Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

THAHARAH (NAJIS DAN PEMBAGIANNYA)


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Ibadah
Dosen Pengampu :
Shofiyullah Kahfi. M. Si

Disusun Oleh :
KELAS B
Kelompok 4
Nikmatul Fitriyah
Muhammad Silahul Mukmin
Dina Syarifatun Nada
Muhammad Miftahul Hadi
Mika Kifayati
Devi Kholifatin Nurul Faiz
M Miftahul Lubab

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA TUBAN
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas membuat makalah Thaharah Najis dan
Pembagiannya. Tidak lupa sholawat serta salam kami curahkan kepada Nabi Muhammad SAW
beserta keluarga, sahabat, dan umatnya. Tugas ini merupakan serangkaian materi kuliah yang
bertujuan agar mahasiswa lebih memahami thaharah atau bersuci dari najis beserta
pembagiannya, dan menerapkan secara langsung ilmu yang diperoleh selama mengikuti mata
kuliah ini.

Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kekurangan karena
keterbatasan kami sebagai manusia. Untuk itu, kami berharap kritik dan saran yang membangun
agar makalah ini menjadi lebih baik lagi. Kami berharap semoga laporan tugas ini dapat
bermanfaat, khususnya bagi kami dan para pembaca.

Tuban, 16 Oktober 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.....................................................................................................................i
Daftar Isi .............................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................................1
C. Tujuan Pembahasan .................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Thaharah Dan Najis ...............................................................................2
B. Pembagian Najis ......................................................................................................2
C. Cara Mensucikan Najis ............................................................................................ 3
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ..............................................................................................................5
B. Saran ........................................................................................................................5
Daftar Pustaka ...................................................................................................................6

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam pembahasan fiqih, secara umu selalu diawali dengan uraian tentang thaharah.
Secara khusus, dalam semua kitab atau buku fiqih ibadah selalu diawali dengan thaharah.
Hal ini tidak lain karena thaharah (bersuci) mempunyai hubungan yang sangat erat dan tidak
dapat dipisahkan dengan ibadah.
Sebaliknya, ibadah juga berkaitan erat dengan thaharah. Artinya, dalam melaksanakan
suatu amalan ibadah, seseorang harus terlebih dahulu berada dalam keadaan bersih lagi suci,
baik dari hadas besar maupun hadas kecil, termasuk sarana dan prasarana yang digunakan
dalam beribadah, mulai dari pakaian, tempat ibadah dan lain sebagainya. Dengan kata lain,
thaharah dengan ibadah ibarat dua sisi mata uang, dimana antara satu sisi dengan sisi yang
lainnya tidak dapat dipisahkan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian najis?
2. Apa saja pembagian najis?
3. Bagaimana cara mensucikan najis
C. Tujuan Pembahasan
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Ibadah
serta mengetahui pengertian thaharah najis dan pembagiannya. Selain itu sebagai literasi
bagi mahasiswa atau khalayak umum yang wajib mengtahui thaharah najis dan
pembagiannya.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Thaharah dan Najis


Kata thaharah dengan terbaca fathah huruf tha’nya berarti “suci atau bersih”.
Menurut istilah syara’, mengandung banyak tafsir, diantaranya: suatu perbuatan yang
menjadikan seseorang boleh sholat, misalnya: wudlu, mandi, tayamum, dan
menghilangkan najis.
Kata “najis” menurut Bahasa ialah, sesuatu yang menjijikkan. Sedang
pengertian menurut syara’, najis ialah setiap benda yang haram memperolehnya (baik
dimakan atau diminum) secara Mutlaq (baik sedikit atau banyak).1
Atau sesuatu yang menjijikkan, yang dapat mencegah keabsahan sholat, sekira
tidak mendapatkan dispensasi seperti: bekas istinjak dengan batu, kotoran hewan dan
air kencingnya, walaupun keduanya dari burung, ikan, belalang, dan hewan yang tidak
memiliki darah yang mengalir, atau dari hewan yang halal dimakan dagingnya.
Kalau seandainya ada hewan yang mengeluarkan kotoran dan memuntahkan
sebuah biji, dan biji tersebut masih keras sekira bila di tanam masih dapat tumbuh, maka
hukumnya mutanajis, yang dapat menjadi suci dengan di basuh dan dapat di makan, jika
tidak seperti itu maka hukumnya najis, seperti halnya kopi luwak.2
B. Pembagian Najis
Macam-macam najis banyak dibicarakan dalam Islam, mulai dari pembagian
najis dan cara mensucikannya. Misalnya bangkai (kecuali manusia, ikan dan belalang),
darah, nanah, segala sesuatu yang keluar dari qubul dan dhubur, anjing dan babi,
minuman keras seperti arak, bagian anggota badan binatang yang terpisah karena
dipotong dan sebagainya selagi masih hidup. Dan najis itu dibagi menjadi tiga bagian:
a. Najis Mugholadhoh (berat) yaitu najis yang berat : yakni anjing, babi serta
keturunannya.
b. Najis Mukhoffafah (ringan/enteng) yaitu air kencing bayi laki-laki yang umurnya
kurang dari dua tahun dan belum makan apa-apa kecuali air susu ibunya.
c. Najis Mutawassithah (pertengahan/sedang) yaitu najis kotoran seperti kotoran
manusia atau binatang, air kencing, nanah, darah, bangkai, (selain bangkai ikan,

1
Abu Hazim Mubarok terjemah fathul qorib (Jawa Barat: Mukjizat, 2019), hal.84.
2
M Munawir Ridlwan, fiqih klasik terjemah fathul mu’in (Kediri: Lirboyo Press, 2017), hal.99
2
belalang, mayat manusia) dan najis-najis yang lain, selain yang disebutkan dalam
najis ringan dan berat. Najis mutawassithah dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu:
1. Najis Ainiyah (yang ada zat dan sifat-sifatnya) : adalah najis yang terlihat oleh
mata atau ada wujudnya. Contoh : darah, air kencing, dan sebagainya.
2. Najis hukmiyah (yang zat dan sifat-sifatnya tidak ada) : adalah najis yang tidak
terlihat oleh mata atau tidak berwujud. Contoh : bekas kencing, arak yang sudah
kering.
C. Cara mensucikan najis
Najis adalah kotoran yang bagi setiap muslim wajib menyucikannya, dan
mensucikan apa yang dikenainya.3 Thaharah memiliki empat sarana untuk bersuci, yaitu
air, debu, sesuatu (kulit binatang) yang bisa disamak dan bebatuan untuk beristinja’. Air
dapat digunakan untuk berwudhu atau mandi, debu dapat digunakan untuk tayammum,
sebagai ganti air dalam berwudhu atau mandi. Bangkai kulit binatang bisa disamak
(dibersihkan menjadi suci) kecuali kulit babi dan kulit anjing serta hewan keturunan
dari keduanya. Bebatuan digunakan untuk bersuci setelah buang air kecil dan air besar.
Cara mensucikan najis berbeda-beda, tergantung najisnya. Cara yang lebih banyak
dilakukan adalah mencuci atau membasuhnya dengan air, meskipun telah bersuci
menggunakan tiga batu setelah istinja’ misalnya. Bahkan, bila diikuti dengan air setelah
menggunakan tiga batu tersebut, maka menjadi lebih baik (afdhal). Bila ingin bersuci
dengan menggunakan air lebih utama. Karena air lebih bisa menghilangkan benda dan
bekasnya.
Dalam hal ini, ada tiga cara melakukan thaharah (membersihkan najis) tergantung
pada jenis najis yang mengenai suatu benda, antara lain sebagai berikut:
1. Najis Mugholadhoh menurut jumhur ulama, jika suatu benda terkena najis
yang berasal dari anjing dan babi, seperti kotorannya, air liurnya dan lain-lain,
maka cara mensucikannya ialah benda itu dicuci dengan air sebanyak tujuh
kali, satu kali di antaranya dicampurkan dengan debu/tanah.
2. Najis Mutawassithah (pertengahan), yaitu najis yang lain dari pada kedua
macam tersebut. Najis pertengahan ini dibedakan berdasarkan keadaannya
yaitu najis Hukmiyah ( yang zat dan sifat-sifatnya tidak ada lagi) atau Ainiyah
(yang ada zat dan sifat-sifatnya).

3
Zurina. Z dan Amiruddin, Fiqih Ibadah, (Jakarta:Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008), hlm.33
3
a. Najis Hukmiyah, yaitu najis yang tidak terlihat (tidak nampak), seperti
bekas kencing, arak yang sudah kering. Cara mensucikan najis ini cukup
dengan mengalirkan air diatas benda yang terkena najis tersebut.
b. Najis Ainiyah, yaitu yang terlihat atau berwujud (masih ada zat, rasa,
warna, dan baunya), seperti darah, nanah, air kencing dan sebagainya.
Maka cara mensucikan najis ini adalah dengan cara menghilangkan zat,
rasa, warna, dan baunya. Adanya bau dan warna pada benda manunjukkan
adanya najis dibenda tersebut, kecuali bila setelah dihilangkan dengan cara
digosok dan dikucek, ternyata masih ada zat, rasa, warnanya, maka
dimaafkan.
3. Najis Mukhoffafah (ringan), misalnya kencing bayi laki-laki yang belum
makan makanan selain ASI. Cara untuk menghilangkan najis pada kencing
bayi itu cukup dicipratkan dengan air pada pakaian yang terkena kencing bayi
tersebut. Jika Bayi laki-laki belum mengkonsumsi makanan (najis
Mukhaffafah), jika bayi laki-laki itu telah mengkonsumsi makanan, maka
pakaian yang terkena air kencing itu harus dicuci (najis Mutawassithah).
Sedangkan jika bayi itu perempuan maka pakaian yang terkena air kencingnya
harus dicuci baik ia sudah mengkonsumsi makanan atau belum (najis
mutawassithah).
Menurut para ulama, hukum kencing bayi laki-laki dibedakan dari bayi
perempuan, karena air kencing bayi perempuan lebih bau dan lebih kotor dari pada
kencing bayi laki-laki.4
Dengan demikian cara menghilangkan dan membersihkan najis adalah bisa
dengan mencuci, menyiram, menyiprat, dan mengusap dengan air. Cara-cara
tersebut berdasarkan ketetapan syara’ yang dirinci dalam beberapa hadist shahih.
Cara mencuci dan menyiramnya dapat dilakukan bagi semua jenis dan macam najis
bagi semua tempat, sedangkan mengusap dengan menggunakan beberapa batu
diperbolehkan pada najis yang melekat pada kubul dan dubur (istinja).

4
Yusuf Qardhawi, Fiqhu At-Thaharah, (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2004), hlm.59
4
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kata “najis” menurut Bahasa ialah, sesuatu yang menjijikkan. Sedang pengertian
menurut syara’, najis ialah setiap benda yang haram memperolehnya (baik dimakan atau
diminum) secara Mutlaq (baik sedikit atau banyak). Najis itu sendiri dibagi menjadi 3
bagian, yaitu: 1).Najis Mugholadhoh (berat) yaitu najis yang berat : yakni anjing dan
babi serta keturunannya. 2).Najis Mukhoffafah (ringan/enteng) yaitu air kencing bayi
laki-laki yang umurnya kurang dari dua tahun dan belum makan apa-apa kecuali air
susu ibunya. 3).Najis Mutawassithah (pertengahan/sedang) yaitu najis kotoran
seperti kotoran manusia atau binatang, air kencing, nanah, darah, bangkai, (selain
bangkai ikan, belalang, mayat manusia) dan najis-najis yang lain, selain yang
disebutkan dalam najis ringan dan berat. Najis mutawassithah dapat dibagi menjadi dua
bagian yaitu:Najis Ainiyah (yang ada zat dan sifat-sifatnya) : adalah najis yang terlihat
oleh mata atau ada wujudnya. Contoh : darah, air kencing, dan sebagainya.Najis
Hukmiyah (yang zat dan sifat-sifatnya tidak ada) : adalah najis yang tidak terlihat oleh
mata atau tidak berwujud. Contoh : bekas kencing, arak yang sudah kering.
Cara menyucikan najis berbeda-beda, tergantung najisnya. Cara yang lebih
banyak dilakukan adalah mencuci atau membasuhnya dengan air, meskipun telah
bersuci menggunakan tiga batu setelah istinja misalnya. Bahkan, bila diikuti dengan air
setelah menggunakan tiga batu tersebut, maka menjadi lebih baik (afdhal). Bila ingin
bersuci dengan menggunakan air lebih utama. Karena air lebih bisa menghilangkan
benda dan bekasnya.

B. SARAN
Dari beberapa penjelasan di atas tentang konsep relasi makalah pasti tidak terlepas
dari kesalahan penulisan dan rangkaian kalimat serta penyusunannya. Kami menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan seperti yang di harapkan oleh para
pembaca khususnya pembimbing mata kuliah ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan
kepada para pembaca mahasiswa dan dosen pembimbing mata kuliah ini agar

5
memberikan kritik dan saran yang sifatnya membangun dalam terselesaikannya makalah
yang selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Mubarok, Abu Hazi, Terjemah fathul Qorib. Jawa Barat: Mukjizat, 2019

Ridlwan, M Munawir, Fiqih Klasik Terjemah Fathul Mu’in. Kediri: Lirboyo Press, 2017
Qardhawi, Yusuf. Fiqhu At-Thaharah. Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2004
Z. Zurinal dan Amiruddin, Fiqih Ibadah. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah, 2008

Anda mungkin juga menyukai