SKENARIO 3
Disusun oleh:
Kelompok 2
Tutor Pembimbing:
FAKULTAS KEDOKTERAN
2021
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan tutorial “Skenario 3” telah melalui konsultasi dan disetujui oleh Tutor Pembimbing
Tutor Pembimbing,
Seorang laki-laki berusia 24 tahun datang ke praktik dokter umum dengan keluhan
timbul luka lecet di kemaluan.
DATA TAMBAHAN
Anamnesis
- Aktivitas seksual : terakhir 1 bulan yang lalu dengan teman perempuan, 1x dengan
teman laki-laki, sering berganti pasangan dan tidak menggunakan kondom
- Pekerjaan : mahasiswa
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
- Laki-laki, 24 tahun
- Aktivitas seksual : terakhir 1 bulan yang lalu dengan teman perempuan, 1x dengan
teman laki-laki, sering berganti pasangan dan tidak menggunakan kondom
- Pekerjaan : mahasiswa
2. Luka kecil pada kulit (chancre) timbul disebabkan oleh infeksi bakteri yang menyebar
melalui hubungan seksual dengan penderita sifilis. Luka tersebut timbul pada lokasi
bakteri masuk ke dalam tubuh. Pasien pada skenario sering bergonta-ganti pasangan
seksual dimana hal tersebut merupakan faktor risiko
Pria 24 tahun
KU : dbn
Vital sign : dbn
u dengan teman perempuan, 1x dengan teman laki-laki, sering berganti pasangan dan tidak menggunakan kondom Pembesaran KGB inguinal medial bilateral
dan kiri
aik
nya Diagnosis Banding
Sifilis
Ulkus Mole
Herpes Simpleks Genitalia
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis Utama
Sifilis
Klasifikasi sifilis dibagi menjadi sifilis kongenital dan sifilis akuisita (didapat).
Sifilis kongenital dibagi menjadi: sifilis kongenital dini (sebelum dua tahun), sifilis
kongenital lanjut (sesudah dua tahun) dan stigmata.
Sifilis akuisita (didapat) dapat dibagi menurut dua cara, secara klinis dan
epidemiologik. Terdapat juga bentuk lain ialah sifilis kardiovaskular dan neurosifilis
(Djuanda, 2019):
Sifilis Primer (S I)
Kelainan kulit dimulai dengan papul lentikular yang permukaannya segera menjadi
erosi, umumnya kemudian menjadi ulkus. Ulkus tersebut biasanya bulat, solitar,
dasarnya ialah jaringan granulasi berwarna merah dan bersih, di atasnya hanya
tampak serum. Dindingnya tak bergaung, kulit di sekitarnya tidak menunjukkan
tanda-tanda radang akut. Yang khas ialah ulkus tersebut indolen dan teraba indurasi
karena itu disebut ulkus durum. Kelainan tersebut dinamakan afek primer (Djuanda,
2019).
Berbeda dengan S I yang tanpa disertai gejala konstitusi, pada S II dapat disertai
gejala tersebut yang terjadi sebelum atau selama S II. Gejalanya umumnya tidak berat,
berupa anoreksia, turunnya berat badan, malese, nyeri kepala, demam yang tidak
tinggi, dan artralgia. Kelainan kulit dapat menyerupai berbagai penyakit kulit
sehingga disebut the great imitator. Selain memberi kelainan pada kulit, S II dapat
juga memberi kelainan pada mukosa, kelenjar getahbening, mata, hepar, tulang, dan
saraf. Kelainan kulit yang membasah (eksudatif) pada S II sangat menular, kelainan
yang kering kurang menular. Kondilomata lata dan plaque muqueuses ialah bentuk
yang sangat menular. Gejala yang penting untuk membedakannya dengan berbagai
penyakit kulit yang lain ialah: kelainan kulit pada S II umumnya tidak gatal, sering
disertai limfadenitis generalisata, pada S II dini kelainan kulit juga terjadi pada
telapak tangan dan kaki (Djuanda, 2019).
Kelainan yang khas ialah guma, yakni infiltrat sirkumskrip, kronis, biasanya
melunak, dan destruktif. Besar guma bervariasi dari lentikular sampai sebesar telur
ayam. Kulit di atasnya mula-mula tidak menunjukkan dapat digerakkan. Setelah
beberapa bulan mulai melunak, biasanya mulai dari tengah, tanda-tanda radang mulai
tampak, kulit menjadi eritematosa dan livid serta melekat terhadap guma tersebut.
Kemudian terjadi perforasi dan keluarlah cairan seropurulen, kadang-kadang
sanguinolen; pada beberapa kasus disertai jaringan nekrotik. Selain guma, kelainan
yang lain pada ialah nodus. Mula-mula di kutan kemudian ke epidermis,
pertumbuhannya lambat yakni beberapa minggu/bulan dan umumnya meninggalkan
sikatriks yang hipotrofi. Nodus tersebut dalam perkembangannya mirip guma,
mengalami nekrosis di tengah dan membentuk ulkus (Djuanda, 2019).
Laten berarti tidak ada gejala klinis dan kelainan, termasuk alat-alat dalam, tetapi
infeksi masih ada dan aktif. Tes serologik darah positif, sedangkan tes likuor
serebrospinalis negatif. Tes yang dianjurkan ialah VDRL dan TPHA (Djuanda, 2019).
Sifilis rekuren
Relaps dapat terjadi baik secara klinis berupa kelainan kulit mirip S II, maupun
serologik yang telah negatif menjadi positif. Hal ini terjadi terutama pada sifilis yang
tidak diobati atau yang mendapat pengobatan tidak cukup. Umumnya bentuk relaps
ialah S II, kadang-kadang S I, Kadang-kadang relaps terjadi pada tempat afek primer
dan disebut monorecidive. Relaps dapat memberi kelainan pada mata, tulang, alat
dalam, dan susunan saraf. Juga dapat terlahir bayi dengan sifilis kongenita (Djuanda,
2019).
Infeksi sifilis telah dikaitkan dengan perilaku tertentu dan faktor lain, termasuk
penahanan (orang dalam penjara), pasangan seks banyak atau anonim (tanpa
mengetahui riwayat seks pasangan), aktivitas seksual yang berhubungan dengan
penggunaan obat-obatan terlarang, mencari pasangan seks melalui internet dan
dinamika jaringan seksual berisiko tinggi lainnya. Faktor risiko sifilis sering tumpang
tindih. Hasil laporan yang tidak biasa dan perkembangan cepat sifilis pada pasien
dengan infeksi HIV bersamaan telah menyebabkan hipotesis bahwa infeksi dengan
atau pengobatan HIV mengubah riwayat alami sifilis (Peeling et al, 2017).
Bakteri Treponema Pallidum masuk dengan cepat melalui membran mukosa yang
utuh dan kulit yang lecet lalu masuk ke dalam kelenjar getah bening dan aliran darah,
kemudian menyebar ke seluruh organ tubuh. Bergerak masuk keruang intersisial
jaringan dengan cara gerakan cork-screw (seperti membuka tutup botol). Beberapa
jam setelah terpapar terjadi infeksi sistemik meskipun gejala klinis dan serologi belum
kelihatan pada saat itu (Devi, 2014).
Darah dari pasien yang baru terkena sifilis atau pun yang masih dalam masa
inkubasi bersifat infeksius. Waktu berkembang biak Treponema pallidum selama
masa aktif penyakit secara invivo 30-33 jam. Lesi primer muncul di tempat kuman
pertama kali masuk, biasanya bertahan selama 4-6 minggu dan kemudian sembuh
secara spontan. Pada tempat masuknya, kuman mengadakan multifikasi dan tubuh
akan bereaksi dengan timbulnya infiltrat yang terdiri atas limfosit, makrofag dan sel
plasma yang secara klinis dapat dilihat sebagai papul. Reaksi radang tersebut tidak
hanya terbatas di tempat masuknya kuman tetapi juga di daerah perivaskuler
(Treponema pallidum berada diantara endotel kapiler dan sekitar jaringan), hal ini
mengakibatkan hipertrofi endotel yang dapat menimbulkan obliterasi lumen kapiler
(endarteritis obliterans). Kerusakan vaskular ini mengakibatkan aliran darah pada
daerah papula tersebut berkurang sehingga terjadi erosi atau ulkus dan keadaan ini
disebut chancre (Devi, 2014).
Diagnosis sifilis dapat ditegakkan dengan mencari gejala yang timbul seperti
chancre dan condyloma lata, menggali faktor risiko pasien, dan melakukan
pemeriksaan penunjang seperti VDRL (Chandrasekar, 2017).
Anamnesis
Pada anamnesis perlu ditanyakan riwayat seksual dan sosial pasien. Pertanyaan
meliputi jumlah pasangan seksual, penggunaan kondom, riwayat infeksi menular
seksual pada pasien dan pasangannya, penggunaan napza, dan paparan terhadap
produk darah. Tanyakan juga riwayat munculnya chancre yang sembuh sendiri pada
daerah kelamin, anus, vulva, atau perineum (Chandrasekar, 2017).
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien sifilis berbeda-beda pada setiap stadium sifilis.
A. Sifilis Primer
Chancre berbentuk ulkus tunggal, tepi teratur, indurasi, dengan dasar bersih,
tidak nyeri. Biasanya lesi dimulai dengan papul soliter, kemerahan dan keras yang
muncul pada glans penis, vulva, serviks, anus, jari, orofaring, lidah, dan puting.
Lesi umumnya sembuh dalam 4 minggu atau 2 minggu dengan antibiotik. Bisa
juga didapatkan pembesaran kelenjar getah bening regional (Chandrasekar, 2017)
(Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit Indonesia, 2017).
B. Sifilis Sekunder
Pada sifilis sekunder lesi berbentuk polimorfik, tidak gatal dan seringkali
terdapat pembesaran kelenjar getah bening generalisata. Umumnya lesi muncul 3
minggu setelah lesi primer dengan durasi 2-10 minggu. Bila tidak diterapi
keseluruhan dapat hilang sendiri atau dapat pula rekuren dalam 2 tahun.
Gambaran yang sering ditemukan adalah ruam mukokutan difus, berbentuk
makulopapular, papular, makular, atau anular papular, nonpruritik, dan simetris.
Lesi seringkali ditemukan pada telapak tangan dan kaki. Gambaran lain yang
dapat muncul yaitu patchy alopecia, condyloma lata, dan gejala sistemik berupa
malaise, demam, myalgia dan arthralgia (Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit
Indonesia, 2017) (Peeling & Hook, 2006).
C. Sifilis Laten
Sifilis laten umumnya asimptomatik dan terbagi menjadi laten awal dan laten
akhir. Periode laten awal adalah 1 tahun pertama setelah resolusi dari sifilis primer
atau sekunder dengan hasil tes serologi reaktif. Bila durasi lebih dari 1 tahun atau
tidak diketahui, maka dianggap sebagai periode laten akhir (Perhimpunan Dokter
Spesialis Kulit Indonesia, 2017).
D. Sifilis Tersier
Sifilis tersier memiliki progresifitas lambat dan dapat mengenai organ
manapun dan menyebabkan kematian. Secara umum sifilis tersier terbagi menjadi
sifilis gummatosa, sifilis kardiovaskular, dan neurosifilis (Chandrasekar, 2017).
Lesi gummatosa sering muncul dalam 3-10 tahun setelah terinfeksi berupa
infiltrat sirkumskrip kronis, berbatas tegas,dan destruktif yang dapat mengenai
kulit, mukosa, atau tulang.
Sifilis kardiovaskular umumnya mengenai aorta dan dapat menyebabkan
terbentuknya aneurisma, gangguan katup, dan penyempitan ostium koroner.
Neurosifilis dapat bersifat simtomatik dan asimtomatik. Pada jenis asimtomatik
tidak ditemukan tanda dan gejala tetapi ditemukan abnormalitas pada cairan
serebrospinal. Pada jenis simptomatik, neurosifilis dapat muncul sebagai
meningitis sifilis, neurosifilis meningovaskular, dan neurosifilis parenkimatosa
(Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit Indonesia, 2017).
E. Sifilis Kongenital
Sifilis kongenital terbagi menjadi sifilis kongenital awal (terjadi dalam 2 tahun
pertama kehidupan) dan sifilis kongenital akhir (terjadi pada anak berusia diatas 2
tahun.) Tanda yang muncul pada sifilis kongenital awal dapat berupa ruam difus,
pengelupasan kulit, hepatosplenomegali, anemia, limfadenopati, demam, ikterik,
saddle nose, pseudoparalisis, periostitis, glomerulonefritis, dan gangguan
neurologi. Pada sifilis kongenital akhir, tanda yang muncul mirip dengan gejala
sifilis tersier pada orang dewasa (Chandrasekar, 2017).
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan serologi merupakan pemeriksaan standar untuk mendeteksi seluruh
stadium dari sifilis (Centers of Disease Control and Prevention, 2017).
A. Sifilis Didapat
Pada sifilis yang didapat, mula-mula dilakukan pemeriksaan skrining
nontreponema menggunakan Venereal Disease Research Laboratory (VDRL)
dan Rapid Plasma Reagen (RPR). Oleh karena dapat terjadi positif palsu atau
negatif palsu, perlu dilakukan konfirmasi dengan tes treponema seperti
fluorescent treponemal antibody-absorbed test (FT-ABS), Treponema Pallidum
Particle Agglutination (TPPA), dan Enzyme Immuno Assay (EIA).
Titer antibodi pemeriksaan nontreponema dipengaruhi oleh aktivitas penyakit
dan dapat digunakan untuk mengetahui respon terapi dimana titer akan non
reaktif seiring penyembuhan penyakit. Peningkatan titer 4 kali lipat
mengindikasikan perbedaan yang signifikan antara dua pemeriksaan
nontreponemal.
Pemeriksaan treponema umumnya akan tetap positif dalam waktu lama dan
tidak dipengaruhi oleh aktivitas penyakit atau terapi (Centers of Disease Control
and Prevention, 2017) (Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit Indonesia, 2017).
B. Sifilis Kongenital
Pemeriksaan sifilis pada ibu hamil disarankan pada saat kunjungan prenatal
yang pertama kali. Wanita berisiko tinggi untuk tertular sifilis harus diperiksa
kembali pada trimester ketiga dan saat kelahiran anak. Wanita hamil dengan hasil
tes sero positif harus dianggap infeksius kecuali terdapat riwayat terapi yang
adekuat dalam rekam medis dan hasil titer antibodi sekuensial menunjukkan
penurunan sebesar 4 kali lipat.
Titer serologi harus diperiksa setiap bulan bila pasien memiliki resiko untuk
terinfeksi sifilis atau tinggal pada daerah dengan prevalensi tinggi penyakit ini.
Setiap wanita yang melahirkan bayi lahir mati setelah 20 minggu masa gestasi
disarankan untuk menjalani pemeriksaan sifilis. Menentukan diagnosis sifilis
kongenital tidak mudah karena antibodi IgG nontreponema dan treponema dari
ibu dapat disalurkan pada bayi (Chandrasekar, 2017) (Centers of Disease Control
and Prevention, 2017).
Proven atau highly - Pemeriksaan fisik abnormal yang VDRL, hitung jumlah sel dan
probable konsisten dengan sifilis kongenital. protein pada cairan
- Hasil kuantitatif pemeriksaan serebrospinal, pemeriksaan
serologi nontreponema titernya 4 darah lengkap, pemeriksaan
kali lipat dibandingkan titer ibu. lain sesuai indikasi seperti
- Hasil positif pada pemeriksaan rontgen tulang, rontgen
mikroskop lapangan gelap atau PCR thoraks, fungsi hati, pencitraan
menggunakan cairan lesi atau cairan neurologi, pemeriksaan
tubuh. oftalmologi dan auditory
brainstem response.
Possible Bila ditemukan hasil pemeriksaan fisik VDRL, hitung jumlah sel dan
normal dan pemeriksaan serologi protein pada cairan
nontreponemal titernya kurang dari 4 kali serebrospinal, pemeriksaan
lipat dengan 1 dari keadaan berikut: darah lengkap, pemeriksaan
- Ibu tidak diterapi secara adekuat atau radiologi pada tulang panjang.
tidak ada bukti telah diterapi
- Ibu diterapi menggunakan regimen
yang berada diluar rekomendasi
- Ibu mendapat terapi dengan regimen
yang direkomendasikan kurang dari 4
minggu sebelum kelahiran
Pengobatan pada sifilis primer dan sekunder memberikan hasil yang sangat baik.
Kegagalan terapi masih ditemukan pada penderita HIV. Sifilis kardiovaskular juga
memberikan respon yang baik dengan pengobatan sifilis walaupun infark iskemik
masih dapat ditemukan (Setiati dkk, 2014).
KESIMPULAN
Seorang laki-laki berusia 24 tahun datang ke praktek dokter umum dengan keluhan
timbul luka lecet di kemaluan. Pada anamnesis didapatkan luka sejak 2 minggu yang
lalu, belum menikah, aktivitas seksual yaitu terakhir 1 bulan yang lalu dengan teman
perempuan, 1x dengan teman laki-laki, sering berganti pasangan dan tidak menggunakan
kondom dan pada pemeriksaan fisik didapatkan pembesaran kelenjar getah bening
inguinal medial bilateral. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan penunjang berupa
pemeriksaan VDRL (Venereal Disease Research Laboratories) hasil reaktif dan
pemeriksaan mikroskopik dark field ditemukan pergerakan Spirochaeta pallidum.
Sehingga dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dapat
diketahui bahwa pasien mengalami penyakit sifilis yang disebabkan oleh Treponema
palidum.
DAFTAR PUSTAKA
Centers of Disease Control and Prevention, 2017. Sexually Transmitted Diseases: Syphilis.
[Online] Available at: https://www.cdc.gov/std/tg2015/syphilis.html
[Diakses 20 05 2021].
Chandrasekar, P., 2017. Syphilis. [Online] Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/229461-overview
[Diakses 20 05 2021].
Devi, et al. 2014. Syphilis. J Majority: Volume 3 Nomor 7.
Djuanda, Adhi. 2019. Sifilis Dalam: Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Indriatmi, W., 2016. Ulkus Mole. In: S. L. S. Menaldi, K. Bramono & W. Indriatmi, eds.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, pp. 475-477k
Kemkes, 2013. Pedoman Tata Laksana Sifilis untuk Pengendalian Sifilis di Layanan
Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Peeling, R. & Hook, E., 2006. The Pathogenesis of Syphilis: the Great Mimicker Revisited..
J Pathol, pp. 208(2):224-32.
Peeling, R. W., Mabey, D., Kamb, M. L., Chen, X. S., Radolf, J. D., & Benzaken, A. S. 2017.
Syphilis. Nature reviews. Disease primers, 3, 17073. https://doi.org/10.1038/nrdp.2017.73
Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit Indonesia, 2017. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter
Spesialis Kulit di Indonesia: Sifilis. [Online] Available at:
https://www.perdoski.id/buku/read/114-panduan-praktik-klinis
[Diakses 20 05 2021].
Prof Dr Sjaiful Fahmi Daili, S. (2013). Pedoman Tata Laksana Sifilis untuk Pengendalian
Sifilis di Layanan Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan .
Setiati dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edis VI. Jakarta: Interna Publishing
Stoltey JE, Cohen SE. 2015. Syphilis transmission: A review of the current evidence. Sexual
health. 12(2):103-109.
Suryani, D. P. A. & Sibero, H. T., 2014. Syphilis. J Majority, 3(7), pp. 7-16.
Suryani, Metta. 2013. Masalah dan penatalaksaan herpes genital rekurens. Ebers Papyrus
Tarumanegara Journal: Vol 19, No 2
Wayan, Hendrawan. 2017. Venereologi G2P1A0H0 32-33 Minggu dengan Herpes Genitalis.
Jurnal Kedokteran Unram, 6(1): 50-54.