Anda di halaman 1dari 37

PERILAKU KOLEKTIF DAN GERAKAN SOSIAL

HAKIKAT PERILAKU KOLEKTIF


Semua ahli sosiologi berbicara tentang perilaku kolektif, tetapi tidak banyak
yang berupaya mendefenisikannya. Kalaupun mereka memberi defenisinya,
defenisi itu tidak terlalu banyak manfaatnya. Defenisi Smelser, yang menyatakan
bahwa tingkah laku kolektif adalah mobilisasi berlandaskan pandangan yang
mendefenisikan kembali tindakan sosial, barang kali tidak dapat dipahami
sepenuhnya oleh kebanyakan mahasiswa. Defenisi Perry dan Pugh, yang
menyatakan bahwa perilaku skolektif adalah pola-pola interaksi sosial, yang
secara relatif tidak terorganisasi, dalam kelompok manusia (1978, hal. 3),
memang sederhana, tetapi terlalu luas lingkup cakupannya. Defenisi tersebut
mencangkup demikian banyak jenis perilaku, sehingga tidak lagi berfungsi
sebagai suatu defenisi. Milgram dan Toch membatasi perilaku kolektif sebagai
suatu perilaku yang lahir secara spontan, relatif tidak terorganisasi, dan hampir
tidak bisa diduga sebelumnya, proses kelanjutannya tidak terencana, dan hanya
tergantung pada stimulasi timbal balik yang muncul di kalangan para pelakunya
(1969, hal. 507). Perilaku Kolektif meliputi perilaku kerumunan (crowd), perilaku
masa, dan gerakan sosial; dan studi tentang perilaku kolektif mencangkup
beberapa pokok bahasan, misalnya perilaku dalam bencana, kerumunan,
gerombolan, kericuhan (panics), desas-desus, keranjingan, histeris masa
(massa hyteria), gaya (fad), model (fashion), propaganda, pendapat umum,
gerakan sosial, dan revolusi.
Meskipun terdapat sejumlah formulasi teoritis menyangkut perilaku kolektif,
namun tidak ada satu pun diantaranya yang sempurna. Turner dan Killian (1972,
Bab 2) mengemukakan bahwa sekurang-kurangnya ada terdapat tiga
pendekatan. Pendekatan ‘tertua’ adalah teori penyebaran (contagion) (LeBon,
1890), yang menggambarkan perilaku kerumunan sebagai respon yang tidak
rasional dan kritis atas godaan psikologis dari situasi kerumunan. Teori ini
mencerminkan pandangan elitis orang awm yang bersifat kekanak-kanakan,
impulsif, dan tidak bertanggung jawab. Pendekatan berikutnya adalah teori
konvergensi, yang meusatkan pada ciri-ciri budaya dan kepribadian para
anggota suatu kolektivitas. Disamping itu, teori ini juga mengamati bagaimana
persamaan ciri-ciri budaya dan kepribadian itu menunjang respon kolektif
terhadap situasi (freud, 1922; Allport, 1924; Miller dan Dollard, 1941). Teori
konvergensi memandan perilaku kolektif bukan sekedar sebagai dorongan
(imput) yang tolol, tetapi juga mengakui bahwa perilaku kolektif dapat saja
bersifat rasional dan terarah pada suatu sasaran. Teori yang terakhir adalah teori
kemunculan norma (emergent norm) yang menyatakan bahwa dalam situasi,
yang memungkinkan timbulnya perilaku kolektif, lahir suatu norma yang
mengendalikan perilaku (Turnerdan Killian, 1957, 1972). Smelser berupaya
membuat sintesis-terintegrasi dari semua tersebut (1963, Bab 1), namun
hasilnya ternyata hanya merupakan teori kemunculan norma. Faktor-faktor
penentu (dominan), menurut pandangan Smelser, adalah sebagai berikut:
1. Kesesuaian struktural (structural conducivenes). Struktur masyarakat dapat
saja menunjang atau menghalangi munculnya perilaku kolektif. Masyarakat
tradisional yang sederhana lebih sulit melahirkan perilaku kolektif
dibandingkan dengan masyarakat modern.
2. Ketegangan struktural (structural strain). Pencabutan hak dan kekhawatiran
akan hilangnya sesuatu merupakan akar penyebab timbulnya perilaku
kolektif. Perasaan adanya ketidak adilan mendorong banyak orang untuk
melakukan tindakan ekstrim. Kelas sosial bawah, kelompok minoritas
tertekan, dan kelompok yang hasil jerihnya terancam, serta kelompok sosial
atas yang kawatir akan kehilangan hak-hak istimewanya, merupakan
kelompok manusia yang berkemungkinan melahirkan perilaku kolektif.
3. Kemunculan dan penyebaran pandangan. Sebelum suatu perilaku kolektif
muncul, para pelaku perilaku kolektif harus memiliki pandangan yang sama
mengenai sumber ancaman, jalan keluar, dan cara pencapaian jalan keluar
tersebut.
4. Faktor pemercepat (precipitating factors). Suatu peristiwa dramatis atau
desas desus mempercepat munculnya perilaku kolektif. Teriakan ‘polisi
kejam’ pada masyarakat yang kebencian rasialnya tinggi, dapat
mengakibatkan timbulnya kerusuhan. Seseorang yang tiba-tiba aja berlari
juga dapat mengawali timbulnya kericuhan.
5. Mobilisasi tindakan. Para pemimpin memulai, menyarankan, dan
mengarahkan suatu kegiatan.
6. Pelaksana kontrol sosial. Semua faktor diatas dapat dipengaruhi oleh para
pemimpin, kekuatan polisi, propaganda, perubahan kebijakan pemerintah
dan lembaga legeslatif, serta bentuk kontrol sosial lainnya.
Formulasi yang dibuat oleh Smelser itu mengundang banyak kritik dan
eksperimen (Oberschall, 1968; Wilkinson, 1970; Lewis, 1972; Berk, 1974a, hal
40-46). Terlepas dari kenyataan itu, formulasi tersebut merupakan pendekatan
teoritis yang paling banyak digunakan dalam upaya memahami perilaku kolektif
dewasa ini.

PERILAKU KERUMUNAN
Kerumunan adalah kumpulan orang, yang bersifat sementara dan yang
memberikan reaksi secara bersama terhadap suatu rangsangan (stimuli).
Sebuah bis padat penumpang, yang setiap penumpangnya tenggelam dalam
lamunannya masing-masing bukanlah suatu kerumunan. Akan tetapi, jika supir
bis menghentikan bisnya, lalu pergi minum, maka para penumpang akan segera
membentuk suatu kerumunan.
Berbeda dengan kelompok lainnya, keberadaan kerumunan bersifat
sementara. Para anggotanya umumnya tidak saling mengenal. Kebanyakan
bentuk perilaku kerumunan tidak memiliki struktur, aturan, tradisi, pengendalian
formal, pemimpin yang ditunjuk, dan pola yang mapan, yang dapat dijadikan
pedoman oleh para anggotanya. Perilaku kerumunan kadangkala menjadi liar.
Hal ini seringkali terjadi reaksi sebagai reaksi terhadap tindakan sewenang-
wenang dan kasar dari pihak polisi atau pasukan keamanan (Couch, 1968; Perry
dan Pugh, 1978, hal. 19). Perilaku kerumunan seringkali dinilai ‘tidak rasional’
oleh orang yang tidak setuju dengan tujuan yang ingin dicapai. Akan tetapi,
Perilaku kerumunan sering juga terarah pada sasaran yang kadangkala
diupayakan secara cermat. Jadi, bisa saja bersifat ‘rasional’ meskipun tidak
disetujui oleh beberapa orang lain (Berk, 1974b).
Walaupun perilaku kerumunan mungkin saja bersifat spontan, dan sama
sekali tidak dapat diramalkan, namun sebagaimana yang akan kita simak nanti,
perilaku kerumunan bukanlah semata-mata bersifat kebetulan dan didasarkan
pada dorongan hati saja. Perilaku kerumunan adalah bagian dari kebudayaan.
Bentuk kerumunan yang tercipta, hal yang akan dilakukan, dan yang akan
dihindari oleh kebudayaan lainnya. Perilaku kerumunan dapat dianalisis dan
dipahami, serta sampai pada batas-batas tertentu dapat diramalkan dan
dikendalikan.

Teori Penyebaran
Penyebaran sosial (social contagion) menurut Blumer adalah ‘penyebaran
suasana hati, perasaan atau suatu sikap, yang tidak rasional, tanpa disasari, dan
secara relatif berlangsung cepat………’ (1975, hal. 27). Jadi, teori penyebaran
menekankan (bahwa kemungkinan mungkin sangat menekankan) aspek
nonrasional dari pelaku kolektif. Beberapa faktor yang menunjang penyebaran
sosial, antara lain ialah anonimitas, impersonalitas, mudah dipengaruhi
(suggestibility), tekanan jiwa (stress), dan amplifikasi interaksional (interactional
amplification).

ANONIMITAS. Pada pasar malam daerah banyak orang yang akan bertemu
dengan para sahabat dan tetangga mereka; sebaliknya, pada festival musik rock
kebanyakan pengunjung tidak saling kenal. Semakin tinggi kadar anonimitas
suatu kerumunan, semakin besar pula kemungkinannya untuk menimbulkan
tindakan ekstrim. Anonimitas kerumunan mengikis rasa individualitas para
anggota kerumunan itu. Para anggota tidak lagi melihat para anggota lainnya
sebagai individu. Disamping itu, mereka dipandang berkurang, sehingga ia
merasa bebas untuk melakukan perbuatan yang biasanya terkendali. Hal itu
disebabkan tanggung jawab moral telah dialihkan dari individu ke kelompok.
Sekurang-kurangnya sebuah penelitian (Festinger, dkk. 1952), yang berdasarkan
eksperimen laboratorium, telah membuktikan kebenaran mekanisme semacam
itu. Para anggota kerumunan jarang sekali memiliki perasaan bersalah meskipun
meraka baru saja terlibat dalam melakukan kekejaman yang amat mengerikan.
Salah satu sebabnya ialah karena tanggung jawab moral tersebut bergeser ke
kelompok.

IMPERSONALITAS. Perilaku kelmpok berciri impersonal. Ini berarti bahwa


bilamana sesuatu kelompok berinteraksi dengan kelompok lain, interaksi yang
terjadi tidak terlalu banyak memperhitungkan perasaan atan hubungan pribadi.
Para prajurit sama sekali tidak memiliki rasa enggan terhadap prajurit lawan
yang ditembaknya. Demikian juga dalam pertandingan sepak bola, tidak ada
pertimbangan bahwa lawan bermain adalah teman pribadi. Impersonalitas
perilaku kerumunan tampak dalam kericuhan antar ras dimana seorang anggota
ras pihak lawan dipandang sama dengan anggota lainnya dari ras yang sama.

MUDAH DIPENGARUHI. Karena situasi kerumunan biasanya tidak berstruktur,


maka tidak dikenal adanya pemimpin yang mapan atau pola perilaku yang dapat
dipanuti oleh para anggota kerumunan itu. Tambahan pula, tanggung jawab
pribadi mereka telah beralih menjadi tangung jawab kelompok. Seringkali situasi
kerumunan itu sendiri tampak membingungkan dan kacau balau. Di dalam
suasana seperti itu orang kadangkala bertindak tidak kritis dan menerima saran
begitu saja, terutama jika saran itu disampaikan dengan cara yang meyakinkan
dan bersifat otoratif. ‘Ke tidak kemungkinan meramalkan ‘ (unpredictability)
keadaan kerumunan adalah sama artinya dengan mengatakan bahwa
kerumunan memiliki sifat mudah dipengaruhi (Lang dan Lang, 1961, hal. 221-
225). Namun demikian, faktor induknya dipengaruhi ini sangat sulit ditentukan,
dan beberapa ahli sosiologi berpandangan bahwa para mahasiswa yang
mempelajari perilaku kerumunan terlalu melebih-lebihkan peranan faktor tersebut
(Couch, 1968).
TEKANAN JIWA (STRESS). Terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa
tekanan jiwa bersifat situasional mendorong terjadinya penyebaran sosial (social
contagion) (Perry dan Pugh, 1978, hal. 62-65). Dengan kata lain. Orang yang
mengalami tekanan jiwa (kelelahan, ketakutan, kecemasan status, kemarahan)
lebih mudah mempercayai desas-desus, melibatkan diri dalam kericuhan, atau
mengambil bagian dalam kerusuhan, histeria massal, dan gerakan sosial
daripada orang yang tenang dan damai.
AMPLIFIKASI INTERAKSIONAL (INTERACTIONAL AMPLIFICATION). Pada
pasar malam desa tidak hanya terdapat satu kelompok ‘kerumunan’. Selalu saja
terdapat banyak kelompok kecil. Seringkali kelompok tersebut merupakan
kelompok keluarga yang berjalan dari satu tempat ketempat lain tanpa adanya
tujuan utama. Teriakan pertama atau kedua pada pertandingan sepak bola
biasanya tidak berpengaruh apa-apa. Akan tetapi, ketika sudah mendengar
teriakan sorak-sorai di sekitar kita, barulah kita ikut bersorak dengan penuh
semangat. Fenomena semacam itu kadangkala disebut dengan menggunakan
istilah yang tidak praktis, yakni amplifikasi interaksional: suatu proses dimana
para anggota saling memberi rangsangan dan respons satu sama lainnya,
sehingga intensitas emosi dan ketanggapan (responsivenes) meraka mengalami
peningkatan.
Penyebaran emosi meningkat melalui ‘saling pengaruh-mempengaruhi
yang berulang-ulang’ dan ‘ritma’. Bila kerumunan itu tidak duduk, orang-orang
bisa saja saling dorong mendorong kedepan dan kebelakang, dan orangpun
terpaksa harus ikut. Kerumuna tersebut mungkin saja akan bertepuk tangan dan
berteriak-teriak dengan irama tertentu. Orang-orang yang semula hanya
bermaksud menjadi penonton akhirnya terjebak dalam proses dan turut pula
pada terlibat dalam aktivitas kerumunan tersebut.
Penyebaran sosial membantu menjelaskan adanya kadar mudahnya
dipengaruhi yang tinggi pada kerumunan yang diarahkan untuk melakukan suatu
tindakan. Karena desakan emosi suatu kerumunan yang makin meningkat
memerlukan penyaluran, maka kerumunan tersebut akan melaksanakan
tindakan yang pertama kali disarankan dan yang searah dengan desakan emosi
itu. Kerumunan-perusak tidak selamanya melakukan tindakan terhadap orang
yang dicari; jika calon korban melarikan diri, para anggota kerumunan itu
mungkin saja akan menindak orang yang paling mudah mereka temukan. Di kota
Texas pada tahun 1930 calon koraban disembunyikan di dalam sebuah kamar
kantor pengadilan; kerumunan lalu membakar kantor pengadilan tersebut,
kemudian melakukan pengerusakan pada bagian kota yang dihuni oleh orang-
orang kulit hitam (Cantril, 1941, hal. 91-110). Setiap tindakan yang disarankan,
sejauh saran itu berkaitan dengan perasaan suka atau tidak suka dari para
anggota kerumunan, mempunyai kemungkinan untuk melakukan oleh
kerumunan yang emosinya dibangkitkan (Lang dan Lang, Bab 8).
Ciri-ciri pelaku kerumunan tersebut menunjukkan bahwa suatu kerumunan
bukan sekedar suatu kumpulan individu. Dalam beberpa hal, setiap orang yang
berada dalam suatu kerumunan akan berperilaku lain ketika ia hanya sendiri.
Allport (dalam Lindzey, 1954, vol. 1, hal. 28) menyatakan; ‘Dahulu di Jerman
seringkali dikatakan bahwa sebenarnya tidak ada seorangpun yang disebut
‘orang nazi.’ Pengabdian khusus terhadap seorang pemimpin dan ideolodinya,
yang mengambil-alih peran individu, hanya dapat terlaksana jika terdapat
dukungan kelompok”. Kita tidak akan pernah mampu memahami
perilakukerumunan sepenuhnya, kecuali jika kita menyadari bahwa suatu
kerumunan, seperti halnya dengan kelompok-kelompok lainnya, bukanlah ekedar
suatu kumpulan individu.

Teori Konvergensi
Menurut teori konvergensi, perilaku kerumunan berawal dari berkumpulnya
sejumlah orang yang memiliki kebutuhan, impuls (dorongan hati), perasaan tidak
senang, dan tujuan yang sama. Orang-orang yang menghadiri kebaktian agama
memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan ciri-ciri orang-orang yang berkerumun di
lapangan pacuan kuda. Mengapa reli kendaraan bermotor dan festival musik
rock lebih mudah menyebabkan keributan daripada pasar malam desa? Orang-
orang yang berkunjung pada pasar malam desa terdiri dari orang-orang yang
berbeda usia, pekerjaan, daan kelas sosial. Kebnyakan dari mereka adalah
orang-orang setempat, yang memiliki ikatan erat dengan kelompok dan nilai-nilai
setempat, serta memiliki sikap yang sangat menghargai pemerintah setempat.
Sebaliknya, reli kendaraan bermotor dan festival musik rock mengundang
terciptanya bentuk kerumunan yang sangat berbeda. Kebanyakan anggotanya
masih muda dan belum kawin. Di samping itu, kebanyakan mereka adalah orang
luar (pendatang), yang tidak memiliki jalinan ikatan atau keprihatinan khusus
terhadap nilai-nilai dan benda-benda setempat. Kebanyakan dari mereka adalah
orang-orang yang mengalami alienasi dari budaya yang berlaku. Alienasi ini
semakin parah karena adanya sikap menentang, yang biasanya dilancarkan oleh
penduduk setempat, teehadap pelaksanaan reli dan festiva musik rock yang
diadakan di tempat penduduk itu. Jadi tidaklah mengherankan jika ‘kekacauan’
lebih seering terjadi di situ dari pada di pasar malam desa.
Masih banyak ilustrasi dari teori konvergensi yang dapat dikemukakan
untuk menunjukkan bahwa berkumpulnyasejumlah orang, yang memiliki
beberapa persamaan, merupakan faktor utama dalam perilaku kerumunan.

Teori Kemunculan Norma (Emergent Norm Theory)


Kerumunan tidak selamanya membabibuta. Teori penyebaran tidak
menjelaskan mengapa suatu kerumnan melakukan suatu tindakan tertentu, dan
bukannya tindakan yang lain. Para penganut teori kemunculan norma menuduh
teori penyebaran dengan menyatakan bahwa teori tersebut terlalu melebih-
lebihkan segiirasional dan segi ketiadaan-tujuan dari pelaku kerumunan.
Beberapa penelitian terdahulu mengenai kerusuhan menunjukkan bahwa para
perusuh kebanyakan berusia muda, belum kawin, belum mapan, dan mungkin
saja bersifat tidak stabil. Namun demikian, sejumlah penelitian tentang
kerusuhan yang dilakukan pada tahun 1960-an menunjukkan bahwa para
anggota kerumunan secara relatif terdiri atas berbagai kategori manusia, dan
tampaknya mereka dimotivasi oleh tuntutan kelompok yang masuk akal,
bukannya oleh ketidakseimbangnya pribadi (Oberschall, 1968; Minet dkk. 1972;
Orum, 1972, hal.76). Pembakaran dan pengerusakan, yang disertai dengan
kerusuhan geto pada tahun 1960-an, bukanlah kerusuhan yang membabi buta.
Rumah pribadi, kantor pemerintah, dan lembaga pelayanan masyarakat
setempat pada umunya tidak dirusak, kecuali toko-toko dan kantor-kantor yang
dipandang eksploitatif. Bangunan-bangunan tersebut didobrak dan dibakar
(Oberschall, 1968; Berk dan Aldrich, 1972). Kerusuhan-kerusuhan tersebut
bukanlah berupa ledakan kemarahan yang bersifat kekanak-kanakan atau
rasional, melainkan merupakan protes keras terhadap masalah yang dipandang
sebagai suatu kesalahan dan ketidak adilan. Kenyataan ini membuat beberapa
pengamat meromantisasi dan mengagung-agungkan para perusuh dengan
menggambarkan mereka sebagai pendukung hebat dari moralitas yang lebih
beradab (Fogelson, 1969; J. Skolnik, 1969; Rubenstein, 1970; Piven dan
Gloward, 1971) (tentu saja sejauh para pelaku keributan itu bukanlah anggota Ku
Klux Klan, orang segregasionis, dan orang lainnya yang tidak disenangi oleh
para pengamat). Berlawanan dengan citra ‘pembangunan hebat’ ini, terdapat
pula beberapa ‘kerusuhan tanpa masalah’ yang tidak didasari oleh idiologi,
tuntutan, atau protes sosial, tetapi hanya didorong oleh keinginan untuk
memperoleh ‘kesenangan dan keuntungan’(Marx, 1970).
‘Perampasan’ di Kota New York pada tahun 1977, yang diperkirakan
menimbulkan kerugian sebanyak 60 juta dolar Amerika, tidak dilatar belakangi
oleh idiologi. Perampasan itu tidak diikuti oleh deomstrasi protes atau peristiwa
‘kekejaman polisi’. Tidak ada kemarahan, kecuali sedikit kekerasan, tidak ada
perkelahian dengan pihak polisi, dan tidak ada ajakan yang meneriakan: ‘bakar,
bakar, bakar!’. Perampasan itu berlangsung dalam beberapa menit setelah
lampu listrik di seputar kota padam. Pada saat itu orang-orang miskin, yang
tinggal didalam kota, melihat adanya kesempatan untuk memperoleh benda-
benda yang mereka inginkan secara gratis. Meskipun itu terjadi secara spontan
dan tidak direncanakan sebelumnya, kerusuhan tersebut segera terorganisasi
berkat adanya sekelompok orang yang mendobrak roko dan menyuruh beberapa
orang menunggu di luar sampai mereka selesai mengambil barang-barang
(Curvin dan Porter, 1979, Bab 3; Wilson dan Cooper, 1979).
Kerumunan yang sedang melakukan aksinya dapat berwujud sesuatu
yang mengerikan. Semua yang telah dikatakan dan dilakukan oleh suatu
gerombolan manusia yang agresif tidak mungkin dipublikasikan`. Sekedar
sebagai contoh, para korban seringkali dibakar hidup-hidup atau dicekik
perlahan-lahan, dan kadangkala dikebiri dan disiksa sehingga beritanya sangat
mengerikan untuk dipublikasikan (Raper, 1933, hal. 6-7, 144). Beberapa orang
mengatakan bahwa orang akan melakukan apa saja manakala ia terlibat dalam
kerumunan. Benarkah demikian?

Pembatas Perilaku Kerumunan


Betapapun irasional dan bebasnya, perilaku kerumunan masih dibatasi oleh
sekurang-kurangnya empat faktor: (1) kebutuhan emosi para anggota, (2) nilai-
nilai para anggota, (3) kepemimpinan kerumunan, (4) kntrol eksternal terhadap
kerumunan.

KEBUTUHAN EMOSI PARA ANGGOTA. Perilaku kerumunan mengekspresikan


kebutuhan emosi, kekecewaan, dan praduga para anggota. Dalam situasi
kerumunan, orang dapat saja melakukan hal-hal yang biasanya tidak ia lakukan.
Namun demikian, suatu kerumunan hanya akan melakukan hal-hal yang
dikehendaki oleh sebagian besar anggota kerumunan itu. Rangsangan
(stimulasi) emosi dan perlindungan dari kerumunan memungkinkan para
anggotanya untuk mengekspresikan dorongan hati, kebencian, agresi, dan
kemarahan yang pengungkapannya dibatasi dalam situasi yang tenang. Banyak
di antara kita, misalnya, senang memecahkan benda-benda tetapi kita harus
membatasi dorongan tersebut. Orang-orang dalam suasana kerusuhan dapat
melepaskan kendala. Kemudian melakukan pengerusakan tanpa harus
mengalami perasaan bersalah. Bilaman sasaran pertamanya dibatasi, maka
biasanya gerombolan manusia beralih mencari sasaran lainnya. Meskipun
demikian, sasaran pengganti tersebut masih tetap diwakili sasaran pertama
(korban yang dibenci) atau memuaskan tuntutan kekecewaan mereka.
Hadirin yang homogen adalah hadirin yang paling responsif. Kenyataan ini
menunjang teori konvergensi. Hadirin yang para anggotanya memiliki perhatian
dan pandagan yang sama akan menanggapi pembicara yang baik dengan penuh
gairah. Kampanye politik hanya akan menarik perhatian terutama dari para
penganut setia partai politik yang melakukan kampanye tersebut. Fungsinya
sama dengan suatu pertemuan pembangkit semangat pada saat sebelum
pertandingan sepak bola dimuali – sekedar untuk menimbulkan antusiasme dan
kecintaan terhadap tim. Dengan demikian inti dari kerumunan itu hanya terdiri
atas para anggota yang memiliki jalan pikiran yang sama.

NILAI-NILAI PARA ANGGOTA. Perilaku kerumunan dibatasi oleh nilai-nilai para


anggota kerumunan itu. Jarang terjadi, bahkan mungkin tidak pernah,
kerumunan melakukan sesuatu yang melampaui batas-batas moral.
Penganiayaan tidak dilakukan pada daerah yang nilai-nilai penduduknya
mengutuk keras perbuatan itu. Penganiayaan hanya terjadi di tempat yang
kebanyakan penduduknya beranggapan bahwa penganiayaan dapat dibenarkan
secara moral, atau bahkan diperlukan pada situasi tertentu. Orang-orang yang
melakukan peniayaan biasanya menilai diri mereka sebagai perlindung
masyarakat, buakannya pelanggar hukum yang bersalah. Kelompok penganiaya
itu bahkan dianggap mengekspresikan, bukanya melanggar, nilai-nilai para
anggota yang mungkin juga merupakan nilai-nilai dominan dari daerah itu. Lebih
dari itu kita mencatat bahwa meskipun sang korban mungkin saja dibunuh,
dibakar, dan dipotong, ia tidak pernah disalib. Daging tumbuhnya juga tidak
pernah dimakan. Nilai-nilai kerumunan tidak membenarkan perlakuan semacam
itu.
Memang benar bahwa beberapa saat kemudian seorang anggota
kerumunan mungkin saja akan mengaku telah melakukan suatu tindakan yang ia
sadari bertentangan dengan nilai-nilai moral. Setiap orang memiliki sejumlah
pandangan yang tidak taat asas, dan pada situasi tertentu salah satu dari
pandangan itu ikut berperan. Tampanya sangatlah ‘benar’ jika kita berteriak dan
menyuruh seseorang pembicara, yang pemikirannya kita anggap jahat dan tidak
bermoral, untuk turun dari mimbar; tetapi, jika pembicara yang memihak pada
kita dibungkam, kita merasa bahwa kebebasan dan keadilan telah diinjak-injak.
Nilai-nilai kita telah mengajarkan bahwa kita harus setia terhadap keluarga,
kawan dan sesama pekerja. Disamping itu, kita tidak boleh melakukan sesuatu
yang menyakiti orang lain. Bilamana pemogokan petugas pemadam kebakaran
atau pemogokan polisi dikomandokan, haruskah seorang petugas (pekerja)
bersikap setia kawan terhadap para pemogok lainnya, padalahal sikap seperti itu
merugikan publik? Ataukah dia harus tetap bekerja, padahal sikap itu merugikan
para pekerja sesamanya? Dalam situasi semacam itu seorang individu jarang
sekali hanya memiliki satu pertimbangan moral yang dapat ia terapkan.
Fungsi kerumunan bukanlah untuk melemahkan ‘pertimbangan moral para
anggotanya; fungsi kerumunan ialah mengisolasi atau menetralisasi beberapa
pertimbangan moral, sehingga nilai-nilai moral lainnya dapat diekspresikan tanpa
kendala. Jadi, kerumunan hanya melakukan hal-hal yang diperkenankan oleh
nilai-nilai partisipan kerumunan itu.
KEPEMIMPINAN KERUMUNAN. Kepemimpinan sangat berpengaruh terhadap
intensitas dan arah perilaku kerumunan. Jika terdapat sekumpulan orang yang
kecewa dan marah, maka seorang pemimpin terampil akan mampu mengubah
mereka menjadi segerombolan manusia pendendam, dan akan mampu pula
mengarahkan agresi mereka ke ‘lawan’ yang mereka benci. Sebaliknya, seorang
pemimpin mampu menenangkan atau mengarahkan kerumunan dengan
memberikan saran dan komando strategis.
Karena perilaku kerumunan tidak memiliki struktur dan pemimpin yang
ditunjuk, maka kedudukan kepemimpinan ‘terbuka begitu saja’. Siapa saja dapat
menjadi pemimpin hanya dengan menyerukan komando atau menyampaikan
saran. Kadangkala orang yang memiliki kemungkinan terkecillah yang justru
menjadi pemimpin. Dalam kepanikan peristiwa malapetaka Kapal Lusitania,
pemimpinnya adalah seorang pemuda berusia 18 tahun, yang melalui
pengarahannya beberapa sekoci dapat dipakai orang dan diturunkan dari kapal
(Lapiere, 1938, hal. 459). Pada banyak situasi kerumunan para anggota yang
cemas karena kebingungan dan ketidak pastian ingin diarahkan, oleh karena itu,
orang yang pertama memulai memberikan perintah jelas dengan cara yang
meyakinkan cenderung dituruti. Penampilan yang mengesankan memang
membantu tetapi, cara yang menyakinkan seseorang, yang mengetahui apa
yang harus dilakukan, merupakan sesuatu yang sangat penting. Marilah kita
mengamati secara khusus apa yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin
kerumunan.
1. Pemimpin harus menciptakan hubungan baik (raport). Maksudnya
hubungan baik ialah hubungan yang responsif, penuh kepercayaan dan
penuh perhatian sebagai mana hubungan yang diciptakan oleh seorang
pembicara hebat terhadap para pendengarnya.
2. Pemimpin menciptakan ketegangan emosi. Pada beberapa tipe kerumunan
sang pemimpin menciptakan ketegangan emosi mereka dengan cara
menggugah ingatan mereka secara berapi-api terhadap masalah dan
keluhan mereka.
3. Pemimpin menyarankan tindakan yang meredakan ketegangan. Pemimpin
pemberi semangat , membangkitkan semangat revivalis, mengajak para
orang yang menyesal untuk datang ke altar, orang revolusioner
menyerukan kepada kerumunan untuk menggempur penghalang.
4. Pemimpin memberikan justifikasi terhadap tindakan yang disarankan. Suatu
kerumunan jarang memberikan respon seketika terhadap suatu sasaran
(kecuali mungkin dalam suasana panik) bniasanya pemimpin melakukan
upaya tertentu untuk menjustifikasi saran. Revivalis memandang kehidupan
baru yang bebas dari dosa; perampas berteriak “saya memperoleh
bagianku!.” Perulangan saran dan justifikasinya memungkinkan penyebaran
sosial semakin meluas, sehingga kebutuhan akan peredaan ketegangan
semakin meningkat. Pemimpin dapat berfungsi untuk merangsang atau
membatasi kerumunan dan juga dapat mengarahkan kekuatan dari suatu
tujuan ke tujuan lainnya. Oleh karena itu kepemimpinan merupakan salah
satu faktor pembatas dalam perilaku kerumunan.
KONTROL EKSTERNAL. Kebanyakan tindakan kerumunan yang destruktif
terjadi pada musim panas yakni ketika orang-orang biasa senang berdiri disekitar
atau berkumpulan besar diluar rumah. Cuaca dingin tidak mendorong terciptanya
kerumunan orang banyak . Demikian pula halnya dengan hujan deras. Tindakan
kerumunan yang destruktif jarang terjadi dekat markas angkatan bersenjata
dimana kedisiplinan militer dapat digunakan untuk menertipkan suasana. Oleh
karena itu para petugas harus dapat menyalurkan ketegangan mereka jauh dari
markas tersebut.
Diatas segalanya, kontrol eksternal yang paling hebat terhadap perilaku
keturunan adalah kontrol yang dilakukan oleh polisi. Boleh dikatakan bahwa
hampir tidak pernah terjadi orang dianiaya begitu saja tanpa adanya usaha keras
dari petugas penegak hukum untuk menghindari terjadinya hukuman tanpa
pengadilan tersebut. Kebanyakan penganiayaan diluar hukum didahului dengan
kerja sama terbuka dengan para petugas penegak hukum atau penolakan
setengah-setengah dari kalangan petugas tersebut. Hilangnya tindakan
penganiayaan diluar hukum pada dasawarsa belakangan ini sebagian besar
bukan disebabkan berkurangnya jumlah orang yang senang pada perbuatan
semacam itu, melainkan karena kemantapan keyakinan para penegak hukum
untuk menghapuskan tindakan seperti itu. Pada tahun-tahun belakangan ini
penembakan dan ‘penculikan’ menggantikan tindakan penganiayaan klasik.
Sejumlah pengetahuan praktis menyangkut perilaku kerumunan dimiliki
oleh petugas polisi. Beberapa tahun yang lalu seorang ahli sosiologi, yang juga
merupakan seorang penegak hukum (Lohman, 1957), menulis buku pegangan
yang banyak dikutip orang mengenai cara penanganan situasi kerusuhan. Buku
pegangan itu meringkaskan dengan bahasa yang sederhana apa yang telah
dibahas oleh ilmu-ilmu sosial menyangkut beberapa cara untuk mengarahkan
perilaku kerumunan. Sebagian cara yang digunakan untuk mencegah
berkembangnya peristiwa kecil menjadi kerusuhan adalah sebagai berikut: (1)
mencegah terbentuknya kerumunan dengan cara segera menangkap dan
menyingkirkan pembuat keributan, kemudian memerintahkan para penonton
untuk buabar. (2) menghadapi kericuhan yang mengancam dengan
menampilkan pameran kekuatan (show of force), yakni dengan membawa
pasukan polisi dan perlengkapan yang cukup ketempat terjadinya peristiwa,
sehingga penggunaan kekuatan tidak perlu lagi. (3) mengisolasi wilayah
kerusuhan dengan membuat lingkaran penjagaan polisi dan menyuruh orang-
orang pergi, serta melarang orang-orang untuk masuk kewilayah itu. (4)
meniadakan kerumunan dengan cara mengarahkan orang-orang ditepian agar
mau ‘membubarkan diri dan pulang kerumah’. Jadi, ini berarti memecah
kerumunan dan memisahkan inti kerumunan tersebut agar tidak lagi memperoleh
massa. (5) melakukan penekanan dalam latihan pendidikan kepolisian
menyangkut kewajiban petugas untuk menciptakan ketenangan agar supaya
prasangka para petugas itu tidak mendorong mereka melakukan kesalahan fatal,
yakni bersikap masa bodoh dalam menyerang orang-orang yang tidak mereka
senangi.
Berkaitan dengan pandangan yang mengatakan bahwa polisi mampu
mengendalikan kerumunan bila dikehendaki, perlu dikemukakan beberapa
pengecualian. Kota-kota kecil tidak memiliki cukup polisi yang dapat dikirim dari
satu tempat ketempat lain dalam situasi darurat. Kontrol polisi terhadap ganguan
umum menimbulkan masalah. Kegagalan dalam menggunakan ketegasan dini
dalam menghadapi suatu demonstrasi dapat mendorong berkembangnya
kerumunan dan dapat membuat kekacauan itu tidak terstasi, dilain pihak,
kehadiran polisi atau penggunaan kekuatan yang terlalu cepat justru dapat
‘meradikalisasi’ kerumunan (kelompok mahasiswa) dan meningkatkan
kekacauan. Apapun yang dilakukan polisi cendrung dinilai sebagai suatu
kesalahn.! Tentu saja kapasitas kesatuan polisi dalam mengendalikan
kerumunan memiliki keterbatasan (Wenger, 1973).

Beberapa Bentuk Perilaku Kerumunan


HADIRIN (AUDIENCE). Hadirin merupakan suatu kerumunan yang perhatiannya
terpusat pada rangsangan (stimulasi) yang berasal dari luar. Rangsangan itu
terutama berwujud satu arah. Rangsangan pada hadirin penonton bioskop,
pendengar radio, dan pemirsa televisi, semuanya berwujud satu arah. Terlepas
dari hal itu, setiap pembimbing (instruktur) menyadari bahwa seorang pembawa
acara didepan hadirin yang ‘nyata’ dipengaruhi oleh reaksi hadirin itu. Hadirin
yang tidak responsif akan menurunkan gairan hampir semua ceramah
agama,pemebrian kuliah, atau pertunjukan pada klub malam.
Jadi, dengan hadirnya hadirin, mungkin terjadi rangsangan dan respons dua
arah yang jelas, meskipun situasi hadirin bissa saja merenggangkan komunikasi.
Para pembawa acara yang baik berhasil menciptakan komunikasi dua arah.
Tampaknya, melalui komunikasi dua arah itu pembawa acara menjadi bagian
dari kelompok (Berger, 1971). Di samping itu, terdapat pula beberapa jalinan
komunikasi di kalangan hadirin ketika mereka bersorak sorai, bertepuk tangan,
mengejek, berbisik, mengerutu, mengambil, atau mendengkur. Dalam bentuk
kerumunan semacam ini penyebaran sosial masih tetap berlangsung, meskipun
dalam kadar yang lebih lemah dibandingkan dengan apa yang berlangsung pada
bentuk kerumunan lainnya. Penyebaran sosial pada upacara gereja yang tenang
sangatlah halus; sementara pada kampanye politik atau perbandingan olah raga
lebih ekspresif dan bebas. Hadirin dapat saja menjadi kacau dan bahkan
berkemungkinan untuk menjadi kerumunan yang rusuh.

KERUSUHAN (RIOT). Kerusuhan merupakan tindakan (aksi, agresifyang


dilakukan secara kerras oleh kerumunan destruktif. Kerusuhan bisa saja bersifat
agamis (religius), sebagaimana yang terjadi antara orang Hindu dengan orang
Muslimfi India pada tahun 1947 (Duncan, 1947; McGinty, 1947). Kerusuhan bisa
pula berwujud kerusuhan antar bangsa, sebagaimana yang terjadi antara
petugas Amerika dengan orang Meksiko di Los Angeles pada taun 1943, atau
kerusuhan yang dikenal dengan istilah kerusuhan ‘zoot-suit’ (Turner dan Surace,
1956). Suatu kelompok tidak disukai karena kelompok itu berbeda atau karena
kelompok itu mudah dijadikan kambing hitam. Mungkin juga kelompok itu dibenci
karena keberhasilannya yang berlebihan dalam kompetisi. Dengan adanya
peristiwa yang tepat dn merancang, serta tanpa adanya hambatan dari
pengawasan polisi, maka orang-orang yang secara pribadi merasa kecewa dan
cemas memulai suatu tindakan; tindakan itu menyebar dan berkembang;
kelompok yang diserang lalu melakukan serangan balasan, dan akhirnya
kerusuhanpun meledak.
Pegawai pemerintah seringkali menyalahkan ‘agritator luar’ atau ‘kelompok
penghianat komunis’ sebagai biang keladi terjadinya kerusuhan. Implikasi sikap
tersebut menunjukkan adanya pandangan yang tidak mengakui betapa
pentingnya keluhan tajam, dan juga menunjukkan adanya kegagalan masyarakat
dalam mengatasi persoalan macam itu. Berbagai pengamatan terhadap
kerusuhan menemukan sangat sedikit bukti menyangkut perencanaan dan
pengarahan kerusuhan. Kebanyakan kerusuhan merupakan ledakan spontan
dari kelompok yang kecewa, yang memberikan reaksi terhadap peristiwa yang
merancang dan isu (Knopf, 1975, hal. 104).
Terdapat banyak kerusuhan. Pada kerusuhan ras yang klasik para anggota dari
kedua kelompok ras saling mencari, memukul, dan membunuh satu sama
lainnya tanpa pandang bulu, sebagaimana yang terjadi di Chicago pada tahun
1919 (Chicago Comission, 1922) atau di Detroit pada tahun 1943 (Lee dan
Humphrey, 1943). Sebuah penelitian terhadap sejumlah kerusuhan ras
(Lieberson dan Silverman, 1965) menemukan bahwa semua kerusuhan itu
ditimbulkan oleh adanya laporan menyangkut suatu tindak kekerasan dramatis -
pemerkosaan, pembunuhan, penyerangan, kekejaman polisi – yang dilakukan
oleh suatu kelompok ras tertentu terhadap kelompok ras lainnya dalam
masyarakat dimana masalah ras belum mampu diatasi (bahkan mungkin tidak
akan pernah mampu diatasi) oleh lembaga-lembaga yang ada. Kerusuhan juga
sangat mungkin terjadi dalam masyarakat yang tidak responsif terhadap
kebutuhan dan tuntutan orang kulit hitam (Downes, 1968).
Beberapa kerusuhan kampus, khususnya yang terjadi di Berkeley, California,
pada tahun 1964 dan 1965, dan di Kent State pada tahun 1970, sangat
meresahkan banyak orang Amerika. Selama kerusuhan itu berlangsung terjadi
banyak peristiwa kecil, yang melibatkan hanya segelintir mahasiswa ditambah
dengan beberapa orang lainnya (bukan mahasiswa) yang ‘berkeliaran di sekitar:
kampus besar. Suara hiruk pikuk banyak terdengar, dan juga terjadi beberapa
pengambilalihan bangunan kampus. Namun demikian, hanya sedikit terjadi
pengerusakan benda-benda. Sebenarnya semua korban luka dan kematian
ditimbulkan oleh polisi dan pasukan regu pengamanan. Denganberakhirnya
kebijakan wajib meliter di Vietnam, maka sumber utama dari protes
mahasiswapun berakhir. Dengan demikian, demontrasi kampus segera pula ikut
berakhir.
Tentunya kericuhan mahasiswa sama tuanya dengan universitas. Gelombang
kericuhan pada tahun 19880-an menimpa banyak perguruan tinggi. Hal ini
muncul karena adanya pemberontakan di Amherst Colage yang dipimpin oleh
Calvin Coolidge dan selanjutnya oleh Harlan Fiske Stone (yang kemudian
menjadi jaksa agung) setelah dia dikeluarkan dari perguruan tinggi lain untuk
memimpin demontrasi. Pemberontakan abad XIX ini dilakukan oleh para
mahasiswa yang disisihkan oleh para pimpinan perguruan tinggi mereka, tetapi
tidak disisihkan oleh masyarakat mereka.

ORGI (PESTA PORA). Kerumunan yang kesukaannya melewati batas adat


kebiasaan disebut orgi. Sebagaimana halnya dengan aksi kerumunan lainnya,
orgi juga meredakan ketegangan; kalu kerumunan perusuh lupa daratan karena
kemarahan, maka orgi lupa daratan karena kegembiraan. Seorang tidak mungkin
membentuk orgi sendiri, kesukariaan harus dinikmati bersama; jika tidak, akan
hambar jadinya. Mulai dari beberapa orang sampai dengan kerumunan yang
mencangkup ribuan orang dapat menciptakan orgi yang memenuhi persyaratan.
Barangkali kriteria penilaiannya adalah begini: manakala ‘hiburan yang sopan’
berakhir, maka orgi pun mulai muncul. Agar supaya peredaan ketegangan dapat
berjalan efektif, orgi harus mencangkup perilaku yang mengesampingkan
kendala dan hambatan sehari-hari. Meskipun demikian, karena beberapa tabu
masih memegang peranan. Orgi merupakan perilaku bebas yang masih memiliki
batas-batas tertentu. Listiak menyebut relaksasi terbatas dari kendala normal ini
sebagai ‘saat istirahat sejenak’ (1974, hal.13)
Dalam orgi kita pun menemukan faktor-faktor yang berperan pada semua
perilaku kerumunan – kepemimpinan, penyebaran sosial, mudahnya
dipengaruhi, dan pengalihan tanggung jawab moral kekelompok. Karena faktor-
faktor tersebut memerlukan waktu untuk dapat mengambil peran, maka pesta
yang berlangsung pun memerlukan waktu yang cukup. Beberapa saat kemudian,
kendala-kendala yang ada mulai hilang dan interaksi akan berlangsung lebih
bebas. Itulah sebabnya banyak pesta motel, pesta perayaan, atau pertemuan
(konvensi) pada akhirnya berubah menjadi orgi.
Semua masyarakat menanamkan rasa kecewa pada para anggotanya, dan
semua masyarakat pula menyediakan cara-caara tertentu untuk meredakan
ketegangan. Pada beberapa masyarakat, orgi merupakan cara yang melembaga
bagi para anggotanya untuk meredakan ketegangan mereka yang bertumpuk.
Seorang sosiologi menyatakan orgi sebagai ‘penyimpangan yang sah’ (Listiak,
1974, hal. 13). Banyak masyarakat primitif menyelenggarakan pesta berkala atau
hiburan. Pada kesempatan semacam itu perilaku seremonial digabungkan
dengan perilaku orgiastik (MacAndrew dan Edgerton, 1969). Permainan, pesta,
acara minum-minum, tari orgiastik, dan pelonggaran beberapa tabu seks
merupakan ciri-ciri pesta primitif.

KEPANIKAN. Kepanikan seringkali didevenisikan sebagai suatu kondisi emosi


yang diwarnai oleh keputusasaan dan ketakutan yang tidak terkendali (Cantril,
1943; Janis, 1951). Beberapa defenisi belakangan memasukkan penyelamatan
diri kolektif sebagai suatu ciri penting dari kepanikan (Quarentelli, 1954). Defenisi
yang paling banyak dikutip ialah defenisi yang dikemukakan oleh Smelser, yang
menyatakan kepanikan sebagai ‘penyelamatan diri kolektif’ yang didasari oleh
anggapan histeris (1963, hal. 13).
Kepanikan mencangkup unsur-unsur yang ada pada perilaku kerumunan, yang
muncul seketika dalam suasana krisis yang mendesak. Karena kita tidak berani
menciptakan kepanikan untuk diteliti, maka hnya terdapat sedikit penelitian
empiris mengenai kepanikan. Meskipun demikian, terdapat banyak pembahasan
deskriptif dan formulasi teoritis tentang hal tersebut (Strauss, 1944; Foreman,
1953; Smelser, 1963; Schultz, 1964, Perry dan Pugh, 1974, hal. 108-116).
Walaupun banyak kepanikan terjadi pada kelompok-kelompok santai, namun
tampaknya kepanikan sangat cendrung terjadi pada kelompok yang mengalami
keletihan karena adanya tekanan jiwa (stres) yang berkepanjangan. Smelser
(1963, Bab 6) memandang kepanikan mudah terjadi manakala orang-orang
merasa berada dalam keadaan yang sangat berbahaya dan hanya memiliki
kemungkinan membebaskan diri yang terbatas. Jika terdapat cukup jalan untuk
menyelamatkan hanya akan terasa adanya sedikit bahaya, sedikit rasa takut,
dan sedikit pula kepanikan. Jika sama sekali tidak ada jalan untuk
menyelamatkan diri, respon yang biasa muncul adalah sikap tenang dalam
menghadapi nasib.

PERILAKU MASSA
Massa tidak sama dengan kerumunan. Para penonton pertandingan sepak
bola adalah kerumunan. Orang-orang yang menyaksikan pertandingan itu
melalui pesawat televisi adalah massa. Hoult (1969, hal. 194) mendefenisikan
massa sebagai ‘sejumlah orang yang relatif berjumlah besar, tersebar dan tidak
dikenal (anonim), dan yang memberikan reaksi terhadap satu atau lebih
rangsangan, tetapi secara sendiri-sendiri tanpa saling memperhatikan satu sama
lainnya.
Perilaku massa adalah bentuk perilaku massa tertentu yang dilakukan
secara perilaku individual, yang tidak terorganisasi, tidak terstruktur, dan tidak
terkordinasi. Perbedaannya dengan perilaku kerumunan terletak pada kenyataan
bahwa perilaku kerumunan berjangka waktu singkat dan bersifat episodik, serta
dilakukan oleh sejumlah orang sebagai suatu kelompok, sedang perilaku massa
berjangka waktu lebih lama dan tercipta dari jumlah keseluruhan tindakan yang
dilakukan oleh orang banyak. Di samping itu, kerumunan merupakan
sekumpulan orang yang interaksi sosial antaranggotanya terjadi secara
langsung; massa memiliki onggota yang terpisah-pisah dan antaranggotanya
tidak terjadi kontak langsung yang berkesinambungan.

Desas Desus
Desas-desus adalah berita yang menyebar secara cepat dan tidak
berlandaskan fakta (kenyataan). Desas-desus dapat tersebar melalui media
massa atau melalui pembicaraan. Banyak diantara percakapan biasa kita
mengandung desas-desus. Semua tema pembicaraan – dari soal moral tetangga
sampai dengan masalah nasib negara – tidak lepas desas-desus yang menarik
maupun yang menjengkelkan. Bilamana terjadi ketegangan sosial, desas-desus
pun tercipta. Manakala fakta cermat dan sempurna mengenai suatu masalah
yang menarik perhatian masyarakat tidak tersedia atau tidak dipercaya, maka
desas-desus pun muncul. Karena desas-desus dapat merusak nama baik
(reputasi), mengaburkan tujuan, dan melemahkan semngat, maka penggunaan
desas-desus merupakan cara propaganda yang lazim dipakai orang.
Desas-desus tidak dapat dibantah secara efektif dengan menggunakan
penjelasan yang benar. Keefektifan ‘Pusat Penanggulangan Desas-desus,’ yang
didirikan dibanyak kota semassa terjadinya kerusuhan kota pada tahun 1960-an,
ternyata meragukan (Knopf, 1975, hal. 301-315). Pusat-pusat semacam itu
malah lebih sering menyebarkan desas-desusu daripada memberikan
penjelasan yang benar (Ponting, 1973). Beberapa sarjana menyatakan bahwa
dewasa ini beberapa cara penanggulangan desas-desus yang lebih efektif telah
ditemukan (Rosnow dan Fine, 1976), tetapi beberapa sarjana lainnya meragukan
kebenaran pernyataan tersebut (Weinberg and Eich, 1978). Desas-desus
dipercayai dan disebarkan karena orang memerlukan dan menyukainya.
Shibutani (1966, hal. 139) mengemukakan: “Proses pembentukan desas-desus
berakhir manakala situasi yang memunculkan desas-desus tersebut tidak lagi
bersifat problematik”. Jadi, sebagaimana contoh dapat disebutkan bahwa desas-
desus tercipta bilamana orang menganggap tidak sepantasnya mempercainya
pejabat pemerintah untuk menyampaikan berita yang benar, dan desas-desus itu
pun segera berakhir manakala kepercayaan orang terhadap pejabat pemerintah
telah dibangkitkan.
Desas-desus yang berlangsung lama seringkali menjadi legenda yang
diterima sebagai suatu kebenaran oleh banyak orang yang mendengarnya.
Menurut Brunvanrd (1981, hal. 10) suatu desas-desus dapat menjadi legenda
jika (1) memiliki daya tarik yang kuat, (2) didasari oleh anggapan umum tentang
apa yang mungkin terjadi, (3) mengajarkan ‘pendidikan’ moral. Brunvard
mengaitkan legenda semacam itu dengan cerita rakyat di masa lalu, misalnya
tentang ‘penumpang yang mengilang’.
Gaya dan Mode
Gaya (fad) adalah ragam (variasi) tutur, dekorasi atau perilaku yang tidak
penting dan berjangka waktu pendek. Tampaknya gaya lahir dari keinginan untuk
memperoleh dan mempertahankan status sebagai seorang yang lain atau status
sebagai pemimpin. Gaya itu hilang dengan sendirinya bila tidak lagi dipandang
sebagai sesuatu yang baru. Bogardus (1950, hal. 305-309) selam bertahun-
tahun meneliti sebanyak 2.702 gaya dan menemukan bahwa kebanyakan gaya
tersebut hanya berkaitan dengan hal-hal yang sepele.
Mode (fashion) sama dengan gaya, tetapi mengalami perubahan lebih
lambat dan bersifat tidak terlalu sepele, serta kemunculannya cendrung bersiklus
(cyclical). Mode rok wanita pernah panjang, lalu menjadi pendek, kemudian
panjang lagi. Janggut pria pernah menjadi mode, tidak lama kemudian mode
semacam itu menghilang, lalu muncul kembali. Menurut perhitungan Robinson
(1976) mode tersebut mengalami perputaran ulang dalam masa seratus tahun.
Penyebaran mode tidak selalu berawal dari kalangan elit, kemudian ditiru
oleh kalangan kelas sosial bawah, tetapi dapat berawal dari setiap kelas sosial.
Pada awal tahun 1970-an pakaian kelas pekerja menjadi mode terkenal, dan
harga kain drill biru-belang menjadi terlalu mahal bagi para orang miskin.
Penyebaran mode terjadi karena orang-orang, yang ingin mengikuti model
terakhir, melengkapi koleksi mereka dengan pelbagai macam model yang saling
berssaing. (Blumer, 1968b).
Meskipun mode dapat saja tampak pada hampir semua aspek kehidupan
kelompok – tindak tanduk, kesenian, kesusastraan, filsafat, dan bahkan
metodologi ilmu pengetahuan -, tetapi tanpak sangat menonjol pada aspek cara
berpakaian dan cara berdandan. Perubahan mode dapat saja dikendalikan
secara sadar oleh perusahaan industri pakaian, tetapi hanya sampai pada batas-
batas tertentu karena bukti-bukti menunjukkan bahwa para konsumen tidak
akanmenerima secara pasif segala sesuatu yang dicap sebagai mode terakhir
(Jack dan Schiffer, 1948; Lang dan Lang, 1961, Bab 15). Usaha keras dari pihak
perusahaan industri pakaian wanita untuk mempromosikan rok panjang
(midiskirt) pada tahun 1970 mengalami kegagalan. Hal tersebut terutama
disebabkan para wanita merasa bahwa rok panjang membuat mereka tampak
lebih tua (Reynolds dan Darden, 1971). Disini tampak lagi bahwa mode memang
merefleksikan nilai-nilai budaya dominan.

Perilaku Keranjingan
Keranjingan berbeda dengan gaya (fad) biasa karena keranjingan dapat
menjadi obsesi bagi para pelakunya. Dalam masa penulisan buku ini, permainan
video (video game) sementara menjadi objek keranjingan, tetapi mungkin saja
pada saat para mahasiswa membaca buku ini permainan tersebut sudah tidak
lagi diminati orang.
Banyak ragam keranjingan berkaitan dengan upaya untuk menjadi kaya
secara cepat. Keranjingan terhadap bunga tulip Belanda pada tahun 1634
menaikan harga umbi bunga tulip hingga melebihi harga emas. Masalah tanah
Florida pada tahun 1920-an memaksa harga tanah bergeser ketingkat yang
sama sekali di luar perhitungan ekonomi yang sehat. Dalam kondisi keranjingan
individu terperangkap histeria massa dan tidak menggunakan pertimbangan akal
sehat. Para pelaku spekulasi saling berjual beli antara satu sama lainnya dengan
harga yang semakin meningkat sampai saat terjadinya hal yang tidak diharapkan
yang menghancurkan sistem spekulasi mereka, atau sampai pada saat sudah
terlalu banyak orang yang mudah dipengaruhi ikut melibatkan diri, sehingga tidak
ada lagi tambahan uang yang masuk ke pasar; akhirnya kepercayaan orang pun
luntur, sehingga pasar menjadi kacau-balau karena kesibukan membenahi
barang-barang (Mackay, 1932).
Karena daya tarik objek keranjingan hanya merebut hati sebagian kecil
penduduk, dan kegiatan keranjingan itu sendiri memakan banyak waktu, maka
kecendrungan semacam itu biasanya punah secara cepat. Beberapa keranjingan
punah secara cepat, yang lainnya secara perlahan-lahan, dan selebihnya tetap
bertahan sebagai kegiatan yang hanya diminati oleh segelintir kecil orang saja.

Histeri Massa
Histeri massa adalah anggapan atau perilaku irasional dan tidak wajar yang
menyebar dikalangan masyarakat. Wujudnya dapat berupa suatu malapetaka
singkat yang menimpa banyak orang, sebagaimana ketika terjadi serangan
penyakit kejang yang menyebar pada sekolah lanjutan Lousiana (Schuler dan
Parenton, 1943). The New York Times (14 September 1952) memberitaukan
bahwa pertandingan sepak bola di Missisipi 165 gadis remaja, yang berada
ditribune yang penuh sorak-sorai, menjadi begitu gembira sehingga mereka
‘pingsan seperti serangga’. Disamping itu, histeris massa dapat pula menimpa
lebih dari satu kumpulan manusia pada suatu saat tertentu. Pada sebuah kota
kecil puluhan orang diberitakan selama beberapa minggu diserang oleh ‘setan
pembius’ yang menyemprot orang-orang itu dengan sejenis obat semprot asing,
yang menyebabkan mereka menderita kelumpuhan dan gejala penyakit
sejenisnya (Starkey, 1949).
Histeris massa seringkali berwujud penyakit fisik, ‘epidemi’. Dalam sebuah
studi kasus yang paling terkenal menyangkut hister massa dikemukakan bahwa
para wanita yang bekerja pada sebuah pabrik tekstil menyampaikan bahwa
mereka digigit oleh ‘kutu bulan juni’. Para peneliti terbukti tidak menemukan
adanya kutu sebagaimana yang disebutkan itu. Apa yang mereka temukan
ternyata hanyalah adanya perasaan ketidak senangan yang mendalam pada
para pekerja terhadap kerja lembur yang diwajibkam (Kerckhoff dan Back, 1968).

Perilaku Bencana
Studi tentang perilaku bencana merupakan suatu cabang studi sosiologi
yang relatif masih baru. Lingkup studi ini sulit ditentukan karena mencangkup
baik perilaku kerumunan maupun perilaku massa, dan dapat pula menjangkau
masalah isu, kepanikan, orgi, histeri massa, serta bentuk perilaku lainnya. Mass
Emergencies, sebuah majalah baru, diterbitkan pada tahun 1975 di Disaster
Research Center, Ohio State University. Banyak hasil penelitian yang
dikumpulkan ternyata tidak membenarkan mitos umum menyangkut perilaku
yang lahir dalam suasana malapetaka (bencana). (Barton, 1969; Dines, 1970;
Wenger, dkk., 1975; Perry dan Pugh, 1978, Bab 4). Sebagai contoh, banyak
orang beranggapan bahwa perampokan biasanya muncul bila terjadi bencana.
Ternyata pandangan tersebut jarang terbukti. Penelitian tentang bencana
(malapetaka) bermanfaat bagi para petugas, agar mereka dapat mengetahui apa
yang harus dilakukan dan bagai mana cara mengatur sumber daya mereka
sebaik-baiknya bilamana terjadi bencana.

PUBLIK DAN PENDAPAT PUBLIK


Istilah ‘publik’ memiliki beberapa pengertian. Secara populer istilah ‘publik’
diartikan sama dengan ‘rakyat’ (the people) atau secara praktis dapat pula
diartikan sama dengan setiap orang. Konsep tersebut tidak terlalu bermanfaat.
Para ahli sosiologi memakai istilah tersebut dengan dua pengertian: (1) Publik
dapat diartikan sebagai sejumlah orang yang terpisah-pisah dan memiliki
perhatian yang sama terhadap suatu masalah tertentu. Jadi dikenal adanya
publik baseball, publik politik, publik penanam modal, publik oper, dan masih
banyak lainnya lagi. (2) Publik dapat pula diartikan sebagai sejumlah orang yang
memiliki perhatian terhadap suatu masalah dan saling beda pendapat, serta
membahas masalah tersebut. Jadi, karena setiap masalah yang penting memiliki
publiknya sendiri, maka tidak dikenal adanya ‘publik tunggal’ menurut kriteria
kedua batasan di atas.
Para anggota publik tidak berkumpul bersama seperti halnya para anggota
kerumunan. Setiap anggota suatu publik hanya dapat berkomunikasi secara
langsung dengan beberapa orang anggota lainnya. Kontak terhadap para
anggota publik terutama di lakukan melalui media massa. Banyak namamajalah
melambangkan ciri publik yang menjadi sasaran publikasi majalah tersebut,
misalnya Hose & Garden (majalah tentang tata rumah dan tanaman), Field &
Stream (majalah tentang rimba dan sungai), Workbench (majalah tentang meja
kerja), Pacific Affairs (majalah tentang peristiwa/kejadian di pasifik). Dan ratusan
jenis majalah lainnya. Karena para anggota publik hanya dapat berkomunikasi
secara efektif melalui media masa seperti itu, tentu saja dapat dipahami jika
orang-orang yang mengendalikan media tersebut memiliki kekuasaan besar
untuk mempengaruhi pandangan publik tersebut.
Publik tercipta karena adanya kompleksitas budaya (cultural complexity).
Pada masyarakat berbudaya sederhana hanya ada beberapa publik (mungkin
juga sama sekali tidak ada). Kebudayaan kompleks melahirkan banyak
kelompok kepentingan dan sekian banyak persoalan yang mengakibatkan
pertentangan pendapat antar kelompok. Pada masyarakat berkebudayaan
sederhana dan stabil tidak banyak terdapat masalah. Dengan kata lain, pada
masyarakat tersebut tidak banyak tantangan yang tidak mampu diselesaikan
oleh tradisi dan adat kebiasaan masyarakat. Sebaliknya, pada masyarakat yang
berkebudayaan kompleks dan terus menerus berubah selalu muncul masalah
baru. Dengan kata lain, tantangan selalu mengalami perubahan sehingga cara-
cara tradisional dan adat kebiasaan mungkin sekali tidak dapat mengimbanginya
atau hanya mampu mengimbangi perubahan itu secara setengah-setengah
sehingga hanya akan menimbulkan kekecewaan pada beberapa kelompok.
Misalnya, haruskah pestisida ‘keras’, yang sudah bertahun-tahun dianggap
beracun (contohnya: DDT), ditiadakan untuk melindungi lingkungan, atau
haruskah pertisida seperti itu tetap digunakan untuk meningkatkan produksi
pangan dan menanggulangi hama penyakit? Tradisi tidak dapat memberikan
jawaban jelas menyangkut hal tersebut.
Dalam kondisi demikian, kebudayaan yang kompleks dan selalu berubah
menimbulkan banyak publik. Setiap publik memiliki perhatian besar terhadap
suatu kegiatan, kepentingan, atau masalah. Manakala para anggota publik
membahas suatu masalah, kemudian melahirkan pandangan menyangkut
masalah tersebut, maka pada saat itu lahir pulalah pendapat umum (public
opinion).
Pendapat publik juga memiliki dua defenisi: (1) pandangan yang memiliki
oleh banyak orang, (2) pandangan yang dominan dikalangan masyarakat.
Menurut defenisi pertama, pendapat publik bisa saja berjumlah banyak;
sementara menurut defenisi kedua, pendapat publik mengandung pengertian
adanya konsensus publik (public consensu) menyangkut suatu masalah.

Perumusan Pendapat Publik


Para pemimpin suatu kelompok atau suatu bangsa tidak mungkin akan
mampu memimpin secara bijaksana bilamana mereka tidak mengetahui
keinginan orang yang dipimpinnya. Pengumpulan pendapat umum (public
opinion poll) merupakan penemuan baru yang berguna untuk mengetahui apa
yang dipikirkan oleh penduduk. Pengumpulan pendapat sebagai suatu konsep
memang bersifat sederhana, tetapi dalam kenyataannya sulit untuk dilaksanakan
karena, sebagaimana telah disinggung terdahulu, pendapat adalah suatu
fenomena yang agak rumit. Para pengumpul pendapat menyiapkan serangkaian
pertanyaan mengenai suatu masalah. Mereka berupaya merumuskan
pertanyaan-pertanyaan tersebut sedemikian rupa agar tidak menimbulkan sikap
prasangka para imforman. Kemudian pertanyaan-pertanyaan itu disodorkan
kepada sejumlah kecil orang (dari beberapa ratus hingga beberapa ribu orang)
agar supaya setiap kelompok atau kelas sosial dari semua penduduk terwakili
secara propesional dalam sampel. Dalam proses pengumpulan pendapat
terdapat banyak kesulitan yang harus diatasi oleh para petugas demi tercapainya
tingkat ketepatan tersebut. Salah satu kesulitan tersebut adalah adanya
kecendrungan orang untuk menyatakan pendapat yang tegas mengenai masalah
yang tidak mereka diketahui, tidak pernah mereka pikirkan, dan sama sekali
tidak ada kaitannya dengan diri mereka.

Manipulasi Pendapat Publik


Hingga saat ini cara-cara memanipulasi pendapat publik masih merupakan
perhatian utama dari penelitian pendapat publik. Propaganda mencangkup
segenap upaya untuk membujuk orang agar setuju dengan suatu pendapatan
tertentu. Dari sekolah minggu sampai papan iklan – semuanya adalah bentuk
propaganda. Conoth menonjol lainnya adalah upaya periklanan, promosi
penjualan barang, dan upaya pengumpulan dana.
Perbedaan umum antara pendidikan dengan propaganda terletak pada
kenyataan bahwa mengembangkan kemampuan orang agar mampu melakukan
penilaian kritis, sementara propaganda berupaya membujuk orang agar mau
menerima suatu penilaian yang telah dibuat sebelumnya, tanpa sikap kritis.
dAlam kenyataannya, pendidikan seringkali mencangkup pula banyak
propaganda. Pak guru kadangkala mempropagandakan pandangan mereka
sendiri; kelompok-kelompok tertentu berupaya memasukkan propaganda mereka
sendiri kesekolah melalui ‘bahan-bahan pelajaran’ yang terselubung; masyarakat
pun sebenarnya memaksa sekolah untuk memprogandakan nilai-nilai moral dan
semangat pratiotisme yang diagungkan. Disamping itu, perlu ditambahkan
bahwa propaganda tidak selamanya berarti ‘buruk’, propaganda hanyalah istilah
yang dipakai untuk menyebutkan semua upaya untuk mempengaruhi pandangan
dan tindakan orang lain. Teknik propaganda umum (penyebut nama, generalisasi
yang hebat, pemberian penghargaan, pembentukan kelompok, pengaturan
suasana, kampanye politik), yang pertama kali diperkenalkan oleh Lee dan Lee
(1939), telah berulang kali dikutip dalam banyak buku teks. Kebanyakan
mahasiswa mungkin telah pernah membacanya.

KETERBATASAN PROPAGANDA. Seandainya kekuasaan untuk melakukan


propaganda tidak dibatasi, maka pihak yang memiliki uang terbanyak dan
lembaga hubungan masyarakat terbaiklah yang selalu akan menang.
Untukmenghindari terjadinya hal demikian, kekuatan propaganda harus dibatasi
dengan berbagai cara.
1. Propaganda tandingan barangkali merupakan pembatas yang tersebar.
Jika terjadi monopoli propaganda, ini berarti pelaku propaganda dapat
memanipulasi fakta, sehingga tidak mungkin muncul bantahan yang efektif.
Keberadaan propaganda tandingan di negara demokratis memberikan
pengaruh yang membatasi baik terhadap pelaku propaganda maupun
penerima propaganda itu.
2. Kredibilitas pelaku propaganda dimata para penerima penyaring pesan apa
yang harus mereka terima. Karena kretabilitas propaganda menurun jika
pelaku propaganda memiliki kepentinganpribadi, maka propaganda
seringkali dilakukan dengan memakai nama orghanisasi yang
kedengarannya hebat Fundamental Freedom Foundation; Tax Eduqation
Association, yang menyebunyikan kepentingan para pelaku propaganda.
3. Tingkat kecendrungan penerima membatasi pengaruh propaganda. Secara
umum orang-orang yang tingkat pendidikannya tinggi dan banyak
mengetahui permasalahan daripada orang-orang yang tingkat
pendidikannya rendah dan kurang banyak memperoleh informasi.
4. Pandangan dan nilai-nilai penerima menyaring pesan propaganda yang
akan diterimanya. Kebanyakan orang menerima secara tidak kritis setiap
propaganda yang sesuai dengan sikap dan nilai-nilai mereka yang sudh
mapan, dan biasanya menolak setiap propaganda yang bertentangan
dengan sikap dan nilai-nilai itu secara tidak kritis pula.
5. Arah dan kecendrungan budaya membatasi efektifitas propaganda. Arah
kebudayaan tidak dapat dihentikan oleh propaganda. Propaganda mungikn
saja dapat mempercepat atau memperlambat kecendrungan budaya, tetapi
sulit untuk diterima bahwa propaganda dimasyarakat demokratis akan
mampu memulai atau menghentikan kecendrungan budaya, merusak suatu
nilai mapan, atau menyuntikan suatu nilai baru yang belum diterima olah
masyarakat.

GERAKAN SOSIAL
Gerakan sosial merupakan salah satu bentuk utama dari perilaku kolektif.
Secara formal gerakan sosial didefenisikan sebagai ‘suatu koektivitas yang
melakukan kegiatan dengan kadar kesinambungan tertentu untuk menunjang
atau menolak perubahan yang terjadi dalam masyarakat atau kelompok yang
mencangkup kolektivitas itu sendiri (Turner dan Killian, 1972, hal. 246). Batasan
yang sedikit kurang formal deri gerakan sosial adalah suatu usaha kolektif yang
bertujuan untuk menunjang atau menolak perubahan.
Gerakan sosial berarti lahir pada mulanya sebagai suatu kelompok orang
yang tidak puas terhadap keadaan. Kelompok itu semula tidak terorganisasi dan
terarah, serta tidak memiliki rencana. Orang-orang saling membagi duka dan
mengeluh; para cendikiawan menulis karangan; para warga negara menulis
surat pembaca ke editor. Pemimpin dan organisasi pada kebanyakan gerakan
biasanya muncul tidak lama setelah situasi demikian tercipta.
Setelah mengalami tahap aktif yang jarang melebihi masa satu atau dua
dasawarsa, gerakan itu lalu mengalami penurunan kegiatan. Kadangkala
gerakan itu sempat menciptakan organisasi permanen (YMCA) atau suatu
perubahan (hak pilih bagi kaum wanita), dan seringkali pula gerakan itu hilang
begitu saja tanpa bekas yang berarti (gerakan Esperanto yang menuntut adanya
bahasa universal).

Teori Gerakan Sosial


TEORI PSIKOLOGI. Teori-teori psikologi menunjukkan bahwa akar dari gerakan
sosial terletak pada kepribadian para pengikut gerakan sosial itu.

Teori Ketidakpuasan (Discontent Theory). Teori ini berpandangan bahwa akar


dari gerakan terletak pada perasaan ketidakpuasan. Orang yang merasa
hidupnya nyaman dan puas kurang menaruh perhatian terhadap gerakan sosial.
Terdapat banyak ragam ketidakpuasan – mulai dari luapan kemarahan orang-
orang yang merasa dikorbankan oleh ketidak adilan yang kejam sampai dengan
akar kejengkelan terendah dari orang-orang yang tidak menyukai perubahan
sosial tertentu.
Barang kali memang benar bahwa tanpa adanya ketidakpuasan, gerakan sosial
pun tidak mungkin tercipta. Namun demikian, pandangan itu belum memberikan
penjelasan yang cukup. Sebegitu jauhbelum ada bukti yang meyakinkan
menyangkut kaitan antara kadar keluhan dan ketidakpuasan dengan tingkat
keaktifan gerakan sosial (Muller, 1972; Snyder dan Tilly, 1972).

Teori Ketidakmapuan Penyesuaian Diri Pribadi (Personal Maladjustment


Theory). Teori ini memandang gerakan sosial sebagai tempat penyaluran
kegagalan pribadi. Banyak sarjana berpandangan bahwa banyak gerakan
mendapat dukungan dari kalangan orang yang kecewa dan tidak bahagia, yang
kehidupannya kurang berarti dan berhasil. The True Beliver (Hoffer, 1951),
sebuah buku yang banyak dibaca orang dan ditulis oleh seorang pekerja kasar
yang berlajar sendiri, menyuguhkan beberapa macam orang untuk ikut serta
dalam gerakan sosial; orang yang merasa bosan, orang yang merasa idak cocok
dengan keadaan, orang yang seharusnya kreatif tapi tidak mampu berkreasi.
Orang-orang semacam itu mengisi kehampaan hidup mereka dengan melibatkan
diri dalam kegiatan gerakan sosial.
Memang masuk akal jika orang yang merasa kecewa dan gagal lebih tertarik
terhadap gerakan sosial daripada orang yang puas dan senang. Orang-orang
yang merasa bahwa kehidupannya sudah nyaman dan memuaskan kurang
memerlukan perasaan harga diri dan keberhasilan, karena mereka sudah
memilikinya. Jadi, para pendukung gerakan sosial, khusunya para pendukung
awal, dipandang sebagai orang-orang yang kuat.
Meskipun dianggap masuk akal, teori ini tidak ditunjang oleh bukti-bukti yang
kuat. Memang sulit untuk mengukur kadar perasaan ketidakberhasilan
seseorang, meskipun kita dapat menarik beberapa kesimpulan kasar dengan
mengamati perjalanan kariernya dimasa lalu, misalnya pernyataan sebagai
seorang seniman serius.

TEORI SOSIOLOGI. Teori-teori sosiologi mempelajari masyarakat, bukannya


kepribadian para individu..

Teori Devripasi Relatif (Relative Deprivation Theory). Deprivasi relatif merupakan


suatu konsep yang dikembangkan oleh Stouffer (1949). Menurut konsep ini
seorang merasa kecewa karena adanya kesenjangan antara harapan dan
kenyataan. Orang yang menginginkan sedikit, lalu ternyata hanya mampu
memperoleh lebih dari sedikit akan merasakan kadar kekecewaan yang lebih
rendah daripada orang yang telah memperoleh banyak, tetapi masih
menghendaki lebih dari itu.
Deprivasi relatif semakin mengalami peningkatan pada kebanyakan negara
terbelakang. Orang-orang miskin beranggapan bahwa kemiskinan dan penyakit
tidak diperlukan. Mereka mendambakan mobil, radio, kulkas, dan segenap
barang menarik yangmemukau keinginan mereka yangkian meningkat. teori
deprivasi relatif memang masuk akal, tetapi tidak dapat dibuktikan
kebenarannya. Perasaan kecewa memang mudah diduga, namun sulit untuk
diukur, apalagi untuk suatu masa tertentu. Tambahan pula, walupun perasaan
kecewa terasa sangat pahit, namun itu hanya merupakan salah satu faktor dari
kebanyakan faktor yang berkaitan dengan gerakan sosial. (Gurney dan Tierney,
1982).

Teori Mobilisasi Sumber Daya (Resource Mobilization Theory). Teori mobilisasi


ini menekankan teknik, dan bukan menyebabkan gerakan sosial. Teori ini
menggarisbawahi pentingnya pendayagunaan sumber daya secara efektif dalam
menunjang gerakan sosial, karena gerakan sosial yang berhasil memerlukan
organisasi dan taktik yang efektif.
Sumber daya yang harus dimobilisasi adalah: pandangan dan tradisi penunjang,
peraturan hukum yang dapat mendukung, organisasi dan pejabat yang dapat
membantu, manfaat yang memungkinkan untuk dipromosikan, kelompok
sasaran yang dapat terpikat oleh manfaat tersebut, sumber daya penunjang
lainnya. Semua itu memebrikan pengaruh terhadap besar-kecilnya pengorbanan
pribadi dalam gerakan sosial, tantangan yang akan dihadapi, kesulitan lain yang
harus diatasi, dan taktik pelaksanaan yang akan diterapkan.
Teori mobilisasi sumber daya tidak berlaku pada gerakan ekspresif atau gerakan
perpindahan (migratory movements), yang dapat berhasil tanpa adanya
organisasi atau taktik. Bukti-bukti teori mobilisasi sumber daya kebanyakan
berbentuk deskriptip. Berbagai sarjan menentang teori tersdebut, misalnya
Goldstone (1980). Kemungkinan sekali kegelisahan masyarakat,
ketidakmampuan penyesuaian diri, kekecewaan, ketidakpuasan, dan mobilitas
sumber daya memegang peran dalam gerakan sosial, tetapi dalam kadar yang
tidak dapat ditentukan.
Sebagaimana biasanya terdapat beberapa teori. Setiap teori dapat diterima akal
dan ditunjang oleh bukti-bukti tertentu, tetapi tidak ada satupun yang benar-
benar dapat menunjukkan bukti-bukti yang sempurna. Karena gerakan sosial
memiliki bentuk yang beranekaragam dan melibatkan banyak variabel, maka
mungkin tidak akan pernah tercipta suatu teori yang sempurna.
Bentuk-bentuk Gerakan Sosial
GERAKAN PERPINDAHAN. Orang yang kecewa bisa saja menginginkan
perpindahan. Manakala banyak orang melakukan perpindahan kesuatu tempat
pada waktu yang bersamaan, maka hal tersebut disebut gerakan perpindahan
sosial (migratory social movement) beberapa contoh gerakan seperti itu ialah
migrasi orang-orang Irlandia ke Amerika Serikat setelah terjadi kegagalan panen
kentang, kembaliya orang-orang Yahudi ke Israel, yang dikenal dengan istilah
gerakan Zionisme.

GERAKAN EKSPRESIF. Bilamana orang tidak mampu pindah secara mudah


dan mengubah keadaan secara mudah pula, maka mereka mungkin saja akan
mengubah sikap mereka. Melalui gerakan ekspresif orang mengubah reaksi
mereka terhadap kenyataan, bukannya berupaya mengubah kenyataan itu
sendiri. Terdapat banyak ragam gerakan ekspresif, mulai dari musik, dan busana
sampai dengan bentuk yang serius (berbagai gerakan keagamaan, dan aliran
kepercayaan). Gerakan ekspresif dapat membantu orang untuk menerima
kenyataan yang biasa muncul dikalagan orang tertindas. Meskipun demikian,
cara seperti itu berkemungkinan untuk menimbulkan perubahan tertentu.

GERAKAN UTOPIA. Gerakan semacam ini merupakan upaya untuk


menciptakan suatu masyarakat sejahtera dalam skala kecil. Model tersebut
dapat dicontoh dan mungkin dapat diterapkan pada masyarakat luas. Di Amerika
Serikat pernah terdapat puluhab komunitas Utopia. Tidak banyak dari sekian
komunitas itu yang mampu bertahan sampai beberapa tahun (gardner, 1978).
Barangkali gerakan utopia yang paling berhasil belakangan ini adalah gerakan
kibut Israel (Spiro, 1958; tiger dan Sheper, 1975).

GERAKAN REFORMASI. Gerakan ini merupakan upaya untuk memajukan


masyarakat tanpa banyak mengubah struktur dasarnya. Gerakan semacam ini
biasanya muncul di negera-negara demokratis, sebalinya jarang terjadi di
negara-negara yang tidak membenarkanperbedaan pendapat. Dalam sejarah
Amerika Serikat terdapat puluhan gerakan reformasi, gerakan kaum wanita,
gerakan pencinta lingkungan dan masih banyak lagi.

GERAKAN REVOLUSIONER. Revolusi sosial merupakan gerakan perubahan


sistem sosial yang berlangsung secara besar-besaran dan tiba-tiba, serta
biasanya menggunakan kekerasan. Proses terciptanya revolusi dapat dilihat
pada revolusi Iran yang terjadi baru-baru ini: (1) menyebar luaskan perasaan
ketidakpuasan dan menurunnya dukungan terhadap rezim yang berkuasa
(orang-orang Iran didalam dan diluar negeri melakukan demonstrasi yang
menentang Shah Iran); (2) meningkatnya kekacauan, kerusuhan, dan
pemboman, yang disertai dengan ketidakmampuan pemerintah menciptakan
ketenangan, kecuali dengan menggunakan penekanan keras, (3) digulingkannya
pemerintah (Shah Iran melarikan diri) bersamaan dengan menyatunya angkatan
bersenjata kedalam gerakan revolusi, (4) pemerintahn sementara oleh kelompok
moderat (Banisadr, Ghotbzadeh) yang tidak lama kemudian diganti, karena
kaum revosioner itu sendiri menginginkan agar kekuasaan berada ditangan
mereka; (5) pemerintahan oleh kaum ekstrimis (pemerintahn Islam
Fundamentalisnya Khomeini); (6) merajalelanya teror, yang disertai dengan
penekanan keras terhadap orang-orang revolusioner yang kalah dalam
persaingan perebutan kekuasaan; (7) invasi dari luar negeri (untuk mengakhiri
revolusi, sebagaimana yang terjadi pada revolusi Amerika, Prancis, dan Rusia,
atau sekedar untuk membalas dendam, seperti halnya serangan Irak terhadap
Iran); (8) angkatan bersenjata bertempur dengan baik dan berhasil memukul
mundur pihak penyerang; (9) akhirnya keadaan kembali menjadi stabil, yang
disertai dengan perbaikan terhadap sebagian dari sistem yang berlaku pada saat
sebelum revolusi terjadi (hal ini tidak selamanya terjadi). Revolusi yang berhasil
sedikit-banyaknya mengikuti pola tersebut (Edwards, 1927; Brinton, 1938; Salert,
1976; Welch, 1980).
GERAKAN PERLAWANAN (RESISTENCE MOVEMENTS). Gerakan Ku Klux
Klan lahir dibagian Selatan seusai perang Saudara dan berjuang agar peran
orang-orang kulit hitam tetap tidak berubah (Mecklin, 1924). Gerakan semacam
ini muncul kembali dalam berbagai kurun waktu dipelbagai tempat, dan berperan
sebagai gerakan pribumi yang berupaya melindungi ‘orang-orang Amerika yang
sebenarnya’ dalam mengahadapi orang-orang kulit hitam, katolik, asing, atheis,
dan orang-orang liberal (VanderZanden, 1960; Alexander, 1965).
Perubahan sosial dan budaya yang demikian banyak terjadi pada dasawarsa
belakangan ini sangat mengecewakan banyak orang Amerika yang merasa
bahwa nama baik bangsa Amerika sedang dinodai oleh kebebasan seks,
sekularisme, feminisme, pasifisme, dan paham negera kesejahteraan (welfare
satatism). Banyak sekali gerakan perlawanan dewasa ini menyatakan
kekecewaannya terhadap arah perkembangan bangsa Amerika. Beberapa
diantaranya adalah perkembangan bansa Amerika. Beberapa diantaranya
adalah gerakan pendukungpendukung yang ingin meniadakan pengesahan
aborsi, gerakan antipornografi, gerakan yang mengesahkan jam ibadah
disekolah.

Penetapan Gerakan Sosial


Beberapa sarjana mengutarakan suatu pola pentahapan yang dialami oleh
banyak gerakan sosial (Downson dan Gettys, 1934, hal. 708-709; Zald dan Ash,
1969). Proses pentahapan tersebut meliputi: (1) tahap ketidaktentraman karena
ketidak pastian dan ketidakpuasan semakin meningkat; (2) tahap perangsangan,
yakni ketika perasaan ketidakpuasan sudah diindentifikasi, dan saran-saran
tindak lanjut sudah diperdebatkan; (3) tahap formalisasi, yakni ketika para
pemimpin telah muncul, rencana telah disusun, para pendukung telah ditempa,
dan organisasi serta taktik telah dimatangkan; (4) tahap institusionalisasi, yakni
ketika organisasi telah diambil alih dari para pemimpin terdahulu, birokrasi telah
diperkuat, dan ideologi serta program telah diwujudkan. Tahap ini seringkali
merupakan akhir kegiatan dari gerakan sosial; (5) tahap pembubaran (disolusi),
yakni ketika gerakan itu berubah menjadi organisasi tetap (seperti halnya YMCA)
atau jutru mengalami pembubaran. Pola pentahapan tersebut diatas kurang
cocok dengan proses pentahapan yang dilalui oleh gerakan utopia, gerakan
reformasi, dan gerakan perlawanan.

RINGKASAN
Perilaku Kolektif (collective behaviour) merupakan ciri khas dari masyarakat
berkebudayaan kompleks. Perilaku demikian tidak terdapat pada masyarakat
sederhana. Perilaku kolektif meliputi perilaku kerumunan, perilaku massa, dan
gerakan sosial.
Kerumunan (crowd) adalah suatu kumpulan manusia sementara yang
bertindak secara bersama-sama. Terdapat tiga teori utama yang mencoba
memberi penjelasan tentang perilaku kerumunan. Teori penyebaran
menekankan proses psikologis dari pemberian saran dan penanganan
(manipulasi); Teori kenvergensi menekankan persamaan sikap para anggota
kerumunan; Teori kemunculan norma menunjukkan bagaimana suatu norma
dalam situasi kerumunan muncul dan berperan dalam membenarkan, serta
membatasi perilaku. Perilaku kerumunan ditandai oleh: (1) animitas, yakni
hilangnya kendala yang biasanya mengendalikan individu dan rasa tanggung
jawab pribadi; (2) impersonalitas, yakni sikap yang memandang bahwa hanya
kelompok seseoranglah yang penting; (3) mudah dipengaruhi yakni sikap para
anggota yang menerima saran secara tidak kritis; (4) tekanan jiwa (stress) dan
(5) amplikasi interaksional, yakni sikap para anggota yang saling meningkatkan
kadar keterlibatan emosi. Di lain pihak, perilaku kerumunan di atasi oleh: (1)
kebutuhan emosi dan sikappara anggota, (2) nilai-nilai para anggota, (3)
pemimpin kerumunan yang harus menciptakan hubungan baik, meningkatkan
ketegangan emosi, memberikan saran untuk meredakan ketegangan itu dan
memberikan pembenaran terhadap tindakan yang ditempuh, dan (4) kontrol
eksternal, terutam dari pihak polisi yang kesanggupannya untuk mengendalikan
perilaku kerumunan sebagian tergantung pada keterampilan, dan selebihnya
tergantung pada kondisi keberadaan kerumunan.
Perilaku kerumunan memiliki banyak ragam antara lain hadirin, kerusuhan,
orgi dan panik.
Massa terdiri atas jumlah orang yang terpisah-pisah yang memberikan
respons terhadap suatu rangsangan yang sama secara sendiri-sendiri. Perilaku
massa adalah perilaku massa yang tidak terstruktur dan tidak terkordinasi.
Ragam perilaku massa meliputi desas desus, gaya atau mode, keranjingan,
histeri massa, dan perilaku bencana.
Para ahli sosiologi mendefenisikan istilah publik baik sebagai orang-orang
yang sama-sama memiliki minat/perhatian yang sama, maupun sebagai orang-
orang yang sama-sama memiliki keprihatinan terhadap suatu masalah. Gerakan
sosial merupakan cara-cara kolektif untuk menunjang atau menolak perubahan.
Teori psikologi menghubungkan kegiatan gerakan sosial dengan ketidakpuasan
pribadi atau dengan ketidakmampuan menyesuaikan diri yang menyebabkan
orang bersikap mudah terlibat dalam suatu gerakan.

Anda mungkin juga menyukai