Anda di halaman 1dari 4

Krisis Empati dalam Berdemokrasi: Urgensi Mahasiswa sebagai Pondasi Utama Bangsa

Indonesia
Opini pribadi oleh Yosia Setiadi

Rangkaian peristiwa “Jokowi:King of Lip Service” yang ramai-ramainya dibicarakan


hampir seantero masyarakat Indonesia merupakan suatu fenomena yang jika dilihat secara
luas, merupakan serangkai pola rantai kebencian yang pada akhirnya berpotensi perpecahan
bangsa. Sebuah pola rantai yang dimulai dari dipostingnya kritik oleh BEM UI mengenai
“Jokowi:King of Lip Service” yang didasari oleh keresahan BEM UI mewakili beberapa
elemen masyarakat, mengakibatkan suatu diskursus yang besar, yang dimana dari sisi yang
pro mendukung dari segi substansi, sedangkan sisi yang kontra mempersoalkan dari segi
etika. Banyaknya suara pro dan kontra yang terus bergulir di berbagai media sosial
menjadikannya sebagai awal mula dari banyaknya terjadi peristiwa-peristiwa yang justru
semakin memperkeruh suasana. Timbulnya peristiwa “pembungkaman” yang dilakukan oleh
pihak Rektorat kepada BEM UI, terkuaknya fakta rangkap jabatan oleh Rektor UI, terjadinya
doxing dan peretasan fungsionaris BEM UI, terbentuknya solidaritas dan konsolidasi BEM
SI, dan terinspirasinya banyak BEM Universitas dan juga LBH untuk memposting jargon
“Jokowi:King of Lip Service” dengan berbagai macam kritikan, lalu terjadinya
“pembungkaman” Rektorat Unnes kepada BEM KM Unnes, menjadikannya sebuah
rangkaian peristiwa besar layaknya sebuah bola api yang ditendangkan ke semak-semak.

Kritik yang didasari oleh keresahan BEM UI yang mewakili beberapa elemen
masyarakat dianggap sebagai suatu bentuk ujaran kebencian oleh elemen masyarakat lainnya
karena dianggap menyalahi etika masyarakat, lalu semakin ditimpali oleh dukungan-
dukungan kepada BEM UI dengan memberikan labelling bahwa yang menyerang BEM UI
adalah “buzzerrp”, dan sebagainya bergulirnya peristiwa tersebut merupakan sebuah pola
rantai kebencian yang terus bergulir di masyarakat hingga pada akhirnya dapat
mengakibatkan disintegrasi masyarakat. Terpecahnya pendapat masyarakat yang tidak bisa
dibendungi dalam suatu wadah diskusi karena bedanya tema yang dipermasalahkan, ditakuti
akan semakin memanas, hingga terbakar karena seakan-akan hingga saat ini tidak ada titik
temu untuk menyatukan diskursus tersebut. Dampak yang terjadi karena adanya perpecahan
pendapat yang besar di masyarakat ini pun tidak hanya berakibat kepada pihak yang pro dan
kontra, namun juga kepada pihak yang netral terhadap kasus ini.
Berdasarkan apa yang sekarang ini saya alami sebagai pemangku jabatan lembaga
mahasiswa di UI, dampak besar dari kejadian tersebut sangatlah berakibat negatif kepada
banyak elemen mahasiswa di UI sendiri, yang bahkan dari elemen tersebut juga banyak yang
tidak satu suara dengan apa yang disampaikan oleh BEM UI melalui postingannya. Bila kita
contohkan dari hasil polling yang dilaksanakan oleh Lembaga Kajian Keilmuan FH UI,
sekitar 27,2 % dari 387 responden mahasiswa UI yang cenderung tidak setuju dengan cara
penyampaian/propaganda yang dilakukan oleh BEM UI saat mengkritik Presiden Jokowi. Hal
tersebut menunjukkan bahwa tidak semua suara mahasiswa UI terwakilkan oleh postingan
BEM UI tersebut. Namun, yang terjadi ialah pola rantai kebencian tersebut terus bergulir,
sehingga mengakibatkan bukan hanya nama BEM UI yang terkena sentimen negatif,
melainkan juga satu UI pun terkena dampak sentimennya. Sentimen buruk yang terus
berkembang seiring dengan sulitnya perekonomian dikarenakan pandemi Covid-19 berakibat
besar terhadap berbagai elemen mahasiswa di UI, yang dimana salah satu contohnya adalah
terhadap pelaksanaan program orientasi mahasiswa baru di UI yang berdampak pada
berkurangnya sponsor dari perusahaan dan instansi, sehingga sponsor sebagai salah satu
sumber pendanaan terbesar dalam kegiatan mahasiswa di kampus menjadi terhalang. Lantas,
apa salah perbuatan mereka mahasiswa UI yang tidak satu suara dengan BEM UI, namun
harus memikul dampak dari peristiwa tersebut ? Bagaimanakah dengan yang di luar dari UI
itu sendiri ? Bagaimanakah dengan elemen-elemen masyarakat lainnya yang isunya
ditelantarkan karena seakan-akan bangsa kita terfokus dengan isu postingan ini ?

Ini adalah dampak dari krisisnya empati dalam demokrasi Indonesia! Kita seakan-
akan melupakan atau meninggalkan nilai-nilai luhur yang diturunkan oleh para leluhur
bangsa ini. Bangsa kita yang sejak dahulu dikenal oleh dunia sebagai bangsa yang ramah
kepada siapapun hingga kepada para penjajah sekalipun, menjadi seperti layaknya bangsa
barat, yang tidak memedulikan perasaan dan keadaan orang lain dalam mencapai suatu tujuan
individu atau kelompok. Bangsa kita yang sejak dahulu selalu lekat dengan musyawarah
mufakat atau pengutamaan dialog, justru menjadi bangsa yang langsung menghantamkan
tinjuan kritiknya secara massal tanpa melakukan pendekatan dialog dan moderat kepada yang
bersangkutan. Nilai-nilai luhur yang diteruskan dari generasi ke generasi selanjutnya, sejarah
bagaimana ide besar kemerdekaan Indonesia yang terlahir dari adanya landasan empati dalam
menggerakkan suatu bangsa menuju kemerdekaan, terkesan tak tercerminkan oleh rangkaian
peristiwa tersebut. Apakah ini wujud dari demokrasi yang diidam-idamkan oleh bangsa kita ?
Apakah ini bentuk demokrasi yang dicita-citakan secara turun-temurun oleh para leluhur
kita ?

Seandainya kita semua tetap memegang nilai-nilai luhur bangsa ini dengan
mengutamakan empati dalam berdemokrasi, mungkin tidak akan terjadi rantai pola kebencian
seperti saat ini. Jikalau kita semua saling memahami dan menghargai satu sama lain; antara
mahasiswa dan pemerintah, masyarakat pro dan kontra, masyarakat dan pemerintah, maka
sesungguhnya kedamaian akan selalu terjunjung tinggi, tanpa menciderai pihak manapun.
Seandainya para mahasiswa mengutamakan dialog dan memberikan kritik yang konstruktif
tanpa menyinggung perasaan personal yang lain, dan juga pemerintah antusias dalam
memberikan wadah dialog dengan mahasiswa dan juga meluangkan waktunya untuk
mendengar keluh kesah masyarakat, serta saling memberikan pengertiannya satu sama lain,
akan sangat indahnya demokrasi bangsa ini dirasakan oleh kita semua, karena sesungguhnya
berempati adalah bagaimana merasakan dan menghargai perasaan orang lain dalam bertindak
memperjuangkan kepentingan bersama.

Sudah merupakan amanah dan keharusan bagi kita para mahasiswa untuk tetap
menjunjung tinggi dan mengamalkan nilai-nilai luhur ke-empati-an dalam berdemokrasi,
berbangsa dan bernegara, karena kita adalah generasi penerus bangsa, negara, dan juga
almamater tercinta kita. Jikalau kita para mahasiswa sebagai penerus bangsa tidak lagi
mengutamakan nilai empati, lantas bagaimana masa depan bangsa kita ini ? Kita sebagai
mahasiswa Indonesia merupakan pondasi utama persatuan dan juga keberadaban bangsa kita,
dan sudah menjadi sumpah kewajiban bagi kita untuk terus memperjuangkan nilai-nilai luhur,
menjaga persatuan, serta mewujudkan Indonesia yang adil dan beradab bagi bangsa, negara,
dan juga almamater tercinta kita semua.

Tentang Penulis :

Penulis merupakan seorang mahasiswa FEB UI tahun akhir yang saat ini aktif di dalam
kehidupan pergerakan dan organisasi mahasiswa. Saat ini penulis aktif menjabat sebagai
Ketua Umum Dewan Perwakilan Mahasiswa UI 2021, dan juga sebagai anggota Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Depok. Saat ini penulis juga sedang aktif bersama
teman-temannya dalam pembentukan konsep dan juga realisasi proyek “Food Insurance” bagi
masyarakat menengah kebawah

Anda mungkin juga menyukai