Anda di halaman 1dari 23

Pemeriksaan Laboratorium pada Sindrom Hepatorenal

Tinjauan Pustaka
Divisi Kimia Klinik

Suryarini Trisa
Coriejati Rita

Selasa, 15 Juli 2014

DEPARTEMEN/SMF PATOLOGI KLINIS


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. HASAN SADIKIN
BANDUNG
2014
DAFTAR ISI

Halaman

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................3
2.1 Definisi Sindrom Hepatorenal...........................................................................3
2.2 Klasifikasi Sindrom Hepatorenal.......................................................................4
2.2.1 Sindrom Hepatorenal Tipe 1...........................................................................4
2.2.2 Sindrom Hepatorenal Tipe 2...........................................................................4
2.3 Patofisiologi Sindrom Hepatorenal....................................................................5
2.3.1 Vasodilatasi Arteri Sistemik dan Vasokonstriksi Ginjal................................6
2.3.2 Aktivasi Mediator Vasoaktif...........................................................................7
2.3.3 Gangguan Regulasi Ginjal..............................................................................8
2.4 Diagnosis Sindrom Hepatorenal........................................................................9
2.5 Pemeriksaan Laboratorium pada Sindrom Hepatorenal..................................12
2.5.1 Pemeriksaan Laboratorium Fungsi Hepar....................................................12
2.5.2 Pemeriksaan Laboratorium Fungsi Ginjal....................................................12
2.5.3 Pemeriksaan elektrolit...................................................................................13
2.5.4 Pemeriksaan Laboratorium Penilaian Sepsis................................................14
2.5.5 Urinalisis pada Sindrom Hepatorenal...........................................................15
BAB III RINGKASAN..........................................................................................17
SUMMARY.............................................................................................................18
PUSTAKA ACUAN..............................................................................................19

i
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi Sindrom Hepatorenal.............................................................5


Tabel 2.2 Kriteria Sindrom Hepatorenal menurut International Ascites Club......10
Tabel 2.3 Penyebab Gangguan Ginjal Fungsional pada Sirosis............................11
Tabel 2.4 Diagnosis Banding Penyebab Utama Asites..........................................15
Tabel 2.5 Parameter Pemeriksaan untuk Monitoring SHR pada Pasien Penyakit
Hepar Lanjut..........................................................................................................16

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Mekanisme terjadinya Sindrom Hepatorenal.......................................9


BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom hepatorenal (SHR) merupakan kegagalan fungsi ginjal yang bersifat

fungsional dan progresif yang terjadi pada penyakit hepar lanjut. Keadaan ini

bersifat reversibel karena bukan disebabkan oleh kelainan struktural pada ginjal

namun terjadi karena gangguan sirkulasi sistemik yang bersifat kompleks akibat

kerusakan hepar.1

Hubungan antara penyakit hepar dan gagal ginjal telah diketahui sejak lama.

Frerich merupakan peneliti pertama yang melaporkan kejadian oligouria pada

pasien dengan asites pada tahun 1877. Istilah sindrom hepatorenal kemudian

diperkenalkan pada tahun 1939 untuk menjelaskan terjadinya gagal ginjal yang

berhubungan dengan penyakit hepar.2 Koppel dkk pada tahun 1960 membuktikan

bahwa gagal ginjal yang terjadi bersifat fungsional karena ginjal penderita SHR

yang telah meninggal ternyata dapat ditransplantasikan dan berfungsi baik pada

pasien dengan gagal ginjal dengan penyebab lain.3

Kemungkinan terjadinya SHR pada pasien sirosis dengan asites sekitar 18%

setelah satu tahun dan meningkat menjadi 39% setelah 5 tahun. 2 Dari keseluruhan

penyebab gagal ginjal, etiologi prerenal merupakan penyebab gagal ginjal

tersering sebanyak 42%, nekrosis tubular akut 38%, dan sindrom hepatorenal

20%. Schepke dkk melaporkan terjadinya sindrom hepatorenal pada pasien

dengan sirosis sebanyak 40%4 sedangkan Ruiz dkk mendapatkan bahwa pada
2

pasien sirosis yang diikuti selama 10 tahun terdapat 9% kasus yang berkembang

menjadi SHR tipe 1.5

Sindrom hepatorenal merupakan diagnosis eksklusi karena diagnosis

ditegakkan setelah dipastikan gangguan ginjal yang terjadi bukan disebabkan

karena gangguan struktural ginjal. Diagnosis dini sangat dibutuhkan karena

prognosis penyakit yang buruk serta perjalanan penyakit yang progresif dan cepat.

Pemeriksaan laboratorium berperan penting dalam menilai gangguan fungsi ginjal

secara dini pada pasien dengan kegagalan fungsi hepar sehingga penanganan

dapat diberikan lebih cepat dan akurat.

Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas mengenai definisi dan klasifikasi

sindrom hepatorenal, patofisiologi, serta pemeriksaan laboratorium sebagai

penunjang dalam diagnosis dan monitoring sindrom hepatorenal.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Sindrom Hepatorenal

Sindrom hepatorenal (SHR) didefinisikan sebagai kegagalan fungsi ginjal

pada keadaan kegagalan fungsi hepar lanjut tanpa adanya kelainan ginjal

instrinsik. Keadaan ini ditandai dengan konstriksi sistem pembuluh darah ginjal

yang menyebabkan oligouria dan retensi natrium. Penekanan pada gangguan

ginjal fungsional disampaikan untuk menekankan bahwa keadaan ini bersifat

reversibel, namun pasien yang mengalami SHR umumnya memiliki prognosis

yang buruk dan kemungkinan kecil untuk kembali memiliki fungsi ginjal yang

normal tanpa transplantasi hepar.6

International Ascites Club pada tahun 2005 memberikan definisi terbaru

sindrom hepatorenal sebagai sindrom yang dapat bersifat reversibel yang terjadi

pada pasien dengan sirosis, asites, dan kegagalan fungsi hepar. Keadaan ini

ditandai dengan gangguan fungsi ginjal akibat vasokonstriksi pada ginjal

menyebabkan laju filtrasi glomerulus yang rendah sedangkan pada sirkulasi

sistemik terjadi penurunan resistensi vaskular akibat vasodilatasi splangnik.

Keadaan ini juga dapat dijumpai pada kegagalan fungsi hepar yang akut. Sindrom

hepatorenal merupakan diagnosis eksklusi yang berarti diagnosis ditegakkan

apabila penyebab gangguan fungsi ginjal lain telah disingkirkan.7

3
4

Gangguan ginjal fungsional dapat dipicu oleh berbagai penyebab yang

mengakibatkan terjadinya vasodilatasi arteri dan lebih lanjut lagi menyebabkan

penurunan volume intravaskular. Hal ini meliputi keadaan seperti perdarahan

hebat, overdiuresis, muntah-muntah hebat atau diare, tindakan parasentesis tanpa

penggantian volume intravaskular, atau infeksi bakteri.8

2.2 Klasifikasi Sindrom Hepatorenal

Pasien dengan penyakit hepar lanjut dapat mengalami sindrom hepatorenal tipe

1 atau tipe 2 yang dibedakan berdasarkan kecepatan penurunan fungsi ginjal dan

keberadaan faktor pemicu.

2.2.1 Sindrom Hepatorenal Tipe 1

Sindrom hepatorenal tipe 1 ditandai dengan peningkatan kreatinin serum dua

kali lipat (>2,5 mg/dL) dalam waktu dua minggu. Karakteristik tipe ini adalah

progresivitas yang cepat dan mortalitas yang tinggi. Sindrom hepatorenal tipe 1

umumnya muncul akibat faktor pencetus seperti infeksi bakteri terutama

spontaneous bacterial infection (SBP).9

2.2.2 Sindrom Hepatorenal Tipe 2

Pada SHR tipe 2 kreatinin serum mengalami peningkatan secara perlahan dan

bertahap dalam hitungan minggu sampai bulan disertai penurunan laju filtrasi

glomerulus (LFG). Keadaan ini terjadi sejalan dengan progresivitas penyakit


5

hepar dan muncul tanpa adanya faktor pemicu. Rata-rata pasien dengan SHR tipe

dua dapat bertahan hidup sampai 6 bulan.9

Pasien umumnya memiliki respon yang rendah terhadap pemberian diuretik.

Fungsi ginjal terus mengalami penurunan walaupun berjalan perlahan sehingga

karakteristik utama tipe 2 adalah asites refrakter. 10 Asites refrakter merupakan

suatu keadaan asites yang tidak berkurang atau muncul kembali dalam waktu

singkat setelah tindakan parasentesis walaupun telah diberikan diuretik dan

pembatasan asupan natrium.11 Klasifikasi sindrom hepatorenal dapat dilihat pada

tabel 2.1

Tabel 2.1 Klasifikasi Sindrom Hepatorenal


Tipe 1
a. kadar kreatinin >2,5 mg/dL (peningkatan dua kali lipat dari nilai awal) atau kreatinin
klirens <20 mL/ menit (penurunan 50% dari nilai awal) dalam kurun waktu 2 minggu
b. sering dipicu faktor pencetus seperti infeksi bakteri
c. prognosis buruk dalam waktu singkat (median survival 2 minggu)
Tipe 2
a. kadar kreatinin serum >1,5 mg/dL tanpa dijumpai tanda pencetus seperti pada tipe 1
b. sering dijumpai asites refrakter
c. prognosis lebih baik dibandingkan tipe 1 (median survival 6 bulan)
Disadur dari: Salerno12

2.3 Patofisiologi Sindrom Hepatorenal

Kerusakan struktural hepar yang berlanjut dengan fibrosis jaringan dapat

menyebabkan hipertensi portal yang secara umum bersifat progresif. Penyakit

hepar yang bersifat kronis maupun akut dapat menyebabkan hipertensi portal.

Keadaan ini lebih lanjut akan menyebabkan vasodilatasi dan pengumpulan darah
6

pada sistem vaskularisasi splangnik sehingga terjadi penurunan resistensi vaskular

sistemik. Tubuh merespon keadaan ini dengan aktivasi sistem renin-angiotensin-

aldosteron, sistem saraf simpatis, serta melepaskan hormon antidiuretik untuk

mempertahankan tekanan arteri yang efektif. Apabila kerusakan hepar semakin

berat, maka perubahan dalam sirkulasi darah untuk mempertahankan stabilitas

hemodinamik sistemik akan bergantung pada sistem vaskular ekstrasplangnik

(ginjal, hepar, otal, otot, kulit). Pada keadaan terminal, aktivasi sistem renin-

angiotensin-aldosteron, saraf simpatis, dan vasopressin yang terjadi terus-menerus

akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah ginjal yang hebat, terjadi

penurunan drastis perfusi ginjal dan LFG, peningkatan kadar kreatinin serum dan

akhirnya menyebabkan sindrom hepatorenal. Mediator vasoaktif yang terdapat di

dalam ginjal seperti prostaglandin, adenosin, leukotrien merupakan vasodilator

untuk mencegah vasokonstriksi yang berlebihan, namun pada keadaan penyakit

hepar yang berat maka keseimbangan ini tidak terjadi.9

Mekanisme yang mendasari terjadinya SHR meliputi peningkatan mediator

vasokonstriksi dan penurunan vasodilator di ginjal. Terdapat beberapa mekanisme

terjadinya SHR, yaitu terjadinya vasodilatasi arteri sistemik dan vasokonstriksi

pembuluh darah ginjal, aktivasi mediator vasoaktif, dan terjadinya gangguan

regulasi ginjal.

2.3.1 Vasodilatasi Arteri Sistemik dan Vasokonstriksi Ginjal

Pada keadaan gangguan fungsi hepar lanjut dan terjadi hipertensi portal maka

volume darah dalam sirkulasi akan menurun karena peningkatan pengumpulan


7

darah di vaskularisasi splangnik akibat aliran darah yang tidak dapat memasuki

sinusoid pada hepar yang mengalami sirosis.13

Vasodilatasi terutama terjadi pada sirkulasi splangnik dan dimediasi oleh

pelepasan vasodilator poten terutama nitrit oksida. Vasodilatasi ini akan

mengakibatkan penurunan resistensi vaskular sistemik dan volume darah dalam

sirkulasi.14

Rendahnya volume pengisian arteri sistemik menyebabkan sensitisasi

baroreseptor pada arkus aorta sehingga terjadi aktivasi sistem renin-angiotensin-

aldosteron, sistem saraf simpatis, dan pelepasan vasopressin. Aktivasi sistem

tersebut akan menyebabkan vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal dan

penurunan LFG. Penyakit hepar yang semakin parah akan meyebabkan

vasodilatasi sirkulasi splangnik lebih lanjut, sehingga vasokonstriksi yang terjadi

di ginjal menjadi lebih berat.13,14

2.3.2 Aktivasi Mediator Vasoaktif

Terdapat beberapa mediator vasoaktif yang mempengaruhi sirkulasi sistemik

maupun ginjal. Mediator vasoaktif yang terutama banyak dipelajari dalam

patofisiologi SHR adalah nitrit oksida (NO) dan prostaglandin intrarenal. Nitrit

oksida merupakan mediator yang menyebabkan vasodilatasi sirkulasi sistemik dan

produksinya meningkat pada sirosis akibat peningkatan aktivitas endothelial nitrit

oxide synthase (eNOS) karena peningkatan shear stress dalam sirkulasi splangnik

dan sistemik. Pasien dengan sirosis dekompensata disertai asites memiliki kadar

nitrit oksida plasma lebih tinggi dibanding individu normal ataupun dengan pasien
8

sirosis kompensata. Kadar nitrit oksida yang tinggi berkorelasi dengan tingginya

aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron dan kadar hormon antidiuretik serta

ekskresi natrium urine yang rendah. Efek vasodilatasi NO diharapkan dapat

menjadi antagonis vasokonstriksi yang terjadi di ginjal, namun pada SHR hal ini

tidak terjadi karena pada penyakit hepar lanjut juga terjadi peningkatan produksi

eNOS inhibitor sehingga vasokonstriksi ginjal tetap terjadi walaupun kadar NO

tinggi.13

Ginjal melakukan proses homeostasis pada saat terjadi vasokonstriksi dengan

cara meningkatkan produksi vasodilator prostaglandin. Pada sindrom hepatorenal

terjadi penurunan sintesis prostaglandin sehingga proses vasokonstriksi di ginjal

terus berlanjut.13

2.3.3 Gangguan Regulasi Ginjal

Pada keadaan normal proses regulasi di ginjal akan menjaga aliran darah tetap

konstan walaupun terjadi fluktuasi pada tekanan darah arteri. Pada pasien dengan

sirosis atau penyakit hepar lanjut, aktivasi sistem saraf simpatis dan vasopressin

akan menyebabkan gangguan regulasi. Aliran darah ginjal menjadi sangat

bergantung pada tekanan darah arteri dan akibatnya pada pasien sirosis sedikit

saja terjadi perubahan pada perfusi akan menyebabkan gangguan besar pada aliran

darah ginjal yang memicu vasokonstriksi berat di ginjal. 14 Mekanisme terjadinya

sindrom hepatorenal dapat dilihat pada gambar 2.1


9

Sirosis

peningkatan resistensi vaskular intrahepatik

hipertensi portal

peningkatan produksi vasodilator splangnik

vasodilatasi splangnik

pengisian volume
arteri yang rendah

tekanan darah arteri rendah

stimulasi sistem
vasokonstriktor

vasokonstriksi pada sirkulasi ekstremitas dan serebral

vasokonstriksi ginjal

vasokonstriktor > vasodilator

sindrom hepatorenal
Gambar 2.1 Mekanisme Terjadinya Sindrom Hepatorenal
Disadur dari: Gines15

2.4 Diagnosis Sindrom Hepatorenal

Diagnosis sindrom hepatorenal ditegakkan berdasarkan kriteria klinis. Sampai

saat ini pemeriksaan laboratorium berperan sebagai penunjang dalam membantu

menegakkan diagnosis. Selain itu SHR merupakan diagnosis eksklusi yang artinya

berbagai kemungkinan penyebab gangguan fungsi ginjal lainnya pada pasien

dengan penyakit hepar lanjut harus disingkirkan sebelum diagnosis sindrom


10

hepatorenal ditegakkan. Pasien SHR memiliki gambaran klinis seperti umumnya

pasien dengan penyakit hepar lanjut dengan asites. Kegagalan fungsi ginjal pada

SHR sering dihubungkan dengan oliguria, retensi natrium urine dan terjadinya

hiponatremia.16 Kriteria diagnosis SHR menurut International Ascites Club pada

tahun 2005 dapat dilihat pada tabel 2.2

Tabel 2.2 Kriteria Sindrom Hepatorenal menurut International Ascites Club


Penyakit hepar kronis atau akut dengan kegagalan fungsi hepar lanjut dan hipertensi portal
Kadar kreatinin serum >133 umol/L (1,5 mg/dL) yang bersifat progresif dalam hitungan hari atau
minggu
Tidak ada perbaikan fungsi ginjal setelah setelah ekspansi volume dengan albumin intravena (1
g/kgBB/hari sampai dengan maksimal 100g/hari) sedikitnya 2 hari dan penghentian pemberian
diuretik
(Dosis yang direkomendasikan untuk pemberian albumin adalah 1 g/kg berat badan per hari
sampai maksimum 100g/ hari)
Tidak ada penyebab gangguan fungsi ginjal lain seperti syok, penggunaan obat nefrotoksik, dan
pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) ginjal tidak menunjukkan adanya obstruksi atau
kelainan parenkimal ginjal.
Eksresi sel darah merah di urine <50 RBC/hpf dan ekskresi protein urine <500 mg/hari
Disadur dari: Nadim17
Keterangan: RBC: red blood cell
Hpf: high power field

Sindrom hepatorenal merupakan diagnosis eksklusi, maka gangguan ginjal

yang disebabkan oleh faktor lain harus disingkirkan. Diagnosis banding SHR

terutama adalah nekrosis tubular akut (NTA). Pasien dengan sirosis dapat

mengalami NTA akibat zat yang bersifat nefrotoksik seperti golongan

aminoglikosida, penggunaan bahan kontras pada pemeriksaan radiologi, atau

adanya perdarahan akut dari varises esofagus atau gaster yang pecah sehingga

menyebabkan syok. Keadaan ini dibedakan dengan SHR dari pemeriksaan

urinalisis. Pada pemeriksaan urinalisis NTA dapat ditemukan adanya silinder


11

granular atau silinder sel epitel sedangkan pada SHR tidak. Sindrom hepatorenal

merupakan penyebab gangguan fungsi ginjal yang termasuk ke dalam etiologi

prerenal sehingga sulit dibedakan dengan gagal ginjal prerenal dengan etiologi

yang sama seperti muntah dan diare hebat, perdarahan, diuretik, atau penggunaan

obat antiinflamasi non steroid. Penghentian obat-obatan yang diduga sebagai

penyebab dilakukan untuk meyingkirkan kemungkinan pengaruh obat dan

rehidrasi cairan dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan prerenal azotemia.

Apabila setelah rehidrasi cairan terjadi perbaikan dan pemeriksaan laboratorium

didapatkan penurunan kadar kreatinin serum maka dikatakan sebagai gangguan

ginjal prerenal namun bila tetap tidak terjadi perbaikan dan dari pemeriksaan

laboratorium kadar kreatinin tidak mengalami penurunan maka SHR dapat

ditegakkan.18 Penyebab gangguan ginjal fungsional pada sirosis dapat dilihat pada

tabel 2.3

Tabel 2.3 Penyebab Gangguan Ginjal Fungsional pada Sirosis


Tipe Penyakit
Gagal ginjal fungsional, volume responsive Gagal ginjal prerenal
Overdiuresis
Perdarahan gastrointestinal
Muntah-muntah dan diare
Infeksi

Gagal ginjal fungsional, tidak volume SHR tipe 1


responsive
Disadur dari: Wong8

2.5 Pemeriksaan Laboratorium pada Sindrom Hepatorenal

Sindrom hepatorenal memiliki gambaran hasil pemeriksaan laboratorium

seperti pada pasien dengan sirosis atau penyakit hepar lanjut lain pada umumnya.
12

Pemeriksaan laboratorium berperan sebagai penunjang dalam membantu

menegakkan diagnosis serta membedakan keadaan ini dengan gangguan fungsi

ginjal lain yang memberikan klinis sama.

2.5.1 Pemeriksaan Laboratorium Fungsi Hepar

Pemeriksaan fungsi hepar digunakan sebagai monitoring pada pasien sirosis

dengan kondisi stabil dan rawat jalan. Monitoring dilakukan setiap 4 minggu

dengan pemeriksaan fungsi hepar seperti albumin, bilirubin total, direk, dan

indirek, prothrombin time (PT), alanin aminotransferase (ALT) dan aspartate

aminotransferase (AST). Pada sirosis terjadi penurunan kadar albumin akibat

gangguan fungsi sintesis, peningkatan bilirubin, dan pemanjangan PT.8

2.5.2 Pemeriksaan Laboratorium Fungsi Ginjal

Pasien dengan SHR mengalami oligouria dengan ekskresi natrium urine

rendah, hiponatremia serta peningkatan kreatinin serum. Kreatinin serum

merupakan penanda standar yang digunakan untuk menilai fungsi ginjal, namun

sebenarnya pada pasien dengan penyakit hepar lanjut kreatinin bukan merupakan

penanda yang ideal karena pasien SHR umumnya mengalami penurunan massa

otot akibat gangguan asupan makanan dan penurunan kemampuan dalam konversi

kreatin menjadi kreatinin. Sehingga tidak jarang ditemukan nilai kreatinin pada

pasien SHR berada dalam nilai rujukan. Namun International Ascites Club

menggunakan kreatinin serum sebagai kriteria diagnosis karena dianggap sebagai


13

pemeriksaan laboratorium yang paling banyak diterima untuk memperkirakan

fungsi ginjal pada pasien dengan sirosis.19

Diagnosis SHR merupakan diagnosis eksklusi karena terdapat berbagai

keadaan lain yang dapat menyebabkan kegagalan fungsi ginjal akut pada pasien

dengan sirosis. Anamnesis dan pemeriksaan fisik penting untuk mencari

kemungkinan penyebabnya. Sindrom hepatorenal merupakan suatu keadaan

prerenal yang ditandai dengan histologi ginjal normal, fungsi tubulus ginjal dan

kemampuan ginjal dalam memekatkan urine tetap normal. Keadaan ini

menyerupai gagal ginjal akut yang disebabkan oleh dehidrasi berat akibat

gangguan gastrointestinal (muntah, diare, perdarahan karena varises

esofagus/gaster yang pecah), atau akibat diuretik yang berlebihan. Apabila gagal

ginjal akut yang terjadi disebabkan oleh deplesi cairan maka tindakan rehidrasi

akan memperbaiki renal output sedangkan pada SHR tidak akan terjadi perbaikan.

Selain itu pada pemeriksaan urinalisis gagal ginjal akut prerenal umumnya dapat

ditemukan silinder granular dan silinder sel epitelial.19

2.5.3 Pemeriksaan elektrolit

Penilaian status elektrolit pasien dapat membantu diagnosis SHR.

Hiponatremia merupakan keadaan yang khas pada SHR akibat retensi cairan

dengan pelepasan vasopressin dengan kadar natrium urine yang rendah (<10

mEq/L). Pada pasien dengan sirosis yang disertai gagal ginjal apabila didapatkan

kadar natrium darah dalam batas normal maka klinisi harus mencari penyebab

gagal ginjal selain SHR. Pada pasien SHR dapat terjadi hiperkalemia, namun
14

peningkatannya bervariasi sehingga tidak digunakan sebagai pemeriksaan

laboratorium yang khas pada SHR.19

Hiponatremia terjadi pada 20-30% pasien sirosis dengan asites dan ditandai

dengan kadar natrium serum <130 meq/L. Hiponatremia yang terjadi merupakan

hiponatremia dilusional, pada pasien dapat timbul keluhan mual muntah,

hilangnya nafsu makan,lemah, atau bila berat dapat menimbulkan kejang.20

2.5.4 Pemeriksaan Laboratorium Penilaian Sepsis

Pasien dengan penyakit hepar lanjut dan gagal ginjal memiliki kerentanan

untuk mengalami infeksi terutama sepsis. Spontaneous bacterial peritonitis (SBP)

menyebabkan gangguan ginjal pada 10%-30% pasien dengan sirosis. Sekitar 28%

pasien dengan SBP akan berlanjut menjadi SHR. Penyebab SBP tersering adalah

bakteri Gram negatif Escherichia coli atau genus Klebsiella.19

Pemeriksaan darah rutin dapat menilai kemungkinan infeksi dengan adanya

peningkatan jumlah lekosit. Selain itu ditunjang dengan peningkatan jumlah

neutrofil pada hitung jenis lekosit.19

Parasentesis diagnostik dengan mengambil 30 mL cairan asites harus selalu

dilakukan pada pasien dengan asites. Umumnya gambaran makroskopis cairan

asites pada SHR sama seperti gambaran asites pada sirosis tanpa komplikasi SHR.

Total protein asites dan serum asites albumin gradien (SAAG) merupakan

pemeriksaan yang berguna menentukan sumber asites. Diagnosis banding

penyebab tersering asites dapat dilihat pada tabel 2.4


15

Tabel 2.4 Diagnosis Banding Penyebab Utama Asites


Etiologi SAAG Protein asites
(cut off 1,1 g/dL) (cut off 2,5 g/dL)
Sirosis Tinggi Rendah
Kardiak asites Tinggi Tinggi
Keganasan atau tuberkulosis Rendah Tinggi
peritoneal
Disadur dari: Tsao 20

Pada keadaan infeksi terjadi peningkatan jumlah sel polimorfonuklear (PMN)

dan diagnosis SBP dapat ditegakkan bila jumlah PMN >250/mm 3. Pada asites

yang steril, jumlah lekosit umumnya kurang dari 100/mm3 dengan dominasi sel

morfonuklear (MN).20

Pemeriksaan kultur dari bahan pemeriksaan asites, darah, atau urine dapat

diperiksakan untuk mendeteksi kemungkinan penyebab infeksi. Monitoring

kemungkinan SBP dilakukan pada setiap pasien sirosis yang menjalani rawat inap

karena merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya SHR.20 Pada tabel 2.4 dapat

dilihat berbagai pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk monitoring SHR

pada pasien dengan penyakit hepar lanjut.

2.5.5 Urinalisis pada Sindrom Hepatorenal

Pada pasien SHR terjadi oligouria sehingga volume urine yang dihasilkan pada

umumnya <500 mL/24 jam. Urinalisis pada SHR terutama ditujukan untuk

menilai sel, silinder, dan proteinuria. Pada SHR, karena merupakan gangguan

ginjal fungsional maka pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) ginjal tidak

ditemukan gangguan struktural atau parenkim ginjal serta eksklusi kemungkinan

obstruksi. Namun pada pemeriksaan urinalisis dapat ditemukan adanya eritrosit


16

(<50/hpf) dan proteinuria (<500 mg/24jam). Hal ini untuk membedakan dengan

gagal ginjal yang disebabkan oleh adanya kelainan intrinsik ginjal. Pada tabel 2.5

dapat dilihat berbagai parameter yang digunakan untuk monitoring SHR.

Tabel 2.5 Parameter Pemeriksaan untuk Monitoring SHR pada Pasien Penyakit
Hepar Lanjut
Evaluasi Parameter
Laboratorium Fungsi hepar: PT/INR, bilirubin, protein,
albumin
Enzim hepar: AST, ALT
Fungsi ginjal: kreatinin serum dan elektrolit
Penilaian sepsis Darah lengkap
Kultur darah, urine.
Analisis cairan asites dan kultur
Pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab USG ginjal untuk menilai ukuran ginjal,
lain gagal ginjal kelainan parenkim, dan kemungkinan obstruksi
Urinalisis: menilai sel, silinder, proteinuria
Disadur dari: Wong8
BAB III

RINGKASAN

Sindrom hepatorenal merupakan keadaan gangguan fungsional ginjal terminal

pada pasien penyakit hati lanjut dengan prognosis yang buruk. Mekanisme

terjadinya SHR disebabkan vasodilatasi sirkulasi splangnik dan vasokonstriksi

ginjal karena aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron, saraf simpatis, dan

pelepasan vasopressin.

Pemeriksaan laboratorium dapat digunakan untuk membantu menegakkan

diagnosis SHR pada pasien dengan penyakit hepar lanjut. Pemeriksaan

laboratorium meliputi penanda fungsi hepar seperti pemeriksaan AST, ALT,

bilirubin, albumin, dan waktu protrombin. Kegagalan fungsi ginjal pada SHR

dapat dinilai dengan terjadinya peningkatan kreatinin serum, namun pada

urinalisis tidak atau hanya sedikit ditemukan abnormalitas selain penurunan

volume urine. Pemeriksaan kultur darah atau cairan asites dapat digunakan untuk

menentukan penyebab infeksi pada SBP karena merupakan pencetus SHR tipe 1.

Buruknya prognosis SHR disebabkan karena keadaan ini berlangsung progresif

dan cepat. Terapi definitif adalah hanya dengan melakukan transplantasi hepar.

17
SUMMARY

Hepatorenal syndrome is a terminal renal dysfunction condition complicating

in person with late hepatic dearrangement which lead to poor prognosis.

Mechanism of hepatorenal syndrome originates from vasodilatation of splanknik

circulation and renal vasoconstriction by renin-angiotensin-aldosterone,

sympathetic nervous system, and vasopressin.

Laboratory examination is usefull in establishing hepatorenal syndrome in end

stage liver disease. Liver function laboratory examination including AST, ALT,

bilirubin, albumin, and prothrombin time. As for renal failure examination in

hepatorenal syndrome were with elevated creatinine serum, however in urinalysis

there was absent or a little abnormalities found beside low urine output. Blood or

ascites fluid culture may also need to be addressed since SBP are precipitating

factos for hepatorenal syndrome type 1.

Poor prognosis of SHR is due to its rapid and progresive disease. Currently,

the only definitive therapy available is liver transplantation.

18
PUSTAKA ACUAN

1. Kuntz E, Kuntz HD. Hepatorenal Syndrome. Dalam: Kuntz E, Kuntz HD,


editor. Hepatology textbook and atlas. Edisi ke-3. Heidelberg: Springer;
2008.

2. Fabrizi F, Aghemo A, Messa P. Hepatorenal syndrome and novel


advances in its management. Kidney Blood Press Res. 2013;13(37):588-
601.

3. Koppel MH, Coburn JW, Mims MM, Goldstein H, Boyle JD, Rubini ME.
Transplantation of cadaveric kidneys from patients with hepatorenal
syndrome - evidence for the functional nature of renal failure in advanced
liver disease. N Engl J Med. 1969;280:1367-71.

4. Schepke M, Appenrodt B, Heller J, Zielinski J, Sauerbruch T. Prognostic


factors for patients with cirrhosis and kidney dysfunction in the era of
MELD: results of a prospective study. Liver International.
2006;26(7):834-9.

5. Ruiz R, Barri YM, Jennings LW, Chinnakotla S, Goldstein RM, Levy MF,
et al. Hepatorenal syndrome: A proposal for kidney after liver
transplantation (KALT). Liver Transplantation. 2007;13(6):838-43.

6. Briglia AE, Anania FA. Hepatorenal syndrome definition,


pathophysiology, and intervention. Crit Care Clin. 2002;18:345-73.

7. Fernandez J, Arroyo V. Novel definition of hepatorenal syndrome: clinical


consequences. Gastrointest Res. 2011;28:122-9.

8. Wong F. Renal complication of liver disease and the hepatorenal


syndrome. Dalam: Schiff ER, Maddrey WC, Sorrell MF, editor. Schiff's
diseases of the liver. Edisi ke-11. West Sussex: Wiley Blackwell; 2012.
hlm. 362-80.

9. Munoz SJ. The Hepatorenal Syndrome. Med Clin A Am. 2008;92:813-37.

10. Gustot T, Moreau R. Renal failure in cirrhosis. Dalam: Gerbes AL, editor.
Ascites, hyponatermia, and hepatorenal syndrome: progress in treatment.
Munich: Karger; 2011. hlm. 112-21.

11. Siqueira F, Kelly T, Saab S. Refractory ascites. Gastroenterol Hepatol.


2009;5(9):647-56.

19
12. Salerno F, Gerbes A, Gines P, Wong F, Arroyo V. Diagnosis, prevention,
and treatment of hepatorenal syndrome in cirrhosis. Gut 2007;56(9):1310-
8.

13. Wadei HM, Mai ML, Ahsan N, Gonwa TA. Hepatorenal syndrome:
pathophysiology and management. Clinical journal of the American
Society of Nephrology : CJASN. 2006 Sep;1(5):1066-79.

14. Wadei HM. Hepatorenal syndrome: a critical update. Semin Respir Crit
Care Med. 2012;33:55-69.

15. Gines P, Guevara M, Arroyo V, Rodes J. Hepatorenal syndrome. Lancet.


2003;362:1819-27.

16. Cardenas A. Hepatorenal syndrome: a dreaded complication of end-stage


liver disease. Am J Gastroenterol. 2005;100:460-7.

17. Nadim M, Kellum J, Davenport A, Wong F, Davis C, Pannu N, et al.


Hepatorenal syndrome: the 8th international consensus conference of the
Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) Group. Crit Care. 2012
2012/02/09;16(1):1-17.

18. Bruce A, Runyon. Hepatorenal syndrome. Wolters Kluwer; 2008 [diunduh


4 April 2014]. Tersedia dari:
http://www.uptodate.com/contents/hepatorenal-syndrome - H97742010.

19. Fisher EM, Brown DK. Hepatorenal syndrome beyond liver failure. Adv
Crit Care. 2010;21(2):165-86.

20. Tsao GG. Ascites. Dalam: Dooley JS, Lok AS, Burroughs AK, Heathcote
J, editor. Sherlock's diseases of the liver and biliary system. Edisi ke-12.
West Sussex: Wiley Blackwell; 2011. hlm. 222.

20

Anda mungkin juga menyukai