Anda di halaman 1dari 18

Drug-induced Kidney Injury

(Kerusakan Ginjal akibat Obat)

Pada sistem tubuh kita, obat dimetabolisme di hati, saluran cerna, dan ginjal.

Eksresi obat dan metabolitnya pun dapat terjadi baik pada jalur renal maupun

ekstrarenal1. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ginjal menjadi organ yang

paling sering terpapar obat & metabolitnya. Oleh sebab itu, ginjal sangat rentan

mengalami kerusakan yang diinduksi oleh obat-obatan.

Kerusakan ginjal akibat obat atau drug-induced kidney injury (DKI) terjadi

hingga sekitar 26% dari seluruh kasus gagal ginjal akut yang dirawat di Rumah

Sakit1. DKI lebih umum terjadi pada anak-anak dan pada kasus klinis tertentu,

seperti penyakit kardiovaskular2. Kerusakan akibat obat dapat terjadi pada beberapa

bagian ginjal dan melalui beberapa mekanisme3. Namun, sebelum itu anatomi,

fisiologi, dan patofisiologi ginjal penting untuk dipahami terlebih dahulu.

Anatomi Fisiologi Ginjal


Secara anatomi, ginjal terdiri dari satu pasang, berbentuk seperti biji kacang

(hampir pada sebagian besar mamalia, dan merupakan organ ekskresi yang terletak

di retroperitoneum (area di bagian belakang abdomen atas)4.

Ginjal sangat penting bagi homeostatis. Melalui mekanisme sensor yang

sangat ‘apik’, ginjal mengatur tekanan darah, cairan, natrium, kalium, keasaman,

mineral, dan haemoglobin. Di samping semua itu, fungsi utamanya adalah untuk

ekskresi sampah metabolisme melalui urin4, 5.

Fungsi-fungsi tersebut sangat bergantung pada unit paling dasar dari ginjal,

yaitu yang disebut dengan nefron. Nefron berjumlah 1-1,2 juta buah pada tiap ginjal.

Seperti tampak pada gambar, nefron memiliki bagian-bagian yang disebut

glomerulus, sebagai tempat filtrasi; dan tubulus, yang bertanggung jawab untuk

reabsorpsi dan ekskresi6.


Gambar 1 Anatomi Nefron6

Glomerulus
Glomerulus terdiri dari tiga lapisan seperti pada gambar yaitu, sel endotelial

kapiler yang membentuk lapisan paling dalam, membran kolagen ‘basement’ yang

membentuk lapisan tengah, dan sel epitel termodifikasi (disebut juga dengan istilah

podosit) yang berada di bagian terluar. Ketiga lapisan tersebut -sel endotel,

membran ‘basement’, dan podosit- secara bersama-sama menjadi filtration barrier

yang menjaga sel darah dan protein tetap berada dalam tubuh, juga membiarkan

cairan dan molekul kecil untuk keluar ke dalam urin. Pemahaman akan hubungan

ketiganya sangat penting untuk dapat mengevaluasi fisiologi normal dan penyakit

pada ginjal6.
Gambar 2 Anatomi Struktur Glomerulus6

Suatu lapisan sel endotel tunggal membentuk lengkung kapiler. Lengkung-

lengkung kapiler membentuk cabang pada sebuah arteriol aferen untuk membentuk

glomerular tuft. Pada setiap dasar tuft, di mana setiap kapiler melekat pada

arteriolnya masing-masing, suatu matriks dan sel-sel pendukung mengelilingi


lengkung kapiler tersebut. Area ini disebut mesangium. Sangat penting untuk

diketahui bahwa mesangium dan bagian tubuh lainnya hanya dibatasi oleh sebuah

lapisan endotelium yang tipis. Karena tidak dipisahkan oleh lapisan epitel, dengan

demikian mesangium diasumsikan sebagai ‚bagian dalam tubuh‛6.

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, aktivitas pembuluh darah

(vasoactivity) yang konstan pada arteriol aferen dan eferen menyesuaikan tekanan

pada lengkung kapiler untuk menjaga proses filtrasi yang efektif; umumnya,

tekanan tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan tekanan kapiler pada bagian

tubuh yang lain. Mengingat struktur endotel yang halus dapat dengan mudah rusak

di bawah tekanan tinggi, stabilitas lengkung kapiler didukung oleh membran

‘basement’ dan podosit. Keduanya sepeti ‘kulit’ dari glomerulus. Selanjutnya, filtrat

yang melewati lapisan ini kemudian dianggap berada ‚di luar tubuh‛6.

Membran ‘basement’ mempunyai struktur yang kompleks dan menarik,

membuatnya mampu untuk berperan sebagai ‘penyaring’; yang mencegah beberapa

partikel, di samping membiarkan partikel lain untuk bergerak bebas bersama air,

untuk melewatinya. Fungsi filtrasi ini sangat berkaitan pula dengan ukuran dan

muatan listrik partikel5, 6. Partikel yang lebih besar, umumnya berdiameter lebih dari

10nm, biasanya akan tidak tersaring. Partikel yang bermuatan negatif tidak akan

tersaring pula. Dengan demikian, protein seperti albumin, yang berukuran besar

dan bermuatan negatif, pun akan tetap berada di dalam kapiler6.

Lapisan sel terakhir pada glomerulus disusun oleh podosit, yang merupakan

jaringan epitel termodifikasi. Podosit memiliki proyeksi seperti jari yang saling

berlekatan (saling mengunci posisi) dengan membran ‘basement’. Oleh sebab itu,

podosit dan membran ‘basement’ dapat mendukung kekuatan struktur kapiler 6.

Bukaan antarjari podosit disebut dengan celah filtrasi, dan filtrat glomerular

akan melewati celah tersebut untuk menuju ke saluran urin. Podosit memiliki peran

penting dalam menentukan karakteristik hambatan filtrasi glomerulus. Dengan


begitu, proses penyakit yang mempengaruhi podosit akan sangat mempengaruhi

permeabilitas glomerulus, membuat protein berukuran besar seperti albumin dapat

keluar ke saluran urin6.

Podosit

Gambar 3 Penampang Melintang Glomerulus

Tubulus
Tubulus adalah saluran seperti pipa/selang yang dilapisi sel epitel. Filtrat

mengalir dari glomerulus menuju sistem pengumpul urin melalui saluran ini.

Tubulus dibagi ke dalam beberapa segmen berdasarkan perbedaan struktur, yang

juga kemudian berpengaruh pada fungsinya hingga panjang dari salurannya6.

Segmen pertama disebut tubulus proksimal. Fungsinya untuk ‘mengambil

kembali’ hingga sekitar 70-80% cairan yang telah tersaring glomerulus. Strukturnya

yang berlipat-lipat meningkatkan luas permukaan sehingga mendukung fungsi


tersebut. Di samping itu, sel-sel pada tubulus proksimal dipenuhi oleh mitokondria

karena proses reklamasi cairan sangat bergantung pada energi6.

Tubulus proksimal terhubung dengan lengkung Henle. Segmen ini terdiri

dari thin descending limb dan thick ascending limb. Thick ascending limb sangat berperan

dalam memompa ion, dengan demikian bagian ini memiliki banyak sekali

mitokondria. Lengkung Henle sangat berperan dalam konservasi cairan. Pada

segmen ini filtrat ‘diambil kembali’ hingga 5-10%6.

Segmen berikutnya adalah tubulus distal dan tubulus kolektivus. Tubulus

kolektivus hanya sedikit menyerap filtrat tetapi di sinilah proses fine tuning

dilakukan. Di segmen ini, tubuh menentukan berapa banyak natrium, kalium, dan

cairan yang harus dijaga dan berapa banyak yang harus dibuang menjadi urin6.

Sel epitel pada tubulus berbeda dengan sel epitel tubuh lainnya. Modifikasi

ini sangat penting untuk mendukung fungsinya. Perbedaannya adalah sel epitel

tubulus relatif impermeabel. Oleh sebab itu, cairan dan partikel tidak dapat

menembus permukaan tubulus secara bebas6.

Patofisiologi Ginjal

Ginjal merupakan organ target yang umum untuk mengalami toksisitas dan

kerusakan akibat paparannya terhadap obat-obatan, xenobiotik (senyawa asing yang

tidak dibutuhkan oleh tubuh, misal pewarna, pemutih, pestisida, pengawet, dan

obat-obatan), atau zat kimia. Hal ini disebabkan oleh: (1) tingginya aliran darah

karena ginjal menerima lebih banyak darah per gram jaringan (sekitar 25% dari

aliran darah jantung) dibandingkan organ lainnya, (2) peran ginjal sebagai organ

ekskresi melalui urin, (3) tingginya biotransformasi metabolik ginjal dan konsumsi

oksigen di sel epitel, (4) peran ginjal dalam reabsorbsi dan kemampuannya untuk

memekatkan cairan4.
Pola spesifik terjadinya toksisitas dan kerusakan ginjal sangat bergantung di

antaranya pada sifat fisikokimia obat (misal kelarutan instrinsik yang rendah) dan

dosisnya, sifat toksikokinetik, profil renal clearance dan waktu paparan. Umumnya,

jaringan parenkim ginjal (korteks & medula) sangat rentan mengalami respon

inflamasi terhadap infeksi dan kerusakan jaringan ikutan. Hal tersebut terjadi

karena damage-associated molecular patterns (DAMPs), pathogen-associated molecular

patterns (PAMPs), and pro-inflammatory mediators memiliki ‘akses’ terhadap jaringan

tersebut melalui proses filtrasi4.

Drug-induced Kidney Injury (DKI)

DKI umumnya terjadi terutama pada pasien yang menerima pengobatan

dengan beberapa obat sekaligus. Manifestasi klinis yang terjadi di antaranya adalah

kelainan asam basa, ketidakseimbangan elektrolit, kelainan sedimentasi urin,

proteinuria, pyuria, dan hematuria. Manifestasi paling umum dapat dilihat pada

acute kidney injury atau gagal ginjal akut yang digambarkan sebagai penurunan laju

glomerulus filtration rate (GFR) yang sangat pesat1.

Catatan: GFR normal = 125 mL/menit = 180 L/hari6

Adapun laju GFR dihitung sebagai berikut:

GFR laki laki = (140 - umur) x kgBB / (72 x serum kreatinin)

GFR perempuan = (140 - umur) x kgBB x 0,85 / (72 x serum kreatinin)

(Sumber: alodokter)

Dengan demikian, keadaan tersebut didefinisikan sebagai peningkatan absolut dari

level SCr (serum creatinine) sebanyak 0,3 mg/dL atau peningkatan relatif sebanyak 50

% dalam kurun waktu 48 jam1. Selain SCr, peningkatan pada blood urea nitrogen

(BUN) juga menjadi indikator terjadinya kerusakan ginjal. BUN dan Scr akan

memberikan gambaran temporal antara tingkat toksisitas ginjal dengan jangka

waktu penggunaan obat-obat yang berpotensi menyebabkan nefrotoksik.


Catatan: SCr normal = 0,5 – 1,24 mg/dL

BUN mormal = 6 – 24 mg/dL

(Sumber: sribd.com)

Nefrotoksisitas obat terjadi pada sekitar 7% dari semua kasus toksisitas obat,

sebanyak 18-27% terjadi pada kasus gagal ginjal akut yang menjalani perawatan di

rumah sakit, dan berkontribusi pada sekitar 35% kasus nekrosis tubular akut (NTA).

Nefrotoksisitas juga terjadi pada sebagian besar kasus nefritis interstisial alergik

(NIA) serta nefropati yang terjadi karena adanya perubahan hemodinamik ginjal

dan obstruksi postrenal.

Pengetahuan akan faktor yang berkontribusi pada nefrotoksisitas sangat

penting untuk dapat memahami DKI dengan baik. Dilihat dari faktor obat, sifat

nefrotoksik dapat disebabkan oleh struktur, metabolisme, dan jalur ekskresinya

melalui ginjal. Di samping itu, dilihat dari karakteristik pasien, kondisi komorbid

dan genetik menjadi penentu terjadinya DKI. Dari sisi organ, ginjal pun berperan

dalam penentuan terjadinya DKI. Hal tersebut berkaitan dengan fungsinya dalam

metabolisme dan ekskresi (melalui filtrasi dan sekresi tubular) banyak obat. Fungsi

ini menyebabkan berbagai bagian dari nefron berinteraksi dengan banyak zat toksik.

Kejadian DKI umunya merupakan kombinasi dari ketiga faktor tersebut. Setidaknya

satu dari ketiganya7.

Mengingat faktor pasien tidak dapat ‘dilepaskan’, tabel berikut ini

menunjukkan faktor-faktor spesifik pasien yang dapat meningkatkan risiko DKI 3.

Sebagai contoh, faktor yang tidak dapat dimodifikasi seperti umur dan jenis

kelamin, berkaitan dengan penurunan massa tubuh dan cairan tubuh total, dapat

menjadi penyebab ‘kelebihan dosis’2, 7. Nilai SCr normal pada pasien ini belum tentu

mengindikasikan nilai GFR normal pula. Pada pasien tersebut nilai GFR bisa jadi

lebih rendah. Wanita dan lansia memiliki konsentrasi serum albumin yang lebih

rendah sehingga pengikatan obatnya lebih rendah. Dengan demikian, konsentrasi


obat bebas dalam plasma menjadi meningkat, yang mana dapat menjadi

nefrotoksin7. Secara umum, faktor risiko pasien yang sering muncul adalah lansia,

memiliki komorbid diabetes dan gagal jantung, mengalami sepsis (peradangan

ekstrem akibat infeksi) dan insufisiensi ginjal (GFR < 60 ml/menit)2.

Tabel 1 Faktor Risiko Pasien3

Mekanisme DKI

DKI terjadi melalui beberapa mekanisme, baik langsung pada nefron maupun

tidak (seperti akibat obat-obatan yang menyebabkan iskemia (kekurangan aliran

darah pada organ tertentu/kekurangan suplai oksigen), dan obstruksi saluran kemih

seperti penyumbatan pada saluran kemih). Namun, pada pembahasan kali ini,

hanya mekanisme yang berdampak langsung pada nefron yang akan dibahas.
Meskipun seluruh nefron dapat mengalami kerusakan oleh berbagai jenis

obat, bagian tubulus umumnya menjadi target utama3. Kejadian kerusakan pada

bagian ini banyak dilaporkan dibandingkan bagian nefron lainnya. Tubulus

proksimal terpapar melalui kontak apikal dengan senyawa yang disekresikan ke

lumen tubular (saluran di dalam tubulus), uptake sel epitel tubular, atau apical efflux

dari sirkulasi basolateral ke lumen tubular. Senyawa yang diekskresikan melalui

filtrasi glomerulus dan sekresi tubulus melaju dari tubulus proksimal ke lengkung

Henle kemudian ke tubulus distal. Di tubulus distal, senyawa obat dapat

mengendap, mengkristal, hingga membentuk cast atau silinder, yang dapat

merusak tubulus (seperti kasus vankomisin). Mekanisme lainnya berkaitan dengan

inflamasi pada tubulointerstisial yang menyebabkan nefritis interstisial 1.

Simpulannya, DKI terjadi melalui satu di antara 3 mekanisme: (1) kerusakan

tubulus proksimal dan nekrosis (kondisi cedera pada sel yang mengakibatkan

kematian dini sel) tubular akut (yang bergantung pada dosis) akibat kerusakan sel

epitel, baik di bagian apikal maupun basolateral; (2) obstruksi tubular akibat

pembentukan endapan, kristal, atau silinder oleh obat dan metabolitnya; (3) nefritis

interstisial terinduksi obat (yang tidak bergantung pada dosis). Tabel menunjukkan

beberapa tipe kerusakan ginjal disertai obat yang menginduksinya 1.

1.1 Tubular Epithelial Injury

Semua senyawa yang telah disaring glomerulus masuk ke tubulus proksimal,

termasuk obat dan metabolitnya yang dapat bersifat nefrotoksik. Meskipun

demikian, sebagian besar filtrat tersebut kemudian akan diabsorpsi kembali oleh

epitel pada tubulus tersebut. Uptake di tubulus proksimal terutama terjadi untuk

senyawa seperti aminoglikosida, gula kompleks, pati, dan logam berat 1,3.

Aminoglikosida / AG (meliputi amikasin, gentamisin, neomisin, netilmisin,

streptomisin dan tobramisin. Semua aminoglikosida bersifat bakterisidal dan

terutama aktif terhadap kuman bakteri gram negatif. Amikasin, gentamisin dan
tobramisin juga aktif terhadap Pseudomonas aeruginosa. Streptomisin aktif

terhadap Mycobacterium tuberculosis dan penggunaan-nya sekarang sebagai

cadangan untuk tuberkulosis) diperkirakan menjadi penyebab utama kejadian DKI.

Tabel 2 Tipe Kerusakan Ginjal dengan Obat Penginduksinya1

Hal ini disebabkan karena muatan positif aminoglikosida membuatnya

mudah berikatan dengan fosfolipid membran apikal yang bermuatan negatif. Obat

tersebut kemudian berikatan dengan kompleks reseptor endositis, megalin-cubilin,

yang membawanya masuk ke dalam kompartemen lisosom (seperti tampak pada

gambar A)3.

Uptake pada membran apikal tersebut mengakibatkan akumulasi pada jumlah

aminoglikosida di dalam sel. Hal inilah yang memicu kerusakan yang pesat hingga

mengakibatkan kegagalan dan kematian sel. Secara klinis didefinisikan sebagai

proximal tubulophaty atau gagal ginjal akut3.


Gambar 4 Mekanisme Kerusakan Epitel Tubular via Kontak Apikal3, 7

Gambar 5 Sekilas tentang Endositosis

Catatan: Pinositosis: mekanisme yang terjadi pada kasus HES.


Endositosis yang diperantarai reseptor: mekanisme pada kasus AG.
Mekanisme lain terjadi pada gula kompleks, seperti pati hidroksietil atau

HES, yaitu melalui proses pinositosis (pengambilan cairan ekstraseluler yang

mengandung senyawa obat) oleh tubulus proksimal. Sama seperti pada mekanisme

oleh aminoglikosida, pinositosis tersebut mengakibatkan akumulasi di dalam sel,

dikarenakan tidak adanya enzim yang dapat memetabolisme senyawa tersebut.

Alhasil, nefropati osmotik terjadi karena akumulasi HES ini. Secara histologi, lesi

(keadaan jaringan yang abnormal) tersebut ditandai dengan adanya sel yang

membengkak dan bervakuola serta menjadi hambatan di lumen tubulus proksimal3.

Di samping melalui bagian apikal, obat dapat masuk ke urin melalui

transport dari sirkulasi basolateral. Transport aktif yang terjadi di bagian ini

memungkinkan senyawa obat untuk terdistribusi, baik dengan perantara

transporter kationik (OCT) maupun anionik (OAT)1, 3.

Gambar 6 Mekanisme Kerusakan Epitel Tubular via Transport Basolateral3, 7


Kerusakan sel tubulus terjadi ketika senyawa nefrotoksik terakumulasi di

sitoplasma. Hal ini dapat terjadi akibat mutasi pada transporter atau ketika terdapat

kompetisi antar-senyawa endogen atau eksogen. Tenofovir / TF dan sisplatin / Cis

adalah contoh senyawa obat yang dapat merusak tubulus proksimal melalui

mekanisme ini. TF banyak digunakan untuk pengobatan HIV dan hepaitits B.

Ekskresi TF terjadi melalui filtrasi glomerulus dan sekresi tubulus (20-30%). Sekresi

inilah yang berpengaruh besar terhadap kejadian DKI1.

TF ditransport ke dalam sel epitel tubulus oleh OAT dan keluar ke lumen

tubulus melalui ikatan dengan protein multi-drug resistance protein (MRP-2 dan MRP-

4). Disfungsi tubulus proksimal, pada pengobatan dengan obat ini, terjadi ketika

sudah mencapai 17-22%. Akumulasi obat tersebut menyebabkan inhibisi DNA

polymerase mitokondria sehingga strukturnya menjadi rusak dan fungsinya

terganggu. Imbasnya, produksi ATP menurun dan sel mengalami apoptosis1.

Pada kasus sisplatin, kerusakan terjadi karena tingginya ROS (Reactive

Oxidative Species) yang dihasilkan oleh akumulasi sisplatin di dalam sitoplasma.

Sisplatin masuk ke dalam sel melalui transporter OCT dan dikeluarkan ke lumen

melalui ikatan dengan protein human multidrug and toxin extrusion protein transporter

(hMATE). Sama halnya dengan TF, kerusakan terjadi ketika terlalu banyak uptake

dan kurangnya protein effuks, salah satunya menyebabkan mitokondria mengalami

stres oksidatif1, 3.

Kerusakan pada tubulus ini meningkatkan tekanan pada lumen tubulus dan

kapsul Bowman sehingga mengakibatkan penurunan filtrasi glomerulus. Jika yang

terjadi hanya disfungsi sel tubulus, (bukan nekrosis), maka reabsorpsi akan

terganggu sehingga cairan dan solut akan mencapai tubulus distal. Hal tersebut

kemudian mengakibatkan tubuloglomerular feedback. Imbasnya, angiotensin II dan

konsentrasi adenosin akan meningkat, yang menyebabkan arteriol aferen dan eferen

berkontraksi. Pada kondisi itulah filtrasi glomerulus mengalami penurunan 1.


Hidrasi intensif merupakan tindakan yang sangat penting dalam mencegah

nefrotoksisitas akibat obat penginduksi kerusakan/nekrosis epitel tubulus akut. Hal

ini dikarenakan hidrasi dapat menurunkan konsentrasi obat pada tubulus proksimal

dan sirkulasi peritubular. Penentuan konsentrasi efektif terendah yang paling

mungkin sangat dibutuhkan sesegera mungkin pada tahap ini1.

1.2 Obstruksi Tubular Akibat Obat dan Metabolitnya

Beragam obat dan metabolit yang tidak larut dalam urin dapat

mengakibatkan nefropati kristalin. Pengobatan menggunakan metotreksat, asiklovir,

sulfadiazin, siprofloksasin, triamteren, dan larutan Na-fosfat oral dapat menjadi

penginduksi DKI melalui mekanisme ini3.

Laju berkemih yang menurun (gagal ginjal, dehidrasi), dosis yang berlebih,

dan laju infusi yang tinggi, merupakan faktor yang dapat memperparah

pembentukan kristal akibat peningkatan insolubilitas obat dan metabolitnya pada

lumen tubulus. Faktor lainnya adalah pH. Urin dengan pH < 5,5 dapat memicu

kristalisasi sulfadiazin, metotreksat, dan triamteren, sedangkan urin dengan pH> 6

memicu pengkristalan indinavir dan siprofloksasin1, 3.

Obstruksi tubular menghambat laju urin dan memicu inflamasi. Kristal

sangat bertanggung jawab pada inflammasome-mediated inflammation. Kristal

mengaktifkan NOD-like receptor family, pyrin containing domain 3 (NLRP3)

inflammasome, yang mana dapat merangsang proses inflamasi dan gagal ginjal akut1.

Mekanisme DKI lainnya adalah dengan terbentuknya cast atau silinder yang

dapat merusak lumen. Vankomisin dilaporkan sebagai contoh obat dengan

mekanisme ini. Vankomisin bersama uromodulin (protein yang dikeluarkan

tubulus) membentuk silinder pada tubulus. Hal ini didukung pula oleh tingginya

konsentrasi dan rendahnya pH urin1, 3.


1.3 Drug-induced Acute Tubulointerstisial Nephritis (ATIN)

ATIN merupakan penyebab umum gagal ginjal akut. Kejadian ATIN

terinduksi obat biasanya dimulai dalam 10 hari setelah pemberian obat. Proses

inflamasinya terjadi dalam 3 fase. Fase pertama, obat atau metabolitnya berperan

sebagai hapten atau prohapten – molekul kecil yang merangsang pembentukan

atibodi. Hapten atau prohapten kemudian berikatan dengan protein di ginjal dan

membentuk neoantigen. Di ginjal, ada 3 tipe sel yang dapat berperan sebagai

antigen yaitu, sel dendritik, sel epitel tubulus, dan makrofag interstisial. Pada fase

kedua, antigen berada pada sel T. Obat yang dapat mengganggu pengaturan sistem

kekebalan tubuh sangat penting dalam fase ini. Berikutnya adalah fase efektor,

misalnya infiltrasi interstisial oleh sel T, yang menyebabkan inflamasi pada

interstisium. Kerusakan seperti ini biasanya diinduksi oleh antibiotik, OAINS, dan

PPIs1.

Penanggulangan

Pencegahan nefrotoksisitas sangat bergantung pada pengetahuan praktisi

dalam faktor risiko, perhitungan dosis yang tepat, dan evaluasi fungsi ginjal

(sebelum & selama pengobatan). Bagaimanapun, jika obat nefrotoksin tetap harus

digunakan, pertimbangan manfaat di atas risiko harus tetap dipertahankan. Tabel

berikut merupakan penanggulangan yang dapat dilakukan untuk menjaga

kepentingan pengobatan, di antaranya seperti penyesuaian perhitungan dosis,

pemantauan potensi efek nefrotoksik pada proses evaluasi pengobatan, pemastian

hidrasi yang tepat (terutama dalam kasus pengendapan pada ginjal)1, 2.


Tabel 3 Tindakan Penanggulangan DKI

REFERENSI

1. Kwiatkowska E, Domański L, Dziedziejko V, Kajdy A, Stefańska K, Kwiatkowski S.


The Mechanism of Drug Nephrotoxicity and the Methods for Preventing Kidney
Damage. IJMS. 2021;22(11):6109. doi:10.3390/ijms22116109
2. Ghane Shahrbaf F. Drug-induced renal disorders. Drug-induced renal disorders.
2015;(3). doi:10.12861/jrip.2015.12

3. Perazella MA. Drug-induced acute kidney injury: diverse mechanisms of tubular injury.
Current Opinion in Critical Care. 2019;25(6):550-557.
doi:10.1097/MCC.0000000000000653
4. Radi ZA. Kidney Pathophysiology, Toxicology, and Drug-Induced Injury in Drug
Development. Int J Toxicol. 2019;38(3):215-227. doi:10.1177/10915818198317012.

5. Rayner H, Thomas M, Milford D. Kidney Anatomy and Physiology. In: Understanding


Kidney Diseases. Springer International Publishing; 2016:1-10. doi:10.1007/978-3-319-
23458-8_1

6. Danziger J, Zeidel M, Parker MJ. Renal Physiology: A Clinical Approach. 2012.


Baltimore: Lippincot Williams & Wilkins.

7. Perazella MA. Pharmacology behind Common Drug Nephrotoxicities. CJASN.


2018;13(12):1897-1908. doi:10.2215/CJN.00150118

Anda mungkin juga menyukai