PERILAKU KERUMUNAN
Kerumunan adalah kumpulan orang, yang bersifat sementara dan yang
memberikan reaksi secara bersama terhadap suatu rangsangan (stimuli).
Sebuah bis padat penumpang, yang setiap penumpangnya tenggelam dalam
lamunannya masing-masing bukanlah suatu kerumunan. Akan tetapi, jika supir
bis menghentikan bisnya, lalu pergi minum, maka para penumpang akan segera
membentuk suatu kerumunan.
Berbeda dengan kelompok lainnya, keberadaan kerumunan bersifat
sementara. Para anggotanya umumnya tidak saling mengenal. Kebanyakan
bentuk perilaku kerumunan tidak memiliki struktur, aturan, tradisi, pengendalian
formal, pemimpin yang ditunjuk, dan pola yang mapan, yang dapat dijadikan
pedoman oleh para anggotanya. Perilaku kerumunan kadangkala menjadi liar.
Hal ini seringkali terjadi reaksi sebagai reaksi terhadap tindakan sewenang-
wenang dan kasar dari pihak polisi atau pasukan keamanan (Couch, 1968; Perry
dan Pugh, 1978, hal. 19). Perilaku kerumunan seringkali dinilai ‘tidak rasional’
oleh orang yang tidak setuju dengan tujuan yang ingin dicapai. Akan tetapi,
Perilaku kerumunan sering juga terarah pada sasaran yang kadangkala
diupayakan secara cermat. Jadi, bisa saja bersifat ‘rasional’ meskipun tidak
disetujui oleh beberapa orang lain (Berk, 1974b).
Walaupun perilaku kerumunan mungkin saja bersifat spontan, dan sama
sekali tidak dapat diramalkan, namun sebagaimana yang akan kita simak nanti,
perilaku kerumunan bukanlah semata-mata bersifat kebetulan dan didasarkan
pada dorongan hati saja. Perilaku kerumunan adalah bagian dari kebudayaan.
Bentuk kerumunan yang tercipta, hal yang akan dilakukan, dan yang akan
dihindari oleh kebudayaan lainnya. Perilaku kerumunan dapat dianalisis dan
dipahami, serta sampai pada batas-batas tertentu dapat diramalkan dan
dikendalikan.
Teori Penyebaran
Penyebaran sosial (social contagion) menurut Blumer adalah ‘penyebaran
suasana hati, perasaan atau suatu sikap, yang tidak rasional, tanpa disasari, dan
secara relatif berlangsung cepat………’ (1975, hal. 27). Jadi, teori penyebaran
menekankan (bahwa kemungkinan mungkin sangat menekankan) aspek
nonrasional dari pelaku kolektif. Beberapa faktor yang menunjang penyebaran
sosial, antara lain ialah anonimitas, impersonalitas, mudah dipengaruhi
(suggestibility), tekanan jiwa (stress), dan amplifikasi interaksional (interactional
amplification).
ANONIMITAS. Pada pasar malam daerah banyak orang yang akan bertemu
dengan para sahabat dan tetangga mereka; sebaliknya, pada festival musik rock
kebanyakan pengunjung tidak saling kenal. Semakin tinggi kadar anonimitas
suatu kerumunan, semakin besar pula kemungkinannya untuk menimbulkan
tindakan ekstrim. Anonimitas kerumunan mengikis rasa individualitas para
anggota kerumunan itu. Para anggota tidak lagi melihat para anggota lainnya
sebagai individu. Disamping itu, mereka dipandang berkurang, sehingga ia
merasa bebas untuk melakukan perbuatan yang biasanya terkendali. Hal itu
disebabkan tanggung jawab moral telah dialihkan dari individu ke kelompok.
Sekurang-kurangnya sebuah penelitian (Festinger, dkk. 1952), yang berdasarkan
eksperimen laboratorium, telah membuktikan kebenaran mekanisme semacam
itu. Para anggota kerumunan jarang sekali memiliki perasaan bersalah meskipun
meraka baru saja terlibat dalam melakukan kekejaman yang amat mengerikan.
Salah satu sebabnya ialah karena tanggung jawab moral tersebut bergeser ke
kelompok.
Teori Konvergensi
Menurut teori konvergensi, perilaku kerumunan berawal dari berkumpulnya
sejumlah orang yang memiliki kebutuhan, impuls (dorongan hati), perasaan tidak
senang, dan tujuan yang sama. Orang-orang yang menghadiri kebaktian agama
memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan ciri-ciri orang-orang yang berkerumun di
lapangan pacuan kuda. Mengapa reli kendaraan bermotor dan festival musik
rock lebih mudah menyebabkan keributan daripada pasar malam desa? Orang-
orang yang berkunjung pada pasar malam desa terdiri dari orang-orang yang
berbeda usia, pekerjaan, daan kelas sosial. Kebnyakan dari mereka adalah
orang-orang setempat, yang memiliki ikatan erat dengan kelompok dan nilai-nilai
setempat, serta memiliki sikap yang sangat menghargai pemerintah setempat.
Sebaliknya, reli kendaraan bermotor dan festival musik rock mengundang
terciptanya bentuk kerumunan yang sangat berbeda. Kebanyakan anggotanya
masih muda dan belum kawin. Di samping itu, kebanyakan mereka adalah orang
luar (pendatang), yang tidak memiliki jalinan ikatan atau keprihatinan khusus
terhadap nilai-nilai dan benda-benda setempat. Kebanyakan dari mereka adalah
orang-orang yang mengalami alienasi dari budaya yang berlaku. Alienasi ini
semakin parah karena adanya sikap menentang, yang biasanya dilancarkan oleh
penduduk setempat, teehadap pelaksanaan reli dan festiva musik rock yang
diadakan di tempat penduduk itu. Jadi tidaklah mengherankan jika ‘kekacauan’
lebih seering terjadi di situ dari pada di pasar malam desa.
Masih banyak ilustrasi dari teori konvergensi yang dapat dikemukakan
untuk menunjukkan bahwa berkumpulnyasejumlah orang, yang memiliki
beberapa persamaan, merupakan faktor utama dalam perilaku kerumunan.
PERILAKU MASSA
Massa tidak sama dengan kerumunan. Para penonton pertandingan sepak
bola adalah kerumunan. Orang-orang yang menyaksikan pertandingan itu
melalui pesawat televisi adalah massa. Hoult (1969, hal. 194) mendefenisikan
massa sebagai ‘sejumlah orang yang relatif berjumlah besar, tersebar dan tidak
dikenal (anonim), dan yang memberikan reaksi terhadap satu atau lebih
rangsangan, tetapi secara sendiri-sendiri tanpa saling memperhatikan satu sama
lainnya.
Perilaku massa adalah bentuk perilaku massa tertentu yang dilakukan
secara perilaku individual, yang tidak terorganisasi, tidak terstruktur, dan tidak
terkordinasi. Perbedaannya dengan perilaku kerumunan terletak pada kenyataan
bahwa perilaku kerumunan berjangka waktu singkat dan bersifat episodik, serta
dilakukan oleh sejumlah orang sebagai suatu kelompok, sedang perilaku massa
berjangka waktu lebih lama dan tercipta dari jumlah keseluruhan tindakan yang
dilakukan oleh orang banyak. Di samping itu, kerumunan merupakan
sekumpulan orang yang interaksi sosial antaranggotanya terjadi secara
langsung; massa memiliki onggota yang terpisah-pisah dan antaranggotanya
tidak terjadi kontak langsung yang berkesinambungan.
Desas Desus
Desas-desus adalah berita yang menyebar secara cepat dan tidak
berlandaskan fakta (kenyataan). Desas-desus dapat tersebar melalui media
massa atau melalui pembicaraan. Banyak diantara percakapan biasa kita
mengandung desas-desus. Semua tema pembicaraan – dari soal moral tetangga
sampai dengan masalah nasib negara – tidak lepas desas-desus yang menarik
maupun yang menjengkelkan. Bilamana terjadi ketegangan sosial, desas-desus
pun tercipta. Manakala fakta cermat dan sempurna mengenai suatu masalah
yang menarik perhatian masyarakat tidak tersedia atau tidak dipercaya, maka
desas-desus pun muncul. Karena desas-desus dapat merusak nama baik
(reputasi), mengaburkan tujuan, dan melemahkan semngat, maka penggunaan
desas-desus merupakan cara propaganda yang lazim dipakai orang.
Desas-desus tidak dapat dibantah secara efektif dengan menggunakan
penjelasan yang benar. Keefektifan ‘Pusat Penanggulangan Desas-desus,’ yang
didirikan dibanyak kota semassa terjadinya kerusuhan kota pada tahun 1960-an,
ternyata meragukan (Knopf, 1975, hal. 301-315). Pusat-pusat semacam itu
malah lebih sering menyebarkan desas-desusu daripada memberikan
penjelasan yang benar (Ponting, 1973). Beberapa sarjana menyatakan bahwa
dewasa ini beberapa cara penanggulangan desas-desus yang lebih efektif telah
ditemukan (Rosnow dan Fine, 1976), tetapi beberapa sarjana lainnya meragukan
kebenaran pernyataan tersebut (Weinberg and Eich, 1978). Desas-desus
dipercayai dan disebarkan karena orang memerlukan dan menyukainya.
Shibutani (1966, hal. 139) mengemukakan: “Proses pembentukan desas-desus
berakhir manakala situasi yang memunculkan desas-desus tersebut tidak lagi
bersifat problematik”. Jadi, sebagaimana contoh dapat disebutkan bahwa desas-
desus tercipta bilamana orang menganggap tidak sepantasnya mempercainya
pejabat pemerintah untuk menyampaikan berita yang benar, dan desas-desus itu
pun segera berakhir manakala kepercayaan orang terhadap pejabat pemerintah
telah dibangkitkan.
Desas-desus yang berlangsung lama seringkali menjadi legenda yang
diterima sebagai suatu kebenaran oleh banyak orang yang mendengarnya.
Menurut Brunvanrd (1981, hal. 10) suatu desas-desus dapat menjadi legenda
jika (1) memiliki daya tarik yang kuat, (2) didasari oleh anggapan umum tentang
apa yang mungkin terjadi, (3) mengajarkan ‘pendidikan’ moral. Brunvard
mengaitkan legenda semacam itu dengan cerita rakyat di masa lalu, misalnya
tentang ‘penumpang yang mengilang’.
Gaya dan Mode
Gaya (fad) adalah ragam (variasi) tutur, dekorasi atau perilaku yang tidak
penting dan berjangka waktu pendek. Tampaknya gaya lahir dari keinginan untuk
memperoleh dan mempertahankan status sebagai seorang yang lain atau status
sebagai pemimpin. Gaya itu hilang dengan sendirinya bila tidak lagi dipandang
sebagai sesuatu yang baru. Bogardus (1950, hal. 305-309) selam bertahun-
tahun meneliti sebanyak 2.702 gaya dan menemukan bahwa kebanyakan gaya
tersebut hanya berkaitan dengan hal-hal yang sepele.
Mode (fashion) sama dengan gaya, tetapi mengalami perubahan lebih
lambat dan bersifat tidak terlalu sepele, serta kemunculannya cendrung bersiklus
(cyclical). Mode rok wanita pernah panjang, lalu menjadi pendek, kemudian
panjang lagi. Janggut pria pernah menjadi mode, tidak lama kemudian mode
semacam itu menghilang, lalu muncul kembali. Menurut perhitungan Robinson
(1976) mode tersebut mengalami perputaran ulang dalam masa seratus tahun.
Penyebaran mode tidak selalu berawal dari kalangan elit, kemudian ditiru
oleh kalangan kelas sosial bawah, tetapi dapat berawal dari setiap kelas sosial.
Pada awal tahun 1970-an pakaian kelas pekerja menjadi mode terkenal, dan
harga kain drill biru-belang menjadi terlalu mahal bagi para orang miskin.
Penyebaran mode terjadi karena orang-orang, yang ingin mengikuti model
terakhir, melengkapi koleksi mereka dengan pelbagai macam model yang saling
berssaing. (Blumer, 1968b).
Meskipun mode dapat saja tampak pada hampir semua aspek kehidupan
kelompok – tindak tanduk, kesenian, kesusastraan, filsafat, dan bahkan
metodologi ilmu pengetahuan -, tetapi tanpak sangat menonjol pada aspek cara
berpakaian dan cara berdandan. Perubahan mode dapat saja dikendalikan
secara sadar oleh perusahaan industri pakaian, tetapi hanya sampai pada batas-
batas tertentu karena bukti-bukti menunjukkan bahwa para konsumen tidak
akanmenerima secara pasif segala sesuatu yang dicap sebagai mode terakhir
(Jack dan Schiffer, 1948; Lang dan Lang, 1961, Bab 15). Usaha keras dari pihak
perusahaan industri pakaian wanita untuk mempromosikan rok panjang
(midiskirt) pada tahun 1970 mengalami kegagalan. Hal tersebut terutama
disebabkan para wanita merasa bahwa rok panjang membuat mereka tampak
lebih tua (Reynolds dan Darden, 1971). Disini tampak lagi bahwa mode memang
merefleksikan nilai-nilai budaya dominan.
Perilaku Keranjingan
Keranjingan berbeda dengan gaya (fad) biasa karena keranjingan dapat
menjadi obsesi bagi para pelakunya. Dalam masa penulisan buku ini, permainan
video (video game) sementara menjadi objek keranjingan, tetapi mungkin saja
pada saat para mahasiswa membaca buku ini permainan tersebut sudah tidak
lagi diminati orang.
Banyak ragam keranjingan berkaitan dengan upaya untuk menjadi kaya
secara cepat. Keranjingan terhadap bunga tulip Belanda pada tahun 1634
menaikan harga umbi bunga tulip hingga melebihi harga emas. Masalah tanah
Florida pada tahun 1920-an memaksa harga tanah bergeser ketingkat yang
sama sekali di luar perhitungan ekonomi yang sehat. Dalam kondisi keranjingan
individu terperangkap histeria massa dan tidak menggunakan pertimbangan akal
sehat. Para pelaku spekulasi saling berjual beli antara satu sama lainnya dengan
harga yang semakin meningkat sampai saat terjadinya hal yang tidak diharapkan
yang menghancurkan sistem spekulasi mereka, atau sampai pada saat sudah
terlalu banyak orang yang mudah dipengaruhi ikut melibatkan diri, sehingga tidak
ada lagi tambahan uang yang masuk ke pasar; akhirnya kepercayaan orang pun
luntur, sehingga pasar menjadi kacau-balau karena kesibukan membenahi
barang-barang (Mackay, 1932).
Karena daya tarik objek keranjingan hanya merebut hati sebagian kecil
penduduk, dan kegiatan keranjingan itu sendiri memakan banyak waktu, maka
kecendrungan semacam itu biasanya punah secara cepat. Beberapa keranjingan
punah secara cepat, yang lainnya secara perlahan-lahan, dan selebihnya tetap
bertahan sebagai kegiatan yang hanya diminati oleh segelintir kecil orang saja.
Histeri Massa
Histeri massa adalah anggapan atau perilaku irasional dan tidak wajar yang
menyebar dikalangan masyarakat. Wujudnya dapat berupa suatu malapetaka
singkat yang menimpa banyak orang, sebagaimana ketika terjadi serangan
penyakit kejang yang menyebar pada sekolah lanjutan Lousiana (Schuler dan
Parenton, 1943). The New York Times (14 September 1952) memberitaukan
bahwa pertandingan sepak bola di Missisipi 165 gadis remaja, yang berada
ditribune yang penuh sorak-sorai, menjadi begitu gembira sehingga mereka
‘pingsan seperti serangga’. Disamping itu, histeris massa dapat pula menimpa
lebih dari satu kumpulan manusia pada suatu saat tertentu. Pada sebuah kota
kecil puluhan orang diberitakan selama beberapa minggu diserang oleh ‘setan
pembius’ yang menyemprot orang-orang itu dengan sejenis obat semprot asing,
yang menyebabkan mereka menderita kelumpuhan dan gejala penyakit
sejenisnya (Starkey, 1949).
Histeris massa seringkali berwujud penyakit fisik, ‘epidemi’. Dalam sebuah
studi kasus yang paling terkenal menyangkut hister massa dikemukakan bahwa
para wanita yang bekerja pada sebuah pabrik tekstil menyampaikan bahwa
mereka digigit oleh ‘kutu bulan juni’. Para peneliti terbukti tidak menemukan
adanya kutu sebagaimana yang disebutkan itu. Apa yang mereka temukan
ternyata hanyalah adanya perasaan ketidak senangan yang mendalam pada
para pekerja terhadap kerja lembur yang diwajibkam (Kerckhoff dan Back, 1968).
Perilaku Bencana
Studi tentang perilaku bencana merupakan suatu cabang studi sosiologi
yang relatif masih baru. Lingkup studi ini sulit ditentukan karena mencangkup
baik perilaku kerumunan maupun perilaku massa, dan dapat pula menjangkau
masalah isu, kepanikan, orgi, histeri massa, serta bentuk perilaku lainnya. Mass
Emergencies, sebuah majalah baru, diterbitkan pada tahun 1975 di Disaster
Research Center, Ohio State University. Banyak hasil penelitian yang
dikumpulkan ternyata tidak membenarkan mitos umum menyangkut perilaku
yang lahir dalam suasana malapetaka (bencana). (Barton, 1969; Dines, 1970;
Wenger, dkk., 1975; Perry dan Pugh, 1978, Bab 4). Sebagai contoh, banyak
orang beranggapan bahwa perampokan biasanya muncul bila terjadi bencana.
Ternyata pandangan tersebut jarang terbukti. Penelitian tentang bencana
(malapetaka) bermanfaat bagi para petugas, agar mereka dapat mengetahui apa
yang harus dilakukan dan bagai mana cara mengatur sumber daya mereka
sebaik-baiknya bilamana terjadi bencana.
GERAKAN SOSIAL
Gerakan sosial merupakan salah satu bentuk utama dari perilaku kolektif.
Secara formal gerakan sosial didefenisikan sebagai ‘suatu koektivitas yang
melakukan kegiatan dengan kadar kesinambungan tertentu untuk menunjang
atau menolak perubahan yang terjadi dalam masyarakat atau kelompok yang
mencangkup kolektivitas itu sendiri (Turner dan Killian, 1972, hal. 246). Batasan
yang sedikit kurang formal deri gerakan sosial adalah suatu usaha kolektif yang
bertujuan untuk menunjang atau menolak perubahan.
Gerakan sosial berarti lahir pada mulanya sebagai suatu kelompok orang
yang tidak puas terhadap keadaan. Kelompok itu semula tidak terorganisasi dan
terarah, serta tidak memiliki rencana. Orang-orang saling membagi duka dan
mengeluh; para cendikiawan menulis karangan; para warga negara menulis
surat pembaca ke editor. Pemimpin dan organisasi pada kebanyakan gerakan
biasanya muncul tidak lama setelah situasi demikian tercipta.
Setelah mengalami tahap aktif yang jarang melebihi masa satu atau dua
dasawarsa, gerakan itu lalu mengalami penurunan kegiatan. Kadangkala
gerakan itu sempat menciptakan organisasi permanen (YMCA) atau suatu
perubahan (hak pilih bagi kaum wanita), dan seringkali pula gerakan itu hilang
begitu saja tanpa bekas yang berarti (gerakan Esperanto yang menuntut adanya
bahasa universal).
RINGKASAN
Perilaku Kolektif (collective behaviour) merupakan ciri khas dari masyarakat
berkebudayaan kompleks. Perilaku demikian tidak terdapat pada masyarakat
sederhana. Perilaku kolektif meliputi perilaku kerumunan, perilaku massa, dan
gerakan sosial.
Kerumunan (crowd) adalah suatu kumpulan manusia sementara yang
bertindak secara bersama-sama. Terdapat tiga teori utama yang mencoba
memberi penjelasan tentang perilaku kerumunan. Teori penyebaran
menekankan proses psikologis dari pemberian saran dan penanganan
(manipulasi); Teori kenvergensi menekankan persamaan sikap para anggota
kerumunan; Teori kemunculan norma menunjukkan bagaimana suatu norma
dalam situasi kerumunan muncul dan berperan dalam membenarkan, serta
membatasi perilaku. Perilaku kerumunan ditandai oleh: (1) animitas, yakni
hilangnya kendala yang biasanya mengendalikan individu dan rasa tanggung
jawab pribadi; (2) impersonalitas, yakni sikap yang memandang bahwa hanya
kelompok seseoranglah yang penting; (3) mudah dipengaruhi yakni sikap para
anggota yang menerima saran secara tidak kritis; (4) tekanan jiwa (stress) dan
(5) amplikasi interaksional, yakni sikap para anggota yang saling meningkatkan
kadar keterlibatan emosi. Di lain pihak, perilaku kerumunan di atasi oleh: (1)
kebutuhan emosi dan sikappara anggota, (2) nilai-nilai para anggota, (3)
pemimpin kerumunan yang harus menciptakan hubungan baik, meningkatkan
ketegangan emosi, memberikan saran untuk meredakan ketegangan itu dan
memberikan pembenaran terhadap tindakan yang ditempuh, dan (4) kontrol
eksternal, terutam dari pihak polisi yang kesanggupannya untuk mengendalikan
perilaku kerumunan sebagian tergantung pada keterampilan, dan selebihnya
tergantung pada kondisi keberadaan kerumunan.
Perilaku kerumunan memiliki banyak ragam antara lain hadirin, kerusuhan,
orgi dan panik.
Massa terdiri atas jumlah orang yang terpisah-pisah yang memberikan
respons terhadap suatu rangsangan yang sama secara sendiri-sendiri. Perilaku
massa adalah perilaku massa yang tidak terstruktur dan tidak terkordinasi.
Ragam perilaku massa meliputi desas desus, gaya atau mode, keranjingan,
histeri massa, dan perilaku bencana.
Para ahli sosiologi mendefenisikan istilah publik baik sebagai orang-orang
yang sama-sama memiliki minat/perhatian yang sama, maupun sebagai orang-
orang yang sama-sama memiliki keprihatinan terhadap suatu masalah. Gerakan
sosial merupakan cara-cara kolektif untuk menunjang atau menolak perubahan.
Teori psikologi menghubungkan kegiatan gerakan sosial dengan ketidakpuasan
pribadi atau dengan ketidakmampuan menyesuaikan diri yang menyebabkan
orang bersikap mudah terlibat dalam suatu gerakan.