Anda di halaman 1dari 13

Kajian Special bersama Abi syatori

Sabtu, 31 Juli 2021


19.45-22.00 WIB

Memuliakan hidup dengan Ilmu


“Semua kita belajar insyaAllah, karena memang kita tidak akan bisa mulia kecuali dengan Ilmu”
Ini pula yang menyebabkan kita semua insyaAllah dipertemukan oleh Allah SWT di tempat ini.
Ammah-ammah DS XI sedang bersama dengan ustadzah dari markas Al-qur’an belajar tentang
makhorijul khuruf.
Berbicara tentang ilmu, ada satu hadits nabi riwayat imam bukhori yaitu:

ِ ‫َمنْ ي ُِر ِد هللاُ ِب ِه َخيْرً ا ُي َف ِّق ْه ُه فِي ال ِّد‬


‫ين‬
Artinya: “Barangsiapa yang Allah kehendaki baik, maka Allah akan membuatnya faqih terhadap
agama”
Rasulullah SAW menggunakan kata ُ‫ يُفَقِّ ْهه‬bukan yua’llim atau yufahhim/afhama. Artinya, untuk
menjadi baik, maka cara Allah SWT menjadikan seseorang itu baik yaitu Allah buat orang
tersebut faqih terhadap masalah agama.
Hadits ini tentu tidak di pahami secara pasif. Misalnya “Inikan bahasanya man yuridillah, siapa
yang dikendaki oleh Allah. Saya nunggu aja. Terserah Allah, kalau saya dibuat faqih oleh Allah,
maka faqihlah saya terhadap agama. Tapi kalau tidak, ya mau gimana lagi.”
Tentu tidak mungkin hadits Rasul SAW dimaknai seperti itu. Karena makna seperti itu jauh nian
dari fungsi hadits, termasuk fungsi qur’an. Karena di quran ataupun hadits, secara teks nya
mengandung makna aktif. Walaupun ungkapannya hanya sebatas berita. Seperti hadits ini yang
hanya berita saja. Bukan (dalam istilah balagoh) kalam khobar, bukan imsya’. Kalam khobar itu
hanya mengabarkan. Kalau imsya’ itu berarti ada unsur pesan. Bisa perintah bisa larangan. Jadi,
hadits ini kalau secara teksnya/nashnya adalah kalam khobar yang bermakna imsya’
“Barangsiapa yang Allah kehendaki baik, Allah akan buat dia paham terhadap agama.”
Dimanakah letak nilai aktifnya? Nialai aktifnya adalah bagaiman kita termasuk orang yang
dikehendaki oleh Allah. Berusaha, berikhtiar untuk menjadikan diri kita sebagai diri yang
dikehendaki oleh Allah SWT faqih terhadap agama. Karena kalau sudah faqih terhadap agama,
maka InsyaAllah jaminannya ini (Rasulullah yang menjamin melalui hadits riwayar bukhori ini)
akan menjadi orang yang baik. Kata khoir itu baik yang hadir dalam kehidupan kita melalui
ikhtiar/usaha kita. Jadi, itulah mengapa kata baik di dalam al quran itu mengandung banyak
istilah. Ada khoir, toyyib, ma’ruf, bir, sholih. Semuanya memiliki arti baik, tapi masing-masing
punya spesifikasi. Di hadits ini, rasul menyebut baik itu dengan khoir. Berarti harus dengan
ikhtiar/usaha. Usahanya adalah bagaimana kita termasuk orang-orang yang dikendaki oleh Allah
faqih terhadap agama.
Untuk itu, kita perlu mengetahui marohit tafqih. Marohil itu tahapan-tahapan agar difaqihkan
oleh Allah SWT. Jadi, yang memfaqihkan itu Allah, tapi kita kemudian melakukan tahapan-
tahapannya untuk mendapatkan tafqih dari Allah. Denga tafqih Allah kepada kita terhadap
masalah agama, kita akan menjadi orang yang baik.
Kajian Special bersama Abi syatori
Sabtu, 31 Juli 2021
19.45-22.00 WIB
1. Al fahmu (‫)الفهم‬
Bagaimana kita memahami agama. Bagaimana kita menjadi orang yang paham pada
agama. Karena, Allah SWT tidak akan mungkin memfaqihkan seseorang terhadap agama
kalau orang itu tidak mau memahami agama. Jadi, untuk bisa difakihkan oleh Allah
terhadap agama, kita harus menapaki tangga pertama yaitu al fahmu (memahami agama).

2. Al Idraq ‫) )االد راك‬


3. Al Amal
Setelah al-a’mal, berarti proses tafqihnya sudah berjalan. Karena yang namanya
yufaqqihu fiddin itu tidak sebatas memahami. Orang yang faham agama, namun tidak
mengamalkan agama itu, maka dia tidak bisa dikatakan sebagai orang yang faqih
terhadap agama. Jadi, kandungan di dalam faqih (yang melakukannya adalah Allah SWT)
ada 3 yaitu al fahmu, al idrak dan al ‘amal. Kelak nanti, idrak akan menjadi semacam
jembatan antara faham dengan ‘amal. Jadi, kalau seandaikan ada orang yang paham
agama, tetapi dia tidak idrak terhadap agama, maka pahamnya dia pada agama, tidak
akan menjadi amal baginya.
Kadang kita lihat, bahkan dalam kehidupan kita sendiri. Sebagai contoh: pengamalan
ilmu tentang kesabaran yang sering kita angkat tapi memang rasanya masih belum lulus.
Siapa di antara kita yang belum paham tentang sabar? kita semua sudah dapat meterinya.
Kita paham apa itu sabar. Paham pengertiannya, keutamaannya, pahalanya. Tapi,
pahamnya kita tentang masalah sabar dimana sabar adalah masalah agama juga. Jadi,
pengertian agama di sini luas, tidak hanya tentang urusan fiqih, tapi masalah agama
secara umum. Urusan agama pasti urusan kehidupan. Sudah paham tentang sabar, tapi
ada ga orang yang sudah paham makna tentang sabar, tapi belum bisa mengamalkan
sabar? Rasanya kok berat. Hal demikian sangat boleh jadi karena tidak ada idrak. Tidak
ada jembatan yang menghubungkan antara al-fahmu dengan al-amal. Jadi, idrak
fungsinya sebagai jembatan. Maka dari itum idrak adalah keharusan bagi siapa saja yang
ingin difakihkan/difahamkan oleh Allah SWT terhadap masalah agama.
Contoh lain tentang memaafkan. Siapa yang tidak paham keutamaan memaafkan, cara
memaafkan. Tapi kok mengamalkannya berat. Ikhlas berat. Menahan marah berat. Ini
semua masalahnya adalah karena tidak ada idrok.
Maka, jika marohit tafqih adalah al fahmu, al idrok dan al a’mal, maka apa yang harus kita
lakukan agar ketiganya bisa kita tapaki satu demi satu.
1. Al fahmu
Al fahmu tidak bisa tidak kecuali dengan bit ta’allum/dengan belajar. Jadi, proses al
fahmu bisa kita selesaikan dengan kita belajar. At ta’allum nanti sepunuhnya adalah amal
antara kita dengan Allah. Itu bagian dari yang kita sampaikan kepada Allah “Ya Allah,
lihatlah hambamu ini sudah melakukan proses untuk bisa mendapatkan tafqih darimu.”
Belajar itu kepada guru. Belajar tidak bisa dengan cara menyepi, melainkan dengan hadir
di majelis ilmu. Setidak-tidaknya membaca buku, walaupun membaca buku tetap harus di
konfirmasikan. Setingkat kita, ketika membaca buku, maka kita tidak boleh
menyimpulkan apa yang kita baca, sebelum kesimpulan kita ini kita konfirmasikan
Kajian Special bersama Abi syatori
Sabtu, 31 Juli 2021
19.45-22.00 WIB
kepada Ahlinya. Kemarin ustadz baca di kitab Ihya Ulumuddin. Imam Ghozali
mengatakan bahwa begini dan begitu. Dari apa yang beliau sampaikan saya memiliki
kesimpulan seperti ini. ustadz/ah apakah kesimpulan saya benar dari apa yang saya baca.
Seperti ini berarti kita sudah mengkonfirmasikan. Kesimpulan kita bisa bisa yang dapat
dipengaruhi oleh faktor-faktor subyektif. Jadi setiap membaca kita apapun. Ada
pernyaataan seperti ini dan itu, maka harus ditabayyun/dikonfirmasikan. Apalagi kalau
yang kita al quran langsung atau hadits. Kita membaca begini dan begitu dan kesimpulan
kita begini. Sementara proses ta’allumnya kan belum tuntas. Maka, perlu
dikonfirmasikan kepada ahlinya.
Misalnya kita memaca quran:

۟ ُ‫ُّض َع َف ًة ۖ َوٱ َّتق‬


َ ‫وا ٱهَّلل َ لَ َعلَّ ُك ْم ُت ْفلِح‬
‫ُون‬ ۟ ُ‫وا اَل َتأْ ُكل‬
َ ٰ ‫وا ٱلرِّ َب ٰ ٓو ۟ا أَضْ ٰ َع ًفا م‬ َ ‫ٰ َٓيأ َ ُّي َها ٱلَّذ‬
۟ ‫ِين َءا َم ُن‬
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba secara berlipat lipat”
‫ أَضْ ٰ َع ًفا‬artinya berlipat-lipat, sedangkan ‫ُّض َع َف ًة‬ َ ٰ ‫ م‬artinya diatas berlipat lipat. Berarti makna
dari ‫ُّض َع َفة‬ َ ٰ ‫أَضْ ٰ َع ًفا م‬adalah sangat berlipat lipat. Nah, kalau orang menyimpulkan dari ayat
ini, “oh, berarti yang tidak boleh itu adalah memakan riba yang berlipat-lipat. Jadi kalau
semisal saya memakan riba yang nilainya hanya ½ persen (kecil), berarti boleh dong.”
Karena ayat mengatakan, tidak boleh mengatakan riba yang ‫ُّض َع َف ًة‬ َ ٰ ‫أَضْ ٰ َع ًفا م‬. Nah, ini hanya
½ persen itu kan tidak termasuk ‫ َع َفة‬0 ‫ُّض‬ ْ َ‫أ‬berarti boleh. Ini berarti menarik
َ ٰ ‫ ٰ َع ًفا م‬0 ‫ض‬
kesimpulan dari apa yang dibaca di al quran, hadits, buku-buku tanpa dikonfirmasikan
bisa sesat lagi menyesatkan.
2. Al Idrak. Seperti kita membuat jembatan. Menghubungan antara al fahmu dengan al
a’mal. Wujud al idraq adalah bil adab/dengan adab. Secara bahasa, idraq artinya
menemukan. Jika al fahmu itu maknanya juga proses menemukan ilmu. Orang yang
paham ilmu berarti orang yang sudah menemukan ilmu. Tetapi, kalau proses al fahmu, yg
memperoleh ilmu adalah akal. Jadi, al fahmu itu wilayahnya akal. Mendapatkan ilmu,
tapi yang mendapatkan ilmu adalah akal. Orang yang belajar, berkonsentarasi, mencerna
dengan akalnya, kemudian dia mendapatkan ilmu. Sementar al idraq yakni menemukan
ilmu, tapi tidak di kepala, tapi di dada, tidak di akal, tapi di hati. Jadi, hati kita
menemukan ilmu dan menemukan ilmu itu tidak hanya di akal, tapi ada di hati. Sehingga,
untuk bisa menjadikan ilmu itu menjadi idraq (yang kita temukan di dalam hati) adalah
dengan adab. Tidak ada cara lain kecuali dengan adab. Misalnya, belajar ilmu tentang
sabar. Kita ta’allum/belajar, maka kita paham kalau sabar itu seperti ini dan itu.
Kemudian kita melakukan proses adab. Dengan adab ini, akhirnya kita bisa menidraki
ilmu tentang sabar. Begitu idrok, maka kita menemukan ilmu tentang sabar itu tidak
hanya di akal, tapi di hati. Jadi, hati itu betul-betul merasakan sabar. Hati kemudian
menjadi tertarik untuk sabar. Sehingga yang terjadi adalah dia bisa sabar. Sabar itu
menjadi sesuatu yang mudah, maka dia bisa mengamalkan ilmu tentang sabar itu.

3. Ketika ilmu berbuah menjadi amal. Amal yang betul-betul amal adalah amal yang kita
lakukan semata-mata bi rohmat. Amal yang kita lakukan betul-betul sepenuhnya karena
rahmat Allah SWT. Artinya, nantinya akan berbeda orang yang beramal yang disertai
Kajian Special bersama Abi syatori
Sabtu, 31 Juli 2021
19.45-22.00 WIB
dengan keyakin bahwa ini adalah rahmat dari Allah dengan orang beramal yang tidak
yakini bahwa itu adalah rahmat Allah, maka kualitas amalnya menjadi berbeda.
Analoginya, amal itu seperti wadah. Rahmat itu adalah isinya. Sehingga kalau seandainya
ada orang yang melakukan amal kemudian dia merasa bahwa dia bisa beramal karena
rahmat Allah. Saya bisa sabar, memaafkan kesahalah orang lain, saya bisa membalas
keburukan orang dengan kebaikan, jujur, hafal quran adalah karena rahmat Allah. Jadi,
apapaun amalnya selalu dipahami bahwa itu adalah rahmat Allah. Maka, kalau
diibaratkan, dia itu seperti wadah yang ada isinya. Tentu ini akan sangat bermafaat bagi
kehidupan. Namun, jika ada orang yang beramal dan rajin, tetapi dia merasa bahwa dia
beramal itu bukan karena rahmat Allah, namun karena saya berjuang dan saya
bersungguh2, berkorban. Kalau saya tidak berkorban dan berusaha, maka tidak mungkin
saya beramal. Jadi, dia menyandarkan/ mengi’timadkan amalnya kepada
usahanya/ikhtiarnya. Orang yang demikian itu, sebenarnya seperti orang yang hanya
dapat wadah, namun tidak memiliki isi. Seperti orang haus, dikasi gelas, tapi di gelas
tidak airnya. Gelas yang demikan tidak ada manfaatnya bagi orang kehausan. Maka, amal
yang tidak disertai dengan rahmat, itu menjadi amal yang sia-sia. Amal yang tidak
berfaedah. Amal yang sekedar amal, tapi tidak ada pengaruhnya. Misalnya, jadi
walaupun amalnya banyak, tapi ada misalnya akhlaknya buruk. Dia rajin shalat, tapi
masih suka mencela orang lain. Itu adalah akibat dari orang yang beramal tanpa disertai
denga rahmat Allah SWT. Rahmat, jembatannya adalah adab. Jadi, kalau mau dibuat
silang, faham membuat orang menjadi ta’allum. Ta’allum kemudian berusaha dengan
adab, Adab kemudian membuat orang menjadi idrak, idrak membuat orang menjadi
beramal. Begitu beramal, maka semata-mata karena rahmat. Jadi, urutannya faham
(dengan ta’allum), ta’allum disertai dengan adab, adab melahurkan idrak, idrak
melahirkan amal, amal yang betul-betul dihasilkan dari idrak itu akan membuat seseorang
merasa bahwa saya beramal semata-mata karena rahmat Allah SWT. Maka, kuncinya
adalah pada idrak ini. yakni bagaimana proses ta’allum bisa menghasilkan idrak, dan
proses ta’allum bisa menghasilkan idrak kalau dengan adab. Oleh karena itu, kita perlu
memahami kaidah bagaimana caranya agar proses idrak itu bisa berjalan dengan baik.
Menghadirkan Adab di Majelis Ilmu
Proses idrak akan berjalan dengan baik adalah saat proses al fahmu itu disertai
dengan adab. Adab menyertai ta’allum. Jadi, tidak kemudian yang penting belajar, adab
belakangan. Waktu dia belajar, dia tidak memakai adab. Maka konsekuensinya adalah
sangat mungkin dia al fahmu. Tapi tidak akan mungkin apa yang dia pahami akan
membuat dia menjadi idrak. Karena pada waktu proses at taa’llumnya tidak disertai
dengan adab. Jadi, kalau boleh disimpulkan, bagaimana agar kita menemukan ilmu yang
tidak hanya di akal namun juga di hati, bisa dilakukan dengan cara mempertemukan at
ta’allum dengan adab yang menjadi idrak. Taa’llum adalah proses memahami, pada saat
memahami tersebut ada idrak dimana akan menajadi jembatan untuk menuju ke al a’mal.
Oleh karena itu, tugas kita adalah bagaimana mempertemukan ta’allum dengan adab.
Caranya adalah menghadirkan adab di majelis ilmu. Jadi, prosesnya bareng, tidak sendiri
sendiri. Adapun 3 niatnya adalah:
Kajian Special bersama Abi syatori
Sabtu, 31 Juli 2021
19.45-22.00 WIB
a. Hadir di majelis ilmu diniatkan adalah semata untuk akhirat.
Jadi, ketika kita menuntut ilmu apapun, niatnya hanya satu yaitu akhirat. tidak ada
niat dunia dalam bentuk apa saja. Contohnya: “waduh, kemarin saya kalah debat nih.
Saya kurang dalam menguasai dalil tentang topik yang kemarin diperdebatkan. Kalau
begitu, saya harus belajar.” Dia belajar ilmu tentang dalil yang dia perdebatkan, tetapi
tujuannya biar menang melawan lawan debatnya. Berarti, dia mencari ilmu tetang
masalah itu adalah bukan li ajlil akhiro, tetapi li ajlid dunnya.
Sama saja ektika belajar di kampus, ilmu apa saja semuanya harus untuk akhirat.
Walaupun kelihatannya ilmu tentang dunia. Misalnya, kita mencari ilmu tentang kiat
berdagang online sukses. Kelihatannya dunia, tapi tetap saja waktu belajar ilmu tentang
kiat sukses bisnis di masa pandemi, tetap saja li ajlil akhirohnya harus kuat. Maka,
pandai-pandailah berniat. “saya mencari ilmu tentang ini. memang ini tentang bagaimana
agar dapat meraup keuntungan besar di dalam dagang saya, namun saya berniat dengan
saya menguasai ilmunya, saya akan mendapatkan keunutngan yang besar dan saya
berniat keuntungan ini akan saya investasikan untuk akhirat.” maka, insyaAllah tidak
berubah tujuan dari belajar ilmu tentang dunia itu.
Kalau tujuannya untuk dunia, maka berat. Banyak riwayat disebutkan kalau orang-orang
yang belajar suatu ilmu yang mestinya diniatkan untuk akhirat, tapi dia niatkan untuk
dunia, maka dia tidak akan bisa mencium bau syurga. Padahal harumnya bau syurga itu
sudah bisa tercium dalam jarak 500 tahun perjalanan. Artinya, syurganya masih jauh (500
tahun perjalanan), tidak terbayang sejauh dari jogja ke mana. Tapi ini tidak berlaku untuk
orang yang menuntut ilmunya yang harusnya untuk akhirat. Berarti orang yang seperti
ini, dengan syurganya sangat jauh. Berarti kalau syurga nya jauh, ilmu dia tidak menjadi
a’mal. Orang tidak mungkin jauh dari syurga kecuali dia tidak memiliki amal. Walaupun
ada amal, tetapi tidak menjadi amal yang makbul/diterima.
b. Menjaga hati dari segala hal-hal yang buruk.
Ini luas, intinya menjadi hati. Misalnya, ada orang yang mengaji tentang sabar lagi
dan lagi. Sudah rasa bosen, sudah lima kali mendengar ilmu tentang sabar. Berarti dia
tidak menjaga hatinya terhadap ilmu sabar.
Atau misalnya kepada sesama teman. Saat belajar offline, saat duduk kok orang di
sampingnya belum mandi. Kemudian di dalam hati mengatakan “Tidak beruntung banget
saya, mengaji berdampingan dengan orang yang belum mandi. Jadi mual begini.” Berarti
dia tidak menjaga hati di majelis. Apalahi kalau tidak menjaga hati terhadap yang
menyampaikan ilmu. “orang kayak gini kok menyampaikan ilmu. Aduh, dia jelek. Dia
kan anak kemarin sore. Dia kan adek kelas saya. Mana mungkin kok dia beri ilmu ke
saya. Berarti dia tidak menjaga hati dari segala yang buruk.
Kadang tentang masalah menjaga hati ini kita di uji betul. Sejauh mana kita bisa
menjaga hati dalam menuntut ilmu. Kalau anak-anak bisa lulus dengan simulasi ini, maka
insyAllah dengan jaminan anak-anak lulus adab.
Seaandainya ammah mau datang ke majelis ilmu yang rutin diadakan, meskipun
ustadznya ganti-ganti. Sudah istiqomah setiap hari apa di majelis itu kita datang. Ngepasi
di hati itu pas sedang jalan menuju ke majelis ilmu, melewati rumah seorang ustadz. Nah
pada saat lewat, ustadz sedang mara-marah dengan istri dan pembantunya. Kita tidak
Kajian Special bersama Abi syatori
Sabtu, 31 Juli 2021
19.45-22.00 WIB
mengira bahwa Sempat melihat dan sempat terekam. Tapi sempat id kepala terekam
bagaimana ustadz marah pada istri dan pembantunya. (sempat melihat dan terekam). Pas
hadir di majelis ilmu, dan pengajian dimulai, ternyata yang ngisi pengajian saat itu adalah
ustdz tadi. Ternyata temanya tentang sabar. Saat di pengajian tersebut beliau bahkan
sempat mengatakan “pokonya kita harus menjadi orang yang sabar. Kepada suami, saya
pesan betul. Jadilah suami yang sabar, jangan sampai marah sama istri. Jangan sekali-kali
marah sama istri.”
Maka, bagaimanakah respon kalian? Hati kita bagaimana? Kalau tiba-tiba hati kita bilang
“Halah, tadi baru saja saya lihat beliau marah pada isti. Orang kayak gini kok
menyampaikan ilmu.”
Kalau kemudian kita membiarkan bisikan seperti itu ada pada diri kita, berarti kita
tidak menjaga hati. Gimana bisa menjaga hati, sementara dia ngomong tapi dia tidak
mengamalkan. Padahal, kalau kita fikirkan. Sebenarnya kita datang ke majelis itu kan
agar mendapatkan ilmu dari yang menyampaikan. Ketika beliau belum mengamalkan
ilmu yang beliau sampaikan, itu ada urusannya dengan kita tidak? Tidak ada. Itu adalah
urusannya beliau dengan Allah SWT. Bahwa beliau marah-marah dengan istrinya, itu
urusan beliau dengan istinya. Kita sifatnya adalag orang luar. Nah, kalau tidak ada
urusannya denga kita, maka kenapa kemudian kita membawa-bawa kenyataan beliau
belum mengamalkan ilmu yang beliau sampaikan. Urusannya kita dengan beliau adalah
beliau menyampaikan ilmu, dan apa yang beliau sampaikan adalah benar dan baik. Andai
saja kita bisa menjaga hati saat itu, maka akan sangat mungkin Allah SWT
menghujamkan ilmu tentang sabar di hati kita lebih dalam dan kuat. Bila dibandingkan
bila kita mendapatkan ilmu tentang sabar itu dari orang yang sudah nampak sabarnya.
Jadi, kalau kita mendapatkan ilmu dari orang yang sudah mengamalkan ilmunya.
insyaAllah kalau kita betul-betul memakai adab, itu akan ada di hati. Tapi kalau dari
orang yang belum mengamalkan, itu akan menghujam lebih kuat. Kenapa? Karena pada
saat kita mendapatkan ilmu dari orang yang belum mengamalkan ilmunya, kesemapatan
menjaga hati lebih kuat, dibandingan kita mendapatkan ilmu dari orang yang sudah
mengamalkan. Menjaga hatinya tidak perlu pakai berjuang. Sehingga, kadang kita
mendapatkan ilmu lebih kuat dari orang-orang yang belum mengamalkan. Sepanjang kita
bisa menjaga hati.
Dulu, abi pernah mendapatkan keterangan seperti ini. Kenapa guru disebut guru?
karena keterangannya sulit untuk dipahami. Jadi, kalau ketangan guru itu mudah dipahmi
berarti dia bukan guru, tapi dia adalah pengajar/mudarris. Bukankah dalam sulitnya kita
memahami ilmu yang disampaikan oleh seorang guru, kita mempunyai kesempatan
menjaga hati lebih nyata, daripada kita mendengarkan ilmu dari orang keterangannya
sangat mudah dipahami.
Pengalaman Abi saat SMP, kalau guru keterangannya sulit, biasanya bukunya isinya
gambar/gambar gurunya. Nah, ini namanya tidak ada adab. Kalau gurunya tidak
memhamkan, namun kita tetap menjaga dengan adab. Dalam bahasa kitabnya: “istima’
wal inshod”. Istima’ artinya tetap mendengarkan apa yang dikatakan guru. Dan Inshod
artinya tetap memperhatikan. Walaupun pada akhirnya kita tetap tidak dipaham juga. Hal
demikian tidak apa-apa, itu bukan kerugian melainkan itu keuntungan. letak
Kajian Special bersama Abi syatori
Sabtu, 31 Juli 2021
19.45-22.00 WIB
keuntungannya adalah kita menunjukkan kepada Allah “Ya Allah, inilah hambamu yang
tetap menjaga hati walaupun apa yang disampaikan oleh guru tidak dipahami, kelak
Allah SWT akan menjadikan ilmu yang belum nampak/belum dipahami di kepala itu
menjadi terasa di hati. Jadi, belum dipahami di kepala, namun dirasakan di hati. Hal ini
sangat mungkin. Bukankah kita sering menjumpai ada orang-orang yang sudah baik,
tetapi ketika kita tanya:
“Ibu, kalau saya perhatikan, ibu sepertinya orangnya sabar. Sabarnya ibu luar biasa susah
ditiru. Ibu bisa tidak menjelaskan kepada kami seperti apa sabar itu dan bagaimana
caranya saya bisa sabar.” Beliau sendiri tidak bisa menjelaskan. “Iya, saya juga tidak
tahu. Ya seperti inilah saya. Saya kalau diminta menjelaskan apa itu sabar, ya saya tidak
paham.” “ibu dulu bukannya pernah mengaji tentang sabar?” “Iya, saya pernah mengaji
tentang sabar, tetapi sampai saat ini saya tidak paham. Karena waktu ustadznya
menjelaskan, saya tidak paham.” “Ibu tidak paham, tapi kok bisa sabar?” “Yang ceramah
orang jawa, bahasanya full jawa. Sementara saya bukan orang, saya orang sunda. Saya
cuman dengar aja tema tentang sabar. Saya sesekali mendengar beliau bilang sabar, sabar
tapi saya tidak paham.” Berarti, ilmu tentang sabar tidak ada di kepala. Tetapi, dengan
adab, menjaga hati, menjaga niat, ilmu tentang sabar akan Allah SWT berikan ke hati,
sehingga walaupun belum paham dan mengerti, itu bisa mengejawantahkan nilai-nilai
yang diajarkan dalam pengajian itu dalam kehidupan sehari-hari.
c. Menjaga akhlak baik terhadap Ilmu
Akhlak baik yang paling utama adalah memuliakan ilmu. Memuliakan apa saja yang
ada kaitannya dengan ilmu. Contoh: Ammah datang ke majelis ilmu. Saat datang, ammah
melihat ruangannya kotor. Belum disapu atau masih berantakan. Kemudian ammah
merapikan tempatnya. Hal ini berarti kita sudah memuliakan ilmu. Ketika kita merapikan,
bukan semata-mata karena apa dan siapa, tapi lebih karena ini adalah tempat di mana
akan disampaikannya ilmu. Yang terbaik adalah bagian dari kita berakhlak terhadap ilmu.
Berwudhu termasuk bagian adari akhlak terhadap ilmu.
Termasuk juga bagaimana ilmu/buku tentang tafsir itu harus diletakkan di atas,
dibawahnya buku tentang hadits, di bawahnya lagi buku tentang akidah, di bawahnya lagi
buku tentang fiqih. Ini berarti kita telah menunjukkan akhlak baik terhadap ilmu. Jadi,
tidak kemudian meletakkan buku ilmu biologi di atas buku fiqih. Ini berarti belum
menunjukkan akhlak yang baik terhadap ilmu. Karena, walaupun biologi itu ilmu, fiqih
itu juga ilmu, tetapi derajat fiqih lebih tinggi. Karena itu, kalau seandainya ada seorang
mahasiswa dia menunjukkan akhlak baiknya terhadap pegwai, tapi dia tidak
menunjukkan akhlak baiknya terhadap dosen atau dekan. Maka, orang akan mengatakan
“Ini orang tidak punya akhlak.” Memang dia menghormati pegawai, tetapi dia tidak
menghormati dekan. Kalau secara logika sosial, dekan lebih berhak dalam tanda kutip
untuk mendapatkan penghormatan. Hal yang sama dengan ilmu, ada stratanya.
Hal lain yang termasuk akhlak baik terhadap ilmu adalah jangan sampai kita putus
dengan ilmu. Putus itu salah satunya dan ini penting bagi kita, kalau kita bisa
melakukannya, maka insyaAllah kita bisa istiqomah yakni kalau kita membaca buku,
pastikan kita tidak boleh berhenti membaca buku itu sebelum selesai. Apalagi kalau buku
itu menjadi suatu rangkaian. Artinya, kalau kita membaca di awal saja, maka kita tidak
Kajian Special bersama Abi syatori
Sabtu, 31 Juli 2021
19.45-22.00 WIB
akan memahami isi buku itu. Setidak-tidaknya, kalau buku itu dibagi dalam beberapa
BAB, yaitu BAB 1 tidak bersambung langsung dengan BAB 2, berarti minimal kita
menyelesaikan satu BAB saja. Berarti kita sudah menjaga sikap baik terhadap ilmu.
Kadang kita baca buku 2 halaman, habis itu ga tau bukunya dikemanain. Baca lagi 2
tahun kemudian. Jadi, tidak sampai putus. Kalaupun putus, pastikan ada niat untuk
melanjutkannya. Karena itu diibaratkan seperti kita mengobrol dengan seseorang yang
punya kedudukan. Beliau sedang bicara, dan sebelum beliau selesai bicara, kita
meninggalkannya baru. padahal beliau bicara belum tuntas. Di tengah-tengah bicara
kemudian kita tinggal. Maka tentu itu tidak sopan. Setidak-tidaknya, kita meniggalkan
beliau ketika pembicaraan beliau sudah selesai 1 tema. Baru kemudian kita meminta izin.
Demikian juga ketika kita berinteraksi dengan ilmu. Jadi, penghormatan kepada ilmu itu
nyata/terlihat.
Proses mengahdirkan adab dalam majelis ilmu harus bareng. Apa yang telah
disampaikan, tidak bisa sendiri-sendiri.
Yang penting saya paham ilmunya. Saya ta’allum tidak perlu memakai adab”
Kalau seperti ini, maka selama idrak tidak akan muncul, selamanya ilmunya tidak akan
dirasakan di dalam hati. Orang yang ilmunya tidak dirasakan di hati, maka tidak akan
menjadikan ilmu berubah menjadi amal. Jadi, antara at ta’allum dengan adab harus
berbarengan. Dipertemukannya di majelis ilmu.
Bagaimana kalau seandainya ada orang yang mau belajar ilmu, tetapi tidak
memakai adab? Akibatnya dia tidak bisa mengamalkan ilmu itu.
“Saya sudah belajar banyak tentang sabar, ikhlas, qona’ah, memaafkan kesalahan
orang lain, tapi kok saya belum bisa mengamalkannya?” apa yang harus kita lakukan?
Yang harus kita lakukan adalah mengulang lagi. Kalau semisal kita sudah mengaji BAB
tentang sabar, tetapi masih belum bisa sabar, maka mengulang lagi belajar sabar.
Kalau kita analogikan, seperti kita membuat telur dadar. Setelah dikocok,
kemudian digoreng. Setelah mateng, baru ingat kalau belum diberi garam. Bagaimana
caranya agar telur dadar itu ada rasanya? Kalau kemudian kita memberi garam di atasnya,
kira-kira asinnya meresap tidak? Tidak. Maka, apa yang harus kita lakukan agar enak?
Tidak ada cara lain selain membuat ulang telur dadarnya. Yang tadi ya udah kadung.
Kalau pengen dapat yang rasa asinnya cocok, maka mengulang kembali.
Sama dengan kita sudah kadung belajar ta’allum, ilmu tentang ini dan itu. Tetapi belum
disertai dengan adab, yang karenya saya paham tapi kok sulit untuk mengamalkannya.
Maka, tidak ada pilihan yang lain kecuali mengulang mengaji. Kalau kita mengaji tentang
bagaimana mensucikan najis, tetapi rasanya kok berat mengamalkan ilmu tentang
mensusikan najis, maka ngaji ulang BAB tentang najis. Tetapi waktu mengulang ngaji,
betul-betul disertai dengan adab. Begitu disertai dengan adab, maka insyaAllah
mengamalkannya menjadi sesuatu yang mudah.

Q&A
1. Bagaimana caranya menjaga hati dan menenangkannya ketika dihadapkan dengan
dosen yang beberapa kali kalimatnya menyakiti hati? Kadang jadinya bercerita
kepada teman agar rasa sesak di hati menjadi lebih lega.
Kajian Special bersama Abi syatori
Sabtu, 31 Juli 2021
19.45-22.00 WIB
Jawab:
Sebenarnya begini, orang yang hatinya merasa tersakiti, itu karena hatinya sudah
sakit sebelum disakiti. Jadi, hatinya posisinya sudah dalam keadaan sakit. Seorang
dokter tidak akan mungkin ketika memeriksa pasien yang sakit akan mengatakan “Ibu
tidak apa-apa, ibu sehat”. Padahal si ibu ini posisinya sakit. Kemudian dokter bilang
“ibu betul dalam keadaan sakit.” Pasien kira-kira akan tersakiti tidak oleh kata-kata
dokter yang memvonis bahwa si ibu ini sakit. Tentu tidak. Pasien malah senang.
“Pentesan dok, saya tuh susah tidur, saya mual kalau makan. Ternyata memang saya
dalam keadaan sakit.”
Cuman, ini beda kalau yang ngasi tahu guru.
Padahal untuk kita, yang bisa kita simpulkan kalau hati kita merasa tersekiti oleh
kata-kata seseorang. Itu justru indikasi dan pemberitahuan untuk kita bahwa hati kita
sedang sakit. Sebenarnya memang kalau urusan hati pada akhirnya yang ngasi tahu
adalah Allah. Cuma cara Allah ngasi tahu ke kita itu secara tidak langsung. Tapi
melalui orang. Dikirimkan orang yang ucapannya menyakitkan. karena kita masih
merasa tersakiti, maka itu tanda hati kita sakit. Maka sama seperti ketika kita ke
dokter, kita tidak menyalahkan dokter, melainkan diri kita. Tidak hanya dosen, siapa
saja yang kata-katanya menyakitkan, maka berarti hati dalam keadaan sakit. Kalau
kita sudah menemukan kesadaran bahwa hati kita dalam keadaan sakit, maka kita
sampaikan pada diri kita sendiri “Dosesn itu sudah menjadi jalan saya diberi tahu
Allah SWT bahwa hati saya sedang dalam keadaan sakit.” Setelah itu, maka kita
memproses diri agar hati kita tidak lagi sakit.
Cara paling mudah agar hati tidak mudah tersakiti adalah dengan kita selalu meyakini
bahwa warahmati wasi’a kulli syai’ “Rahmatku meliputi segala sesuatu”. Maka, kalau
seandainya ada orang-orang yang katanya menyakiti, maka selalu yang ada dalam
kesimpulan kita adalah “Allah sedang menyayangi saya”. Apa wujud kasih sayanag
Allah? Kalau secara general (analisa dokter umum, bukan dokter spesialis), maka
Allah bermaksud untuk menempa hati saya. Karena hati hanya kuat dengan cara
disakiti. Orang yang terlalu sering disakiti, maka nanti lama kelamaan hatinya akan
menjadi kuat. Hal yang terpenting adalah menjaga jangan sampai kita mempunyai
kesimpulan bahwa “saya sedang disakiti oleh dia”. “Tapi saya sedang ditempa oleh
dosen” atau “Saya sedang ditempa dari Allah untuk memiliki hati yang kuat dengan
cara disakiti”.
Setelah itu, mohon pada allah, betul betul mohon pada Allah. Jangan curhat “ya allah
sakit hati ini.” Tapi mohon “ya allah, kuatkan hati ini. Semua hanya engkau yang bisa
menguatkan hati. Jangan engkau buat hati kami ini merasa tersakiti oleh kata-kata”.
Karena, walaupun ada pribahasa, luka di hati itu lebih sulit disembuhkan
dibandingkan luka di tangan atau badan. Tapi, ini belum tentu benar dan sesuai
konteks.
Karena seberapa kalau difikir-fikir, kata-kata yang disebut menyakiti hati, seberapa
bahayanya hati kita disakiti? Tidak ada. Yang bahaya adalah karena kita yang merasa
tersakiti. Hati kita tetap biasa-biasa saja. Hati kita tidak berdarah-darah. Perasaan kita
saja, itu lebih kepada subjektifitas kita. Maka selalu buat kesimpulan-kesimpulan
Kajian Special bersama Abi syatori
Sabtu, 31 Juli 2021
19.45-22.00 WIB
positif (Positive Thinking). Saya tidak sedang disakiti, tapi ditempa Allah melalui dia
agar menjadi pribadi yang memilik hati yang kuat.
2. Di masa pandemi ini, bagaimana langkah yang baik untuk mengajarkan tentang adab-
adab menuntut ilmu kepada murid-murid kita yang belajarnya online?
Jawab:
Pertama, jika sebagai kita sebagai guru. Tidak bisa dipungkiri, sebagai guru ada
adabnya. Dahulukan diri kita sebagi guru dalam soal adab. Fungsi guru bukan
merubah, namun mempengaruhi. Karena itu, jangan menjadi guru yang mengubah,
namun jadilah guru yang berpengaruh. Pengaruh dan merubah itu berbeda. Merubah
itu harus melihat langsung/offline sehingga besar kemungkinan untuk merubahnya.
Namun, kalau pengaruh, itu tidak harus offline, onlinepun bisa. Cara untuk menjadika
diri kita guru yang berpengaruh adalah pilarnya ada 4. Sepanjang 4 pilar itu
tertunaikan dengan baik, maka insyaAllah kita akan menjadi pribadi yang
berpengaruh. Kata-kata kita dan sikap kita akan mempengaruhi murid-murid.
Bukankan ini seharusnya dimiliki oleh setiap guru?
a. Ikhlas
Guru yang berpengaruh adalah guru yang ikhlas. Yaitu, menyadari bahwa saya
mengajar ini sepenuhnya adalah urusan saya dengan Allah, bukan antara saya
dengan murid. Murid adalah sosok yang dihadirkan oleh Allah SWT untuk saya,
agar saya bisa melakukan amal bernama ngajar. Maka, ngajar kita betul-betul
antara kita dengan Allah SWT. Maka kita akan melakukan dengan cara terbaik
yang disukai oleh Allah. Jadi orientasi kita, terbaik itu dalam padangan Allah
yang bisa jadi apa yang terbaik dalam pandangan Allah itu tidak diketahui.
Memang ikhlas tidak perlu diberi tahu, tapi Allah SWT maha tahu. Keikhlasan
kita saat mengajar, akan menyebabkan kata-kata kita akan mempengaruhi hati
anak didik.
Rasa ikhlas antara kita dengan Allah artinya tidak ada yang bisa mempengaruhi
kecuali antara saya dengan Allah. Perasaan kita sama kepada misal murid yang
perhatian atau tidak. Kalaupun beda, tetap beda yang tidak mempengaruhi ikhlas.
Si A adalah murid yang alim, sedangkan si B susah diatur. Maka, ada rasa yang
berbeda, tetapi tidak bertabrakan dengan ikhlas. Misal muncul rasa kasian pada
murid yang tidak memperhatikan pelajaran dengan baik. Kalau kasian kan tidak
menabrak rasa ikhlas. Yang menabrak ikhlas adalah ketika mangkel, dan jengkel.
b. Rahmat
Kita memandang anak murid sebagai kita. Kita menyayangi mereka sebagaimana
kita menyaangi dir kita sendiri. Kita mengajari mereka seperti kita mengajari diri
kita sendiri.
c. Sabar
Kita rela susah. Jadi, untuk menjadi sabar itu harus ada kesusahan yang kita
rasakan. Sehingga kalau seandainya pada kasus murid yang nakal, “Ini murid kok
susah sekali”, kita susah tidak apa-apa. Karena susah dihadirkan agar kita ada
kesempatan untuk sabar. Guru menjadi jembatan untuk murid menyebrang ke
kondisi yang lebih baik. Jembatan itu harus rela diinjak-injak. Memang mengajar
Kajian Special bersama Abi syatori
Sabtu, 31 Juli 2021
19.45-22.00 WIB
itu harus ada susahnya. Untuk ada kesempatan bagi kita untuk sabar. Maka, ada
dari sekian banyak murid, ada saja murid yang susah untuk diatur. Hal ini berarti
ada kesempatan bagi kita untuk bersabar.
d. Qudwah
Menjadi sosok yang dicontoh. Bismillah, saya mengajar dengan adab. Jika kita
betul-betul memakai adab, maka kebaikan kita akan sampai pada mereka.
Sehingga walaupun online, tetap kita akan menjadi sosok yang insyaAllah ilmu
kita sampai pada hati anak-anak.
Jangan berharap mereka mencari ilmu dengan adab kalau kita sendiri tidak
menunjukkan adab kita.
3. Bagaimana menjaga hari ketika diharuskan menyampaikan ilmu sementara diri
sendiri belum maksimal dalam mengamalkannya?
Jawab:
Belum mengamalkan ilmu itu tidak boleh menjadi halangan untuk menyampaikan
ilmu. Sepanjang kita ada niat untuk mengamalkannya. Yang tidak boleh itu kalau
sudah tidak ada niat untuk mengamalkan, namun ingin mengajarkan. “Saya tidak mau
menjadi orang sabar. Tetapi saya diminta mengisi materi tentang sabar.” Hal ini yang
termasuk:
(QS. As-Saff: 3) َ‫َكبُ َر َم ۡقتًا ِع ۡن َد هّٰللا ِ اَ ۡن تَقُ ۡولُ ۡوا َما اَل ت َۡف َعلُ ۡون‬
Saya tidak bermaksud tidak mau mengamalkan ilmu ini, saya sadar saya betul saya
belum bisa shalat malam dengan baik. Namun, ada kesempatan untuk menyampaikan
materi shalat malam. Di satu sisi, kita sebenarnya tidak ingin menjadi orang yang
tidak shalat malam. Ya sudah tidak apa-apa kita sampaikan perihal shalat malam.
Justru salah satu yang kita harapkan dari kita mengajarkan tema atau ilmu yang
belum kita amalkan adalah kita dapat memperoleh barokah dari kita mengajar.
Barokah posisinya di atas hasil. Hasil dari ilmu adalah faham. Barokah mirip seperti
idraq. Karena itu, kadang diproses ta’allum kita tidak menemukan idraq. Bisa jadi ada
halangan-halangan yang kita tidak mengetahuinya. Sehingga walaupun kita sudah
belajar, idroknya belum dapat. Karena idrok belum dapat, maka belum bisa
mengamalkan. Bisa jadi idrak itu dihadirkan oleh Allah untuk kita setelah proses dari
ta’allum/belajar ke ta’allim/mengajar. Ngajar aja, sambil berdoa kepada Allah SWT.
Jadikan apa yang saya ajarkan menjadi barokah. Salah satunya adalah ketika kita
dimudahkan oleh Allah SWT. Setidak-tidaknya sangat bisa jadi Allah hadirkan pada
kita pesaraan “saya sudah ajarkan ilmu ini. Masa saya tidak mengamalkannya”
dengan rasa seperti itu, harapannya akan hadir idrak. Maka, tidak apa-apa, ajarkan
saja ilmu itu. Karena menunggu sempurna, kapan kita bisa sempurna melakukan
amal. Karena itu, ayat As-saff di atas tidak boleh menjadi dalih (bukan dalil) untuk
tidak menyampaikan ilmu karena kita belum mengamalkannya. Dia menjadikan ayat
itu sebagai pembenaran dia tidak mengamalkan ilmunya. Seolah-olah karena dia tidak
mengamalkan ilmu, boleh untuk tidak mengajarkan ilmu. Sebenarnya, orang yang
mencari ilmu itu ingin untuk mengamalkan ilmu. Nah, ketika proses pengamalan ilmu
belum sempurna, maka tidak menjadi penghalang untuk mengajarkan ilmu. Karena
Kajian Special bersama Abi syatori
Sabtu, 31 Juli 2021
19.45-22.00 WIB
sangat boleh jadi, dengan mengajarkan ilmu, Allah sempurnakan kita bisa
mengamalkan ilmu tersebut.
4. Kondisi pandemi pada saat ini, jika kita mendengarkan kajian secara langsung, kita
biasanya menyimak kajian secara duduk. Namun, kondisi pandemi pada akhirnya kita
menyimaknya lewat online seperti zoom, youtube. Bagaimanakah kita mengikuti
kajian atau rapat dengan disambi-sambi misalnya masak, mengurus orangtua, dll.?
Jawab:
Jadi, prinsip dasarnya adalah kita harus menampakkan ikhtirom kepada ilmu. Salah
satu wujud dari ikhtirom adalah tajarrud bil ilmi. Tajarrud artinya adalah jika saya
dengan ilmu, maka saya dengan ilmu. Ini adalah wujud yang paling nyata kita
ikhtirom terhadap ilmu. Hanya saja tajarrud bil ilmi sifatnya tidak mutlak. Bisa saja
tajarrud bil ilmi menjadi longgar. Kapan? Ketika ada kebutuhan yang mendesak.
Yang sifatnya doruri (mendesak, yang kalau tidak diselesaikan akan menjadi
perkara). Pertama, sifat I’tirodi daruriyyah (sesuatu yang tidak diduga). Tetap
konsepnya adalah tajarrud (saya dengan ilmu, tidak menyambi). Hanya kemudian ada
perkara I’tirodi yang datang di tengah tenag kita sedang mempelajari ilmu itu.
Misalnya di tengah-tengah online. Jika I’tirodi sifatnya doruri, maka insyaAllah tidak
mengurangi ihtirom kita pada ilmu. Contoh: bagi yang sudah memiliki anak. Saat
sedang online seperti ini, tiba-tiba anaknya bangun harus diberi ASI. Jika online
zoom, maka tidak bisa dipause, berbeda dengan youtube/rekaman. Maka, sambil
mendengar ilmu, sambil menyelesaikan perkara I’tirodi yang sifatnya doruri. Tetapi,
jika itu adalah I’tirodi yang bersifat tidak mendesak, maka yang harus kita lakukan
adalah mendahululkan ilmu. Karena bagu kita, Ilmu itu dalah segala-galanya.
Sehingga, ini akan menjadi salah satu variabel, ilmu itu menjadi lebih kuat tertanam
di dalam hati kita.
Lagi online, hujan turun dan punya jemuran. Jemuran daruri atau tidak. Kalau
dibiarin jadi basah, nanti tidak ada baju. Maka itu itirom daruriy. Biarin aja,
insyaAllah masih ada baju. Kita akan disaksikan sebagai orang yang menghormati
ilmu.
Kemampuan ornag yang menuntut itu, bisa memahami ilmu itu lebih dari apa yang
disampaikan guru. Karena kita yang ihtirom dan tajarrud yang kuat, maka yufaqqihu
fiddin tidak hanya satu. Seperti guru yang ilmunya satu. Termasuk kalau kasus yang
ada di kehidupan. Contohnya bisa ini, walaupun guru hanya menyampaikan satu
contoh. Misal saat online, orangtua menyuruh, kita bisa nego ke orangtua. Pak bu bisa
ga nanti, oiya gapapa. Tapi kalau gelagatnya ga ridho, maka insyAllah itu daruri.
Beliau tidak mau kehilangan ilmu, yang lain itu adalah sampingan. Mendengarkan
ilmu itu adalah yang dominan.
Masak sambil mendengarkan ilmu. Berarti mendengarkan ilmu nya sambilan. Kalau
sama kuat, akhirnya ga bisa konsentrasi. Kalau ga bisa konsentrasi, maka masak aja.
Ukurannya adalah sejauh mana amal yang kita lakukan itu tidak mengganggu
konsentrasi.
Kalau nyuci sambil dengarin, masih bisa. Kalau nyetrika sambil kajian, nanti gosong
ga. Wallahu ‘alam.
Kajian Special bersama Abi syatori
Sabtu, 31 Juli 2021
19.45-22.00 WIB
5. Ada ammah2 yang ditansfer ke kampung. Kemudian menemui banyak perbedaan dari
apa yang selama ini dia pelajari di rantauan dengan apa yang disampaikan di desa.
Bagaimana menjaga adabnya?
Jawab:
Salah satu bentuk ihtirom kita kepda ilmu adalah kita ikhtirom kepada orang itu
karena ilmunya, salah satu ciri orang yang betul-betul berilmu, maka dia akan
membuka hati orang walau ilmunya sedikit. Si A ilmunya banyak, dan B itu ilmunya
sedikit. Maka si A itu betul betul fakih. Maka, ketika kita bertemu dengan orang yang
kapasitas ilmunya di bawah kita. Maka itu kesempatan emas dan peluang besar bagi
kita. Kita harus bertemu dengan masyarakat dengan banyak perbedaan. Imam syafii
yang ke baghdad,
Bagaimana kita menjadi orang yang bisa menyesuaikan diri dengan siapapun guru
kita. Jika di awal itu ada penolakan, gappa. Persis dengan imam syafii. Dalam banyak
kesempatan mengalami kekagetan ketika pindah guru. Itu wajar sepanjang kita
menerima. Kelak kita akan mendapat hikmah. Walau pun sangat bertolak belakang.
Ngepasi guru-guru beliau di Mekkah itu sederhana, yang mengajarkan prihatin.
Begitu beliau beliau berangkat ke Madinah, beliau belajar ke imam Malik. Beliau
kaget. Karena penampilan imam Malik yang penampilannya layaknya pejabat. Baju
rapi dan sisiran. Tai beliau kemudian menerima. Dari menerima, beliau mendapat
hikmah. Beliau menyempulkan apa yang disampaikan imam malik. Memakai manyak
wangi. Hingga beliau dapat hikmah. Beliau pindah ke Baghdad. Imam Syaibani.
Beliau lebih shock. Beliau vulgar dalam memperlihatkan keduniaannya. Saat itu
beliau menghitung dinar di meja tamu. Imam sadar, “kamu ga suka ya?” “Iya, masa
keduaniaan banget”. Kalau begitu, bagaimana kalau uang ini jatuh ke preman? Tidak.
Maka imam Syafii dapat pelajaran bahwa kita tidak boleh meninggalkan dunia.
Belajar pada orang yang punya ilmu, sesedikit ilmu, maka insyaAllah kita akan
mendapatkan ilmu itu. Yang harus dihindari adalah kita meremehkan ilmu. Harus di
kafaroi. Jagan sampai menghargai seseorang karena dunia atau title nya.
Suatu saat beliau menyalahi konsepnya. Ngepasi beliau satu forum dengan orang
yang gelarnya lebih panjang dari namanya dan jabatan strukturalnya. Saat itu, dia
menghormati orang itu karena titlenya. Beliau sadar, beliau merasa bersalah. Apa
yang dilakukan? Meminta izin ke istrinya untuk belajar pada orang yang alim di
kampung. Namun, sealim-alimnya orang di kampung, ilmunya beliau tetap tinggi.
Beliau menghormati. Itu dilakukan sebagai kafaroh untuk dirinya. Kita tidak
menghargai beliau bukan karena ilmunya. Sekecil apapun, kita hormati orang yang
memberi ilmu.

Anda mungkin juga menyukai