Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

KRITERIA KEMATANAN BERAGA, PROBLEM KEIMANAN DAN GANGGUAN-


GANGGUAN TERHADAP KEAGAMAAN SESEORAN
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Agama
Dosen: H. Ading Abdul Kodir

Disusun oleh:
Eneng Naziah Nurfauziah
Fajar Nur Hasan
Laila Nur Faridah
Neneng Hahapifah
Nur Ahmad Fauzan
Wiwin Nur Baity

FAKULTAS TARBIYAH JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM CIPASUNG
SINGAPARNA-TASIKMALA
202O/2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan hdayah-Nya sehinga kami bisa menyeleakan tugas ini. Shalawat serta salam tercurah limpahkan
kepada Rasulullah SAW serta keluarganya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah “Psikologi
Agama”. Selain itu , makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang “KRITERIA
KEMATANAN BERAGA, PROBLEM KEIMANAN DAN GANGGUAN-GANGGUAN
TERHADAP KEAGAMAAN SESEORAN”.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pihak yang membantu kami dalam menyusun
makalah ini sehingga dapat diselesaikan. Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya. Oleh karena itu
kami mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

i
DAFAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... i


DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 2
A. Kriteria Kematanan Beragama ............................................................................. 2
B. Problem Keimanan .............................................................................................. 4
BAB III PENUTUP ............................................................................................... 11
A. Kesimpulan ................................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 12

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Kata Pengantar Masalah
Kematangan beragama yang dimiliki setiap individu, adalah merupakan perilaku mulia
yang ditampilkan dalam kehidupan sehari-hari. Akan dirasakan oleh masyarakat sekitarnya.
Apabila dari anggota masyarakat berperilaku mulia, kehidupan pada masyarakat tersebut
merupakan mata air yang bersih, sejuk. Dan dari setiap jiwa akan memancarkan cahaya yang
merupakan pandangan yang indah bagi siapa saja yang memandangnya.1 Menurut pengertian
Allport, kematangan diartikan sebagai pertumbuhan kepribadian dan intelegensi secara bebas dan
wajar, seiring dengan perkembangan yang relevan. Kematangan dicapai seseorang melalui
perkembangan hidup yang berakumulasi dengan berbagai pengalaman. Individu dalam menjalani
fase kehidupannya, memperoleh dan mengolah berbagai pengalaman hidupnya, baik secara fisik,
psikologis, sosial dan spiritual. Akumulasi dari pengalaman hidup tersebut kemudian
terefleksikan dalam pandangan hidup, sikap, dan perilaku sehari-hari.
Individu yang memiliki kematangan beragama yang tinggi, akan mampu membuka diri
dan loyal dalam memperluas wawasan dan aktifitasnya. Berbekal kematangan beragama, individu
akan menunjukan kematangan dalam sikap dan menghadapi permasalahan, nilai, tanggung jawab
dan terbuka terhadap semua realitas yang mengitarinya4 Dari sikap beragama yang sudah matang
mungkin akan menjadikan terapi bagi orang-orang dewasa dalam menjalankan aktifitas
kehidupannya sehari-hari. Tidak merasa resah dalam menjalankan aktifitas, tidak terlalu banyak
beban fikiran, dan semuanya mungkin saja bisa diterapi dengan matangnya dalam hal beragama.
Dengan timbulnya masalah-masalah kecil, dengan terapi dalam hal beribadah seperti kematangan
sholatnya, dzikir, sedekah, dan lain sebagainya, dalam kehidupan sehari-hari.

B. Rumusan Masalah
1. Kriteria kematangan beragama
2. Problem keimanan
3. Gangguan-gangguan terhadap keagamaan seseorang

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kriteria Kematanan Beragama
Kematangan beragama adalah ketika seseorang mampu untuk mengenali dan memahami
nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai agama dalam
bersikap dan bertingkah laku. Selain itu kematangan beragama adalah suatu kondisi ketika
perkembangan keagamaan atau rasa beragama seseorang berada dalam tahap tertinggi. Dari
pengertian tersebut maka penulis menyimpulkan bahwa kematangan beragama ialah
keberagaman terbuka pada memberi arahan pada kerangka hidup. Kemampuan seseorang untuk
memahami, menghayati, nilai-nilai luhur keagamaan yang dianutnya kemudian mengaplikasikan
dalam kehidupan keseharian berdasarkan kondisi rasa keagamaan yang dikembangkan berada
dalam pertahapan. Maka individu menganut suatu agama keyakinannya ia berusaha menjadi
penganut yang baik yang ditampilkan sikap dan tingkah laku keagamaan dalam ketaatan terhadap
prinsip dan nilai-nilai keagamaan. Baik secara teoritis maupun praktis dengan tetap berpegang
teguh pada ajaran agama yang dianutnya.
Secara psikologis, kematangan beragama mengandung pola penyesuaian diri yang tepat,
pandangan yang integral dalam menghadirkan nilai-nilai agama dalam setiap aspek kehidupan
dan perilakunya. Kemampuan untuk memunculkan komitmen ditunjukkan dengan adanya
kemampuan untuk melakukan diferensiasi terhadap agama dan menjadikan individu yang baik
serta mampu menjalankan setiap ajaran agama secara komprehensif dan obyektif.
Menurut Hafi Anshari kematangan beragama biasanya ditunjukkan dengan kesadaran dan
keyakinan agama yang teguh karena menganggap benar akan agama yang dianutunya dan ia
memerlukan agama dalam hidupnya. Apabila kematangan beragama telah ada pada diri
seseorang, segala perbuatan dan tingkah laku keagamaannya senantiasa dipertimbangkan betul-
betul dan dibina atas rasa tanggung jawab, bukan atas dasar peniruan dan sekedar ikut-ikutan.
Kematangan beragama bisa tercapai ketika keenam aspek rasa beragama bisa berfungsi
optimal dalam diri seseorang dalam perilaku keseharian. Keenam aspek rasa beragama pada
kondisi ideal saling berkaitan. Pertama, ketika seseorang percaya adanya Tuhan (aspek
ideological atau doctrine). Kedua, mendalami pengetahuan keagamaan (aspek intellectual atau
knowledge). Ketiga, pengetahuan diperoleh untuk menjalankan ritual peribadatan (aspek
ritualistic). keempat, penghayatan terhadap ritual peribadatan akan memunculkan pengalaman
emosi seperti kenyaman dan ketenangan batin (aspek experiential atau emotion). kelima,
pengahyatan terhadap ritual peribadatan yang menimbulkan pengalaman emosi berdampak
perilaku yang baik (aspek consequentialatau athics). keenam, seseorang dalam beragama juga
ingin mengikuti perkumpulan keagamaan (aspek community). Ketika keenam aspek rasa
keagama seseorang berfungsi dan berkembang optimal sehingga benar-benar memengaruhi
perilaku keseharian, baik dalam konteks perilaku individu maupun perilaku sosial, maka
seseorang mengalami kematangan beragama.
Walter Houton Clark, seorang ahli psikologi agama, menegaskan bahwa ciri-ciri
keberagamaan yang matang adalah sebagai berikut: pertama, lebih kritis, kreatif, dan otonom
dalam beragama. Kedua, memperluas perhatiannya terhadap hal-hal di luar dirinya. Ketiga, tidak
puas semata-mata dengan rutinitas ritual dan verbalisasinya.
Kesimpulan dari uraian mengenai ciri-ciri orang yang memiliki kematangan beragama
ialah setiap individu atau kelompok yang pada setiap sisi kehidupan yang dijalaninya memiliki
kemampuan diri melakukan kreatif dan otonom dalam beragama, memperluaskan perhatiannnya
terhadap hal-hal dirinya yang diaktualisasi dalm hal-hal positif, dan tidak pernah puas semata-

2
mata dengan rutinitas ritual keagamaan berusaha untuk meningkatkan pemahaman dan
penghayatannya dalam beragama.
Sementara itu William yang dianggap sebagai bapak psikologi agama memberikan kriteria
orang yang beragama matang sebagai berikut:
a. Pertama, kesadaran akan eksistensi Tuhan, maksudnya adalah bahwa orang yang
beragama matang selalu tersambung hati dan pikirannya dengan Tuhan. Karena selalu
tersambung dengan Tuhan, perilaku orang yang beragama matang akan melahirkan
kedamaian, tetenangan batin yang mendalam dan terhindar dari keburukan-keburukan
hidup.
b. Kedua, kedekatan dengan Tuhan dan penyerahan diri padanya. Maksudnya ini
merupakan konsekwensi dari yang pertama, dimana orang beragama matang secara sadar
dan tanpa paksaan menyesuaikan hidupnya dengan kehendak Tuhan, yakni kebajikan.
c. Ketiga, penyerahan diri sebagaimana dalam poin kedua melahirkan rasa bahagia dan
kebebasan. Ia akan mengaktifkan energy spiritual dan menggerakkan karya spiritual.
Orang beragama matang memiliki gairah hidup, dan memberikan makna dan kemulian
baru pada hal-hal yang lazimnya dianggap biasa-biasa saja. Agama menjadi sumber
kebahagian, sehingga yang beragama matang menjalani kehidupannya dengan penuh
kebahagiaan.
d. Keempat, orang yang beragama matang mengalami perubahan dari emosi menjadi cinta
dan harmoni. Orang yang beragama matang mencapai perasaan tenteram dan damai,
dimana cinta mendasari seluruh hubungan interpersonalnya. Jadi, orang beragama
matang bebas dari rasa benci, prejudice, permusuhan, dan lain-lain. Cinta dan harmoni
merupakan dasar bagi kehidupan sosial dan interpersonalnya.

Perkembangan kematangan beragama ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor
internal dan faktor eksternal, faktor internal ini berupa tingkat atau daya serap seseorang terhadap
nilai keagamaan, pemaknaan seseorang terhadap ajaran agama, dan kematangan emosi seseorang.
Adapun faktor eksternal dari kematangan beragama adalah cara keluarga dan lingkungan
mentransfer dan menginternalisasikan nilai serta ajaran keagamaan kepada seseorang.
Kemudian menurut Fowler dan Hackett mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi
kematangan beragama yaitu:
 pertama, pengalaman religious. Perbedaan kualitas dari pengalaman religious ini dapat
mempengaruhi perkembangan seseorang dalam menjalani tradisi keagamaan seperti
dalam melakukan ritualitas keagamaan.
 Kedua, pendidikan. Seseorang yang berpendidikan tentunya sangat membantu sekali bagi
meningkaynya tingkat kematangan beragama yang tinggi yang dibangunnya sejak ia
masih kecil kemudian didukung oleh pendidikan yang diperolehnya.

3
 Ketiga, pengambilan peranan. Pengembilan peranan diartikan sebagai proses dimana
seseorang mampu mengambil pandangan orang lain dan menghubungkannya dengan
pandangannya sendiri.28 Kematangan beragama yang tertanam dan berkembang dalam
diri individu sangat dipengaruhi oleh kepercayaan orang tua, teman-teman, guru, atau
pemuka agama (ulama) .

Kematangan beragama akan memberikan dampak/pengaruh pada kesehatan jiwa seseorang.


Ahmad Saifuddin menjelaskan dampak kematangan beragama tersebut ialah: pertama, menjalani
agama dengan penuh kesadaran. Ini merupakan dampak dari ciri kematangan beragama yang
berupa ibadah bukan karena faktor hata dan eksternal.
Dalam ibadah, orang dengan kematangan beragama akan menjalani perintah agama dana
ibadah dengan prinsip totalitas. Kedua, berpeluang kecil melanggar aturan Tuhan. Sikap ini
menjadi dampak dari kematangan beragama yang bersumber dari optimalnya dimensi ethics atau
consequential sehingga beragama dan beribadah memunculkan perilaku yang baik dan
berpeluang kecil melanggar aturan Tuhan. Ketiga, memiliki ketenangan jiwa dan hati. Sikap ini
menjadi dampak dari ciri kematangan beragama yang berupa sikap moderat dan keluasan
wawasan serta pengetahuan keagamaan. Dengan keluasan wawasan serta pengetahuan
keagamamaan, jiwa dan hati menjadi tenang karena tidak mudah terkejut dengan pendapat
tentang ajaran agama di luar keyakinannya. Keempat, memiliki sikap yang lemah lembut. Sikap
lemah lembut ini dampak dari cirri kematangan beragama yang berupa berperilaku baik. Orang
yang memiliki kematangan beragama yang tinggiakan memiliki sikap tidak kasar dan keras serta
tidak radikal kepada orang lain karena menyakini bahwa agama pada dasarnaya mengajarkan
kelembutan agart orang lain nyaman dan merasakan dampak dari agama tersebut. Kelima,
totalitas dalam menjalani kehudupan, menjadi dampak dari ciri kematangan beragama yang
berupa berpikir positf terhadap Tuhan bahkan dalam situasi yang sulit sekalipun.pikiran dan
perasaan menjadi positif ini kemudian mmenjadikan seseorang menjalani kehidupan dengan
totalitas.

B. Problem Keimanan
1. Pengertian Problema Keimanan
Istilah problema / problematika berasal dari bahasa Inggris yaitu "problematic" yang artinya
masalah atau masalah. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, problema berarti hal yang belum
dapat memecahkan; yang menimbulkan permasalahan. Masalah adalah penemuan antara
kondisi yang diharapakn dan kondisi yang terjadi atau boleh juga diartikan sebagai perbedaan
antara kondisi sekarang dengan tujuan yang diinginkan
Iman adalah kepercayaan ketetapan hati, keteguhan batin, keseimbangan batin (yang
berkenaan dengan agama); keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan Iman juga berarti
kepercayaan yang meresap ke dalam hati, dengan keyakinan penuh, tidak bercampur syak
dan ragu, serta memberi pengaruh bagi pandangan hidup, tingkah laku dan perbuatan sehari-
hari.
Dalam buku Wildan Baihaqi (2010: 327) menurut JB Sykes (1981: 883) problema keimanan
dapat membangun sebagai suatu kondisi yang menunjukan bahwa orang yang beragama
terlibat dalam kegoncangan dan gangguan psikologis yang dapat mengusik dan
menggoyahkan keyakinan mengenai kebenaran agama yang di peluknya, sehingga

4
Memerlukan dan melayani tertentu agar kembali pada keadaan yang memberikan ketenangan
dan gairah hidup karena dirinya merasa pada jalan yang benar.

2. Kualifikasi Keimanan
Menurut Wildan Baihaqi, 2010: 330-333, menghadapi permasalan pertama mengenai kadar
kekokohan keimanan seseorang dalam agamanya, WH Clark, (1969, 220-224)
mengidentifikasi empat tingkat keimanan, yaitu:
1) Keimanan Verbalistik
Keimanan ini berkembang ditingkat usia sejak anak-anak, keimanan tingkat ini terbatas
pada pemahaman mengenai ucapan-ucapan serta kata-kata magis keagamaan. Proses
penerimaannya langsung melalui prinsip-stimulus. Proses belajarnya persuasif dengan
cara dicontohkan orang tua dan anak mengikutinya, terus menerus anak bisa dalam
pengucapan kata-kata itu maka diberi hadiah sebagai ketidakseimbangannya.
Meskipun berkembang ditingkat usia anak-anak tapi ada juga yang sampai dewasa
mereka tetap dalam fase ini. Sebenarnya fase keimanan seperti ini hanya diarahkan untuk
mendapatkan jaminan keselamatan dan keamanan psikologis semata-mata. Karena,
seorang anak yang berada dalam fase ini respon telah mampu mengungkapkan ucapan-
ucapan pesan seperti itu sesuai dengan kondisi stimulusnya, mereka akan mendapatkan
jaminan perlindungan dari orang tua atau dari orang lain yang dipandang menguasainya.
2) Keimanan Intelektualistik
Pada tingkat yang diatur oleh kelogisan dan alasan-alasan yang masuk akal dalam upaya
menerima keyakinan. Akan tetapi penerimaan keyakinan secara intelektual itu tidak
berarti semata-mata intelektual. Artinya sampai batas tertentu yang diperlukan untuk
menjalankan kelogisan dalam upaya menerima keyakinannya. Selebihnya perlu
dipermasalahkan apakah keyakinan agama itu dicapai melalui proses berfikir murni,
menikah tidak perlu keyakinan agama itu, dengan hidup hidup. Biasanya tipe dan tingkat
keyakinan ini diorientasikan pada bukti-bukti adanya Tuhan, baik secara ontologi,
kosmologi, teologi, maupun secara pragmatik.
3) Keimanan Demonstratif
Pada tingkat ini keimanan lebih banyak diwujudkan dalam bentuk tingkah laku dan
pengalaman agama secara demonstrasi hanya dalam bentuk kata-kata. Dasar
pemikirannya adalah bahwa tingkah laku dan pengalaman agama yang sesuai dengan
demonstratif belum tentu didahului oleh analisis tentang keyakinan itu akan menjadi
penyebab pengalaman ajaran agama. Sebabnya adalah bahwa tingkah laku dan

5
pengamalan agama di sini hanya merupakan kebiasaan yang sudah melekat dalam
aktifitas kehidupan sehari-hari.

4) Keimanan Komprehensif Integratif


Tingkat ini adalah keimanan yang paling tinggi. Karena tingkat keimujud ketiga seperti
diatas nampak perwannya dalam bentuk ekspresi partikel yang satu sama lain terpisah.
Justru karena keterpisahan itu, maka ketiganya tidak dapat memberikan kepuasan kepada
pemiliknya, mengingat masing-masing mengandung kepincangan.
3. Faktor-Faktor Penyebab Masalah Keimanan
Sesuai dengan kriteria tentang kualifikasi keimanan, maka pemahaman tentang faktor-faktor
penyebab problema keimanan menjadi lebihpenting karena aspek-aspek yang datang dari luar
dan akan berfungsi sebagai angina penghembus yang dapat menggoyahkan keimanan
seseorang. Dalam buku Wildan Baihaqi, 2010: 338, Kalish mengidentifikasikan lima hal
yang dapat mendongkel ketegaran keimanan orang yang beragama, yaitu:
1) Kontradiksi antara ilmu dan agama
2) Akibat pembelajaran agama lain.
3) Kesulitan tempat kebebesan agama
4) Masalah tujuan hidup.
5) Arti mati dan hidup sesudah mati.

4. Gangguan-gangguan terhadap keagamaan seseorang


1. FAKTOR INTRN
Perkembangan jiwa keagamaan ditentukan oleh beberapa faktor intrn. Para ahli
psikologi agama mengemukakan beberapa teori berdasarkan pendekatan masing- masing.
Pada dasarnya faktor-faktor yang ikut berpengaruh terhadap perkembangan jiwa
keagamaan antar lain adalah faktor hereditas, tingkat usia, kepribadian, dan kondisi
kejiwaan.
1) Faktor Hereditas
Sejak penemuan sifat kebakaan pada tanaman oleh Johann Gregor Mandel telah
dilakukan sejumlah kajian terhadap hewan dan manusia. kemudian dikembangkan
oleh H. Nilson Ehle dan R. Emerson serta E.East. mereka meneliti tentang pengaruh
genetika terhadap warna kulit.
Secara garis besarnya pembawa sifat turunan terdiri dari genotip dan fenotip. Genotip
merupakan keseluruhan faktor bawaan seseorang yang walaupun dapat dipengaruhi
lingkungan namun tidak jauh menyimpang dari sifat dasar yang ada. Fenotip adalah
karakteristik seseorang yang tampak dan dapat diukur seperti warna mata, waerna
kulit ataupun bentuk fisik

6
Jiwa keagamaan memang bukan secara lagsung sebagai faktor bawaan yang
diwariskan secaraturun- menurun, melainkan terbentuk dari berbagai unsur kejiwaan
lainnya yang mencakup kognitif, afektif, dan konatif. Tetapi dalam penelitian
terungkap bahwa makanan dan perasaan ibu berpengaruh terhadap kondisi janin yang
dikandungnya. Demikian pula Margeth Mead mengemukakan penelitiannya terhadap
suku Mundugumor dan Arpesh bahwa terdapat hubungan antara cara menyusui
dengan sikap bayi. Bayi yang disusukan secara tergesa- gesa (Arapesh) menampilkan
sosok yang agresif dan yang disusukan secara wajar dan tenang (mundugumor) akan
menampilkan sikap yang toleran.
Menurut Sigmund perbuatan buruk yang dialakukan akan menimbulkan rasa
bersalah ( sense of guilt ) dalam diri pelakunya. Bila pelanggaran yang dilakukan
terhadap larangna agama, maka akan menimbulkan rasa berdosa. Dan perasan ini
yang ikut memepengaruhi perkrmbangan jiwa keagamaan seseorang sebagai unsur
hereditas.
2) Tingkat Usia
Dalam bukunya The Development Of Relegius on children Ernest Harms
mengungkapkan bahwa perkembangan pada anak- anak ditentukan oleh tingkat usia
mereka. Perkembangan tersebut dipengaruhi pula oleh perkembangan berbagai aspek
kejiwaan temasuk perkembangan berpikir. Anak yang menginjak usia berpikir kritis
lebih kritis pula dalam memahami ajaran agama, selanjutnya pada usia remaja saat
mereka menginjak usia kematangan seksual, pengaruh itupun menyrtai
perkembangan jiwa keagamaa mereka. Bahkan menurut Dr. Kinsey sekitar tahun
1950-an remaja Amerika telah melakukan mesturbasi, homoseksual, dan onani.
Tingkat perkembangan usia dan kondisi yang dialami para remaja ini
menimbulkan konflik kejiwaan, yang cenderung mempengaruhitejadinya konversi
agama. Bahkan menurut Starbuck memang benar bahwa pada usia adolesensi sebagai
rentang umur tipikal terjadinya konversi agama. Meskipun menurut Robert H.
Thouless bahwa konversi cenderung dinilai sebagai produk sugestu dan bukan akibat
dari perkembangan kehidupan spiritual seseorang, namun kenyataan itu tak
sepenuhnya dapat diterima.
Hubungan antara perkembangan usia dengan perkembangan jiwa keagamaan
tamnpaknya tidak dapat dihilangkan begitu saja. Bila konversi lebih dipengaruhi oleh
sugesti, maka tentunya konversi lebih banyak tejadi pada anak- anak, mengingat
diusia tersebut mereka lebih mudahmenerima sugesti. Namun kenyataanya hingga
usia baya pun masih terjadi konversi agama. Bahkan konversi yang terjadi pada
Sidharta Gautama, Marthin Luther terjadi di usia sekitar 40 tahunan. Kemudian al-
Ghazali mengalaminya pada usia yng lebih tua lagi. Robert H. Thouless
membagikonversi menjadi konversi intelektual, moral, dan sosial.
Telepas dari ada tidaknya hubungan konversi dengan tingkat usia seseorang,
namun hubungan antara tingkat usia dengan perkembanga jiwa keagamaan
barangkali tidak di abaikan begitu saja. Berbagai penelitian psikologi agama
menunjukkan adanya hubungan tersebut, meskipun tingkat usia bukan merupakan
satu- satunya faktor penentu dalam perkembangan jiwa keagamaan seseorang, yang
jelas kenyataa ini dapat dilihat dari adanya perbedaan pemahaman agama pada
tingkat usia yang berbeda
3) Kepribadian

7
Kepribadian menurut pandangan psikologi terdiri dari dua unsur, yaitu unsur
hereditas dan pengaruh lingkungan. Hubungan antara unsur tersebut yang
membentuk kepribadian. Adanya keduan unsur yang membentuk kepribadian itu
menyebabkan munculnya konsep tipologi dan karakter. Tipologi lebih ditekankan
pada unsur bawaa, sedangkan karakter ditekankan pada pengaruh lingkungan.
Tiplogi menunjukkan bahwa manusia memiliki kepribadian yang unik dan
besifat masing- masing berbeda. Sebaliknya karakter menunjukkan bahwa
kepribadian manusia terbentuk berdasarkan pengalaman lingkungan. Dilihat dari
pandangan tipologis, kepribadian manusia tidak dapt diubah karen asudah terbentuk
berdasarkan komposisi dalam tubuh. Sebaliknya dilihat dari pendekata
karakterologis, kepribadian manusia dapat diubah dan tergantung dari pengaruh
lingkungan masing-masing.
Berdasarkan pendekatan pertama, Edward Springer, Sheldon, dan sejumlah
psikologi lainnya telah mengidentifikasikan adanya tipe- tipe kepribadian, Edward
Spanger membagi tipe kepribadian menjadi enam, yaitu: manusia ilmu, manusia
sosial, manusia ekonomi, manusia estesis, manusia polotik, dan manusia relegius.
Sebaliknya melalui pendekata karaterologis, Erich Fromm karakter yang mendasari
sifat- sifat perilaku dan menilai sejauh mana baik buruknya perilaku terbentuk dari
hubungan manusia dengan lingkungannya. Ia membagi hubungan ini menjadi edua,
yaitu: 1) hubungan manusia dengan alam kebendaan 2) hubungan sesamam manusia
yang disebut sosialisasi.
Unsur bawaan merupakan faktor intrn yang memberi ciri khas pada diri
seseorang. Dalam kaitan ini, kepribadian sering disebut sebagai identitas (ati diri)
seseorang yang sedikit banyaknya menampilkan ciri- ciri pembeda dari individu luar
dirinya. Dalam kondisi normal, memang secar individu manusia memiliki perbedaan
dalam kepribadian. Perbedaan ini diperkirakan berpengaruh terhadap perkembanga
aspek- aspek kejiwaan termasuk jiwa keagamaan. Di luar itu dijimpai pula kondisi
kepribadian yang menyimpang seperti kepribadian ganda ( double personality). Dam
kondisi seperti ini bagaimanapun ikut mempengaruhi perkembangan berbagai aspek
kejiwaan pula.
4) Kondisi Kejiwaan
Kondisi kejiwaan ini terkait dengan kepribadian sebagi faktor intrn. Ada
beberapa model pendekatan yang mengungkapkan hubungan ini. Model
psikodinamik yang diungkapkan Sigmund freud menunjukkan gangguan kejiwaan
yang ditimbulkan konflik yang tertekan di alam ketidak sadaran manusia. konflik
akan menjadi sumber gejala kejiwaan yang abnormal. Selanjutnya menurut
pendekata biomedis, fungsi tubuh yang dominan mempengaruhi kondisi jiwa
seseorang. Penyakit ataupun faktor genetik atau kondisi sistem saraf diperkirakan
menjadi sumber munculnya perilaku abnormal. Kemudian pendekatan eksistensial
menekankan pada dominasi pengalaman kekinian manusia. dengan demikian sikap
manusia ditentukan oleh stimulan (rangsangan) lingkungan yang dihadapinya saat
itu.
Walaupun kemudian ada pendekatan model gabungan. Menurut pendekatan ini
pola kepribadian dipengaruhi oleh berbagai faktor dan bukan hanya oleh faktor-
faktor tertentu saja. Pendekatan- pendekatan psikologi kepribadian
menginformasikan bagaimana hubungan kepribadian dengan kondisi kejiwaan
manusia hubungan ini selanjutnya mengungkapkan bahwa ada suatu kondisi

8
kejiwaan yang cenderung bersifat permanen pada diri manusia yang terkadang
bersifat menyimpang (abnormal)
Gejala- gejala kejiwaan yang abnormal ini bersumber dari kondisi saraf (neurosis),
kejiwaan (psycosis), dan kepribadian (personalty). Kondisi kejiwaan bersumber dari
neurose ini menimbulkan gejala kecemasan neirose, absesi dan kompulasi seta
amnesia. Kemudian kondisi kejiwaan yang disebabkan oleh gejala psikosis umumnya
menyebabkan seseorang kehilangan kontak hubungan dengan dunia nyata. Gejala ini
ditemui pada penderita schizoprenia, paranoia, maniac, serta infantile autism
(berperilau seperti anak- anak).

2. FAKTOR EKSTRN
Manusia sering disebut homo relegius (makhluk beragama). Pernyataan ini
menggambarkan bahwa manusia memiliki potensi dasar yang dapat dikembangkan
sebagai makhluk beragama. Jadi manusia dilengkapi potensi berupakesiapan untuk
menerima pengaruh luar sehinnga dirinya dpat dibentuk menjadi makhluk yang memiliki
rasa dan perlaku keagamaan.
Potensi manusia yang secara umum disebut fitrah keagamaan, yaitu berua
kecendrunga untuk bertauhid. Sebagai potensi, maka perlu adanya pengaruh yang bersal
dari luar manusia. pengaruh tersebut dapat berupa bimbingan, pembinaan, latihan,
pendidikan, yang secara umum disebut sosialisasi.
Faktor ekstrn yang dinilai berpengaruh dalam perkembanagn jiwa keagamaan dapat
dilihat dari lingkungan di mana seseorang itu hidup. Umumnya lingkungan tersebut di
bagi menjadi tiga, yaitu 1) keluarga 2) institusi 3) masyarakat
1) Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan satuan sosial yang paling sederhana dalam kehidupan
manusia. Sigmund Freud dengan konsep Father Image (citra kebapaan) menyatakan
bahwa perkembangan jiwa keagamaan anak dipengaruhi oleh citra terhadap
bapaknya. Jika seseorang menunjukkan sikap dan tingkah laku baik, maka anak
cenderung mengidentifikasikan sikap dan tingkah laku bapaknya. Demikian pula
sebaliknya.
Pengaruh kedua orang tua terhadap perkembangan jiwa keagamaan anak dalam
pandangan Islam sudah banyak disadari. Oleh karen itu, sebagai intervensi terhadap
perkembangan jiwa keagamaan tersebut, kedua orang tua diberikan tanggung jawab.
Ada semacam ramgkaian ketentuan yang dianjurkan kepada orang tua, yaitu
mengadzankan ke telinga bayi yang baru lahir, mengaqoqohkan, memberi nama baik,
dsb. Keluarga dinilai sebagai faktor yang paling dominan dalam meletakkan dasar
perkembanga jiwa keagamaan.
2) Linkungan Institusional
Lingkungan intitusinal yang ikut mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan
berupa intitusi formal seperti sekolah ataupun yang nonformal seperti berbagai
perkumpulan dan organisasi.
Sekolah sebagai institusi pendidikan formal ikut mempengaruhi perkembangan
kepribadian anak. Menurut Singgih D. Gunarsa pengaruh itu dapat dibagi menjadi
tiga kelompok, yaitu: 1) kurikulum dan anak 2) hubungan guru dan murid 3)
hubungan antar anak. Dilihat dari kaitannya denagan perkembangan jiwa keagamaan,

9
tampaknya ketiga kelompok tersebut ikut berpengaruh. Sebab pada prinsipnya
perkambangan jiwa keagamaan tidak dapat dilepaskan dari upaya untuk membentuk
kepribadian yang luhur. Dalam ketiga kelompok tersebut secar umum tersirat unsur-
unsur yang menopang pembentukan tersebut seperti ketekunan, disiplin, kejujuran,
sabar, simapati, sosiabilitas, toleransi, keteladanan, dan keadilan. Perlakuan dan
pembiasaan bagi pembentukan sifat- sifat seperti itu umumnya menjadi bagian dari
program pendidikan di sekolah.
Melalui kurikulum, yang bersisi materi pengajaran, sikap dan keteladanan guru
sebagi pendidik serta pergaulan antar temandi sekolah dinilai berperan dalam
menanamkan kebiasaan yang baik. Pembiasaan yang merupakan bagian dari
pembentukan moral yang erat kaitnnya dengan perkmbangan keagamaan seseorang.

3) Lingkungan Masyarakat
Pergaulan di masyarakat umumnya kurang menekankan pada disiplin atau aturan
yang harus dipatuhi secara ketat. Meskipun tampaknya longgar, namun kehidupan
bermasyarakat dibatasi oleh berbagai norma dan nilai- nilai yang didukung warganya.
Karena itu setiap warga berusaha untuk menyesuaikan sikap dan tingkah laku dengan
nila- nilai dan norma yang ada. Dengan demikian kehidupan bermasyarakat
memeiliki suatu tatanan yang terkondisi untuk dipatuhi bersama.
Sepintas, lingkungan masyarakat bukan merupakan lingkungan yang mendukung
unsur tanggung jawab, melainkan hanya merupakan unsur pengaruh belaka. Tetapi,
norma dan tata nilai yang ada terkadang lebih mengikat sifatnya. Bahkan terkadang,
pengaruhnya lebih besar dalam perkembangan jiwa keagamaan baik dalam bentuk
positif maupun negatif. Misalnya lingkungan masyarakat yang memiliki tradisi
keagamaan yang kuat akan berpengaruh positif bagi perkembanagn jiwa keagamaan
anak, sebab kehidupan keagamaan terkondisi dalam tatanan nilai maupun intitusi
keagamaan. Keadaan seperti ini bagaimanapun akan berpengaruh dalam
pembentukan jiwa keagamaan warganya.
Sebaliknya dalam lingkungan masyarakat yang lebih cair atau bahkan cenderung
lebih sekuler, kondisi seperti itu jarang di jumpai. Kehidupan warganya lebih
longgar, sehingga diperkirakan turut mempengaruhi kondisi kehidupan warganya.

10
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Kematangan beragama adalah ketika seseorang mampu untuk mengenali dan memahami nilai
agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai agama dalam bersikap
dan bertingkah laku. Selain itu kematangan beragama adalah suatu kondisi ketika perkembangan
keagamaan atau rasa beragama seseorang berada dalam tahap tertinggi. Dari pengertian tersebut
maka penulis menyimpulkan bahwa kematangan beragama ialah keberagaman terbuka pada
memberi arahan pada kerangka hidup. Kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati,
nilai-nilai luhur keagamaan yang dianutnya kemudian mengaplikasikan dalam kehidupan
keseharian berdasarkan kondisi rasa keagamaan yang dikembangkan berada dalam pertahapan.
2. problema keimanan dapat membangun sebagai suatu kondisi yang menunjukan bahwa orang
yang beragama terlibat dalam kegoncangan dan gangguan psikologis yang dapat mengusik dan
menggoyahkan keyakinan mengenai kebenaran agama yang di peluknya, sehingga Memerlukan
dan melayani tertentu agar kembali pada keadaan yang memberikan ketenangan dan gairah hidup
karena dirinya merasa pada jalan yang benar.

11

Anda mungkin juga menyukai