Orde Baru
Orde Baru
Kelas: 1A
NIM: 2108686
Pada masa awal pemerintahan orde baru pemerintah masih belum cukup
mampu untuk mensejahterakan masyarakat. Karena pada tahun 1971 penduduk
Indonesia telah mencapi 119,2 juta jiwa dan pada tahun 1980 sebanyak 147,3 juta
jiwa. Jumlah yang sangat besar untuk suatu negara yang baru merdeka. Hal tersebut
merupakan suatu tantangan yang sangat besar bagi orde baru. Selain itu orde baru
juga harus menghadapi masalah-masalah sosial yang masih belum terselesaikan oleh
era sebelumnya. Meski demikian standar kesehatan dan pendidikan pada masa orde
baru jauh lebih baik daripada di zaman Belanda ataupun orde lama.
Pada tahun 1974 Indonesia telah memiliki 6.221 dokter yang tersebar
dibeberapa daerah di Indonesia, dengan perincian di Jawa terdapat satu dokter untuk
21,7 ribu penduduk dan diluar pulau Jawa terdapat satu dokter untuk 17,9 ribu
penduduk. Tingkat melek huruf pada tahun 1971 pada anak berusia 10 tahun adalah
72% bagi anak laki-laki, dan 50,3% bagi anak perempuan. Meski demikian hal
tersebut tidak dapat dijadikan acuan bahwa pendidikan formal di Indonesia sudah
cukup tersedia. Pada tahun 1973, anak yang berusai 7-12 tahun sekitar 57% telah
duduk disekolah dasar, akan tetapi dalam kelompok ini terdapat 8,9 juta jiwa yang
tidak berpendidikan. Di tingkat perguruan tinggi pada masa orde baru mampu
melampaui rekor yang diperoleh Belanda, akan tetapi jumlah lulusan yang banyak
tidak sesuai dengan yang dipekerjakan pemerintah. Sehingga terdapat banyak lulusan
perguruan tinggi yang menganggur, karena hal tersebut perguruan tinggi menuai
kritik dari masyarakat yang menanyakan kualitas dari para sarjana.
Pada masa orde baru terjadi masalah urbanisasi pada tahun 1971, di mana pada
tahun itu penduduk Jakarta telah mencapai 4,5 juta jiwa, dan pulau Jawa masih
menjadi pulau terpadat di Indonesia dengan presentase 60,4%. Kebijakan
transmigrasipun digalakan, namun sayang program tersebut tidak berjalan lancar.
Masyarakat banyak yang enggan untuk dipindahkan ke daerah yang masih kosong
seperti Kalimantan karena Jawa merupkan pusat perekonomian.
Pada bidang pendidikan di tahun 1990-an fasilitas sekolah dasar sudah masuk
ke pelosok-pelosok negeri. Hal tersebut menjadi landasan wajib belajar 9 tahun.
Selain itu jumlah penududuk yang buta huruf juga menurun. Para angkatan kerja pun
yang pada awalnya banyak yang tidak berpendidikan, mengalami peningkatan
menjadi 15% angkatan kerja yang berpendidikan.
sumber: https://sumber.belajar.kemdikbud.go.id/repos/FileUpload/Orde%20Baru-
BB/Topik-2.html
Orde lama meninggalkan hutang sebesar 2,3-2,7 miliar, hal tersebut menjadi
PR bagi orde baru. Oleh karena itu pemerintah melakukan perundingan dengan
negara-negara kreditur di Tokyo, yang dilanjutkan di Paris yang menghasilkan
penundaan jadwal pembayaran hutang Indonesia. Perundingan selanjutnya dilakukan
di Amsterdam, Belanda yang terjadi pada 23-24 Februari 1967, yang kemudian
dibentuknya konsorium IGGI (Inter Govermental Group for Indonesian) yang
beranggotakan Australia, Belgia, Jerman, Itali, Jepang, Belanda, Inggris, Amerika,
Austria, Kanada, Selandia Baru, Norwegia, Swiss, Bank Dunia, IMF, Bank
Pembangunan Asia (ADB), UNDP, serta OECD. Tujuan dari pembentukan IGGI
adalah untuk memberikan pinjaman untuk Indonesia. Bantuan tersebut berupa
program untuk memperkuat neraca pembayaran, seperti kredit valuta asing ataupun
pangan. Bantuan lainnya disalurkan melalui bentuk proyek.
Pembangunan Nasional
Untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur pemerintah pada masa
Orde Baru melakukan pembangunan nasional. Arah perekonomiannya adalah
pembangunan di segala bidang. Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan
menjadi pedoman bagi pembangunan nasional yang intinya adalah menyejahterakan
semua lapisan masyarakat dengan situasi politik dan ekonomi yang stabil.
Kondisi Multibudaya pada masa Orde Baru dilihat dari elemen ethnos yaitu
tidak ber-Bhineka Tunggal Ika artinya tidak nasionalis (Mitos), dan pancasila
merupakan satu-satunya azaz kehidupan (slogan). Elemen oikos dan tekne yaitu P4
dan Dwifungsi Abri; Otoritarianisme sistematik (media/proses), Macan Asia
Tenggara (outcome), dan ketimpangan ekonomi/sosial (cost). Elemen anthropos
yaitu kerapuhan struktural secara internal (feedback), (Setyawan, I.R. 2019).
Pembangunan pada masa Orde Baru dapat dikatakan sukses meski sebenarnya pada
masa itu masyarakat tidak mementingkan dampak dan akibat dari pembangunan
tersebut. Masyarakat pada masa Orde Baru dilarang untuk berpikir kritis sehingga
apapun pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah masyarakat hanya bisa
menerima. Hal tersebut berdampak pada saat Indonesia mengalami kritis moneter,
semua yang Indonesia banggakan hancur, bahkan bukan hanya kehancuran di bidang
ekonomi namun juga Indonesia kehilangan kebudayaan. Sehingga dapat dikatakan
bahwa pembangunan kebudayaan dimasa Orde Baru gagal.
Akan tetapi disatu sisi pada masa pemerintahan Orde Baru, Soeharto selalu
memperkenalkan batik sebagai budaya Indonesia kepada kepala negara sahabat.
Bahkan pada tahun 1994, Soeharto memberikan kemeja batik kepada 17 pemimpin
negara-negara peserta Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Pacific Economic
Cooperation (KTT APEC) di bogor. Sehingga para pemimpin tersebut berkostum
batik di acara KTT APEC, hal tersebut tentunya suatu keberhasilan bagi
pemerintahan orde baru dalam memperkenalkan batik di internasional. Selain itu
pada masa Orde Baru batik digunakan untuk pendisiplinan pegawai negeri dengan
cara anjuran mengenakan batik setiap tanggal 17 setiap bulan. Bahkan PNS dalam
Korps Pegawai Republik Indonesia diwajibkan memakai batik berwarna biru dalam
setiap acara resmi.
Selain itu pada masa Orde Baru tahun 1991 dilaksanakan kongres kebudayaan
yang diadakan di TMII, Jakarta. Pembahasan dalam kongres tersebut adalah warisan
budaya, kebudayaan nasional, daya cipta dan perkembangan kebudayaan,
kebudayaan dan sektor-sektor kehidupan masyarakat, kebudayaan nasional dan
dunia.
REFERENSI
Setyawan, I.R. (2019). Refleksi Kritis Pembangunan Budaya pada Era Orde Baru
dan Reformasi. Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni; Vol. 3, No. 1,
April 2019: hlm 1-10. doi: https://doi.org/10.24912/ jmishumsen.v3i1.3452
Hisyam, M. (2003). Krisis Masa Kini dan Orde Baru. Edisi 1, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia
Hidayat, H. (2008). Politik Lingkungan; Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan
Reformasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Navi, N. (2016). Perkembangan Budaya di Indonesia pada Masa Orde Baru. diakses
dari https://nazalberbagibagi.blogspot.com/2016/12/budaya-masa-orde-
baru.html?m=1
Ardanarewari, I. Batik Sebagai Politik Budaya Orde Baru. tirto.id, 03 Oktober 2019;
https://amp-tirto-id.cdn.ampproject.org/v/s/amp.tirto.id/batik-sebagai-politik-
budaya-orde-baru-ei5f?
amp_js_v=a6&_gsa=1&usqp=mq331AQKKAFQArABIIACAw%3D
%3D#aoh=16378226702505&csi=1&referrer=https%3A%2F
%2Fwww.google.com&_tf=Dari%20%251%24s&share=https%3A
%2F%2Ftirto.id%2Fbatik-sebagai-politik-budaya-orde-baru-ei5f
Putra, O.D.S. (2019). Kehidupan Ekonomi Masa Orde Baru. diakses dari
https://sumber.belajar.kemdikbud.go.id/repos/FileUpload/Orde%20Baru-
BB/Topik-2.html
Faisal, M. IGGI dan Asal-Usul Utang Luar Negeri Indonesia. tirto.id, 20 Februari
2018; https://amp-tirto-id.cdn.ampproject.org/v/s/amp.tirto.id/iggi-dan-asal-
usul-utang-luar-negeri-indonesia-cEW3?
amp_js_v=a6&_gsa=1&usqp=mq331AQKKAFQArABIIACAw%3D
%3D#aoh=16372856475510&referrer=https%3A%2F
%2Fwww.google.com&_tf=Dari%20%251%24s&share=https%3A
%2F%2Ftirto.id%2Figgi-dan-asal-usul-utang-luar-negeri-indonesia-cEW3