Anda di halaman 1dari 6

TANYA JAWAB BAB NIAT

1. Pertanyaan :
Hukum Wanita memakai Minyak Wangi ( Amalan Tergantung dari
Niatnya).

Jawaban :

Memang, amalan seseorang tergantung dari niatnya, sebagaimana terdapat dalam sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ِ ‫إِنَّ َمااألَ ْع َما ُل بِا لِّيَّا‬


ٍ ‫ت َو إِنَّ َما لِ ُك ِّل ا ْم ِر‬
‫ئ هَانَ َوى‬
“Sesungguhnya, amalan itu tergantung niatnya, dan setiap orang mendapatkan sesuatu yang
diniatkannya.” (H.R. Al-Bukhari, no. 1)

Kendati demikian, pernyataan yang berdalih dengan hadis ini, untuk menghalalkan perkara
yang diharamkan Allah, merupakan satu kesalahan besar dan jauh dari kebenaran. Bagaimana
tidak, setiap pelaku dosa akan menyatakan bahwa dirinya tidak berniat berbuat dosa, dan yang
penting tujuannya baik. Orang mencuri akan menyatakan bahwa ia mencuri untuk tujuan yang
baik, yaitu memberi nafkah kepada keluarganya. Akhirnya, hancurlah syariat dengan dalih
seperti ini.

Wanita dilarang menggunakan minyak wangi keluar rumah, walaupun tidak bertujuan
menggoda laki-laki. Dia tidak boleh berdalih dengan niat, untuk membenarkan perbuatannya
tersebut, sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan,

ً‫س فَ ِه َي َك َذا َو َك َذايَ ْعنِي زَانِيَة‬ ْ ‫ُك ُّل َع ْي ٍن زَانِيَهٌ َوا ْل َم ْرأَةُإِ َذاا‬
ِ ْ‫ستَ ْعطَ َرتْ فَ َم َّرت‬
ِ ِ‫ب ْل َم ْجل‬
“Semua mata itu berzina, dan wanita yang menggunakan minyak wangi lalu melewati majelis
para lelaki maka dia itu begini dan begitu, yaitu pezina.” (H.R. At-Tirmidzi dan Al
Mundziri).
Hadis ini tidak mengisyaratkan tujuan menggunakan minyak wangi, sehingga hukumnya
berlaku umum.

Syekh Al-Mubarakfuri, dalam kitab Tuhfah Al-Ahwadzi, menjelaskan alasan sehingga si


wanita dijuluki “pezina” dalam hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, yaitu
karena wanita tersebut telah membangkitkan syahwat lelaki dengan minyak wanginya dan
menarik perhatian laki-laki untuk melihatnya. Padahal, orang yang melihatnya telah berzina
dengan matanya, sehingga ia menjadi penyebab terjadinya zina mata; wanita itu pun berdosa.

Demikian juga, ia menggunakan minyak wangi tentu dengan niat “tampil lebih menarik di
hadapan orang lain”. Ini membatalkan dalihnya tersebut.

2. Pertanyaan :
Bolehkah Memperbaiki Niat Ketika Sedang Beramal ?
Jawaban :

Niat merupakan salah satu amal yang paling menentukan dalam setiap amal. Balasan setiap
amal akan sesuai dengan amalnya. Diantara gangguan pada niat adalah riya.

Riya adalah syirik yang paling dikhawatirkan terjadi pada para sahabat. Dalam Qaulul Mufid,
Syaikh Shalih Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa bila ditinjau dari pembatalan
ibadah, riya dibagi dua :

Pertama, riya itu memang menjadi niat pokok suatu ibadah, amal yang seperti ini batal dan
ditolak.

Kedua, riya muncul di tengah suatu ibadah. Yang seperti ini dibagi dua lagi :

 Orang tersebut berusaha melawannya, maka hal ini tidak membahayakan amalnya.
 Orang tersebut membiarkan riya tersebut, maka amalnya rusak. Rusaknya amal dalam
kasus ini pun ada dua keadaan :
 Jika amalnya merupakan satu kesatuan dari awal hingga akhir, seperti shalat. Maka jika
riya muncul di rakaat terakhir dan tidak dilawan, maka rusak seluruh amalnya, meskipun
pada rakaat 1-3 niatnya masih terjaga.
 Keadaan kedua bila amalnya terpisah antara awal dan akhirnya, maka rusaknya amal
karena riya hanya pada tempat dihinggapinya. Contoh seorang punya uang 100 ribu,
pertama ia bersedekah 50 ribu dengan ikhlas. Lalu 50 ribu lainnya ia sedekahkan namun
dihinggapi riya. Maka yang ini saja yang batal dan ditolak.
Oleh karenanya, jangan mengalah pada godaan riya. Setiap kali muncul godaan riya,
berjuanglah untuk melawannya. Ini merupakan bentuk ketidakridhaan kita terhadap
kesyirikan.

3. Pertanyaan :

Jika seseorang mempunyai niat dalam perbuatannya akan melakukan


suatu pekerjaan untuk keridhaan Allah, namun ia kehilangan niat
ikhlasnya begitu melakukan keajiban tersebut, apakah dengan keadaan
seperti ini ia memiliki pahala di sisi-Nya?

Jawaban :
Dalam budaya Islam, tidak hanya husnu al-fi’l (kebaikan dalam beramal) saja yang
penting, melainkan husnu al-fa’il (keberadaan niat ikhlas dalam melakukannya) pun
menjadi syarat dalam dikabulkannya sebuah amalan. Lebih dari itu, hanya melakukan
amal-amal secara ikhlas saja tidaklah cukup. Senantiasa berniat ikhlas, menjadi syarat
lain dari keterkabulan amal. Allah Swt berfirman, “Barang siapa membawa perbuatan
baik, maka pahalanya adalah sepuluh kali lipat, dan barang siapa membawa perbuatan
buruk, maka ia tidak akan dihukum kecuali sepertinya, dan Allah tidak akan bertindak
zalim.” Sebagaimana yang Anda lihat pada ayat di atas, Allah tidak berfirman, “Barang
siapa melakukan perbuatan baik”, melainkan “Barang siapa seseorang membawa
perbuatan baik dalam dirinya.” Makna ayat ini adalah bahwa manusia setelah melakukan
perbuatan baik harus mengkondisikan supaya mampu membawa amal shaleh ini dengan
dirinya hingga akhir.

Salah satu dari hal yang paling sulit adalah senantiasa ikhlas dalam setiap amal yang
dilakukan oleh manusia untuk Tuhan. Biasanya, ikhlas dalam beramal dan senantiasa
dalam keikhlasan adalah lebih sulit dari melakukan asli amalan itu sendiri. Imam Shadiq
As bersabda, “Tetap berada dalam amal yang ikhlas adalah lebih sulit dari melaksanakan
amalan itu sendiri.”[1]

Oleh karena itu, dalam budaya Islam, bukan hanya husnu al-fi’l (kebaikan dalam amal)
saja lah yang penting, melainkan husnu al-fa’il (melakukan dengan niat ikhlas) juga
menjadi syarat dalam keterkabulan amal. Selain itu, hanya melakukan secara ikhlas juga
tidak mencukupi. Kontinuitas niat ikhlas, merupakan syarat lain bagi keterkabulan amal.
Allah Swt dalam al-Quran dengan sangat indah telah menjelaskan masalah ini; dalam
masalah sedekah-sedekah (kebaikan-kebaikan), Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang
beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan mengungkit-
ungkit dan tindak menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan
hartanya karena riya’ kepada manusia dan ia tidak beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Maka perumpamaannya adalah seperti batu licin yang di atasnya terdapat
tanah, lalu hujan lebat menimpanya, dan ia menjadi bersih nan licin (tak bertanah).
Mereka tidak mampu (mendapatkan) sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan, dan
Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” [2]

Ayat ini menjelaskan keadaan mereka yang melakukan perbuatan dan amal-amal baiknya
dengan niat ikhlas, kemudian membatalkan amalannya tersebut karena adanya keinginan
di balik sesuatu dan karena gangguan yang diciptakannya (dimana hal ini menunjukkan
pada niatnya yang tidak ikhlas). Allah Swt menyerupakan orang-orang seperti ini dengan
mereka yang suka melakukan riya dimana seluruh perbuatannya sejak awal menjadi batal
dikarenakan riya.

Dengan demikian, sebagaimana melakukan amalan baik telah dianjurkan, menjaganya


pun juga dianggap sebagai sebuah masalah yang penting. Melakukan perbuatan yang
terpuji seperti memperoleh permata yang berharga. Saat seseorang memperoleh permata
seperti ini, maka ia pun harus berusaha untuk menjaganya dengan baik supaya bisa
menyerahkannya di pasar kiamat. Allah Swt berfirman, “Barang siapa yang mempunyai
amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya, dan barang siapa
yang mempunyai perbuatan yang jahat, maka ia tidak diberi pembalasan melainkan
seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya
(dirugikan).”[3] Sebagaimana yang terlihat dari ayat, Allah Swt tidak berfirman, “Barang
siapa melakukan perbuatan yang baik”, melain berfirman, “Barang siapa mempunyai
perbuatan yang baik dalam dirinya.” Oleh karena itu, makna ayat adalah bahwa manusia
setelah melakukan perbuatan yang baik, harus menyiapkan kondisi supaya mampu
mengabadikan perbuatan saleh ini dalam dirinya.[4] Oleh karena itu, ia harus
menghindarkan dari segala bentuk riya, keinginan dan ... yang akan menyebabkan
hilangnya kebaikan-kebaikan.

Dari sebagian riwayat bisa disimpulkan bahwa jika seseorang melakukan perbuatannya
dengan sedikit untuk selain Allah, maka hal seperti ini tidak akan dikabulkan. Imam
Shadiq As bersabda, “Allah berfirman, Aku adalah partner terbaik. Ketika seseorang
melakukan sesuatu dengan niat untukKu dan untuk selain-Ku, maka selama ia tidak
melakukannya dengan ikhlas, tidak akan Aku kabulkan. (Dan Aku akan memberikan
seluruh amalan tersebut kepada sekutu-Ku)”[5] [iQuest]

4. Pertanyaan :
Tidak Jadi Ibadah Karena Merasa Niat Belum Ikhlas, Apakah Boleh?
Jawaban :

Ketahuilah, setan tidak akan berhenti menggoda manusia untuk tidak beribadah kepada
Allah. Sehingga setan mendatangkan syubhat-syubhat yang membuat seseorang berhenti
beramal.

Ketahuilah saudariku, jangan sampai rasa takut berbuat riya’ membuat kita meninggalkan
ibadah, fudhail bin ‘iyadh berkata:

َ َ‫يُ َعافِي‬ ‫أَ ْن‬  ُ‫ َواإْل ِ ْخاَل ص‬ ‫ك‬


‫ َع ْنهُ َما‬ ُ‫هللا‬ ‫ك‬ ِ َّ‫الن‬ ‫أَجْ ِل‬ ‫ ِم ْن‬ ‫ َو ْال َع َم ُل‬ ،‫ ِريَا ٌء‬ ‫اس‬
ٌ ْ‫ ِشر‬ ‫اس‬ ِ َّ‫الن‬ ‫أَجْ ِل‬ ‫ ِم ْن‬ ‫ ْال َع َم ِل‬ ‫ك‬
ُ ْ‫تَر‬

“Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya’, beramal karena manusia adalah
syirik, dan ikhlas adalah ketika Allah menyelamatkanmu dari keduanya”

(Syu’abul iman: 9/184).

Begitu juga, jangan sampai kita merasa bahwasanya kita telah ikhlas ketika beramal,
sesungguhnya para nabi ‫ عليهم السالم‬dan para ulama ‫ رحمهم هللا‬dari kalangan para sahabat
dan orang-orang setelahnya, mereka ketika beramal berada antara pengharapan dan rasa
takut, ketika mereka melihat kepada kasih sayang Allah, mereka berahap ibadah mereka
diterima, namun ketika mereka melihat kepada kekurangan diri mereka, timbul rasa takut
kalau-kalau ibadah mereka tidak diterima.
Diriwayatkan bahwa rasulullah ‫ ﷺ‬pernah menjenguk seorang pemuda yang
hendak meninggal, beliau bertanya:

َ  ِ ‫هَّللا‬ ‫ َرسُو ُل‬ ‫فَقَا َل‬ ،‫ ُذنُوبِي‬  ُ‫أَخَ اف‬ ‫ َوإِنِّي‬ ،َ ‫هَّللا‬ ‫أَرْ جُو‬ ‫إِنِّي‬ ،ِ ‫هَّللا‬ ‫ُول‬
« :‫ َو َسلَّ َم‬ ‫ َعلَ ْي ِه‬ ُ ‫هَّللا‬ ‫صلَّى‬ َ ‫ َرس‬ ‫يَا‬ ِ ‫ َوهَّللا‬:‫قَا َل‬ ،»‫تَ ِج ُدكَ ؟‬  َ‫َك ْيف‬
َ ْ
ُ‫يَخَاف‬ ‫ ِم َّما‬ ُ‫ َوآ َمنَه‬ ‫يَرْ جُو‬ ‫ َما‬ ُ ‫هَّللا‬ ُ‫أ ْعطَاه‬  ‫إِاَّل‬ ‫ال َموْ ِط ِن‬ ‫هَ َذا‬ ‫ ِمث ِل‬ ‫فِي‬ ‫ َع ْب ٍد‬ ‫ب‬ ْ
ِ ‫قَل‬ ‫فِي‬ ‫يَجْ تَ ِم َعا ِن‬  ‫«اَل‬

“Bagaimana engkau mendapati dirimu?

Pemuda itupun menjawab: demi Allah Wahai Rasulullah, aku mengharap Allah, namun
aku juga takut akan dosa-dosaku.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah dua hal (khauf dan raja’)
terkumpul dalam jiwa seorang hamba pada keadaan seperti ini, kecuali Allah akan
mengabulkan apa yang dia harapkan dan memberikan keamanan dari apa yang dia
takutkan.”

(HR: Tirmidzi: 983, dinyatakan hasan oleh syaikh Albany).

Oleh karenanya, hendaklah kita selalu beramal, sembari berusaha untuk selalu ikhlas
kepada Allah ‫ﷻ‬.

Anda mungkin juga menyukai