Anda di halaman 1dari 12

(Sinar Harapan, 1967) Jim

Lim: Pementasan Drama


Di Indonesia: Mustahil,
Mungkin, Harus Mungkin
(1)
Seputar Teater Indonesia / 2 minggu ago

Pementasan Drama Di Indonesia: Mustahil, Mungkin, Harus Mungkin


(1)
Oleh: Jim Lim
 

TERLALU banyak yang seharusnya dibicarakan


tentang pementasan: aktor, sutradara, designer, gedung, produksi, lampu, segi pandangan orang teater, segi
pandangan penonton, fakta dan cita-citanya, sejarah dan hari depannya.
Terlalu banyak yang sudah dikatakan, dan tidak pernah terlaksanakan.

Saya tidak akan bisa mengatakan apa-apa, kemudian saya akan mengatakan sebanyak-banyaknya sesingkat-
singkatnya. Urutannya tidak penting, “tidak” dan “ya” bisa diputarbalikkan.

Pementasan drama di Indonesia adalah suatu kemustahilan. Pementasan drama di Indonesia adalah sesuatu yang
tidak mungkin, karena tidak ada – pernyataan maaf saya kepada para pengarang drama di Indonesia – tidak ada
penulisan drama di Indonesia, tidak pernah ada bantuan dari pemerintah dan   pejabat-pejabat, bahkan dukunganpun
tidak ada, tidak ada publik yang percaya kepada seni drama, karenaorang-orang teater di Indonesia – pernyataan
maaf saya kepada orang-orang teater Indonesia – semua orang lemah atau palsu, termasuk saya sendiri. Pementasan
drama di Indonesia adalah Don Kisot melawan kincir-kincir angin. Don Kisot si Gila!  Katakanlah pernyataan
demikan datang dari mulut seorang pengkhianat dan pengecut, masih ada yang akan menganggapnya ucapan dari
akal sehat dan waras.

Tapi dengan Don Kisot juga maka uraian ini dapat dilangsungkan. Menurut jasad ceritanya Don Kisot yang gila dan
dunia yang waras. Tapi jiwa cerita itu mengatakan bahwa Don kisot waras dan dunia gila. Setidak-tidaknya itu dapat
kita mengerti dari versi film Kozinsev, yang telah kami saksikan belum lama ini. Pementasan drama di Indonesia
adalah mungkin dan harus mungkin. Don Kisot yang waras! Dengan menyadari adanya fakta-fakta dan cita-cita,
sejarah dan hari depan, maka fakta dan sejarah kita identifikasikan sebagai satu, cita-cita dan hari depan tidak usah
saya perbincangkan lagi karena seperti dibuktikan oleh fakta dan sejarah, terlalu banyak sudah diskusi, seminar,
konferensi, pengorganisasian, manifest, ikrar, janji, semuanya demi cita-cita dan harai depan teater, pementasan
drama di Indonesia. Singkatnya, cita-cita dan hari depan pementasan drama di Indonesia menuntut orang-orang
teater sejati dan tulen, gedung-gedung dan sekolah-sekolah teater, berpuluh-puluh penulis drama Indonesia yang
kreatif/produktif, dana dan fasilitas-fasilitas lain dari pemerintah, pengertian sedalam-dalamnya dan dukungan
sepenhnya dari pejabat-pejabat, publik besar yang mencintai teater, perekonomian teater yang sehat.

Sikap realis kita mengenai ini dapat diwujudkan hanya sampai penandatanganan piagam-piagam, pernyataan-
pernyataan, permintaan-permintaan, dukungan-dukungan, anggaran-anggaran dasar.Dengan ini terbentang sudah
fakta dan sejarah teater kita. Berpuluh-puluh dokumen tertulis tanpa perkembangan-perkembangan konkrit; tetap
tidak ada orang-orang teater yang terpercaya, tetap tidak ada gedung-gedung dan sekolah-sekolah teater yang
memenuhi syarat, tetap tidak ada penulisan drama Indonesia, tetap tidak ada dana dan fasilitas-fasilitas lain dari
pemerintah, dukungan/pengertian dari pejabat-pejabat, tetap belum ada publik teater, dan perekonomian teater kita
celaka betul, disertai permintaan maaf saya kepada mereka yang bersusah payah dan gagal. Sekian riwayat cingkat
cita-cita dan hari depan fakta dan sejarah teater kita.

DARI SEGI penonton dapat dipastikan bahwa tidak ada publik seni drama di Indonesia. Sementara saya biarkan
publik wayang di luar perhitungan. Tentu saja tanpa penonton tidak mungkin ada teater. Sepanjang sejarah seni
drama Indonesia, publik yang semestinya mencintai dan setia kepada teater, ternyata tidak menyukai teater, tidak
peduli tentang teater, tidak percaya kepada teater. Publik itu selalu dipermainkan, dikecewakan, ditipu, tidak
dibimbing, diselewengkan oleh pementasan-pementasan drama di Indonesia. Tidak ada publik untuk pementasan
drama di Indonesia, kecuali:

1. Ada publik pencinta tontonan sensasi, sex, show-show-an yang mewah dan gemerlapan, hiburan picisan,
kesenian palsu. Walaupun produser-produser bukan publik, namun mereka lebih tepat digolongkan dalam
jenis ini. Mayoritas!
2. Ada publik yang tidak menaruh minat atau perhatian kepada teater. Mereka tidak tahu dan mereka tidak
peduli. Jumlah besar.
3. Ada publik kecil pencinta teater, sebagian besar terdiri dari orang-orang yang bergerak di bidang
kebudayaan, yang merasa dirinya seniman atau artis, yang menggemari, tapi tidak bisa atau tidak mau
membayar dan minta undangan. Minoritas.
Sama halnya dari segi orang-orang teater. Sesungguhnya di Indonesia tidak ada orang-orang teater. Juga di sini saya
biarkan dulu di luar perhitungan para dalang, kelompok-kelompok wayang orang, sandiwara-sandiwara rakyat.
Sepanjang sejarah dan faktanya menuju cita-cita dan hari depan teater di Indonesia, tidak seorangpun orang teater
yang betul-betul berusaha, betul-betul mengabdi, betul-betul berkorban.

Kecuali kalau kita mau tahu suatu perincian lagi yang tidak begitu penting:

1.Ada orang-orang teater yang sebetulnya petualang, vested interest, mencari kemashuran pesat (instan
fame), show belaka, palsu semuanya, dan benar-benar perusak teatar.
2. Ada orang-orang yang masuk ke teater karena ia tidak tahu apa yang dikehendakinya. Mereka memang
berhasrat mencari tempat pelabuhan. Sayang sekali mereka lebih menderita, dan seringkali lebih banyak
mendapat kerugian diri.
3. Ada orang-orang teater yang betul-betul berusaha dengan segala kemauan dan daya kemampuan mereka.
Fakta dan sejarahanya bagi mereka penuh derita dan kesengsaraan, takut, kehidupan abnormal,
kekecewaan, kekalahan.
(Bersambung)

Sumber: Harian Sinar Harapan, 27 April 1967

(Sinar Harapan, 1967) Jim


Lim: Pementasan Drama
Di Indonesia: Mustahil,
Mungkin, Harus Mungkin
(2)
Seputar Teater Indonesia / 2 minggu ago

Pementasan Drama Di Indonesia: Mustahil, Mungkin, Harus Mungkin


(2)
Oleh: Jim Lim
 

SEMUA ini dipikulnya sampai ia simbolis mati, kalau ia tabah. Atau sampai ia memutuskan
segala hubungan dengan teater, kalau ia katakanlah “insyaf”. Atau sampai ia akhirnya membenci teater,
akibat kasih tak sampai.
Kita banyak bicarakan tentang pengorbanan, tetapi tidak pernah MELAKUKAN pengorbanan. Bicara
tentang pengorbanan. Kita akan “idealis”, “pemimpin” musuh realitas, karena siapa dapat mengorbankan,
misalnya keluarga, kenikmatan material kehidupan sehari-hari, nasi, atap, tempat tidur. Padahal kita telah
bicara fakta-fakta, realitas dalam teater Indonesia. Saya tidak pernah menganggap diri saya idealis, tapi
realis. Betapa relatif istilah idealis itu. Teringat saya pada ucapan seorang budayawan di Bandung yang
berargumentasi bahwa seperti ada idealis dalam seni bermutu, begitu juga ada idealis dalam hiburan.
Saya bisa melanjutkan bahwa harus ada idealis dalam pornografi, idealis dalam kelicikan, idealis dalam
kejahatan. Kata idealis itu jelas tidak berlaku lagi.

REALITAS pementasan drama di Indonesia gelap dan tanpa harapan. Saya lebih pesimis daripada
idealis. Apakah teater Indonesia dalam keraguan dan ketakutan, tidak tahu arahnya, menyasar? Apakah
kita mempersalahkan keadaan ekonomi negara kita – kambing hitam, kambing putih, yang mengkorupsi
material maupun moril, alasan ekses tercinta itu, yang juga telah menyangkut orang-orang teater dan
yang menamakan diri orang-orang teater?

Pada saat ini pasti timbul pertanyaan: saya sedang melantur tentang apa? – agak seperti orangtua dalam
monolog ceramah “Bahaya Tembakau” Cekov, subyek yang sedang dibicarakan ialah “pementasan
drama di Indonesia”. Saya seharusnya bicara tentang naskah-naskah, aktor-aktor, sutradara-sutradara,
dekor, lampu, pakaian, alat rias, gedung, konsumsi, pengangkutan, uang becak dan sebagainya, dan
sebagainya. Tidak! Tidak! Semua itu tidak penting. Yang penting ialah manusianya. MANUSIA-
MANUSIAnya yang memungkinkan atau tiak pementasan drama di Indonesia. Siapakah dia? Apakah
dia? Bagaimanakah dia? Dimana tempatnya? Bolehkah dia? Drama bisa dipentaskan di Indonesia di
mana sajatanpa sesuatu embel-embel atau di gedung terindah dengan segala kelengkapan dan
kesempurnaan, kedua-duanya bisa gagal atau berhasil. Yang paling utama ialah manusianya, orang
teater Indonesia. Orang dalam pemerintahan dan di lain-lain lapangan yang mesti membantunya, orang
penonton Indonesia yang mesti mengerti dan mencintainya.

Ada orang-orang kebudayaan atau orang-orang berbudaya di Bandung, dan mereka mengatakan bahwa
Indonesia modern TIDAK MEMERLUKAN teater, bahwa teater tidak penting, bahwa teater bahan racun.
Saya tidak tercengang lumpuh. Saya tidak mengarang atau berdusta, penilaian terhadap pernyataan itu
saya serahkan.

UNTUK tidak mengulangi lagi bahwa pementasan drama di Indonesia suaatu kemustahilan, tapi tetap
mempertahankan pementasan drama di Indonesia sebagai yang mungkin, satu pertanyaan mestsi
diajukan dan dicari jawabannya; apakah negara kita yang pernah mencintai wayang sebagai pengemban
falsafah dan moralitas, apakah negara kita Indonesia modern memerlukan teater yang hidup?

Jika jawabannya “TIDAK” maka tamatkan saja, segera habiskan saja riwayatnya, dengan cara pengawal
merah melenyapkan  sama sekali teater itu tanpa bekas, jangan sekali-kali disebut nama teater, drama,
sandiwara, tonil.

Jika jawabannya: “YA” tentu saja kita bukan melanjutkan perenungan dan perbincangan, tapi mulai
melaksanakan. Bukan maksud kita hanya untuk mem[erkaya fakta dan sejarah dengan satu berkas ikrar,
janji, tentang hari depan dan cita-cita lagi.

Pementasan drama Indonesia saat ini? Cari satu dua orang pengantar jalan teater, cari pinjaman modal
kalau ada yang mau memberikan, kerja seperti kuli dan orang gila, cari publikmu, perhitungkan rugi uang,
mulai melakukan pengorbanan  – demi hari depan dan cita-cita teater seperti kata klisenya – lihat saja
bagaimana pertumbuhan tanaman kita di tanah gersang, diganggu serangga-serangga, beraneka
macam, mengharapkan hujan, pupuk, irigasi.
Saya seperti bergurau, tapi saya serius (Habis)

Sumber: Harian Sinar Harapan, 28 April 1967

(Suara Karya, 1974)


Noorca Marendra: Soal
Perombakan Naskah Oleh
Sutradara
Seputar Teater Indonesia / Desember 29, 2017

Soal Perombakan Naskah Oleh Sutradara


Oleh: Noorca Marendra
 

Noorca Marendra

“Saya mau pentaskan naskahmu “KISAH CINTA DLL” dan “PADA SUATU HARI” kata saya suatu ketika
kepada Arifin C. Noer.

“Pentaskan saja. Kalau perlu atau kalau kau punya visi lain, robah saja naskah itu,” jawabnya.
“Kenapa?” tanya saya sedikit heran.

“Soalnya saya sendiri juga suka merobah-robah naskah orang lain. Jadi kalau ada orang lain merobah-
robah naskah saya, boleh-boleh saja. Saya tidak keberatan, malah dianjurkan,” Dia ketawa. Saya
ketawa. Inilah berita pertama yang membolehkan merobah naskah untuk pementasan, bagi saya
“Walaupun Rendra sudah memulainya sejak “GODOT” sampai “HAMLET” yang perihal bahasanya
menghebohkan.

Ketika saya mementaskan “BULAN BUJUR SANGKAR” iwan Simatupang tanggal 15 September 1973 di
Direktorat Kesenian, perubahan terhadap naskah sudah dimulai. Walaupun perubahan terhadapnya tidak
seberapa. Hanya berupa penambahan/pengurangan terhadap kalimat-kalimat yang tidak plastic, agar
bisa ditangkap penonton tanpa terlalu banyak mengerutkan kening. Selain itu juga perubahan idea
naskah dari eksistensialisme yang pekat menjadi protes terhadap gereja secara ekstrim. Dan ini dengan
tegas saya nyatakan dalam sinopsis yang disampaikan kepada Dewan Juri dalam semifinal Festival
Teater Remaja wilayah Jakarta Pusat, antara lain: “… karena lakon ini  pada mulanya adalah idea, maka
inilah kelemahan lakon ini. Berangkatnya yang dari idea, menjadi sebab bahasa lakon ini agak sedikit
kehilangan kodratnya sebagai alat komunikasi konvensionil.”

Dan lebih tegas lagi, sinopsis tersebut ditutup dengan: “Dan Noorca Marendra, sutradara dan sekaligus
pemain, menuangkan interpretasinya atas lakon ini dengan visinya sendiri-sendiri. Maka tak pelak lagi,
unsur bahasa, umur, costume, sett, dan sebagainya dalam naskah, tidak menjadi ikatan yang tabu untuk
dibuat lain. Karena eksistensialisme adalah masalah yang tembus ruang dan waktu. Paling tidak untuk
kelompok masyarakat kontemporer belakangan ini. Dan visi inilah yang kemudian melahirkan bentuk
pada pementasan kali ini. Lakon ini dituangkan tanpa keraguan sedikitpun dalam versi Kristen, tanpa
keinginan untuk mengada-ada. Karena beberapa penafsiran Kristen telah menimbulkan bergumal-gumpal
keraguan dalam hatinya. Tegasnya, interpretasi sutradara yang dituangkan dalam versi Kristen ini,
adalah keragu-raguan terhadap Kristen yang divisualisasikan dalam bentuk pementasan. Dan apakah
“Kristenisasi” lakon Iwan yang dimuntahkannya ini bisa sampai secara wajar kepada penonton atau tidak,
itu soal lain.”

Dan ternyata, tanpa banyak cingcong dan tawar-menawar, pementasan ini menghasilkan sutradara
terbaik, aktor terbaik, designer terbaik, dan group terbaik pertama untuk wilayah Jakarta Pusat. Dan
entah kenapa, Sdr Pramana Pmd sebagai koordinator Dewan Juri waktu itu, yang menonton
pertunjukkan saya dan kemudian menonton (bahkan menjadi juri) pertunjukkan naskah yang sama di
Jakarta Selatan (yang dipentaskan betul-betul sesuai dengan naskah oleh group lain) tidak segera
membicarakan soal “perubahan naskah” untuk dipertimbangkan dengan duapuluh lima anggota Dewan
Juri dalam sidangnya? Sebab, kalau sejak awal soal perubahan naskah ini sudaha tidak ditolerir, maka
kemungkinan untuk coba-coba tidak setia dengan merombak atau membantai atau menjagal atau
mempermak atau merusak naskah dengan alasan apapun, banyak atau sedikit, jelas tidak akan terjadi
dan tidak akan ada yang bakal berani melakukan!

Terus terang saja, sejak belum dibaca, saya sudah bersiap untuk mementaskan “SYEH SITI JENAR” ini.
Persoalan-persoalan yang timbul dalam cerita ini sangat merangsang hati saya untuk mencoba
mementaskannya. Paling tidak, ini akan merupakan latihan bagi saya untuk bekerja sungguh-sungguh.
Tetapi alangkah kecewanya saya, ketika naskah Vredi kastam marta yang konon berharga seratus lima
puluh ribu rupiah itu saya baca dan saya pelajari jungkir balik. Sebagai sebuah lakon sandiwara, naskah
ini bukan main buruknya dalam bahasa, struktur, dan perwatakan, kendati temanya saya akui memang
menarik. Paling tidak untuk saya pribadi. Banyolan-banyolan yang hendak memunculkan orisinalitas
kerakyatan atau ke Jawaan, bahkan terjerumus ke dalam vulgarisme. Banyolan kampungan, yang
dengan sendirinya malah merusak banguna tema yang kelabu dan kontemplatif.
Bahasa Jawa yang dominan dalam lakon ini sangat mengganggu sekali bagi komunikasi lakon dengan
pembaca/penonton yang tidak paham mistik Jawa (kejawen). Juga kalimat-kalimat bahasa Indonesianya
yang tidak selesai dan tergantung-gantung, tidak sedikit andilnya dalam menghambat komunikasi lakon
ini. Perwatakan sama sekali tidak digarap. Antah Syeh Siti Jenar dengan Sultan Demak, dan Sunan
Kudus, hanya dipisahkan dengan garis-garis tipis yang nyaris tidak kentara warnanya. Apalagi melihat
strukturnya yang memang monoton dan tidak dramatik itu, jelas sangat membantu sekali untuk semakin
“mendatarkan” dan “mendinginkan” lakon ini. Dan kelemahan-kelemahan ini, jelas amat menyulitkan
jalannya pementasan kalau – dengan lakon ini sutradara berhasrat untuk menghasilkan pertunjukan yang
bagus dan bermutu, tanpa merusak naskah sama sekali! Sehingga saya beroleh kesan, bahwa
kemenangan lakon ini dalam sayembara II yang lalu, hanya melulu ditolong oleh tema yang bagus dan
bentuknya saja.

Itulah yang jadi sebab, kenapa pada akhirnya saya pentaskan juga “Syeh Siti Jenar” dengan tampang
yang tidak lagi utuh sebagai miliknya Vredi Kastam Marta, yang konon berharga seratus lima puluh ribu
rupiah itu. Dengan disertai harapan, semoga sebagai sebuah pertunjukan, lakon ini tetap utuh dengan
tema, jelas dalam perwatakan, “sampai” dalam maksud dan bagus dan bermutu sebagai tontonan.
Harapan itu, kemudian nyata terbukti, kendati di sana-sini memang kentara kesendatannya, karena
latihan yang hanya praktis tiga minggu. Sebagai sebuah pertunjukan, “Syeh Siti Jenar” berhasil dan
sukses, kendati bukannya tanpa cacat: Dan tidak seorangpun bisa menyangkal kenyataan ini.
Sebagaimana juga dengan kenyataan berikutnya: “Syeh Siti Jenar” gagal dalam festival. Alasannya
sudah tentu tidak pula bisa dibantah, karena: 1) Tidak setia kepada naskah, 2) Tidak orisinal dalam
pementasan, lebih condong kepada gaya Teater Kecil dan Bengkel Teater, 3) para pemainnya tidak lugu
dan wajar seperti Abang Becak, pemain lenong, misalnya. Sebab abang becak akan lebih jujur dan
bebas dari pengaruh jurus-jurus teknik acting “gaya barat” dan tidak terlibat dalam segala hal yang
berbau teknis! (sementara tujuan festival sebagai pendidikan ke arah profesionalisme jelas akan cuma
omong kosong kalau tanpa disertai pengetahuan jurus-jurus acting dari barat maupun dari Timur), 4)
tidak mencerminkan nafas Indonesia yang berbudaya nasional, kerakyatan dan agraris. Dan sekian
alasan lain yang tak perlu dibincang-bincangkan di sini.

“Kau sudah baca “Syeh Siti Jenar”” tanya saya kepada Putu Widjaja, juri, beberapa hari sebelum
pementasan saya.

“Sudah” jawabnya.

“bagaimana pendapat kau?”

“Vredi terlalu terpikat kepada bentuknya saja. Dia cuma mementingkan bentuk semacam itu. Sementara
bidang lain tidak digarap!”

“Betul, itu sebabnya kenapa saya merombak naskahnya.. Banyak sekali yang dirobah. Bahasanya,
terutama. Juga banyolan-banyolan para gagak yang kampungan itu saya buang semua. Adegan
pembakaran juga saya hapus. Diganti dengan efek lampu. Soalnya selain mirip pembakaran “Sinta”nya
Farida Sjuman, juga ada dialog dan banyolan Para Api dan Yang Bukan Engkau yang sangat merusak
ending sakral.

“Kalau kau membantai naskah orang, bantai saja sekalian. Kalau tidak, ya tidak usah sama sekali.
Jangan tanggung-tanggung!” katanya tegas. Dan seketika saya jadi ingat bagaimana panas hatinya si
Putu ini ketika “SANDIWARA”nya dbantai Umar Machdam jadi semrawut dan absurd.

“Kau masih ingat doanya Syeh Siti Jenar kepada para pahlawan Demak di depan Sultan Demak dan
Sunan Kudus pada bagian kedua?”
“Ya, kenapa?”

“Doanya mirip sekali dengan doa Hector kepada yang gugur dalam sandiwaranya jean Giraudoux
(PERANG TROYA TIDAK AKAN MELETUS) pada babak II adegan Lima” kata saya.

“Oh, ya Betul itu. Baru ingat saya sekarang. Rupanya dia terpengaruh sekali oleh “PErang Troya” itu,”
jawabnya. (Perlu diketahui, dalam sandiwara yang pernah dipentaskan Teater Kecil di TIM, peranan
Hector itu dipegang oleh Putu sendiri).

“Karena itu, daripada saya mempergunakan teks Siti Jenar dalam doa itu, yang jelas akan lebih buruk,
lebih baik saya pergunakan teks dari hektor yang lebih puitis dengan penyesuaian di sana-sini,” kata
saya.

Dan munculnya Pangeran Yunus dalam sandiwara ini mengingatkan saya pada Polyxena Kecil anak
bungsu Hekuba dalam “Perang Troya”. Juga fungsi dalang wayang catur, tidak beda dengan tokoh Raja
Jin dan Putri Cina dalam “Kapai-Kapai”.

Sebagai penutup kepada “para penembak meriam” di Dewan Kesenian Jakarta, maaf, saya beritahu,
agar lain kali diberlakukan peraturan kepada para sutradara di seantero Indonesia, agar jangan coba-
coba mengusik naskah orang lain untuk dipentaskan,  kalau tidak mau di “black out” atau distempel
“barang palsu” atau “tidak orisinil”. Juga dalam babak penyisihan festival nanti, perubahan naskah
dilarang keras! Sebagai konsekuensinya, pada babak penyisihan, harus diadakan perekaman seperti di
TIM waktu final.

Larangan membantai ini juga harus diberlakukan kepada para pengarang lakon yang
menyutradarai/mementaskan naskahnya sendiri. Bilang saja begini: “Pembantaian macam apapun dan
dengan alasan apapun, adalah merupakan tindak “kriminil” dalam teater!”

Kepada Rustandi Kartakusumah yang bilang kepada saya bahwa kalau naskahnya jelek, kenapa
dipentaskan juga, saya jawab begini: “Tema lakon ini menarik untuk saya. Da saya ingin menyajikan
sebuah pertunjukan yang bagus dan bermutu tanpa mengikatkan diri pada persyaratan festival yang
rumit dan mengekang, dengan bahan: sebuah naskah yang cuma bermodalkan tema doang. Itu saja
(Bulungan, 1 Pebruari 1974)

Sumber: Suara Karya Minggu, 17 Pebruari 1974

(Minggu Pagi, 1981) Wadie


Maharief: Teater dan
Kesetiaan?
Seputar Teater Indonesia / November 6, 2017

Teater dan Soal Kesetiaan?


Oleh: Wadie Maharief
 

I.

Pernah ada semacam pendapat yang mengharuskan Setia (dengan S besar), di kalangan para pecinta teater terhadap
para pekerja teater, sekali dia terjun ke dunia teater, maka tuntutan kesetiaan dibebankan kepadanya. Kepada siapa
saja yang pernah terjun ke dunia suram itu!

Pendapat yang diharuskan semacam itu tentu saja sangat positif bila kita tinjau dari sudut kelestarian hidup teater di
negeri ini. Tapi kita juga tak selamanya  bisa positif dan optimis!

Mengharapkan kesetiaan kerja terhadap orang-orang teater, terutama pada pemain atau aktor atau aktrisnya, boleh-
boleh saja. Bahkan, memang seharusnya begitu! Tapi juga kita (siapa saja yang cinta teater) hendaknya bersikap
adil. Rasanya tidak adil kalau kita melulu cuma menuntut kesetiaan terhadap kerja teater  mereka, tapi di lain pihak
kita toh tak mampu mendukung kesetiaan mereka. Misal saja tidak mau membayar karcis masuk bila ada
pertunjukan teater! Ini adalah salah satu tindakan yang salah dan tidak adil itu!

Hendaknya, bila kita menuntut kesetiaan, kitapun harus pula setia. Cuma itulah satu kemungkinan bagi
kelanggengan hidup sebuah teater. Dan satu-satunya kemungkinan  seorang teaterawan bersetia terhadap kerjanya!
Tapi apakah itu mungkin?

II.

Sebuah tulisan di harian Kompas, oleh Djoko Quartantyo pernah dilontarkan semacam hasil pengamatannya, di sana
dikatakan bahwa hasil jerih payah seorang teaterawan yang group teaternya  bisa pentas rutin di TIM saja paling
tinggi Cuma mendapat penghasilan tujuh ribu rupiah  sebulan. Bayangkan, Rp. 7,000 perbulan untuk hidup di kota
semacam Jakarta pula! Lantas kesetiaan macam apa yang bisa kita harapkan dari kondisi semacam itu? Dan konon
coba pula bayangkan bagi para teaterawan di kota Yogya atau kota-kota kecil lainnya, yang jarang sekali
mendapatkan kesempatan untuk naik panggung, dan kalaupun punya kesempatan maka kesempatan itu harus
dibayar dengan modal yang cukup mahal!

Saya kadang memang terpaksa dengan berat hati melepas seorang sahabat untuk pindah dari kerja lain dan
meninggalkan kehidupan teaternya demi masa depan. Mau apalagi? Demi masa depan! Di teater agaknya tak ada
kemungkinan bermasa depan. Apa boleh buat?

III

Melihat kondisi yang suram dalam dunia teater kita sekarang ini, saya lebih suka terbentuknya sebuah group teater
tanpa perlu direncanakan secara muluk-muluk. Tanpa eprlu menjadi sebuah organisasi yang formal dengan lagak
profesional segala macam. Saya lebih suka teater terbentuk  separa spontan, kemudian kalau perlu terus bubar
setelah satu kali pentas!

Toh, beres! Soal kelanggengan hidup teater di negeri ini, toh tetap akan ada dan lahir lagi sekian ratus, sekian ribu
kelompok yang lain, entah kapan saja, dan di mana saja. Tak ada kemungkinan bagi tidak munculnya sebuah group
baru. Ibarat mati satu tumbuh seribu, teater akan terus ada dan lahir.

Jadi begitulah, kalau ada kawan-kawan kepingin pentas, terus saja ngumpul, habis pentas, bubar. Yang sehari-
harinya bekerja sebagai tukang becak kembali jadi tukang becak. Yang seharu-harinya tukang parkir kembali
markir. Yang sehari-harinya jadi dosen, kembali ke kampus. Begitulah! Kepingin pentas, kumpul lagi, dan
barangkali muncul pula wajah baru bikin segar suasana dan tambah pergaulan serta pengalaman. Kan asyik?

Sementara toh, Rendra telah lama jadi juragan, prek-lah kesetiaan! Toh Arifin, Teguh Karya, dan sekian lagi tokoh-
tokoh teater kita telah mempraktekkan soal kesetiaan (lantas? Tak perlu setia itu!)

IV

Tapi kalau ada yang merasa perlu untuk setia, kita tak perlu pasang lampu merah! Silahkan jalan terus! Asal
sanggup menahan frustasi berkepanjangan. Hidup dengan teater tak perlu terlalu serius, tapi menghidupkan teater
perlu serius. Untuk itu memang berat! Saya tak pernah membayangkan ada seorang teaterawan ideal yang mampu
memperluruh seluruh hidupnya untuk teater. Apa pula sejak Rendra yang konon pernah sesumbar untuk setia
dengan teater, toh akhirnya ‘mana tahan”?

Teater masih merupakan kesenian elite dan ekslusif. Yang mau mengunjungi sebuah pertunjukan teater tak akan
pernah lebih dari mereka juga yang terlibat dalam dunia suram itu. Jadi mengharapkan banjir pengunjung dan
membayar adalah utopia yang sangat berat!

Apa pula yang namanya teater itu toh bukan dunia awam, melainkan cerminan kehidupan yang sudah tersaring lewat
kacamat kesenian modern yang bila tampil kemudian akan berujud seni yang sukar dipahami.

Biar cerita yang dipentaskan adalah dunia para kuli misalnya, toh kalau ada kuli yang nonton, mereka tak akan
pernah bisa paham apakah cerita kuli yang dipentaskan itu?

Kan lucu dan ironis. Lantas apakah selanjutnya para kuli akan nonton teater dan tak berkeberatan untuk membayar
karcis masuk? Rasanya tak akan mungkin.

Jadi bagi yang butuh masa depan, tak perlu panjang lebar kita bicarakan di sini. Silahkan tinggalkan kehidupan
teater, bila anda butuh masa depan dan carilah kerja!

Sebaliknya, silahkan pulang bla anda rindu pingin naik panggung lagi. Tak ada persoalan! Tak ada soal kesetiaan!
Toh, semua akan beres! (1981. Yogya. Dipo)

Sumber: Minggu Pagi, 11 Oktober 1981

(Suara Karya, 1971) Noorca


Marendra: “Dunia Azwar”
WS Rendra
Seputar Teater Indonesia / Desember 30, 2017

“Dunia Azwar”: WS Rendra


Oleh: Noorca Marendra
 

SEBUAH EKSPERIMEN dalam mengungkapkan kejadian-kejadian yang aktuil sambil menghubungkan dengan


perenungan-perenungan atau juga sebaliknya: menjadikan perenungan kehidupan sambil memberikan kelonggaran
untuk memasukkan aktualitas secara spontan dan improvisatoris. Demikian bentuk daripada drama mini kata “Dunia
Azwar” yang merupakan ide, konsep, dan sutradara WS Rendra sebagaimana tertulis dalam folder. Seperti
diketahui, pementasan ini berlangsung tanggal 28-29-30 September 1971 di PKD Taman Ismail Marzuki.
Protes, arkian yang mau dicapai dan dikemukakan WS Rendra dalam pementasan ini, konon berkisar antara
keprihatinan Bengkel Teater atau barangkali keprihatinan generasi muda dewasa ini. Keprihatinan apa dan
bagaimana gerangan yang membikin Rendra dalam bunderan “Dunia Azwar” ini dengan Bengkel Teater-nya
melancarkan aksi protes-memprotes, dan caci-mencaci, baik kita lihat saja.
Sahdan suda tiba saatnya bagi kita, untuk tidak lagi meributkan dan mengumpat apa yang ditampilkan Rendra 
dengan Bengkel Teaternya kepada kita orang-orang Indonesia. Sebab musabab dari ketidakperluan ini adalah
lantaran kita sudah tahu sama tahu tentang Rendra dengan tingkah lakunya, dengan sepak terjangnya, dengan lagak
lagunya, dan dengan gerak-geriknya, yang konon orang menamakannya dan dia menamakan dengan istilah
“urakan”. Semua orang sudah tahudengan jelas tentang urak-mengurak ini. Dan semua orang sudah tahu bagaimana
istilah inipun bisa ditempelkan kepada Ali Sadikin atau Daeng Pattompo sebagai pemimpin jenis urakan. Sehingga
sebuah harian Ibukota perlu berkampanye mencari pemimpin-pemimpin kaliber urakan semacam ini. Sebab
pemimpin-pemimpin urakan diperlukan untuk melancarkan pembangunan. Tapi apakah urakannya Rendra dan
konco-konconya ini bisa dikategorikan dalam tipe pemimpin urakan dalam pembangunan, kita cuma bisa menggigit
bibir menahan sesuatu (dengan catatan bahwa sesuatu di sini terdiri dari sekian macam sesuatu hingga katakan saja
lantaran saking banyaknya hingga tidak bisa dihitung oleh tiga orang bersama-sama)Dan rupanya tradisi protes-
memprotes dari Bengkel Teater kali ini di panggung teater Terbuka tersebut, bisa juga kita katakan merupakan
kelanjutan daripada Gerakan Moral (GERMO) yang dilancarkan anak-anak Bengkel Teater di Yogya tempo hari.
Istimewanya kali ini germo-menggermo ini sangat menguntungkan mereka. Sebab selain di sini bebas protes-
memprotes, juga di tempat ini mereka ditonton orang dengan aman. Lagipula protes-memprotesnya kali ini jelas
mendatangkan hasil-hasil yang konkrit; publikasi cukup luas, dan jangan lupa, mereka dibayar! Tapi jangan lantas
menuduh bahwa dalam hal ini DKD/PKD menjadi cukong daripada demonstrasi legal ini. Sebab istilah cukong-
mencukong ini tidak pernah akan kita temui dalam kesenian (walau kemungkinan lain bisa terjadi).

Haatzaai Hafas. Sikap kita netral, Maksudnya, kita sudah tahu apa yang akan terjadi. Apa yang akan ditonton, dan
apa hasilnya dari setiap pementasan Rendra. Dengan bersikap netral-lah kita akan terhindar dari “malapetaka”.
Artinya kita akan terluput dari rasa ketidakpuasan. Kekecewaan. Dan “Kegondokan”. Sebab untuk menonton
improvisasi-improvisasi semacam ini kita tidak akan “menerima”. Tapi cuma “melihat”. Atau kalau kita cukup
sensitif, mungkin kita bisa juga sedikit atau banyak “merasakan”nya. Bukan masalahnya kalau kita mesti
menceritakan bagaimana jalannya pementasan tersebut. Tidak penting. Lantaran seperti yang kita ketahui,
improvisasi sifatnya spontan. Tidak peru lagi bincang-bincang tentang improvisasi. Tidak perlu lagi kita mencari-
cari tentang batasan improvisasi. Sebab hasilnya adalah nol kosong! Isi, yang ingin dicapai, itu masalahnya. Dan
kita akan coba mengungkapnya dengan jujur. Diantara nyanyi-menyanyi. Diantara tari-menari. Diantara joged-
menjoged. Diantara tangis-menangis. Diantara jingkrak-menjingkrak. Diantara sajak-menyajak. Dan diantara urak-
mengurak dan Azwar yang berak (maaf, bahasa halusnya “buang air besar”), kita bisa melihat, mendengar, dan
merasakan protes. Protes-memprotes baik yang tajam maupun yang halus. Seperti keluhan mereka tentang Jogja
yang kelatahan. Seperti latahnya mau mendirikan semacam Dewan Kesenian. Latahnya mau membikin Casino.
Latah dengan aksi bongkar dan bangunnya. Juga kelatahan untuk melaksakan proyek pelebaran jalan. Kalau lalu-
lintasnya seramai jakarta tidak apa, kata mereka. Di Jakarta pantas karena banyak mobil, truk, dan motor. Sedang di
Jogja yang lalu lintasnya sepi kenapa mesti melebarkan jalan? Lha wong kendaraannya cuma andong doang! Juga
Unviersitas Gadjah mada mendapat sorotan tajam. Dengan dosen-dosennya yang dari dulu cuma meributkan “kursi”
melulu. Yang menarik adalah klipping koran-koran. Terutama harian KOMPAS yang memberitahu tentang nota Pak
Hoegeng yang memprotes penahanan/penangkapan sewenang-wenang terhadap seseorang. Kemudian klipping dari
harian KAMI sekitar berita pelarangan diskusi “Evaluasi Haatzaai Artikelen” yang sedianya diadakan oleh Senat
mahasiswa FH Usakti oleh Laksus Kopkamtibda Djaja, yang dibacakan oleh Rendra, mendapatkan sambutan meriah
dari penonton. Yaitu ketika selesai membacakan berita pelarangan diskusi tersebut, lantas Rendra dan lain-lainnya
tertawa terbahak-bahak, sambil mengejek dan mencemooh pelarangan tersebut. Dan berhenti ketika mereka
meneriakkan dengan panjang: Haaaaat-zaaaaiiii. Kemudian muncul beberapa poster sebagai kelanjutan daripada
protes. Antara lain berbunyi: “Bagaimana Sum Kuning?”, “Jangan Lupa manipulasi 1,2 Milyar”, “Hafas Korban UU
Kolonial”. Disamping poster “?” “!”, dan “Hai!” serta gambar bola mata yang meneteskan air mata di dalam
jantunghati yang hitam. Juga kemudian kita melihat poster-poster berikutnya, antara lain berbunyi: “Crossboy Buta
Cinta!”, “Ganja adalah Gincu”, “Pop Singer Penjiplak”, “Hippies Borjuis-Onani”, dan sebagainya.
Turun. Dan sementara waktu  kita terpaksa bertanya-tanya ketika Azwar turun dan menyebarkan pamflet kepada
penonton. Rupanya cuma publikasi, tentang “perkemahan Kaum Urakan” di Parang Tritis kelak yang disponsori
Bengkel Teater. Dan rupanya Rendra betul-betul telah menjadi latah dengan mode kaum Hippies di daratan Eropa
dan Amerika, mode kaum nudist. Dan rupanya kali ini Rendra hendak mempelopori anak-anak muda kita untuk
membuat semacam perkemahan bebas semacan itu di Indonesia. Walaupun kita tidak bisa menduga atau menuduh
Rendrahendak mendirikan semacam perkemahan Hippies atau Nudist, yang mengagung-agungkan kebebasan sex
dan cinta. Cuma kita agak tertegun dengan membaca kalimat: “Hari keagungan tubuh dan bahasa tubuh.” Tapi itu
bukan urusan kita. Dan kita tak perlu ambil pusing. Biarkan saja Rendra berbuat seenaknya, semaunya. Dalam
pementasan ini sebagaimana lazimnya pementasan-pementasan Rendra kita bisa menyaksikan adega-adegan
“brutal” sebagai ciri khas Rendra, yang bagi kita adalah hal-hal yang wajar terjadi. Tapi yang selama ini masih
dianggap tidak sopan oleh merea yang mengaku “moralis”. Misalnya ketika Azwar membuka celana dan (tentunya
tidak sungguhan) berak di hadapan penonton. Juga adegan Azwar melakukan persetubuhan, etc, etc. Sekali lagi itu
bukan lagi hal yang baru bagi kita. Dan semua orang sudah menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar saja. Lantas
apa sebenarnya yang kita dapatkan setelah menonton drama mini kata ini? Sebagaimana biasa. Semua orang tidak
ada yang berani menjawabnya. Dan memang demikianlah sifat improvisasi. Dan kita tidak perlu melihatnya dengan
memakai kacamata filsafat maupun kacamata psikiater. Untuk Bengkel Teater dan Rendra, pementasannya kali ini
cukup berhasil sebagai hiburan para penonton. Dan cukup tersampaikan pula protes-protesnya. Dan kita harus
merasa prihatin kepada mereka yang “sok mengerti” dan kepada mereka pengagum Rendra “tanpa perasaan”
(istilahnya teman-teman). Ketika mereka ditanya tentang apa yang dilihatnya, mereka cuma menjawab dengan
senyum-senyum. Dan kitapun membalasnya dengan senyum-senyum pula (dengan keyakinan bahwa enyum-senyum
mereka adalah senyum ketidaktahuan, senyum sok mengerti, dan senyum kebodohan). Kecuali protes dan sedikit
angan-angan Azwar, tidak ada lagi yang bisa kita peroleh dalam drama mini kata ini (dengan catatan bahwa setiap
orang interpretasinya lain). Dan yang selebihnya Cuma berupa latihan-latihan dasar yang paling elementer untuk
seorang calon aktor, sebagaimana tiap hari mereka lakukan di tempatnya. Begitu pengakuan/cerita dari mereka yang
di”assembling” atau yang pernah “direparasi” di Bengkel Teater tersebut. Sebagai sebuah sandiwara, pementasan
rendra kali ini jauh dari baik apabila kita bandingkan dengan hasil yang pernah dicapainya dalam “Godot” dan
“Oedipus” dan “Qasidah”nya tempo hari. Sayang. Dan kita cukup merasa prihatin atas keprihatinan bengkel Teater
ini. Sebagaimana kita prihatin melihat banyak bangku yang kosong tidak seperti biasanya.
Kita tidak tahu kapan Rendra bisa mengembalikan “rekor”nya dalam drama seperti hari-hari yang lalu. Tentu hal ini
Cuma bisa dicapai apabila Rendra bisa menampilkan kreasi-kreasi baru, orisinil, bukan jiplakan, atau klise-klise dari
luar.  Sebab, kita paling tidak, cukup tahu tentang perkembangan bentuk-bentuk teater kontemporer di Eropa
maupun Amerika.

Sebagai penutup, ada baiknya kita mencoba untuk belajar renung-merenung sedikit dengan beberapa kalimat tentang
oposisi di dalam pamflet publikasi Bengkel Teater: Opposisi, adalah djendela bagi kamu. Opposisi adalah djendela
bagi kami. Tanpa Opposisi” Sumpeg. Tanpa opposisi kami akan terasing, akan kamu  dapati gambaran palsu tentang
dirimu. Tanpa opposisi, kamu akan sepi dan onani.

Nah, selamat renung-merenungkan! (Jakarta, 30 September 1971)

Sumber: Suara Karya Minggu, 10 Oktober 1971

Anda mungkin juga menyukai