Anda di halaman 1dari 19

RESUME

MATERI ORGANIK MENJADI HIDROKARBON

1. perubahan materi organik menjadi hidrokarbon

Pada transformasi materi organik atau karbon organik, hal pertama yang terjadi yaitu
materi organik akan berubah menjadi kerogen ditambah dengan bitumen lebih dahulu, dan
barulah setelah itu berubah menjadi hidrokarbon minyak dan gas bumi. Kandungan unsur
yang esensial yang ada didalam minyak dan gas bumi hanya ada 2 yaitu hidrogen (H) dan
karbon (C). oleh sebab itu dalam prosess transformasi kandungan oksigen dan nitrogen yang
ada dalam komposisi awal sebagian besarnya akan hilang, sementara kandungan lipid
(lemak) dan residu organik yang mengandung hidrogen akan tertinggal dan terpreservasi (ter-
awetkan), namun jika materi organik yang terdapat dalam batuan sedimen mengalami
pelapukan (oksidasi) maka hasil yang diinginkan untuk menjadi hidrokarbon tidak akan
sampai, oleh sebab itu materi organik tersebut tidak boleh terpapar dari atmosfer, lingkungan
yang memiliki aerasi dan lingkungan air bawah yang bersifat asam/basa atau bereaksi dengan
sulfur dan atau terkena aktivitas volkanik dan prosess lain yang berhubungan dengan
pembentukan batuan beku (igneous activity), secara keseluruhan kandungan materi organik
merupakan bahan-bahan teresensial yang tertransport oleh sungai di lingkungan fluvial dan
prosess tersebut umumnya mengakibatkan berkurangannya kandungan hidrogen pada materi
organik sampai sebelum diendapkan.

Apabila kandungan oksigen melampaui nilai 1mg/l maka pembusukan/dekomposisi


aerobik dari materi organik akan sangat efisien dan jika kandungan oksigen di dalam air
kurang dari 0.1 mg/l maka prosess dekomposisi akan berjalan lebih lambat dan tidak efisien,
dekomposisi anaerob ini sangat dipengaruhi oleh ukuran besar butir sedimennya,sedimen
dengan ukuran pasir kasar memungkinkan terjadinya difusi oksigen yang mengandung garam
lain dengan lebih mudah dan memiliki kandungan materi organik yang sangat sedikit dan jika
ukuran besar butirnya semakin halus maka aktivitas bakteri anaerob akan berkurang.

Perubahan atau transformasi dari materi organik menjadi karogen berlangsung dari
kedalaman penimbunan (burial) yang dangkal-1000 m dengan tempratur sekitar 50°C,selama
proses alterasi-pasca pengendapan sedimen, oleh karenanya, maka kemudian kadungan-
kandungan organik dalam sedimen akan secara progresif mengalami transformasi oleh
proses-proses ternal menjadi dua jenis fraksi,yaitu : (a) produk fluida dengan kandungan
hidrogen yang tinggi (b) produk residu dengan kandungan karbon yang tinggi. Transformasi
prosess ternal yang derajatnya sedang-sedang saja akan menghasilkan produk-produk bersifat
likuid;sedangkan prosess transformasi yang intensif akan menghasilkan gas methane
ditambah dengan residu yang kaya akan unsur karbon prosess ini mirip dengan prosess
pembentukan kokas dan pembakaran batu bara. Apabila ini merupakan dari proses konversi
maka kuantitas residu karbon (Cr) menjadi tolak ukur jumlah konversi dari materi organik
asalnya, dan tingkat progres dari transformasi tersebut dapat diukur dengan berbagai cara
indikator geokimia.

2. indikator-indikator geokimia organik

Transformasi dari karogen menjadi minyak dan gas bumi yang matang melibatkan
terjadinya peningkatan progresif dan proporsi kandungan atau rasio hidrogen terhadap
proporsi karbon (H:C ratio), rasio ini ditentukan di lab dengan menggunakan teknik
pengujian dengan proses pembakaran, konversi yang lengkap merupakan proses yang
melibatkan karbonisasi dan proses lainnya adalah hidrogenasi. Proses-proses tersebut
menghasilkan methane dan residu karbon, selama proses materi sisa tumbuhan yang
mengandung kayu menjadi batubara melibatkan pengayaan hidrogen didalam produk
hidrokarbon yang bersifat fluida dan unsur H berkurang dalam matrial asalnya.

Sumber material Rasio H :C


Kayu 1.464
Gambut 1.308
Lignite 1.044
Batubara bitumen 0.768
Antrasit 0.324-0.000
Rasio H:C methane yang hilang nilainya adalah 4.

Sumber material Rasio H:C


Organisme (rata-rata) 1.920
Lemak,karbohidrat,protein (rata-rata) 1.680
Pyrobitumen (kerogen) 1.524
Karbon 0.000
Rasio H:C pada bitumen berkisar antara 1.740-1.980.

Oleh sebab kita kesulitan untuk menentukan kandungan H didalam shale/serpih maka
peneliti mengkhususkan dalam meneliti karbon pada awal tahun 1915 David white
menemukan suatu cara dalam melakukan estimasi level lokasi dari prospek hidrokarbon
apabila ada lapisan batubara terdapat di dekat prospek hidrokarbon itu yang kira-kira
memiliki umur yang sama.david white berargumen bahwa terdapat suatu ambang batas level
metamorfisma batuan di cekungan (oil deadline) yang di ekspresikan oleh nilai rasio carbon
di atas, dimana di atas ambang batas itu kemungkinan besar tidak akan ada minyak bumi
yang ditemukan. Hasilnya dapat kita lihat pada tabel dibawah nanti.

Pengukuran yang serupa juga dilakukan terhadap serpih salah satu tolak ukur dari
transformasi merupakan rasio dari residu karbon yang tertinggal dipembakaran terhadap
karbon organik (TOC). Beberapa materi organik terutama asam-asam organik akan bereaksi
dengan kalium hidroksida atau kalium kaustik (KOH) untuk menghasilkan produk-produk
kalium reaksinya disebut dengan saponifikasi, selama alterasi pasca pegendapan materi
organik yang tadinya tersaponifikasi akan berubah menjadi produk yang bersifat non-
saponifisiable (hidrokarbon,steroid). Derajat transformasi tersebut disebut denga HI (indeks
hidrokarbon) dimana HI = (non-saponifiable carbon / total organik carbon) x 100. Konversi
yang sempurna adalah yang nilai HI-nya = 100

Tingkatan dari batubara dan terjadinya minyak dan gas

Berdasarkan pada tabel di atas beberapa serpih dari minyak bumi yang kaya (prolific) akan
memberikan nilai indeks yang lebih besar dari 90,dan materi organik yang baru diendapkan
memiliki nilai indeks kurang dari 40, dapat dilhat dari perbandingan organik (OE) denan
(TOC).

Kuantitas atau jumlah minyak yang dapat dihasilkan per satuan volume dari “source rock”
kemungkinannya merupakan fungsi linear dari kandungan karbon organik batuan (OC), saat
kandungan volatil (substansi yang mudah menguap) dengan demikian kualitas kerogen
sebagai subtansi pembentuk hidrokarbon didefinisikan sebagai perbandingan atom hidrogen
terhadap atom karbon H:C. ketika rasio hidrogen terhadap karbon (H:C) akan semakin
berkurang seiring dengan progress karbonisasi dan bertambahnya kedalaman serta tempratur
maka demikian pula dengan perbandingan oksigen terhadap karbon.

Kelompok maseral utama yang menggambarkan jalur evolusi materi organik selama proses
karbonisasi. Adapun jenis-jenis maseral (komponen organik) berdasarkan jenis tumbuhan
asalnya yaitu :

a. alginite, dari tumbuhan alga termasuk kedalam resinite dan mengalami fluoresensi dengan
perbandingan atom H:C 1.5 pada kondisi awal

b.exinite, berasal dari sporinite yaitu spora dan exinite baik itu megaspora dan microspor
mengalami fluoresensi dengan perbandingan atom H:C 1.2 atau lebihpada kondisi awal

c. vitrinite, termasuk kedalam kelompok ini yaitu telinite dan collinite, vitrinite tidak ber-
fluoresensi dengan perbandingan atom H:C 0.75 pada kondisi awal.
d. inertinite, yang termasuk kedalam inertinite yaitu fosil arang (charcoal), micrinite dan
sclerotinite, tidak ber-fluoresensi dengan rasio awal 0.5 atau kurang

3. Substansi Asal Sebelum Terbentuknya ''Petroleum''

Untuk menghasilkan hidrokarbon (minyak bumi), material organik yang bersifat


humik harus diganti sebagian atau seluruhnya oleh material organik yang bersifat
sapropelik, Karakteristik biokimia materi organik yang bersifat humik sangat berbeda
dengan karakteristik biokimia materi organik sapropelik. Material organik yang bersifat
humik tersusun dari lignin-karbon yang kaya akan unsur nitrogen (N) namun
kekurangan unsur H (<5%) berasal dari tumbuhan terestrial atau darat, Kandungan
likuid dan volatil yang dihasilkan dari alterasi termal material humik sangat rendah dan
digantikan oleh CO2 dan H2O oleh karena itu materi organik yang bersifat humik lebih
menghasilkan hidrokarbon gas daripada minyak, atau hal ini dikenal dengan istilah''gas-
prone''. Dan materi organik sapropelik merupakanadonan lumpur atau semacam lendir
yang bersifat nabati (vegetable slime) yang tidak memiliki struktur (alginite),
mengandung materi polimer (substansi yang molekulnya sangat besar) dari lipid dan
yang berasal dari protein. Materi organik sapropelik berasosiasi dengan fasies sedimen
akuatik, seperti laut dan lakustrin.

Dalam ekstraksi polen pada sedimen yang belum matang humik dan sapropelik
menghasilkan menghasilkan perbandingan atom hidrogen terhadap karbon sbb :

1. H:C <0.8 didominasi oleh humik

2. 0.8<H:C<1.0 campuran humik dan sapropelik

3. H:C >1.0 di dominasi oleh sapropelik.

Untuk menggambarkan jalur evolusi kematangan yang dilalui oleh keempat tipe
dasar materi organik dalam batu sedimen yaitu

1.Tipe I, jenis tingkat tinggi mengandung alga, berada dilingkungan lakustrin


mengandung materi organik sapropelik, H:C antara 1.6 dan 1.8

2. tipe II, turunan dari jenis yang agak menengah, berasal dari sedimen materialnya
campuran (darat dan akuatik) dengan rasio H:C sekitar 1.4

3. tipe III, megandung material organik yang bersifat humik berasal dari tanaman darat
merupakan jenis kayu dengan rasio H:C 1.0 atau kurang
4. tipe IV, berasal dari materi organik mana saja yang telah mengalami oksidasi,daur
ulang dalam sedimentasi, atau mengalami alterasi yang reaktif sehingga sekarang
kekurangan hidrogen dengan H:C 0.4 atau kurang

tingginya rasio H:C tidak berarti menjamin ''source rock'' itu akan menghasilkan
minyak bumi; karena selulosa (komponen dinding sel tanaman) juga memiliki rasio H:C
yang tinggi.

4. aspek peranan (agen) dalam proses transformasi

Transformasi kerogen menjadi minyak bumi dipandang sebagai proses energi yang hilang
sejak awal yang distribusinya menghasilkan molekul-molekul terpisah yang memiliki
tingkat penyimpanan energi yang tinggi, ada kemungkinan juga prosess tersebut berasal dari
proses biogenik. Proses-proses yang bersifar bakterial tidak dapat secara efektif
menghasilkan hidrokarbon setelah materi tersebut teruraikan. Jumlah bakterinyapun
berkurang secara drastis kedalam sedimen hanya beberapa cm dari permukaan sedimen
karena bakteri tersebut jarang hidup di kedalaman 10m. Dan peran bakteri dalam
mensintesa minyak hidrokarbon hanya bersifat minor.

Transformasi materi organik menjadi hidrokarbon ini terjadi oleh proses yang sifatnya
termodinamik, yang merupakan proses non-biogenik, proses ini dinamai katagenesa,
prosesnya meliputi tahap-tahap dari non-hidrokarbon bertransformasi menjadi hidrokarbon
tingkat rendah yang kemudian mengalami re-organisasi melalui kondisi tempratur dan
tekanan hingga menjadi berubah menjadi hidrokarbon minyak bumi (pentroleum). W.F.
Seyer tahun 1933, membayangkan bahwa transformasi menjadi hidrokarbon merupakan
proses dekomposisi termal (cracking) yang terjadi pada kondisi temperatur rendah dan
tekanan yang tinggi. seperti halnya pada teori David White akan ada batas tempratur dan
batas kedalaman dimana minyak dapat terbentuk pada dan oleh karenanya ada juga batas
kedalamannya, di mana minyak dapat terbentuk.Pada level kedalaman yang lebih dalam,
hidrokarbon minyak akan mengalami konversi menjadi gas ditambah dengan materi-materi
semi-solid yang memiliki kandungan karbon yang tinggi, dan terlalu kental (viskositasnya
tinggi) untuk dapat mengalir. batas kedalaman antara minyak dengan ambang perubahannya
menjadi gas terjadi di sekitar kedalaman 20000 feet atau sekitar 6000 m perkiraan tersebut
telah teruji dengan sangat baik dalam pengeboran sumur-sumur yang dalam.

Pembentukan hidrokarbon merupakan proses katalisator-termal (thermo- catalytic)


yang dikontrol oleh laju atau kecepatan prosesnya. Faktor pengontrol yang esensial dari
proses tersebut adalah hubungan antara waktu dengan temperatur. Ketergantungan laju
Ea
reaksi kimia pada temperatur dinyatakan dengan persamaan Arrhenius: k = Ae / RT.
pembentukan minyak bumi dari bahan organik batuan sedimen disebabkan oleh proses
yang sangat bergantung pada temperatur; yang bersifat non-biogenik. asalkan suhu
kritisnya itu tercapai pada kedalaman ''burial'' maka kondisi yang memadai (ambang batas)
akan terpenuhi bagi dekomposisi termal (cracking) yang intensif pada kedalaman tersebut.
terdapat kisaran temperatur, di mana proses pembentukan minyak bumi dapat terjadi pada
setiap temperatur jika sedimen ''source rock'' nya memadai dan tersedia Pada temperatur
di bawah ambang kritis (di mana lonjakan karbonisasi terjadi), di sekitar 60 °C, ''sorce
rock'' yang terdapat pada sedimen belum matang secara termal (immature); Akan tetapi,
bila temperatur di luar dari batas atas temperatur kritis (biasanya sekitar 120°C), maka
sedimen ''source rock'' itu kelewat-matang (post-mature). Kisaran temperatur pembentukan
minyak itu disebut (liquid window; atau oil window, di mana kisaran temperatur itu di-
ibaratkan sebagai celah atau ''jendela''). Kisaran temperatur pembentukan minyak hanya
berlaku untuk proses pembentukan minyak (oil generation) dan proses ekspulsinya
(terperas keluar), dan tidak berlaku bagi proses migrasi minyak selanjutnya ke dalam
batuan reservoir yang lebih dingin atau lebih muda. temperatur dan faktor waktu
merupakan faktor yang penting dalam proses ini . Waktu bersama dengan energi termal
(bukan semata-mata temperatur), memberikan semacam waktu pematangan yang efektif,
bagi ''source rock'', yang dikenal dengan sebutan ''cooking time''. ''Cooking time'' ini
merupakan lama waktu yang dilalui oleh ''source rock'' di dalam menerima termal dari
setiap kenaikan temperatur yang dialaminya seiring dengan kejadian atau tahapan
subsidence (dan/atau uplift jika proses subsidence terhenti) di atas batas temperatur
minimum. ''cooking time'' dihitung sebagai waktu yang dihabiskan sedimen di dalam 15
°C dari temperatur maksimum yang dicapainya. Oleh karena itu, temperatur aktual yang
menjadi batas atas dan batas bawah temperatur di dalam kisaran temperatur ''liquid
window'' itu bergantung pada umur sedimen yang mengandung ''source rock'' dan juga
gradien geotermalnya.

Pada batuan berumur Paleozoic di Aljazair dan di Alberta-Amerika, ambang


temperatur atau batas atas temperatur dari kisaran ''liquid window'' itu adalah sekitar 60 °C
yang berumur Mesozoic, maka rata-rata umum temperatur 65°C.pada Percobaan yang
dilakukan oleh peneliti- peneliti bernama Connan, Laplante, dan lain-lain menunjukkan
bahwa diperlukan ambang batas temperatur yang jauh lebih tinggi lagi untuk ''source rock''
yang berasal dari sedimen-sedimen yang berumur Cenozoic. Secara umum, pada
cekungan-cekungan minyak berumur Tersier (Cenozoic), kisaran temperatur untuk ''oil
window'' telah diestimasi oleh Philippi, berada di antara 115 °C - 150 °C. Percobaan di
laboratorium untuk transformasi yang ekuivalen dengan kondisi tersebut memerlukan
temperatur setinggi hampir 300 °C. semakin tinggi gradien geotermal, maka level
pembentukan minyak dan level pemerangkapan minyak (trapping) akan semakin dangkal
dan lebih efisien (sepanjang kondisi geologinya mendukung dan sesuai), dan semakin
dangkal pula level kedalaman

5. kalkulasi waktu pemanasan efektif

Memperkirakan waktu pemanasan efektif (effective heating time atau cooking time) dalam
kematangan batuan ''source rock'' hidrokarbon dapat dilakukan melalui tiga langkah yaitu

1.Melakukan plotting umur

2.hitunglah kedalaman di mana temperatur meningkat hingga 15 C.

3.Tentukan umur yang ekuivalen dengan kedalaman tersebut

6. tempratur dan waktu dalam pembentukan minyak bumi

Untuk merepresentasikan ekspresi kuantitatif dari hubungan antara waktu dengan


temperatur dalam pembentukan minyak bumi N.B. Vassoyevich, mengalikan kedalaman
(km) dan waktu ( juta tahun), yang diterapkan pada batuan ''source rock''. Persamaan
hubungan ini dinyatakan dengan nama ''geochronothermobar'' (G): G = (T x t x P) / 1000,
di mana T (derajat); t ( jutaan tahun); dan P (atmosfer) .N.V. Lopatin, pada tahun 1971,
menghitung kematangan termal (thermal maturity) dari materi organik dalam sedimen
dengan suatu teknik yang disebut sebagai indeks temperatur– waktu maturasi (time–
temperature index of maturation; TTI). Plot antara umur dengan kedalaman itu kemudian
''di-overlay'' dengan grid temperatur yang disederhanakan, oleh karena diperlukan asumsi
mengenai gradien geotermal (landaian temperatur) di masa lampau. Lopatin kemudian
mendefinisikan dua faktor:

(a)Suatu nilai indeks (n) untuk interval temperatur 10°C. Nilai nol bagi indeks n dipilih
secara arbitrer pada interval antara 100–110°C, sehingga interval antara 90–100°C menjadi
–1, interval 110–120°C bernilai +1, dan seterusnya.
(b)Faktor temperatur.

7. pemasalahan dalam pengukuran tempratur

potensi terbesar yang menjadi sumber kesalahan terletak pada perhitungan nilai T
(temperatur); temperatur maksimum yang dicapai oleh unit stratigrafi atau lapisan batuan
tertentu, Perhitungan aktual untuk nilai T lebih dapat untuk diandalkan jika diterapkan pada
batuan sedimen berumur Cenozoic; Kelemahan metode tersebut yaitu secara imsplisit
terdapat ekstrapolasi dari kinetik pyrolysis ke dalam kondisi temperatur geologi. Hubungan
antara waktu dan temperatur dalam proses maturasi termal tidak bersifat linier, sehingga kita
bisa menganggap bahwa maturasi dapat dicapai hanya dengan menjadikan nilai t sangat
besar, sementara nilai T nya kecil. integral temperatur dengan waktu (tT) merupakan metode
yang diakui oleh proponen dalam identifikasi kematangan ''source rock''

8. parameter optik dalam analisa kematangan source rock

Prosess geotermal yang dapat merubah warna pada polen dan cocodont bergantung pada
temperatur dan waktu, terjadi secara progresif, kumulatif, dan tidak dapat kembali ke kondisi
semula. Perubahan warna itu, mempengaruhi jenis materi organik tertentu,yang menentukan
apakah materi organik itu berpotensi menghasilka minyak bumi atau tidak. G.S. Bayliss
membedakan jenis materi organik tersebut ke dalam empat kelompok yaitu Amorphogen,
Phyrogen, Hylogen dan Melanogen. persentase jenis-jenis sisa materi organik ini dapat
dikalibrasi dengan skala warna untuk menentukan indeks alterasi termal (TAI) dari materi
organik (F. L. Staplin 1969). Indeks alterasi termal (TAI; thermal alteration index) dinyatakan
berdasarkan skala dari 1 sampai 5, TAI = 1 menunjukkan tidak ada perubahan warna TAI = 5
semua fitoklas berubah menjadi berwarna hitam dan ''source rock'' (batuan iduk)
memperlihatkan bukti dari metamorfisma. Indeks alterasi termal (TAI) tidak cukup fleksibel
secara definitif di dalam menentukan tingkat maturasi atau kematangan batuan induk.

9.reflektansi vitrinite dan nilai T

metoda penelitian yang diturunkan langsung dari teori-nya David White mengenai rasio
karbon, adalah pengujian dengan memakai teknik reflektan vitrinit yang direndam dalam
minyak imersi (Ro, yang dinyatakan dalam %), dan ditentukan menggunakan mikroskop sinar
pantul (reflecting microscope). Nilai Ro dapat dikonversi menjadi nilai kandungan ''fixed
carbon'' (FC) dengan mengacu pada diagram yang buat oleh Komisi Internasional Petrologi
Batubara pada tahun 1971.

Reflektansi vitrinit (Ro) memberikan indikator atau indeks maturasi materi organik pada
batuan induk karena variasi reflektasi vitrinit bergantung pada temperatur dan waktu,
perubahan atau variasi Ro merupakan proses yang tidak dapat kembali ke asal (irreversible),
sehingga tidak diperlukan koreksi untuk erosi, tektonik pengangkatan, atau peristiwa geologi
lainnya. Ribuan hasil pengukuran Ro, dan konversinya menjadi persentase ''fixed carbon''
(FC), memungkinkan kita saat ini untuk membagi fasa-fasa maturasi dan fasa pembentukan
minyak bumi menurut tingkat ambang batas tertentu berdasarkan kandungan FC dan Ro:

1. Ambang batas atau fasa pembentukan minyak (oil generation) yang signifikan dari
materi organik bersifat sapropelik, di tandai dengan nilai FC = 60%, dan Ro= 0.7%.

2. Fasa minor, perubahan termal tahap awal, pembentuan jenis gas ringan (terutama
methane dan ethane) dari materi organik bersifat humik, ditandai dengan FC = 55%,
dan nilai Ro = 0.5%.

3. Ambang batas atau fasa pembentukan gas (gas generation) yang signifikan dari materi
organik bersifat humik, ditandai dengan nilai FC = 65%, dan nilai Ro = 0.9%.

4. Fasa destruksi minyak yang permulaan, ditandai dengan nilai FC = 75%, dan nilai Ro
= 1.35%.

Hasil pengukuran reflektansi vitrinit harus digunakan dengan hati-hati, karena nilai Ro
dipengaruhi oleh berbagai pertimbangan dan keadaan seperti misalnya:

1. Tidak ada material vitrinite dalam sedimen berumur pra-Carboniferous;

2. Harus yakin betul apabila mengidentifikasi suatu fragmen sebagai vitrinite;

3. bisa saja tidak bersifat ''autochton'' dan tidak asli

4. Nilai reflektansi (Ro) sebagian bergantung pada litologi sekitarnya

5. Di atas ambang batas (kondisi) untuk pembentukan minyak dan/ atau gas reflektansi
vitrinit dapat menentukan derajat batubara

6. Maseral bereaksi secara berbeda-beda terhadap proses maturasi materi organik.

7. Ro mengukur kematangan sedimen batuan induk (maturasi); Nilai reflektansi itu


bukan merupakan suatu indikasi apakah sedimen itu merupakan batuan induk yang
bersifat ''oil-prone'' atau bukan

Berikut ini merupakan skala indikator kematangan


Skala indikator tersebut merupakan turunan langsung dari teori rasio karbon skal tersebut
disebut sebagai skala LOM (level of organic metamorphism. Skala ini dibuat berdasarkan
studi pengukuran batubara berumur Cretaceous–Eocene di Selandia Baru skala LOM telah
disesuaikan sehingga menjadi kuasi-linear, dari nol di permukaan sampai angka 20 di batas
antara antrasit dengan meta-antrasit

''Oil window'' dimulai pada skala LOM = 7–8 (Ro = 0.5 %, temperatur 100 C atau lebih
rendah). Di atas skala LOM = 8, maka porositas dan permeabilitas batupasir akan sangat
berkurang, terutama dengan adanya mineral-mineral sementasi bertemperatur tinggi.
Penggunanan skala LOM (level metamorfisma organik) di dalam praktek eksplorasi dengan
cepat digantikan dengan skema indikator lainnya metoda ini bergantung kepada material yang
berhubungan dengan batubara. Derajat batubara (coal rank) harus setara dengan beberapa
nilai LOM, dan juga harus setara dengan beberapa Ro yang ekuivalen, selain itu pula, harus
sesuai dengan beberapa nilai paleo-temperatur yang dihitung; namun sebaliknya, aspek-aspek
batubara itu mungkin tidak terlalu berkaitan dengan minyak.
10. korelasi antara tempratur waktu dan parameter optik

Nilai indeks kematangan temperatur dan waktu dari ''Lopatin'' (TTI) di plot terhadap nilai
indeks alterasi termal (TAI) dan terhadap Ro pada grafik skala logaritmik (log–log scale)
untuk seluruh nilai r yang mungkin (r = 1–10). Korelasi dari plot tersebut memperlihatkan
hasil yang baik pada nilai r antara 1.6 dan 2.5, dengan demikian nilai r=2 mengikuti
persamaan Arrhenius, dan secara empirik merupakan nilai rata-rata terbaik. Oleh karena itu,
nilai TTI sekarang dapat dibandingkan dengan parameter geokimia atau parameter optik (CPI,
rasio H:C, dan lainnya.) TTI kemudian dapat dikorelasikan dengan fasa utama pembentukan
dan fasa destruksi hidrokarbon, yang telah dikalibrasi pada Ro dan skala TAI.

11. korelasi antara metoda dengan indikatornya

setelah adanya upaya-upaya di atas kita dapat meng- korelasikan berbagai parameter yang
dikukur dengan berbagai-macam teknik, baik secara geokimia, maupun secara visual melalui
mikroskop optik, dan kita dapat menunjukkan apa arti dari hubungan antar parameter-
parameter itu dalam pengertian proses konversi materi organik hingga menjadi minyak, gas,
atau menjadi batubara.

Pada gambar tabel dibawah ini menunjukkan korelasi secara umum dari beberapa parameter

seperti: kedalaman, paleotemperatur, reflektansi vitrinite, Indeks warna pada polen atau
spora, skala LOM, dengan tahap-tahap pembentukan hidrokarbon
Ada empat tujuan terpenting dari semua metoda yang telah dibahas sebelumnya, yang
masing-masing berkaitan dengan parameter tertentu yang menjadi indikator maturasi, tujuan
itu adalah:

1. Mengenali dan mengevaluasi potensi batuan induk (source rock) untuk minyak dan
gas

2. Untuk meng-korelasikan jenis-jenis minyak (oil type) dengan batuan induknya


masing-masing.

3. Untuk menentukan waktu pembentukan hidrokarbon (hydrocarbon generation), dan


waktu migrasinya dan waktu akumulasinya, terutama dalam hubungannya dengan
waktu pembentukan perangkap (trap)

4. Untuk memungkinkan para ahli geologi mengestimasi volume minyak dan gas yang
dihasilkan pada awal pembentukannya

Kriteria yang harus dipenuhi agar batuan sedimen memiliki potensi sebagai batuan induk
minyak dan gas yang efektif, secara ringkas adalah sebagai berikut:

1. Kandungan TOC batuan induk tersebut sebaiknya harus lebih besar dari 0.4%
2. Kandungan unsur-unsur karbon harus berada di antara 75% sampai 90%; nilai di
bawah 75% menunjukkan batuan induk yang belum matang (immature), sedangkan
nilai di atas 90% merupakan hasil dari fasa katagenesa lanjut.

3. Nilai rasio bitumen terhadap TOC harus lebih besar dari 0.05.

4. jenis kerogennya harus yang bersifat amorf (amorphous) atau dari jenis yang
cenderung menghasilkan minyak (oil-prone) dari pada (gas-prone).

5. Reflektansi vitrinite (Ro) seharusnya tidak lebih kecil dari 0.6, dan tidak lebih tinggi
dari 1.3.

6. Perbandingan atom H:C dan O:C dari residu kerogen bila di plot pada diagram Tissot
harus jatuh pada wilayah yang menguntungkan dari sisi geokimia dan tingkat maturasi
Fasa utama pembentukan minyak (oil window) terjadi pada rasio atom H:C antara
0.84 dan 0.69.

Saat terjadi pertentangan di antara hasil dari petrografi (teknik mikroskopik) dan geokimia,
maka data geokimia akan cenderung diprioritaskan daripada data dari hasil metoda
mikroskopik, akan tetapi sedapat mungkin semua teknik harus digunakan.

12.metoda mikroskopik

sesuai dengan alur grafik nilai reflektan vitrinitnya. Persentase maseral yang telah kita
tentukan (dikonversi ke dalam fraksi yang totalnya 100%) akan dihitung sebagai berikut:

Menurut diagram atau ''chart'' Demaison nilai Ro dan nilai rasio H:C tersebut menunjukkan
bahwa evolusi termal dan tingkat maturasi batuan sedimen yang menjadi batuan induk itu
baru saja mencapai tahap awal maturasi dan memiliki kecenderungan untuk membentuk gas
cair.

13.metoda kimia
Proses pyrolysis (dekomposisi dengan temperatur tinggi) dilakukan di dalam interval
temperatur yang dikontrol secara ketat dan seksama untuk mengeluarkan senyawa-
senyawa yang mengandung oksigen yang dilepaskan oleh materi mineral (khususnya CO 2
dari karbonat), dan bukan yang berasal dari kandungan organik batuan ''source rock''.
Informasi yang diperoleh dari analisa semacam itu adalah jenis kerogen, tingkat
kematangannya, dan potensi minyaknya. Analisa tersebut merekam tiga buah puncak
kurva yang merepresentasikan volume dari tiga komponen (S1, S2, dan S3) materi
organik (volumenya sebanding terhadap area di bawah puncak kurva itu):

(a) Hidrokarbon-hidrokarbon bebas, yang telah terbentuk, telah menjadi volatil di


bawah temperatur 300 C, yang direpresentasikan oleh area kurva S1.
(b) Hidrokarbon-hidrokarbon yang dihasilkan dari proses dekomposisi termal
(cracking) kerogen sampai temperatur 550 C, kurva S2. Rasio antara S2:(S1+S2)
disebut sebagai indeks hidrogen (HI), yang berkorelasi dengan rasio atom H:C.
Sebaliknya, sario S1:(S1+S2) dikenal sebagai indeks produksi (PI).
(c) CO2 yang dihasilkan dari materi organik direpresentasikan dalam kurva S3.
Rasio antara S3:(S1+S2) merupakan indeks oksigen (OI), dan berkorelasi
dengan rasio atom O:C.
Rasio antara S2 terhadap S3 (S2:S3) memberikan ukuran atau parameter kecenderungan
sample atau ''source rock'' untuk menjadi minyak (oil-proneness);
Jika tidak ada mobilisasi dan akumulasi hidrokarbon pada batuan induk atau batuan
sedimen yang dianalisis, maka indeks produksi (PI) akan meningkat secara melandai
seiring dengan bertambahnya kedalaman

Anda mungkin juga menyukai