Pada sistem tubuh kita, obat dimetabolisme di hati, saluran cerna, dan ginjal.
Eksresi obat dan metabolitnya pun dapat terjadi baik pada jalur renal maupun
ekstrarenal1. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ginjal menjadi organ yang
paling sering terpapar obat & metabolitnya. Oleh sebab itu, ginjal sangat rentan
Kerusakan ginjal akibat obat atau drug-induced kidney injury (DKI) terjadi
hingga sekitar 26% dari seluruh kasus gagal ginjal akut yang dirawat di Rumah
Sakit1. DKI lebih umum terjadi pada anak-anak dan pada kasus klinis tertentu,
seperti penyakit kardiovaskular2. Kerusakan akibat obat dapat terjadi pada beberapa
bagian ginjal dan melalui beberapa mekanisme3. Namun, sebelum itu anatomi,
(hampir pada sebagian besar mamalia, dan merupakan organ ekskresi yang terletak
sangat ‘apik’, ginjal mengatur tekanan darah, cairan, natrium, kalium, keasaman,
mineral, dan haemoglobin. Di samping semua itu, fungsi utamanya adalah untuk
Fungsi-fungsi tersebut sangat bergantung pada unit paling dasar dari ginjal,
yaitu yang disebut dengan nefron. Nefron berjumlah 1-1,2 juta buah pada tiap ginjal.
glomerulus, sebagai tempat filtrasi; dan tubulus, yang bertanggung jawab untuk
Glomerulus
Glomerulus terdiri dari tiga lapisan seperti pada gambar yaitu, sel endotelial
kapiler yang membentuk lapisan paling dalam, membran kolagen ‘basement’ yang
membentuk lapisan tengah, dan sel epitel termodifikasi (disebut juga dengan istilah
podosit) yang berada di bagian terluar. Ketiga lapisan tersebut -sel endotel,
yang menjaga sel darah dan protein tetap berada dalam tubuh, juga membiarkan
cairan dan molekul kecil untuk keluar ke dalam urin. Pemahaman akan hubungan
ketiganya sangat penting untuk dapat mengevaluasi fisiologi normal dan penyakit
pada ginjal6.
Gambar 2 Anatomi Struktur Glomerulus6
lengkung kapiler membentuk cabang pada sebuah arteriol aferen untuk membentuk
glomerular tuft. Pada setiap dasar tuft, di mana setiap kapiler melekat pada
diketahui bahwa mesangium dan bagian tubuh lainnya hanya dibatasi oleh sebuah
lapisan endotelium yang tipis. Karena tidak dipisahkan oleh lapisan epitel, dengan
(vasoactivity) yang konstan pada arteriol aferen dan eferen menyesuaikan tekanan
pada lengkung kapiler untuk menjaga proses filtrasi yang efektif; umumnya,
tekanan tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan tekanan kapiler pada bagian
tubuh yang lain. Mengingat struktur endotel yang halus dapat dengan mudah rusak
‘basement’ dan podosit. Keduanya sepeti ‘kulit’ dari glomerulus. Selanjutnya, filtrat
yang melewati lapisan ini kemudian dianggap berada ‚di luar tubuh‛6.
partikel, di samping membiarkan partikel lain untuk bergerak bebas bersama air,
untuk melewatinya. Fungsi filtrasi ini sangat berkaitan pula dengan ukuran dan
muatan listrik partikel5, 6. Partikel yang lebih besar, umumnya berdiameter lebih dari
10nm, biasanya akan tidak tersaring. Partikel yang bermuatan negatif tidak akan
tersaring pula. Dengan demikian, protein seperti albumin, yang berukuran besar
Lapisan sel terakhir pada glomerulus disusun oleh podosit, yang merupakan
jaringan epitel termodifikasi. Podosit memiliki proyeksi seperti jari yang saling
berlekatan (saling mengunci posisi) dengan membran ‘basement’. Oleh sebab itu,
Bukaan antarjari podosit disebut dengan celah filtrasi, dan filtrat glomerular
akan melewati celah tersebut untuk menuju ke saluran urin. Podosit memiliki peran
Podosit
Tubulus
Tubulus adalah saluran seperti pipa/selang yang dilapisi sel epitel. Filtrat
mengalir dari glomerulus menuju sistem pengumpul urin melalui saluran ini.
kembali’ hingga sekitar 70-80% cairan yang telah tersaring glomerulus. Strukturnya
dari thin descending limb dan thick ascending limb. Thick ascending limb sangat berperan
dalam memompa ion, dengan demikian bagian ini memiliki banyak sekali
kolektivus hanya sedikit menyerap filtrat tetapi di sinilah proses fine tuning
dilakukan. Di segmen ini, tubuh menentukan berapa banyak natrium, kalium, dan
cairan yang harus dijaga dan berapa banyak yang harus dibuang menjadi urin6.
Sel epitel pada tubulus berbeda dengan sel epitel tubuh lainnya. Modifikasi
ini sangat penting untuk mendukung fungsinya. Perbedaannya adalah sel epitel
tubulus relatif impermeabel. Oleh sebab itu, cairan dan partikel tidak dapat
Patofisiologi Ginjal
Ginjal merupakan organ target yang umum untuk mengalami toksisitas dan
tidak dibutuhkan oleh tubuh, misal pewarna, pemutih, pestisida, pengawet, dan
obat-obatan), atau zat kimia. Hal ini disebabkan oleh: (1) tingginya aliran darah
karena ginjal menerima lebih banyak darah per gram jaringan (sekitar 25% dari
aliran darah jantung) dibandingkan organ lainnya, (2) peran ginjal sebagai organ
ekskresi melalui urin, (3) tingginya biotransformasi metabolik ginjal dan konsumsi
oksigen di sel epitel, (4) peran ginjal dalam reabsorbsi dan kemampuannya untuk
memekatkan cairan4.
Pola spesifik terjadinya toksisitas dan kerusakan ginjal sangat bergantung di
antaranya pada sifat fisikokimia obat (misal kelarutan instrinsik yang rendah) dan
dosisnya, sifat toksikokinetik, profil renal clearance dan waktu paparan. Umumnya,
jaringan parenkim ginjal (korteks & medula) sangat rentan mengalami respon
inflamasi terhadap infeksi dan kerusakan jaringan ikutan. Hal tersebut terjadi
dengan beberapa obat sekaligus. Manifestasi klinis yang terjadi di antaranya adalah
proteinuria, pyuria, dan hematuria. Manifestasi paling umum dapat dilihat pada
acute kidney injury atau gagal ginjal akut yang digambarkan sebagai penurunan laju
(Sumber: alodokter)
level SCr (serum creatinine) sebanyak 0,3 mg/dL atau peningkatan relatif sebanyak 50
% dalam kurun waktu 48 jam1. Selain SCr, peningkatan pada blood urea nitrogen
(BUN) juga menjadi indikator terjadinya kerusakan ginjal. BUN dan Scr akan
(Sumber: sribd.com)
Nefrotoksisitas obat terjadi pada sekitar 7% dari semua kasus toksisitas obat,
sebanyak 18-27% terjadi pada kasus gagal ginjal akut yang menjalani perawatan di
rumah sakit, dan berkontribusi pada sekitar 35% kasus nekrosis tubular akut (NTA).
Nefrotoksisitas juga terjadi pada sebagian besar kasus nefritis interstisial alergik
(NIA) serta nefropati yang terjadi karena adanya perubahan hemodinamik ginjal
penting untuk dapat memahami DKI dengan baik. Dilihat dari faktor obat, sifat
melalui ginjal. Di samping itu, dilihat dari karakteristik pasien, kondisi komorbid
dan genetik menjadi penentu terjadinya DKI. Dari sisi organ, ginjal pun berperan
dalam penentuan terjadinya DKI. Hal tersebut berkaitan dengan fungsinya dalam
metabolisme dan ekskresi (melalui filtrasi dan sekresi tubular) banyak obat. Fungsi
ini menyebabkan berbagai bagian dari nefron berinteraksi dengan banyak zat toksik.
Kejadian DKI umunya merupakan kombinasi dari ketiga faktor tersebut. Setidaknya
Sebagai contoh, faktor yang tidak dapat dimodifikasi seperti umur dan jenis
kelamin, berkaitan dengan penurunan massa tubuh dan cairan tubuh total, dapat
menjadi penyebab ‘kelebihan dosis’2, 7. Nilai SCr normal pada pasien ini belum tentu
mengindikasikan nilai GFR normal pula. Pada pasien tersebut nilai GFR bisa jadi
lebih rendah. Wanita dan lansia memiliki konsentrasi serum albumin yang lebih
nefrotoksin7. Secara umum, faktor risiko pasien yang sering muncul adalah lansia,
Mekanisme DKI
DKI terjadi melalui beberapa mekanisme, baik langsung pada nefron maupun
darah pada organ tertentu/kekurangan suplai oksigen), dan obstruksi saluran kemih
seperti penyumbatan pada saluran kemih). Namun, pada pembahasan kali ini,
hanya mekanisme yang berdampak langsung pada nefron yang akan dibahas.
Meskipun seluruh nefron dapat mengalami kerusakan oleh berbagai jenis
obat, bagian tubulus umumnya menjadi target utama3. Kejadian kerusakan pada
lumen tubular (saluran di dalam tubulus), uptake sel epitel tubular, atau apical efflux
filtrasi glomerulus dan sekresi tubulus melaju dari tubulus proksimal ke lengkung
tubulus proksimal dan nekrosis (kondisi cedera pada sel yang mengakibatkan
kematian dini sel) tubular akut (yang bergantung pada dosis) akibat kerusakan sel
epitel, baik di bagian apikal maupun basolateral; (2) obstruksi tubular akibat
pembentukan endapan, kristal, atau silinder oleh obat dan metabolitnya; (3) nefritis
interstisial terinduksi obat (yang tidak bergantung pada dosis). Tabel menunjukkan
demikian, sebagian besar filtrat tersebut kemudian akan diabsorpsi kembali oleh
epitel pada tubulus tersebut. Uptake di tubulus proksimal terutama terjadi untuk
senyawa seperti aminoglikosida, gula kompleks, pati, dan logam berat 1,3.
terutama aktif terhadap kuman bakteri gram negatif. Amikasin, gentamisin dan
tobramisin juga aktif terhadap Pseudomonas aeruginosa. Streptomisin aktif
mudah berikatan dengan fosfolipid membran apikal yang bermuatan negatif. Obat
gambar A)3.
aminoglikosida di dalam sel. Hal inilah yang memicu kerusakan yang pesat hingga
mengandung senyawa obat) oleh tubulus proksimal. Sama seperti pada mekanisme
Alhasil, nefropati osmotik terjadi karena akumulasi HES ini. Secara histologi, lesi
(keadaan jaringan yang abnormal) tersebut ditandai dengan adanya sel yang
transport dari sirkulasi basolateral. Transport aktif yang terjadi di bagian ini
sitoplasma. Hal ini dapat terjadi akibat mutasi pada transporter atau ketika terdapat
adalah contoh senyawa obat yang dapat merusak tubulus proksimal melalui
Ekskresi TF terjadi melalui filtrasi glomerulus dan sekresi tubulus (20-30%). Sekresi
TF ditransport ke dalam sel epitel tubulus oleh OAT dan keluar ke lumen
tubulus melalui ikatan dengan protein multi-drug resistance protein (MRP-2 dan MRP-
4). Disfungsi tubulus proksimal, pada pengobatan dengan obat ini, terjadi ketika
Sisplatin masuk ke dalam sel melalui transporter OCT dan dikeluarkan ke lumen
melalui ikatan dengan protein human multidrug and toxin extrusion protein transporter
(hMATE). Sama halnya dengan TF, kerusakan terjadi ketika terlalu banyak uptake
stres oksidatif1, 3.
Kerusakan pada tubulus ini meningkatkan tekanan pada lumen tubulus dan
terjadi hanya disfungsi sel tubulus, (bukan nekrosis), maka reabsorpsi akan
terganggu sehingga cairan dan solut akan mencapai tubulus distal. Hal tersebut
konsentrasi adenosin akan meningkat, yang menyebabkan arteriol aferen dan eferen
ini dikarenakan hidrasi dapat menurunkan konsentrasi obat pada tubulus proksimal
Beragam obat dan metabolit yang tidak larut dalam urin dapat
Laju berkemih yang menurun (gagal ginjal, dehidrasi), dosis yang berlebih,
dan laju infusi yang tinggi, merupakan faktor yang dapat memperparah
lumen tubulus. Faktor lainnya adalah pH. Urin dengan pH < 5,5 dapat memicu
inflammasome, yang mana dapat merangsang proses inflamasi dan gagal ginjal akut1.
Mekanisme DKI lainnya adalah dengan terbentuknya cast atau silinder yang
tubulus) membentuk silinder pada tubulus. Hal ini didukung pula oleh tingginya
terinduksi obat biasanya dimulai dalam 10 hari setelah pemberian obat. Proses
inflamasinya terjadi dalam 3 fase. Fase pertama, obat atau metabolitnya berperan
atibodi. Hapten atau prohapten kemudian berikatan dengan protein di ginjal dan
membentuk neoantigen. Di ginjal, ada 3 tipe sel yang dapat berperan sebagai
antigen yaitu, sel dendritik, sel epitel tubulus, dan makrofag interstisial. Pada fase
kedua, antigen berada pada sel T. Obat yang dapat mengganggu pengaturan sistem
kekebalan tubuh sangat penting dalam fase ini. Berikutnya adalah fase efektor,
interstisium. Kerusakan seperti ini biasanya diinduksi oleh antibiotik, OAINS, dan
PPIs1.
Penanggulangan
dalam faktor risiko, perhitungan dosis yang tepat, dan evaluasi fungsi ginjal
(sebelum & selama pengobatan). Bagaimanapun, jika obat nefrotoksin tetap harus
REFERENSI
3. Perazella MA. Drug-induced acute kidney injury: diverse mechanisms of tubular injury.
Current Opinion in Critical Care. 2019;25(6):550-557.
doi:10.1097/MCC.0000000000000653
4. Radi ZA. Kidney Pathophysiology, Toxicology, and Drug-Induced Injury in Drug
Development. Int J Toxicol. 2019;38(3):215-227. doi:10.1177/10915818198317012.