Disusun oleh :
PRODI MANAJEMEN
LUBUKLINGGAU
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik
dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk
maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah
satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan
dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Ibu Selviana Anggraini. pada mata
kuliah Perekonomian Indonesia Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang “Ketimpangan Ekonomi Dan Kemiskinan Pasca Reformasi”
Kami mengucapkan terimakasih kepada Ibu Selviana Anggraini selaku Dosen mata
kuliah Perekonomian Indonesia, yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang di tekuni. Kami menyadari, makalah
yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB l
(PENDAHULUAN)
1.1 Latar belakang
Studi yang menarik untuk dikaji di Indonesia yaitu tujuan pembangunan nasionaldimana meningkatkan
kinerja perekonomian agar mampu menciptakan lapangan kerja danmenata kehidupan yang layak bagi
seluruh rakyat, serta mewujudkan kesejahteraan pendudukindonesia. Salah satu sasaran pembangunan
nasional adalah menurunkan tingkat kemiskinan.Kemiskinan adalah salah satu penyakit dalam ekonomi,
sehingga paling tidakdisembuhkan atau dikurangi. Permasalahan kemiskinan memang sangat kompleks
dan bersifat multidimensional, karena itu upaya pengentasan kemiskinan harus dilakukan
secarakomprehensif, yang mencakup berbagai kehidupan masyarakat dan dilaksanakan secara terpadu.
4. Analisis growth and share kemiskinan dan ketimpangan DIINDONESIA periode 1998-2014 ?
5. Penyebab, konsekuensi, dan solusi ketimpangan ekonomi dan kemiskinan pasca reformasi ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui koefisien gini, potret distribusi pendapatan, garis kemiskinan dan analisis growt and
share kemiskinan Indonesia pasca reformasi. Serta penyebab, konsekuensi, dan solusi ketimpangan
ekonomi pasca reformasi.
BAB II
(PEMBAHASAN)
Rasio gini di Indonesia pada periode 1998- 2014 rata rata 0,36. Menunjukkan ketimpangan yang
terjadi di Indonesia termasuk kriteria sedangkan karena angka koefisien gini berada diantara 0,35 dan
0,50. Besarnya rasio gini oleh melambungnya harga komoditas. Tahun 2014 kesenjangan terbesar,
dimana dilihat pertumbuhan ekonomi tidak berkualitas, sehingga laju pendapatan orang miskin tidak
bisa mengejar kecepatan tumbuhnya harta orang kaya.
Tabel :
Grafik :
Distribusi pendapatan mencerminkan merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu
negara di kalangn penduduknya. Tidak meratanya distribusi pendapatan akan memicu ketimpangan
pendapatan yang merupakan awal darimunculnya masalah kemiskinan. Semakin besar angka
kemiskinan, semakinn tinggitingkat kesulitan dalam mengatasinya.
Tabel :
Tabel ini menunjukkan krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 tidak begitu
mempengaruhi distribusi pendapatan, tapi kenaikan harga BBM tahun 2006 diindikasikan sebagai
salah satu penyebab porsi pendapatan kelompok 40 % penduduk rendah menurun menjadi 21,4%.
Penurunan terus terjadi hingga tahun 2014. Distribusi pendapatan pada tahun 2014 dikategorikan
kedalam tingkat ketidakmerataan " rendah " ( low inequality ). Jika dibandingkan perkotaan dan
pendesaan, pada tahun 2014 ketimpangan distribusi pendapatan didaerah perkotaan lebih tinggi
dibandingkan ketimpangan yang terjadi didaerah pendesaan.
GK(garis kemiskinan)
GK adalah persentase penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan,yang secara sederhana
mengukur proporsi penduduk yang dikategorikan miskin.Untuk mengukur kemiskinan, BPS
menggunakan konsep kemampuan memenuhikebutuhan dasar (basic needs aproach). Dengan
pendekatan ini, kemiskinandipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi
kebutuhandasar makanan dan non-makanan yang diukur dari sisi pengeluaran yangdikonseptualisasikan
dengan GK. GK merupakan representasi dari jumlah rupiahminimum yang dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan pokok minimum makananyang setara dengan 2.100 kilokalori per kapita per hari dan
kebutuhan pokok non makanan.
Berdasarkan metode GK ( garis kemiskinan ) persentasi penduduk miskin di Indonesia periode 1998
Sampai 2014 tumbuh sebesar 3,18%.
Tabel:Berikut ini adalah grafik yang menunjukkan presentasi penduduk miskin diperkotaan, pedesaan
dan secara keseluruhan DIINDONESIA tahun 1998 -2014
Grafik
Grafik
Grafik
Garis kemiskinan naik sebesar 5,72% selama Maret 2009 hingga Maret 2010. Ambang batas
kemiskinan naik. Sumbangan terbesar berasal dari beras, biaya perumahan dan rokok kretek. BPS
mengatakan ketiga sumbangan tersebut merupakan kebutuhan yang tambak nya terus diupayakan
oleh masyarakat miskin untuk dipenuhi.
2.4 Analisis growth and share kemiskinan dan ketimpangan DIINDONESIA periode 1998-2014
Berdasarkan analisis growth and share, potret kemiskinan dan ketimpangan DIINDONESIA pada tahun
1998-2014 secara keseluruhan menunjukkan bahwa kondisi penduduk miskin di Indonesia yang
terendah growth dan sharenya terjadi pada tahun 2013 yang beradadi kuadran III sebesar 28,06 juta,
kondisi ini mengalami penurunan sebesar 29,13 juta daritahun sebelumnya. Sedangkan pada tahun
2006 yang berada di kuadran ke IV merupakankondisi pendudukk miskin di Indonesia yang tertinggi
growth dan sharenyaJumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 1999, 2000, 2001, 2002, 2003,
2004,dan 2007 berada dikuadran I, yang berarti jumlah penduduk Indonesia berada pada kondisi
buruk karena meroketnya harga-harga komoditas baik makanan maupun non-makananPada tahun
2001, kondisi kemiskinan di perkotaan berada pada posisi yang sangat baik,yaitu terjadi penurunan
jumlah penduduk miskin di kota jika dibandingkan dengan tahunsebelumnya. Hal ini disebabkan oleh
tersalurkannya pinjaman kredit kepada masyarakat, yang bertujuan meningkatkan produktivitas demi
mengurangi jumlah kemiskinan di Indonesia.Walaupun demikian jumlah kemiskinan di pedesaan
justru meningkat, hal ini terjadi karenakurangnya pemerataan lapangan kerja antara pedesaan dan
perkotaan.Berdasarkan data Bank Dunia, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2002telah
mencapai 60% dari jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 215 juta jiwa. Hal initerjadi
dikarenakan ketidakmampuan mengakses sumber-sumber pemodalan, dan infrastrukturyang juga
belum mendukung untuk dimanfaatkan masyarakat demi memperbaikikehidupannya.Perkembangan
tingkat kemiskinan pada periode maret 2009-2010. Jumlah pendudukmiskin di Indonesia pada maret
2010 sebanyak 31,02 juta orang atau 13,33%. Jumlah inimengalami penurunan sebesar 1,51 juta jiwa
jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.Jumlah penurunan ini nampaknya berkaitan dengan
faktor-faktor berikut:
1. Selama periode maret 2009-maret 2010 inflasi relative rendah, yaitu sebesae 3,34%
2. Rata-rata upah harian buruh tani dan buruh bangunan masing-masing naik sebesar 3,27%dan
3,86% selama periode maret 2009-maret 2010
3. Produksi pada tahun 2010 mencapai 65m15 juta ton GKG, naik sekitar 1,17% dri produksi padi
tahun 2009 yang sebesar 64,40 juta ton GKG
2.5 Penyebab, konsekuensi, dan solusi ketimpangan ekonomi dan kemiskinan pasca reformasi
Penyebab
Paradigma yang Keliru Program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah
selama ini hasil‐ nya masih belum sesuai harapan semua pihak. Evaluasi penanganan tampaknya
masih memperlihatkan beberapa kekeliruan paradigmatik (Huraerah, 2005):
1. Masih berorientasi pada aspek ekonomi daripada aspek multidimensional. Penanggulangan
kemiskinan dengan fokus perhatian pada aspek ekonomi terbukti mengalami kegagalan, karena
pengentasan kemiskinan yang direduksi dalam soal‐soal ekonomi tidak akan mewakili persoalan
kemiskinan yang sebenarnya. Dalam konteks budaya, orang miskin diindikasikan dengan
terlembaganya nilai‐nilai seperti apatis, apolitis, fatalistik, ketidakberdayaan, dsb. Sementara
dalam konteks dimensi struktural atau politik, orang yang mengalami kemiskinan ekonomi pada
hakekatnya karena mengalami kemiski‐nan struktural dan politis.
2. Lebih bernuansa karitatif (kemurahan hati) ketimbang produktivitas. Penang gulangan
kemiskinan yang hanya didasarkan atas karitatif, tidak akan muncul dorongan dari masyarakat
miskin sendiri untuk berupaya bagaimana mengatasi kemiskinannya. Mereka akan selalu
menggantungkan diri pada bantuan yang diberikan pihak lain. Padahal program penanggulangan
kemiskinan seharusnya diarahkan supaya mereka menjadi produktif.
3. Memosisikan masyarakat miskin sebagai objek daripada subjek. Seharusnya,mereka dijadikan
sebagai subjek, yaitu sebagai pelaku perubahan yang aktif terlibat dalam aktivitas program
penanggulangan kemiskinan.
4. Pemerintah masih sebagai penguasan daripada fasilitator. Dalam penanganan kemiskinan,
pemerintah masih bertindak sebagai penguasa yang kerapkali turut campur tangan terlalu luas
dalam kehidupan orang‐orang miskin. Sebaliknya, pemerintah semestinya bertindak sebagai
fasilitator, yang tugasnya mengembangkan potensi‐potensi yang mereka miliki. Dalam hal ini,
Suharto (2003) mengatakan bahwa paradigma baru menekankan “apa yang dimiliki orang miskin”
ketimbang “apa yang tidak dimiliki orang miskin”. Potensi orang miskin tersebut bisa berbentuk
aset personal dan sosial, serta berbagai strategi penanganan masalah (copingstrategies) yang
telah dijalankannya secara lokal.
Konsekuensi
Kebijakan penanggulangan kemiskinan selama ini, dilakukan secara sentralistik oleh pemerintah
pusat yang diwakili BAPPENAS, dengan dana APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara)
dan utang kepada Bank Dunia serta lembaga keuangan multinasional lainnya. Sejak tahun 1970‐
an dengan kebijakan pembangunan pertumbuhan ekonomi yang tinggi pemerintah pusat
menjadikan desa dan sebagian kota sebagai obyek dari seluruh proyek yang dijalankan untuk
menanggulangi kemiskinan. Berdasarkan kebijakan tersebut, pemerintah pusat menjalankan
program‐programnya dalam bentuk:
(1) menurunkan bantuan kredit, jaminan usaha dan pengadaan sarana dan prasarana di desa
seperti PUSKESMAS, INPRES, KUD,dan sebagainya;
(2) mengusahakan pemenuhan kebutuhan pangan melalui distribusi sembako yang dibagikan
secara gratis kepada penduduk miskin
(5) menyediakan kesempatan bekerja dan berusaha melalui proyek‐proyek perbaikan sarana
dan prasarana milik pemerintah, penyediaan kredit dan modal usaha yang diberikan dalam
bentuk pinjaman kepada masyarakat miskin
(6) memenuhi kebutuhan papan dan sanitasi dengan penyediaan rumah‐rumah sederhana untuk
orang miskin PERUMNAS;
(7) mengusahakan pemenuhan air bersih dengan pengadaan PAM;
(8) menyediakan sarana listrik masuk desa, sarana telekomunikasi dan sejenisnya;
Dan sebagainya berbagai program yang dijalankan oleh pemerintah tersebut, lebih banyak
menuai kegagalan dibandingkan dengan keberhasilannya. Program yang dilakukan banyak
mengalami kegagalan dikarenakan pada pelaksanaannya terjadi penyimpangan‐
penyimpangan, seperti KUT (kredit usahatani). Sejak tahun 2000, program KUT yang dianggap
gagal total diganti pemerintah dengan program baru yakni Program Kredit Ketahanan Pangan
(KKP) yang pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada bank, pemerintah hanya bertindak
sebagai pemberi subsidi pada tahap awal. Disamping program KUT dan KKP juga ada Program
Pengembangan Kecamatan (PPK).Program ini bertujuan mengurangi kemiskinan di tingkat
pedesaan, sekaligus memperbaiki kinerja pemerintah daerah dengan cara memberi bantuan
modal dan pengadaan infrastruktur. Inti dari program ini adalah perencanaan yang melibatkan
masyarakat, laki‐laki dan perempuan, termasuk masyarakat miskin. Program ini di beberapa
daerah mengalami kegagalan, karena tidak adanya perencanaan yang matang dan juga
kurangnya transparansi penggunaan dan alokasi anggaran kepada masyarakat desa. Kisah
kegagalan program yang dirancang dan didanai oleh pemerintah dan Bank Dunia, juga terjadi
dalam Program Padat Karya Desa‐Pengembangan Wilayah Terpadu (PKD‐PWT) di NTT,
Sulawesi Selatan, NTB dan Sulawesi Utara serta program PDMDEK di Jawa Barat. Program PKD‐
PWT membagikan uang bantuan sebesar 50 juta rupiah kepada setiap desa dan langsung
disalurkan ke rekening Tim Pelaksana Desa (TPD). Jumlah desa yang dibantu dengan program
ini mencapai 1.957 desa. Program ini mengalami kegagalan, karena proses perencanaan,
pelaksanaan dan penyaluran bantuan kepada desa, sangat tergantung kepada TPD.Sementara
PDMDEK di Jawa Barat, mengalami kegagalan karena dana bergulir yang diberikan kepada
masing‐masing desa sebanyak 14 juta rupiah per desa, digunakan masyarakat untuk tujuan
konsumtif. (Sahdan,2005) Masih banyak program lain dalam upaya mengatasi kemiskinan
tersebut telah dilakukan, misalnya, program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Inpres ini, yaitu
Inpres No. 5/1993 tentang Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan. Pada saat terjadinya
krisis ekonomi yang kemudian berlanjut menjadi krisis multidimensional, diluncurkan program
daerah dalam mengatasi dampak krisis ekonomi (PDM‐DKE) yang kemudian dilanjutkan
dengan program pengentasan kemiskinan perkotaan (P2KP), dan lain‐lain. Meskipun
masyarakat miskin telah mendapatkan bantuan program pengentasan kemiskinan, tapi
hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Dengan demikian evaluasi selalu harus dilakukan oleh
pemerintah karena bagaimanapun program penanggulangan kemiskinan tetap harus
dijalankan.
Solusi
Kekeliruan paradigma dalam memahami kemiskinan tentu menyebabkan adanya analisis yang
keliru, artinya seharusnya memunculkan variabel‐variabel yang signifikan untuk menganggulangi
kemiskinan justru variabel yang tidak signifikan dimasukkan, sehingga estimasi bias dan hasil
yang diharapkan tidak terjadi. Mencermati beberapa kekeliruan paradigmatik penanggulangan
kemiskinan tadi, ada strategi yang harus dilakukan untuk mengatasi kemiskinan(Huraerah,
2005):
1. Karena kemiskinan bersifat multidimensional, maka program pengentasan kemiskinan
seyogyanya juga tidak hanya memprioritaskan aspek ekonomi tapi memperhatikan dimensi lain.
Dengan kata lain, pemenuhan kebutuhan pokok memang perlu mendapat prioritas, namun juga
harus mengejar target mengatasi kemiskinan nonekonomik. Strategi pengentasan kemiskinan
hendaknya diarahkan untuk mengikis nilai‐nilai budayanegatif seperti apatis, apolitis, fatalistik,
ketidakberdayaan, dan sebagainya. Apabila budaya ini tidak dihilangkan, kemiskinan ekonomi
akan sulit untuk ditanggulangi. Selain itu, langkah pengentasan kemiskinan yang efektif harus
pula mengatasi hambatan hambatan yang sifatnya struktural dan politis.
2. Untuk meningkatkan kemampuan dan mendorong produktivitas, strategi yang dipilih adalah
peningkatan kemampuan dasar masyarakat miskin untuk meningkatkan pendapatan melalui
langkah perbaikan kesehatan dan pendidikan, peningkatan keterampilan usaha, teknologi,
perluasan jaringan kerja (networking), serta informasi pasar.
3. Melibatkan masyarakat miskin dalam keseluruhan proses penanggulangan kemiskinan, mulai
dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi, bahkan pada proses pengambilan
keputusan.
4. Strategi pemberdayaan. Kelompok agrarian populism yang dipeloporikelompok pakar dan
aktivis LSM,menegaskan, masyarakat miskin adalah kelompok yang mampu membangun dirinya
sendiri jika pemerintah mau memberi kebebasan bagi kelompok itu untuk mengatur dirinya.
Secara umum, program strategis yang dapat dijalankan untuk menanggulangi
kemiskinan adalah:
1. Membuka peluang dan kesempatan berusaha bagi orang miskin untuk berpartisipasi dalam
proses pembangunan ekonomi.
2. Kebijakan dan program untuk memberdayakan kelompok miskin. Kemiskinan memiliki sifat
multidimensional, maka penanggulangannya tidak cukup hanya dengan mengandalkan
pendekatan ekonomi, akan tetapi juga mengandalkan kebijakan dan program di bidang sosial,
politik, hukum dan kelembagaan.
3. Kebijakan dan Program yang Melindungi Kelompok Miskin. Kelompok masyarakat miskin
sangat rentan terhadap goncangan internal (misalnya kepala keluarga meninggal, jatuh sakit,
kena PHK) maupun goncangan eksternal (misalnya kehilangan pekerjaan, bencana alam, konflik
sosial), karena tidak memiliki ketahanan atau jaminan dalam menghadapi goncangan‐goncangan
tersebut.. Kebijakan dan Program untuk memutus mewarisan kemiskinan antar generasi hak
anak dan peranan perempuan. Kemiskinan seringkali diwariskan dari generasi ke generasi
berikutnya. Karena itu, rantai pewarisan kemiskinan harus diputus. Meningkatkan pendidikan
dan peranan perempuan dan keluarga adalah salah satu kunci memutus rantai kemiskinan.
5. Kebijakan dan program penguatan otonomi desa. Otonomi desa dapat menjadi ruang yang
memungkinkan masyarakat desa dapat menanggulangi sendiri kemiskinannya.
BAB III
(PENUTUP)
3.1 Kesimpulan
Rasio gini di Indonesia pada periode 1998- 2014 rata rata 0,36. Menunjukkan ketimpangan yang
terjadi di Indonesia termasuk kriteria sedangkan karena angka koefisien gini berada diantara 0,35 dan
0,50. Distribusi pendapatan pada tahun 2014 dikategorikan kedalam tingkat ketidakmerataan "
rendah " ( low inequality ). Jika dibandingkan perkotaan dan pendesaan, pada tahun 2014
ketimpangan distribusi pendapatan didaerah perkotaan lebih tinggdibandingkan ketimpangan yang
terjadi didaerah pendesaan.Berdasarkan metode GK ( garis kemiskinan ) persentasi penduduk miskin
di Indonesia periode 1998 Sampai 2014 tumbuh sebesar 3,18%.Berdasarkan analisis growth and
share, potret kemiskinan dan ketimpangan DIINDONESIA pada tahun 1998-2014 secara keseluruhan
menunjukkan bahwa kondisi penduduk miskin di Indonesia yang terendah growth dan sharenya
terjadi pada tahun 2013 yang beradadi kuadran III sebesar 28,06 juta, kondisi ini mengalami
penurunan sebesar 29,13 juta daritahun sebelumnya.
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
https://id.scribd.com/document/381080723/BAB-11-Ketimpangan-Ekonomi