RS MUHAMMADIYAH PASER
NOMOR :
TENTANG PANDUAN RESUSITASI
BAB I
DEFINISI
A. PENGERTIAN
Pelayanan Resusitasi : pelayanan yang dilakukan terhadap pasien gawat
darurat untuk menyelamatkan jiwa pasien, dengan respirasi buatan dan
kompresi dada untuk me-restart jantung dan paru-paru.
Bantuan Hidup Dasar : Bantuan hidup dengan memberikan pelayanan
Resusitasi jantung, paru dan otak tanpa menggunakan alat kesehatan dan
obat obatan emergency
Bantuan Hidup Lanjut : Bantuan hidup dengan memberikan pelayanan
Resusitasi jantung, paru dan otak dengan menggunakan alat kesehatan dan
obat obatan emergency
Blue Code system: sistem respon cepat untuk resusitasi darurat dan
stabilisasi situasi darurat medis yang terjadi di dalam area Rumah Sakit yang
membutuhkan perhatian segera.
Sistem Kode biru (blue code system) akan segera di lakukan bila ditemukan
seseorang dengan serangan jantung atau pernafasan (tidak responsif,
pulseless, tidak bernafas) dan pasien membutuhkan Resusitasi Jantung Paru
(RJP)
Pasien gawat darurat : adalah pasien yang berada dalam ancaman kematian
dan memerlukan pertolongan resusitasi ( RJP ) segera.
Pasien gawat : pasien yang terancam jiwanya tetapi belum memerlukan
resusitasi.
1
BAB II
RUANG LINGKUP
2
BAB III
TATALAKSANA PELAYANAN
3
Urutan Tindakan
Gambar 1
4
1. Pastikan keselamatan penolong dengan pasien terjamin.
2. Periksa pasien dan lihat responnya.
Goyang bahunya dan bertanya cukup keras “Apakah kamu baik-baik
saja?” atau “Siapa namanya?” atau “Coba buka mata” (gb. 1)
Gambar 2
5
3. Sambil mempertahankan jalan napas bebas, LIHAT, DENGAR, RABA
ada tidaknya udara pernapasan keluar masuk (10 detik) :
Lihat pergerakan dada naik turun.
Dengar suara napas pada mulut napas.
Raba gerak hawa pernapasan dengan pipi (gb. 3)
Gambar 3
a) JIKA PERNAPASAN MEMADAI :
Posisikan pasien pada ‘recovery position” (jika tidak ada
kecurigaan trauma leher).
Pastikan pernapasan tetap ada
Cari bantuan
6
- Jepit hidung dengan ibu jari dan telunjuk dengan tangan yang
melakukan ‘head tilt’ (gb. 4)
- Buka sedikit mulut pasien.
- Ambil napas panjang dan tempelkan rapat-rapat bibir penolong
melingkari mulut pasien, lalu tiup selama 1, 5-2 detik. Lihat
apakah dada terangkat (gb. 5).
- Tetap pertahankan ‘head tilt-chin lift’, lepas mulut penolong
dari mulut pasien, lihat apakah dada pasien turun waktu
ekshalasi (gb. 6)
- Ambil napas lagi dan ulangi meniup, dan seterusnya.
7
Gambar 7
Gambar 8
8
Gambar 9 Gambar 10
Gambar 11
- Tumit tangan satunya diletakkan di atas tangan yang sudah
berada tepat di titik pijat jantung.
- Jari-jari kedua tangan dirapatkan dan diangkat agar tidak ikut
menekan (gb. 12)
Gambar 12
- Penolong mengambil posisi tegak lurus di atas dada pasien
dengan siku lengan lurus, menekan sternum sedalam 4-5 cm
(1, 5 – 2 inci) (gb. 13).
9
Gambar 13
Gambar 14
Gambar 14
5. Lanjutkan resusitasi sampai ada tanda-tanda kehidupan kembali, atau
bantuan yang lebih mampu datang atau penolong kelelahan sehinga
kalau diteruskan akan membahayakan penolong.
6. Bilamana mencari bantuan ?
a) Sangat penting bagi penolong
untuk sesegera mungkin mencari bantuan.
b) Jika ada dua penolong, salah satu
melakukan resusitasi, sedangkan lainnya mencari bantuan.
c) Jika hanya ada satu penolong,
lakukan resusistasi minimal 1 menit dulu sebelum berusaha mencari
bantuan.
10
Resusitasi Dengan 2 Penolong
Cara pertama adalah melakukan cara ‘1 penolong’ secara bergantian. Tetapi
jika kedua penolong terlatih untuk BLS. Cara ‘2 penolong’ adalah lebih efektif
karena ventilasi lebih baik dan pijat jantung lebih teratur serta tidak banyak
sela. Seorang melakukan pijat jantung yang lain memberikan napas buatan.
Rasio pijat jantung : napas buatan tetap 30 : 2.
Jika menggunakan cara “2 penolong” ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan.
1. Jika berubah dari 1 penolong ke 2 penolong, penolong baru mengambil
alih pijat jantung setelah penolong pertama selesai memberi 2 napas
buatan. Selama penolong pertama memberikan napas buatan, penolong
yang baru datang mencari posisi pijat yang benar. Posisi kedua penolong
berseberangan dari pasien.
2. Pemijat jantung melakukan hitungan dengan suara cukup keras seraya
memijat.
3. ‘Head tilt=chin lift’ harus tetap dipertahankan sepanjang waktu. Setiap
napas buatan perlu waktu 1, 5-2 detik. Pijat jantung dimulai segera
setelah mulut pemberi napas buatan lepas dari mulut pasien.
4. jika penolong ingin berganti tempat, penolong pijat jantung memberi aba-
aba. Pindah tempat dilakukan akhir pijat jantung ke-30, segera pindah ke
posisi napas buatan dan memberi 2 napas buatan. Penolong yang
semula memberi napas buatan pindah ke posisi pijat jantung dan
memijat segera setalah napas buatan.
Tersedak (Choking)
Jika tersedak menyebabkan sumbatan jalan napas parsial (sebagian), pasien
dapat melepaskan sumbatan tersebut dengan batuk. Sebaliknya sumbatan
total menyebabkan asfiksia yang perlu segera ditolong.
1. Jika pasien sadar dan masih bernapas, coba perintahkan untuk batuk.
Jika pasien tampak sianosis, tetapi masih sadar, lakukan ‘back blows’
(gb. 15).
Cara :
11
a) Penolong berdiri di samping agak
ke kebelakang dari pasien.
b) Sangga dadanya dan sedikit
bungkukan.
c) Beri 5 pukulan tajam dengan tumit
tangan diantaran kedua tulang berlikat (scapulae) untuk melepas
sumbatan.
12
Penolong berlutut diantara paha pasien atau salah satu sisi
pasien, letakkan tumit tangan di abdomeal atas diantara
umbilicus dan titik temu iga bawah.
Letakkan tangan yang lain di atasnya. Hati-hati jangan menekan
iga tersebut.
Tekan kuat dan cepat kea rah bawah dan kepala.
Lakukan ‘abdominal thrust’ini 5 kali berturut-turut. Jika tidak
berhasil kembali lakukan ‘black blows’ ‘abdominal thrust’ dan
seterusnya.
Gambar 18
Recovery Position
Jika pasien kembali bernapas dan teraba sirkulasi spontan, maka pertolongan
ditujukan untuk mempertahankan jalan napas bebas dari sumbatan pangkal lidah
dan memperkecil kemungkinan aspirasi isi lambung / muntahan.
Untuk itu pasien diatur pada posisi ‘recovery’ (gb. 19, 20).
1. Lengan yang dekat penolong
diluruskan kearah kepala.
2. Lengan yang satunya menyilang
dada, kemudian tekankan tangan tersebut ke pipinya.
3. Dengan tangan penolong yang
lain raih tungkai di atas lutut dan angkat.
4. Tarik tungkai sehingga tubuh
pasien tergulung ke arah penolong. Baringkan miring dengan tungkai
atas membentuk sudut dan menahan tubuh dengan stabil agar tidak
menelungkup.
5. Periksa penapasan secara teratur.
13
Gambar 19
Gambar 20
14
a) Sumbu kepala-leher-dada harus satu garis lurur. Kepala
dipertahankan pada posisi netral (tidak menengadah, tidak
menunduk), dengan cara memberi alas papan dan kantung pasir di
kanan kiri kepala. Lebih baik jika ada cervical collar (penahan leher).
b) Usahakan pasien berbaring horizontal karena sering terjadi
hipotensi.
c) Untuk membuka jalan napas, cara yang terbaik adalah ‘jaw thrust’.
Teknik ‘head tilt’ hanya boleh dengan gerakan seminimal mungkin.
Perlu diingat bahwa jika gagal membebaskan jalan napas dan memberi
pernapasan, pasien akan meninggal. Namun jika karena memberi
pernapasan terjadi kerusakan sumsum tulang belakang maka kelumpuhan
(tetraplegia) adalah tragedy.
Ringkasan :
Keberhasilan Bantuan Hidup Dasar sangat tergantung pada kecepatan
pelaksanaannya. Usahakan terus melakukan BHD sampai datang bantuan
untuk Bantuan Hidup Lanjut.
15
branchialis, juga sering diraba A. Femoralis. A. brachialis terletak
dilengan atas antara sendi bahu dan sendi siku letakkan ibu diluar
lengan, kemudian digunakan jari telunjuk dan jari tengah.
Gambar 21
16
Gambar 22
Gambar 23
17
memungkinkan kita untuk memberikan ventilasi tanpa harus
merubah posisi kepala lagi.
Gunakan tangan lainnya untuk menekan dada.
Kecepatan pijatan sekurang-kurangnya 100 kali
per menit.
Ratio kompresi dan ventlasi adalah 15 : 2.
Gambar 24 Gambar 25
18
Gambar 26
19
B. Tatalaksana Bantuan Hidup Lanjut
Berdasarkan American Heart Association (AHA) pada Advanced Cardio-vascular
Life Support (ACLS) 2010 tentang Adult Cardiac Arrest, dikemukakan bahwa
kunci bertahan hidup pada cardiac arrest adalah Basic Live Support (BLS) dan
sistem ACLS yang terintegrasi dengan baik. Dasar berhasilnya ACLS adalah
Resusitasi Jantung Paru (RJP) yang berkualitas, dan untuk VF/ pulseless VT
diperlukan defibrilasi yang cepat dan tepat.
20
Ventricular tachicardi adalah suatu kondisi dimana kontraksi ventrikel yang
sangat cepat yang mengakibatkan tidak terjadinya akumulasi darah di
ventrikel yang akan dialirkan ke seluruh tubuh. Sehingga disebut dengan
irama Cardiac arrest.
PEA adalah suatu kondisi dimana terdapat impuls listrik pada jantung
(gelombang EKG pada monitor) namun tidak dapat membuat jantung
berkontraksi. Hal ini dapat diidentifikasi dengan menggunakan palpasi pada
nadi karotis. Pada saat kita melihat adanya gelombang EKG namun tidak
ada denyutan nadi arteri maka disebut dengan Pulselles electrical activity
(PEA). Pada kebanyakan kasus gelombang EKG yang terlihat saat terjadi
PEA cenderung dengan irama jantung yang (HR) dibawah normal
(Bradicardia)
4. Asistole.
21
Asistole adalah kondisi dimana jantung berhenti tidak ada kontraksi jantung
dan tidak adanya impuls listrik (gelombang EKG) pada monitor. Pada
gelombang EKG hanya tampak garis lurus tidak ada gambaran gelombang
EKG. Untuk memastikan bahwa pasien mengalami asistole, petugas
kesehatan harus melakukan juga pengecekan nadi arteri (karotis). Pada
pasien yang telah terpasang monitor, dipastikan electrode atau kabel EKG
tidak terlepas untuk memastikan apakah betul gelombang tersebut adalah
asistole atau bukan. Biasanya pada pasien yang telah terpasang monitoring
invasive (menggunakan arteri line) akan terlihat juga pada saat gelombang
EKG asistole akan tampak gelombang arteri flat atau lurus.
22
Gambar 1. ACLS Algoritma Penatalaksanaan Cardiac Arrest
Gambar 1 memperlihatkan algoritma pada cardiac arrest berdasarkan AHA The
2010 ACLS. Secara keseluruhan algoritma ini sudah disederhanakan dan
dirancang untuk meningkatkan RJP pada tatalaksana dari cardiac arrest. Periode
pause RJP harus dibuat sesingkat mungkin, hanya pada saat memeriksa irama
jantung, shock VF/VT, periksa nadi, atau memasang advanced airway.
23
Pada keadaan tidak ada advanced airway, suatu kompresi-ventilasi yang sinkron
dapat dilakukan dengan rasio 30:2, dengan kompresi jantung luar paling sedikit
100 kali permenit. Setelah memasang supraglottic airway atau endotrakea tube,
dapat dilakukan kompresi jantung luar sedikitnya 100 kali permenit, dengan terus
melakukan ventilasi tanpa berhenti. Ventilasi diberikan sebanyak 1 kali setiap 6
sampai 8 detik (8 sampai 10 kali permenit) dan dilakukan secara hati-hati untuk
menghindari berlebihnya jumlah ventilasi yang diberikan.
Ketika irama jantung masih VF/VT, maka penolong pertama tetap melakukan
RJP ketika yang lain menyiapkan charge defibrillator. Jika sudah siap, RJP
dihentikan dan shock kembali dilakukan. Setelah itu RJP langsung dilanjutkan
kembali selama 2 menit, dan nilai irama dan nadi kembali. Penolong yang
memberikan kompresi jantung luar sebaiknya digantikan setiap 2 menit untuk
mengurangi kelelahan. Kualitas RJP sebaiknya dimonitor berdasarkan parameter
mekanis dan fisiologi.
24
Diagnosis dan terapi pada penyakit dasar dari VF/VT adalah fundamental pada
algoritma ini. Sering disebut 5H dan 5T yang sebenarnya merupakan penyebab
reversibel dan dapat dikoreksi segera untuk mengembalikan irama jantung pada
irama sinus. Pada VF/VT refrakter, ACS atau infark miokardium harus
dipertimbangkan sebagai penyebab, reperfusi seperti coronary angiography dan
PCI selama RJP, atau emergency cardiopulmonary bypass dapat dilakukan pada
kasus ini. Jika pasien telah menunjukkan ROSC, perawatan post-cardiac arrest
dapat segera dimulai.
PEA sering disebabkan oleh kondisi reversibel yang dapat di koreksi jika dapat
teridentifikasi penyebanya. Oleh karena itu, setiap 2 menit periode dari RJP
sebaiknya penolong melakukan penilain terhadap 5H dan 5T untuk menyelidiki
kemungkinan penyebabnya. PEA dengan hipoksia, dapat dipasang segera
advanced airway untuk mencapai oksigensi atau ventilasi yang adekuat. PEA
yang disebabkan oleh severe volume loss atau sepsis dapat dikoreksi dengan
kristaloid IV. PEA oleh kehilangan banyak darah, dapat dilakukan transfusi
darah. Jika emboli paru dicurigai sebagai penyebab cardiac arrest, terapi
25
fibrinolitik emperis dapat dilakukan. PEA oleh tension pneumothorax, needle
decompression dapat dilakukan untuk terapi awal.
2. Epinephrine
Epinephrine hydrochloride bermanfaat pada pasien dengan cardiac arrest,
utamanya karena memiliki efek α-adrenergic reseptor-stimulating
(vasokonstriktor). Efek α-adrenergik dari epinephrine dapat meningkatkan
CPP (coronary perfusion pressure/aortic relaxation “diastolic” pressure minus
right atrial relaxation “diastolic” pressure) dan tekanan perfusi cerebral
selama RJP. Untuk efek β-adrenergik dari epinephrine, masih kontoversi
karena berefek meningkatkan kerja miokardium dan mengurangi perfusi sub-
endokardial.Berdasarkan kerjanya tersebut, jadi cukup beralasan jika
26
pemberian 1 mg epinephrine IV setiap 3-5 menit dianjurkan pada cardiac
arrest. Dosis lebih tinggi hanya diindikasikan pada keadaan khusus, seperti
pada overdosis β-blocker atau calcium channel blocker. Jika akses vena (IV)
terlambat atau tidak ditemukan, epinephrine dapat diberikan endotrakeal
dengan dosis 2 mg sampai 2, 5 mg.
3. Vasopressin.
Vasopressin adalah nonadrenergic peripheral vasoconstrictor yang juga
dapat mengakibatkan vasokonstriksi pada koroner dan ginjal. Berdasarkan 3
meta-analysis trials dan 2 randomized controlled clinical trials (RCTs),
mendapatkan pemberian vasopressin dikombinasi dengan epinephrine tidak
memberikan perbedaan bermakna jika dibandingkan pemberian epinephrine
tanpa kombinasi vasopressine. Oleh karena itu, vasopressine single dose 40
unit IV tidak lagi dipakai dalam algoritma cardiac arrest.
4. Antiaritmia
Amiodarone IV berefek pada channels natrium, kalium, dan kalsium dan juga
memiliki efek α- and β-adrenergic blocking. Amiodarone dapat
dipertimbangkan untuk terapi VF atau Pulseless VT yang tidak memberikan
respon terhadap shock, RJP dan vasopressor. Dosis pertama dapat
diberikan 300 mg IV, diikuti dosis tunggal 150 mg IV. Pada blinded-RCTs
didapatkan pemberian amiodarone 300 mg atau 5 mg/KgBB secara
bermakna dapat memperbaiki keadaan pasien VF atau Pulseless VT
dirumah sakit, dibandingkan pemberian placebo atau lidocaine 1, 5
mg/KgBB.
5. Precordial Thump
Penggunaan precordial thump pada pasien cardiac arrest masih kontroversi.
Ketika dilakukan pada VF/VT atau PEA, precordial thum masih tergolong
aman, tetapi tidak terbukti bermakna menghentikan aritmia yang sedang
berlangsung. Oleh karena itu, sebaiknya precordial thum hanya dilakukan
sebagai intervensi awal terhadap unstable ventricular tachyarrhythmiasketika
defibrillator tidak ada atau belum siap shock, tetapi setelah itu harus
melakukan RJP, kemudian shock bila defibrillator telah siap.
27
BAB IV
DOKUMENTASI
28
Dokumentasi yang dilaksanakan dalam pelayanan resusitasi ini adalah :
1. Lembar Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi
2. Formulir Observasi TTV
3. Lembar Code Blue
BAB V
PENUTUP
29
Demikian Panduan Pelayanan Resusitasi sebagai acuan dalam
memberikan asuhan pada pasien dengan resiko tinggi yang mengalami
kegawadaruratan dengan tujuan dapat lebih meningkatkan lagi terkait
Keselamatan Pasien di RS Muhamadiyah Paser
30