Anda di halaman 1dari 16

1

“Pseudo-Abrahamic Religions: Yahudi, Kristen, atau Islam?”


Full Respons III untuk Menachem Ali

Deky Hidnas Yan Nggadas


(Channel Youtube: Verbum Veritatis)
Batam, 7 Desember 2021

Pengantar dan Disclaimer


Ini adalah naskah full response II untuk Sesi Live dari Dondy Tan dan Menachem Ali, bertajuk:
“Pseudo-Abrahamic Religions: Yahudi, Kristen, atau Islam” (Channel Youtube Dondy Tan;
25/11/2021).

Beberapa disclaimers sebelum membahas topik ini:


a. Pembahasan ini bukan inisiatif melainkan responsif, penggunaan hak jawab, tanggapan
apologetik dari seorang Kristen yang berkompeten, memiliki kualifikasi akademik, dan
berhak meluruskan termasuk menggunakan standar yang sama untuk memberikan counter-
attack karena iman dan Kitab Suci saya dikomentari secara tidak berdasar oleh Dondy Tan
dan Menachem Ali sebagai narasumbernya. Itu dilakukan secara publik, pada sebuah sesi
Live, maka saya pun wajib memberikan respons secara publik, melalui sebuah sesi Live.
b. Bagi Anda Muslims, yang kebetulan membuka video ini, atau mengikuti presentasi ini secara
Live, lalu sadar diri berbatok kepala kosong, otak Anda sudah berlumut dan berkarat, atau
tidak mampu bersikap rasional, bersumbu pendek dan suka meledak-ledak, silakan tutup
video ini sekarang. Video ini hanya dikhususkan bagi mereka yang punya otak, mampu
menggunakan otaknya, mampu berargumentasi, dan berpikiran terbuka untuk mendengar
kontra-perspektif dari pihak lain.
c. Menachem Ali, di dalam Sesi Live tersebut, mengklaim bahwa YHWH di dalam Kitab Suci
saya adalah sosok yang sama dengan Allah SWT yang diajarkan dalam Islam (Qur’an dan
hadis-hadis). Karena itu, sebagai seorang Kristen, saya wajib menguji klaim ini, tentu saja
berdasarkan Qur’an dan hadis-hadis sahih, melalui sebuah kajian akademik yang berbasis
sumber-sumber yang kredibel. Cara paling utama menguji Menachem Ali adalah dengan
melakukan riset tentang Konsep Ketuhanan Islam, Tauhid, dan sosok Allah SWT menurut
Qur’an dan hadis-hadis. Dengan demikian, kita dapat tiba pada kesimpulan tertentu
mengenai klaim yang ditelorkan Menachem Ali.
d. Dalam Program Deen Show, sebuah acara televisi di Kanada, pembawa acaranya yang
sedang menyiarkan Islam, menyatakan bahwa Doktrin Tauhid adalah doktrin yang sangat
sederhana sehingga bahkan dapat dimengerti oleh anak-anak kecil sekalipun. Akan
dibuktikan bahwa klaim ini hanya propaganda gelembungan sabun belaka. Doktrin Tauhid
tidak sederhana, bahkan sebaliknya sangat berbahaya. Para ulama Muslim masih berdebat
hingga saat ini: Apakah Allah Mahahadir (Qs. 50:16; 2:249; 9:40; 20:46; 57:4; 58:7) atau
duduk di atas arshy-nya (QS. 7:54; 10:3; 13:2; 20:5; 25:59; 32:4; 57:4; 69:17; 39:75; 40:7).
Allah tidak punya multiplisitas atribut (tidak dapat dikenal)? Memilikinya, namun terbatas
hanya pada atribut metafisik (pengetahuan, kemurahan, hidup, kuasa)? Termasuk juga
atribut anatomis (1 betis, jari, dua tangan kanan, wajah)?
e. Ketika saya membahas tentang Doktrin Tritunggal dalam kaitan dengan bidat-bidat Kristen,
Muslims sering datang ke Channel saya dan berkomentar: “Urusasn Tuhan Kristen kok belum
selesai.” Mereka berkomentar dengan asumsi (yang ignoran) bahwa Tauhid adalah doktrin
konsensus dalam Islam. Saya menyebutnya ignoran, karena Muhammad ibn Khalifah al-
2

Tamimi, menyatakan: “The realm of Names and Attributes [of Allah] is regarded to be one of
the most dangerous areas because of the fact that it has been subject of severe and complex
differences.” Termasuk akan saya buktikan dalam presentasi ini bahwa sejarah Islamik
adalah sejarah pertikaian mengenai Tauhid.
f. Qur’an sendiri berisi serangan demi serangan bukan hanya terhadap Ketuhanan Yesus,
melainkan juga terhadap Doktrin Tritunggal (QS. 4:171; 5:17, 72-75, 116), termasuk
menyerang persis pada jantung Injil Kristus, kematian Yesus melalui penyaliban (QS. 4:157). 1
Karena data Qur’anik semacam ini dan karena Doktrin Tauhid, Kekristenan dalam ajaran
Islam tidak lebih dari sebuah penyembahan berhala dan Politheisme. Seorang penulis
Muslim, pengkhotbah, yang meraih gelar Ph.D., dari University of Wales, Abu Ameenah Bilal
Philips, menyatakan: “Yet, according to Islamic Unitarian concept (Tawhid), Christianity is
classified as Polytheism and Judaism is considered a subtle form of idolatry.”2 Jadi ini adalah
sebuah serangan teologis dan tuduhan yang sangat serius terhadap Kekristenan dari Qur’an
sendiri.

Sambil mengingat poin-poin di atas, saya sengaja membahas isu ini dalam terang argumentasi
apologetik John of Damascus. Lebih khusus dikabarkan bahwa John of Damascus meninggal pada
tanggal 4 Desember 749 M.3 Jadi saya mendedikasikan presentasi ini untuk mengenang 13 Abad
legasi Monumental dalam bidang apologetika Kristen-Islam yang berdampak sangat serius bagi
Islam hingga saat ini seperti yang nanti akan saya perlihatkan.

Dengan poin-poin di atas, sekarang saatnya kita memulai pembahasan tentang Tauhid dalam Islam,
yang bagi saya, merupakan Achilles hell Islam, meskipun Muslims berpikir bahwa doktrin ini
merupakan sisi terkuat dan paling membanggakan bagi mereka. 4

A. Doktrin Unitarianisme “Tauhid”


Tauhid, bagi Muslims, adalah doktrin kardinal. John L. Esposito menyebutnya sebagai “the doctrine
of the Transcendent One” yang tidak lain adalah “the essence of Muslim theology.”5 Seperti halnya
Doktrin Tritunggal yang merupakan “the heartbeat of the Christian religion,”6 demikian pula “mati-
atau-hidupnya” Islam terletak di atas doktrin Tauhid.

Lebih detail lagi, Abu Ameenah Bilal Philips, mengutip Ibn Abil-‘Ezz al-Hanafi, menyebutkan bahwa
Doktrin Tauhid dapat dibagi menjadi tiga kategori spesifik, yaitu:
a. Tawhid ar-Rububiyah, yaitu keesaan Allah, hanya ada satu Allah, tanpa partner dalam
kedaulatan-Nya;

1
Belum lagi tentang pembumbuan-pembumbuan dan penyimpangan narasi-narasi di sekitar Yesus. Misalnya,
Maria diklaim sebagai saudari Harun, Isa lahir di bawah pohon korma, dsb.
2
Abu Ameenah Bilal Philips, The Fundamentals of Tawheed (Riyadh, Saudi Arabia: International Islamic
Publishing House, Inc., 2005), 11.
3
Daniel Sahas, “John of Damascus. Revisited,” Abr-Nahvain 23 (1984): 106, menyatakan, “there is no compelling
reason to dispute this date.”
4
Dalam Mitologi Yunani, Achilles terkenal sangat jago dalam hal berperang. Ketika ia masih bayi, ibunya
mencelupkan Achilles ke Sungai Styx yang memberinya kekuatan serta daya tahan untuk hidup. Sayangnya, karena
ibunya harus menggenggam kakinya saat mencelupkan Achilles ke sungai itu, kaki Achilles merupakan titik kelemahan
mematikannya. Di dalam mitologi itu, Achilles tewas terkena anak panah pada kakinya. Dari mitologi ini, kita
mendapatkan idiom Achilles heel untuk bicara tentang titik kelemahan paling mematikan dari sesuatu atau seseorang.
5
John L. Esposito, The Oxford Dictionary of Islam (New York: Oxford University Press, 2003), 71.
6
Herman Bavinck, Reformed Dogmatics, Volume Two: God and Creation, trans. John Vriend (Epub Version;
Grand Rapids, Michigan: Eerdmans,2004), loc., 197/516.
3

b. Tawhid al-asma was-Sifat, yaitu keesaan Nama dan Atribut-atribut Allah yang tidak
terbandingkan (incomparable) dan unik (tidak boleh digunakan untuk menyebut atau
menggambarkan makhluk ciptaan); dan
c. Tawhid al-Ibadah, yaitu keesaan ibadah, hanya Allah saja yang layak untuk disembah. 7

Tiga kategori itu, sebagaimana yang ditandaskan Philips, tidak berasal langsung dari Muhammad
maupun para sahabatnya, melainkan dideduksi berdasarkan implikasi dari totalitas ajaran Qur’an
maupun Sunnah.8

Dalam karya kesarjanaannya yang sangat masif, Zulfiqar Ali Shah berkomentar mengenai Doktrin
Tauhid, demikian:

In Islam God stands alone: transcendent and majestic. The faith is marked by a strict and
uncompromising ethical monotheism, signifying the absolute Oneness, Unity, Uniqueness and
Transcendence of God, in its highest and purest sense, and which formally and unequivocally
eliminates all notions of polytheism, pantheism, dualism, monolatry, henotheism, tritheism,
trinitarianism, and indeed any postulation or conception of the participation of persons in the
divinity of God.9

Selain memboyongnya ke arena publik sebagai doktrin paling membanggakan, Muslims berupaya
menekankan sekuat mungkin keunikan dan supremasi Tauhid secara komparatif dengan Doktrin
Ketuhanan agama-agama lain, terutama Kekristenan. Anda sudah bisa merasakan guratan itu dalam
komentar Zulfiqar Ali Shah di atas. Namun mungkin yang paling jelas adalah yang dikemukakan
Abdurezak A. Hashi dalam sebuah artikel jurnal (2013), sebagai berikut:

…the Qur’anic perspective of monotheism is exclusively uncompromising as compared to other


monotheistic traditions like Christianity; in the Qur’an Allah (s. w. t.) is confessed as being one,
eternal, unbegotten, unequalled and beyond partnership of any kind. In this understanding of
monotheism, God is characterized with absolute singularity; neither could there be division in
substance nor humanization in attributes, and worship is due to Him only, no other gods,
lesser or greater, are conceivable beside Him.10

Saya dapat menambahkan referensi-referensi yang lebih banyak di sini, namun kita sudah bisa
membuat sejumlah kesimpulan mengenai Doktrin Tauhid yang diimani di kalangan Muslim Sunni
yang mereka sebarluaskan ke seluruh dunia saat ini. Allah SWT sepenuhnya transenden; singular
mutlak (tanpa aspek pluralitas sama sekali) atau soliter mulak; tanpa partner; segala sesuatu, selain
Allah SWT, diciptakan; tidak dapat disamakan dengan ciptaan dalam pengertian apa pun (QS.
42:11); dan nama-nama serta sifat-sifat-Nya unik maka tidak boleh digunakan untuk makhluk
ciptaan mana pun.

Ringkasnya, sebuah Doktrin Monotheisme yang Unitarian – Unitarianisme Tauhid, kita bisa secara
sah menyebutnya demikian.

7
Abu Ameenah Bilal Philips, The Fundamentals of Tawheed (Riyadh, Saudi Arabia: International Islamic
Publishing House, Inc., 2005), 18.
8
Philips, The Fundamentals of Tawheed, 18.
9
Zulfiqar Ali Shah, Antrophomorphic Depiction of God: The Concept of God in Judaic, Christian and Islamic
Traditions – Representing the Unrepresentable (Herndon, VA.: International Institute of Islamic Thought, 2012), 48.
10
Abdurezak A. Hashi, “Between Monotheism and Tawheed: A Comparative Analysis,” Revelation and Science,
Vol. 3, No. 2 (2013): 24.
4

Sebagai kontrasnya, setiap upaya mengasosiasikan pihak lain dengan Allah dianggap sebagai dosa
kardinal, yang disebut shirk. Sebuah kutipan penting yang menggambarkan hal ini, termasuk akan
sangat berguna dalam pembahasan saya nanti, berasal dari Ludwig E. Adamec. Dalam entri
mengenai “Idolatry,” Adamec menulis: “Shirk. Islam demands a strict monotheism; giving ‘partners
to God’ is idolatry (shirk) and an unforgivable sin.”11 Jadi, Doktrin Tauhid menolak adanya pluralitas
apa pun dalam diri Allah SWT ataupun yang diasosiasikan dengan Allah SWT. Melakukan demikian
berarti melakukan dosa tak terampuni di dalam Islam.

Dengan gambaran ringkas di atas, dan dengan segala hormat, ketika rumusan-rumusan Doktrin
Tauhid di atas diuji berdasarkan literatur-literatur otentik dan otoritatif di dalam Islam, doktrin itu
tidak terlihat seperti Monotheisme Unitarian, malah sebaliknya, sangat menyerupai sebuah
Poltheisme paganistik. Saya menyebutnya: Politheisme paganistik yang menyamar sebagai
Monotheisme Unitarian. Klaim ini akan saya buktikan dengan mengawalinya dari John of Damascus.

B. John of Damascus: Apologet Kristen Pertama Melawan Islam


Saya perlu mengawalinya dengan ulasan ringkas tentang kehidupan John of Damascus baru
membahas tentang serangan-serangan apologetisnya terhadap Tauhid pada masanya.

1. Sejarah Ringkas Kehidupannya


Nama aslinya adalah John Mansur, meski ia dikenal luas dengan sebutan John of Damascus. 12
Ayahnya, Sergius, adalah seorang pemungut pajak bagi Kalifah Ummayad di Damsyik, Abd-Al-Malik
(685 – 705 M). Tanggal lahirnya sulit dipastikan, namun lahir dari keluarga pejabat pada masa itu,
John of Damascus mendapatkan pendidikan terbaik pada jamannya. Ia menyenangi dan mendalami
teologi dan sains. Ia bahkan diangkat sebagai penasihat untuk Kalifah pada masa itu. Setelah sebuah
insiden ajaib, John of Damascus meminta ijin lalu diijinkan untuk meninggalkan posisinya guna
menjadi seorang biarawan di Biara St. Sabbas dekat Yerusalem. 13

Pada masa itu Khalifah Al-Walid II (743-744 M) memerintahkan agar lidah Peter, Metropolitan of
Damascus, dipotong karena berkhotbah menentang Muslims. John of Damascus juga adalah salah
satu pengkhotbah demikian yang dijuluki oleh Theophanes sebagai “Chrysorrhoas” (yang berarti
“golden-flowing). Ia sangat piawai dan menawan dalam berorasi termasuk juga menulis. Ia bukan
hanya berorasi dan menulis melawan para penentang Ikonografi, melainkan dengan intonasi yang
sama tajamnya, menulis melawan ajaran-ajaran sesat. Termasuk, John of Damascus meninggalkan
bagi kita eksposisi doktrinal yang sangat berharga mengenai doktrin-doktrin inti Kekristenan yang
cenderung disalahpahami dan diputarbalikkan oleh para bidat.14

11
Ludwig W. Adamec, The Historical Dictionary of Islam (Lanham, Maryland: Scarecrow Press, Inc., 2009), 145.
12
Nama belakang “Mansur,” dalam Bahasa Arabik, berarti “victorious,” ia dapatkan dari nama kakeknya yang
merupakan salah satu pejabat pemerintahan pada masa itu.
13
Pada masa itu, Leo the Isaurian melancarkan kampanye melawan Ikonografi yang sangat dekat di hati John of
Damascus. Namun karena ia tinggal di wilayah kekuasaan Muslim, ia tidak dapat berbuat apa-apa. Tiba gilirannya, ada
sebuah surat palsu yang ditulis atas nama John of Damascus berisi permohonan kepada Leo untuk dibebaskan dari
pemerintahan Kalifah. Leo melaporkan isi surat itu kepada Kalifah dan sebagai konsekuensi, meski tidak bersalah,
tangan kanan John of Damascus dipenggal. Semalaman John of Damascus berdoa di hadapan ikon Bunda Maria yang
kemudian menampakan diri kepadanya dan menyembuhkan tangan buntungnya secara total. Keesokan harinya, Kalifah
melihat tangan John of Damascus yang sudah sembuh total itu, menjadi takjub dan percaya bahwa John of Damascus
tidak bersalah.
14
Tulisan-tulisan lengkap dari John of Damascus yang telah diterjemahkan dari Bahasa Yunani ke dalam Bahasa
Inggris, dapat dibaca dalam: Hermigild Dressler (ed.), Saint John of Damascus Writings, trans. Frederic H. Chase, Jr. (The
5

Tulisan-tulisannya, dalam kaitan dengan Islam, tergolong sebagai sumber sejarah terawal yang
darinya kita mengetahui tentang Islam dalam perjumpaannya dengan Kekristenan. Tulisan-
tulisannya lebih tua dari biografi terawal Muhammad, Sirat Rasul Allah, dari Ibn Ishaq yang diedit
oleh Ibn Hisham. Juga, tentu saja, jauh lebih awal dari koleksi-koleksi hadis otentik, seperti Al-
Bukhari, Muslim, dll.

2. The Heresy of the Ishamelites


Tulisan utamanya yang sangat penting untuk isu ini, berjudul: The Fount of Knowledge.15 Di dalam
tulisan ini, John of Damascus membahas tentang 103 ajaran sesat atau bidat Kristen mulai dari abad
kedua Masehi hinga masa hidupnya. Pada urutan ke-101, ia membahas tentang “The Ishmaelites,”
(Islam) yang ia golongkan sebagai salah satu bidat Kristen.16

Mengenai Islam, John of Damascus menggambarkannya, demikain: “There is also the superstition of
the Ishmaelites which to this day prevails and keeps people in error, being a forerunner of the
Antichrist.”17 Karena karakterisasinya mengenai Islam sebagai “takhayul” dan “pelopor anti-Kristus,”
maka sudah pasti ia tidak segan melabeli Muhammad sebagai “nabi palsu” (false prophet).18

John of Damascus menolak klaim Muhammad bahwa Qur’an diturunkan dari Allah SWT. Bagi John
of Damascus, Qur’an tidak lebih dari produk hasil percakapan Muhammad dengan seorang
biarawan Arian yang berakhir dengan “ridiculous compositions” (komposisi-komposisi absurd)
dalam Qur’an. Ia juga mempertanyakan bukti kenabian Muhammad yang tidak dapat mereka
berikan secara meyakinkan, termasuk klaim turunnya wahyu kepada Muhammad yang tanpa
disaksikan oleh siapa pun. Dengan nada tajam dan menyudutkan, John of Damascus menyatakan,

Although you may not marry a wife without witnesses, or buy, or acquire property; although
you neither receive an ass nor possess a beast of burden unwitnessed; and although you do
possess both wives and property and asses and so on through witnesses, yet it is only your
faith and your scriptures that you hold unsubstantiated by witnesses. For he who handed this
down to you has no warranty from any source, nor is there anyone known who testified about
him before he came. On the contrary, he received it while he was asleep. 19

Menjawab tuduhan Muslims pada masanya bahwa Kekristenan menyembah berhala karena
memvenerasi salib, John of Damascus menimpali: “How is it, then, that you rub yourselves against a
stone in your Ka'ba and kiss and embrace it?”20

Selanjutnya, John of Damascus mulai meringkas klaim-klaim penting yang terdapat dalam Qur’an
yang merupakan penyimpangan terhadap iman Kristen. Di antaranya,

Fathers of the Church – A New Translation, Volume 37; Washington, D.C.: The Catholic University of America Press,
1999).
15
Tulisan-tulisan John of Damascus juga berguna dalam bidang studi Kritik Tekstual Qur’an, lih. Peter Schadler,
John of Damascus and Islam: Christian Heresiology and the Intellectual Background to Earliest Christian-Muslim
Relations (Christian-Muslim Relation, Vol. 34; Leiden: Brill, 2018), 110-118.
16
Lih. Dressler (ed.), Saint John of Damascus Writings, 153-160.
17
Dressler (ed.), Saint John of Damascus Writings, 153.
18
Dressler (ed.), Saint John of Damascus Writings, 153.
19
Dressler (ed.), Saint John of Damascus Writings, 155.
20
Dressler (ed.), Saint John of Damascus Writings, 156.
6

He says that there is one God, creator of all things, who has neither been begotten nor has
begotten. He says that the Christ is the Word of God and His Spirit, but a creature and a
servant, and that He was begotten, without seed, of Mary the sister of Moses and Aaron.21

Dengan kutipan di atas, sekarang saatnya kita membahas tentang argumen John of Damascus yang
persis membantah Doktrin Tauhid.

3. John of Damascus di antara “Para Asosiator” dan “Para Mutilator”


Untuk melihat signifikansi argumen John of Damascus, ada beberapa langkah argumentatif yang
harus dipahami terlebih dahulu.

Pertama, posisi salaf dan kalaf (tradisionalis). Sejak masa Muhammad (Abad ketujuh) hingga awal
abad ke-8, kaum tradisionalis percaya bahwa atribut-atribut anatomis (fisikal) Allah SWT harus
dipahami secara literal (mis. betis, dua tangan kanan, wajah, jari-jari, mata, dll.). Mereka bahkan
percaya, atas dasar pemahaman literalistik itu, berdasarkan QS. 75:22-23, bahwa “they will see God
with their own eyes in his physical form on the Day of Judgment.”22

Hadis-hadis bahkan menggambarkan atribut-atribut anatomis Allah SWT memiliki kualitas-kualitas


personal.

The Prophet ( )‫ﷺ‬said, "Allah created His creation, and when He was done with it, the womb,
got up and caught hold of the Merciful's loin (or loincloth?) Allah said, "What is the matter?'
On that, it said, 'I seek refuge with you from those who sever the ties of Kith and kin.' On that
Allah said, 'Will you be satisfied if I bestow My favors on him who keeps your ties, and
withhold My favors from him who severs your ties?' On that it said, 'Yes, O my Lord!' Then
Allah said, 'That is for you.' " Abu Huraira added: If you wish, you can recite: "Would you then
if you were given the authority. do mischief in the land and sever your ties of kinship. (47. 22)
~ Al Bukhari Book 65, Hadith 4879

Dalam hadis di atas, rahim Allah SWT menggenggam ari-ari Allah SWT kemudian terjadi percakapan
antara Allah SWT dan rahim-Nya.23

Dalam hadis lain, dikatakan bahwa pada hari penghakiman, orang-orang menjadi khawatir
kemudian mereka mencari intersesor. Mereka pergi kepada Adam karena “'You are Adam, the
father of mankind, and Allah created you with His Own Hands….” (Sahih Al-Bukhari 7516). Menurut

21
Dressler (ed.), Saint John of Damascus Writings, 153.
22
Alexander Knysh, Islam in Historical Perspective (2nd ed.; New York and London: Routledge, 2017), 159.
23
Bukan hanya atribut-atribut fisikal Allah SWT yang memiliki kualitas personal, melainkan juga atribut-atribut
metafisikalnya. Misalnya,
It was narrated from Ibn Buraidah that his father told that the Messenger of Allah said: ‘The Quran will come on
the Day of esurrection, like a pale man, and will say: 'I am the one that kept you awake at night and made you
thirsty during the day.’ (Sunan Ibn Majah 3781 – Hasan).

Recite the Qur'an, for on the Day of Resurrection it will come as an intercessor for those who recite It. Recite the
two bright ones, al-Baqara and Surah Al 'Imran, for on the Day of Resurrection they will come as two clouds or two
shades, or two flocks of birds in ranks, pleading for those who recite them. Recite Surah al-Baqara, for to take
recourse to it is a blessing and to give it up is a cause of grief, and the magicians cannot confront it. (Mu'awiya
said: It has been conveyed to me that here Batala means magicians.) (Sahih Muslim 804a).
7

hadis ini, Adam distinktif dibandingkan dengan orang-orang lain karena ia diciptakan langsung
dengan tangan Allah SWT.

Pandangan tersebut juga didukung oleh Qur’an dan Sunnah: (a) QS. 112:2 menyatakan, “Katakanlah
(Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak
beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia. (QS. 112:1-4).
Ayat ini, khususnya klausa “Allah tempat meminta segala sesuatu,” yang saya tebalkan di atas,
diterjemahkan dengan sangat variatif:
 God, the Everlasting Refuge (A.J. Arberry)
 Allah, the Eternal, Absolute (Yusuf Ali)
 God the immanently indispensable (Ahmed Ali)
 Allah is He on Whom all depend (Mohammad Habib Shakir)

Rupanya karena secara literal, kata “assamad” dalam ayat ini berarti “solid”.24 Itulah sebabnya,
dalam terjemahan Bijan Moenian, QS. 112:2 diterjemahkan: “God is solid.” Arti “solid” (padat,
berisi) di sini tampaknya harus dimengerti secara literal:
a. Esensi dari Allah SWT bukan roh melainkan dzat.
b. Asbab al-Nuzul dari Al-Wahidi mendukung penerjemahan di atas: “Qatadah, al-Dahhak and
Muqatil said: “A group of Jewish people went to the Prophet, Allah bless him and give him
peace, and said to him: 'Describe to us your Lord, for He has revealed His description in the
Torah. Tell us: what is He made of? And to which species does He belong? Is He made of
gold, copper or silver? Does He eat and drink? Who did He inherit this world from? And to
whom will He bequeath it?' And so Allah, gloried and exalted is He, revealed this Surah.” –
Al-Wahidi, Asbab al-Nuzul (altafsir.com).
c. Al-Tabari juga memberikan dukungan untuk penerjemahan tersebut: “According to Masi b.
Har in-Amr b. Hammad-Asbat-alSuddi-Abu Milik and Abu Silih-Ibn 'Abbas. Also (al-Suddi)-
Murrah al-Hamdini-Ibn Masud and some (other) companions of the Prophet : God said to
the angels: ‘I am creating a human being from clay. When I have fashioned him and blown
some of My spirit into him, fall down in prostration before him!’ God created him with His
own hands, lest Iblis become overbearing toward (Adam), so that (God) could say to (Iblis):
You are overbearing toward something I have made with My own hand(s), which I Myself
was not too haughty to make!? So God created Adam as a human being. He was a body of
clay for forty years the extent of Friday(?) When the angels passed by him, they were
frightened by what they saw. The angel most frightened was Iblis. He would pass by him,
kick him, and thus make the body produce a sound as potter's clay does. That is (meant)
where God says: "From salsal like potter's clay."' Then he would say: What were you created
for? He entered his mouth and left from his posterior . Then he said to the angels : Don't be
afraid of that one, for your Lord is solid, whereas this one is hollow.'" When I am given
authority over him, I shall ruin him.”25

24
Kata assamad dalam QS. 112:2 dianggap sebagai kata yang sangat sulit untuk diterjemahkan. Zakir Naik, The
Concept of God in Major Religions, 16, mengayatakan, “The word ‘assamad’ is difficult to translate. It means ‘absolute
existence’ which can only attributed to Allah, all other existence being temporal or conditional.” Christos Simelidis, “The
Byzantine Understanding of the Term al-Samad and the Greek Translation of the Qur’an,” Speculum – A Journal of
Medieval Studies, Vol. 86, No. 1 (October 2011): 889, menyatakan, “The this word is far from clear; in fact, it is a well-
known linguistic puzzle in the text of the Qur’an.” Franz Rosenthal, “Some Minor Problems in the Qur’an,” in Ibn Warraq
(ed.), What the Qur’an Really Says: Language, Text, and Commentary (New York: Prometheus Books, 2002), v,
menyatakan, “It has a long and varied history behind itself both in Islam and Western scholarship, but its meaning has
not yet been fixed with any certainty.”
25
The History of al-Tabari, trans. Franz Rosenthal, Vol. 1 (New York: State University of New York Press, 1989),
262.
8

Jika esensi Allah SWT itu solid, maka tentu gambaran fisikal Qur’an tentang jari-jari, betis, dua
tangan kanan, wajah, dll., mestinya bukan merupakan kontradiksi terhadap ajaran Qur’an.

Jadi Allah SWT, menurut pandangan tradisionalis yang membaca Qur’an dan Sunnah secara
literalistik, adalah makhluk yang memiliki bentuk fisikal. 26

Mengenai atribut-atribut metafisikal Allah SWT (melihat, mendengar, kuasa, firman, hidup,
kehendak, kemurahan, dll.), menurut mereka, atribut-atribut ini merupakan kualitas-kualitas riil
yang kekal yang bersifat adisional satu sama lain dan kekal.

Misalnya, mengenai atribut-atribut kualitatif Allah SWT, mereka tidak percaya Allah SWT itu
Mahahadir (Omnipresent) namun mereka percaya bahwa atribut melihat (seeing) atau atribut
pengetahuan (knowledge) Allah lah yang ada di segala tempat. Jadi ada bifurkasi antara Allah dan
atribut melihat-Nya. Hal yang sama juga berlaku untuk attribute of speech-Nya. Mereka percaya
firman Allah (Qur’an) itu kekal namun bukan merupakan bagian inheren dari esensi Allah itu sendiri,
maka mereka tidak dapat menyatakan bahwa “firman itu adalah Allah” (kontra Yoh. 1:1).
Ringkasnya, “the Qur’an was not creator but not created either”27 (karena Qur’an bukan Allah).
Jonathan Brown mengomentari posisi Al-Tabari yang senada dengan hal ini:

He [Al-Tabari] explicitly states that the Qur’an is neither created nor a creator—the ahl al-
hadith position—supporting his stance with a long logical argument.28

Ini adalah posisi Salaf dan Kalaf seperti yang dikemukakan oleh Imam Al-Bayhaqi: “Ibn al-Mubarak
said: ‘I do not say that the Qur’an is the Creator nor that it is created.’ This is the position of the
Salaf and Kalaf among the major scholars of hadith.”29

Kedua, posisi Mu’tazilah.30 Dengan gambaran ringkas di atas, Anda ditolong untuk melihat alasan
munculnya reaksi dari kelompok kedua yang dominan pada abad ke-8 M hingga abad ke-10 M,
kelompok Mu’tazilah. John L. Esposito, menyatakan:

The Mu’tazilah, among the earliest group of thinkers identified by their rationalist approach to
Islamic doctrines, held that the Qur’an was created. As such, it is to be distinguished from the
divine essence, which is unitary (simple), eternal and unchanging. The Qur’an is the Word of
God, created in time for humanity. Opponents of the Mu’tazilah held that the Qur’an was

26
Pandangan ini dianut oleh: Athari, Shalafi, dan Hanbali. Sebaliknya, Muslim Sunni masa kini yang mengikuti al-
Ashari dan Maturidi, tidak percaya bahwa Allah SWT memiliki atribut-atribut fisikal.
27
Knysh, Islam in Historical Perspective, 159.
28
Jonathan Brown, The Canonization of Al-Bukhari and Muslim: The Formation and Function of Sunni Hadith
Canon (Leiden: Brill, 2007), 78n104.
29
Imam al-Bayhaqi, Allah’s Names and Attributes – Excerpts, trans. Dr. Gibril Foudad Haddad (As-Sunnah
Foundation of America, 1999), 33.
30
Pendirinya adalah Wasil b. ‘Ata dari Basra (meninggal tahun 748 M). Mu’tazilah dianggap sebagai pemicu
spekulasi seni Kalam karena mereka menekankan pendekatan rasional dalam berteologi. Mereka menolak “iman buta”
karena menurut mereka, orang-orang non-Muslim hanya dapat dihadapi di atas dasar rasionalitas. Menjadi seorang
Muslim, bagi Mu’tazilah, harus mampu membela dan menjustifikasi imannya secara efektif melalui argumentasi Kalam.
Lih. Knysh, Islam in Historical Perspective, 154.
9

uncreated, part of the essence of God. To the Mu’tazilah, this position appears to compromise
divine immutability, and thus divine simplicity, and ultimately divine unity itself. 31

Sheikh Hamza Yusuf menegaskan hal senada ketika menjelaskan kembali posisi Mu’tazilah: “For
Mu’tazilah, this affirmation of ‘hypostatic’ attributes approximated the Orthodox Christian
argument for the a triune God that was closer to polytheism than monotheism.”32 Knysh juga
menyatakan:

The logically and rationally minded Mu‘tazilites were shocked by the Hadíth party’s insistence
on the uncreated nature of the Qur’anic text and its recitation. They saw it as contrary to the
principle of tawhíd: There could be no eternal, uncreated entity alongside God’s unique,
eternal, and uncreated essence, even if the entity was the Qur’an itself. 33

Dengan kata lain, menggunakan gambaran komparatif yang konkret, Mu’tazilah melihat bahwa
pandangan kaum tradisionalis di atas bukan hanya tidak logis (illogical), melainkan juga pandangan
itu lebih mirip dengan Kekristenan yang mengusung doktrin Tritunggal. Pandangan tradisionalis
dianggap mengkompromikan keesaan absolut Allah SWT. Tentu saja Doktrin Tritunggal tidak
memiliki apa pun di dalamnya yang harus dikategorikan “dekat dengan politheisme” apalagi
merupakan ajaran Politheis. Tetapi, pengamatan Mu’tazilah persis menelanjangi natur Politheistik
dari posisi tradisionalis di atas.

Karena itu, Mu’tazilah bukan hanya menegaskan bahwa Qur’an diciptakan, namun melihat implikasi
di atas, mereka menyatakan bahwa Allah SWT sama sekali tidak memiliki atribut apa pun. Teolog
Muslim kontemporer, penerjemah Qur’an yang menganut pandangan Mu’tazilah, Muhammad
Asad, menegaskan penolakan ini, demikian:

The very concept of “definition” implies the possibility of a comparison or correlation of an


object with other objects; God, however, is unique, there being “nothing like unto Him”
(42:11) and, therefore, “nothing that could be compared with Him” (112:4) – with the result
that any attempt at defining Him or His “attributes” is a logical impossibility and, from the
ethical point of view, a sin. The fact that He is undefinable makes it clear that the “attributes”
(ṣifāt) of God mentioned in the Qur’ān do not circumscribe His reality but, rather, the
perceptible effect of His activity on and within the universe created by Him.34

Jadi, demi menghindar dari implikasi Politheisme yang terkandung dalam pandangan tradisionalis,
Mu’tazilah melangkah ke ekstrim lain dengan membuntungi Allah SWT dari segala atribut-Nya.
Segala sesuatu yang disebut “atribut,” tidak dapat menjelaskan atau mendeskripsikan mengenai
Allah. Semua atribut itu hanyalah bersifat perseptif dari sudut pandang manusia. Implikasinya,
konsep Tauhidnya Mu’tazilah menjadikan Allah SWT sebagai entitas unknowable blank.

Posisi Mu’tazilah tidak layak disebut sebagai “ethical Monotheism” (Zulfiqar Ali Shah). Sosok Allah
SWT yang tidak memiliki atribut-atribut yang mendefinisikan diri-Nya, tidak ada kaitannya dengan
etika sama sekali. Sebaliknya, pandangan tersebut tidak kurang dari sebuah Agnostisisme atau

31
John L. Esposito (ed.), “Tawhid,” in The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World (New York: Oxford
University Press, 1995), 4.190.
32
Hamza Yusuf, The Creed of Imam Al-Tahawi (USA: Zaytuna Institute, 2007), 20.
33
Knysh, Islam in Historical Perspective, 160.
34
Muhammad Asad, The Message of the Qur’an, n. 851 (QS. 42:11; 112:4).
10

bahkan Skeptisisme yang menyamar sebagai Theisme, ketika posisi ini bahkan tidak memiliki
kualifikasi Theistik sama sekali.

Dan ketiga, argumen John of Damascus. Dalam konteks perdebatan di atas, juga dalam menjawab
tuduhan Muslims bahwa Kekristenan adalah e`tairiastaj (assosiators), argumen John of Damascus
secara telak menghancurkan kedua posisi itu dengan sekali gebrak.

Since you also say that christ is Word and spirit of God, why do you accuse us of being
ἑταιριαστάς (associators)? For the Word and the spirit are inseparable from the one in whom
they exist by nature. Therefore, if the Word of God is in God, then it is evident that he is God as
well. If, however, the Word is outside of God, then, according to you, God is without Word and
spirit. Consequently, by avoiding the association of a partner with God, you have mutilated
him. It would be far better for you to say that he had a partner, rather than mutilate him and
treat him like a stone, a piece of wood or some inanimate object. Thus, since you falsely call us
ἑταιριαστάς (associators), we will, in turn, call you κόπτας (mutilators) of God.35

Saya akan kembali kepada poin mengenai Firman dan Roh Allah pada argumen di atas (QS. 4:171)
ketika ada reaksi selanjutnya dari pihak Muslim yang akan diulas pada poin berikutnya. Karena saya
sudah tidak sabar untuk menggarisbawahi beberapa poin krusial dari argumen tersebut.
a. Pandangan bahwa atribut-atribut metafisikal Allah SWT, semisal firman-Nya, bukan
merupakan bagian esensial dan inheren dari diri Allah SWT, memang tidak lain adalah
pandangan Politheis. Sebab setidaknya terdapat dua entitas (Allah) dan firman-Nya yang
sama-sama kekal namun tidak sama secara esensial.

Dan itu bisa dibuktikan dengan sangat gampang sekarang. Anda hanya perlu bertanya
kepada Muslims: “Apakah Qur’an adalah Allah?” Mereka pasti akan menjawab, “Tidak!”
Kemudian, “Apakah Qur’an kekal?” Pada tarikan nafas yang sama, mereka akan menjawab:
“Ya!”

Selamat, Doktrin Ketuhanan Anda, Tauhid, tidak lebih daripada sebuah Politheisme yang
Anda samarkan dan propagandakan sebagai Monotheisme yang Unitarian selama ini. Lebih
celaka lagi, kita baru bicara satu atribut metafisikal sekarang (firman-Nya). Allah SWT
memiliki 99 Nama dimana setiap nama memiliki signifikansi atribut tertentu. Jadi ada
setidaknya 99 entitas yang berkeberadaan secara kekal termasuk Allah sendiri?

Kecaman salah alamat Qur’an kepada orang-orang Kristen: “Say not three” (QS. 4:171),
ternyata justru sangat cocok dengan pandangan tradisional mengenai Allah SWT dan
atribut-atribut-Nya. Kepada mereka, kita harus berkata: “Say not 99!” Lanjut, QS. 4:171 yang
cocok untuk Muslims: “Berhentilah. Itu lebih baik bagimu!”

Argumen John of Damascus persis menelanjangi kaum tradisionalis – seperti juga yang
dilihat oleh Mu’tazilah, sebagai kaum Politheis. Ini adalah hardcore Politheism atau sebuah
heavy weight Politheism dan yang pasti bukan Monotheisme, apalagi Monotheisme yang
Unitarianistik.

35
Naskah berbahasa Yunani dan terjemahan Bahasa Inggrisnya di atas, dikutip dari: Daniel J. Janosik, John of
Damascus: Fist Apologist to the Muslims (Eugene, Oregon: Pickwick Publications, 2016), 263-264.
11

b. Bifurkasi (pemisahan) antara Allah dan firman-Nya (termasuk atribut-atribut metafisikal


lainnya), menjadikan Allah sebagai sosok yang tanpa atribut-atribut sebagai bagian tidak
terpisahkan dari diri-Nya.

Dengan kata lain, argumen John of Damscus secara persis memperlihatkan bahwa tanpa
menyangkali keberadaan atribut-atribut tersebut pun (seperti yang dilakukan oleh
Mu’tazilah), kaum tradisionalis telah memutilasi Allah SWT.

Lebih celaka lagi, Mu’tazilah mampu melihat implikasi Politheisme yang sangat jelas dari
pandangan tradisionalis, namun tidak mampu melihat implikasi yang dihasilkan dari
pandangannya sendiri, yang sebenarnya sudah ada di dalam pandangan tradisional:
Memutilasi Allah SWT menjadi a dumb idol. Atau seperti yang dianalogikan John of
Damascus bahwa mereka memperlakukan Allah “like a stone, a piece of wood or some
inanimate object.”

John of Damascus persis menghancurkan sama sekali kedua varian konsep Tauhid di atas pada abad
ke-8 M yang lampau. Sejak saat itu, Islam hanya dapat bertahan dengan mengulang-ulang klaim
yang sudah dihancurkan sambil berharap bahwa audiensnya cukup bodoh untuk tidak pernah
mengetahui tentang fatal wound yang telah diakibatkan oleh John of Damascus.

C. Dua Revisi Teologis


Di sisi lain, akibat dari serangan mematikan John of Damascus, Muslims yang terpelajar dipaksa
untuk merevisi formulasi teologis mereka, setidaknya dalam dua hal. Pertama, mereka dipaksa
merevisi pandangan mereka mengenai Allah SWT dalam kaitan dengan atribut-atribut-Nya; dan
kedua, mereka juga dipaksa untuk meninggalkan pandangan Qur’anik dan Sunnah mengenai Isa
sebagai Firman Allah kemudian mengusulkan pandangan yang sepenuhnya bertentangan
dengannya. Kita akan mulai dari yang terakhir saya sebutkan.

1. Revisi #1: Ahmad Ibn Hanbal dan Firman Allah


Plain statement dari QS. 4:17 dan 3:45 yang mengenakan gelar “Firman Allah” bagi Isa, seperti yang
ditandaskan oleh John of Damascus, harus memimpin kepada kesimpulan bahwa Isa secara esensi
adalah Allah (bnd. Yoh. 1:1; Why. 19:13).

Sadar akan implikasi tak terelakan itu, sekitar seratus tahun kemudian, Ahmad ibn Hanbal (Abad ke-
9), pendiri dari salah satu madhhab (aliran Sariah Islam), terpaksa harus mengemukakan tafsiran
berikut mengenai QS. 4:171 (juga QS. 3:45; 19:34) terkait gelar “Firman Allah” bagi Isa:

But what Allah means when He says, ‘The Messiah, Jesus, son of Mary, is only an apostle of
Allah and His Word which He conveyed into Mary,’ is that the Word which Allah cast into
Mary was His saying ‘Be’. Jesus was, therefore, brought into being by ‘Be’ but not himself that
‘Be’. ‘Be’ is God’s Word and is uncreated.36

Jadi menurut Ahmad ibn Hanbal, ketika Isa disebut “Firman Allah,” seharusnya itu dipahami bukan
sebagai gelar yang mendeskripsikan mengenai Isa, melainkan sekadar bermaksud mengatakan
bahwa Isa adalah produk dari kun (‘Be,” atau ‘Jadi’);). Tafsiran hasil revisionis ini hingga sekarang

36
Dikutip dalam: Morris S. Seale, Muslim Theology: A Study of Origin with Reference to the Church Fathers
(London: Luzac and Company Limited, 1964), 110.
12

dianut oleh mayoritas Muslim, yang kelihatannya cocok dengan sejumlah bagian dalam Qur’an,
misalnya QS. 2:117:

(Allah) pencipta langit dan bumi. Apabila Dia hendak menetapkan sesuatu, Dia hanya berkata
kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu. (QS. 2:117; bnd. QS. 3:59; 6:73; 16:40; 19:35;
36:82; 40:68).

Karena John of Damascus, meskipun meninggalkan sebuah legasi apologetis yang teramat berharga
namun telah tiada, maka saya akan meneruskannya dengan memberikan final blow-nya. Di sini saya
mengemukakan enam argumen utama mengapa tafsiran revisionis di atas harus ditolak. Tafsiran
revisionis tersebut bahkan tidak berguna sama sekali untuk menyelamatkan diri mereka dari
kemalangan akbar tersebut.

Pertama, ekspresi “Jadilah!,” maka jadilah, sebenarnya didapatkan Qur’an dari Targum Yerusalem
mengenai Keluaran 3:14, yang berbunyi:

And the Word of Yahweh said to Moses: ‘I am He who said unto the world ‘Be!’ and it was:
and who in the future shall say to it ‘Be!’ and it shall be.’ And He said: ‘Thus you shall say to
the children of Israel: ‘I Am has sent me to you.’

Jelas di dalam Targum Yerusalem, yang mengatakan “Jadilah!” adalah Firman Yahweh bukan Firman
Allah adalah produk (ciptaan) dari Allah mengatakan “Jadilah!”

Kedua, dalam QS. 4:171, tidak dikatakan bahwa Isa adalah produk (hasil ciptaan) Allah dengan
“Jadilah!”. Ayat ini sekadar menyatakan bahwa Isa adalah Firman dan Roh dari Allah. Ekspresi titular
ini bahkan dikonfirmasi juga dalam QS. 3:45 (bnd. QS. 19:34).

Jika Allah bermaksud mengatakan seperti yang dimaksudkan Ahmad ibn Hanbal namun berakhir
dengan mengatakan seperti yang terdapat dalam QS. 4:171 dan 3:45, maka secara implikasi, Ahmad
ibn Hanbal tampaknya adalah komunikator yang jauh lebih baik ketimbang Allah SWT. Allah SWT
bukanlah sosok komunikator yang handal dan Qur’an bukanlah kitab yang jelas (bnd. QS. 6:114;
16:89; 11:1; 14:1).

Ketiga, tafsiran Ahmad Ibn Hanbal bertentangan dengan Sunnah yang secara jelas mengindikasikan
bahwa “Firman Allah” adalah gelar yang membedakan Isa dari semua yang lain. Di dalam hadis
dikatakan bahwa pada hari penghakiman, orang-orang berupaya mencari intersesor, lalu mereka
pergi kepada: Adam sebagai “rasul pertama yang diutus Allah kepada penduduk bumi”; Musa yang
adalah “sahabat Allah”; Musa yang kepadanya “Allah berbicara secara langsung”; dan kepada Isa
“Firman Allah dan Roh dari-Nya” (Sahih Al-Bukhari 6.60.3; bnd. 6.60.236; Sahih Muslim 1.373;
1.377; 1.378; Jami at-Tirmidhi 1.46.3616; 4.11.2433; Sunan ibn Majah 5.37. 4312; Riyad as-Salihin
1.201; 19.1866).

Jadi jelas baik Qur’an maupun Sunnah menggunakan ekspresi “Firman Allah” bagi Isa sebagai gelar,
bukan bahwa Isa adalah produk (hasil ciptaan) dari kun.

Keempat, jika sebutan “Firman Allah” digunakan untuk Isa karena Ia adalah produk (hasil ciptaan)
Allah dengan mengatakan Kun, maka ciptaan-ciptaan yang lain pun secara sah seharusnya disebut
juga “firman Allah”. Karena ciptaan-ciptaan lain pun diciptakan Allah dengan mengatakan Kun (QS.
13

2:117; bnd. QS. 3:59; 6:73; 16:40; 19:35; 36:82; 40:68). Faktanya, hanya Isa yang disebut demikan
dan sebutan itu tidak pernah digunakan Qur’an maupun Sunnah untuk ciptaan-ciptaan lainnya.

Gagasan di atas ditegaskan oleh para editor dan komentator dalam The Study Qur’an: A New
Translation and Commentary, demikian:

Some commentators interpret His Word here as the tidings Mary received of his miraculous
conception in her womb or as an allusion to the Divine Creative Command Be! by which Christ
was formed in Mary’s womb (see 3:45, 59). However, while all created beings are brought into
existence through God’s Word, Christ alone is specifically identified as “a Word from God.”
Some might argue, therefore, that Jesus, by virtue of being identified as God’s Word, somehow
participates (uniquely) in the Divine Creative Command, although this is not the traditional
Islamic understanding of Jesus’ identification as a Word from Him (3:45). 37

Kelima, alih-alih menyelesaikan masalah, tafsir revisionis dari Ahmad ibn Hanbal hanya merelokasi
masalah ke tempat lain dengan bobot kesulitan yang tidak berkurang. Jika benar bahwa Isa adalah
produk dari Kun, maka problem yang telah dikemukakan John of Damascus kembali menancap.
Karena sekarang pertanyaannya tetap sama: Apa natur dari Kun yang melaluinya Allah SWT
menciptakan Isa?; dan apa hubungan Kun tersebut dengan Allah SWT?

Pertanyaan-pertanyaan ini, meski cara menjawabnya telah berupaya direvisi oleh Ahmad Ibn
Hanba., namun tetap membawa kembali Muslims ke kubangan yang sama: Politheisme!

Dan keenam, karena sebutan “Firman Allah” dimaksudkan sebagai gelar yang menjelaskan tentang
identitas Isa, maka sekarang kita mendapati Qur’an bertentangan dengan dirinya sendiri dengan
cara yang sangat ironis.

QS. 4:171 dimaksudkan oleh penulis Qur’an untuk menolak keilahian Isa. Namun pada ayat yang
sama, penulis Qur’an mencomot sebuah gelar Yesus dalam tradisi Kitab-kitab Injil lalu
mengenakannya bagi Isa.38 Masalahnya, gelar “Firman” (Yun. Logos) bagi Yesus dalam Kitab-kitab
Injil adalah gelar keilahian: “…dan firman itu adalah Allah” (Yoh. 1:1c).

Dengan kata lain, karena tidak paham apa-apa dan sembarang mencomot sebuah gelar yang
berasal dari Kitab-kitab Injil – sebuah gelar yang mempresuposisikan keilahian, maka Qur’an
berakhir dengan menolak dirinya sendiri (self-refuting). Qur’an berniat menolak keilahian Isa
dengan cara mengafirmasinya!

2. Revisi #2: Posisi Islam Suni Masa Kini


Mengamati malapetaka besar di atas, para cendekiawan Muslim berupaya mengusulkan posisi
mediasi (posisi tengah).

Sebelum ke posisi mediasi tersebut, perlu dicatat bahwa Muslim Sunni meneruskan gagasan
tradisionalis mengenai atribut-atribut metafisikal Allah. Atribut-atribut itu kekal dan adisional satu

37
Seyyed Hossein Nasr (ed.), The Study Qur’an: A New Translation and Commentary (New York: HarperOne,
2015), 267 – komentar terhadap QS. 4:171.
38
Nasr (ed.), The Study Qur’an, 267 – komentar terhadap QS. 4:171. Di sini, para penerjemah dan komentator
The Study Qur’an, menyatakan: “He is also identified as God’s Word (see also 3:45; 19:34), an idea that has clear
resonance with the Gospel tradition, where Jesus is identified as the “Word” of God (see John 1).” Jadi mereka setuju
bahwa sebutan “Firman Allah” bagi Isa berasal dari Kitab-kitab Injil.
14

sama lain. Itulah sebabnya, Sheikh Gibril Fouad Haddad menyatakan, “…we Sunnis hold there are as
many exceptions to the phrase “Allah has created everything” as there are Divine Attributes, and
that to speak of any of His Attributes as created, is kufr.”39

Jika demikian, bagaimana mereka berupaya meluputkan diri dari imlikasi Politheisme? Pertanyaan
ini membawa kita kembali ke Abad ke-10 M, kepada seorang teolog Muslim terkenal, Abu al-Hasan
Ali Ibn Ismail al-Ashari (meninggal 935 M). Al-Ashari berupaya menjembatani posisi literalis dari
tradisionalis dan posisi rasionalis dari Mu’tazilah. Pandangan-pandangannya sangat terkenal pada
abad ke10 hingga abad ke-12, bahkan hingga kini membentuk posisi teologis Muslim Sunni sedunia.

Ashari menyatakan bahwa “…the Qur’an as revelation was uncreated, but any physical copy of the
Qur’an is created, asserting the difference between essence and existence.”40 Jika demikian,
bagaimana Ashari menjelaskan natur “Qur’an sebagai pewahyuan” (kekal) dan hubungannya
dengan Allah SWT?

Perhatikan penjelasan Sheikh Hamza Yusuf (penganut aliran Ashari, Muslim Sunni) menjelaskan
pandangan iman Imam Al-Tahawi, pengakuan iman Ashari, sebagai berikut:

The Mu’tazilah insisted that God’s attributes had no existence distinguishable from his
essence…Their negation of God’s attributes arose from their concern regarding the Sunni
position. The Sunni’s, in turn, responding to the Mu’tazilah, arguing that the attributes were in
addition to the essence in such a way as to be neither the essence nor other than the essence;
this was a suprarational attempt at avoiding the polytheism of which the Mu’tazilah accused
them.41

Ada beberapa komentar penting untuk kutipan dari Hamza Yusuf di atas. Pertama, Hamza Yusuf
salah ketika menyatakan bahwa pandangan Mu’tazilah muncul sebagai reaksi terhadap posisi Sunni.
Pandangan Mu’tazilah muncul lebih dahulu sebelum muncul pandangan Sunni.

Kedua, posisi Muslim Sunni bahwa atribut-atribut metafisikal Allah SWT “bukan esensi [Allah SWT]
juga bukan lain dari esensi [Allah SWT],” kemudian menyebutnya “upaya suprarasional,” semata-
mata merupakan cara bicara yang pintar untuk sebuah irasionalitas. Posisi ini bukan sebuah
paradoks, melainkan sebuah kesalahan logika formal bermana The Law Excluded Middle. Sesuatu
tidak dapat ada di antara afirmasi dan negasinya. Jika atribut-atribut itu bukan esensi Allah SWT,
maka atribut-atribut itu lain dari esensi Allah SWT; jika atribut-atribut itu bukan lain dari esensi-Nya,
maka atribut-atribut itu adalah esensinya.

Ironisnya adalah al-Ashari mengetahui persis bahwa argumennya absurd. Ia sendiri menyimpulkan
demikian terhadap pandangan Abu Hashim persis mengenai isu ini. Harry Austryn Wolfson
menggambarkan argumen al-Ashari tersebut, demikian:

In his criticism of Abu Hashim, Ashari repeats the argument already raised by the Mu’tazilites
against the theory of modes, namely, that is contrary to the Law of Excluded Middle. His
argument, as reported by Shahrastani, reads as follow: ‘The assumption of an attribute which

39
Gibril Fouad Haddad, “The Uncreatedness of the Divine Speech – The Glorious Qur’an,” in
https://sunnah.org/2012/09/27/the-uncreatedness-of-the-divine-speech-the-glorious-quran/, diakses tanggal 5
Desember 2021.
40
Esposito, The Oxford Dictionary of Islam, 26.
41
Yusuf, The Creed of Imam Al-Tahawi, 20.
15

can be described neither by existence nor by nonexistence is the assumption of something


which is in the middle between existence and nonexistence, between affirmation and
negation, but this is something absurd.’ 42

Al-Ashari mengajukan argumen yang persis tepat menelanjangi upaya Abu Hashim menjelaskan
attribute of speech Allah SWT, lalu melokalisasinya di antara eksitensi dan non-eksistensi. Ini suatu
ketidakmungkinan logis. Atau, meminjam kembali argumen al-Ashari: “this is something absurd.”

Berita buruknya adalah “ini sesuatu yang absurd” untuk posisi Abu Hashim, juga tidak berubah
absurdnya pada posisi yang dikemukakan al-Ashari. Al-Ashari melakukan persis seperti yang
dilakukan oleh Abu Hashim: menempatkan sesuatu di antara esensi dan non-esensi, di antara
afirmasi dan negasinya.

Dan lebih celakanya lagi, inilah posisi Muslim Sunni seduia saat ini mengenai natur serta hubungan
antara atribut-atribut metafisikal itu dengan diri Allah SWT. In fact, ini bukan kesimpulan saya
sendiri. Kembali ke Sheikh Hamza Yusuf. Sebelum tiba pada komentarnya yang telah saya kutip di
atas, Hamza Yusuf menggambarkan posisi teologis Muslim Sunni, demikian: “…true theology, to a
certain degree, the squering of a circle within an enlightened mind.”43

What?? Menggambar sebuah segi empat berbentuk lingkaran? Dalam pikiran yang dicerahkan? Dan
itu disebut “teologi yang sejati” (true theology)? Nope! Ini bukan true theology, ini juga pasti bukan
rasionalitas dan akal sehat. Hamza Yusuf hanya sedang bersilat kata, memanfaatkan kepiawaiannya
memintal kata-kata, guna bicara tentang sebuah absurditas, irasionalitas, dan ketiadaan akal sehat.

Dan itulah posisi Muslim Sunni di seluruh dunia, sekarang!

D. Penutup: Konsekuensi Terbesar dalam Hidup Ini


Tentu saja saya tidak menyetujui segala sesuatu yang dikatakan John of Damascus mengenai Islam.
Salah satunya, saya tidak setuju bahwa Muhammad dan Muslims disebut sebagai Ishmaelite – yang
imply-nya mereka adalah keturunan Ismael. Sudah saya buktikan dengan Mutlak bahwa
Muhammad dan Islam tidak memiliki kaitan positif apa pun kepada Abraham melalui Ismael dalam
Full Response saya yang I.

Selain itu, meskipun John of Damascus telah menancapkan “anak panahnya” pada Achilles heel dari
Islam dan menimbulkan fatal wound baginya, namun ada aspek-aspek lain yang lebih detail yang
dapat dielaborasi lebih lanjut untuk semakin menegaskan jasa apologetika John of Damascus.
Pengembangan dan perluasan detail dari argumen John of Damascus tidak akan saya lakukan di sini,
mengingat keterbatasan space.

Karena itu, saya perlu meringkas sejumlah pokok penting sejauh ulasan saya di atas:
a. Secara teologis, totalitas ajaran Qur’an dan Sunnah sebagaimana yang dikonfirmasi di dalam
sejarah Islam memperlihatkan bahwa Doktrin Tauhid bersifat self-contradictory atau self-
refuting atau self-defeating. Doktrin ini, bahwa Allah SWT itu mutlak singular, persis
berkontradiksi dengan ajaran total Qur’an dan Sunnah mengenai atribut-atribut Allah SWT,
baik atribut-atribut fisikal maupun atribut-atribut metafisikal-Nya.

42
Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (London: Harvard University Press, 1976), 205.
43
Yusuf, The Creed of Imam Al-Tahawi, 20.
16

b. Sejarah Islam memperlihatkan bahwa implikasi dari ajaran total Qur’an dan Sunnah
mengenai atribut-atributnya bergerak dari: Politheisme (tradisionalis, posisi Salaf dan Kalaf)
kepada sosok Allah SWT yang unknowable blank (Agnostisisme), dan berlabuh di
Irasionalitas (Posisi Muslim Sunni). So, please chose your poison, Muslims!
c. Dengan karut-marut Doktrin Ketuhanan semacam itu, klaim Menachem Ali bahwa YHWH
dan Allah SWT adalah sosok yang sama bukan hanya sebuah klaim tak bertanggung jawab,
melainkan juga patut ditertawakan. Doktrin Tauhid tidak memiliki fitur apa pun yang dapat
disamakan dengan YHWH dalam TaNaK maupun dalam PB.
d. Muslims seharusnya belajar untuk membersihkan semak belukar dan berbagai jenis
serangga dan binatang mematikan di pekarangan mereka sendiri, ketimbang menjadi seksi
sibuk membahas-bahas tentang Kekristenan.
e. Dan orang-orang Kristen seharusnya rajin dan melek terhadap ajaran Islam sehingga tidak
gampang dibodohi dan didustai dengan berbagai macam propaganda tak berdasar, salah
satunya seperti yang dilakukan oleh Menachem Ali bersama kroni-kroninya.

Dengan poin-poin rangkuman di atas, saya akan mengakhiri ini dengan sebuah pesan pastoral bagi
yang Kristen maupun bagi siapa saja yang menonton presentasi ini.

Beberapa tahun lalu, saya membeli versi digital dari sebuah seri yang diterbitkan oleh Enciclopedia
Britanica (terbit 1952). Seri yang terbit dalam 53 volume ini disebut sebagai “The Great Books of the
Western World.”

Volume 1 dan Volume 2 nya disebut “Syntopicon” yang berarti “sintesis dari sejumlah topik” atau
“kompilasi sejumlah topik“. Memang, kedua volume pertama dari seri ini berisi entri-entri mengenai
tema-tema agung dalam bidang filsafat, sejarah, etika, hukum, teologi, dsb. Lalu, dalam 51 volume
selanjutnya, tema-tema agung tersebut dibahas dengan entri-entri mengenai para penulis terbesar
yang pernah bergulat dengan tema-tema tersebut.

Editor in chief dari seri yang sangat penting di atas adalah Mortimer J. Adler, seorang filsuf asal
Amerika berdarah Yahudi. Mortimer yang kemudian menjadi Kristen, pernah diundang oleh Larry
King dari CNN untuk sebuah wawancara.

Dalam wawancara tersebut, King bertanya, “Mengapa esai terpanjang dalam Syntopicon adalah
esai mengenai Allah? Bisakah Anda menjelaskan alasannya?“

Adler menjawab: “Larry, karena hal yang paling berkonsekuensi bagi hidupmu dan hidup siapa pun,
berasal dari topik yang satu itu ketimbang topik-topik lainnya.”

Jawaban yang sangat mengena, saya yakin. Sebab Yesus berkata: “Inilah hidup yang kekal itu, yaitu
bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang
telah Engkau utus” (Yoh. 17:3). 44

44
Ayat ini selalu disalahpahami oleh Unitarian (termasuk Muslims) bahwa hanya Bapa yang merupakan Allah
yang benar. Kesalahan ini diakibatkan mereka tidak memahami relasi sintaksis dari klausa Bahasa Yunaninya. Kata
monon (satu-satunya) tidak menjelaskan tentang se (engkau atau Bapa), melainkan menjelaskan alethinon theon (Allah
yang benar).

Anda mungkin juga menyukai