan idiologi lain. Tidak
hanya partai politik, organisasi masa juga berkembang yang berorientasi pada agama tertentu.
Aksi-aksi radikalisme tampaknya mulai tumbuh subur di Indonesia sejak terjadinya aksi

20
teror 11 september 2001 di New York Amerika serikat yang menghancurkan gedung
kembar World Trade Center. Aksi yang kemudian mengarah pada Al-Qaeda sebagai pelaku teror
dan identik dengan gerakan-gerakan islam radikal ini pada akhirnya menyudutkan dan
memberikan tekanan yang luar biasa bagi umat muslim di seluruh dunia. Perlawanan umat
islam terhadap tekanan-tekanan tersebut diwujudkan dalam bentuk pengerusakan atau “jihat”
dengan bom bunuh diri pada simbol-simbol barat. Bom bali yang terjadi pada 12 Oktober 2002
di Kuta Legian bali adalah bukti nyata gerakan-gerakan radikal sebagai bentuk perlawanan
terhadap masyarakat barat dan upaya mengembalikan kehidupan masyarakat sesuai dengan
keyakinan yang dianut.
Hasyim, dkk (2015) yang secara khusus mengkaji tentang pola resistensi pesantrenterhadap
gerakan radikalisme. Diperoleh temuan bahwa upaya yang dilakukanpesantrendalam mengatasi
radikalisme agama salah satunya dilakukan dengan strategi preservative deradicalization,
yaitu memelihara nilai-nilai moderatisme sebagai antisipasi terhadap model keislaman garis
keras. Selain itu juga diikuti dengan pengembangan kehidupan multikultural, yaitu sebuah
kesadaran akan keragaman sehingga dapat menumbuhkan rasa saling menghargai dan
menghormati.
Ahmad (2012) dalam judul Understanding Religious Violence in Indonesia: Theological, Structural
and Cultural Analyses. Adanya tindakan kekerasan agama yang ada di Indonesia sebagai bagian dari
proses perubahan dari sejarah manusia. Hal tersebut juga muncul sebagai akibat dari kondisi
politik di Indonesia dan respon terhadap ketidakadilan ekonomi. Selain itu, terdapat sebuah
studi yang dilakukan oleh Rahimullah, dkk (2013) menyusun kajian umum berkaitan dengan adanya
fenomena radikalisme islam. Diperoleh temuan secara ringkas bahwa penelitian pendahulu yang
membahas tentang radikalisme dalam muslim secara spesifik belum menjelaskan tahapan dari
sebuah proses radikalisme islam, tidak adanya literature akademik yang melakukan investigasi
secara khusus pada individu yang penggerak radikalisme dan upaya perbandingan terhadap
kondisi radikalisme muslim dengan radikalisme non-muslim.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya banyak penelitian sebelumnya
yang meneliti tentang gerakan-gerakan radikalisme. Penelitian-penelitian tersebut ada yang
berupa ulasan secara umum mengkaji serta membandingkan dari berbagai penelitian tentang
radikalisme, radikalisme dengan objek penelitian mahasiswa, serta ada juga yang mengulas
dalam perspektif ekonomi misalnya ketika mengaitkan antara aksi-aksi kekerasan dalam islam
yang berwujud terorisme yang ada di Indonesia dengan persoalan kesenjangan ekonomi diantara
masyarakat. Namun demikian, belum ada yang secara khusus meneliti tentang metode dan
implementasi pendidikan multikultural di pesantren.
el-Ma’hady(dalam Aly, 2011)berpendapat, bahwa secara sederhana pendidikan multikultural
dapat diartikan sebagai pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam merespon
perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia
global secara keseluruhan. Hal senada juga dijelaskan oleh Paulo Freire seorang pakar
pendidikan kebebasan yang menyatakan bahwa pendidikan multikultural sebagai solusi untuk
mengatasi perilaku sebagian orang terdidik yang menjadikan pendidikan sebagai “menara
gading” yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Berdasar pada latar belakang
sebagaimana telah diuraikan di atas, penelitian ini bertujuan untuk menggali data
terkaitbagaimanaimplementasi pembelajaran multikultural dan dampakpembelajaran
multikultural pada pesantrenDarussalam Sengon Jombang.

METHODOLOGY

21
Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan termasuk dalam jenis penelitian kualitatif
deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik pengamatan terlibat (participant
observation), wawancara mendalam (indept interview), dan dokumentasi. Pengamatan
terlibat digunakan untuk memperoleh data yang terkait dengan kegiatan perencanaan,
implementasi, dan evaluasi kurikulum. Wawancara mendalam digunakan untuk memperoleh
data yang terkait dengan sejarah pesantren dan perkembangannya, serta dasar pengembangan
kurikulum pesantren, perencanaan, implementasi, dan evaluasinya. Dokumentasi digunakan untuk
memperoleh data yang terkait dengan sejarah pesantren dan perkembangannya, dokumen
perencanaan kurikulum, data santri dan guru, buku ajar, dan perangkat kegiatan belajar
mengajar yang disusun oleh para guru. Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis dengan teknik
deskriptif-interpretatif dan analisis isi.

22
RESULTS/FINDINGS
Hasil analisis data penelitian menunjukkan bahwa pesantrenDarussalam Sengon Jombang telah
mengimplementasikan empat aspek pembelajaran multikultural menurut Bank (1994) ke dalam
proses pembelajaran, empat aspek tersebut adalah: 1) content integration; 2) The knowledge
construction process; 3) An Equity Pedagogy dan; 4) Prejudice reduction.

ANALYSIS / DISCUSSION
Tujuan didirikan pesantrenadalah mengajarkan agama islam kepada para santri, sebagai pegangan
dan pedoman hidup santri yang akan dapat diamalkan dalam kehidupan masyarakat, mencetak
santri yang saleh tidak hanya dalam bidang agama akan tetapi juga santri yang mampu
mengaplikasikan kesalehan sosial, mendidik para santri menjadi santri yang memiliki budi
pekerti yang baik sesuai dengan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Mendidik
santri yang mampu menebarkan kasih sayang terhadap semua umat, mendidik santri agar menjadi
orang yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap umat manusia, mendidik santri menjadi
manusia yang memiliki ketajaman hati dan pikiran, sehingga dapat menyelesaikan
berbagai permasalahan hidup dengan bijaksana (Jamaluddin, 2012). Praktikpembelajaran
multikulturalisme yang diterapkan di pesantrenumumnya mengarahkan kepada santri untuk
mampu bersikap toleran, mandiri, kritis, menjaga kerukunan, dan menghargai perbedaan. Kyai
sebagai tokoh sentral di dalam pesantrenmerupakan panutan dan suri tauladan yang harus
diikuti segala tingkah laku dan ajarannya. Melalui tokoh sentral kyai inilah pesantrendapat
mengajarkan praktik pembelajaran multikultural dengan lebih maksimal. Praktik-praktik
pembelajaran ini dapat terimplementasi tidak hanya dalam kegiatan belajar di kelas namun
juga dalam kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang diselenggarakan. Salah satu pesantrenyang
menerapkan prinsip pembelajaran multikultural adalah pesantrenDarusalam Sengon,
Kabupaten Jombang. Pesantrenini didirikan dengan visi “mulia dalam budi pekerti dan unggul
dalam prestasi”. Pesantrenyang berdiri di tengah-tengah pemukiman penduduk ini didirikan oleh
Kyai Haji Ashari Mahfud pada tahun 1993. Saat ini pesantrenyang berada dibawah
pengelolaan Yayasan Pesantren Darusalam Jombang mengelola pesantrensekaligus sekolah umum
setingkat SMP/Madrasah Tsanawiyah dan setingkat SMA/Madrasah Aliyah.
Persona: Jurnal Psikologi IndonesiaVolume 7, No. 2, Desember2018ISSN. 2301-5985(Print), 2615-
5168 (Online)Suhadianto, Eko April Ariyanto, Isrida Yul ArifianaPage I 235Santri pesantrenini
berasal dari berbagai wilayah di Indonesia seperti Aceh, Sumatra Selatan, hingga Papua.
Diawal pendiriannya pesantren didirikan untuk membantu anak-anak yang tidak bisa sekolah
meskipun pada saat inipun beasiswa bagi santri yang tidak mampu tetap diberikan. Para pengajar
di pesantrenini adalah alumni pesantren Gontor Ponorogo dan Tebu Ireng Jombang. Selain
menerima santri dari berbagai wilayah dan kondisi sosial ekonomi yang berbeda, pesantrenini
berprinsip tidak membeda-bedakan golongan yang ada di Indonesia baik Nahdlatul Ulama
(NU) maupun Muhammadiyah.

CONCLUSION
Kesimpulan dari hasil penelitian ini pesantrenDarussalam Sengon Jombang telah menerapkan
prinsip-prinsip pembelajaran multikultural. Praktek pembelajaran ini ditransformasikan oleh
ustadz maupun pengasuh pesantren melalui aktivitas-aktivitas di dalam pesantren maupun di
luar pesantren. Meskipun pada dasarnya pesantrenDarussalam belum memiliki kurikulum yang
bernuansa multikultural tetapi kegiatan belajar dan mengajar santri atau siswa telah sesuai

23
dengan prinsip-prinsip pembelajaran multikultural. Ustadz dan pimpinan pesantren membatasi
ayat-ayat Al Qur’an yang wajib diajarkan kepada santri terutama yang terkait dengan jihad.
Pembelajaran multikultural yang dilakukan pesantrenDarussalam Sengon Jombang, baik
melalui kegiatan belajar mengajar di sekolah formal, melalui kegiatan belajar mengajar di
Madrasah Diniyah dan melalui pengajian-pengajian kitab kuning serta melalui contoh tindakan
nyata yang dilakukan oleh para guru dan Kyai. Terbukti berhasil menumbuhkan pemahaman
tentang pentingnya menghormati antara umat beragama pada para santri maupun siswa. Para
santri dan siswa tidak setuju dengan aksi-aksi radikalisme yang menamakan agama.

JOURNAL 7

IDENTITY
JOURNAL : Jurnal Sains Psikologi
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER SEMANGAT
TITTLE : KEBANGSAAN DAN CINTA TANAH AIR PADA SEKOLAH BERLATAR
BELAKANG ISLAM DI KOTA PASURUAN
AUTHOR : Aji Bagus Priyambodo
REVIEWER IDENTITY : ex: Becce, (Mahasiswa S1 Psikologi, Universitas Bosowa)

THE ABSTRACT
Semakin berkembangnya radikalisme beragama di tengah masyarakat menjadi ancaman bagi
kesatuan bangsa Indonesia. Salah satu upaya strategis menangkal radikalisme beragama di
Indonesia adalah melalui program pendidikan karakter di sekolah. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui bagaimana implementasi pendidikan karakter semangat kebangsaan dan cinta
tanah air di sekolah berlatar belakang islam di Kota Pasuruan. Pendekatan penelitian yang
digunakan adalah pendekatan kualitatif termasuk dalam jenis penelitian studi kasus. Subyek
penelitian ini adalah kepala sekolah, para guru dan para siswa di beberapa sekolah berlatar
belakang islam di Kota Pasuruan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terdapat komitmen
pada ketiga pimpinan sekolah yang berlatar belakang Islam di Kota Pasuruan untuk melaksanakan
pendidikan karakter semangat kebangsaan dan cinta tanah air namun penyediaan sarana prasarana
yang menunjang masih minim, evaluasi dan tindak lanjut keberhasilan pendidikan karakter juga
masih belum dilaksanakan.

THE INTRODUCTION AND


LITERATURE REVIEW
Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara
(Ormrod, 2008). Menurut Ki Hajar Dewantoro (dalam Indrakusuma, 1973) pendidikan
adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin
dan karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak. Bagian–bagian itu tidak boleh dipisahkan agar
kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak.
Menurut Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter (Kemdikbud, 2011) pendidikan
karakter merupakan pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral,
24
pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk
memberi keputusan baik buruk, memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan
itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Pada intinya pendidikan karakter
bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran,
bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan
dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
berdasarkan Pancasila. Nilai nilai pendidikan karakter di Indonesia teridentifikasi berjumlah
18 nilai, yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya dan tujuan pendidikan nasional
yaitu: 1. Religius, 2. Jujur, 3.Toleransi, 4. Disiplin, 5.Kerja keras, 6. Kreatif, 7. Mandiri,
8. Demokratis, 9. Rasa Ingin Tahu, 10. Semangat kebangsaan, 11. Cinta tanah air, 12. Menghargai
prestasi, 13. Bersahabat/komunikatif, 14. Cinta damai, 15.Gemar membaca, 16. Peduli
lingkungan, 17. Peduli sosial dan 18. Tanggung jawab (Kemdikbud, 2011).
Semakin berkembangnya radikalisme beragama di tengah masyarakat menjadi ancaman
bagi kesatuan bangsa Indonesia. Salah satu upaya strategis menangkal radikalisme beragama
di Indonesia adalah melalui program pendidikan karakter semangat kebangsaan dan cinta
tanah air di sekolah berlatar belakang islam.

METHODOLOGY
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif termasuk dalam jenis
penelitian studi kasus. Subyek penelitian ini adalah kepala sekolah, para guru dan para siswa
di beberapa sekolah berlatar belakang islam di Kota Pasuruan. Alat pengumpul data adalah
wawancara, observasi dan studi dokumen. Subjek dalam penelitian ini adalah kepala
sekolah, para guru dan siswa di tiga sekolah berlatar belakang islam di Kota Pasuruan.
Dalam penelitian ini subjek dipilih secara selektif agar dapat menggambarkan pokok
bahasan yang diteliti. Berdasarkan karakteristik yang ada, maka diperoleh dua belas
orang subyek penelitian, yang meliputi dua orang kepala sekolah, lima orang guru dan lima
orang siswa. Teknik - teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah wawancara, observasi dan studi dokumen. Dalam penelitian ini jenis wawancara
yang dilakukan adalah wawancara mendalam. observasi dalam penelitian ini, peneliti
terlibat dengan kegiatan sehari – hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai
sumber data penelitian. Adapun teknik pemeriksaan keabsahan data yang digunakan pada
penelitian ini adalah trianggulasi sumber dan trianggulasi teknik.

25
RESULTS/FINDINGS
Sekolah berlatar belakang islam di Kota Pasuruan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
sekolah yang mengedepankan penanaman nilai-nilai islam pada anak didiknya, contohnya:
baca, tulis dan pemahaman Al-Quran, penerapan amalan ibadah wajib dan sunnah serta
penerapan adab islami dalam kehidupan sehari-hari. Seperti pada umumnya sekolah islam,
SD Islam Terpadu Bina Insan Cendekia, SMP Islam Terpadu Fasihul Quran dan SMK Bayt Al
Hikmah Kota Pasuruan juga memiliki kebijakan tersendiri mengenai proses pembelajaran yang
diberikan kepada anak-anak didiknya, baik pelajaran formal maupun yang bersifat nonformal,
terkait dalam penanaman nilai-nilai keislaman di dalamnya. Namun demikian sebagai
sekolah yang berada di bawah naungan Dinas Pendidikan, mereka harus mengikuti dan
melaksanakan aturan-aturan Dinas Pendidikan setempat dalam hal pendidikan siswa-
siswinya baik secara formal maupun non formal. Ketiga sekolah berlatar belakang islam di Kota
Pasuruan ini memberikan karakter islami yang lebih kental dibandingkan dengan sekolah-sekolah
reguler lainnya, namun mereka tidak melupakan penanaman karakter-karakter lain yang
mengacu pada kecintaannya kepada Negara Indonesia sehingga akan menumbuhkan
semangat berkebangsaan.

ANALYSIS / DISCUSSION
Mengacu pada definisi pendidikan karakter sebagaimana yang telah dirumuskan oleh
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, pendidikan karakter tidak hanya
mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, akan tetapi lebih dari itu sehingga
sekolah dalam mewujudkan pendidikan karakter harus menanamkan kebiasaan (habituation)
tentang hal-hal mana yang benar dan baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif)
tentang mana yang benar dan mana yang tidak benar, peserta didik juga mampu merasakan
(afektif) dan biasa melakukan (psikomotor) nilai-nilai yang baik. Pendidikan nilai di sekolah
harus dilaksanakan melalui kajian dan pengembangan kurikulum yang sedang berlaku
dan dilaksanakan secara berkesinambungan, yaitu mulai dari TK, SD, SMP, SMA, SMK bahkan
sampai perguruan tinggi. Nilai semangat kebangsaan adalah cara berpikir,bertindak dan
wawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan
kelompoknya. Nilai cinta tanah air adalah cara berpikir,bersikap dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa,
lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi dan politik bangsanya (Kemdikbud, 2011).

CONCLUSION
Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terdapat komitmen pada ketiga pimpinan sekolah
yang berlatar belakang Islam di Kota Pasuruan untuk melaksanakan pendidikan karakter
semangat kebangsaan dan cinta tanah air. Telah dilakukan analisis konteks untuk
menetapkan nilai-nilai dan indikator capaian dalam prosedur implementasi pendidikan
karakter tersebut. Kendati demikian, penyediaan sarana prasarana yang menunjang masih sangat
minim, evaluasi dan tindak lanjut keberhasilan pendidikan karakter juga masih belum
dilaksanakan. Hal ini menyebabkan nilai-nilai semangat kebangsaan dan cinta tanah air masih
belum membudaya di sekolah-sekolah tersebut.

RECOMMENDATIONS

26
Melaksanakan analisis konteks untuk menetapkan sumberdaya dan sarana yang
diperlakukan nilai-nilai dan indikator yang dikembangkan prosedur penilaian
keberhasilan.

JOURNAL 8

IDENTITY
Jurnal Kriminologi
JOURNAL :
ALAT UKUR TINGKAT RADIKALISME BERDASARKAN PENILAIAN
TITTLE :
KEPRIBADIAN
AUTHOR : Hendro Wicaksono, Mohammad Kemal Dermawan
REVIEWER IDENTITY : ex: Becce, (Mahasiswa S1 Psikologi, Universitas Bosowa)

THE ABSTRACT
Penulisan ini berupaya untuk menjelaskan suatu alat ukur yang bisa dipergunakan untuk menilai
tingkat radikalisme seseorang. Selama ini belum ada gambaran yang dapat menjelaskan bagaimana
cara kita untuk bisa menilai radikalisme dari individu. Alat ukur ini akan dibuat berdasarkan
penilaian kepribadian secara ilmiah yang sudah dikembangkan oleh para pakar telah yang
memetakan berbagai ciri dan sifat dari kepribadian yang dimiliki oleh manusia. Dalam prosesnya,
penulis akan mencoba mengambil serta menentukan beberapa variable yang dianggap tepat dan
sesuai untuk dapat melakukan penilaian kepribadian perorangan secara sederhana sehingga dapat
dikembangkan menjadi alat ukur yang efektif untuk mengukur tingkat radikalisme yang akurat. Cara
kerja alat ukur ini dibuat sederhana agar kita mudah untuk mengoperasikannya. Alat ukur ini dibuat
sebagai usaha untuk dapat menentukan seberapa radikal pemahaman yang dimiliki oleh seseorang
karena keyakinan tersebut kenyataannya dapat disembunyikan ketika sedang menjalin interaksi
dengan masyarakat di lingkungannya. Tindakan ini sangat penting diketahui sejak dini guna dapat
menentukan upaya pencegahan agar pemahaman tersebut tidak berkembang menjadi aksi
kekerasan yang disebut terorisme karena telah menimbulkan kerusakan dan kerugian baik material
ataupun personel. Dengan mengetahui lebih dini tingkat radikalisme seseorang maka kita dapat
menekannya melalui berbagai upaya agar radikalisme yang dimilikinya tidak berkembang atau
bahkan tingkat radikalisme dapat diturunkan sehingga tidak berpotensi menimbulkan dampak
merugikan bagi lingkungan yang ada di sekitarnya.

THE INTRODUCTION AND


LITERATURE REVIEW
Untuk dapat mengukur tingkat radikalisme seseorang membutuhkan alat penilaian yang seseuai
dan dianggap bisa mewakili gambaran dalam dirinya yang dapat menjelaskan seberapa besar
paham radikal yang dimilikinya. Pemahaman radikal dapat dipicu oleh berbagai macam penyebab.
Secara umum penyebab radikalisme tersebut akan membuat seseorang memiliki keinginan untuk
melawan dan memberontak terhadap situasi yang menekannya. Berbagai penyebab radikalisme
tersebut antara lain, Faktor Internal dan eksternal.

27
Faktor pemicu dari dalam, antara lain meliputi; Dorongan dari lingkungan, Lemahnya
perekonomian. Faktor pemicu dari luar, antara lain meliputi; Penetrasi ideology, Kondisi yang
dialaminya.
Radikalisme dapat tumbuh karena beberapa faktor yang saling terkait dan mendukung sehingga
menyebabkan pemahamannya berubah. Untuk itu perlu dilakukan penelitian agar dapat
mengetahui faktor apa yang dominan dan dapat mewakili penyebab dari timbulnya pemahaman
radikal tersebut. Hal ini sangat menarik untuk dibahas, mengingat kemungkinan banyak pertanyaan
yang diajukan terkait masalah tersebut. Dalam penelitian ini, yang akan digunakan untuk bisa
menilai seseorang berdasarkan kepribadian yang dimiliki oleh tiap individu.

METHODOLOGY
Berdasarkan pendapat dari para ahli psikologi maka penulis berpendapat bahwa kepribadian dapat
dinilai berdasarkan penilaian dari luar dan penilaian dari dalam. Masing-masing penilaian terdiri
dari aspek-aspek pendukung berupa sifat individu yang stabil dalam waktu lama dihadapkan pada
berbagai situasi yang berbeda. Penilaian kepribadian ini diambil dari respon individu tersebut
setelah melakukan interaksi dengan lingkungna fisik dan sosialnya. Penilaian dari dalam dan luar
dapat dilakukan melalui survei, pengamatan serta wawancara terhadap individu. Penilaian dari
dalam berupa pikiran, opini dan keinginan. Sedangkan penilaian dari luar berupa tingkah laku,
emosi dan sikap. Selanjutnya kedua hasil penilaian ini digabungkan menjadi satu penilaian utuh
yang merupakan hasil akhir dari penilaian kepribadian seseorang.

28
RESULTS/FINDINGS
1. Reserved (Pendiam) : Orang-orang tipe ini kepribadiannya introvert (kurang terbuka / tertutup)
pada orang lain namun memiliki neuroticism (stabilitas emosi) yang baik. Biasanya dalam bergaul,
extraversion (minat pada fenomena sosial) sangat rendah namun tetap ramah pada orang lain dan
tidak mudah dalam agreeableness (kesepakatan). Openness (keterbukaan) yang dimiliki sangat
kurang namun memiliki conscientiousness (sifat berhati-hati) yang tinggi sehingga cenderung
sangat teliti dalam menilai suatu hal. Individu ini lebih banyak mengamati pada lingkungan
sekitarnya dan jarang menyatakan pendapatnya pada orang lain.
2. Average (Rata-Rata) : Sementara orang-orang di tipe ini memiliki extraversion (minat pada
fenomena sosial) yang tinggi namun openness (keterbukaan) sangat rendah. Tetapi skor sangat baik
untuk agreeableness (mudah bersepakat) dan conscientiousness (sifat berhati-hati). Individu
seperti ini memiliki kelebihan dirinya cenderung ekstrovert (terbuka) dan memiliki nilai neuroticism
(stabilitas emosi) sangat tinggi. Hal ini membuatnya tidak berani mengambil resiko dan cenderung
mengambil Langkah aman dalam menyelesaikan suatu masalah.
3. Role Model (Panutan) : Mereka dengan kepribadian ini merupakan pemimpin yang alami karena
cenderung ekstrovert (terbuka) sehingga mudah beradaptasi dengan lingkungan namun
kelemahannya memiliki neuroticism (stabilitas emosi) yang rendah. Mereka umumnya memiliki
openness (keterbukaan) yang baik sehingga diterima lingkungan dan tabiatnya selalu terkendali
karena conscientiousness (sifat berhati-hati) sangat tinggi. Mereka memiliki kelebihan mudah
dalam bersosialisasi mengingat extraversion (minat pada fenomena sosial) baik sehingga
membuatnya mudah dalam membuat perjanjian karena memiliki agreeableness (kesepakatan)
sangat baik. Pribadi ini dianggap menarik dan selalu dikagumi karena mampu menjadi contoh bagi
orang disekitarnya.
4. Self Centered (Egois) : Pemilik tipe kepribadian ini biasanya mempunyai neuroticism (stabilitas
emosi) yang rendah tetapi perhatiannya pada extraversion (minat pada fenomena sosial) sangat
baik. Dirinya cenderung introvert (tertutup) sehingga membuatnya sulit dalam membuat
agreeableness (bersepakat) dengan orang lain. Secara umum, karena kurang dalam openness
(keterbukaan) membuatnya rendah dalam conscientiousness (sifat berhati-hati). Individu seperti
ini lebih mengutamakan kepentingan sendiri dan cenderung mengabaikan pendapat dari orang lain.

ANALYSIS / DISCUSSION
1. Penilaian dari luar : a. Tingkah laku merupakan Tindakan atau perilaku suatu organisme
yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari (Ribert Kwik, 1974). Jadi secara umum
tingkah laku manusia pada hakekatnya adalah proses interaksi individu dengan lingkungan
sebagai maninvestasi hayati bahwa dia adalah mahluk hidup.
2. Penilaian dari dalam : a. Pikiran merupakan gagasan dan proses mental untuk
merepresentasikan dunia sebagai model dan memberikan perlakuan terhadapnya secara
efektif sesuai dengan tujuan, rencana dan keinginan. Berpikir secara realistik (Floyd L. Ruch,
1976).

CONCLUSION
Penilaian kepribadian dapat dilakukan dari luar yaitu melalui 3 komponen antara lain tingkah laku,
emosi dan sikap. Sedangkan penilaian kepribadian dari dalam bisa dilakukan dengan cara mengukur
pikiran, opini dan kebutuhannya sehingga dapat diketahui seberapa besar tingkat radikalisme yang
dimiliki oleh seseorang. Kedua penilaian tersebut (dari luar dan dari dalam) tidak dapat berdiri

29
sendiri. Keduanya harus diintegrasikan sehingga diperoleh gambaran yang utuh berupa hasil
penilaian dari dalam dan luar. Selanjutnya hasil penilaian dari dalam dan luar tersebut dapat
digunakan untuk menentukan tipe kepribadian melalui pendekatan SARR (Self Centered, Average,
Reserved dan Role Model) yang mewakili posisi dari orang tersebut dalam organisasi kelompok
radikal yang diikutinya. Hal ini akan sangat membantu dalam melakukan profiling terhadap
keberadaan individu tersebut dalam kelompok dan interaksinya dengan masyarakat umum.

JOURNAL 9

IDENTITY
JOURNAL : Experientia
MENGKAJI SEJUMLAH KEMUNGKINAN PENYEBAB TINDAK
TITTLE :
TERORISME: KAJIAN SOSIO-KLINIS
AUTHOR : Michael Seno Rahardanto
REVIEWER IDENTITY : Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

THE ABSTRACT
“Terorisme” merupakan sebuah fenomena yang selama satu dekade terakhir ini berulangkali terjadi
di Indonesia. Acapkali, tindak terorisme dikaitkan dengan unsur radikalisme dalam pemaknaan
terhadap ajaran agama. Pemberantasan terorisme dipersulit karena adanya sejumlah faktor yang
melatarbelakangi munculnya aksi terorisme, seperti persepsi ketidakadilan distributif, prosedural,
interaksional; pemaknaan terhadap ayat-ayat kitab suci yang dipersepsikan mendukung
radikalisme; polarisasi ingroup-outgroup yang semakin besar; adanya bias heuristik yang dialami
para pelaku tindak terorisme; indoktrinasi dari lingkungan, dan kekecewaan terhadap praktik
sistem demokrasi di Indonesia. Faktor-faktor ini saling jalin-menjalin sehingga menjadikan tindak
terorisme seolah memiliki banyak ranting dan cabang yang menyulitkan pemberantasan tindak
tersebut. Pemberantasan terorisme dengan cara inkapasitasi langsung terhadap para pelaku
terorisme tidak akan efektif bila tidak dibarengi dengan tindakan diplomatis-humanistis, yakni
menyasar akar sosiokultural yang melatarbelakangi terorisme. Psikologi, sebagai suatu ilmu,
memiliki tanggungjawab untuk mengeksplorasi asal-muasal terorisme dan mencari solusi yang
aplikatif dan relevan.

THE INTRODUCTION AND


LITERATURE REVIEW
Fenomena terorisme di Indonesia merupakan sebuah fenomena yang merebak dengan cukup
drastis selama satu dekade terakhir. Maraknya kasus terorisme di Indonesia bisa ditelusuri sejak
kasus Bom Malam Natal tahun 2000, Bom Bali I tahun 2002, hingga penembakan terhadap pos polisi
di Solo, yang menewaskan Bripka Dwi Data Subekti (“Penembakan Pos Polisi Singosaren Solo”,
2012). Terorisme didefinisikan sebagai “kekerasan yang bermuatan politis, yang dilakukan oleh
individu, kelompok, atau negara, untuk menimbulkan perasaan terteror dan tidak berdaya pada
suatu populasi, dengan tujuan mempengaruhi suatu proses pengambilan keputusan atau
mengubah perilaku” (Moghaddam, 2005). Contoh definisi ini dapat diterapkan kepada tindak
terorisme secara umum. Meski demikian, penulis menyadari bahwa pendefinisian “terorisme”
30
sangatlah dipengaruhi oleh siapa yang membuat definisi tersebut. Suatu pihak yang disebut
“teroris”, oleh pihak lainnya bisa jadi disebut “pejuang kemerdekaan” (one person’s terrorist is
another person’s freedom fighter) (Galtung, 1987). Dalam kasus perang di Afganistan, contohnya,
masing-masing pihak—tentara Amerika dan militan Al-Qaeda—mengklaim bahwa pihak lawan
adalah teroris, sedangkan pihaknya sendiri adalah pejuang dalam suatu misi yang suci.
Penting dicermati bahwa riset-riset yang menyusun profil para teroris tidak menemukan bukti
mengenai adanya kaitan antara psikopatologi, kurangnya inteligensi, kemiskinan, dan faktor-faktor
kepribadian patologis dengan keputusan melakukan aksi terorisme, termasuk pada pelaku bom
bunuh diri (Ruby, 2002; Atran, 2004; Moghaddam, 2005; Ehrlich & Liu, 2002). Satu-satunya faktor
yang seragam adalah demografis—artinya, para pelaku tindak terorisme cenderung mengelompok
dari suatu lokasi tertentu (misalnya daerah rawan konflik di Timur Tengah atau Irlandia Utara)
(Ruby, 2002). Tentu saja, penulis tidak memungkiri bahwa kepribadian (atau tepatnya, gangguan
kepribadian) bisa jadi merupakan faktor pencetus tindak terorisme (seperti kasus Timothy
McVeigh, yang dinyatakan mengalami skizofrenia paranoid—lihat Ruby, 2002), namun faktor
psikopatologi semacam itu lebih bersifat insidental, alih-alih suatu fenomena global. Terorisme
tidak semata-mata disebabkan oleh faktor kepribadian saja (atau faktor tunggal apapun, termasuk
kemiskinan atau tingkat pendidikan), namun merupakan jalinan dari beragam variabel politik,
kultural, ekonomi, sosioreligiusitas, demografis dan faktor-faktor psikologis. Dalam artikel ini,
penulis mencoba memetakan sejumlah faktor yang, berdasarkan penelitian empirik, berpotensi
melatarbelakangi kasus-kasus terorisme (secara umum) Penulis secara pribadi lebih menyukai
kerangka berpikir Johan Galtung (1987) dalam mendefinisikan fenomena-fenomena sosial,
termasuk terorisme. Galtung berpendapat bahwa fenomena sosial memiliki pola “siapa melakukan
apa kepada siapa, kapan, dimana, bagaimana, dan mengapa” (a study of who does what to whom,
where, when, how,and why). Bila kata “does” diganti “says”, maka studi yang dimaksud adalah ilmu
komunikasi, sedangkan bila kata “does” diganti “thinks”, dan “to” diganti “of”, maka studi yang
dimaksud adalah psikologi (dalam skala mikro). Pola ini juga bisa diterapkan untuk menganalisis
kasus-kasus terorisme.

METHODOLOGY
Kualitatif deskriptif

31
RESULTS/FINDINGS
Persepsi terhadap ketidakadilan distributif, prosedural, dan interaksional. Greenberg (dalam Ancok,
2008) mengemukakan adanya tiga jenis persepsi keadilan, yakni keadilan distributif, prosedural,
dan interaksional (lihat pula Moghaddam, 2005). Keadilan distributif menyangkut pembagian
sumberdaya secara adil, keadilan prosedural berkaitan dengan pemberian hak yang setara untuk
mengambil keputusan dalam pengelolaan sumberdaya, dan keadilan interaksional berkaitan
dengan penerapan interaksi secara adil, tanpa pilih kasih (Moghaddam, 2005; Ancok, 2008). Dalam
esainya mengenai radikalisme dalam agama, Djamaludin Ancok (2008) berpendapat bahwa
persepsi terhadap ketidakadilan merupakan faktor penting yang berkorelasi dengan radikalisme
yang berujung ke terorisme.
Pemaknaan terhadap ayat-ayat kitab suci yang dipersepsikan mendukung radikalisme. Komunitas
yang mendukung atau menyuburkan persepsi radikalisme. Polarisasi ingroup-outgroup. Bias
heuristik yang dialami para pelaku tindak terorisme. Kekecewaan terhadap praktik sistem
demokrasi.

ANALYSIS / DISCUSSION
Dalam artikel singkat ini, penulis belum membahas ranah solusi. Penulis masih berfokus ke ranah
teoretik, khususnya menyangkut faktor-faktor penyebab terorisme. Meski belum memasuki ranah
solusi, penulis memiliki keyakinan bahwa intervensi terhadap terorisme seyogyanya dilandaskan
pada intervensi terhadap faktor “why” (pemahaman mengenai akar-akar penyebab terorisme),
bukan sematamata inkapasitasi atau pemusnahan terhadap faktor “who”. Sejumlah faktor “why”
yang dipaparkan penulis dalam artikel ini tidak berdiri sendiri-sendiri sebagai faktor tunggal,
melainkan lebih bersifat jalin-menjalin dalam membentuk suatu sikap yang akhirnya mengarah ke
perilaku terorisme.
Freud menyatakan bahwa manusia memiliki insting untuk hidup atau untuk mengasihi kehidupan
(yang dinamakan Eros) dan insting untuk mati atau untuk merusak (yang dinamakan Thanatos)
(Grossman, 1995). Sepanjang sejarah kemanusiaan, naluri Eros (cinta) dan Thanatos (kematian)
dalam diri manusia telah berperang (Grossman, 1995). Sesungguhnya, secara naluriah, manusia
adalah makhluk Eros (cinta) yang menyukai perdamaian dan membenci konflik. Sudah saatnya
Thanatos diredam dan Eros dipulihkan. Sudah saatnya manusia hidup bergandengan tangan dalam
kasih sayang dan tidak lagi saling membenci, dan tugas para ahli psikologi—entah praktisi atau
ilmuwan—adalah bahu-membahu bersama para agamawan, aparat keamanan, dan masyarakat,
dalam mewujudkan impian yang indah tersebut.

CONCLUSION
Psikologi, sebagai suatu ilmu, memiliki peranan sangat penting dalam upaya meredam tindak
terorisme dan mempromosikan kedamaian di bumi tercinta ini. Alasannya, terorisme dilakukan
oleh orang-orang yang memiliki seperangkat nilai, norma, dan persepsi tertentu, dan sebagaimana
kita ketahui, nilai, norma, dan persepsi adalah objek studi psikologi (Moghaddam, 2005). Demikian
pula, para korban tindak terorisme berpotensi mengalami gangguan stres pascatrauma; inipun
merupakan bagian kajian psikologi. Upaya untuk mengatasi persepsi ketidakadilan dan persepsi
radikalisme keagamaan—yang melandasi sebagian besar aksi terorisme—jauh lebih efektif dalam
jangka panjang, dan hal ini merupakan tugas para ahli psikologi (Moghaddam, 2005). Upaya
mengatasi kekerasan dengan kekerasan, yang selama ini sering dijadikan satu-satunya cara untuk
melawan terorisme, justru menimbulkan pesan bahwa satu-satunya cara membalas tindak agresi

32
adalah dengan agresi pula. Bahkan, pada satu titik, bisa jadi “jin kekerasan tersebut tidak bisa lagi
dikembalikan ke botolnya” (Grossman, 1995: 330). Hal tersebut telah terjadi di Roma zaman
dahulu. Hal tersebut telah terjadi di Yugoslavia pada zaman modern. Negara-negara atau kerajaan-
kerajaan tersebut—yang sarat dengan sejarah panjang peperangan, dominasi, dan agresi—tidak
lagi eksis di muka Bumi.

JOURNAL 10

IDENTITY
Jurnal Psikologi Integratif Prodi Psikologi UIN Sunan Kalijaga Vol.
JOURNAL :
8, Nomor 1, 2020 Halaman 1-28
Pengakuan Bahwa Aksi Kelompok-Sendiri Bisa Mengancam
KelompokLain (Acknowledgements of Threatening Ingroup
TITTLE :
Actions) dan Perannya dalam Meredam Ekstremisme
(Extremism) dan Radikalisme Kekerasan (Violent Radicalism)
AUTHOR : Ali Mashuri , Esti Zaduqisti , Sukma Nurmala
Ali Mashuri (Jurusan Psikologi Universitas Brawijaya Malang),
REVIEWER IDENTITY : Esti zaduqisti (Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah), Sukma
Nurmala (Jurusan Psikologi Universitas Brawijaya Malang).

THE ABSTRACT
Penelitian ini bertujuan untuk menguji mekanisme psikologis mengapa keterbukaan untuk
mengakui tindakan kelompok-sendiri (ingroup) yang bisa mengancam eksistensi kelompok-lain
(outgroup), yang disingkat dengan istilah acknowledgements of threatening ingroup actions,
berperan dalam meredam permasalahan esktremisme (extremism) dan radikalisme kekerasan
(violent radicalism) yang mengatasnamakan Islam di Indonesia. Survei korelasional yang melibatkan
404 mahasiswa Muslim dari berbagai universitas di Indonesia dalam penelitian ini menemukan
bahwa acknowledgements of threatening ingroup actions berkontribusi menangkal esktremisme
dan radikalisme kekerasan karena perannya dalam meningkatkan sikap kritis terhadap kelompok-
sendiri atas pelanggaran terhadap kelompok lain (ingroup wrongdoings). Sikap kritis ini mencakup
penerimaan atas pelanggaran terhadap kelompok-lain (acceptance of ingroup wrongdoings),
tanggungjawab atas pelanggaran terhadap kelompok-lain (ingroup responsibility), dan amarah atas
aksi pelanggaran tersebut (anger against ingroup actions). Temuan-temuan empiris ini
mengimplikasikan bahwa acknowledgements of threatening ingroup actions memfasilitasi kognisi
dan emosi rekonsiliatif Muslim, yang selanjutnya berperan dalam meredam ekstremisme dan
radikalisme kekerasan dalam hubungan mereka dengan non-Muslim. Implikasi teoretis dan praktis
dari temuan-temuan empiris ini dielaborasi dalam bagian diskusi, yang juga menyoroti sejumlah
kelemahan atau kekurangan dalam penelitian ini.

THE INTRODUCTION AND


LITERATURE REVIEW

33
Indonesia adalah negara plural. Selain Islam, negara mengakui secara formal eksistensi lima agama
lain, yaitu Kristen Protestan, Kristen Katolik, Budha, Hindu, dan Konfusianisme (Parker, 2017).
Namun sangat disayangkan sejumlah aksi terorisme yang mengatasnamakan Islam di Indonesia
berpotensi mengancam eksistensi agamaagama lain, mulai dari bom Bali di tahun 2002 (Tan, 2003)
sampai dengan tragedi bom bunuh-diri di Surabaya tahun 2018 yang menyasar gereja (Schulze,
2018). Terorisme adalah masalah nasional yang secara serius bisa mengancam kelangsungan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang didirikan atas dasar pengakuan terhadap
pluralisme beragama. Menemukan solusi yang efektif untuk meredam terorisme dengan demikian
merupakan langkah penelitian dan terapan sosial yang sangat penting dan relevan di Indonesia.
Radikalisme agama dan terorisme secara empiris tidak terkait secara langsung. Seorang teroris
kemungkinan besar adalah seorang radikal. Meskipun demikian, tidak semua orang radikal
otomatis adalah seorang teroris (Sugiono, 2011). Terlepas dari argumentasi ini, terdapat
kesepakatan akademis bahwa radikalisme adalah pemicu terbesar dibandingkan dengan faktor-
faktor lain dalam memantik terorisme (Lombardi dkk., 2014).
Di Indonesia, sebagai respon terhadap trend aksi radikalisme dan terorisme yang
mengatasnamakan Islam, sejumlah penelitian psikologi telah dilakukan dengan tujuan
mengidentifikasi faktor-faktor pemantik radikalisme di kalangan sejumlah Muslim. Sebagai contoh,
Muluk, Sumaktoyo, dan Ruth (2012) melaporkan bahwa dukungan atas penerapan syariat Islam
dan fundamentalisme Islam adalah variabelvariabel yang memprediksi radikalisme dalam bentuk
dukungan terhadap jihad yang membenarkan penggunaan kekerasan. Sementara itu, penelitian
oleh Milla, Faturrochman, dan Ancok (2013) menemukan peran pemimpin kelompokkelompok
radikal sebagai pemantik radikalisme. Faktor lain yang ikut berkontribusi adalah faktor situasional,
yaitu persepsi-persepsi di kalangan Muslim bahwa pihak Barat telah menginvasi negara-negara
Muslim (Putra & Sukabdi, 2013), serta persepsi bahwa agama-agama lain telah memperlakukan
Muslim secara tidak adil (Yustisia, Shadiqi, Milla, & Muluk, 2020). Penelitian lain menemukan peran
jaringan sosial dalam proses radikalisasi sebagian Muslim di Indonesia (Hakim & Mujahidah, 2020).
salah satu kunci sukses untuk menangani radikalisme Islam adalah penanaman sikap positif dari
tahanan teroris dalam menerima dan menjalani program deradikalisasi. Faktor lain adalah
pelatihan ekspresi emosi dan fleksibilitas kognitif dalam program deradikalisasi tahanan teroris.
Dengan pelatihan ini, tahanan teroris mampu lebih terbuka dan menerima demokrasi dan
sebaliknya, bersikap anti atau menolak sistem negara khilafah (Muluk, Umam, & Milla, 2019).
Dalam penelitian ini, kami mengajukan gagasan yang mengandung sebuah kebaruan bila
dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya baik di Indonesia maupun di luar negeri.
Kebaruan ini terkait dengan peran pengakuan bahwa aksi Muslim bisa mengancam eksistensi non-
Muslim di Indonesia (acknowledgement of threatening ingroup actions) yang belum pernah diuji
perannya secara empiris dalam mengatasi masalah radikalisme Islam.

METHODOLOGY
Sebanyak 404 Mahasiswa muslim dari berbagai universitas di Indonesia (179 laki-laki, 225
perempuan; 320 etnis Jawa, 84 etnis non-Jawa; 253 jurusan noneksakta, 151 jurusan eksakta;
Musia = 20,78, SDusia = 1,99) Sampel penelitian ini diperoleh melalui convenient sampling sebagai
bentuk non-random sampling atas dasar akses yang dimiliki oleh peneliti. Sebanyak 8 subjek
penelitian menyatakan diri sebagai mahasiswa non-Muslim sehingga dieliminasi dalam analisis
Metode penelitian yang diterapkan adalah survei korelasional dimana semua variabel yang terkait
diukur melalui skala psikologi.

34
Penelitian dilakukan secara daring dengan menyebarluaskan angket atau kuesioner berisi sejumlah
pertanyaan. Subjek penelitian diminta untuk menjawab setiap pertanyaan dengan memilih salah
satu di antara lima opsi jawaban yang bergerak dari 1 (sangat tidak setuju) sampai dengan 7 (sangat
setuju). Skor untuk masing masing variabel dalam penelitian ini dihitung atas dasar nilai rata-rata
untuk semua pertanyaan dalam masing-masing variabel.
RESULTS/FINDINGS
acknowledgements of threatening ingroup actions secara signifikan memprediksi ke arah positif
acceptance of ingroup wrongdoings (β = .41, SE = 0.05, p < .001), ingroup responsibility (β = .37, SE
= 0.05, p < .001), anger against ingroup actions (β = .29, SE = 0.06, p < .001), dan empathetic
collective angst (β = .49, SE = 0.05, p < .001). Hasil-hasil ini mengkonfirmasi Hipotesis 1. Peran
acknowledgements of threatening ingroup actions dalam meredam atau memprediksi ke arah
negatif ekstremisme melalui acceptance of ingroup wrongdoings (Indirect effect: β = -.09, SE = 0.03,
p = .012) dan empathetic collective angst (Indirect effect: β = .13, SE = 0.03, p < .015) adalah
signifikan, tetapi tidak signifikan melalui ingroup responsibility (Indirect effect: β = -.05, SE = 0.03,
p = .068) dan anger against ingroup actions (Indirect effect: β = -.02, SE = 0.02, p = .437). Hipotesis
2 dengan demikian terbukti secara parsial.
Hipotesis 3 juga terbukti secara parsial karena ekstremisme secara signifikan memediasi peran
acceptance of ingroup wrongdoings (Indirect effect: β = -.12, SE = 0.05, p = .013) dan empathetic
collective angst (Indirect effect: β = .15, SE = 0.04, p < .001) dalam meredam radikalisme kekerasan,
tetapi tidak signifikan dalam memediasi peran ingroup responsibility (Indirect effect: β = -.08, SE =
0.05, p = .065) dan anger (Indirect effect: β = -.03, SE = 0.04, p = .436) dalam meredam radikalisme
kekerasan.

ANALYSIS / DISCUSSION
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji peran acknowledgements of threatening ingroup
actions dalam meredam ekstremisme dan radikalisme kekerasan, khususnya di kalangan
mahasiswa Muslim. Temuan dalam Studi 1 menunjukkan, mendukung hipotesis yang ditetapkan
(Hipotesis 1), bahwa acknowledgements of threatening ingroup actions secara signifikan bisa
memprediksi secara positif acceptance of ingroup wrongdoings, ingroup responsibility, anger
against ingroup actions, dan empathetic collective angst. Hipotesis 2 terbukti secara parsial dimana
hubungan antara acknowledgements of threatening ingroup actions dan ekstremisme secara
signifikan dimediasi oleh acceptance of ingroup wrongdoings dan empathetic collective angst,
tetapi secara tidak signifikan dimediasi oleh ingroup responsibility dan anger against ingroup
actions. Hipotesis 3 juga terbukti secara parsial dimana ekstremisme secara signifikan memediasi
hubungan antara acceptance of ingroup wrongdoings dan empathetic collective angst dengan
radikalisme kekerasan tetapi secara tidak signifikan memediasi hubungan antara ingroup
responsibility dan anger against ingroup actions dengan radikalisme kekerasan.
Literatur dalam psikologi sosial selama ini memfokuskan pada konsep
ancaman antarkelompok (intergroup threat) yang bersifat inward, merefleksikan sejauh mana
kelompok-lain (outgroup) telah, sedang, ataupaun akan memberi ancaman pada kelompok-sendiri
(ingroup). Ancaman antarkelompok yang bersifat inward ini dioperasionalisasikan baik secara
realistik atau objektif, yang menjadi fokus kajian dari realistic conflict theory (RCT; Campbell, 1965)
atau disebut juga dengan realistic group conflict theory (RGCT; Jackson, 1993), maupun secara
perseptual atau subjektif, yang menjadi fokus kajian dari integrated threat theory of prejudice (ITT;
Stephan & Renfro, 2002). Ancaman antarkelompok yang bersifat inward telah ditemukan menjadi

35
pemantik konflik kolektif (Riek, Mania, & Gaertner, 2006). Dalam penelitian ini, berbeda dengan
literatur psikologi sosial sebelumnya, ancaman antar kelompok dioperasionalisasikan secara
outward, merefleksikan kesadaran dan pengakuan bahwa aksi-aksi ingroup bisa memberi ancaman
terhadap outgroup.

CONCLUSION
Dalam penelitian ini, acknowledgements of threatening ingroup actions terdiri dari tiga dimensi
atau faktor, yaitu symbolic annihilation (sejauh mana anggota ingroup menyadari dan mengakui
bahwa aksi-aksi kelompok mereka bisa membahayakan keberadaan identitas, budaya, atau norma-
norma outgroup), realistic annihilation (sejauh mana anggota ingroup menyadari dan mengakui
bahwa aksi-aksi kelompok mereka bisa membahayakan keberadaan fisik ataupun kekuasaan
outgroup), dan past victimisation (sejauh mana anggota ingroup memikirkan tentang derita yang
dialami oleh outgroup akibat aksi-aksi kelompok mereka). Terkait dengan dimensi terakhir, yaitu
past victimisation, penelitian sebelumnya oleh Green dkk. (2017) menemukan bahwa pengakuan
anggota ingroup bahwa aksi-aksi kelompok mereka telah mengakibatkan penderitaan kepada
outgroup (acknowledgements of outgroup suffering) berkontribusi dalam meningkatkan
perdamaian antarkelompok karena pengakuan tersebut mendorong ingroup untuk bersedia
memaafkan kesalahankesalahan outgroup (forgiveness) dan merasa bersalah atas
pelanggaranpelanggaran ingroup terhadap outgroup (feelings of guilt). Hasil penelitian lain
(Andrighetto, Halabi, & Nadler, 2018) yang relevan meskipun dengan arah fokus yang berkebalikan
juga menemukan bahwa pengakuan dari outgroup bahwa aksi-aksi kelompok mereka telah
memberikan penderitaan bagi ingroup mendorong ingroup untuk mempercayai pemimpin
outgroup (trust towards outgroup leaders) dan kemauan untuk memaafkan kesalahan-kesalahan
outgroup (willingness to forgive outgroup members).

RECOMMENDATIONS
merekrut sampel non-mahaiswa, dengan tujuan untuk menguji sejauh mana hasil-hasil empiris
dalam penelitian ini bersifat konsisten atau bisa digeneralisasikan pada sampel dengan karakteristik
yang berbeda dan lebih beragam.

STRENGTHS
hasil-hasil empiris dalam penelitian ini bersifat konsisten

WEAKNESSES
Kelemahan pertama terkait dengan sampel penelitian yang terbatas pada mahasiswa. isu
conceptual replication. Radikalisme tidak sebatas terkait dengan Islam atau Muslim. Radikalisme
juga muncul sebagai fenomena sosial di kalangan pemeluk agama lain selain Islam.

36
JOURNAL 11

IDENTITY
JOURNAL : Jurnal Psikologi, Volume 17 Nomor 1, Juni 2021
Penggunaan Media Sosial Dan Pemahaman Tentang Radikalisme
TITTLE :
Di Kalangan Pelajar Muslim
Amirah Diniaty, Susilawati Susilawati, Zarkasih Zarkasih, Rian
AUTHOR :
Vebrianto
REVIEWER IDENTITY : ex: Becce, (Mahasiswa S1 Psikologi, Universitas Bosowa)

THE ABSTRACT
Media sosial merupakan salah satu sarana penyebarluasan paham radikal terutama bagi generasi
muda. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap penggunaan media sosial oleh pelajar musllim
di tingkat sekolah menangah atas, dan kaitannya dengan pemahaman mereka tentang radikalisme.
Jenis penelitian ini adalah survey terhadap 316 orang pelajar dari 5 sekolah menengah atas yang
ada di kecamatan Tampan Pekanbaru. Sampel penelitian ini diambil secara random dengan teknik
purposive sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan angket dalam bentuk google form
yang berisi pertanyaan tentang; jenis dan konten media sosial yang diakses, intensitas dan upaya
yang dilakukan pelajar untuk menggunakan media sosial. Pemahaman tentang radikalisme dilihat
dari jawaban responden terhadap item-item yang diklasifikasi menjadi skala likert. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pelajar yang intensitas akses media sosialnya rendah, cendrung kurang
memahami tentang radikalisme dan bahayanya. Jika dilihat dari mean jawaban responden yang
intensitas penggunaan media sosialnya rendah, ternyata tidak paham tentang radikalisme. Artinya
semakin mereka sering mengakses media sosial, semakin sering mereka mendapatkan informasi
tentang radikalisme. Perlu ada penelitian yang lebih detil apa saja informasi tentang radikalisme
yang mereka dapatkan di media sosial tersebut.

THE INTRODUCTION AND


LITERATURE REVIEW
Pelajar tingkat sekolah menengah adalah aset bangsa yang menurut sumber BPS, tahun 2011 ada
44 juta anak umur 10-19 ahun. Merekalah yang akan menjadi bagian dari usia produktif penduduk
Indonesia di tahun 2045 yang diperkirakan berjumlah 70% dari total jumlah penduduk, yang disebut
sebagai generasi emas. Hasil survei Alvara Strategic Research tahun 2014 menjelaskan generasi usia
15-34 tahun sangat tinggi tingkat ketergantungannya pada koneksi internet. Hasil penelitian lain
menunjukkan mengakses media sosial menjadi tujuan mayoritas remaja menggunakan internet
mencapai 64,4% (Pasquala, Sciacca dan Hichy, 2015), terutama dengan menggunakan handphone.
Penelitian yang dilakukan oleh Vebrianto et al (2020) menunjukkan bahwa media sosial
memengaruhi pemahaman beragama mahasiswa; sebanyak 100 orang (40,0%) lebih terpengaruh
oleh twitter dan 99 orang (39,6%) oleh sosial media whatsapp kemudian diikuti oleh media lainnya
youtube dan face book. Dengan interaksi yang sangat sering dan sering seramai 55,2% atau 139
orang yang menggunakan sedangkan yang jarang adalah seramai 89 orang (35,6%) sedangkan
lainnya di bawah 10 persen. Faktanya dampak negatif media sosial juga menjadi media
penyebarluasan tindakan intoleransi, paham radikalisme, terorisme di Indonesia. Radikalisme atau
kekerasan dalam agama dan atas nama agama saat ini cukup mengkhawatirkan (Riyadi, 2016). Hasil
penelitian John Obert Voll tentang jaringan teroris bukan lagi mata rantai terpenting dalam kaitan
37
dengan mentransformasikan politik komunitas muslim di seluruh dunia, melainkan jaringan
intelektual dan pertukaran ideologi melalui media internet (Agus, 2016).
Hasil penelitian Ghifari (2017) menemukan bahwa Kemenkominfo & PBNU memblokir situs 300
dari 900 yang mengandung konten radikalisme di tahun 2011. Pada tahun 2015, Kemenkominfo
memblokiran 22 situs (Islam) yang menyebarkan paham radikalisme. Pemblokiran ini atas
permintaan BNPT dengan 3 kriteria: (1) menggunakan kekerasan dengan mengatasnamakan
agama, (2) takfiri (mengkafirkan orang lain), (3) memaknai jihad secara terbatas. Data BNPT
melansir sejak 2010-2015 ada 814.594 situs serupa yang sudah diblokir (Ghifari, 2017).
Radikalisme merupakan suatu perbuatan penyimpangan yang dilakukan dengan anggapan bahwa
semua tindakan yang dilakukan adalah benar sehingga menyalahkan segala tindakan yang
dilakukan kelompok lain hingga menimbulkan perbuatan anarkis. Nur (2019) menjelaskan bahwa
radikalisme muncul diakibatkan suatu kelompok dengan kondisi ekonomi relatif baik sehingga
mereka terasa dipinggirkan. Selain itu kebencian mereka terhadap prilaku rezim yang berkuasa
menghambat kegiatan sosial mereka. Radikalisme muncul bukan hanya dikarenakan faktor
perekonomian, namun dikarenakan perbedaan ideologi dalam doktrin agama. Sikap radikalisme
muncul dengan mengatasnamakan Islam. Terorisme muncul diakibatkan sikap radikal yang
memuncak sudah menjiwai seorang individu sehingga merusak bahkan membunuh sekelompok
yang dianggap ancaman serta jihad baginya. Anastasia (2018) menjelaskan terorisme dan
radikalisme dapat mengguncang rasa keIndonesiaan yang beragam, tidak toleran dan tidak
menerima terhadap perubahan. Selain itu Hasnah dan Rasyidin (2019) sikap terorisme memasuki
era millennium ketiga, serangkaian peristiwa pemboman situs milik negara Barat telah terjadi, dan
menimbulkan citra negatif dunia Barat terhadap Indonesia.
Terdapat empat ciri utama radikalisme yaitu: (a) gerakan atau paham anti NKRI (b) gerakan atau
paham yang anti pancasila (c) gerakan atau paham yang menyebarkan intoleransi (d) gerakan atau
paham yang mengajak ke tindakan kekerasan (Kartini, 2019). Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan
penggunaan media sosial oleh pelajar muslim dan pemahaman mereka tentang radikalisme. Hasil
penelitian ini menjadi sinyal yang harus diwaspadai orang tua, para pendidik tentang seberapa
mengkhawatirkannya generasi milenial muslim dalam menggunakan internet.

METHODOLOGY
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survei lapangan. Survei
dilakukan dengan menggunakan google form pada responden yaitu pelajar muslim di sekolah
menengah atas berbasis Islam di kota Pekanbaru, dan sekolah menengah umum.
Subjek penelitian ini adalah pelajar muslim berjumlah 316 orang dari 5 sekolah menengah atas
berbasis Islam yang ada di kecamatan Tampan Pekanbaru. Sampel penelitian ini diambil secara
random dengan teknik purposive sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan angket dalam
bentuk google form, data dianalisis secara deskriptif kuantitatif menggunakan software SPSS versi
22 untuk menjelaskan frekuansi dan persentase dari data yang di tampilkan.

38
RESULTS/FINDINGS
Penggunaan Media Sosial oleh Pelajar Muslim 1. Jenis media sosial yang paling banyak di digunakan
pelajar adalah Instagram (34,17%), Whatshap (32,22 %) dan Facebook (31,02%). 2. Intensitas
penggunaan media sosial terlihat dalam tabel 4 bahwa sebagian besar (44%) antara 3-7 jam dalam
sehari. Bahkan ada yang mengakses lebih dari 10 jam dalam sehari (4,7%) dan tampa batas (0,9%).
3. Perangkat dan pulsa untuk mengakses media sosial Hampir semua responden (85,8%) memiliki
sendiri handphone untuk mengakses media sosial. 4. Pemahaman pelajar tentang radikalisme dan
bahayanya masih tergolong rendah terlihat dari dari jawabannya terhadap item-item yang
diklasifikasi. 5. Intensitas Penggunaan Media Sosial dan Pemahaman tentang Radikalisme di
kalangan Pelajar t bahwa jumlah pelajar yang akses media sosialnya rendah lebih banyak kurang
memahami tentang radikalisme dan bahayanya.

ANALYSIS / DISCUSSION
Temuan penelitian memetakan penggunaan media sosial oleh pelajar muslim lebih banyak pada
jenis instagram, whatshapp dan facebook, dengan waktu yang digunakan untuk mengakses
sebagian besar (44%) antara 3-7 jam dalam sehari. Hampir semua responden (70,9%) menggunakan
handphone/smartphone untuk mengakses internet, dan 85,8% memiliki sendiri handphone
tersebut. Untuk dapat mengakses media sosial sebagian dari responden (58, 28%) menggunakan
uang jajan mereka sendiri. Konten yang diakses responden banyak (31%) pada chatting pribadi, dan
akademik (28,2%).
Hasil penelitian lain menunjukkan mengakses media sosial menjadi tujuan mayoritas remaja
menggunakan internet mencapai 64,4% (Pasquala, Sciacca dan Hichy, 2015). Selain itu internet juga
dijadikan sebagai media belajar yang dianggap efektif karena dapat digunakan secara acak
berdasarkan keinginan anak, gagasan yang disajikan sesuai dengan simbol dan grafik, dan dapat
melibatkan interaktivitas siswa yang tinggi (Khairuni, 2016). Young (2004), menjelaskan kebanyak
orang menggunakan internet untuk memperbaiki mood dan melupakan tentang masalah pribadi
mereka. Mereka menggunakan internet untuk menyalurkan perasaan negatif sehingga berharap
lebih baik. Mereka mengemukakan tentang permasalahan pribadi mereka pada media sosial untuk
katarsis yang dapat mengakibatkan timbulnya permasalahan baru.
akses terhadap media sosial memberikan informasi tentang radikalisme. Namun perlu diwaspadai
adanya hoax yang dapat memberikan informasi tidak benar pada pelajar melalui media sosial. Hoax
adalah perbuatan dengan sengaja (penipuan dan kebohongan) yang bertujuan agar targetnya
menerima dan mempercayai informasi yang salah—dalam bentuk tulisan, gambar, dan cerita lisan
yang akhir-akhir ini lebih banyak dalam bentuk berita palsu. Survei Mastel (2017) menjelaskan
bahwa hoax lebih banyak berisi isu sosial politik (91,8%), tentang sara (86,6%) dan kesehatan
(41,2%). Paham radikalisme dapat tergolong dalam isu politik dan sara dapat tersebar berupa hoax,
yang harus diwaspadai oleh pelajar muslim saat mengakses media sosial.Untuk itu perlu
dikembangkan literasi counter radikalisme berbasis media sosial (Farah Noersativa, 2018). Peran
pemerintah diperlukan mengingat pola monitoring jaringan radikal sering menggunakan media
sosial sebagai kendaraannya, sehingga literasi melawan radikalisme berbasis dengan media sosial
menjadi sangat penting.

CONCLUSION

39
Temuan penting penelitian ini adalah bahwa semakin tinggi intensitas remaja mengakses media
sosial, maka akan semakin sering mereka mendapatkan informasi tentang radikalisme. Perlu
diwaspadai informasi yang tidak benar (hoaks) dari media sosial yang diakses. Perlu dibentuk sikap
seorang pelajar muslim yang cerdas dalam mengelola informasi dan menggunakan sosial media
agar terhindar dari berita hoax dan radikalisme. Agama islam mengajarkan pemeluknya untuk
saling menghormati, harmonis, damai dan hidup sejahtera. Munculnya garis keras yang
mengatasnamakan islam dalam interaksi antar manusia dimungkinkan oleh kesalhan dalam
memahami ayat Al Quran.

RECOMMENDATIONS
Dari penelitian ini disarankan adanya sosialisasi yang komprehensif dan intens mengenai
penggunaan sosial media sehat bagi remaja guna menangkal paham radikalisme yang bertentangan
dengan ajaran agama islam sebagai agama pembawa kedamaian.

STRENGTHS
Hal yang menarik dari penelitian ini bahwa jumlah pelajar yang akses media sosialnya rendah lebih
banyak kurang memahami tentang radikalisme dan bahayanya. Jika dilihat dari mean jawaban
responden yang penggunaan media sosialnya rendah, ternyata tidak paham tentang radikalisme
dari skor mean mencapai 70,10, dan mean 59,00 untuk sangat tidak paham. Ini berarti bahwa akses
terhadap media sosial memberikan informasi tentang radikalisme.

WEAKNESSES

JOURNAL 12

IDENTITY
JOURNAL : Psikoborneo
Pengaruh Konformitas Dan Internalisasi Nilai-Nilai Islam
TITTLE :
Terhadap Pemikiran Radikalisme
AUTHOR : Hardiansyah
Program Studi Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
REVIEWER IDENTITY :
Universitas Mulawarman Samarinda

THE ABSTRACT
Munculnya organisasi-organisasi Islam yang representasi agamanya meluas jauh ke luar negeri,
melintasi batas negara. Inilah yang menyebabkan munculnya ide-ide agama baru di kalangan
mahasiswa Muslim. Gagasan radikalisme di kalangan mahasiswa terjadi karena beberapa faktor
40
salah satunya adalah adanya pengaruh sosial untuk mengikuti norma-norma yang ada dalam
kelompok konformitas, serta doktrin yang diberikan berupa pemahaman atau pengahayatan nilai-
nilai agama Islam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kesesuaian dan internalisasi
nilai-nilai Islam pada Pusat Kajian Islam Mahasiswa Universitas Mulawarman. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kuantitatif. Subjek penelitian ini adalah 100 anggota Universitas Islam
Pusat Studi Universitas Mulawarman yang dipilih dengan menggunakan teknik simple random
sampling. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah skala kesesuaian, internalisasi nilai-
nilai Islam dan pemikiran radikal. Data yang terkumpul dianalisis dengan metode Structural
Equation Modeling (SEM) dengan bantuan software Amos versi 22. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kesesuaian dengan pemikiran radikal menunjukkan nilai CR sebesar -0.857 ≤ 1.96 dan nilai
P sebesar 0.391> 0.05 yang artinya konformitas tidak berpengaruh pada pemikiran radikalisme.
Kemudian pada internalisasi nilai-nilai Islam dengan pemikiran radikalisme menunjukkan nilai C.R
sebesar -0,292 ≤ 1,96 dan nilai P sebesar 0,770> 0,05 yang berarti dalam internalisasi nilai-nilai Islam
tidak terdapat pengaruh terhadap pemikiran radikalisme.

THE INTRODUCTION AND


LITERATURE REVIEW
Indonesia merupakan Negara dengan penduduk yang beragama islam di dunia dalam hal ini
pemerintah telah memberikan fasilitas perguruan tinggi kepada setiap penduduk sehingga dapat
melanjutkan studinya untuk mendapatkan gelar sarjana. Perguruan tinggi adalahwadah bagi
mahasiswa yang memiliki banyak potensi untuk memunculkan potensi tersebut. Mahasiswa
dengan mayoritas usia dewasa awal masi mencari kemana orientasi masa depan yang akan di
tempuh. Merekka masih memerlukan beberapa pengaruh yang dapat menunjang dan memfasilitasi
prinsip dan jati diri yang sedang dicari. Maka berdasarkan hal tersebut dimanfaatkan oleh kelompok
radikal untuk mempengaruhi dengan konsep radikalisme yang mereka bawa (Aliakov, 2012). sesuai
dengan teori Erik erikson yaitu identitas vs kekacauan identitas, pencarian jati diri mulai
berlangsung dalam tahap ini, apabila seseorang dalam mencari jari dirinya bergaul dengan
lingkungan yang baik maka akan tercipta identitas yang baik pula, namun sebaliknya jika remaja
bergaul dalam lingkungan yang kurang baik maka akan timbul kekacauan identitas pada diri remaja
tersebut.
Dalam perguruan tinggi tidak terpisahkan dengan yang namanya organisasi. Sekarang yang marak
adalah munculnya organisasi keislaman dimana representasi keagamaan mereka jauh merujuk
keluar negeri, melintas batas negara. Inilah yang menimbulka munculnya paham-paham
keagamaan baru dikalangan mahasiswa muslim. Mereka merepresentasikan diri dalam Lembaga
Dakwah Kampus, halaqah dengan berbagai nama, dan komite-komite aksi mahasiswa. Mereka juga
muncul dalam bentuk diskusi dan kajian jumatan yang rutin dengan mengangkat issu-issu
keagamaan yang lebih radikal dan ekstrim.
Salah satu organisasi kemahasiswaan islam di Universitas Mulawarman adalah Pusat Studi Islam
Mahasiswa (Pusdima) dimana Pusdima merupakan unit kegiatan mahasiswa yang berada dibawah
tanggung jawab Rektor Universitas Mulawarman bergerak dibidang dakwah dan pembinaan.
Potensi munculnya radikalisme dikarenakan adanya aktifitas keagamaan kampus ditemukan corak
metode (thoriqoh) penerapan ideologi Khilafah Islamiyah, metode menjaga ideologi berbasis
hukum Islam, dan metode penyebarluasan ideologi berupa dakwah dan jihad, bentuk kajian dan
aktifitas sosial-keagamaan bersistem halaqah dan mentoring (Pusltibang Pendidikan Agama dan
Kebudayaan, 2005).
Menurut Nurjanah (2013) radikalisme adalah sebuah gerakan yang berbasis islam yang
dimaksudkan untuk melakukan pembaruan dalam masalah sosial, politik, atau keagamaan,
41
dilakukan dengan cara drastis, keras, dan tanpa kompromi kepada pihak-pihak yang dianggap
musuh, dengan satu prinsip bahwa hanya syariat islam dan penerapan syariat islam menjadi ide
perjuangannya.
Sears (1994) berpendapat bahwa bila seseorang menampilkan perilaku tertentu disebabkan oleh
karena orang orang lain menampilkan perilaku tersebut, disebut konformitas. Muhaimin (2001)
mengatakan bahwa proses dalam menginternalisasikan nilai-nilai islam yaitu: yaitu pendekatan
indoktrinasi, pendekatan modal reasoning, pendekatan forecasting concequence, pendekatan
klasifikasi nilai, dan pendekatan internalisasi. Hal ini sejalan yang dikemukakan Azra (2011)
radikalisme Islam adalah ide-ide, pemikiran, ideologi dan gerakan Islam, yang mengarah kepada
aktivitas intimidasi, kekerasan dan teror, baik karena doktrin keagamaan, membela diri, maupun
bentuk respon terhadap lawan politik yang ditunjuknya. Biasanya mereka, berbasis pada alasan
perlawanan terbuka terhadap kebijakan politik dan ekonomi imperialisme Barat, serta dominasi
dan hegemoni kebudayaan yang merugikan kaum muslim.
Menurut Alim (2006) internalisasi adalah menyatunya nilai dalam diri seseorang, atau dalam bahasa
psikologi merupakan penyesuaian keyakinan, nilai, sikap, perilaku, praktik dan aturan baku pada
diri seseorang. Menurut Rahmawati (2014) internalisasi nilai-nilai islam adalah proses penghayatan,
pendalaman dan penguasaan secara mendalam melaului binaan dan bimbingan terhadap nilai-nilai
material yang terwujud dalam kenyataan pengalaman rohani jasmani. Internalisasi nilai-nilai islam
merupakan suatu proses memasukan nilai-nilai agama islam secara penuh kedalam hati, sehingga
ruh dan jiwa bergerak berdasarkan ajaran agama islam (Alam, 2016).

METHODOLOGY
Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif, dalam penelitian ini terdapat tiga variable bebas
dan satu variable terikat. Varabel bebas yaitu konformitas dan internalisasi nilai-nilai islam
sedangkan varabel terikat yaitu pemikiran radikalisme. Sampel dalam penelitian ini adalah Pusat
Studi Islam Mahasiswa Universitas Mulawarman periode 2016- 2017 yang berjumlah sebanyak 100
anggota.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu alat pengukuran atau
instrumen. Instrumen penelitian yang digunakan ada tiga yaitu skala perilaku radikalisme,
konformitas dan internalisasi nilai-nilai islam. Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan
teknik uji coba atau try out kepada anggota pusdima yang di fasilitasi oleh Lembaga Dakwah
Kampus di masing fakultas Universitas mulawarman sebanyak 89 anggota.

42
RESULTS/FINDINGS
Hipotesis dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh konformitas terhadap pemikiran
radikalisme dan internaliasi nilai-nilai Islam terhadap. Tehnik analisis data yang digunakan adalah
Structural Equation Model (SEM). Untuk menganalisas hasil output, pengaruh antar variabel
signifikan jika nilai, C.R ≥1.96 dan nilai P < 0.05. Berdasarkan tabel 28, dapat diketahui bahwa pada
konformitas dengan pemikiran radikalisme menunjukan nilai C.R sebesar -0.857 ≤ 1.96 dan nilai P
sebesar 0.391 > 0.05 yang artinya konformitas tidak memiliki pengaruh terhadap pemikiran
radikalisme. Kemudian pada internalisasi nilai-nilai Islam dengan pemikiran radikalisme
menunjukan nilai C.R sebesar - 0.292 ≤ 1.96 dan nilai P sebesar 0.770 > 0.05 yang artinya
internalisasi nilai-nilai Islam tidak memiliki pengaruh terhadap pemikiran radikalisme.

ANALYSIS / DISCUSSION
terori Erik Erikson yang menyatakan bahwa identitas vs kekacauan identitas, pencarian jati diri
mulai berlangsung dalam tahap ini, apabila seseorang dalam mencari jari dirinya bergaul dengan
lingkungan yang baik maka akan tercipta identitas yang baik pula, namun sebaliknya jika remaja
bergaul dalam lingkungan yang kurang baik maka akan timbul kekacauan identitas pada diri remaja
tersebut. Hal ini sesusai dengan teori Marcia identity diffusion yaitu remaja dengan status ini
merupakan remaja yang mengalami kebingungan tentang siapa dirinya dan mau apa dalam
hidupnya, selain itu mereka juga menunjukan karakteristik seperti konsep diri yang kuat,
menunjukan tingkat kecemasan dan ketegangan internal yang tinggi dan tidak dapat
memperkirakan ciri atau sifat kepribadian yang dimilikinya (Santrcok, 2007) Berdasarkan uraian
tersebut maka dapat disimpulkan konformitas tidak memiliki pengaruh terhadap pemikiran
radikalisme, tetapi remaja yang sedang mencari jati dirinya akan sangat mudah didoktrin mengenai
dasar pembenaran terhadap aksi radikal atas nama agama sehingga munculah pemikiran
radikalisme dikalangan mahasiswa.
pada internalisasi nilai-nilai Islam dengan pemikiran radikalisme menunjukan nilai C.R sebesar -
0.292 ≤ 1.96 dan nilai P sebesar 0.770 > 0.05 yang artinya internalisasi nilai-nilai Islam tidak memiliki
pengaruh terhadap pemikiran radikalisme. Hal ini bermakna agama Islam mengajarkan hal yang
baik dan tidak pernah mengajarkan tentang kekerasan, hal tersebut sejalan dengan Alam (2016),
internalisasi nilai-nilai Islam adalah proses pemasukan nilai-nilai agama Islam secara penuh kedalam
hati, sehingga ruh dan jiwa bergerak berdasarkan ajaran agama Islam dan membawa manusia pada
kebahagian, kesejahtraan, dan keselamatan manusia baik dalam dunia maupun kehidupan akhirat
kelak.
internalisasi nilai-nilai Islam tidak memiliki pengaruh terhadap pemikirarn radikalisme, tetapi
pemahaman agama yang masih kurang, sempit, dapat menyebabkan paham-paham agama seperti
ini dengan mudah akan menggiring pada keyakinan yang cenderung memiliki pemikiran akan
radikalisme.

CONCLUSION
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, peneliti menyimpulkan bahwa:
1. Tidak terdapat pengaruh konformitas terhadap pemikiran radikalisme pada pusat studi islam
mahasiswa Universitas Mulawarman.
2. Tidak terdapat pengaruh internalisasi nilai-nilai islam terhadap peemikiran radikalisme pada
pusat studi islam mahasiswa Universitas Mulawarman.

43
RECOMMENDATIONS
Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang pemikiran radikalisme
sebaiknya lebih dilihat lagi mengenai skala yang digunakan tidak boleh sempit dan harus secara
hukum islam. Bagi peneliti selanjutnya sebaiknya membuat scraning di latar belakang sebaiknya
internalisasi agama Islam harus luas, tidak boleh sempit, membuka cakrawala dengan cara studi
banding dengan ustadz dari luar

STRENGTHS

WEAKNESSES

JOURNAL 13

IDENTITY
ACADEMIA (Accelerating the world's research)
JOURNAL :
BIMBINGAN KONSELING MELALUI PENDIDIAN MULTIKULTUAL
TITTLE : TERHAPAP ANAK-ANAK DAN REMAJA DALAM
PENANGGULANGAN PAHAM ADIALISME
AUTHOR : Lilam Kadarin Nuriyanto
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang, Jawa
REVIEWER IDENTITY :
Tengah, Indonesia

THE ABSTRACT
Paham radikalisme merupakan akar dari ketidakrukunan antar umat beragama. Anak-anak dan
remaja adalah generasi penerus yang harus dilindungi dari radikalisme, sehingga perlu penanganan
yang tepat. Pendidikan multikultural sangat diperlukan dalam membentuk generasi saling
menghormati dalam setiap perbedaan. Keadaan psikologis anak-anak dan remaja harus tetap
dipertahankan dalam pendidikan multikultural. Dalam pembentukan komunitas lintas agama,
dunia bermain untuk anakanak dan suasana santai untuk remaja harus tetap dipertahankan

THE INTRODUCTION AND


LITERATURE REVIEW

44
Pada paham keagamaan telah tumbuh perkembangan baru yang dinamakan radikalisme.
Radikalisme sering digunakan dalam pemahaman terhadap ajaran agama atau aliran tertentu. Commented [U2]:
radikalisme merupakan paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial
dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Kelompok radikal sering diartikan sebagai kelompok
yang suka menggunakan cara kekerasan dalam menyelesaikan masalah atau mencapai tujuannya.
Gejala radikalisme ini bisa dilihat sejak terjadinya reformasi tahun 1998, ketika menjelang turunnya
Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Berlanjut pada kerusuhan besar-besaran yang terjadi
di Jakarta yang merambat ke kota Surakarta. Sehingga fenomena kebebasan menghiasi kehidupan
masyarakat Indonesia dalam segala ruang kehidupannya. Hal ini ditandai dengan seringnya terjadi
kerusuhan-kerusuhan antar etnik dan agama. Misalnya di Sampit Kalimantan Tengah antara suku
Dayak dan Madura, serta kerusuhan antar agama antara Islam dan Kristen di Ambon.
Yang menjadi penyebab tidak harmonisnya hubungan antar individu atau kelompok dalam sebuah
negara yang multikultural adalah sikap prejudis, stereotip, dan diskriminasi. Prejudis biasanya
memandang sebuah kelompok secara general, padahal didalam kelompok itu sebenarnya terdapat
beragai macam variasi. Tulisan ini merupakan pengembangan dari hasil penelitian penulis pada
tahun 2013 di Kota Surakarta lewat lembaga Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang
yang berjudul Dinamika Hubungan Antar Umat Beragama Pola Pengelolaan Kerukunan Antar Umat
Beragama Di Kota Surakarta. Selain itu juga hasil penelitian dari Balai Penelitian dan Pengembangan
Agama Makasar yang berjudul Persepsi Dan Sikap Siswa Terhadap Tindakan Kekerasan Atas Nama
Agama.
Piaget, seorang pakar psikologi kognitif dan psikologi anak, memandang inteligensi/kecerdasan
sebagai suatu proses adaptif dan menekankan bahwa adaptasi melibatkan fungsi intelektual.
Menurutnya telah terjadi keseimbangan antara kegiatan organisme dengan kegiatan
lingkungannya yang disebut proses adaptasi. . Dengan demikian lingkungan mendorong terus
menerus organisme untuk menyesuaikan diri terhadap situasi riil, sebaliknya organisme secara
konstan juga menghadapi lingkungannya sebagai suatu struktur yang merupakan bagian dari
dirinya (Gunarsa, 1987; Hurlock, 1991; 1996; Soemantri, 2005; dan Santrock, 2007), Piaget
mengemukakan tentang adanya tahapan/periodisasi dalam perkembangan kognitif individu.
Pendidikan konseling melalui multikultural pada masa anakanak sangat penting sekali, karena bila
sudah tertanam sejak dini maka kelak akan diperoleh generasi penerus bangsa yang mudah untuk
mengerti dan menghormati sesuatu yang berbeda dengan dirinya. Sesuai dengan teori-teori diatas
bahwa anak-anak merupakan masa emas untuk membentuk pribadi dikelak kemudian hari. Sebagai
dasar atau pondasi pembentukan sikap maka perlu diadakan kegiatan-kegiatan yang dalam
tujuannya untuk menanamkan nilai-nilai multikultur tanpa harus menghiraukan dunianya yang
sebenarnya yaitu dunia bermain.
Pembentukan komunitas anak-anak dan remaja merupakan sebuah gerakan model baru dalam
bentuk lintas agama. Dimana mereka membentuk sebuah forum dengan tidak meninggalkan
dunianya sebagai dunia bermain pada masa anak-anak dan bergaul secara merdeka tanpa ikatan-
ikatan birokratis yang bisa membelenggu gelora jiwa masa remajanya.
Konsep bimbingan dan konseling dengan multikultural dalam menanggulangi Paham radikalisme
dikalangan anak-anak dan remaja, tentunya tidak lepas dari peran psikologi perkembangan anak
dan remaja. Dalam pendekatan konsep mulitikultural bisa sebagai penggerak kelompok-kelompok
masyarakat dimana saling menghormati dan menerima satu dengan yang lain. Kaum mayoritas bisa
menghormati terhadap kaum minoritas, sebaliknya kalum minoritas bisa menghormati keberadaan
kaum mayoritas. Konsep untuk saling menghargai dan menerima satu dengan yang lain merupakan
modal dalam membina kerukunan pada kelompok masyarakat yang plural.

45
METHODOLOGY
Kualitatif naratif berdasarkan literature yang ada.

RESULTS/FINDINGS
pengalaman yang luar biasa pada dalam diri anak-anak yang memang sebelumnya belum pernah
berkunjung ke tempat-tepat beribadah selain di agamanya. Anak-anak akan menemukan hal-hal
baru yang pasti akan dihubungkan dengan pemahaman agamanya. Sehingga akan muncul berbagai
pemikiran-pemikiran baru sesuatu yang terkadang sangat bertentangan dengan pemahaman
terhadap agamanya. Anak akan sangat berkesan sekali karena mempunyai pengalaman yang ia
dapatkan secara langsung dan alami. Misalnya di setiap masjid kebanyakan ada tulisan arab Allah
dan Muhammad, tetapi ketika berkunjung ke tempat ibadah lainnya tidak ada. Kalau ke maasjid
harus lepas alas kaki, tetapi di tempat ibada lainnya ada yang tidak mensyaratkannya, tentunya ini
juga akan muncul pertanyaan-pertanyaan di benak anakanak. Disinilah peran orang dewasa harus
bisa menjelaskan dengan arif dan bijaksana sesuai dengan dunianya, agar mudag dipahami dan
dimengerti olah anak-anak. Sehingga munculah pengetahuan baru bagi anak-anak ternyata ada
perbedaan-perbedaan disekelilingnya.
Pembentukan komunitas anak-anak dan remaja merupakan sebuah gerakan model baru dalam
bentuk lintas agama. Dimana mereka membentuk sebuah forum dengan tidak meninggalkan
dunianya sebagai dunia bermain pada masa anak-anak dan bergaul secara merdeka tanpa ikatan-
ikatan birokratis yang bisa membelenggu gelora jiwa masa remajanya.
Para anak-anak dan remaja yang merupakan usia pelajar tanpa disadari selalu ditanamkan untuk
mencapai sesuatu yang seragam. Sistem pembelajaran yang masih lebih besar komunikasi satu arah
dari pendidik ke siswa lebih menguatkan adanya sistem pemaksaan atas keseragaman. Karena
masih minimnya komunikasi timbal balik antara keduanya. Sehingga tidak memunculkan kreatiitas
pada diri siswa. Pendidikan multikultural sangat diperlukan bagi para siswa agar terlatih untuk
mengakui adanya perbedaan diantara mereka. Dalam hal ini sangat dibutuhkan sehingga
penanaman nilai-nilai multikultural sejak masa kanak-kanak sangat diperlukan sekali. Sehingga
pada tahapan remaja atau pelajar hanya perlu memoles atau menyempurnakannya saja. Tentu hal
ini lebih mudah daripada bila penanaman pendidikan multikultural baru dimulai sejak uisa remaja.

ANALYSIS / DISCUSSION
Bentuk-bentuk penanggulangan fenomena radikalisme dikalangan anak-anak adalah dengan
mengajak mereka untuk berkumpul besama dalam sebuah wadah komunitas lintas agama.
Komunitas ini bentuknya bebas tidak ada batasan-batasan yang sangat mengikat. Dalam komunitas
ini belum harus mempunyai tujuan tertentu. Yang terpenting adalah jangan meninggalkan jati diri
dari dunia anak-anak, yaitu bermain. Dimana anak-anak harus tetap pada aspek bermain gembira
dengan pengarahan untuk mendapatkan pengetahuan baru dibidang perbedaan keagamaan
dengan linkungannya. Bentuk-bentuk penanggulangan fenomena radikalisme dikalangan remaja
adalah dengan mengajak mereka untuk berkumpul besama dalam sebuah wadah komunitas lintas
agama. Pada remaja juga tetap pada semangat jiwa yang masih sangat bergejolak ingin bebas dalam
mencari jati diri. Dalam komunitas sudah ada tujuannya karena remaja sudah bisa berpikir dan
mencerna mana yang baik dan mana yang tidak bermanfaat. Diperlukan sebuah komunitas yang
tidak santai tetapi serius dalam mencapai tujuannya. Kumpul bersama merupakan hal terpenting,
sehingga dalam perbincangan-perbincangan kepentingan komunitas tetap terbungkus dalam

46
suasana santai sesuai dengan jiwa remaja. Peran pendidikan konseling mulitikultural dalam
penanggulangan paham radikalisme di kalangan anak-anak dan remaja merupakan hal yang sangat
penting karena mereka adalah generasi penerus bangsa. Apabila jiwa mudah untuk memahami dan
mengerti dengan segala perbedaan yang ada disekitarya bila dilatih sejak usia dini dan remaja maka
akan menghasilkan generasi yang kuat dalam berwawasan kerukunan. Karena kerukunan
merupakan modal utama dalam pencapaian kehidupan yang damai berdampingan, sehingga
pembangunan sebuah negara bisa berjalan dengan lancar tanpa ada faktor gangguan dari
inharmonisasi dalam negeri.

CONCLUSION
Bentuk-bentuk penanggulangan fenomena radikalisme dikalangan anak-anak adalah dengan
mengajak mereka untuk berkumpul besama dalam sebuah wadah komunitas lintas agama.
Komunitas ini bentuknya bebas tidak ada batasan-batasan yang sangat mengikat. Dalam komunitas
ini belum harus mempunyai tujuan tertentu. Yang terpenting adalah jangan meninggalkan jati diri
dari dunia anak-anak, yaitu bermain. Dimana anak-anak harus tetap pada aspek bermain gembira
dengan pengarahan untuk mendapatkan pengetahuan baru dibidang perbedaan keagamaan
dengan linkungannya. Bentuk-bentuk penanggulangan fenomena radikalisme dikalangan remaja
adalah dengan mengajak mereka untuk berkumpul besama dalam sebuah wadah komunitas lintas
agama. Peran pendidikan konseling mulitikultural dalam penanggulangan paham radikalisme di
kalangan anak-anak dan remaja merupakan hal yang sangat penting karena mereka adalah generasi
penerus bangsa.

RECOMMENDATIONS
Menggunakan instrument penelitian yang bisam menjelaskan fenomena tersebut

STRENGTHS

WEAKNESSES
Penelitian ini kurang kuat dalam hal instrumen

47
JOURNAL 14

IDENTITY
Persona: Jurnal Psikologi Indonesia
JOURNAL :
Model Pembelajaran Multikultural pada Pesantren Modern
TITTLE :
sebagai Upaya Mereduksi Paham Radikalisme
AUTHOR : Suhadianto Suhadianto, Eko April Ariyanto, Isrida Yul Arifiana
REVIEWER IDENTITY : Fakultas PsikologiUniversitas 17 Agustus 1945 Surabaya

THE ABSTRACT
Radikalisme sebagai bagian dari paham fundamentalis telah menjadi ancaman yang nyata bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Aksi-aksi radikalisme semakin massif dilakukan dengan
melibatkan generasi muda. Pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua memiliki model
pembelajaran yang sangat dipercaya oleh masyarakat. Pesantren diharapkan dapat menjadi
benteng penangkal paham fundamentalis melalui pembelajaran multikultural yang diterapkan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa praktek pembelajaran multikultural di pondok
pesantren dan dampak pembelajaran multikultural di pondok pesantren. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan mengambil fokus penelitian pada pondok pesantren
Darussalam, Sengon Kabupaten Jombang. Metode pengambilan data dilakukan dengan
menggunakan interview serta observasi terhadap subjek yaitu pemimpin pondok pesantren, ustad
serta santri. Validitas hasil penelitian dilakukan melalui triangulasi data. Hasil penelitian
menunjukan bahwa pondok pesantren Darusalam Jombang telah menerapkan prinsip
pembelajaran multikultural yang meliputi: content integration, The knowledge construction
process, Equity Pedagogy, Prejudice reduction. Selain itu dampak pembelajaran tersebut membuat
santri mampu memahami perbedaan, toleransi, dan keberagaman sehingga mampu membentengi
diri dari paham fundamentalis.

THE INTRODUCTION AND


LITERATURE REVIEW
Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 merupakan tonggak kebebasan bagi setiap orang
untuk bersuara dan menyampaikan pendapat. Masyarakat Indonesia secara politik kemudian
mendirikan parta-partai politik sebagai wadah penyampaian aspirasi, tercatat sekitar34 partai
politik yang terdaftar dan ikut pemilu pada tahun 1999. Partai politik memiliki landasan yang
berbeda-beda untuk menarik masa mulai nasionalisme, syariat islam dan idiologi lain. Tidak
hanya partai politik, organisasi masa juga berkembang yang berorientasi pada agama tertentu.
Aksi-aksi radikalisme tampaknya mulai tumbuh subur di Indonesia sejak terjadinya aksi
teror 11 september 2001 di New York Amerika serikat yang menghancurkan gedung
kembar World Trade Center. Aksi yang kemudian mengarah pada Al-Qaeda sebagai pelaku teror
dan identik dengan gerakan-gerakan islam radikal ini pada akhirnya menyudutkan dan
memberikan tekanan yang luar biasa bagi umat muslim di seluruh dunia. Perlawanan umat
islam terhadap tekanan-tekanan tersebut diwujudkan dalam bentuk pengerusakan atau “jihat”
dengan bom bunuh diri pada simbol-simbol barat. Bom bali yang terjadi pada 12 Oktober 2002
di Kuta Legian bali adalah bukti nyata gerakan-gerakan radikal sebagai bentuk perlawanan
terhadap masyarakat barat dan upaya mengembalikan kehidupan masyarakat sesuai dengan
keyakinan yang dianut.

48
Hasyim, dkk (2015) yang secara khusus mengkaji tentang pola resistensi pesantrenterhadap
gerakan radikalisme. Diperoleh temuan bahwa upaya yang dilakukanpesantrendalam mengatasi
radikalisme agama salah satunya dilakukan dengan strategi preservative deradicalization,
yaitu memelihara nilai-nilai moderatisme sebagai antisipasi terhadap model keislaman garis
keras. Selain itu juga diikuti dengan pengembangan kehidupan multikultural, yaitu sebuah
kesadaran akan keragaman sehingga dapat menumbuhkan rasa saling menghargai dan
menghormati.
Ahmad (2012) dalam judul Understanding Religious Violence in Indonesia: Theological, Structural
and Cultural Analyses. Adanya tindakan kekerasan agama yang ada di Indonesia sebagai bagian dari
proses perubahan dari sejarah manusia. Hal tersebut juga muncul sebagai akibat dari kondisi
politik di Indonesia dan respon terhadap ketidakadilan ekonomi. Selain itu, terdapat sebuah
studi yang dilakukan oleh Rahimullah, dkk (2013) menyusun kajian umum berkaitan dengan adanya
fenomena radikalisme islam. Diperoleh temuan secara ringkas bahwa penelitian pendahulu yang
membahas tentang radikalisme dalam muslim secara spesifik belum menjelaskan tahapan dari
sebuah proses radikalisme islam, tidak adanya literature akademik yang melakukan investigasi
secara khusus pada individu yang penggerak radikalisme dan upaya perbandingan terhadap
kondisi radikalisme muslim dengan radikalisme non-muslim.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya banyak penelitian sebelumnya
yang meneliti tentang gerakan-gerakan radikalisme. Penelitian-penelitian tersebut ada yang
berupa ulasan secara umum mengkaji serta membandingkan dari berbagai penelitian tentang
radikalisme, radikalisme dengan objek penelitian mahasiswa, serta ada juga yang mengulas
dalam perspektif ekonomi misalnya ketika mengaitkan antara aksi-aksi kekerasan dalam islam
yang berwujud terorisme yang ada di Indonesia dengan persoalan kesenjangan ekonomi diantara
masyarakat. Namun demikian, belum ada yang secara khusus meneliti tentang metode dan
implementasi pendidikan multikultural di pesantren.
el-Ma’hady(dalam Aly, 2011)berpendapat, bahwa secara sederhana pendidikan multikultural
dapat diartikan sebagai pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam merespon
perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia
global secara keseluruhan. Hal senada juga dijelaskan oleh Paulo Freire seorang pakar
pendidikan kebebasan yang menyatakan bahwa pendidikan multikultural sebagai solusi untuk
mengatasi perilaku sebagian orang terdidik yang menjadikan pendidikan sebagai “menara
gading” yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Berdasar pada latar belakang
sebagaimana telah diuraikan di atas, penelitian ini bertujuan untuk menggali data
terkaitbagaimanaimplementasi pembelajaran multikultural dan dampakpembelajaran
multikultural pada pesantrenDarussalam Sengon Jombang.

METHODOLOGY
Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan termasuk dalam jenis penelitian kualitatif
deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik pengamatan terlibat (participant
observation), wawancara mendalam (indept interview), dan dokumentasi. Pengamatan
terlibat digunakan untuk memperoleh data yang terkait dengan kegiatan perencanaan,
implementasi, dan evaluasi kurikulum. Wawancara mendalam digunakan untuk memperoleh
data yang terkait dengan sejarah pesantren dan perkembangannya, serta dasar pengembangan
kurikulum pesantren, perencanaan, implementasi, dan evaluasinya. Dokumentasi digunakan untuk
memperoleh data yang terkait dengan sejarah pesantren dan perkembangannya, dokumen
perencanaan kurikulum, data santri dan guru, buku ajar, dan perangkat kegiatan belajar

49
mengajar yang disusun oleh para guru. Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis dengan teknik
deskriptif-interpretatif dan analisis isi.

RESULTS/FINDINGS
Hasil analisis data penelitian menunjukkan bahwa pesantrenDarussalam Sengon Jombang telah
mengimplementasikan empat aspek pembelajaran multikultural menurut Bank (1994) ke dalam
proses pembelajaran, empat aspek tersebut adalah: 1) content integration; 2) The knowledge
construction process; 3) An Equity Pedagogy dan; 4) Prejudice reduction.

ANALYSIS / DISCUSSION
Tujuan didirikan pesantrenadalah mengajarkan agama islam kepada para santri, sebagai pegangan
dan pedoman hidup santri yang akan dapat diamalkan dalam kehidupan masyarakat, mencetak
santri yang saleh tidak hanya dalam bidang agama akan tetapi juga santri yang mampu
mengaplikasikan kesalehan sosial, mendidik para santri menjadi santri yang memiliki budi
pekerti yang baik sesuai dengan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Mendidik
santri yang mampu menebarkan kasih sayang terhadap semua umat, mendidik santri agar menjadi
orang yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap umat manusia, mendidik santri menjadi
manusia yang memiliki ketajaman hati dan pikiran, sehingga dapat menyelesaikan
berbagai permasalahan hidup dengan bijaksana (Jamaluddin, 2012). Praktikpembelajaran
multikulturalisme yang diterapkan di pesantrenumumnya mengarahkan kepada santri untuk
mampu bersikap toleran, mandiri, kritis, menjaga kerukunan, dan menghargai perbedaan. Kyai
sebagai tokoh sentral di dalam pesantrenmerupakan panutan dan suri tauladan yang harus
diikuti segala tingkah laku dan ajarannya. Melalui tokoh sentral kyai inilah pesantrendapat
mengajarkan praktik pembelajaran multikultural dengan lebih maksimal. Praktik-praktik
pembelajaran ini dapat terimplementasi tidak hanya dalam kegiatan belajar di kelas namun
juga dalam kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang diselenggarakan. Salah satu pesantrenyang
menerapkan prinsip pembelajaran multikultural adalah pesantrenDarusalam Sengon,
Kabupaten Jombang. Pesantrenini didirikan dengan visi “mulia dalam budi pekerti dan unggul
dalam prestasi”. Pesantrenyang berdiri di tengah-tengah pemukiman penduduk ini didirikan oleh
Kyai Haji Ashari Mahfud pada tahun 1993. Saat ini pesantrenyang berada dibawah
pengelolaan Yayasan Pesantren Darusalam Jombang mengelola pesantrensekaligus sekolah umum
setingkat SMP/Madrasah Tsanawiyah dan setingkat SMA/Madrasah Aliyah.
Persona: Jurnal Psikologi IndonesiaVolume 7, No. 2, Desember2018ISSN. 2301-5985(Print), 2615-
5168 (Online)Suhadianto, Eko April Ariyanto, Isrida Yul ArifianaPage I 235Santri pesantrenini
berasal dari berbagai wilayah di Indonesia seperti Aceh, Sumatra Selatan, hingga Papua.
Diawal pendiriannya pesantren didirikan untuk membantu anak-anak yang tidak bisa sekolah
meskipun pada saat inipun beasiswa bagi santri yang tidak mampu tetap diberikan. Para pengajar
di pesantrenini adalah alumni pesantren Gontor Ponorogo dan Tebu Ireng Jombang. Selain
menerima santri dari berbagai wilayah dan kondisi sosial ekonomi yang berbeda, pesantrenini
berprinsip tidak membeda-bedakan golongan yang ada di Indonesia baik Nahdlatul Ulama
(NU) maupun Muhammadiyah.

CONCLUSION

50
Kesimpulan dari hasil penelitian ini pesantrenDarussalam Sengon Jombang telah menerapkan
prinsip-prinsip pembelajaran multikultural. Praktek pembelajaran ini ditransformasikan oleh
ustadz maupun pengasuh pesantren melalui aktivitas-aktivitas di dalam pesantren maupun di
luar pesantren. Meskipun pada dasarnya pesantrenDarussalam belum memiliki kurikulum yang
bernuansa multikultural tetapi kegiatan belajar dan mengajar santri atau siswa telah sesuai
dengan prinsip-prinsip pembelajaran multikultural. Ustadz dan pimpinan pesantren membatasi
ayat-ayat Al Qur’an yang wajib diajarkan kepada santri terutama yang terkait dengan jihad.
Pembelajaran multikultural yang dilakukan pesantrenDarussalam Sengon Jombang, baik
melalui kegiatan belajar mengajar di sekolah formal, melalui kegiatan belajar mengajar di
Madrasah Diniyah dan melalui pengajian-pengajian kitab kuning serta melalui contoh tindakan
nyata yang dilakukan oleh para guru dan Kyai. Terbukti berhasil menumbuhkan pemahaman
tentang pentingnya menghormati antara umat beragama pada para santri maupun siswa. Para
santri dan siswa tidak setuju dengan aksi-aksi radikalisme yang menamakan agama.

JOURNAL 15

IDENTITY
JOURNAL : Jurnal Sains Psikologi
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER SEMANGAT
TITTLE : KEBANGSAAN DAN CINTA TANAH AIR PADA SEKOLAH BERLATAR
BELAKANG ISLAM DI KOTA PASURUAN
AUTHOR : Aji Bagus Priyambodo
REVIEWER IDENTITY : ex: Becce, (Mahasiswa S1 Psikologi, Universitas Bosowa)

THE ABSTRACT
Semakin berkembangnya radikalisme beragama di tengah masyarakat menjadi ancaman bagi
kesatuan bangsa Indonesia. Salah satu upaya strategis menangkal radikalisme beragama di
Indonesia adalah melalui program pendidikan karakter di sekolah. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui bagaimana implementasi pendidikan karakter semangat kebangsaan dan cinta
tanah air di sekolah berlatar belakang islam di Kota Pasuruan. Pendekatan penelitian yang
digunakan adalah pendekatan kualitatif termasuk dalam jenis penelitian studi kasus. Subyek
penelitian ini adalah kepala sekolah, para guru dan para siswa di beberapa sekolah berlatar
belakang islam di Kota Pasuruan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terdapat komitmen
pada ketiga pimpinan sekolah yang berlatar belakang Islam di Kota Pasuruan untuk melaksanakan
pendidikan karakter semangat kebangsaan dan cinta tanah air namun penyediaan sarana prasarana
yang menunjang masih minim, evaluasi dan tindak lanjut keberhasilan pendidikan karakter juga
masih belum dilaksanakan.

THE INTRODUCTION AND


LITERATURE REVIEW
Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara
(Ormrod, 2008). Menurut Ki Hajar Dewantoro (dalam Indrakusuma, 1973) pendidikan
51
adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin
dan karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak. Bagian–bagian itu tidak boleh dipisahkan agar
kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak.
Menurut Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter (Kemdikbud, 2011) pendidikan
karakter merupakan pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral,
pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk
memberi keputusan baik buruk, memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan
itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Pada intinya pendidikan karakter
bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran,
bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan
dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
berdasarkan Pancasila. Nilai nilai pendidikan karakter di Indonesia teridentifikasi berjumlah
18 nilai, yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya dan tujuan pendidikan nasional
yaitu: 1. Religius, 2. Jujur, 3.Toleransi, 4. Disiplin, 5.Kerja keras, 6. Kreatif, 7. Mandiri,
8. Demokratis, 9. Rasa Ingin Tahu, 10. Semangat kebangsaan, 11. Cinta tanah air, 12. Menghargai
prestasi, 13. Bersahabat/komunikatif, 14. Cinta damai, 15.Gemar membaca, 16. Peduli
lingkungan, 17. Peduli sosial dan 18. Tanggung jawab (Kemdikbud, 2011).
Semakin berkembangnya radikalisme beragama di tengah masyarakat menjadi ancaman
bagi kesatuan bangsa Indonesia. Salah satu upaya strategis menangkal radikalisme beragama
di Indonesia adalah melalui program pendidikan karakter semangat kebangsaan dan cinta
tanah air di sekolah berlatar belakang islam.

METHODOLOGY
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif termasuk dalam jenis
penelitian studi kasus. Subyek penelitian ini adalah kepala sekolah, para guru dan para siswa
di beberapa sekolah berlatar belakang islam di Kota Pasuruan. Alat pengumpul data adalah
wawancara, observasi dan studi dokumen. Subjek dalam penelitian ini adalah kepala
sekolah, para guru dan siswa di tiga sekolah berlatar belakang islam di Kota Pasuruan.
Dalam penelitian ini subjek dipilih secara selektif agar dapat menggambarkan pokok
bahasan yang diteliti. Berdasarkan karakteristik yang ada, maka diperoleh dua belas
orang subyek penelitian, yang meliputi dua orang kepala sekolah, lima orang guru dan lima
orang siswa. Teknik - teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah wawancara, observasi dan studi dokumen. Dalam penelitian ini jenis wawancara
yang dilakukan adalah wawancara mendalam. observasi dalam penelitian ini, peneliti
terlibat dengan kegiatan sehari – hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai
sumber data penelitian. Adapun teknik pemeriksaan keabsahan data yang digunakan pada
penelitian ini adalah trianggulasi sumber dan trianggulasi teknik.
RESULTS/FINDINGS
Sekolah berlatar belakang islam di Kota Pasuruan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
sekolah yang mengedepankan penanaman nilai-nilai islam pada anak didiknya, contohnya:
baca, tulis dan pemahaman Al-Quran, penerapan amalan ibadah wajib dan sunnah serta
penerapan adab islami dalam kehidupan sehari-hari. Seperti pada umumnya sekolah islam,
SD Islam Terpadu Bina Insan Cendekia, SMP Islam Terpadu Fasihul Quran dan SMK Bayt Al
Hikmah Kota Pasuruan juga memiliki kebijakan tersendiri mengenai proses pembelajaran yang
diberikan kepada anak-anak didiknya, baik pelajaran formal maupun yang bersifat nonformal,
terkait dalam penanaman nilai-nilai keislaman di dalamnya. Namun demikian sebagai
52
sekolah yang berada di bawah naungan Dinas Pendidikan, mereka harus mengikuti dan
melaksanakan aturan-aturan Dinas Pendidikan setempat dalam hal pendidikan siswa-
siswinya baik secara formal maupun non formal. Ketiga sekolah berlatar belakang islam di Kota
Pasuruan ini memberikan karakter islami yang lebih kental dibandingkan dengan sekolah-sekolah
reguler lainnya, namun mereka tidak melupakan penanaman karakter-karakter lain yang
mengacu pada kecintaannya kepada Negara Indonesia sehingga akan menumbuhkan
semangat berkebangsaan.

ANALYSIS / DISCUSSION
Mengacu pada definisi pendidikan karakter sebagaimana yang telah dirumuskan oleh
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, pendidikan karakter tidak hanya
mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, akan tetapi lebih dari itu sehingga
sekolah dalam mewujudkan pendidikan karakter harus menanamkan kebiasaan (habituation)
tentang hal-hal mana yang benar dan baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif)
tentang mana yang benar dan mana yang tidak benar, peserta didik juga mampu merasakan
(afektif) dan biasa melakukan (psikomotor) nilai-nilai yang baik. Pendidikan nilai di sekolah
harus dilaksanakan melalui kajian dan pengembangan kurikulum yang sedang berlaku
dan dilaksanakan secara berkesinambungan, yaitu mulai dari TK, SD, SMP, SMA, SMK bahkan
sampai perguruan tinggi. Nilai semangat kebangsaan adalah cara berpikir,bertindak dan
wawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan
kelompoknya. Nilai cinta tanah air adalah cara berpikir,bersikap dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa,
lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi dan politik bangsanya (Kemdikbud, 2011).

CONCLUSION
Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terdapat komitmen pada ketiga pimpinan sekolah
yang berlatar belakang Islam di Kota Pasuruan untuk melaksanakan pendidikan karakter
semangat kebangsaan dan cinta tanah air. Telah dilakukan analisis konteks untuk
menetapkan nilai-nilai dan indikator capaian dalam prosedur implementasi pendidikan
karakter tersebut. Kendati demikian, penyediaan sarana prasarana yang menunjang masih sangat
minim, evaluasi dan tindak lanjut keberhasilan pendidikan karakter juga masih belum
dilaksanakan. Hal ini menyebabkan nilai-nilai semangat kebangsaan dan cinta tanah air masih
belum membudaya di sekolah-sekolah tersebut.

RECOMMENDATIONS
Melaksanakan analisis konteks untuk menetapkan sumberdaya dan sarana yang
diperlakukan nilai-nilai dan indikator yang dikembangkan prosedur penilaian
keberhasilan.

JOURNAL 16

IDENTITY
53
Jurnal Kriminologi
JOURNAL :
ALAT UKUR TINGKAT RADIKALISME BERDASARKAN PENILAIAN
TITTLE :
KEPRIBADIAN
AUTHOR : Hendro Wicaksono, Mohammad Kemal Dermawan
REVIEWER IDENTITY : ex: Becce, (Mahasiswa S1 Psikologi, Universitas Bosowa)

THE ABSTRACT
Penulisan ini berupaya untuk menjelaskan suatu alat ukur yang bisa dipergunakan untuk menilai
tingkat radikalisme seseorang. Selama ini belum ada gambaran yang dapat menjelaskan bagaimana
cara kita untuk bisa menilai radikalisme dari individu. Alat ukur ini akan dibuat berdasarkan
penilaian kepribadian secara ilmiah yang sudah dikembangkan oleh para pakar telah yang
memetakan berbagai ciri dan sifat dari kepribadian yang dimiliki oleh manusia. Dalam prosesnya,
penulis akan mencoba mengambil serta menentukan beberapa variable yang dianggap tepat dan
sesuai untuk dapat melakukan penilaian kepribadian perorangan secara sederhana sehingga dapat
dikembangkan menjadi alat ukur yang efektif untuk mengukur tingkat radikalisme yang akurat. Cara
kerja alat ukur ini dibuat sederhana agar kita mudah untuk mengoperasikannya. Alat ukur ini dibuat
sebagai usaha untuk dapat menentukan seberapa radikal pemahaman yang dimiliki oleh seseorang
karena keyakinan tersebut kenyataannya dapat disembunyikan ketika sedang menjalin interaksi
dengan masyarakat di lingkungannya. Tindakan ini sangat penting diketahui sejak dini guna dapat
menentukan upaya pencegahan agar pemahaman tersebut tidak berkembang menjadi aksi
kekerasan yang disebut terorisme karena telah menimbulkan kerusakan dan kerugian baik material
ataupun personel. Dengan mengetahui lebih dini tingkat radikalisme seseorang maka kita dapat
menekannya melalui berbagai upaya agar radikalisme yang dimilikinya tidak berkembang atau
bahkan tingkat radikalisme dapat diturunkan sehingga tidak berpotensi menimbulkan dampak
merugikan bagi lingkungan yang ada di sekitarnya.

THE INTRODUCTION AND


LITERATURE REVIEW
Untuk dapat mengukur tingkat radikalisme seseorang membutuhkan alat penilaian yang seseuai
dan dianggap bisa mewakili gambaran dalam dirinya yang dapat menjelaskan seberapa besar
paham radikal yang dimilikinya. Pemahaman radikal dapat dipicu oleh berbagai macam penyebab.
Secara umum penyebab radikalisme tersebut akan membuat seseorang memiliki keinginan untuk
melawan dan memberontak terhadap situasi yang menekannya. Berbagai penyebab radikalisme
tersebut antara lain, Faktor Internal dan eksternal.
Faktor pemicu dari dalam, antara lain meliputi; Dorongan dari lingkungan, Lemahnya
perekonomian. Faktor pemicu dari luar, antara lain meliputi; Penetrasi ideology, Kondisi yang
dialaminya.
Radikalisme dapat tumbuh karena beberapa faktor yang saling terkait dan mendukung sehingga
menyebabkan pemahamannya berubah. Untuk itu perlu dilakukan penelitian agar dapat
mengetahui faktor apa yang dominan dan dapat mewakili penyebab dari timbulnya pemahaman
radikal tersebut. Hal ini sangat menarik untuk dibahas, mengingat kemungkinan banyak pertanyaan
yang diajukan terkait masalah tersebut. Dalam penelitian ini, yang akan digunakan untuk bisa
menilai seseorang berdasarkan kepribadian yang dimiliki oleh tiap individu.

METHODOLOGY

54
Berdasarkan pendapat dari para ahli psikologi maka penulis berpendapat bahwa kepribadian dapat
dinilai berdasarkan penilaian dari luar dan penilaian dari dalam. Masing-masing penilaian terdiri
dari aspek-aspek pendukung berupa sifat individu yang stabil dalam waktu lama dihadapkan pada
berbagai situasi yang berbeda. Penilaian kepribadian ini diambil dari respon individu tersebut
setelah melakukan interaksi dengan lingkungna fisik dan sosialnya. Penilaian dari dalam dan luar
dapat dilakukan melalui survei, pengamatan serta wawancara terhadap individu. Penilaian dari
dalam berupa pikiran, opini dan keinginan. Sedangkan penilaian dari luar berupa tingkah laku,
emosi dan sikap. Selanjutnya kedua hasil penilaian ini digabungkan menjadi satu penilaian utuh
yang merupakan hasil akhir dari penilaian kepribadian seseorang.
RESULTS/FINDINGS
1. Reserved (Pendiam) : Orang-orang tipe ini kepribadiannya introvert (kurang terbuka / tertutup)
pada orang lain namun memiliki neuroticism (stabilitas emosi) yang baik. Biasanya dalam bergaul,
extraversion (minat pada fenomena sosial) sangat rendah namun tetap ramah pada orang lain dan
tidak mudah dalam agreeableness (kesepakatan). Openness (keterbukaan) yang dimiliki sangat
kurang namun memiliki conscientiousness (sifat berhati-hati) yang tinggi sehingga cenderung
sangat teliti dalam menilai suatu hal. Individu ini lebih banyak mengamati pada lingkungan
sekitarnya dan jarang menyatakan pendapatnya pada orang lain.
2. Average (Rata-Rata) : Sementara orang-orang di tipe ini memiliki extraversion (minat pada
fenomena sosial) yang tinggi namun openness (keterbukaan) sangat rendah. Tetapi skor sangat baik
untuk agreeableness (mudah bersepakat) dan conscientiousness (sifat berhati-hati). Individu
seperti ini memiliki kelebihan dirinya cenderung ekstrovert (terbuka) dan memiliki nilai neuroticism
(stabilitas emosi) sangat tinggi. Hal ini membuatnya tidak berani mengambil resiko dan cenderung
mengambil Langkah aman dalam menyelesaikan suatu masalah.
3. Role Model (Panutan) : Mereka dengan kepribadian ini merupakan pemimpin yang alami karena
cenderung ekstrovert (terbuka) sehingga mudah beradaptasi dengan lingkungan namun
kelemahannya memiliki neuroticism (stabilitas emosi) yang rendah. Mereka umumnya memiliki
openness (keterbukaan) yang baik sehingga diterima lingkungan dan tabiatnya selalu terkendali
karena conscientiousness (sifat berhati-hati) sangat tinggi. Mereka memiliki kelebihan mudah
dalam bersosialisasi mengingat extraversion (minat pada fenomena sosial) baik sehingga
membuatnya mudah dalam membuat perjanjian karena memiliki agreeableness (kesepakatan)
sangat baik. Pribadi ini dianggap menarik dan selalu dikagumi karena mampu menjadi contoh bagi
orang disekitarnya.
4. Self Centered (Egois) : Pemilik tipe kepribadian ini biasanya mempunyai neuroticism (stabilitas
emosi) yang rendah tetapi perhatiannya pada extraversion (minat pada fenomena sosial) sangat
baik. Dirinya cenderung introvert (tertutup) sehingga membuatnya sulit dalam membuat
agreeableness (bersepakat) dengan orang lain. Secara umum, karena kurang dalam openness
(keterbukaan) membuatnya rendah dalam conscientiousness (sifat berhati-hati). Individu seperti
ini lebih mengutamakan kepentingan sendiri dan cenderung mengabaikan pendapat dari orang lain.

ANALYSIS / DISCUSSION
3. Penilaian dari luar : a. Tingkah laku merupakan Tindakan atau perilaku suatu organisme
yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari (Ribert Kwik, 1974). Jadi secara umum
tingkah laku manusia pada hakekatnya adalah proses interaksi individu dengan lingkungan
sebagai maninvestasi hayati bahwa dia adalah mahluk hidup.

55
4. Penilaian dari dalam : a. Pikiran merupakan gagasan dan proses mental untuk
merepresentasikan dunia sebagai model dan memberikan perlakuan terhadapnya secara
efektif sesuai dengan tujuan, rencana dan keinginan. Berpikir secara realistik (Floyd L. Ruch,
1976).

CONCLUSION
Penilaian kepribadian dapat dilakukan dari luar yaitu melalui 3 komponen antara lain tingkah laku,
emosi dan sikap. Sedangkan penilaian kepribadian dari dalam bisa dilakukan dengan cara mengukur
pikiran, opini dan kebutuhannya sehingga dapat diketahui seberapa besar tingkat radikalisme yang
dimiliki oleh seseorang. Kedua penilaian tersebut (dari luar dan dari dalam) tidak dapat berdiri
sendiri. Keduanya harus diintegrasikan sehingga diperoleh gambaran yang utuh berupa hasil
penilaian dari dalam dan luar. Selanjutnya hasil penilaian dari dalam dan luar tersebut dapat
digunakan untuk menentukan tipe kepribadian melalui pendekatan SARR (Self Centered, Average,
Reserved dan Role Model) yang mewakili posisi dari orang tersebut dalam organisasi kelompok
radikal yang diikutinya. Hal ini akan sangat membantu dalam melakukan profiling terhadap
keberadaan individu tersebut dalam kelompok dan interaksinya dengan masyarakat umum.

JOURNAL 17

IDENTITY
JOURNAL : Experientia
MENGKAJI SEJUMLAH KEMUNGKINAN PENYEBAB TINDAK
TITTLE :
TERORISME: KAJIAN SOSIO-KLINIS
AUTHOR : Michael Seno Rahardanto
REVIEWER IDENTITY : Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

THE ABSTRACT
“Terorisme” merupakan sebuah fenomena yang selama satu dekade terakhir ini berulangkali terjadi
di Indonesia. Acapkali, tindak terorisme dikaitkan dengan unsur radikalisme dalam pemaknaan
terhadap ajaran agama. Pemberantasan terorisme dipersulit karena adanya sejumlah faktor yang
melatarbelakangi munculnya aksi terorisme, seperti persepsi ketidakadilan distributif, prosedural,
interaksional; pemaknaan terhadap ayat-ayat kitab suci yang dipersepsikan mendukung
radikalisme; polarisasi ingroup-outgroup yang semakin besar; adanya bias heuristik yang dialami
para pelaku tindak terorisme; indoktrinasi dari lingkungan, dan kekecewaan terhadap praktik
sistem demokrasi di Indonesia. Faktor-faktor ini saling jalin-menjalin sehingga menjadikan tindak
terorisme seolah memiliki banyak ranting dan cabang yang menyulitkan pemberantasan tindak
tersebut. Pemberantasan terorisme dengan cara inkapasitasi langsung terhadap para pelaku
terorisme tidak akan efektif bila tidak dibarengi dengan tindakan diplomatis-humanistis, yakni
menyasar akar sosiokultural yang melatarbelakangi terorisme. Psikologi, sebagai suatu ilmu,
memiliki tanggungjawab untuk mengeksplorasi asal-muasal terorisme dan mencari solusi yang
aplikatif dan relevan.

56
THE INTRODUCTION AND
LITERATURE REVIEW
Fenomena terorisme di Indonesia merupakan sebuah fenomena yang merebak dengan cukup
drastis selama satu dekade terakhir. Maraknya kasus terorisme di Indonesia bisa ditelusuri sejak
kasus Bom Malam Natal tahun 2000, Bom Bali I tahun 2002, hingga penembakan terhadap pos polisi
di Solo, yang menewaskan Bripka Dwi Data Subekti (“Penembakan Pos Polisi Singosaren Solo”,
2012). Terorisme didefinisikan sebagai “kekerasan yang bermuatan politis, yang dilakukan oleh
individu, kelompok, atau negara, untuk menimbulkan perasaan terteror dan tidak berdaya pada
suatu populasi, dengan tujuan mempengaruhi suatu proses pengambilan keputusan atau
mengubah perilaku” (Moghaddam, 2005). Contoh definisi ini dapat diterapkan kepada tindak
terorisme secara umum. Meski demikian, penulis menyadari bahwa pendefinisian “terorisme”
sangatlah dipengaruhi oleh siapa yang membuat definisi tersebut. Suatu pihak yang disebut
“teroris”, oleh pihak lainnya bisa jadi disebut “pejuang kemerdekaan” (one person’s terrorist is
another person’s freedom fighter) (Galtung, 1987). Dalam kasus perang di Afganistan, contohnya,
masing-masing pihak—tentara Amerika dan militan Al-Qaeda—mengklaim bahwa pihak lawan
adalah teroris, sedangkan pihaknya sendiri adalah pejuang dalam suatu misi yang suci.
Penting dicermati bahwa riset-riset yang menyusun profil para teroris tidak menemukan bukti
mengenai adanya kaitan antara psikopatologi, kurangnya inteligensi, kemiskinan, dan faktor-faktor
kepribadian patologis dengan keputusan melakukan aksi terorisme, termasuk pada pelaku bom
bunuh diri (Ruby, 2002; Atran, 2004; Moghaddam, 2005; Ehrlich & Liu, 2002). Satu-satunya faktor
yang seragam adalah demografis—artinya, para pelaku tindak terorisme cenderung mengelompok
dari suatu lokasi tertentu (misalnya daerah rawan konflik di Timur Tengah atau Irlandia Utara)
(Ruby, 2002). Tentu saja, penulis tidak memungkiri bahwa kepribadian (atau tepatnya, gangguan
kepribadian) bisa jadi merupakan faktor pencetus tindak terorisme (seperti kasus Timothy
McVeigh, yang dinyatakan mengalami skizofrenia paranoid—lihat Ruby, 2002), namun faktor
psikopatologi semacam itu lebih bersifat insidental, alih-alih suatu fenomena global. Terorisme
tidak semata-mata disebabkan oleh faktor kepribadian saja (atau faktor tunggal apapun, termasuk
kemiskinan atau tingkat pendidikan), namun merupakan jalinan dari beragam variabel politik,
kultural, ekonomi, sosioreligiusitas, demografis dan faktor-faktor psikologis. Dalam artikel ini,
penulis mencoba memetakan sejumlah faktor yang, berdasarkan penelitian empirik, berpotensi
melatarbelakangi kasus-kasus terorisme (secara umum) Penulis secara pribadi lebih menyukai
kerangka berpikir Johan Galtung (1987) dalam mendefinisikan fenomena-fenomena sosial,
termasuk terorisme. Galtung berpendapat bahwa fenomena sosial memiliki pola “siapa melakukan
apa kepada siapa, kapan, dimana, bagaimana, dan mengapa” (a study of who does what to whom,
where, when, how,and why). Bila kata “does” diganti “says”, maka studi yang dimaksud adalah ilmu
komunikasi, sedangkan bila kata “does” diganti “thinks”, dan “to” diganti “of”, maka studi yang
dimaksud adalah psikologi (dalam skala mikro). Pola ini juga bisa diterapkan untuk menganalisis
kasus-kasus terorisme.

METHODOLOGY
Kualitatif deskriptif

57
RESULTS/FINDINGS
Persepsi terhadap ketidakadilan distributif, prosedural, dan interaksional. Greenberg (dalam Ancok,
2008) mengemukakan adanya tiga jenis persepsi keadilan, yakni keadilan distributif, prosedural,
dan interaksional (lihat pula Moghaddam, 2005). Keadilan distributif menyangkut pembagian
sumberdaya secara adil, keadilan prosedural berkaitan dengan pemberian hak yang setara untuk
mengambil keputusan dalam pengelolaan sumberdaya, dan keadilan interaksional berkaitan
dengan penerapan interaksi secara adil, tanpa pilih kasih (Moghaddam, 2005; Ancok, 2008). Dalam
esainya mengenai radikalisme dalam agama, Djamaludin Ancok (2008) berpendapat bahwa
persepsi terhadap ketidakadilan merupakan faktor penting yang berkorelasi dengan radikalisme
yang berujung ke terorisme.
Pemaknaan terhadap ayat-ayat kitab suci yang dipersepsikan mendukung radikalisme. Komunitas
yang mendukung atau menyuburkan persepsi radikalisme. Polarisasi ingroup-outgroup. Bias
heuristik yang dialami para pelaku tindak terorisme. Kekecewaan terhadap praktik sistem
demokrasi.

ANALYSIS / DISCUSSION
Dalam artikel singkat ini, penulis belum membahas ranah solusi. Penulis masih berfokus ke ranah
teoretik, khususnya menyangkut faktor-faktor penyebab terorisme. Meski belum memasuki ranah
solusi, penulis memiliki keyakinan bahwa intervensi terhadap terorisme seyogyanya dilandaskan
pada intervensi terhadap faktor “why” (pemahaman mengenai akar-akar penyebab terorisme),
bukan sematamata inkapasitasi atau pemusnahan terhadap faktor “who”. Sejumlah faktor “why”
yang dipaparkan penulis dalam artikel ini tidak berdiri sendiri-sendiri sebagai faktor tunggal,
melainkan lebih bersifat jalin-menjalin dalam membentuk suatu sikap yang akhirnya mengarah ke
perilaku terorisme.
Freud menyatakan bahwa manusia memiliki insting untuk hidup atau untuk mengasihi kehidupan
(yang dinamakan Eros) dan insting untuk mati atau untuk merusak (yang dinamakan Thanatos)
(Grossman, 1995). Sepanjang sejarah kemanusiaan, naluri Eros (cinta) dan Thanatos (kematian)
dalam diri manusia telah berperang (Grossman, 1995). Sesungguhnya, secara naluriah, manusia
adalah makhluk Eros (cinta) yang menyukai perdamaian dan membenci konflik. Sudah saatnya
Thanatos diredam dan Eros dipulihkan. Sudah saatnya manusia hidup bergandengan tangan dalam
kasih sayang dan tidak lagi saling membenci, dan tugas para ahli psikologi—entah praktisi atau
ilmuwan—adalah bahu-membahu bersama para agamawan, aparat keamanan, dan masyarakat,
dalam mewujudkan impian yang indah tersebut.

CONCLUSION
Psikologi, sebagai suatu ilmu, memiliki peranan sangat penting dalam upaya meredam tindak
terorisme dan mempromosikan kedamaian di bumi tercinta ini. Alasannya, terorisme dilakukan
oleh orang-orang yang memiliki seperangkat nilai, norma, dan persepsi tertentu, dan sebagaimana
kita ketahui, nilai, norma, dan persepsi adalah objek studi psikologi (Moghaddam, 2005). Demikian
pula, para korban tindak terorisme berpotensi mengalami gangguan stres pascatrauma; inipun
merupakan bagian kajian psikologi. Upaya untuk mengatasi persepsi ketidakadilan dan persepsi
radikalisme keagamaan—yang melandasi sebagian besar aksi terorisme—jauh lebih efektif dalam
jangka panjang, dan hal ini merupakan tugas para ahli psikologi (Moghaddam, 2005). Upaya
mengatasi kekerasan dengan kekerasan, yang selama ini sering dijadikan satu-satunya cara untuk
melawan terorisme, justru menimbulkan pesan bahwa satu-satunya cara membalas tindak agresi

58
adalah dengan agresi pula. Bahkan, pada satu titik, bisa jadi “jin kekerasan tersebut tidak bisa lagi
dikembalikan ke botolnya” (Grossman, 1995: 330). Hal tersebut telah terjadi di Roma zaman
dahulu. Hal tersebut telah terjadi di Yugoslavia pada zaman modern. Negara-negara atau kerajaan-
kerajaan tersebut—yang sarat dengan sejarah panjang peperangan, dominasi, dan agresi—tidak
lagi eksis di muka Bumi.

JOURNAL 18

IDENTITY
Jurnal Psikologi Integratif Prodi Psikologi UIN Sunan Kalijaga Vol.
JOURNAL :
8, Nomor 1, 2020 Halaman 1-28
Pengakuan Bahwa Aksi Kelompok-Sendiri Bisa Mengancam
KelompokLain (Acknowledgements of Threatening Ingroup
TITTLE :
Actions) dan Perannya dalam Meredam Ekstremisme
(Extremism) dan Radikalisme Kekerasan (Violent Radicalism)
AUTHOR : Ali Mashuri , Esti Zaduqisti , Sukma Nurmala
Ali Mashuri (Jurusan Psikologi Universitas Brawijaya Malang),
REVIEWER IDENTITY : Esti zaduqisti (Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah), Sukma
Nurmala (Jurusan Psikologi Universitas Brawijaya Malang).

THE ABSTRACT
Penelitian ini bertujuan untuk menguji mekanisme psikologis mengapa keterbukaan untuk
mengakui tindakan kelompok-sendiri (ingroup) yang bisa mengancam eksistensi kelompok-lain
(outgroup), yang disingkat dengan istilah acknowledgements of threatening ingroup actions,
berperan dalam meredam permasalahan esktremisme (extremism) dan radikalisme kekerasan
(violent radicalism) yang mengatasnamakan Islam di Indonesia. Survei korelasional yang melibatkan
404 mahasiswa Muslim dari berbagai universitas di Indonesia dalam penelitian ini menemukan
bahwa acknowledgements of threatening ingroup actions berkontribusi menangkal esktremisme
dan radikalisme kekerasan karena perannya dalam meningkatkan sikap kritis terhadap kelompok-
sendiri atas pelanggaran terhadap kelompok lain (ingroup wrongdoings). Sikap kritis ini mencakup
penerimaan atas pelanggaran terhadap kelompok-lain (acceptance of ingroup wrongdoings),
tanggungjawab atas pelanggaran terhadap kelompok-lain (ingroup responsibility), dan amarah atas
aksi pelanggaran tersebut (anger against ingroup actions). Temuan-temuan empiris ini
mengimplikasikan bahwa acknowledgements of threatening ingroup actions memfasilitasi kognisi
dan emosi rekonsiliatif Muslim, yang selanjutnya berperan dalam meredam ekstremisme dan
radikalisme kekerasan dalam hubungan mereka dengan non-Muslim. Implikasi teoretis dan praktis
dari temuan-temuan empiris ini dielaborasi dalam bagian diskusi, yang juga menyoroti sejumlah
kelemahan atau kekurangan dalam penelitian ini.

THE INTRODUCTION AND


LITERATURE REVIEW

59
Indonesia adalah negara plural. Selain Islam, negara mengakui secara formal eksistensi lima agama
lain, yaitu Kristen Protestan, Kristen Katolik, Budha, Hindu, dan Konfusianisme (Parker, 2017).
Namun sangat disayangkan sejumlah aksi terorisme yang mengatasnamakan Islam di Indonesia
berpotensi mengancam eksistensi agamaagama lain, mulai dari bom Bali di tahun 2002 (Tan, 2003)
sampai dengan tragedi bom bunuh-diri di Surabaya tahun 2018 yang menyasar gereja (Schulze,
2018). Terorisme adalah masalah nasional yang secara serius bisa mengancam kelangsungan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang didirikan atas dasar pengakuan terhadap
pluralisme beragama. Menemukan solusi yang efektif untuk meredam terorisme dengan demikian
merupakan langkah penelitian dan terapan sosial yang sangat penting dan relevan di Indonesia.
Radikalisme agama dan terorisme secara empiris tidak terkait secara langsung. Seorang teroris
kemungkinan besar adalah seorang radikal. Meskipun demikian, tidak semua orang radikal
otomatis adalah seorang teroris (Sugiono, 2011). Terlepas dari argumentasi ini, terdapat
kesepakatan akademis bahwa radikalisme adalah pemicu terbesar dibandingkan dengan faktor-
faktor lain dalam memantik terorisme (Lombardi dkk., 2014).
Di Indonesia, sebagai respon terhadap trend aksi radikalisme dan terorisme yang
mengatasnamakan Islam, sejumlah penelitian psikologi telah dilakukan dengan tujuan
mengidentifikasi faktor-faktor pemantik radikalisme di kalangan sejumlah Muslim. Sebagai contoh,
Muluk, Sumaktoyo, dan Ruth (2012) melaporkan bahwa dukungan atas penerapan syariat Islam
dan fundamentalisme Islam adalah variabelvariabel yang memprediksi radikalisme dalam bentuk
dukungan terhadap jihad yang membenarkan penggunaan kekerasan. Sementara itu, penelitian
oleh Milla, Faturrochman, dan Ancok (2013) menemukan peran pemimpin kelompokkelompok
radikal sebagai pemantik radikalisme. Faktor lain yang ikut berkontribusi adalah faktor situasional,
yaitu persepsi-persepsi di kalangan Muslim bahwa pihak Barat telah menginvasi negara-negara
Muslim (Putra & Sukabdi, 2013), serta persepsi bahwa agama-agama lain telah memperlakukan
Muslim secara tidak adil (Yustisia, Shadiqi, Milla, & Muluk, 2020). Penelitian lain menemukan peran
jaringan sosial dalam proses radikalisasi sebagian Muslim di Indonesia (Hakim & Mujahidah, 2020).
salah satu kunci sukses untuk menangani radikalisme Islam adalah penanaman sikap positif dari
tahanan teroris dalam menerima dan menjalani program deradikalisasi. Faktor lain adalah
pelatihan ekspresi emosi dan fleksibilitas kognitif dalam program deradikalisasi tahanan teroris.
Dengan pelatihan ini, tahanan teroris mampu lebih terbuka dan menerima demokrasi dan
sebaliknya, bersikap anti atau menolak sistem negara khilafah (Muluk, Umam, & Milla, 2019).
Dalam penelitian ini, kami mengajukan gagasan yang mengandung sebuah kebaruan bila
dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya baik di Indonesia maupun di luar negeri.
Kebaruan ini terkait dengan peran pengakuan bahwa aksi Muslim bisa mengancam eksistensi non-
Muslim di Indonesia (acknowledgement of threatening ingroup actions) yang belum pernah diuji
perannya secara empiris dalam mengatasi masalah radikalisme Islam.

METHODOLOGY
Sebanyak 404 Mahasiswa muslim dari berbagai universitas di Indonesia (179 laki-laki, 225
perempuan; 320 etnis Jawa, 84 etnis non-Jawa; 253 jurusan noneksakta, 151 jurusan eksakta;
Musia = 20,78, SDusia = 1,99) Sampel penelitian ini diperoleh melalui convenient sampling sebagai
bentuk non-random sampling atas dasar akses yang dimiliki oleh peneliti. Sebanyak 8 subjek
penelitian menyatakan diri sebagai mahasiswa non-Muslim sehingga dieliminasi dalam analisis
Metode penelitian yang diterapkan adalah survei korelasional dimana semua variabel yang terkait
diukur melalui skala psikologi.

60
Penelitian dilakukan secara daring dengan menyebarluaskan angket atau kuesioner berisi sejumlah
pertanyaan. Subjek penelitian diminta untuk menjawab setiap pertanyaan dengan memilih salah
satu di antara lima opsi jawaban yang bergerak dari 1 (sangat tidak setuju) sampai dengan 7 (sangat
setuju). Skor untuk masing masing variabel dalam penelitian ini dihitung atas dasar nilai rata-rata
untuk semua pertanyaan dalam masing-masing variabel.
RESULTS/FINDINGS
acknowledgements of threatening ingroup actions secara signifikan memprediksi ke arah positif
acceptance of ingroup wrongdoings (β = .41, SE = 0.05, p < .001), ingroup responsibility (β = .37, SE
= 0.05, p < .001), anger against ingroup actions (β = .29, SE = 0.06, p < .001), dan empathetic
collective angst (β = .49, SE = 0.05, p < .001). Hasil-hasil ini mengkonfirmasi Hipotesis 1. Peran
acknowledgements of threatening ingroup actions dalam meredam atau memprediksi ke arah
negatif ekstremisme melalui acceptance of ingroup wrongdoings (Indirect effect: β = -.09, SE = 0.03,
p = .012) dan empathetic collective angst (Indirect effect: β = .13, SE = 0.03, p < .015) adalah
signifikan, tetapi tidak signifikan melalui ingroup responsibility (Indirect effect: β = -.05, SE = 0.03,
p = .068) dan anger against ingroup actions (Indirect effect: β = -.02, SE = 0.02, p = .437). Hipotesis
2 dengan demikian terbukti secara parsial.
Hipotesis 3 juga terbukti secara parsial karena ekstremisme secara signifikan memediasi peran
acceptance of ingroup wrongdoings (Indirect effect: β = -.12, SE = 0.05, p = .013) dan empathetic
collective angst (Indirect effect: β = .15, SE = 0.04, p < .001) dalam meredam radikalisme kekerasan,
tetapi tidak signifikan dalam memediasi peran ingroup responsibility (Indirect effect: β = -.08, SE =
0.05, p = .065) dan anger (Indirect effect: β = -.03, SE = 0.04, p = .436) dalam meredam radikalisme
kekerasan.

ANALYSIS / DISCUSSION
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji peran acknowledgements of threatening ingroup
actions dalam meredam ekstremisme dan radikalisme kekerasan, khususnya di kalangan
mahasiswa Muslim. Temuan dalam Studi 1 menunjukkan, mendukung hipotesis yang ditetapkan
(Hipotesis 1), bahwa acknowledgements of threatening ingroup actions secara signifikan bisa
memprediksi secara positif acceptance of ingroup wrongdoings, ingroup responsibility, anger
against ingroup actions, dan empathetic collective angst. Hipotesis 2 terbukti secara parsial dimana
hubungan antara acknowledgements of threatening ingroup actions dan ekstremisme secara
signifikan dimediasi oleh acceptance of ingroup wrongdoings dan empathetic collective angst,
tetapi secara tidak signifikan dimediasi oleh ingroup responsibility dan anger against ingroup
actions. Hipotesis 3 juga terbukti secara parsial dimana ekstremisme secara signifikan memediasi
hubungan antara acceptance of ingroup wrongdoings dan empathetic collective angst dengan
radikalisme kekerasan tetapi secara tidak signifikan memediasi hubungan antara ingroup
responsibility dan anger against ingroup actions dengan radikalisme kekerasan.
Literatur dalam psikologi sosial selama ini memfokuskan pada konsep
ancaman antarkelompok (intergroup threat) yang bersifat inward, merefleksikan sejauh mana
kelompok-lain (outgroup) telah, sedang, ataupaun akan memberi ancaman pada kelompok-sendiri
(ingroup). Ancaman antarkelompok yang bersifat inward ini dioperasionalisasikan baik secara
realistik atau objektif, yang menjadi fokus kajian dari realistic conflict theory (RCT; Campbell, 1965)
atau disebut juga dengan realistic group conflict theory (RGCT; Jackson, 1993), maupun secara
perseptual atau subjektif, yang menjadi fokus kajian dari integrated threat theory of prejudice (ITT;
Stephan & Renfro, 2002). Ancaman antarkelompok yang bersifat inward telah ditemukan menjadi

61
pemantik konflik kolektif (Riek, Mania, & Gaertner, 2006). Dalam penelitian ini, berbeda dengan
literatur psikologi sosial sebelumnya, ancaman antar kelompok dioperasionalisasikan secara
outward, merefleksikan kesadaran dan pengakuan bahwa aksi-aksi ingroup bisa memberi ancaman
terhadap outgroup.

CONCLUSION
Dalam penelitian ini, acknowledgements of threatening ingroup actions terdiri dari tiga dimensi
atau faktor, yaitu symbolic annihilation (sejauh mana anggota ingroup menyadari dan mengakui
bahwa aksi-aksi kelompok mereka bisa membahayakan keberadaan identitas, budaya, atau norma-
norma outgroup), realistic annihilation (sejauh mana anggota ingroup menyadari dan mengakui
bahwa aksi-aksi kelompok mereka bisa membahayakan keberadaan fisik ataupun kekuasaan
outgroup), dan past victimisation (sejauh mana anggota ingroup memikirkan tentang derita yang
dialami oleh outgroup akibat aksi-aksi kelompok mereka). Terkait dengan dimensi terakhir, yaitu
past victimisation, penelitian sebelumnya oleh Green dkk. (2017) menemukan bahwa pengakuan
anggota ingroup bahwa aksi-aksi kelompok mereka telah mengakibatkan penderitaan kepada
outgroup (acknowledgements of outgroup suffering) berkontribusi dalam meningkatkan
perdamaian antarkelompok karena pengakuan tersebut mendorong ingroup untuk bersedia
memaafkan kesalahankesalahan outgroup (forgiveness) dan merasa bersalah atas
pelanggaranpelanggaran ingroup terhadap outgroup (feelings of guilt). Hasil penelitian lain
(Andrighetto, Halabi, & Nadler, 2018) yang relevan meskipun dengan arah fokus yang berkebalikan
juga menemukan bahwa pengakuan dari outgroup bahwa aksi-aksi kelompok mereka telah
memberikan penderitaan bagi ingroup mendorong ingroup untuk mempercayai pemimpin
outgroup (trust towards outgroup leaders) dan kemauan untuk memaafkan kesalahan-kesalahan
outgroup (willingness to forgive outgroup members).

RECOMMENDATIONS
merekrut sampel non-mahaiswa, dengan tujuan untuk menguji sejauh mana hasil-hasil empiris
dalam penelitian ini bersifat konsisten atau bisa digeneralisasikan pada sampel dengan karakteristik
yang berbeda dan lebih beragam.

STRENGTHS
hasil-hasil empiris dalam penelitian ini bersifat konsisten

WEAKNESSES
Kelemahan pertama terkait dengan sampel penelitian yang terbatas pada mahasiswa. isu
conceptual replication. Radikalisme tidak sebatas terkait dengan Islam atau Muslim. Radikalisme
juga muncul sebagai fenomena sosial di kalangan pemeluk agama lain selain Islam.

62
JOURNAL 19

IDENTITY
JOURNAL : Jurnal Psikologi, Volume 17 Nomor 1, Juni 2021
Penggunaan Media Sosial Dan Pemahaman Tentang Radikalisme
TITTLE :
Di Kalangan Pelajar Muslim
Amirah Diniaty, Susilawati Susilawati, Zarkasih Zarkasih, Rian
AUTHOR :
Vebrianto
REVIEWER IDENTITY : ex: Becce, (Mahasiswa S1 Psikologi, Universitas Bosowa)

THE ABSTRACT
Media sosial merupakan salah satu sarana penyebarluasan paham radikal terutama bagi generasi
muda. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap penggunaan media sosial oleh pelajar musllim
di tingkat sekolah menangah atas, dan kaitannya dengan pemahaman mereka tentang radikalisme.
Jenis penelitian ini adalah survey terhadap 316 orang pelajar dari 5 sekolah menengah atas yang
ada di kecamatan Tampan Pekanbaru. Sampel penelitian ini diambil secara random dengan teknik
purposive sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan angket dalam bentuk google form
yang berisi pertanyaan tentang; jenis dan konten media sosial yang diakses, intensitas dan upaya
yang dilakukan pelajar untuk menggunakan media sosial. Pemahaman tentang radikalisme dilihat
dari jawaban responden terhadap item-item yang diklasifikasi menjadi skala likert. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pelajar yang intensitas akses media sosialnya rendah, cendrung kurang
memahami tentang radikalisme dan bahayanya. Jika dilihat dari mean jawaban responden yang
intensitas penggunaan media sosialnya rendah, ternyata tidak paham tentang radikalisme. Artinya
semakin mereka sering mengakses media sosial, semakin sering mereka mendapatkan informasi
tentang radikalisme. Perlu ada penelitian yang lebih detil apa saja informasi tentang radikalisme
yang mereka dapatkan di media sosial tersebut.

THE INTRODUCTION AND


LITERATURE REVIEW
Pelajar tingkat sekolah menengah adalah aset bangsa yang menurut sumber BPS, tahun 2011 ada
44 juta anak umur 10-19 ahun. Merekalah yang akan menjadi bagian dari usia produktif penduduk
Indonesia di tahun 2045 yang diperkirakan berjumlah 70% dari total jumlah penduduk, yang disebut
sebagai generasi emas. Hasil survei Alvara Strategic Research tahun 2014 menjelaskan generasi usia
15-34 tahun sangat tinggi tingkat ketergantungannya pada koneksi internet. Hasil penelitian lain
menunjukkan mengakses media sosial menjadi tujuan mayoritas remaja menggunakan internet
mencapai 64,4% (Pasquala, Sciacca dan Hichy, 2015), terutama dengan menggunakan handphone.
Penelitian yang dilakukan oleh Vebrianto et al (2020) menunjukkan bahwa media sosial
memengaruhi pemahaman beragama mahasiswa; sebanyak 100 orang (40,0%) lebih terpengaruh
oleh twitter dan 99 orang (39,6%) oleh sosial media whatsapp kemudian diikuti oleh media lainnya
youtube dan face book. Dengan interaksi yang sangat sering dan sering seramai 55,2% atau 139
orang yang menggunakan sedangkan yang jarang adalah seramai 89 orang (35,6%) sedangkan
lainnya di bawah 10 persen. Faktanya dampak negatif media sosial juga menjadi media
penyebarluasan tindakan intoleransi, paham radikalisme, terorisme di Indonesia. Radikalisme atau
kekerasan dalam agama dan atas nama agama saat ini cukup mengkhawatirkan (Riyadi, 2016). Hasil
penelitian John Obert Voll tentang jaringan teroris bukan lagi mata rantai terpenting dalam kaitan
63
dengan mentransformasikan politik komunitas muslim di seluruh dunia, melainkan jaringan
intelektual dan pertukaran ideologi melalui media internet (Agus, 2016).
Hasil penelitian Ghifari (2017) menemukan bahwa Kemenkominfo & PBNU memblokir situs 300
dari 900 yang mengandung konten radikalisme di tahun 2011. Pada tahun 2015, Kemenkominfo
memblokiran 22 situs (Islam) yang menyebarkan paham radikalisme. Pemblokiran ini atas
permintaan BNPT dengan 3 kriteria: (1) menggunakan kekerasan dengan mengatasnamakan
agama, (2) takfiri (mengkafirkan orang lain), (3) memaknai jihad secara terbatas. Data BNPT
melansir sejak 2010-2015 ada 814.594 situs serupa yang sudah diblokir (Ghifari, 2017).
Radikalisme merupakan suatu perbuatan penyimpangan yang dilakukan dengan anggapan bahwa
semua tindakan yang dilakukan adalah benar sehingga menyalahkan segala tindakan yang
dilakukan kelompok lain hingga menimbulkan perbuatan anarkis. Nur (2019) menjelaskan bahwa
radikalisme muncul diakibatkan suatu kelompok dengan kondisi ekonomi relatif baik sehingga
mereka terasa dipinggirkan. Selain itu kebencian mereka terhadap prilaku rezim yang berkuasa
menghambat kegiatan sosial mereka. Radikalisme muncul bukan hanya dikarenakan faktor
perekonomian, namun dikarenakan perbedaan ideologi dalam doktrin agama. Sikap radikalisme
muncul dengan mengatasnamakan Islam. Terorisme muncul diakibatkan sikap radikal yang
memuncak sudah menjiwai seorang individu sehingga merusak bahkan membunuh sekelompok
yang dianggap ancaman serta jihad baginya. Anastasia (2018) menjelaskan terorisme dan
radikalisme dapat mengguncang rasa keIndonesiaan yang beragam, tidak toleran dan tidak
menerima terhadap perubahan. Selain itu Hasnah dan Rasyidin (2019) sikap terorisme memasuki
era millennium ketiga, serangkaian peristiwa pemboman situs milik negara Barat telah terjadi, dan
menimbulkan citra negatif dunia Barat terhadap Indonesia.
Terdapat empat ciri utama radikalisme yaitu: (a) gerakan atau paham anti NKRI (b) gerakan atau
paham yang anti pancasila (c) gerakan atau paham yang menyebarkan intoleransi (d) gerakan atau
paham yang mengajak ke tindakan kekerasan (Kartini, 2019). Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan
penggunaan media sosial oleh pelajar muslim dan pemahaman mereka tentang radikalisme. Hasil
penelitian ini menjadi sinyal yang harus diwaspadai orang tua, para pendidik tentang seberapa
mengkhawatirkannya generasi milenial muslim dalam menggunakan internet.

METHODOLOGY
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survei lapangan. Survei
dilakukan dengan menggunakan google form pada responden yaitu pelajar muslim di sekolah
menengah atas berbasis Islam di kota Pekanbaru, dan sekolah menengah umum.
Subjek penelitian ini adalah pelajar muslim berjumlah 316 orang dari 5 sekolah menengah atas
berbasis Islam yang ada di kecamatan Tampan Pekanbaru. Sampel penelitian ini diambil secara
random dengan teknik purposive sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan angket dalam
bentuk google form, data dianalisis secara deskriptif kuantitatif menggunakan software SPSS versi
22 untuk menjelaskan frekuansi dan persentase dari data yang di tampilkan.

64
RESULTS/FINDINGS
Penggunaan Media Sosial oleh Pelajar Muslim 1. Jenis media sosial yang paling banyak di digunakan
pelajar adalah Instagram (34,17%), Whatshap (32,22 %) dan Facebook (31,02%). 2. Intensitas
penggunaan media sosial terlihat dalam tabel 4 bahwa sebagian besar (44%) antara 3-7 jam dalam
sehari. Bahkan ada yang mengakses lebih dari 10 jam dalam sehari (4,7%) dan tampa batas (0,9%).
3. Perangkat dan pulsa untuk mengakses media sosial Hampir semua responden (85,8%) memiliki
sendiri handphone untuk mengakses media sosial. 4. Pemahaman pelajar tentang radikalisme dan
bahayanya masih tergolong rendah terlihat dari dari jawabannya terhadap item-item yang
diklasifikasi. 5. Intensitas Penggunaan Media Sosial dan Pemahaman tentang Radikalisme di
kalangan Pelajar t bahwa jumlah pelajar yang akses media sosialnya rendah lebih banyak kurang
memahami tentang radikalisme dan bahayanya.

ANALYSIS / DISCUSSION
Temuan penelitian memetakan penggunaan media sosial oleh pelajar muslim lebih banyak pada
jenis instagram, whatshapp dan facebook, dengan waktu yang digunakan untuk mengakses
sebagian besar (44%) antara 3-7 jam dalam sehari. Hampir semua responden (70,9%) menggunakan
handphone/smartphone untuk mengakses internet, dan 85,8% memiliki sendiri handphone
tersebut. Untuk dapat mengakses media sosial sebagian dari responden (58, 28%) menggunakan
uang jajan mereka sendiri. Konten yang diakses responden banyak (31%) pada chatting pribadi, dan
akademik (28,2%).
Hasil penelitian lain menunjukkan mengakses media sosial menjadi tujuan mayoritas remaja
menggunakan internet mencapai 64,4% (Pasquala, Sciacca dan Hichy, 2015). Selain itu internet juga
dijadikan sebagai media belajar yang dianggap efektif karena dapat digunakan secara acak
berdasarkan keinginan anak, gagasan yang disajikan sesuai dengan simbol dan grafik, dan dapat
melibatkan interaktivitas siswa yang tinggi (Khairuni, 2016). Young (2004), menjelaskan kebanyak
orang menggunakan internet untuk memperbaiki mood dan melupakan tentang masalah pribadi
mereka. Mereka menggunakan internet untuk menyalurkan perasaan negatif sehingga berharap
lebih baik. Mereka mengemukakan tentang permasalahan pribadi mereka pada media sosial untuk
katarsis yang dapat mengakibatkan timbulnya permasalahan baru.
akses terhadap media sosial memberikan informasi tentang radikalisme. Namun perlu diwaspadai
adanya hoax yang dapat memberikan informasi tidak benar pada pelajar melalui media sosial. Hoax
adalah perbuatan dengan sengaja (penipuan dan kebohongan) yang bertujuan agar targetnya
menerima dan mempercayai informasi yang salah—dalam bentuk tulisan, gambar, dan cerita lisan
yang akhir-akhir ini lebih banyak dalam bentuk berita palsu. Survei Mastel (2017) menjelaskan
bahwa hoax lebih banyak berisi isu sosial politik (91,8%), tentang sara (86,6%) dan kesehatan
(41,2%). Paham radikalisme dapat tergolong dalam isu politik dan sara dapat tersebar berupa hoax,
yang harus diwaspadai oleh pelajar muslim saat mengakses media sosial.Untuk itu perlu
dikembangkan literasi counter radikalisme berbasis media sosial (Farah Noersativa, 2018). Peran
pemerintah diperlukan mengingat pola monitoring jaringan radikal sering menggunakan media
sosial sebagai kendaraannya, sehingga literasi melawan radikalisme berbasis dengan media sosial
menjadi sangat penting.

CONCLUSION

65
Temuan penting penelitian ini adalah bahwa semakin tinggi intensitas remaja mengakses media
sosial, maka akan semakin sering mereka mendapatkan informasi tentang radikalisme. Perlu
diwaspadai informasi yang tidak benar (hoaks) dari media sosial yang diakses. Perlu dibentuk sikap
seorang pelajar muslim yang cerdas dalam mengelola informasi dan menggunakan sosial media
agar terhindar dari berita hoax dan radikalisme. Agama islam mengajarkan pemeluknya untuk
saling menghormati, harmonis, damai dan hidup sejahtera. Munculnya garis keras yang
mengatasnamakan islam dalam interaksi antar manusia dimungkinkan oleh kesalhan dalam
memahami ayat Al Quran.

RECOMMENDATIONS
Dari penelitian ini disarankan adanya sosialisasi yang komprehensif dan intens mengenai
penggunaan sosial media sehat bagi remaja guna menangkal paham radikalisme yang bertentangan
dengan ajaran agama islam sebagai agama pembawa kedamaian.

STRENGTHS
Hal yang menarik dari penelitian ini bahwa jumlah pelajar yang akses media sosialnya rendah lebih
banyak kurang memahami tentang radikalisme dan bahayanya. Jika dilihat dari mean jawaban
responden yang penggunaan media sosialnya rendah, ternyata tidak paham tentang radikalisme
dari skor mean mencapai 70,10, dan mean 59,00 untuk sangat tidak paham. Ini berarti bahwa akses
terhadap media sosial memberikan informasi tentang radikalisme.

WEAKNESSES

JOURNAL 20

IDENTITY
JOURNAL : Psikoborneo
Pengaruh Konformitas Dan Internalisasi Nilai-Nilai Islam
TITTLE :
Terhadap Pemikiran Radikalisme
AUTHOR : Hardiansyah
Program Studi Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
REVIEWER IDENTITY :
Universitas Mulawarman Samarinda

THE ABSTRACT
Munculnya organisasi-organisasi Islam yang representasi agamanya meluas jauh ke luar negeri,
melintasi batas negara. Inilah yang menyebabkan munculnya ide-ide agama baru di kalangan
mahasiswa Muslim. Gagasan radikalisme di kalangan mahasiswa terjadi karena beberapa faktor
66
salah satunya adalah adanya pengaruh sosial untuk mengikuti norma-norma yang ada dalam
kelompok konformitas, serta doktrin yang diberikan berupa pemahaman atau pengahayatan nilai-
nilai agama Islam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kesesuaian dan internalisasi
nilai-nilai Islam pada Pusat Kajian Islam Mahasiswa Universitas Mulawarman. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kuantitatif. Subjek penelitian ini adalah 100 anggota Universitas Islam
Pusat Studi Universitas Mulawarman yang dipilih dengan menggunakan teknik simple random
sampling. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah skala kesesuaian, internalisasi nilai-
nilai Islam dan pemikiran radikal. Data yang terkumpul dianalisis dengan metode Structural
Equation Modeling (SEM) dengan bantuan software Amos versi 22. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kesesuaian dengan pemikiran radikal menunjukkan nilai CR sebesar -0.857 ≤ 1.96 dan nilai
P sebesar 0.391> 0.05 yang artinya konformitas tidak berpengaruh pada pemikiran radikalisme.
Kemudian pada internalisasi nilai-nilai Islam dengan pemikiran radikalisme menunjukkan nilai C.R
sebesar -0,292 ≤ 1,96 dan nilai P sebesar 0,770> 0,05 yang berarti dalam internalisasi nilai-nilai Islam
tidak terdapat pengaruh terhadap pemikiran radikalisme.

THE INTRODUCTION AND


LITERATURE REVIEW
Indonesia merupakan Negara dengan penduduk yang beragama islam di dunia dalam hal ini
pemerintah telah memberikan fasilitas perguruan tinggi kepada setiap penduduk sehingga dapat
melanjutkan studinya untuk mendapatkan gelar sarjana. Perguruan tinggi adalahwadah bagi
mahasiswa yang memiliki banyak potensi untuk memunculkan potensi tersebut. Mahasiswa
dengan mayoritas usia dewasa awal masi mencari kemana orientasi masa depan yang akan di
tempuh. Merekka masih memerlukan beberapa pengaruh yang dapat menunjang dan memfasilitasi
prinsip dan jati diri yang sedang dicari. Maka berdasarkan hal tersebut dimanfaatkan oleh kelompok
radikal untuk mempengaruhi dengan konsep radikalisme yang mereka bawa (Aliakov, 2012). sesuai
dengan teori Erik erikson yaitu identitas vs kekacauan identitas, pencarian jati diri mulai
berlangsung dalam tahap ini, apabila seseorang dalam mencari jari dirinya bergaul dengan
lingkungan yang baik maka akan tercipta identitas yang baik pula, namun sebaliknya jika remaja
bergaul dalam lingkungan yang kurang baik maka akan timbul kekacauan identitas pada diri remaja
tersebut.
Dalam perguruan tinggi tidak terpisahkan dengan yang namanya organisasi. Sekarang yang marak
adalah munculnya organisasi keislaman dimana representasi keagamaan mereka jauh merujuk
keluar negeri, melintas batas negara. Inilah yang menimbulka munculnya paham-paham
keagamaan baru dikalangan mahasiswa muslim. Mereka merepresentasikan diri dalam Lembaga
Dakwah Kampus, halaqah dengan berbagai nama, dan komite-komite aksi mahasiswa. Mereka juga
muncul dalam bentuk diskusi dan kajian jumatan yang rutin dengan mengangkat issu-issu
keagamaan yang lebih radikal dan ekstrim.
Salah satu organisasi kemahasiswaan islam di Universitas Mulawarman adalah Pusat Studi Islam
Mahasiswa (Pusdima) dimana Pusdima merupakan unit kegiatan mahasiswa yang berada dibawah
tanggung jawab Rektor Universitas Mulawarman bergerak dibidang dakwah dan pembinaan.
Potensi munculnya radikalisme dikarenakan adanya aktifitas keagamaan kampus ditemukan corak
metode (thoriqoh) penerapan ideologi Khilafah Islamiyah, metode menjaga ideologi berbasis
hukum Islam, dan metode penyebarluasan ideologi berupa dakwah dan jihad, bentuk kajian dan
aktifitas sosial-keagamaan bersistem halaqah dan mentoring (Pusltibang Pendidikan Agama dan
Kebudayaan, 2005).
Menurut Nurjanah (2013) radikalisme adalah sebuah gerakan yang berbasis islam yang
dimaksudkan untuk melakukan pembaruan dalam masalah sosial, politik, atau keagamaan,
67
dilakukan dengan cara drastis, keras, dan tanpa kompromi kepada pihak-pihak yang dianggap
musuh, dengan satu prinsip bahwa hanya syariat islam dan penerapan syariat islam menjadi ide
perjuangannya.
Sears (1994) berpendapat bahwa bila seseorang menampilkan perilaku tertentu disebabkan oleh
karena orang orang lain menampilkan perilaku tersebut, disebut konformitas. Muhaimin (2001)
mengatakan bahwa proses dalam menginternalisasikan nilai-nilai islam yaitu: yaitu pendekatan
indoktrinasi, pendekatan modal reasoning, pendekatan forecasting concequence, pendekatan
klasifikasi nilai, dan pendekatan internalisasi. Hal ini sejalan yang dikemukakan Azra (2011)
radikalisme Islam adalah ide-ide, pemikiran, ideologi dan gerakan Islam, yang mengarah kepada
aktivitas intimidasi, kekerasan dan teror, baik karena doktrin keagamaan, membela diri, maupun
bentuk respon terhadap lawan politik yang ditunjuknya. Biasanya mereka, berbasis pada alasan
perlawanan terbuka terhadap kebijakan politik dan ekonomi imperialisme Barat, serta dominasi
dan hegemoni kebudayaan yang merugikan kaum muslim.
Menurut Alim (2006) internalisasi adalah menyatunya nilai dalam diri seseorang, atau dalam bahasa
psikologi merupakan penyesuaian keyakinan, nilai, sikap, perilaku, praktik dan aturan baku pada
diri seseorang. Menurut Rahmawati (2014) internalisasi nilai-nilai islam adalah proses penghayatan,
pendalaman dan penguasaan secara mendalam melaului binaan dan bimbingan terhadap nilai-nilai
material yang terwujud dalam kenyataan pengalaman rohani jasmani. Internalisasi nilai-nilai islam
merupakan suatu proses memasukan nilai-nilai agama islam secara penuh kedalam hati, sehingga
ruh dan jiwa bergerak berdasarkan ajaran agama islam (Alam, 2016).

METHODOLOGY
Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif, dalam penelitian ini terdapat tiga variable bebas
dan satu variable terikat. Varabel bebas yaitu konformitas dan internalisasi nilai-nilai islam
sedangkan varabel terikat yaitu pemikiran radikalisme. Sampel dalam penelitian ini adalah Pusat
Studi Islam Mahasiswa Universitas Mulawarman periode 2016- 2017 yang berjumlah sebanyak 100
anggota.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu alat pengukuran atau
instrumen. Instrumen penelitian yang digunakan ada tiga yaitu skala perilaku radikalisme,
konformitas dan internalisasi nilai-nilai islam. Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan
teknik uji coba atau try out kepada anggota pusdima yang di fasilitasi oleh Lembaga Dakwah
Kampus di masing fakultas Universitas mulawarman sebanyak 89 anggota.

68
RESULTS/FINDINGS
Hipotesis dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh konformitas terhadap pemikiran
radikalisme dan internaliasi nilai-nilai Islam terhadap. Tehnik analisis data yang digunakan adalah
Structural Equation Model (SEM). Untuk menganalisas hasil output, pengaruh antar variabel
signifikan jika nilai, C.R ≥1.96 dan nilai P < 0.05. Berdasarkan tabel 28, dapat diketahui bahwa pada
konformitas dengan pemikiran radikalisme menunjukan nilai C.R sebesar -0.857 ≤ 1.96 dan nilai P
sebesar 0.391 > 0.05 yang artinya konformitas tidak memiliki pengaruh terhadap pemikiran
radikalisme. Kemudian pada internalisasi nilai-nilai Islam dengan pemikiran radikalisme
menunjukan nilai C.R sebesar - 0.292 ≤ 1.96 dan nilai P sebesar 0.770 > 0.05 yang artinya
internalisasi nilai-nilai Islam tidak memiliki pengaruh terhadap pemikiran radikalisme.

ANALYSIS / DISCUSSION
terori Erik Erikson yang menyatakan bahwa identitas vs kekacauan identitas, pencarian jati diri
mulai berlangsung dalam tahap ini, apabila seseorang dalam mencari jari dirinya bergaul dengan
lingkungan yang baik maka akan tercipta identitas yang baik pula, namun sebaliknya jika remaja
bergaul dalam lingkungan yang kurang baik maka akan timbul kekacauan identitas pada diri remaja
tersebut. Hal ini sesusai dengan teori Marcia identity diffusion yaitu remaja dengan status ini
merupakan remaja yang mengalami kebingungan tentang siapa dirinya dan mau apa dalam
hidupnya, selain itu mereka juga menunjukan karakteristik seperti konsep diri yang kuat,
menunjukan tingkat kecemasan dan ketegangan internal yang tinggi dan tidak dapat
memperkirakan ciri atau sifat kepribadian yang dimilikinya (Santrcok, 2007) Berdasarkan uraian
tersebut maka dapat disimpulkan konformitas tidak memiliki pengaruh terhadap pemikiran
radikalisme, tetapi remaja yang sedang mencari jati dirinya akan sangat mudah didoktrin mengenai
dasar pembenaran terhadap aksi radikal atas nama agama sehingga munculah pemikiran
radikalisme dikalangan mahasiswa.
pada internalisasi nilai-nilai Islam dengan pemikiran radikalisme menunjukan nilai C.R sebesar -
0.292 ≤ 1.96 dan nilai P sebesar 0.770 > 0.05 yang artinya internalisasi nilai-nilai Islam tidak memiliki
pengaruh terhadap pemikiran radikalisme. Hal ini bermakna agama Islam mengajarkan hal yang
baik dan tidak pernah mengajarkan tentang kekerasan, hal tersebut sejalan dengan Alam (2016),
internalisasi nilai-nilai Islam adalah proses pemasukan nilai-nilai agama Islam secara penuh kedalam
hati, sehingga ruh dan jiwa bergerak berdasarkan ajaran agama Islam dan membawa manusia pada
kebahagian, kesejahtraan, dan keselamatan manusia baik dalam dunia maupun kehidupan akhirat
kelak.
internalisasi nilai-nilai Islam tidak memiliki pengaruh terhadap pemikirarn radikalisme, tetapi
pemahaman agama yang masih kurang, sempit, dapat menyebabkan paham-paham agama seperti
ini dengan mudah akan menggiring pada keyakinan yang cenderung memiliki pemikiran akan
radikalisme.

CONCLUSION
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, peneliti menyimpulkan bahwa:
1. Tidak terdapat pengaruh konformitas terhadap pemikiran radikalisme pada pusat studi islam
mahasiswa Universitas Mulawarman.
2. Tidak terdapat pengaruh internalisasi nilai-nilai islam terhadap peemikiran radikalisme pada
pusat studi islam mahasiswa Universitas Mulawarman.

69
RECOMMENDATIONS
Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang pemikiran radikalisme
sebaiknya lebih dilihat lagi mengenai skala yang digunakan tidak boleh sempit dan harus secara
hukum islam. Bagi peneliti selanjutnya sebaiknya membuat scraning di latar belakang sebaiknya
internalisasi agama Islam harus luas, tidak boleh sempit, membuka cakrawala dengan cara studi
banding dengan ustadz dari luar

STRENGTHS

WEAKNESSES

JOURNAL 21

IDENTITY
ACADEMIA (Accelerating the world's research)
JOURNAL :
BIMBINGAN KONSELING MELALUI PENDIDIAN MULTIKULTUAL
TITTLE : TERHAPAP ANAK-ANAK DAN REMAJA DALAM
PENANGGULANGAN PAHAM ADIALISME
AUTHOR : Lilam Kadarin Nuriyanto
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang, Jawa
REVIEWER IDENTITY :
Tengah, Indonesia

THE ABSTRACT
Paham radikalisme merupakan akar dari ketidakrukunan antar umat beragama. Anak-anak dan
remaja adalah generasi penerus yang harus dilindungi dari radikalisme, sehingga perlu penanganan
yang tepat. Pendidikan multikultural sangat diperlukan dalam membentuk generasi saling
menghormati dalam setiap perbedaan. Keadaan psikologis anak-anak dan remaja harus tetap
dipertahankan dalam pendidikan multikultural. Dalam pembentukan komunitas lintas agama,
dunia bermain untuk anakanak dan suasana santai untuk remaja harus tetap dipertahankan

THE INTRODUCTION AND


LITERATURE REVIEW

70
Pada paham keagamaan telah tumbuh perkembangan baru yang dinamakan radikalisme.
Radikalisme sering digunakan dalam pemahaman terhadap ajaran agama atau aliran tertentu. Commented [U3]:
radikalisme merupakan paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial
dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Kelompok radikal sering diartikan sebagai kelompok
yang suka menggunakan cara kekerasan dalam menyelesaikan masalah atau mencapai tujuannya.
Gejala radikalisme ini bisa dilihat sejak terjadinya reformasi tahun 1998, ketika menjelang turunnya
Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Berlanjut pada kerusuhan besar-besaran yang terjadi
di Jakarta yang merambat ke kota Surakarta. Sehingga fenomena kebebasan menghiasi kehidupan
masyarakat Indonesia dalam segala ruang kehidupannya. Hal ini ditandai dengan seringnya terjadi
kerusuhan-kerusuhan antar etnik dan agama. Misalnya di Sampit Kalimantan Tengah antara suku
Dayak dan Madura, serta kerusuhan antar agama antara Islam dan Kristen di Ambon.
Yang menjadi penyebab tidak harmonisnya hubungan antar individu atau kelompok dalam sebuah
negara yang multikultural adalah sikap prejudis, stereotip, dan diskriminasi. Prejudis biasanya
memandang sebuah kelompok secara general, padahal didalam kelompok itu sebenarnya terdapat
beragai macam variasi. Tulisan ini merupakan pengembangan dari hasil penelitian penulis pada
tahun 2013 di Kota Surakarta lewat lembaga Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang
yang berjudul Dinamika Hubungan Antar Umat Beragama Pola Pengelolaan Kerukunan Antar Umat
Beragama Di Kota Surakarta. Selain itu juga hasil penelitian dari Balai Penelitian dan Pengembangan
Agama Makasar yang berjudul Persepsi Dan Sikap Siswa Terhadap Tindakan Kekerasan Atas Nama
Agama.
Piaget, seorang pakar psikologi kognitif dan psikologi anak, memandang inteligensi/kecerdasan
sebagai suatu proses adaptif dan menekankan bahwa adaptasi melibatkan fungsi intelektual.
Menurutnya telah terjadi keseimbangan antara kegiatan organisme dengan kegiatan
lingkungannya yang disebut proses adaptasi. . Dengan demikian lingkungan mendorong terus
menerus organisme untuk menyesuaikan diri terhadap situasi riil, sebaliknya organisme secara
konstan juga menghadapi lingkungannya sebagai suatu struktur yang merupakan bagian dari
dirinya (Gunarsa, 1987; Hurlock, 1991; 1996; Soemantri, 2005; dan Santrock, 2007), Piaget
mengemukakan tentang adanya tahapan/periodisasi dalam perkembangan kognitif individu.
Pendidikan konseling melalui multikultural pada masa anakanak sangat penting sekali, karena bila
sudah tertanam sejak dini maka kelak akan diperoleh generasi penerus bangsa yang mudah untuk
mengerti dan menghormati sesuatu yang berbeda dengan dirinya. Sesuai dengan teori-teori diatas
bahwa anak-anak merupakan masa emas untuk membentuk pribadi dikelak kemudian hari. Sebagai
dasar atau pondasi pembentukan sikap maka perlu diadakan kegiatan-kegiatan yang dalam
tujuannya untuk menanamkan nilai-nilai multikultur tanpa harus menghiraukan dunianya yang
sebenarnya yaitu dunia bermain.
Pembentukan komunitas anak-anak dan remaja merupakan sebuah gerakan model baru dalam
bentuk lintas agama. Dimana mereka membentuk sebuah forum dengan tidak meninggalkan
dunianya sebagai dunia bermain pada masa anak-anak dan bergaul secara merdeka tanpa ikatan-
ikatan birokratis yang bisa membelenggu gelora jiwa masa remajanya.
Konsep bimbingan dan konseling dengan multikultural dalam menanggulangi Paham radikalisme
dikalangan anak-anak dan remaja, tentunya tidak lepas dari peran psikologi perkembangan anak
dan remaja. Dalam pendekatan konsep mulitikultural bisa sebagai penggerak kelompok-kelompok
masyarakat dimana saling menghormati dan menerima satu dengan yang lain. Kaum mayoritas bisa
menghormati terhadap kaum minoritas, sebaliknya kalum minoritas bisa menghormati keberadaan
kaum mayoritas. Konsep untuk saling menghargai dan menerima satu dengan yang lain merupakan
modal dalam membina kerukunan pada kelompok masyarakat yang plural.

71
METHODOLOGY
Kualitatif naratif berdasarkan literature yang ada.

RESULTS/FINDINGS
pengalaman yang luar biasa pada dalam diri anak-anak yang memang sebelumnya belum pernah
berkunjung ke tempat-tepat beribadah selain di agamanya. Anak-anak akan menemukan hal-hal
baru yang pasti akan dihubungkan dengan pemahaman agamanya. Sehingga akan muncul berbagai
pemikiran-pemikiran baru sesuatu yang terkadang sangat bertentangan dengan pemahaman
terhadap agamanya. Anak akan sangat berkesan sekali karena mempunyai pengalaman yang ia
dapatkan secara langsung dan alami. Misalnya di setiap masjid kebanyakan ada tulisan arab Allah
dan Muhammad, tetapi ketika berkunjung ke tempat ibadah lainnya tidak ada. Kalau ke maasjid
harus lepas alas kaki, tetapi di tempat ibada lainnya ada yang tidak mensyaratkannya, tentunya ini
juga akan muncul pertanyaan-pertanyaan di benak anakanak. Disinilah peran orang dewasa harus
bisa menjelaskan dengan arif dan bijaksana sesuai dengan dunianya, agar mudag dipahami dan
dimengerti olah anak-anak. Sehingga munculah pengetahuan baru bagi anak-anak ternyata ada
perbedaan-perbedaan disekelilingnya.
Pembentukan komunitas anak-anak dan remaja merupakan sebuah gerakan model baru dalam
bentuk lintas agama. Dimana mereka membentuk sebuah forum dengan tidak meninggalkan
dunianya sebagai dunia bermain pada masa anak-anak dan bergaul secara merdeka tanpa ikatan-
ikatan birokratis yang bisa membelenggu gelora jiwa masa remajanya.
Para anak-anak dan remaja yang merupakan usia pelajar tanpa disadari selalu ditanamkan untuk
mencapai sesuatu yang seragam. Sistem pembelajaran yang masih lebih besar komunikasi satu arah
dari pendidik ke siswa lebih menguatkan adanya sistem pemaksaan atas keseragaman. Karena
masih minimnya komunikasi timbal balik antara keduanya. Sehingga tidak memunculkan kreatiitas
pada diri siswa. Pendidikan multikultural sangat diperlukan bagi para siswa agar terlatih untuk
mengakui adanya perbedaan diantara mereka. Dalam hal ini sangat dibutuhkan sehingga
penanaman nilai-nilai multikultural sejak masa kanak-kanak sangat diperlukan sekali. Sehingga
pada tahapan remaja atau pelajar hanya perlu memoles atau menyempurnakannya saja. Tentu hal
ini lebih mudah daripada bila penanaman pendidikan multikultural baru dimulai sejak uisa remaja.

ANALYSIS / DISCUSSION
Bentuk-bentuk penanggulangan fenomena radikalisme dikalangan anak-anak adalah dengan
mengajak mereka untuk berkumpul besama dalam sebuah wadah komunitas lintas agama.
Komunitas ini bentuknya bebas tidak ada batasan-batasan yang sangat mengikat. Dalam komunitas
ini belum harus mempunyai tujuan tertentu. Yang terpenting adalah jangan meninggalkan jati diri
dari dunia anak-anak, yaitu bermain. Dimana anak-anak harus tetap pada aspek bermain gembira
dengan pengarahan untuk mendapatkan pengetahuan baru dibidang perbedaan keagamaan
dengan linkungannya. Bentuk-bentuk penanggulangan fenomena radikalisme dikalangan remaja
adalah dengan mengajak mereka untuk berkumpul besama dalam sebuah wadah komunitas lintas
agama. Pada remaja juga tetap pada semangat jiwa yang masih sangat bergejolak ingin bebas dalam
mencari jati diri. Dalam komunitas sudah ada tujuannya karena remaja sudah bisa berpikir dan
mencerna mana yang baik dan mana yang tidak bermanfaat. Diperlukan sebuah komunitas yang
tidak santai tetapi serius dalam mencapai tujuannya. Kumpul bersama merupakan hal terpenting,
sehingga dalam perbincangan-perbincangan kepentingan komunitas tetap terbungkus dalam

72
suasana santai sesuai dengan jiwa remaja. Peran pendidikan konseling mulitikultural dalam
penanggulangan paham radikalisme di kalangan anak-anak dan remaja merupakan hal yang sangat
penting karena mereka adalah generasi penerus bangsa. Apabila jiwa mudah untuk memahami dan
mengerti dengan segala perbedaan yang ada disekitarya bila dilatih sejak usia dini dan remaja maka
akan menghasilkan generasi yang kuat dalam berwawasan kerukunan. Karena kerukunan
merupakan modal utama dalam pencapaian kehidupan yang damai berdampingan, sehingga
pembangunan sebuah negara bisa berjalan dengan lancar tanpa ada faktor gangguan dari
inharmonisasi dalam negeri.

CONCLUSION
Bentuk-bentuk penanggulangan fenomena radikalisme dikalangan anak-anak adalah dengan
mengajak mereka untuk berkumpul besama dalam sebuah wadah komunitas lintas agama.
Komunitas ini bentuknya bebas tidak ada batasan-batasan yang sangat mengikat. Dalam komunitas
ini belum harus mempunyai tujuan tertentu. Yang terpenting adalah jangan meninggalkan jati diri
dari dunia anak-anak, yaitu bermain. Dimana anak-anak harus tetap pada aspek bermain gembira
dengan pengarahan untuk mendapatkan pengetahuan baru dibidang perbedaan keagamaan
dengan linkungannya. Bentuk-bentuk penanggulangan fenomena radikalisme dikalangan remaja
adalah dengan mengajak mereka untuk berkumpul besama dalam sebuah wadah komunitas lintas
agama. Peran pendidikan konseling mulitikultural dalam penanggulangan paham radikalisme di
kalangan anak-anak dan remaja merupakan hal yang sangat penting karena mereka adalah generasi
penerus bangsa.

RECOMMENDATIONS
Menggunakan instrument penelitian yang bisam menjelaskan fenomena tersebut

STRENGTHS

WEAKNESSES
Penelitian ini kurang kuat dalam hal instrumen

73
JOURNAL 22

IDENTITY
Persona: Jurnal Psikologi Indonesia
JOURNAL :
Model Pembelajaran Multikultural pada Pesantren Modern
TITTLE :
sebagai Upaya Mereduksi Paham Radikalisme
AUTHOR : Suhadianto Suhadianto, Eko April Ariyanto, Isrida Yul Arifiana
REVIEWER IDENTITY : Fakultas PsikologiUniversitas 17 Agustus 1945 Surabaya

THE ABSTRACT
Radikalisme sebagai bagian dari paham fundamentalis telah menjadi ancaman yang nyata bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Aksi-aksi radikalisme semakin massif dilakukan dengan
melibatkan generasi muda. Pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua memiliki model
pembelajaran yang sangat dipercaya oleh masyarakat. Pesantren diharapkan dapat menjadi
benteng penangkal paham fundamentalis melalui pembelajaran multikultural yang diterapkan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa praktek pembelajaran multikultural di pondok
pesantren dan dampak pembelajaran multikultural di pondok pesantren. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan mengambil fokus penelitian pada pondok pesantren
Darussalam, Sengon Kabupaten Jombang. Metode pengambilan data dilakukan dengan
menggunakan interview serta observasi terhadap subjek yaitu pemimpin pondok pesantren, ustad
serta santri. Validitas hasil penelitian dilakukan melalui triangulasi data. Hasil penelitian
menunjukan bahwa pondok pesantren Darusalam Jombang telah menerapkan prinsip
pembelajaran multikultural yang meliputi: content integration, The knowledge construction
process, Equity Pedagogy, Prejudice reduction. Selain itu dampak pembelajaran tersebut membuat
santri mampu memahami perbedaan, toleransi, dan keberagaman sehingga mampu membentengi
diri dari paham fundamentalis.

THE INTRODUCTION AND


LITERATURE REVIEW
Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 merupakan tonggak kebebasan bagi setiap orang
untuk bersuara dan menyampaikan pendapat. Masyarakat Indonesia secara politik kemudian
mendirikan parta-partai politik sebagai wadah penyampaian aspirasi, tercatat sekitar34 partai
politik yang terdaftar dan ikut pemilu pada tahun 1999. Partai politik memiliki landasan yang
berbeda-beda untuk menarik masa mulai nasionalisme, syariat islam dan idiologi lain. Tidak
hanya partai politik, organisasi masa juga berkembang yang berorientasi pada agama tertentu.
Aksi-aksi radikalisme tampaknya mulai tumbuh subur di Indonesia sejak terjadinya aksi
teror 11 september 2001 di New York Amerika serikat yang menghancurkan gedung
kembar World Trade Center. Aksi yang kemudian mengarah pada Al-Qaeda sebagai pelaku teror
dan identik dengan gerakan-gerakan islam radikal ini pada akhirnya menyudutkan dan
memberikan tekanan yang luar biasa bagi umat muslim di seluruh dunia. Perlawanan umat
islam terhadap tekanan-tekanan tersebut diwujudkan dalam bentuk pengerusakan atau “jihat”
dengan bom bunuh diri pada simbol-simbol barat. Bom bali yang terjadi pada 12 Oktober 2002
di Kuta Legian bali adalah bukti nyata gerakan-gerakan radikal sebagai bentuk perlawanan
terhadap masyarakat barat dan upaya mengembalikan kehidupan masyarakat sesuai dengan
keyakinan yang dianut.

74
Hasyim, dkk (2015) yang secara khusus mengkaji tentang pola resistensi pesantrenterhadap
gerakan radikalisme. Diperoleh temuan bahwa upaya yang dilakukanpesantrendalam mengatasi
radikalisme agama salah satunya dilakukan dengan strategi preservative deradicalization,
yaitu memelihara nilai-nilai moderatisme sebagai antisipasi terhadap model keislaman garis
keras. Selain itu juga diikuti dengan pengembangan kehidupan multikultural, yaitu sebuah
kesadaran akan keragaman sehingga dapat menumbuhkan rasa saling menghargai dan
menghormati.
Ahmad (2012) dalam judul Understanding Religious Violence in Indonesia: Theological, Structural
and Cultural Analyses. Adanya tindakan kekerasan agama yang ada di Indonesia sebagai bagian dari
proses perubahan dari sejarah manusia. Hal tersebut juga muncul sebagai akibat dari kondisi
politik di Indonesia dan respon terhadap ketidakadilan ekonomi. Selain itu, terdapat sebuah
studi yang dilakukan oleh Rahimullah, dkk (2013) menyusun kajian umum berkaitan dengan adanya
fenomena radikalisme islam. Diperoleh temuan secara ringkas bahwa penelitian pendahulu yang
membahas tentang radikalisme dalam muslim secara spesifik belum menjelaskan tahapan dari
sebuah proses radikalisme islam, tidak adanya literature akademik yang melakukan investigasi
secara khusus pada individu yang penggerak radikalisme dan upaya perbandingan terhadap
kondisi radikalisme muslim dengan radikalisme non-muslim.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya banyak penelitian sebelumnya
yang meneliti tentang gerakan-gerakan radikalisme. Penelitian-penelitian tersebut ada yang
berupa ulasan secara umum mengkaji serta membandingkan dari berbagai penelitian tentang
radikalisme, radikalisme dengan objek penelitian mahasiswa, serta ada juga yang mengulas
dalam perspektif ekonomi misalnya ketika mengaitkan antara aksi-aksi kekerasan dalam islam
yang berwujud terorisme yang ada di Indonesia dengan persoalan kesenjangan ekonomi diantara
masyarakat. Namun demikian, belum ada yang secara khusus meneliti tentang metode dan
implementasi pendidikan multikultural di pesantren.
el-Ma’hady(dalam Aly, 2011)berpendapat, bahwa secara sederhana pendidikan multikultural
dapat diartikan sebagai pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam merespon
perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia
global secara keseluruhan. Hal senada juga dijelaskan oleh Paulo Freire seorang pakar
pendidikan kebebasan yang menyatakan bahwa pendidikan multikultural sebagai solusi untuk
mengatasi perilaku sebagian orang terdidik yang menjadikan pendidikan sebagai “menara
gading” yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Berdasar pada latar belakang
sebagaimana telah diuraikan di atas, penelitian ini bertujuan untuk menggali data
terkaitbagaimanaimplementasi pembelajaran multikultural dan dampakpembelajaran
multikultural pada pesantrenDarussalam Sengon Jombang.

METHODOLOGY
Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan termasuk dalam jenis penelitian kualitatif
deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik pengamatan terlibat (participant
observation), wawancara mendalam (indept interview), dan dokumentasi. Pengamatan
terlibat digunakan untuk memperoleh data yang terkait dengan kegiatan perencanaan,
implementasi, dan evaluasi kurikulum. Wawancara mendalam digunakan untuk memperoleh
data yang terkait dengan sejarah pesantren dan perkembangannya, serta dasar pengembangan
kurikulum pesantren, perencanaan, implementasi, dan evaluasinya. Dokumentasi digunakan untuk
memperoleh data yang terkait dengan sejarah pesantren dan perkembangannya, dokumen
perencanaan kurikulum, data santri dan guru, buku ajar, dan perangkat kegiatan belajar

75
mengajar yang disusun oleh para guru. Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis dengan teknik
deskriptif-interpretatif dan analisis isi.

RESULTS/FINDINGS
Hasil analisis data penelitian menunjukkan bahwa pesantrenDarussalam Sengon Jombang telah
mengimplementasikan empat aspek pembelajaran multikultural menurut Bank (1994) ke dalam
proses pembelajaran, empat aspek tersebut adalah: 1) content integration; 2) The knowledge
construction process; 3) An Equity Pedagogy dan; 4) Prejudice reduction.

ANALYSIS / DISCUSSION
Tujuan didirikan pesantrenadalah mengajarkan agama islam kepada para santri, sebagai pegangan
dan pedoman hidup santri yang akan dapat diamalkan dalam kehidupan masyarakat, mencetak
santri yang saleh tidak hanya dalam bidang agama akan tetapi juga santri yang mampu
mengaplikasikan kesalehan sosial, mendidik para santri menjadi santri yang memiliki budi
pekerti yang baik sesuai dengan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Mendidik
santri yang mampu menebarkan kasih sayang terhadap semua umat, mendidik santri agar menjadi
orang yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap umat manusia, mendidik santri menjadi
manusia yang memiliki ketajaman hati dan pikiran, sehingga dapat menyelesaikan
berbagai permasalahan hidup dengan bijaksana (Jamaluddin, 2012). Praktikpembelajaran
multikulturalisme yang diterapkan di pesantrenumumnya mengarahkan kepada santri untuk
mampu bersikap toleran, mandiri, kritis, menjaga kerukunan, dan menghargai perbedaan. Kyai
sebagai tokoh sentral di dalam pesantrenmerupakan panutan dan suri tauladan yang harus
diikuti segala tingkah laku dan ajarannya. Melalui tokoh sentral kyai inilah pesantrendapat
mengajarkan praktik pembelajaran multikultural dengan lebih maksimal. Praktik-praktik
pembelajaran ini dapat terimplementasi tidak hanya dalam kegiatan belajar di kelas namun
juga dalam kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang diselenggarakan. Salah satu pesantrenyang
menerapkan prinsip pembelajaran multikultural adalah pesantrenDarusalam Sengon,
Kabupaten Jombang. Pesantrenini didirikan dengan visi “mulia dalam budi pekerti dan unggul
dalam prestasi”. Pesantrenyang berdiri di tengah-tengah pemukiman penduduk ini didirikan oleh
Kyai Haji Ashari Mahfud pada tahun 1993. Saat ini pesantrenyang berada dibawah
pengelolaan Yayasan Pesantren Darusalam Jombang mengelola pesantrensekaligus sekolah umum
setingkat SMP/Madrasah Tsanawiyah dan setingkat SMA/Madrasah Aliyah.
Persona: Jurnal Psikologi IndonesiaVolume 7, No. 2, Desember2018ISSN. 2301-5985(Print), 2615-
5168 (Online)Suhadianto, Eko April Ariyanto, Isrida Yul ArifianaPage I 235Santri pesantrenini
berasal dari berbagai wilayah di Indonesia seperti Aceh, Sumatra Selatan, hingga Papua.
Diawal pendiriannya pesantren didirikan untuk membantu anak-anak yang tidak bisa sekolah
meskipun pada saat inipun beasiswa bagi santri yang tidak mampu tetap diberikan. Para pengajar
di pesantrenini adalah alumni pesantren Gontor Ponorogo dan Tebu Ireng Jombang. Selain
menerima santri dari berbagai wilayah dan kondisi sosial ekonomi yang berbeda, pesantrenini
berprinsip tidak membeda-bedakan golongan yang ada di Indonesia baik Nahdlatul Ulama
(NU) maupun Muhammadiyah.

CONCLUSION

76
Kesimpulan dari hasil penelitian ini pesantrenDarussalam Sengon Jombang telah menerapkan
prinsip-prinsip pembelajaran multikultural. Praktek pembelajaran ini ditransformasikan oleh
ustadz maupun pengasuh pesantren melalui aktivitas-aktivitas di dalam pesantren maupun di
luar pesantren. Meskipun pada dasarnya pesantrenDarussalam belum memiliki kurikulum yang
bernuansa multikultural tetapi kegiatan belajar dan mengajar santri atau siswa telah sesuai
dengan prinsip-prinsip pembelajaran multikultural. Ustadz dan pimpinan pesantren membatasi
ayat-ayat Al Qur’an yang wajib diajarkan kepada santri terutama yang terkait dengan jihad.
Pembelajaran multikultural yang dilakukan pesantrenDarussalam Sengon Jombang, baik
melalui kegiatan belajar mengajar di sekolah formal, melalui kegiatan belajar mengajar di
Madrasah Diniyah dan melalui pengajian-pengajian kitab kuning serta melalui contoh tindakan
nyata yang dilakukan oleh para guru dan Kyai. Terbukti berhasil menumbuhkan pemahaman
tentang pentingnya menghormati antara umat beragama pada para santri maupun siswa. Para
santri dan siswa tidak setuju dengan aksi-aksi radikalisme yang menamakan agama.

JOURNAL 23

IDENTITY
JOURNAL : Jurnal Sains Psikologi
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER SEMANGAT
TITTLE : KEBANGSAAN DAN CINTA TANAH AIR PADA SEKOLAH BERLATAR
BELAKANG ISLAM DI KOTA PASURUAN
AUTHOR : Aji Bagus Priyambodo
REVIEWER IDENTITY : ex: Becce, (Mahasiswa S1 Psikologi, Universitas Bosowa)

THE ABSTRACT
Semakin berkembangnya radikalisme beragama di tengah masyarakat menjadi ancaman bagi
kesatuan bangsa Indonesia. Salah satu upaya strategis menangkal radikalisme beragama di
Indonesia adalah melalui program pendidikan karakter di sekolah. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui bagaimana implementasi pendidikan karakter semangat kebangsaan dan cinta
tanah air di sekolah berlatar belakang islam di Kota Pasuruan. Pendekatan penelitian yang
digunakan adalah pendekatan kualitatif termasuk dalam jenis penelitian studi kasus. Subyek
penelitian ini adalah kepala sekolah, para guru dan para siswa di beberapa sekolah berlatar
belakang islam di Kota Pasuruan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terdapat komitmen
pada ketiga pimpinan sekolah yang berlatar belakang Islam di Kota Pasuruan untuk melaksanakan
pendidikan karakter semangat kebangsaan dan cinta tanah air namun penyediaan sarana prasarana
yang menunjang masih minim, evaluasi dan tindak lanjut keberhasilan pendidikan karakter juga
masih belum dilaksanakan.

THE INTRODUCTION AND


LITERATURE REVIEW
Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara
(Ormrod, 2008). Menurut Ki Hajar Dewantoro (dalam Indrakusuma, 1973) pendidikan
77
adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin
dan karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak. Bagian–bagian itu tidak boleh dipisahkan agar
kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak.
Menurut Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter (Kemdikbud, 2011) pendidikan
karakter merupakan pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral,
pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk
memberi keputusan baik buruk, memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan
itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Pada intinya pendidikan karakter
bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran,
bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan
dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
berdasarkan Pancasila. Nilai nilai pendidikan karakter di Indonesia teridentifikasi berjumlah
18 nilai, yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya dan tujuan pendidikan nasional
yaitu: 1. Religius, 2. Jujur, 3.Toleransi, 4. Disiplin, 5.Kerja keras, 6. Kreatif, 7. Mandiri,
8. Demokratis, 9. Rasa Ingin Tahu, 10. Semangat kebangsaan, 11. Cinta tanah air, 12. Menghargai
prestasi, 13. Bersahabat/komunikatif, 14. Cinta damai, 15.Gemar membaca, 16. Peduli
lingkungan, 17. Peduli sosial dan 18. Tanggung jawab (Kemdikbud, 2011).
Semakin berkembangnya radikalisme beragama di tengah masyarakat menjadi ancaman
bagi kesatuan bangsa Indonesia. Salah satu upaya strategis menangkal radikalisme beragama
di Indonesia adalah melalui program pendidikan karakter semangat kebangsaan dan cinta
tanah air di sekolah berlatar belakang islam.

METHODOLOGY
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif termasuk dalam jenis
penelitian studi kasus. Subyek penelitian ini adalah kepala sekolah, para guru dan para siswa
di beberapa sekolah berlatar belakang islam di Kota Pasuruan. Alat pengumpul data adalah
wawancara, observasi dan studi dokumen. Subjek dalam penelitian ini adalah kepala
sekolah, para guru dan siswa di tiga sekolah berlatar belakang islam di Kota Pasuruan.
Dalam penelitian ini subjek dipilih secara selektif agar dapat menggambarkan pokok
bahasan yang diteliti. Berdasarkan karakteristik yang ada, maka diperoleh dua belas
orang subyek penelitian, yang meliputi dua orang kepala sekolah, lima orang guru dan lima
orang siswa. Teknik - teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah wawancara, observasi dan studi dokumen. Dalam penelitian ini jenis wawancara
yang dilakukan adalah wawancara mendalam. observasi dalam penelitian ini, peneliti
terlibat dengan kegiatan sehari – hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai
sumber data penelitian. Adapun teknik pemeriksaan keabsahan data yang digunakan pada
penelitian ini adalah trianggulasi sumber dan trianggulasi teknik.

78
RESULTS/FINDINGS
Sekolah berlatar belakang islam di Kota Pasuruan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
sekolah yang mengedepankan penanaman nilai-nilai islam pada anak didiknya, contohnya:
baca, tulis dan pemahaman Al-Quran, penerapan amalan ibadah wajib dan sunnah serta
penerapan adab islami dalam kehidupan sehari-hari. Seperti pada umumnya sekolah islam,
SD Islam Terpadu Bina Insan Cendekia, SMP Islam Terpadu Fasihul Quran dan SMK Bayt Al
Hikmah Kota Pasuruan juga memiliki kebijakan tersendiri mengenai proses pembelajaran yang
diberikan kepada anak-anak didiknya, baik pelajaran formal maupun yang bersifat nonformal,
terkait dalam penanaman nilai-nilai keislaman di dalamnya. Namun demikian sebagai
sekolah yang berada di bawah naungan Dinas Pendidikan, mereka harus mengikuti dan
melaksanakan aturan-aturan Dinas Pendidikan setempat dalam hal pendidikan siswa-
siswinya baik secara formal maupun non formal. Ketiga sekolah berlatar belakang islam di Kota
Pasuruan ini memberikan karakter islami yang lebih kental dibandingkan dengan sekolah-sekolah
reguler lainnya, namun mereka tidak melupakan penanaman karakter-karakter lain yang
mengacu pada kecintaannya kepada Negara Indonesia sehingga akan menumbuhkan
semangat berkebangsaan.

ANALYSIS / DISCUSSION
Mengacu pada definisi pendidikan karakter sebagaimana yang telah dirumuskan oleh
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, pendidikan karakter tidak hanya
mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, akan tetapi lebih dari itu sehingga
sekolah dalam mewujudkan pendidikan karakter harus menanamkan kebiasaan (habituation)
tentang hal-hal mana yang benar dan baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif)
tentang mana yang benar dan mana yang tidak benar, peserta didik juga mampu merasakan
(afektif) dan biasa melakukan (psikomotor) nilai-nilai yang baik. Pendidikan nilai di sekolah
harus dilaksanakan melalui kajian dan pengembangan kurikulum yang sedang berlaku
dan dilaksanakan secara berkesinambungan, yaitu mulai dari TK, SD, SMP, SMA, SMK bahkan
sampai perguruan tinggi. Nilai semangat kebangsaan adalah cara berpikir,bertindak dan
wawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan
kelompoknya. Nilai cinta tanah air adalah cara berpikir,bersikap dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa,
lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi dan politik bangsanya (Kemdikbud, 2011).

CONCLUSION
Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terdapat komitmen pada ketiga pimpinan sekolah
yang berlatar belakang Islam di Kota Pasuruan untuk melaksanakan pendidikan karakter
semangat kebangsaan dan cinta tanah air. Telah dilakukan analisis konteks untuk
menetapkan nilai-nilai dan indikator capaian dalam prosedur implementasi pendidikan
karakter tersebut. Kendati demikian, penyediaan sarana prasarana yang menunjang masih sangat
minim, evaluasi dan tindak lanjut keberhasilan pendidikan karakter juga masih belum
dilaksanakan. Hal ini menyebabkan nilai-nilai semangat kebangsaan dan cinta tanah air masih
belum membudaya di sekolah-sekolah tersebut.

RECOMMENDATIONS

79
Melaksanakan analisis konteks untuk menetapkan sumberdaya dan sarana yang
diperlakukan nilai-nilai dan indikator yang dikembangkan prosedur penilaian
keberhasilan.

JOURNAL 24

IDENTITY
Jurnal Kriminologi
JOURNAL :
ALAT UKUR TINGKAT RADIKALISME BERDASARKAN PENILAIAN
TITTLE :
KEPRIBADIAN
AUTHOR : Hendro Wicaksono, Mohammad Kemal Dermawan
REVIEWER IDENTITY : ex: Becce, (Mahasiswa S1 Psikologi, Universitas Bosowa)

THE ABSTRACT
Penulisan ini berupaya untuk menjelaskan suatu alat ukur yang bisa dipergunakan untuk menilai
tingkat radikalisme seseorang. Selama ini belum ada gambaran yang dapat menjelaskan bagaimana
cara kita untuk bisa menilai radikalisme dari individu. Alat ukur ini akan dibuat berdasarkan
penilaian kepribadian secara ilmiah yang sudah dikembangkan oleh para pakar telah yang
memetakan berbagai ciri dan sifat dari kepribadian yang dimiliki oleh manusia. Dalam prosesnya,
penulis akan mencoba mengambil serta menentukan beberapa variable yang dianggap tepat dan
sesuai untuk dapat melakukan penilaian kepribadian perorangan secara sederhana sehingga dapat
dikembangkan menjadi alat ukur yang efektif untuk mengukur tingkat radikalisme yang akurat. Cara
kerja alat ukur ini dibuat sederhana agar kita mudah untuk mengoperasikannya. Alat ukur ini dibuat
sebagai usaha untuk dapat menentukan seberapa radikal pemahaman yang dimiliki oleh seseorang
karena keyakinan tersebut kenyataannya dapat disembunyikan ketika sedang menjalin interaksi
dengan masyarakat di lingkungannya. Tindakan ini sangat penting diketahui sejak dini guna dapat
menentukan upaya pencegahan agar pemahaman tersebut tidak berkembang menjadi aksi
kekerasan yang disebut terorisme karena telah menimbulkan kerusakan dan kerugian baik material
ataupun personel. Dengan mengetahui lebih dini tingkat radikalisme seseorang maka kita dapat
menekannya melalui berbagai upaya agar radikalisme yang dimilikinya tidak berkembang atau
bahkan tingkat radikalisme dapat diturunkan sehingga tidak berpotensi menimbulkan dampak
merugikan bagi lingkungan yang ada di sekitarnya.

THE INTRODUCTION AND


LITERATURE REVIEW
Untuk dapat mengukur tingkat radikalisme seseorang membutuhkan alat penilaian yang seseuai
dan dianggap bisa mewakili gambaran dalam dirinya yang dapat menjelaskan seberapa besar
paham radikal yang dimilikinya. Pemahaman radikal dapat dipicu oleh berbagai macam penyebab.
Secara umum penyebab radikalisme tersebut akan membuat seseorang memiliki keinginan untuk
melawan dan memberontak terhadap situasi yang menekannya. Berbagai penyebab radikalisme
tersebut antara lain, Faktor Internal dan eksternal.

80
Faktor pemicu dari dalam, antara lain meliputi; Dorongan dari lingkungan, Lemahnya
perekonomian. Faktor pemicu dari luar, antara lain meliputi; Penetrasi ideology, Kondisi yang
dialaminya.
Radikalisme dapat tumbuh karena beberapa faktor yang saling terkait dan mendukung sehingga
menyebabkan pemahamannya berubah. Untuk itu perlu dilakukan penelitian agar dapat
mengetahui faktor apa yang dominan dan dapat mewakili penyebab dari timbulnya pemahaman
radikal tersebut. Hal ini sangat menarik untuk dibahas, mengingat kemungkinan banyak pertanyaan
yang diajukan terkait masalah tersebut. Dalam penelitian ini, yang akan digunakan untuk bisa
menilai seseorang berdasarkan kepribadian yang dimiliki oleh tiap individu.

METHODOLOGY
Berdasarkan pendapat dari para ahli psikologi maka penulis berpendapat bahwa kepribadian dapat
dinilai berdasarkan penilaian dari luar dan penilaian dari dalam. Masing-masing penilaian terdiri
dari aspek-aspek pendukung berupa sifat individu yang stabil dalam waktu lama dihadapkan pada
berbagai situasi yang berbeda. Penilaian kepribadian ini diambil dari respon individu tersebut
setelah melakukan interaksi dengan lingkungna fisik dan sosialnya. Penilaian dari dalam dan luar
dapat dilakukan melalui survei, pengamatan serta wawancara terhadap individu. Penilaian dari
dalam berupa pikiran, opini dan keinginan. Sedangkan penilaian dari luar berupa tingkah laku,
emosi dan sikap. Selanjutnya kedua hasil penilaian ini digabungkan menjadi satu penilaian utuh
yang merupakan hasil akhir dari penilaian kepribadian seseorang.

81
RESULTS/FINDINGS
1. Reserved (Pendiam) : Orang-orang tipe ini kepribadiannya introvert (kurang terbuka / tertutup)
pada orang lain namun memiliki neuroticism (stabilitas emosi) yang baik. Biasanya dalam bergaul,
extraversion (minat pada fenomena sosial) sangat rendah namun tetap ramah pada orang lain dan
tidak mudah dalam agreeableness (kesepakatan). Openness (keterbukaan) yang dimiliki sangat
kurang namun memiliki conscientiousness (sifat berhati-hati) yang tinggi sehingga cenderung
sangat teliti dalam menilai suatu hal. Individu ini lebih banyak mengamati pada lingkungan
sekitarnya dan jarang menyatakan pendapatnya pada orang lain.
2. Average (Rata-Rata) : Sementara orang-orang di tipe ini memiliki extraversion (minat pada
fenomena sosial) yang tinggi namun openness (keterbukaan) sangat rendah. Tetapi skor sangat baik
untuk agreeableness (mudah bersepakat) dan conscientiousness (sifat berhati-hati). Individu
seperti ini memiliki kelebihan dirinya cenderung ekstrovert (terbuka) dan memiliki nilai neuroticism
(stabilitas emosi) sangat tinggi. Hal ini membuatnya tidak berani mengambil resiko dan cenderung
mengambil Langkah aman dalam menyelesaikan suatu masalah.
3. Role Model (Panutan) : Mereka dengan kepribadian ini merupakan pemimpin yang alami karena
cenderung ekstrovert (terbuka) sehingga mudah beradaptasi dengan lingkungan namun
kelemahannya memiliki neuroticism (stabilitas emosi) yang rendah. Mereka umumnya memiliki
openness (keterbukaan) yang baik sehingga diterima lingkungan dan tabiatnya selalu terkendali
karena conscientiousness (sifat berhati-hati) sangat tinggi. Mereka memiliki kelebihan mudah
dalam bersosialisasi mengingat extraversion (minat pada fenomena sosial) baik sehingga
membuatnya mudah dalam membuat perjanjian karena memiliki agreeableness (kesepakatan)
sangat baik. Pribadi ini dianggap menarik dan selalu dikagumi karena mampu menjadi contoh bagi
orang disekitarnya.
4. Self Centered (Egois) : Pemilik tipe kepribadian ini biasanya mempunyai neuroticism (stabilitas
emosi) yang rendah tetapi perhatiannya pada extraversion (minat pada fenomena sosial) sangat
baik. Dirinya cenderung introvert (tertutup) sehingga membuatnya sulit dalam membuat
agreeableness (bersepakat) dengan orang lain. Secara umum, karena kurang dalam openness
(keterbukaan) membuatnya rendah dalam conscientiousness (sifat berhati-hati). Individu seperti
ini lebih mengutamakan kepentingan sendiri dan cenderung mengabaikan pendapat dari orang lain.

ANALYSIS / DISCUSSION
1. Penilaian dari luar : a. Tingkah laku merupakan Tindakan atau perilaku suatu organisme
yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari (Ribert Kwik, 1974). Jadi secara umum
tingkah laku manusia pada hakekatnya adalah proses interaksi individu dengan lingkungan
sebagai maninvestasi hayati bahwa dia adalah mahluk hidup.
2. Penilaian dari dalam : a. Pikiran merupakan gagasan dan proses mental untuk
merepresentasikan dunia sebagai model dan memberikan perlakuan terhadapnya secara
efektif sesuai dengan tujuan, rencana dan keinginan. Berpikir secara realistik (Floyd L. Ruch,
1976).

CONCLUSION
Penilaian kepribadian dapat dilakukan dari luar yaitu melalui 3 komponen antara lain tingkah laku,
emosi dan sikap. Sedangkan penilaian kepribadian dari dalam bisa dilakukan dengan cara mengukur
pikiran, opini dan kebutuhannya sehingga dapat diketahui seberapa besar tingkat radikalisme yang
dimiliki oleh seseorang. Kedua penilaian tersebut (dari luar dan dari dalam) tidak dapat berdiri

82
sendiri. Keduanya harus diintegrasikan sehingga diperoleh gambaran yang utuh berupa hasil
penilaian dari dalam dan luar. Selanjutnya hasil penilaian dari dalam dan luar tersebut dapat
digunakan untuk menentukan tipe kepribadian melalui pendekatan SARR (Self Centered, Average,
Reserved dan Role Model) yang mewakili posisi dari orang tersebut dalam organisasi kelompok
radikal yang diikutinya. Hal ini akan sangat membantu dalam melakukan profiling terhadap
keberadaan individu tersebut dalam kelompok dan interaksinya dengan masyarakat umum.

JOURNAL 25

IDENTITY
JOURNAL : Experientia
MENGKAJI SEJUMLAH KEMUNGKINAN PENYEBAB TINDAK
TITTLE :
TERORISME: KAJIAN SOSIO-KLINIS
AUTHOR : Michael Seno Rahardanto
REVIEWER IDENTITY : Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

THE ABSTRACT
“Terorisme” merupakan sebuah fenomena yang selama satu dekade terakhir ini berulangkali terjadi
di Indonesia. Acapkali, tindak terorisme dikaitkan dengan unsur radikalisme dalam pemaknaan
terhadap ajaran agama. Pemberantasan terorisme dipersulit karena adanya sejumlah faktor yang
melatarbelakangi munculnya aksi terorisme, seperti persepsi ketidakadilan distributif, prosedural,
interaksional; pemaknaan terhadap ayat-ayat kitab suci yang dipersepsikan mendukung
radikalisme; polarisasi ingroup-outgroup yang semakin besar; adanya bias heuristik yang dialami
para pelaku tindak terorisme; indoktrinasi dari lingkungan, dan kekecewaan terhadap praktik
sistem demokrasi di Indonesia. Faktor-faktor ini saling jalin-menjalin sehingga menjadikan tindak
terorisme seolah memiliki banyak ranting dan cabang yang menyulitkan pemberantasan tindak
tersebut. Pemberantasan terorisme dengan cara inkapasitasi langsung terhadap para pelaku
terorisme tidak akan efektif bila tidak dibarengi dengan tindakan diplomatis-humanistis, yakni
menyasar akar sosiokultural yang melatarbelakangi terorisme. Psikologi, sebagai suatu ilmu,
memiliki tanggungjawab untuk mengeksplorasi asal-muasal terorisme dan mencari solusi yang
aplikatif dan relevan.

THE INTRODUCTION AND


LITERATURE REVIEW
Fenomena terorisme di Indonesia merupakan sebuah fenomena yang merebak dengan cukup
drastis selama satu dekade terakhir. Maraknya kasus terorisme di Indonesia bisa ditelusuri sejak
kasus Bom Malam Natal tahun 2000, Bom Bali I tahun 2002, hingga penembakan terhadap pos polisi
di Solo, yang menewaskan Bripka Dwi Data Subekti (“Penembakan Pos Polisi Singosaren Solo”,
2012). Terorisme didefinisikan sebagai “kekerasan yang bermuatan politis, yang dilakukan oleh
individu, kelompok, atau negara, untuk menimbulkan perasaan terteror dan tidak berdaya pada
suatu populasi, dengan tujuan mempengaruhi suatu proses pengambilan keputusan atau
mengubah perilaku” (Moghaddam, 2005). Contoh definisi ini dapat diterapkan kepada tindak
terorisme secara umum. Meski demikian, penulis menyadari bahwa pendefinisian “terorisme”
83
sangatlah dipengaruhi oleh siapa yang membuat definisi tersebut. Suatu pihak yang disebut
“teroris”, oleh pihak lainnya bisa jadi disebut “pejuang kemerdekaan” (one person’s terrorist is
another person’s freedom fighter) (Galtung, 1987). Dalam kasus perang di Afganistan, contohnya,
masing-masing pihak—tentara Amerika dan militan Al-Qaeda—mengklaim bahwa pihak lawan
adalah teroris, sedangkan pihaknya sendiri adalah pejuang dalam suatu misi yang suci.
Penting dicermati bahwa riset-riset yang menyusun profil para teroris tidak menemukan bukti
mengenai adanya kaitan antara psikopatologi, kurangnya inteligensi, kemiskinan, dan faktor-faktor
kepribadian patologis dengan keputusan melakukan aksi terorisme, termasuk pada pelaku bom
bunuh diri (Ruby, 2002; Atran, 2004; Moghaddam, 2005; Ehrlich & Liu, 2002). Satu-satunya faktor
yang seragam adalah demografis—artinya, para pelaku tindak terorisme cenderung mengelompok
dari suatu lokasi tertentu (misalnya daerah rawan konflik di Timur Tengah atau Irlandia Utara)
(Ruby, 2002). Tentu saja, penulis tidak memungkiri bahwa kepribadian (atau tepatnya, gangguan
kepribadian) bisa jadi merupakan faktor pencetus tindak terorisme (seperti kasus Timothy
McVeigh, yang dinyatakan mengalami skizofrenia paranoid—lihat Ruby, 2002), namun faktor
psikopatologi semacam itu lebih bersifat insidental, alih-alih suatu fenomena global. Terorisme
tidak semata-mata disebabkan oleh faktor kepribadian saja (atau faktor tunggal apapun, termasuk
kemiskinan atau tingkat pendidikan), namun merupakan jalinan dari beragam variabel politik,
kultural, ekonomi, sosioreligiusitas, demografis dan faktor-faktor psikologis. Dalam artikel ini,
penulis mencoba memetakan sejumlah faktor yang, berdasarkan penelitian empirik, berpotensi
melatarbelakangi kasus-kasus terorisme (secara umum) Penulis secara pribadi lebih menyukai
kerangka berpikir Johan Galtung (1987) dalam mendefinisikan fenomena-fenomena sosial,
termasuk terorisme. Galtung berpendapat bahwa fenomena sosial memiliki pola “siapa melakukan
apa kepada siapa, kapan, dimana, bagaimana, dan mengapa” (a study of who does what to whom,
where, when, how,and why). Bila kata “does” diganti “says”, maka studi yang dimaksud adalah ilmu
komunikasi, sedangkan bila kata “does” diganti “thinks”, dan “to” diganti “of”, maka studi yang
dimaksud adalah psikologi (dalam skala mikro). Pola ini juga bisa diterapkan untuk menganalisis
kasus-kasus terorisme.

METHODOLOGY
Kualitatif deskriptif

84
RESULTS/FINDINGS
Persepsi terhadap ketidakadilan distributif, prosedural, dan interaksional. Greenberg (dalam Ancok,
2008) mengemukakan adanya tiga jenis persepsi keadilan, yakni keadilan distributif, prosedural,
dan interaksional (lihat pula Moghaddam, 2005). Keadilan distributif menyangkut pembagian
sumberdaya secara adil, keadilan prosedural berkaitan dengan pemberian hak yang setara untuk
mengambil keputusan dalam pengelolaan sumberdaya, dan keadilan interaksional berkaitan
dengan penerapan interaksi secara adil, tanpa pilih kasih (Moghaddam, 2005; Ancok, 2008). Dalam
esainya mengenai radikalisme dalam agama, Djamaludin Ancok (2008) berpendapat bahwa
persepsi terhadap ketidakadilan merupakan faktor penting yang berkorelasi dengan radikalisme
yang berujung ke terorisme.
Pemaknaan terhadap ayat-ayat kitab suci yang dipersepsikan mendukung radikalisme. Komunitas
yang mendukung atau menyuburkan persepsi radikalisme. Polarisasi ingroup-outgroup. Bias
heuristik yang dialami para pelaku tindak terorisme. Kekecewaan terhadap praktik sistem
demokrasi.

ANALYSIS / DISCUSSION
Dalam artikel singkat ini, penulis belum membahas ranah solusi. Penulis masih berfokus ke ranah
teoretik, khususnya menyangkut faktor-faktor penyebab terorisme. Meski belum memasuki ranah
solusi, penulis memiliki keyakinan bahwa intervensi terhadap terorisme seyogyanya dilandaskan
pada intervensi terhadap faktor “why” (pemahaman mengenai akar-akar penyebab terorisme),
bukan sematamata inkapasitasi atau pemusnahan terhadap faktor “who”. Sejumlah faktor “why”
yang dipaparkan penulis dalam artikel ini tidak berdiri sendiri-sendiri sebagai faktor tunggal,
melainkan lebih bersifat jalin-menjalin dalam membentuk suatu sikap yang akhirnya mengarah ke
perilaku terorisme.
Freud menyatakan bahwa manusia memiliki insting untuk hidup atau untuk mengasihi kehidupan
(yang dinamakan Eros) dan insting untuk mati atau untuk merusak (yang dinamakan Thanatos)
(Grossman, 1995). Sepanjang sejarah kemanusiaan, naluri Eros (cinta) dan Thanatos (kematian)
dalam diri manusia telah berperang (Grossman, 1995). Sesungguhnya, secara naluriah, manusia
adalah makhluk Eros (cinta) yang menyukai perdamaian dan membenci konflik. Sudah saatnya
Thanatos diredam dan Eros dipulihkan. Sudah saatnya manusia hidup bergandengan tangan dalam
kasih sayang dan tidak lagi saling membenci, dan tugas para ahli psikologi—entah praktisi atau
ilmuwan—adalah bahu-membahu bersama para agamawan, aparat keamanan, dan masyarakat,
dalam mewujudkan impian yang indah tersebut.

CONCLUSION
Psikologi, sebagai suatu ilmu, memiliki peranan sangat penting dalam upaya meredam tindak
terorisme dan mempromosikan kedamaian di bumi tercinta ini. Alasannya, terorisme dilakukan
oleh orang-orang yang memiliki seperangkat nilai, norma, dan persepsi tertentu, dan sebagaimana
kita ketahui, nilai, norma, dan persepsi adalah objek studi psikologi (Moghaddam, 2005). Demikian
pula, para korban tindak terorisme berpotensi mengalami gangguan stres pascatrauma; inipun
merupakan bagian kajian psikologi. Upaya untuk mengatasi persepsi ketidakadilan dan persepsi
radikalisme keagamaan—yang melandasi sebagian besar aksi terorisme—jauh lebih efektif dalam
jangka panjang, dan hal ini merupakan tugas para ahli psikologi (Moghaddam, 2005). Upaya
mengatasi kekerasan dengan kekerasan, yang selama ini sering dijadikan satu-satunya cara untuk
melawan terorisme, justru menimbulkan pesan bahwa satu-satunya cara membalas tindak agresi

85
adalah dengan agresi pula. Bahkan, pada satu titik, bisa jadi “jin kekerasan tersebut tidak bisa lagi
dikembalikan ke botolnya” (Grossman, 1995: 330). Hal tersebut telah terjadi di Roma zaman
dahulu. Hal tersebut telah terjadi di Yugoslavia pada zaman modern. Negara-negara atau kerajaan-
kerajaan tersebut—yang sarat dengan sejarah panjang peperangan, dominasi, dan agresi—tidak
lagi eksis di muka Bumi.

JOURNAL 26

IDENTITY
Jurnal Psikologi Integratif Prodi Psikologi UIN Sunan Kalijaga Vol.
JOURNAL :
8, Nomor 1, 2020 Halaman 1-28
Pengakuan Bahwa Aksi Kelompok-Sendiri Bisa Mengancam
KelompokLain (Acknowledgements of Threatening Ingroup
TITTLE :
Actions) dan Perannya dalam Meredam Ekstremisme
(Extremism) dan Radikalisme Kekerasan (Violent Radicalism)
AUTHOR : Ali Mashuri , Esti Zaduqisti , Sukma Nurmala
Ali Mashuri (Jurusan Psikologi Universitas Brawijaya Malang),
REVIEWER IDENTITY : Esti zaduqisti (Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah), Sukma
Nurmala (Jurusan Psikologi Universitas Brawijaya Malang).

THE ABSTRACT
Penelitian ini bertujuan untuk menguji mekanisme psikologis mengapa keterbukaan untuk
mengakui tindakan kelompok-sendiri (ingroup) yang bisa mengancam eksistensi kelompok-lain
(outgroup), yang disingkat dengan istilah acknowledgements of threatening ingroup actions,
berperan dalam meredam permasalahan esktremisme (extremism) dan radikalisme kekerasan
(violent radicalism) yang mengatasnamakan Islam di Indonesia. Survei korelasional yang melibatkan
404 mahasiswa Muslim dari berbagai universitas di Indonesia dalam penelitian ini menemukan
bahwa acknowledgements of threatening ingroup actions berkontribusi menangkal esktremisme
dan radikalisme kekerasan karena perannya dalam meningkatkan sikap kritis terhadap kelompok-
sendiri atas pelanggaran terhadap kelompok lain (ingroup wrongdoings). Sikap kritis ini mencakup
penerimaan atas pelanggaran terhadap kelompok-lain (acceptance of ingroup wrongdoings),
tanggungjawab atas pelanggaran terhadap kelompok-lain (ingroup responsibility), dan amarah atas
aksi pelanggaran tersebut (anger against ingroup actions). Temuan-temuan empiris ini
mengimplikasikan bahwa acknowledgements of threatening ingroup actions memfasilitasi kognisi
dan emosi rekonsiliatif Muslim, yang selanjutnya berperan dalam meredam ekstremisme dan
radikalisme kekerasan dalam hubungan mereka dengan non-Muslim. Implikasi teoretis dan praktis
dari temuan-temuan empiris ini dielaborasi dalam bagian diskusi, yang juga menyoroti sejumlah
kelemahan atau kekurangan dalam penelitian ini.

THE INTRODUCTION AND


LITERATURE REVIEW

86
Indonesia adalah negara plural. Selain Islam, negara mengakui secara formal eksistensi lima agama
lain, yaitu Kristen Protestan, Kristen Katolik, Budha, Hindu, dan Konfusianisme (Parker, 2017).
Namun sangat disayangkan sejumlah aksi terorisme yang mengatasnamakan Islam di Indonesia
berpotensi mengancam eksistensi agamaagama lain, mulai dari bom Bali di tahun 2002 (Tan, 2003)
sampai dengan tragedi bom bunuh-diri di Surabaya tahun 2018 yang menyasar gereja (Schulze,
2018). Terorisme adalah masalah nasional yang secara serius bisa mengancam kelangsungan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang didirikan atas dasar pengakuan terhadap
pluralisme beragama. Menemukan solusi yang efektif untuk meredam terorisme dengan demikian
merupakan langkah penelitian dan terapan sosial yang sangat penting dan relevan di Indonesia.
Radikalisme agama dan terorisme secara empiris tidak terkait secara langsung. Seorang teroris
kemungkinan besar adalah seorang radikal. Meskipun demikian, tidak semua orang radikal
otomatis adalah seorang teroris (Sugiono, 2011). Terlepas dari argumentasi ini, terdapat
kesepakatan akademis bahwa radikalisme adalah pemicu terbesar dibandingkan dengan faktor-
faktor lain dalam memantik terorisme (Lombardi dkk., 2014).
Di Indonesia, sebagai respon terhadap trend aksi radikalisme dan terorisme yang
mengatasnamakan Islam, sejumlah penelitian psikologi telah dilakukan dengan tujuan
mengidentifikasi faktor-faktor pemantik radikalisme di kalangan sejumlah Muslim. Sebagai contoh,
Muluk, Sumaktoyo, dan Ruth (2012) melaporkan bahwa dukungan atas penerapan syariat Islam
dan fundamentalisme Islam adalah variabelvariabel yang memprediksi radikalisme dalam bentuk
dukungan terhadap jihad yang membenarkan penggunaan kekerasan. Sementara itu, penelitian
oleh Milla, Faturrochman, dan Ancok (2013) menemukan peran pemimpin kelompokkelompok
radikal sebagai pemantik radikalisme. Faktor lain yang ikut berkontribusi adalah faktor situasional,
yaitu persepsi-persepsi di kalangan Muslim bahwa pihak Barat telah menginvasi negara-negara
Muslim (Putra & Sukabdi, 2013), serta persepsi bahwa agama-agama lain telah memperlakukan
Muslim secara tidak adil (Yustisia, Shadiqi, Milla, & Muluk, 2020). Penelitian lain menemukan peran
jaringan sosial dalam proses radikalisasi sebagian Muslim di Indonesia (Hakim & Mujahidah, 2020).
salah satu kunci sukses untuk menangani radikalisme Islam adalah penanaman sikap positif dari
tahanan teroris dalam menerima dan menjalani program deradikalisasi. Faktor lain adalah
pelatihan ekspresi emosi dan fleksibilitas kognitif dalam program deradikalisasi tahanan teroris.
Dengan pelatihan ini, tahanan teroris mampu lebih terbuka dan menerima demokrasi dan
sebaliknya, bersikap anti atau menolak sistem negara khilafah (Muluk, Umam, & Milla, 2019).
Dalam penelitian ini, kami mengajukan gagasan yang mengandung sebuah kebaruan bila
dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya baik di Indonesia maupun di luar negeri.
Kebaruan ini terkait dengan peran pengakuan bahwa aksi Muslim bisa mengancam eksistensi non-
Muslim di Indonesia (acknowledgement of threatening ingroup actions) yang belum pernah diuji
perannya secara empiris dalam mengatasi masalah radikalisme Islam.

METHODOLOGY
Sebanyak 404 Mahasiswa muslim dari berbagai universitas di Indonesia (179 laki-laki, 225
perempuan; 320 etnis Jawa, 84 etnis non-Jawa; 253 jurusan noneksakta, 151 jurusan eksakta;
Musia = 20,78, SDusia = 1,99) Sampel penelitian ini diperoleh melalui convenient sampling sebagai
bentuk non-random sampling atas dasar akses yang dimiliki oleh peneliti. Sebanyak 8 subjek
penelitian menyatakan diri sebagai mahasiswa non-Muslim sehingga dieliminasi dalam analisis
Metode penelitian yang diterapkan adalah survei korelasional dimana semua variabel yang terkait
diukur melalui skala psikologi.

87
Penelitian dilakukan secara daring dengan menyebarluaskan angket atau kuesioner berisi sejumlah
pertanyaan. Subjek penelitian diminta untuk menjawab setiap pertanyaan dengan memilih salah
satu di antara lima opsi jawaban yang bergerak dari 1 (sangat tidak setuju) sampai dengan 7 (sangat
setuju). Skor untuk masing masing variabel dalam penelitian ini dihitung atas dasar nilai rata-rata
untuk semua pertanyaan dalam masing-masing variabel.
RESULTS/FINDINGS
acknowledgements of threatening ingroup actions secara signifikan memprediksi ke arah positif
acceptance of ingroup wrongdoings (β = .41, SE = 0.05, p < .001), ingroup responsibility (β = .37, SE
= 0.05, p < .001), anger against ingroup actions (β = .29, SE = 0.06, p < .001), dan empathetic
collective angst (β = .49, SE = 0.05, p < .001). Hasil-hasil ini mengkonfirmasi Hipotesis 1. Peran
acknowledgements of threatening ingroup actions dalam meredam atau memprediksi ke arah
negatif ekstremisme melalui acceptance of ingroup wrongdoings (Indirect effect: β = -.09, SE = 0.03,
p = .012) dan empathetic collective angst (Indirect effect: β = .13, SE = 0.03, p < .015) adalah
signifikan, tetapi tidak signifikan melalui ingroup responsibility (Indirect effect: β = -.05, SE = 0.03,
p = .068) dan anger against ingroup actions (Indirect effect: β = -.02, SE = 0.02, p = .437). Hipotesis
2 dengan demikian terbukti secara parsial.
Hipotesis 3 juga terbukti secara parsial karena ekstremisme secara signifikan memediasi peran
acceptance of ingroup wrongdoings (Indirect effect: β = -.12, SE = 0.05, p = .013) dan empathetic
collective angst (Indirect effect: β = .15, SE = 0.04, p < .001) dalam meredam radikalisme kekerasan,
tetapi tidak signifikan dalam memediasi peran ingroup responsibility (Indirect effect: β = -.08, SE =
0.05, p = .065) dan anger (Indirect effect: β = -.03, SE = 0.04, p = .436) dalam meredam radikalisme
kekerasan.

ANALYSIS / DISCUSSION
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji peran acknowledgements of threatening ingroup
actions dalam meredam ekstremisme dan radikalisme kekerasan, khususnya di kalangan
mahasiswa Muslim. Temuan dalam Studi 1 menunjukkan, mendukung hipotesis yang ditetapkan
(Hipotesis 1), bahwa acknowledgements of threatening ingroup actions secara signifikan bisa
memprediksi secara positif acceptance of ingroup wrongdoings, ingroup responsibility, anger
against ingroup actions, dan empathetic collective angst. Hipotesis 2 terbukti secara parsial dimana
hubungan antara acknowledgements of threatening ingroup actions dan ekstremisme secara
signifikan dimediasi oleh acceptance of ingroup wrongdoings dan empathetic collective angst,
tetapi secara tidak signifikan dimediasi oleh ingroup responsibility dan anger against ingroup
actions. Hipotesis 3 juga terbukti secara parsial dimana ekstremisme secara signifikan memediasi
hubungan antara acceptance of ingroup wrongdoings dan empathetic collective angst dengan
radikalisme kekerasan tetapi secara tidak signifikan memediasi hubungan antara ingroup
responsibility dan anger against ingroup actions dengan radikalisme kekerasan.
Literatur dalam psikologi sosial selama ini memfokuskan pada konsep
ancaman antarkelompok (intergroup threat) yang bersifat inward, merefleksikan sejauh mana
kelompok-lain (outgroup) telah, sedang, ataupaun akan memberi ancaman pada kelompok-sendiri
(ingroup). Ancaman antarkelompok yang bersifat inward ini dioperasionalisasikan baik secara
realistik atau objektif, yang menjadi fokus kajian dari realistic conflict theory (RCT; Campbell, 1965)
atau disebut juga dengan realistic group conflict theory (RGCT; Jackson, 1993), maupun secara
perseptual atau subjektif, yang menjadi fokus kajian dari integrated threat theory of prejudice (ITT;
Stephan & Renfro, 2002). Ancaman antarkelompok yang bersifat inward telah ditemukan menjadi

88
pemantik konflik kolektif (Riek, Mania, & Gaertner, 2006). Dalam penelitian ini, berbeda dengan
literatur psikologi sosial sebelumnya, ancaman antar kelompok dioperasionalisasikan secara
outward, merefleksikan kesadaran dan pengakuan bahwa aksi-aksi ingroup bisa memberi ancaman
terhadap outgroup.

CONCLUSION
Dalam penelitian ini, acknowledgements of threatening ingroup actions terdiri dari tiga dimensi
atau faktor, yaitu symbolic annihilation (sejauh mana anggota ingroup menyadari dan mengakui
bahwa aksi-aksi kelompok mereka bisa membahayakan keberadaan identitas, budaya, atau norma-
norma outgroup), realistic annihilation (sejauh mana anggota ingroup menyadari dan mengakui
bahwa aksi-aksi kelompok mereka bisa membahayakan keberadaan fisik ataupun kekuasaan
outgroup), dan past victimisation (sejauh mana anggota ingroup memikirkan tentang derita yang
dialami oleh outgroup akibat aksi-aksi kelompok mereka). Terkait dengan dimensi terakhir, yaitu
past victimisation, penelitian sebelumnya oleh Green dkk. (2017) menemukan bahwa pengakuan
anggota ingroup bahwa aksi-aksi kelompok mereka telah mengakibatkan penderitaan kepada
outgroup (acknowledgements of outgroup suffering) berkontribusi dalam meningkatkan
perdamaian antarkelompok karena pengakuan tersebut mendorong ingroup untuk bersedia
memaafkan kesalahankesalahan outgroup (forgiveness) dan merasa bersalah atas
pelanggaranpelanggaran ingroup terhadap outgroup (feelings of guilt). Hasil penelitian lain
(Andrighetto, Halabi, & Nadler, 2018) yang relevan meskipun dengan arah fokus yang berkebalikan
juga menemukan bahwa pengakuan dari outgroup bahwa aksi-aksi kelompok mereka telah
memberikan penderitaan bagi ingroup mendorong ingroup untuk mempercayai pemimpin
outgroup (trust towards outgroup leaders) dan kemauan untuk memaafkan kesalahan-kesalahan
outgroup (willingness to forgive outgroup members).

RECOMMENDATIONS
merekrut sampel non-mahaiswa, dengan tujuan untuk menguji sejauh mana hasil-hasil empiris
dalam penelitian ini bersifat konsisten atau bisa digeneralisasikan pada sampel dengan karakteristik
yang berbeda dan lebih beragam.

STRENGTHS
hasil-hasil empiris dalam penelitian ini bersifat konsisten

WEAKNESSES
Kelemahan pertama terkait dengan sampel penelitian yang terbatas pada mahasiswa. isu
conceptual replication. Radikalisme tidak sebatas terkait dengan Islam atau Muslim. Radikalisme
juga muncul sebagai fenomena sosial di kalangan pemeluk agama lain selain Islam.

89
JOURNAL 27

IDENTITY
JOURNAL : Jurnal Psikologi, Volume 17 Nomor 1, Juni 2021
Penggunaan Media Sosial Dan Pemahaman Tentang Radikalisme
TITTLE :
Di Kalangan Pelajar Muslim
Amirah Diniaty, Susilawati Susilawati, Zarkasih Zarkasih, Rian
AUTHOR :
Vebrianto
REVIEWER IDENTITY : ex: Becce, (Mahasiswa S1 Psikologi, Universitas Bosowa)

THE ABSTRACT
Media sosial merupakan salah satu sarana penyebarluasan paham radikal terutama bagi generasi
muda. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap penggunaan media sosial oleh pelajar musllim
di tingkat sekolah menangah atas, dan kaitannya dengan pemahaman mereka tentang radikalisme.
Jenis penelitian ini adalah survey terhadap 316 orang pelajar dari 5 sekolah menengah atas yang
ada di kecamatan Tampan Pekanbaru. Sampel penelitian ini diambil secara random dengan teknik
purposive sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan angket dalam bentuk google form
yang berisi pertanyaan tentang; jenis dan konten media sosial yang diakses, intensitas dan upaya
yang dilakukan pelajar untuk menggunakan media sosial. Pemahaman tentang radikalisme dilihat
dari jawaban responden terhadap item-item yang diklasifikasi menjadi skala likert. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pelajar yang intensitas akses media sosialnya rendah, cendrung kurang
memahami tentang radikalisme dan bahayanya. Jika dilihat dari mean jawaban responden yang
intensitas penggunaan media sosialnya rendah, ternyata tidak paham tentang radikalisme. Artinya
semakin mereka sering mengakses media sosial, semakin sering mereka mendapatkan informasi
tentang radikalisme. Perlu ada penelitian yang lebih detil apa saja informasi tentang radikalisme
yang mereka dapatkan di media sosial tersebut.

THE INTRODUCTION AND


LITERATURE REVIEW
Pelajar tingkat sekolah menengah adalah aset bangsa yang menurut sumber BPS, tahun 2011 ada
44 juta anak umur 10-19 ahun. Merekalah yang akan menjadi bagian dari usia produktif penduduk
Indonesia di tahun 2045 yang diperkirakan berjumlah 70% dari total jumlah penduduk, yang disebut
sebagai generasi emas. Hasil survei Alvara Strategic Research tahun 2014 menjelaskan generasi usia
15-34 tahun sangat tinggi tingkat ketergantungannya pada koneksi internet. Hasil penelitian lain
menunjukkan mengakses media sosial menjadi tujuan mayoritas remaja menggunakan internet
mencapai 64,4% (Pasquala, Sciacca dan Hichy, 2015), terutama dengan menggunakan handphone.
Penelitian yang dilakukan oleh Vebrianto et al (2020) menunjukkan bahwa media sosial
memengaruhi pemahaman beragama mahasiswa; sebanyak 100 orang (40,0%) lebih terpengaruh
oleh twitter dan 99 orang (39,6%) oleh sosial media whatsapp kemudian diikuti oleh media lainnya
youtube dan face book. Dengan interaksi yang sangat sering dan sering seramai 55,2% atau 139
orang yang menggunakan sedangkan yang jarang adalah seramai 89 orang (35,6%) sedangkan
lainnya di bawah 10 persen. Faktanya dampak negatif media sosial juga menjadi media
penyebarluasan tindakan intoleransi, paham radikalisme, terorisme di Indonesia. Radikalisme atau
kekerasan dalam agama dan atas nama agama saat ini cukup mengkhawatirkan (Riyadi, 2016). Hasil
penelitian John Obert Voll tentang jaringan teroris bukan lagi mata rantai terpenting dalam kaitan
90
dengan mentransformasikan politik komunitas muslim di seluruh dunia, melainkan jaringan
intelektual dan pertukaran ideologi melalui media internet (Agus, 2016).
Hasil penelitian Ghifari (2017) menemukan bahwa Kemenkominfo & PBNU memblokir situs 300
dari 900 yang mengandung konten radikalisme di tahun 2011. Pada tahun 2015, Kemenkominfo
memblokiran 22 situs (Islam) yang menyebarkan paham radikalisme. Pemblokiran ini atas
permintaan BNPT dengan 3 kriteria: (1) menggunakan kekerasan dengan mengatasnamakan
agama, (2) takfiri (mengkafirkan orang lain), (3) memaknai jihad secara terbatas. Data BNPT
melansir sejak 2010-2015 ada 814.594 situs serupa yang sudah diblokir (Ghifari, 2017).
Radikalisme merupakan suatu perbuatan penyimpangan yang dilakukan dengan anggapan bahwa
semua tindakan yang dilakukan adalah benar sehingga menyalahkan segala tindakan yang
dilakukan kelompok lain hingga menimbulkan perbuatan anarkis. Nur (2019) menjelaskan bahwa
radikalisme muncul diakibatkan suatu kelompok dengan kondisi ekonomi relatif baik sehingga
mereka terasa dipinggirkan. Selain itu kebencian mereka terhadap prilaku rezim yang berkuasa
menghambat kegiatan sosial mereka. Radikalisme muncul bukan hanya dikarenakan faktor
perekonomian, namun dikarenakan perbedaan ideologi dalam doktrin agama. Sikap radikalisme
muncul dengan mengatasnamakan Islam. Terorisme muncul diakibatkan sikap radikal yang
memuncak sudah menjiwai seorang individu sehingga merusak bahkan membunuh sekelompok
yang dianggap ancaman serta jihad baginya. Anastasia (2018) menjelaskan terorisme dan
radikalisme dapat mengguncang rasa keIndonesiaan yang beragam, tidak toleran dan tidak
menerima terhadap perubahan. Selain itu Hasnah dan Rasyidin (2019) sikap terorisme memasuki
era millennium ketiga, serangkaian peristiwa pemboman situs milik negara Barat telah terjadi, dan
menimbulkan citra negatif dunia Barat terhadap Indonesia.
Terdapat empat ciri utama radikalisme yaitu: (a) gerakan atau paham anti NKRI (b) gerakan atau
paham yang anti pancasila (c) gerakan atau paham yang menyebarkan intoleransi (d) gerakan atau
paham yang mengajak ke tindakan kekerasan (Kartini, 2019). Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan
penggunaan media sosial oleh pelajar muslim dan pemahaman mereka tentang radikalisme. Hasil
penelitian ini menjadi sinyal yang harus diwaspadai orang tua, para pendidik tentang seberapa
mengkhawatirkannya generasi milenial muslim dalam menggunakan internet.

METHODOLOGY
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survei lapangan. Survei
dilakukan dengan menggunakan google form pada responden yaitu pelajar muslim di sekolah
menengah atas berbasis Islam di kota Pekanbaru, dan sekolah menengah umum.
Subjek penelitian ini adalah pelajar muslim berjumlah 316 orang dari 5 sekolah menengah atas
berbasis Islam yang ada di kecamatan Tampan Pekanbaru. Sampel penelitian ini diambil secara
random dengan teknik purposive sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan angket dalam
bentuk google form, data dianalisis secara deskriptif kuantitatif menggunakan software SPSS versi
22 untuk menjelaskan frekuansi dan persentase dari data yang di tampilkan.

91
RESULTS/FINDINGS
Penggunaan Media Sosial oleh Pelajar Muslim 1. Jenis media sosial yang paling banyak di digunakan
pelajar adalah Instagram (34,17%), Whatshap (32,22 %) dan Facebook (31,02%). 2. Intensitas
penggunaan media sosial terlihat dalam tabel 4 bahwa sebagian besar (44%) antara 3-7 jam dalam
sehari. Bahkan ada yang mengakses lebih dari 10 jam dalam sehari (4,7%) dan tampa batas (0,9%).
3. Perangkat dan pulsa untuk mengakses media sosial Hampir semua responden (85,8%) memiliki
sendiri handphone untuk mengakses media sosial. 4. Pemahaman pelajar tentang radikalisme dan
bahayanya masih tergolong rendah terlihat dari dari jawabannya terhadap item-item yang
diklasifikasi. 5. Intensitas Penggunaan Media Sosial dan Pemahaman tentang Radikalisme di
kalangan Pelajar t bahwa jumlah pelajar yang akses media sosialnya rendah lebih banyak kurang
memahami tentang radikalisme dan bahayanya.

ANALYSIS / DISCUSSION
Temuan penelitian memetakan penggunaan media sosial oleh pelajar muslim lebih banyak pada
jenis instagram, whatshapp dan facebook, dengan waktu yang digunakan untuk mengakses
sebagian besar (44%) antara 3-7 jam dalam sehari. Hampir semua responden (70,9%) menggunakan
handphone/smartphone untuk mengakses internet, dan 85,8% memiliki sendiri handphone
tersebut. Untuk dapat mengakses media sosial sebagian dari responden (58, 28%) menggunakan
uang jajan mereka sendiri. Konten yang diakses responden banyak (31%) pada chatting pribadi, dan
akademik (28,2%).
Hasil penelitian lain menunjukkan mengakses media sosial menjadi tujuan mayoritas remaja
menggunakan internet mencapai 64,4% (Pasquala, Sciacca dan Hichy, 2015). Selain itu internet juga
dijadikan sebagai media belajar yang dianggap efektif karena dapat digunakan secara acak
berdasarkan keinginan anak, gagasan yang disajikan sesuai dengan simbol dan grafik, dan dapat
melibatkan interaktivitas siswa yang tinggi (Khairuni, 2016). Young (2004), menjelaskan kebanyak
orang menggunakan internet untuk memperbaiki mood dan melupakan tentang masalah pribadi
mereka. Mereka menggunakan internet untuk menyalurkan perasaan negatif sehingga berharap
lebih baik. Mereka mengemukakan tentang permasalahan pribadi mereka pada media sosial untuk
katarsis yang dapat mengakibatkan timbulnya permasalahan baru.
akses terhadap media sosial memberikan informasi tentang radikalisme. Namun perlu diwaspadai
adanya hoax yang dapat memberikan informasi tidak benar pada pelajar melalui media sosial. Hoax
adalah perbuatan dengan sengaja (penipuan dan kebohongan) yang bertujuan agar targetnya
menerima dan mempercayai informasi yang salah—dalam bentuk tulisan, gambar, dan cerita lisan
yang akhir-akhir ini lebih banyak dalam bentuk berita palsu. Survei Mastel (2017) menjelaskan
bahwa hoax lebih banyak berisi isu sosial politik (91,8%), tentang sara (86,6%) dan kesehatan
(41,2%). Paham radikalisme dapat tergolong dalam isu politik dan sara dapat tersebar berupa hoax,
yang harus diwaspadai oleh pelajar muslim saat mengakses media sosial.Untuk itu perlu
dikembangkan literasi counter radikalisme berbasis media sosial (Farah Noersativa, 2018). Peran
pemerintah diperlukan mengingat pola monitoring jaringan radikal sering menggunakan media
sosial sebagai kendaraannya, sehingga literasi melawan radikalisme berbasis dengan media sosial
menjadi sangat penting.

CONCLUSION

92
Temuan penting penelitian ini adalah bahwa semakin tinggi intensitas remaja mengakses media
sosial, maka akan semakin sering mereka mendapatkan informasi tentang radikalisme. Perlu
diwaspadai informasi yang tidak benar (hoaks) dari media sosial yang diakses. Perlu dibentuk sikap
seorang pelajar muslim yang cerdas dalam mengelola informasi dan menggunakan sosial media
agar terhindar dari berita hoax dan radikalisme. Agama islam mengajarkan pemeluknya untuk
saling menghormati, harmonis, damai dan hidup sejahtera. Munculnya garis keras yang
mengatasnamakan islam dalam interaksi antar manusia dimungkinkan oleh kesalhan dalam
memahami ayat Al Quran.

RECOMMENDATIONS
Dari penelitian ini disarankan adanya sosialisasi yang komprehensif dan intens mengenai
penggunaan sosial media sehat bagi remaja guna menangkal paham radikalisme yang bertentangan
dengan ajaran agama islam sebagai agama pembawa kedamaian.

STRENGTHS
Hal yang menarik dari penelitian ini bahwa jumlah pelajar yang akses media sosialnya rendah lebih
banyak kurang memahami tentang radikalisme dan bahayanya. Jika dilihat dari mean jawaban
responden yang penggunaan media sosialnya rendah, ternyata tidak paham tentang radikalisme
dari skor mean mencapai 70,10, dan mean 59,00 untuk sangat tidak paham. Ini berarti bahwa akses
terhadap media sosial memberikan informasi tentang radikalisme.

WEAKNESSES

JOURNAL 28

IDENTITY
JOURNAL : Psikoborneo
Pengaruh Konformitas Dan Internalisasi Nilai-Nilai Islam
TITTLE :
Terhadap Pemikiran Radikalisme
AUTHOR : Hardiansyah
Program Studi Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
REVIEWER IDENTITY :
Universitas Mulawarman Samarinda

THE ABSTRACT
Munculnya organisasi-organisasi Islam yang representasi agamanya meluas jauh ke luar negeri,
melintasi batas negara. Inilah yang menyebabkan munculnya ide-ide agama baru di kalangan
mahasiswa Muslim. Gagasan radikalisme di kalangan mahasiswa terjadi karena beberapa faktor
93
salah satunya adalah adanya pengaruh sosial untuk mengikuti norma-norma yang ada dalam
kelompok konformitas, serta doktrin yang diberikan berupa pemahaman atau pengahayatan nilai-
nilai agama Islam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kesesuaian dan internalisasi
nilai-nilai Islam pada Pusat Kajian Islam Mahasiswa Universitas Mulawarman. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kuantitatif. Subjek penelitian ini adalah 100 anggota Universitas Islam
Pusat Studi Universitas Mulawarman yang dipilih dengan menggunakan teknik simple random
sampling. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah skala kesesuaian, internalisasi nilai-
nilai Islam dan pemikiran radikal. Data yang terkumpul dianalisis dengan metode Structural
Equation Modeling (SEM) dengan bantuan software Amos versi 22. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kesesuaian dengan pemikiran radikal menunjukkan nilai CR sebesar -0.857 ≤ 1.96 dan nilai
P sebesar 0.391> 0.05 yang artinya konformitas tidak berpengaruh pada pemikiran radikalisme.
Kemudian pada internalisasi nilai-nilai Islam dengan pemikiran radikalisme menunjukkan nilai C.R
sebesar -0,292 ≤ 1,96 dan nilai P sebesar 0,770> 0,05 yang berarti dalam internalisasi nilai-nilai Islam
tidak terdapat pengaruh terhadap pemikiran radikalisme.

THE INTRODUCTION AND


LITERATURE REVIEW
Indonesia merupakan Negara dengan penduduk yang beragama islam di dunia dalam hal ini
pemerintah telah memberikan fasilitas perguruan tinggi kepada setiap penduduk sehingga dapat
melanjutkan studinya untuk mendapatkan gelar sarjana. Perguruan tinggi adalahwadah bagi
mahasiswa yang memiliki banyak potensi untuk memunculkan potensi tersebut. Mahasiswa
dengan mayoritas usia dewasa awal masi mencari kemana orientasi masa depan yang akan di
tempuh. Merekka masih memerlukan beberapa pengaruh yang dapat menunjang dan memfasilitasi
prinsip dan jati diri yang sedang dicari. Maka berdasarkan hal tersebut dimanfaatkan oleh kelompok
radikal untuk mempengaruhi dengan konsep radikalisme yang mereka bawa (Aliakov, 2012). sesuai
dengan teori Erik erikson yaitu identitas vs kekacauan identitas, pencarian jati diri mulai
berlangsung dalam tahap ini, apabila seseorang dalam mencari jari dirinya bergaul dengan
lingkungan yang baik maka akan tercipta identitas yang baik pula, namun sebaliknya jika remaja
bergaul dalam lingkungan yang kurang baik maka akan timbul kekacauan identitas pada diri remaja
tersebut.
Dalam perguruan tinggi tidak terpisahkan dengan yang namanya organisasi. Sekarang yang marak
adalah munculnya organisasi keislaman dimana representasi keagamaan mereka jauh merujuk
keluar negeri, melintas batas negara. Inilah yang menimbulka munculnya paham-paham
keagamaan baru dikalangan mahasiswa muslim. Mereka merepresentasikan diri dalam Lembaga
Dakwah Kampus, halaqah dengan berbagai nama, dan komite-komite aksi mahasiswa. Mereka juga
muncul dalam bentuk diskusi dan kajian jumatan yang rutin dengan mengangkat issu-issu
keagamaan yang lebih radikal dan ekstrim.
Salah satu organisasi kemahasiswaan islam di Universitas Mulawarman adalah Pusat Studi Islam
Mahasiswa (Pusdima) dimana Pusdima merupakan unit kegiatan mahasiswa yang berada dibawah
tanggung jawab Rektor Universitas Mulawarman bergerak dibidang dakwah dan pembinaan.
Potensi munculnya radikalisme dikarenakan adanya aktifitas keagamaan kampus ditemukan corak
metode (thoriqoh) penerapan ideologi Khilafah Islamiyah, metode menjaga ideologi berbasis
hukum Islam, dan metode penyebarluasan ideologi berupa dakwah dan jihad, bentuk kajian dan
aktifitas sosial-keagamaan bersistem halaqah dan mentoring (Pusltibang Pendidikan Agama dan
Kebudayaan, 2005).
Menurut Nurjanah (2013) radikalisme adalah sebuah gerakan yang berbasis islam yang
dimaksudkan untuk melakukan pembaruan dalam masalah sosial, politik, atau keagamaan,
94
dilakukan dengan cara drastis, keras, dan tanpa kompromi kepada pihak-pihak yang dianggap
musuh, dengan satu prinsip bahwa hanya syariat islam dan penerapan syariat islam menjadi ide
perjuangannya.
Sears (1994) berpendapat bahwa bila seseorang menampilkan perilaku tertentu disebabkan oleh
karena orang orang lain menampilkan perilaku tersebut, disebut konformitas. Muhaimin (2001)
mengatakan bahwa proses dalam menginternalisasikan nilai-nilai islam yaitu: yaitu pendekatan
indoktrinasi, pendekatan modal reasoning, pendekatan forecasting concequence, pendekatan
klasifikasi nilai, dan pendekatan internalisasi. Hal ini sejalan yang dikemukakan Azra (2011)
radikalisme Islam adalah ide-ide, pemikiran, ideologi dan gerakan Islam, yang mengarah kepada
aktivitas intimidasi, kekerasan dan teror, baik karena doktrin keagamaan, membela diri, maupun
bentuk respon terhadap lawan politik yang ditunjuknya. Biasanya mereka, berbasis pada alasan
perlawanan terbuka terhadap kebijakan politik dan ekonomi imperialisme Barat, serta dominasi
dan hegemoni kebudayaan yang merugikan kaum muslim.
Menurut Alim (2006) internalisasi adalah menyatunya nilai dalam diri seseorang, atau dalam bahasa
psikologi merupakan penyesuaian keyakinan, nilai, sikap, perilaku, praktik dan aturan baku pada
diri seseorang. Menurut Rahmawati (2014) internalisasi nilai-nilai islam adalah proses penghayatan,
pendalaman dan penguasaan secara mendalam melaului binaan dan bimbingan terhadap nilai-nilai
material yang terwujud dalam kenyataan pengalaman rohani jasmani. Internalisasi nilai-nilai islam
merupakan suatu proses memasukan nilai-nilai agama islam secara penuh kedalam hati, sehingga
ruh dan jiwa bergerak berdasarkan ajaran agama islam (Alam, 2016).

METHODOLOGY
Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif, dalam penelitian ini terdapat tiga variable bebas
dan satu variable terikat. Varabel bebas yaitu konformitas dan internalisasi nilai-nilai islam
sedangkan varabel terikat yaitu pemikiran radikalisme. Sampel dalam penelitian ini adalah Pusat
Studi Islam Mahasiswa Universitas Mulawarman periode 2016- 2017 yang berjumlah sebanyak 100
anggota.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu alat pengukuran atau
instrumen. Instrumen penelitian yang digunakan ada tiga yaitu skala perilaku radikalisme,
konformitas dan internalisasi nilai-nilai islam. Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan
teknik uji coba atau try out kepada anggota pusdima yang di fasilitasi oleh Lembaga Dakwah
Kampus di masing fakultas Universitas mulawarman sebanyak 89 anggota.

95
RESULTS/FINDINGS
Hipotesis dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh konformitas terhadap pemikiran
radikalisme dan internaliasi nilai-nilai Islam terhadap. Tehnik analisis data yang digunakan adalah
Structural Equation Model (SEM). Untuk menganalisas hasil output, pengaruh antar variabel
signifikan jika nilai, C.R ≥1.96 dan nilai P < 0.05. Berdasarkan tabel 28, dapat diketahui bahwa pada
konformitas dengan pemikiran radikalisme menunjukan nilai C.R sebesar -0.857 ≤ 1.96 dan nilai P
sebesar 0.391 > 0.05 yang artinya konformitas tidak memiliki pengaruh terhadap pemikiran
radikalisme. Kemudian pada internalisasi nilai-nilai Islam dengan pemikiran radikalisme
menunjukan nilai C.R sebesar - 0.292 ≤ 1.96 dan nilai P sebesar 0.770 > 0.05 yang artinya
internalisasi nilai-nilai Islam tidak memiliki pengaruh terhadap pemikiran radikalisme.

ANALYSIS / DISCUSSION
terori Erik Erikson yang menyatakan bahwa identitas vs kekacauan identitas, pencarian jati diri
mulai berlangsung dalam tahap ini, apabila seseorang dalam mencari jari dirinya bergaul dengan
lingkungan yang baik maka akan tercipta identitas yang baik pula, namun sebaliknya jika remaja
bergaul dalam lingkungan yang kurang baik maka akan timbul kekacauan identitas pada diri remaja
tersebut. Hal ini sesusai dengan teori Marcia identity diffusion yaitu remaja dengan status ini
merupakan remaja yang mengalami kebingungan tentang siapa dirinya dan mau apa dalam
hidupnya, selain itu mereka juga menunjukan karakteristik seperti konsep diri yang kuat,
menunjukan tingkat kecemasan dan ketegangan internal yang tinggi dan tidak dapat
memperkirakan ciri atau sifat kepribadian yang dimilikinya (Santrcok, 2007) Berdasarkan uraian
tersebut maka dapat disimpulkan konformitas tidak memiliki pengaruh terhadap pemikiran
radikalisme, tetapi remaja yang sedang mencari jati dirinya akan sangat mudah didoktrin mengenai
dasar pembenaran terhadap aksi radikal atas nama agama sehingga munculah pemikiran
radikalisme dikalangan mahasiswa.
pada internalisasi nilai-nilai Islam dengan pemikiran radikalisme menunjukan nilai C.R sebesar -
0.292 ≤ 1.96 dan nilai P sebesar 0.770 > 0.05 yang artinya internalisasi nilai-nilai Islam tidak memiliki
pengaruh terhadap pemikiran radikalisme. Hal ini bermakna agama Islam mengajarkan hal yang
baik dan tidak pernah mengajarkan tentang kekerasan, hal tersebut sejalan dengan Alam (2016),
internalisasi nilai-nilai Islam adalah proses pemasukan nilai-nilai agama Islam secara penuh kedalam
hati, sehingga ruh dan jiwa bergerak berdasarkan ajaran agama Islam dan membawa manusia pada
kebahagian, kesejahtraan, dan keselamatan manusia baik dalam dunia maupun kehidupan akhirat
kelak.
internalisasi nilai-nilai Islam tidak memiliki pengaruh terhadap pemikirarn radikalisme, tetapi
pemahaman agama yang masih kurang, sempit, dapat menyebabkan paham-paham agama seperti
ini dengan mudah akan menggiring pada keyakinan yang cenderung memiliki pemikiran akan
radikalisme.

CONCLUSION
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, peneliti menyimpulkan bahwa:
1. Tidak terdapat pengaruh konformitas terhadap pemikiran radikalisme pada pusat studi islam
mahasiswa Universitas Mulawarman.
2. Tidak terdapat pengaruh internalisasi nilai-nilai islam terhadap peemikiran radikalisme pada
pusat studi islam mahasiswa Universitas Mulawarman.

96
RECOMMENDATIONS
Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang pemikiran radikalisme
sebaiknya lebih dilihat lagi mengenai skala yang digunakan tidak boleh sempit dan harus secara
hukum islam. Bagi peneliti selanjutnya sebaiknya membuat scraning di latar belakang sebaiknya
internalisasi agama Islam harus luas, tidak boleh sempit, membuka cakrawala dengan cara studi
banding dengan ustadz dari luar

JOURNAL 29

IDENTITY
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers
JOURNAL :
TITTLE : DINAMIKA PSIKOLOGIS PELAKU RADIKALISME
AUTHOR : Kuntarto dan Rindha Widyaningsih
REVIEWER IDENTITY : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jenderal Soedirman

THE ABSTRACT
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika psikologis pelaku radikalisme. Penelitian
dilakukan di Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Cilacap dengan pertimbangan secara geografis
kedua daerah tersebut rawan berkembang paham radikalisme karena berada pada jalur
penghubung antara Jawa Barat dan Yogyakarta yang memiliki indeks radikalisme tinggi. Informan
dalam penelitian ini berasal dari Polres Banyumas, Polres Cilacap, Kesbangpol Kabupaten Banyumas
dan Kesbangpol kabupaten Cilacap. Metode yang digunakan dalam peneitian ini adalah melalui in-
depth interview yang diperkuat dengan data skunder dan literatur pendukung. Hasil yang diperoleh
dari penelitian ini adalah terdapat tiga hipotesis mengapa seseorang menjadi pelaku radikalisme,
yaitu (1) Frustration-Aggresion Hypothesis (perceived deprivation atau persepsi kehilangan,
permasalahan yang menyangkut kebutuhan politik, ekonomi, dan personal), (2) Negative Identity
Hypothesis (marah dan perasaan tak berdaya yang melibatkan penolakan dari peran yang
diinginkan keluarga dan masyarakat), (3) Narsissistic Rage Hypothesis (permasalahan mental,
sosiopatik, arogan, narsistik, gangguan kepribadian).

THE INTRODUCTION AND


LITERATURE REVIEW
Raikalisme merupakan permasalahan yang kompleks, upaya untuk memahami perilaku radikal
tersebut baik itu dilakukan perseorangan maupun kelompok perlu diperhitungkan beragam sudut
pandang. Pembahasan radikalisme tidak bisa dipisahkan dari kondisi sosial dan budaya, tradisi
religius hingga mekanisme psikologis pada orang yang terlibat dalam aksi radikal. Kekayaan sudut
pandang yang ada memberikan sumbangan tentang bagaimana para radikalis memandang dunia
ini dan bertindak di dunia ini. Sesungguhnya tidak ada bidang eksklusif tertentu yang mampu
mengantarkan penjelasan-penjelasan perilaku radikal secara memadai. Diperlukan adanya
elaborasi pemikiran, sudut pandang dari berbagai bidang sehingga dihasilkan pandangan yang
menyeluruh mengenai radikalisme.
perspektif psikologi menemukan hal yang senada, yaitu hampir tidak ditemukan adanya gejala
gangguan kejiwaan atau psikopatologis pada para radikalis atau anggota kelompok teroris. Secara
97
psikologis mereka dinyatakan tidak mengalami gangguan kejiawaan walaupun memang ada pelaku
teror yang mengalami depresi atau shizofrenia, namun jumlahnya tidak signifikan . Hal ini
menunjukkan bahwa keterlibatan dalam paham radikal dipengaruhi oleh dinamika psikologi yang
berasal dari faktor eksternal maupun internal. penelitian ini radikalisme akan dibahas dari sudut
pandang psikologi untuk memahami mengapa seseorang menganut paham radikal bahkan hingga
melahirkan aksi kekerasan atas dasar pandangan radikal tersebut. Pendekatan psikologi merupakan
salah satu pendekatan yang penting untuk memahami radikalisme, terutama berkaitan dengan
memahami proses psikologis dan psikososial hingga seseorang menganut paham radikal bahkan
hingga menjadi teroris.

METHODOLOGY
Penelitian dilakukan di Wilayah Banyumas dan Cilacap, dengan pertimbangan secara geografis
daerah tersebut merupakan pintu gerbang yang menjadi penghubung antara Jawa Tengah, Jawa
Barat dan Yogyakarta yang memiliki tingkat radikalisme yang tinggi. Informan dalamhal ini
kepolsian banyumas dan cilacap, Kesbangpol banyumas dan cilacap, lalu pemilihan informan dipilih
metode Snowball Sampling.
Karena radikalisme merupakan isu sensitif sehingga wawancara memerlukan kroscek lagi melalui
metode triangulasi data yang dilakukan dengan cara membandingkan informasi atau data dengan
cara yang berdeda. Agar memperoleh informasi yang utuh dan handal metode yang digunakan
adalah wawancara bebas dan wawancara terstruktur. Hasil wawancara kemudian dielaborasi
dengan teori dari berbagai perspektif dengan menggunakan literatur yang relevan. Kemudian
dalam penyajiannya digunakan Content analysis untuk mengambil makna yang terkandung dalam
suatu data hasil penelitian. Hasil wawancara dikaitkan dan dipadukan dengan berbagai teori dan
literatur pendukung terkait dengan tema. Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk teks
naratif.

98
RESULTS/FINDINGS
Paham radikal adalah sesuatu yang sifatnya mendalam di hati dan pikiran namun tidak selalu
diwujudkan dalam bentuk kekerasan seperti aksi teror, bisa jadi paham radikal hanya sebatas
pemikiran dan sikap individu yang ditujukan untuk dirinya sendiri. Jadi dalam hal ini orang yang
memiliki pemikiran radikal belum tentu menjadi teroris. Menjadi teroris dengan melakukan aksi-
aksi teror dan kekerasan adalah sebuah pilihan yang sangat dipengaruhi oleh proses psikologis yang
dialami oleh seseorang. Kemudian ada 3 hipotesis yang mendasari:
1. Frustration-Aggresion Hypothesis (perceived deprivation atau persepsi kehilangan,
permasalahan yang menyangkut kebutuhan politik, ekonomi, dan personal)
Frustasi adalah suatu situasi yang umum dialami oleh seseorang. Frustasi merupakan
terhambat atau gagalnya individu dalam memperoleh pencapaian (achievement)
sebagaimana yang diharapkan, atau mengalami hambatan untuk bertindak mencapai
tujuan secara bebas. Dollard (dalam Krahe, 2005) menyatakan bahwa setiap perilaku agresi
dapat disebabkan oleh frustasi. Pendekatan ini menitikberatkan pada agresi sebagai reaksi
atas frustasi, atau frustasi selalu mengakibatkan agresi. Dalam hal ini frustasi diartikan
sebagai sejumlah perilaku yang bertujuan merintangi atau mengganjal. Berkowitz
menyatakan bahwa perkembangan dewasa ini turut memodifikasi pengertian tersebut.
Frustasi menimbulkan kemarahan,yang membuat kita siap bersikap agresif. Munculnya
agresi sangat bergantung pada ada tidaknya aggressive cues (gejala-gejala agresi), stimulus
yang berasosiasi dengan agresi ataupun kekerasan di masa lalu, akan memicu kembali
perilaku agresi. Agresi muncul ketika frustasi yang dialami menghasilkan perasaan negative.
2. Negative Identity Hypothesis (marah dan perasaan tak berdaya yang melibatkan penolakan
dari peran yang diinginkan keluarga dan masyarakat)
teori identitas sosial menjelaskan bahwa baik secara sadar maupun tidak disadari individu
merupakan bagian dari kelompok tertentu dan bukan semata-mata menjadi individu yang
mutlak satu dalam kehidupannya. Konsep identitas sosial adalah bagaimana seseorang itu
secara sosial dapat didefinisikan (Verkuyten, 2005). katan-ikatan primodial dan emosial
yang sama akan memberikan penguatan pada identitas sosial yang dimiliki. Misalnya
dukungan politik yang diberikan pada orang yang berasal dari golongan/manhaj yang sama
dengan dirinya. Menggunakan sudut pandang teori ini, munculnya radikalisme didorong
oleh adanya perasaan negatif atas identitas yang dimiliki seseorang. Kekecewaan dan
kegagalan serta pengabaian yang terjadi pada seseorang mendorong perilaku
menggunakan kekerasan. Perasaan marah ini bisa berasal dari faktor eksternal, misalnya
kondisi ekonomi dan politik yang tidak sesuai dengan harapan, atau yang berasal dari faktor
internal, misalnya perasaan terasing dan terabaikan, self-esteem yang rendah, dan
perasaan tidak berguna akan menyebabkan rasa marah dan termanifestasi dalam perilaku
agresi terorisme.
3. Narsissistic Rage Hypothesis (permasalahan mental, sosiopatik, arogan, narsistik, gangguan
kepribadian)
Kajian psikologi atas tindakan radikal dan terorisme selalu dikaitkan dengan kemungkinan
adanya psikopatologi, abnormalitas dan kemungkinan gangguan kejiwaan pada pelaku.
Namun dari berbagai kasus radikalisme dan terorisme yang ditemukan di seluruh dunia
hanya sedikit ditemukan pelaku teror yang benar-benar disebabkan karena faktor
psikopatologi. Hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan seseorang dalam kelompok radikal
bukanlah disebabkan karena penyakit kejiwaan namun dilakukan dengan kesadaran.
Mereka adalah sekumpulan orang normal yang melakukan aksinya berdasarkan keyakinan
dan ideologi yang dilandasi oleh suatu tujuan tertentu.
99
Istilah 'narsisis' berasal dari tokoh mitologi Yunani, Narcissus yang terkenal jatuh cinta pada
bayangannya sendiri. Karena itu, seorang narsisis adalah orang yang menunjukkan minat
yang berlebihan pada citra dan diri mereka sendiri dan mengejar aktivitas berdasarkan
keyakinan mereka sendiri yang sombong atau egois. Ada perbedaan penting antara
egosentrisme dan narsisisme. Egosentris merupakan kondisi yang menekankan pada
pemikiran, minat, dan pendapat yang ingin selalu didengarkan dan diutamakan, sedangkan
narsistik lebih menakankan pada keindahan kualitas mental atau fisik mereka. Tipe
kepribadian narsistik secara alami akan fokus pada kesempurnaan dan mengatur diri
mereka sendiri untuk menjadi pusat perhatian dalam semua aspek kehidupan mereka. Bagi
Freud, cedera narsistik terjadi ketika seorang individu narsistik dihadapkan pada situasi
yang berlawanan dengan keyakinan mereka yang dipegang teguh tentang diri mereka
sendiri.
Wujud kemarahan narsistik yang eksterem akan mendorong seseoang melakukan tindakan
agresi. Wujud agresi manusia yang berbahaya yang paling mengerikan bukanlah yang
berwujud perilaku liar, regresif atau kekerasan fisik, akan tetapi berupa bentuk kegiatan
yang teratur dan terorganisir dimana perilaku merusak berpadu dengan keyakinan
absolutarian tentang kebesaran mereka yang diilhami dari figur-figur panutan mereka. Hal
ini dapat dilihat dari penganut paham radikal yang menjadikan sosok pemimpin kharismatik
yang memotivasi munculnya tindak kekerasan (Kohut 2007).

ANALYSIS / DISCUSSION
Tindak lanjut dari pemahaman radikal yang ada dalam diri seseorang kemudian akan mewujud
menjadi aksi terorisme. Terdapat tiga hipotesis yang mendasari riset ini yaitu (1) Frustration-
Aggresion Hypothesis (perceived deprivation atau persepsi kehilangan, permasalahan yang
menyangkut kebutuhan politik, ekonomi, dan personal), (2) Negative Identity Hypothesis (marah
dan perasaan tak berdaya yang melibatkan penolakan dari peran yang diinginkan keluarga dan
masyarakat), (3) Narsissistic Rage Hypothesis (permasalahan mental, sosiopatik, arogan, narsistik,
gangguan kepribadian). (Gazi dan Ihwan 2011). Ketiga ini menjelaskan pada arah dari perilaku
paham radikal ke agresi.

CONCLUSION
Melalui hipotesis perilaku aksi terorisme kita dapat memahami bagaimana mentalitas menjadi
radikalis terbangun. Radikalisme adalah suatu permasalahan yang kompleks dan tidak akan pernah
bisa diselesaikan hanya menggunakan pendekatan hukum represif. Memahami bagaimana perilaku
radikal terjadi merupakan suatu celah yang tepat dalam usaha mencegah radikalisme secara efektif.

RECOMMENDATIONS
Berbagai upaya pencegahan radikalisme telah banyak dikaji dan dibahas oleh berbagai ahli dan
peneliti dari berbagai negara, namun hal yang harus diperhatikan adalah upaya pencegahan dan
juga penanggulangan radikalisme harus memperhatikan kondisi dan karakter bangsa Indonesia
karena anatomi terorisme adalah sesuatu yang unik tergantung dimana dia berada. Upaya
pencegahan dan penanggulangan di negara maju belum tentu dapat sukses diterapkan di negara
dengan kondisi yang berbeda

100
STRENGTHS
Penelitian ini mengantarkan pemahaman bahwa inti dari munculnya radikalisme sangat terkait
dengan kehidupan pribadi pelaku yang dimulai sejak masa anak-anak. Bahwa pengabaian,
kekecewaan, keterasingan, dan pengaruh lingkungan memberikan dampak yang sangat signifikan
bagi munculnya perilaku agresi, keterlibatan seseorang dalam kelompok teror dan bahkan
melakukan aksi kekerasan dengan rasa heroik tanpa rasa bersalah.

WEAKNESSES
upaya pencegahan dan juga penanggulangan radikalisme harus memperhatikan kondisi dan
karakter bangsa Indonesia karena anatomi terorisme adalah sesuatu yang unik tergantung dimana
dia berada, maka bisa jadi pada analisisnya pun berlaku hal yang sama.

JOURNAL 30

IDENTITY
Jurnal Psikologi
JOURNAL :
BIMBINGAN KONSELING MELALUI PENDIDIAN MULTIKULTUAL
TITTLE : TERHAPAP ANAK-ANAK DAN REMAJA DALAM
PENANGGULANGAN PAHAM ADIALISME
AUTHOR : Lilam Kadarin Nuriyanto
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang, Jawa
REVIEWER IDENTITY :
Tengah, Indonesia

THE ABSTRACT
Paham radikalisme merupakan akar dari ketidakrukunan antar umat beragama. Anak-anak dan
remaja adalah generasi penerus yang harus dilindungi dari radikalisme, sehingga perlu penanganan
yang tepat. Pendidikan multikultural sangat diperlukan dalam membentuk generasi saling
menghormati dalam setiap perbedaan. Keadaan psikologis anak-anak dan remaja harus tetap
dipertahankan dalam pendidikan multikultural. Dalam pembentukan komunitas lintas agama,
dunia bermain untuk anakanak dan suasana santai untuk remaja harus tetap dipertahankan

THE INTRODUCTION AND


LITERATURE REVIEW
Pada paham keagamaan telah tumbuh perkembangan baru yang dinamakan radikalisme.
Radikalisme sering digunakan dalam pemahaman terhadap ajaran agama atau aliran tertentu. Commented [U4]:
radikalisme merupakan paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial
dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Kelompok radikal sering diartikan sebagai kelompok
yang suka menggunakan cara kekerasan dalam menyelesaikan masalah atau mencapai tujuannya.
Gejala radikalisme ini bisa dilihat sejak terjadinya reformasi tahun 1998, ketika menjelang turunnya
Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Berlanjut pada kerusuhan besar-besaran yang terjadi

101
di Jakarta yang merambat ke kota Surakarta. Sehingga fenomena kebebasan menghiasi kehidupan
masyarakat Indonesia dalam segala ruang kehidupannya. Hal ini ditandai dengan seringnya terjadi
kerusuhan-kerusuhan antar etnik dan agama. Misalnya di Sampit Kalimantan Tengah antara suku
Dayak dan Madura, serta kerusuhan antar agama antara Islam dan Kristen di Ambon.
Yang menjadi penyebab tidak harmonisnya hubungan antar individu atau kelompok dalam sebuah
negara yang multikultural adalah sikap prejudis, stereotip, dan diskriminasi. Prejudis biasanya
memandang sebuah kelompok secara general, padahal didalam kelompok itu sebenarnya terdapat
beragai macam variasi. Tulisan ini merupakan pengembangan dari hasil penelitian penulis pada
tahun 2013 di Kota Surakarta lewat lembaga Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang
yang berjudul Dinamika Hubungan Antar Umat Beragama Pola Pengelolaan Kerukunan Antar Umat
Beragama Di Kota Surakarta. Selain itu juga hasil penelitian dari Balai Penelitian dan Pengembangan
Agama Makasar yang berjudul Persepsi Dan Sikap Siswa Terhadap Tindakan Kekerasan Atas Nama
Agama.
Piaget, seorang pakar psikologi kognitif dan psikologi anak, memandang inteligensi/kecerdasan
sebagai suatu proses adaptif dan menekankan bahwa adaptasi melibatkan fungsi intelektual.
Menurutnya telah terjadi keseimbangan antara kegiatan organisme dengan kegiatan
lingkungannya yang disebut proses adaptasi. . Dengan demikian lingkungan mendorong terus
menerus organisme untuk menyesuaikan diri terhadap situasi riil, sebaliknya organisme secara
konstan juga menghadapi lingkungannya sebagai suatu struktur yang merupakan bagian dari
dirinya (Gunarsa, 1987; Hurlock, 1991; 1996; Soemantri, 2005; dan Santrock, 2007), Piaget
mengemukakan tentang adanya tahapan/periodisasi dalam perkembangan kognitif individu.
Pendidikan konseling melalui multikultural pada masa anakanak sangat penting sekali, karena bila
sudah tertanam sejak dini maka kelak akan diperoleh generasi penerus bangsa yang mudah untuk
mengerti dan menghormati sesuatu yang berbeda dengan dirinya. Sesuai dengan teori-teori diatas
bahwa anak-anak merupakan masa emas untuk membentuk pribadi dikelak kemudian hari. Sebagai
dasar atau pondasi pembentukan sikap maka perlu diadakan kegiatan-kegiatan yang dalam
tujuannya untuk menanamkan nilai-nilai multikultur tanpa harus menghiraukan dunianya yang
sebenarnya yaitu dunia bermain.
Pembentukan komunitas anak-anak dan remaja merupakan sebuah gerakan model baru dalam
bentuk lintas agama. Dimana mereka membentuk sebuah forum dengan tidak meninggalkan
dunianya sebagai dunia bermain pada masa anak-anak dan bergaul secara merdeka tanpa ikatan-
ikatan birokratis yang bisa membelenggu gelora jiwa masa remajanya.
Konsep bimbingan dan konseling dengan multikultural dalam menanggulangi Paham radikalisme
dikalangan anak-anak dan remaja, tentunya tidak lepas dari peran psikologi perkembangan anak
dan remaja. Dalam pendekatan konsep mulitikultural bisa sebagai penggerak kelompok-kelompok
masyarakat dimana saling menghormati dan menerima satu dengan yang lain. Kaum mayoritas bisa
menghormati terhadap kaum minoritas, sebaliknya kalum minoritas bisa menghormati keberadaan
kaum mayoritas. Konsep untuk saling menghargai dan menerima satu dengan yang lain merupakan
modal dalam membina kerukunan pada kelompok masyarakat yang plural.

METHODOLOGY
Kualitatif naratif berdasarkan literature yang ada.

102
RESULTS/FINDINGS
pengalaman yang luar biasa pada dalam diri anak-anak yang memang sebelumnya belum pernah
berkunjung ke tempat-tepat beribadah selain di agamanya. Anak-anak akan menemukan hal-hal
baru yang pasti akan dihubungkan dengan pemahaman agamanya. Sehingga akan muncul berbagai
pemikiran-pemikiran baru sesuatu yang terkadang sangat bertentangan dengan pemahaman
terhadap agamanya. Anak akan sangat berkesan sekali karena mempunyai pengalaman yang ia
dapatkan secara langsung dan alami. Misalnya di setiap masjid kebanyakan ada tulisan arab Allah
dan Muhammad, tetapi ketika berkunjung ke tempat ibadah lainnya tidak ada. Kalau ke maasjid
harus lepas alas kaki, tetapi di tempat ibada lainnya ada yang tidak mensyaratkannya, tentunya ini
juga akan muncul pertanyaan-pertanyaan di benak anakanak. Disinilah peran orang dewasa harus
bisa menjelaskan dengan arif dan bijaksana sesuai dengan dunianya, agar mudag dipahami dan
dimengerti olah anak-anak. Sehingga munculah pengetahuan baru bagi anak-anak ternyata ada
perbedaan-perbedaan disekelilingnya.
Pembentukan komunitas anak-anak dan remaja merupakan sebuah gerakan model baru dalam
bentuk lintas agama. Dimana mereka membentuk sebuah forum dengan tidak meninggalkan
dunianya sebagai dunia bermain pada masa anak-anak dan bergaul secara merdeka tanpa ikatan-
ikatan birokratis yang bisa membelenggu gelora jiwa masa remajanya.
Para anak-anak dan remaja yang merupakan usia pelajar tanpa disadari selalu ditanamkan untuk
mencapai sesuatu yang seragam. Sistem pembelajaran yang masih lebih besar komunikasi satu arah
dari pendidik ke siswa lebih menguatkan adanya sistem pemaksaan atas keseragaman. Karena
masih minimnya komunikasi timbal balik antara keduanya. Sehingga tidak memunculkan kreatiitas
pada diri siswa. Pendidikan multikultural sangat diperlukan bagi para siswa agar terlatih untuk
mengakui adanya perbedaan diantara mereka. Dalam hal ini sangat dibutuhkan sehingga
penanaman nilai-nilai multikultural sejak masa kanak-kanak sangat diperlukan sekali. Sehingga
pada tahapan remaja atau pelajar hanya perlu memoles atau menyempurnakannya saja. Tentu hal
ini lebih mudah daripada bila penanaman pendidikan multikultural baru dimulai sejak uisa remaja.

ANALYSIS / DISCUSSION
Bentuk-bentuk penanggulangan fenomena radikalisme dikalangan anak-anak adalah dengan
mengajak mereka untuk berkumpul besama dalam sebuah wadah komunitas lintas agama.
Komunitas ini bentuknya bebas tidak ada batasan-batasan yang sangat mengikat. Dalam komunitas
ini belum harus mempunyai tujuan tertentu. Yang terpenting adalah jangan meninggalkan jati diri
dari dunia anak-anak, yaitu bermain. Dimana anak-anak harus tetap pada aspek bermain gembira
dengan pengarahan untuk mendapatkan pengetahuan baru dibidang perbedaan keagamaan
dengan linkungannya. Bentuk-bentuk penanggulangan fenomena radikalisme dikalangan remaja
adalah dengan mengajak mereka untuk berkumpul besama dalam sebuah wadah komunitas lintas
agama. Pada remaja juga tetap pada semangat jiwa yang masih sangat bergejolak ingin bebas dalam
mencari jati diri. Dalam komunitas sudah ada tujuannya karena remaja sudah bisa berpikir dan
mencerna mana yang baik dan mana yang tidak bermanfaat. Diperlukan sebuah komunitas yang
tidak santai tetapi serius dalam mencapai tujuannya. Kumpul bersama merupakan hal terpenting,
sehingga dalam perbincangan-perbincangan kepentingan komunitas tetap terbungkus dalam
suasana santai sesuai dengan jiwa remaja. Peran pendidikan konseling mulitikultural dalam
penanggulangan paham radikalisme di kalangan anak-anak dan remaja merupakan hal yang sangat
penting karena mereka adalah generasi penerus bangsa. Apabila jiwa mudah untuk memahami dan
mengerti dengan segala perbedaan yang ada disekitarya bila dilatih sejak usia dini dan remaja maka
akan menghasilkan generasi yang kuat dalam berwawasan kerukunan. Karena kerukunan
103
merupakan modal utama dalam pencapaian kehidupan yang damai berdampingan, sehingga
pembangunan sebuah negara bisa berjalan dengan lancar tanpa ada faktor gangguan dari
inharmonisasi dalam negeri.

CONCLUSION
Bentuk-bentuk penanggulangan fenomena radikalisme dikalangan anak-anak adalah dengan
mengajak mereka untuk berkumpul besama dalam sebuah wadah komunitas lintas agama.
Komunitas ini bentuknya bebas tidak ada batasan-batasan yang sangat mengikat. Dalam komunitas
ini belum harus mempunyai tujuan tertentu. Yang terpenting adalah jangan meninggalkan jati diri
dari dunia anak-anak, yaitu bermain. Dimana anak-anak harus tetap pada aspek bermain gembira
dengan pengarahan untuk mendapatkan pengetahuan baru dibidang perbedaan keagamaan
dengan linkungannya. Bentuk-bentuk penanggulangan fenomena radikalisme dikalangan remaja
adalah dengan mengajak mereka untuk berkumpul besama dalam sebuah wadah komunitas lintas
agama. Peran pendidikan konseling mulitikultural dalam penanggulangan paham radikalisme di
kalangan anak-anak dan remaja merupakan hal yang sangat penting karena mereka adalah generasi
penerus bangsa.

RECOMMENDATIONS
Menggunakan instrument penelitian yang bisam menjelaskan fenomena tersebut

WEAKNESSES
Penelitian ini kurang kuat dalam hal instrumen

104

Anda mungkin juga menyukai