net/publication/316595278
CITATIONS READS
4 2,138
1 author:
Ascarya Ascarya
Bank Indonesia
128 PUBLICATIONS 548 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Analisa Potensi Zakat dan Kebijakan Optimalisasi Zakat di Indonesia View project
All content following this page was uploaded by Ascarya Ascarya on 30 April 2017.
Published in Iqtisodia, Jurnal Ekonomi Islam Republika, pp.5, August 26, 2010.
inflasi indeks harga konsumen) sebagai tujuan akhir. Model‐model tersebut, secara
sederhana dapat dinyatakan sebagai berikut, sesuai dengan jalur transmisinya.
IPI = f (IFIN, IDEP, PUAS, SBIS) dan CPI = f (IFIN, IDEP, PUAS, SBIS)
Dimana, IPI adalah indeks produksi industri, CPI adalah indeks harga konsumen, IFIN adalah
pembiayaan perbankan Syariah, IDEP adalah pendanaan perbankan Syariah, PUAS adalah
bagi hasil Pasar Uang Antarbank Syariah, dan SBIS adalah Surat Berharga Bank Indonesia
Syariah. Representasi kedua model diatas merupakan penyederhanaan, karena
sesungguhnya semua variabel dianggap endogen dan persamaan dalam bentuk vektor,
sehingga secara keseluruhan model persamaan VAR/VECM membentuk circular causation.
Hasil Estimasi
Setelah dilakukan beberapa prosedur pengolahan data untuk metode VAR/VECM, seperti uji
akar unit, uji stabilitas, uji optimum lag, dan uji kointegrasi sesuai persyaratan, diperoleh
hasil sebagai berikut.
Hasil Granger Causality untuk model IPI/output (lihat gambar 1) menunjukkan adanya
hubungan sebab‐akibat dari SBIS ke PUAS (positif), dari Pendanaan ke Pembiayaan (positif),
dan dari Pembiayaan ke IPI/output (positif). Selain itu, ada feedback dari IPI ke Pendanaan
(negatif), dari Pendanaan ke PUAS (negatif) dan dari Pembiayaan ke PUAS (positif). Tanda
(+/‐) didapat dari hasil Impulse Response Function (IRF).
Gambar 1. Jalur Transmisi Kebijakan Moneter Syariah ke Output
OUTPUT
+ P U A S +
+
SBIS −
+
PENDANAAN PEMBIAYAAN
−
Hasil Granger Causality untuk model CPI/inflasi (lihat gambar 2) menunjukkan adanya
hubungan sebab‐akibat dari SBIS ke PUAS (positif) dan dari Pendanaan ke Pembiayaan
(positif). Selain itu, ada feedback dari inflasi ke PUAS (positif), dari inflasi ke Pembiayaan
(negatif), dan dari Pendanaan ke PUAS (negatif). Hubungan sebab‐akibat dari variabel‐
variabel Syariah ke inflasi tidak ada.
Gambar 2. Jalur Transmisi Kebijakan Moneter Syariah ke Inflasi
INFLASI
+
+ P U A S +
−
SBIS +
PENDANAAN PEMBIAYAAN
−
Hasil Granger Causality menunjukkan bahwa transmisi kebijakan moneter Syariah melalui
jalur pembiayaan perbankan memberikan sumbangan positif terhadap pertumbuhan
ekonomi, namun tidak memberikan sumbangan kepada inflasi. Hal ini sesuai dengan
karakter ekonomi Syariah yang pada dasarnya adalah kegiatan produktif di sektor riil.
Sementara itu, instrumen kebijakan moneter yang ada saat ini (SBIS) belum dapat
mempengaruhi jalur pembiayaan perbankan. Hal ini dapat disebabkan karena SBIS masih
berciri instrumen sektor keuangan (imbal hasilnya belum dikaitkan dengan imbal hasil
sektor riil), sedangkan instrumen moneter Syariah yang baik adalah juga instrumen sektor
riil, seperti bagi hasil (mudharabah dan musyarakah), jual beli (murabahah), sewa (ijarah)
atau lainnya, yang mencerminkan imbal hasil sektor riil.
Hasil Impulse Response Function (IRF) untuk model IPI/output (lihat gambar 3) menunjukkan
bahwa adanya perubahan atau shock pembiayaan, pendanaan, dan PUAS akan
meningkatkan output secara permanen dalam jangka panjang. Sedangkan, perubahan SBIS
tidak memberikan pengaruh apapun terhadap output. Pengaruh shock mereda setelah 12
periode (satu tahun).
Gambar 3. Pengaruh Variabel Syariah terhadap Output.
0.008
0.006
0.004
0.002
0
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46
‐0.002
‐0.004
‐0.006
‐0.008
Sementara itu, hasil IRF untuk model CPI/inflasi (lihat gambar 4) menunjukkan bahwa
adanya perubahan atau shock variabel‐variabel Syariah tidak mempengaruhi inflasi secara
nyata. Bahkan,
B sho
ock peningkatan pend
danaan Syariah berpen
ngaruh terh
hadap menu
urunkan
inflasi secara
s permanen dalam jangka panjang. Pengaruh shock
s mereeda setelah
h 6 – 9
periodee/bulan.
Gambar 4.. Pengaruh Variabel Syyariah terhadap Inflasi.
PEMBIA
AYAAN PENDANAAN
N PUA
AS SBIS
0.008
0.006
0.004
0.002
‐2E‐18
1 6 11 16 21 26 31 3
36 41 46
‐0.002
‐0.004
‐0.006
‐0.008
Hasil IR
RF mengko onfirmasi dan
d mempeerkuat hasil Granger Causality, dimana trransmisi
kebijakaan moneter Syariah m melalui jalurr pembiayaaan perbankan berpenggaruh positif dalam
meninggkatkan perttumbuhan ekonomi, n namun tidakk memicu in nflasi. SBIS jjuga terlihaat belum
berperaan signifikan
n dalam meempengaruh hi jalur pem
mbiayaan peerbankan.
Hasil Fo
orecast Erro
or Variance Decomposiition (FEVD)) untuk mod
del IPI/outp
put (lihat gaambar 5)
menunjjukkan bah hwa pembiayaan dan n pendanaaan adalah penyumbang terbessar dari
perubahan pertumbuhan ekonomi
e a
atau outpu
ut. Sedanggkan, peraan SBIS te erhadap
pertummbuhan ekon nomi hampir tidak adaa.
Gambar 5. Peran Vaariabel Syariah terhadaap Output
OUTPUT PEMBIAYA
AAN PEND
DANAAN P
PUAS SBISS
100%
95%
90%
85%
1 6 11 16 21 26
6 31 3
36 41 46
Sementtara itu, haasil FEVD untuk modeel CPI/inflassi (lihat gam
mbar 6) meenunjukkan
n bahwa
variabeel‐variabel Syariah
S sanggat kecil peerannya dallam menyumbang inflasi. Peran terbesar
t
terhadaap inflasi diberikan oleh pendanaan dengan
n pengaruh
h menekan atau menu
urunkan
inflasi (lihat hasil IR
RF).
Gambar 6. Peran V
Varibel Syariah terhadaap Inflasi
INFLASI PEMBIAYA
AAN PEND
DANAAN P
PUAS SBIS
100%
95%
90%
85%
1 6 11 16 21 26
6 31 3
36 41 46
pulan dan Rekomendassi
Kesimp
Hasil keseluruhan
k n Granger
r Causalityy dan VAR R/VECM seecara konssisten dan n saling
menguaatkan menu unjukkan peentingnya pperan perbaankan Syariiah dalam ttransmisi ke ebijakan
moneteer ganda di Indonesia melalui jalu ur pembiayyaan perban nkan, karen
na variabel‐‐variabel
Syariah, khususnyya pendanaaan dan peembiayaan Syariah, memberikan
m n pengaruhh positif
terhadaap pertumb buhan ekonnomi, namun tidak memberikan
m n pengaruh
h negatif te
erhadap
inflasi, meskipun ppangsa perb bankan syariah baru m mencapai 2,,6% di akhirr tahun 200 09. Hasil
ini jugaa sejalan dengan haasil penelitian Ascarya (2010) tentang
t ‘A
Alur Transmmisi dan
Efektivitas Kebijakaan Moneterr Ganda di IIndonesia’.
Lebih jaauh lagi, daampak positif jalur peembiayaan perbankan Syariah teelah tampak dalam
sistem keuangan Syariah dii Indonesiaa yang maasih dalam tahap perrtumbuhan (infant
industryy) yang maasih banyakk memiliki kelemahan di berbagaai hal. Keleemahan kritis yang
utama aadalah bahwa keuangaan/moneter Syariah di Indonesia baru dapatt menegakkkan satu
pilar daari tiga pilaar utama yang
y melipuuti sistem uang berbaasis emas, sistem perbankan
berbasis cadangan n penuh, dan sistem op perasi berbaasis bebas rriba dan bebas spekulaasi (lihat
Meera, 2004 dalam bukunyaa ‘The Theftt of Nationss’ dan Ascaarya et al., 2008 dalamm paper
‘Toward ds Integratted Moneta ary Policy under Dua al Financial System: In
nterest Sysstem vs.
Profit‐aand‐Loss Sha aring System
m’).
Kelemahan keduaa adalah kelemahan‐kkelemahan operasional, seperti masih ren ndahnya
pembiaayaan berbaasis bagi haasil (equity based), sep
perti mudha
arabah dan
n musyaraka ah (bagi
hasil), dan masih mendominasinya peembiayaan berbasis hutang h (debt based), seperti
muraba ahah (jual‐b
beli), yang mmembuat p perbankan SSyariah mirip sifatnya dengan perbankan
konvensional (lihaat Ascarya,, 2009 dalam paperr ‘The Lackk of Profitt‐and‐Loss Sharing
Financin ng in Indonesia’s Islam
mic Banks: Revisited’).
Kelemahan ketiga, perbankan Syariah masih terlalu kecil pangsa pasarnya dan belum
memiliki pricing benchmark sendiri yang mencerminkan imbal hasil nyata di sektor riil,
sehingga perbankan Syariah masih mem‐benchmark pricing‐nya ke perbankan konvensional.
Hal ini pula yang memotivasi Bank Indonesia untuk meningkatkan pangsa pasar perbankan
Syariah dan melakukan studi‐studi untuk membangun benchmark imbal hasil sektor riil.
Maka, tidak diragukan lagi bahwa kondisi ekonomi suatu negara akan semakin baik dan
stabil dengan semakin besarnya pangsa perbankan dan keuangan Syariahnya dan/atau
dengan semakin tingginya tingkat ke‐Syariah‐an pilar‐pilar keuangan Syariah dengan segala
subsistem operasionalnya.
Hasil penting lain penelitian ini adalah masih lemahnya instrumen utama kebijakan moneter
Syariah Bank Indonesia dengan SBIS‐nya yang pricing‐nya masih mem‐benchmark kepada
SBI satu bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa SBIS baru mampu mempengaruhi imbal
hasil di Pasar Uang Antarbank Syariah (PUAS), namun belum efektif mempengaruhi jalur
pembiayaan perbankan Syariah dalam mencapai tujuan‐tujuan makro ekonomi. SBIS dan
PUAS yang mencerminkan sektor keuangan Syariah belum terhubung dengan pendanaan
dan pembiayaan perbankan Syariah yang mencerminkan sektor riil Syariah. Namun
demikian, beragamnya instrumen‐instrumen moneter Syariah lainnya yang telah
dikembangkan Bank Indonesia menunjukkan perkembangan positif kearah penyempurnaan
instrumen moneter Syariah yang semakin efektif (lihat Ascarya, 2010 dalam paper ‘The
Future of Dual Monetary Policy in the Light of Global Financial Crises: The Case of
Indonesia’). Penyempurnaan SBIS dengan pricing yang mencerminkan real return sektor riil
akan menghubungkan sektor keuangan Syariah dan sektor riil Syariah, sehingga efektivitas
kebijakan moneter Syariah dalam mencapai tujuan ekonomi makro akan semakin baik.
Penyempurnaan kelemahan‐kelemahan keuangan/moneter Syariah di atas tidak akan dapat
berjalan mulus tanpa adanya komitmen kuat dari para stakeholders‐nya, mulai dari
pemerintah, regulator, pelaku ekonomi Syariah, akademisi, dan masyarakat secara umum.
Dengan dukungan dari semua stakeholders, ekonomi dan keuangan ganda Indonesia yang
stabil dan tumbuh berkesinambungan bukan merupakan hal yang mustahil untuk dicapai.