Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN KASUS

Stomatitis

Disusun Oleh: Muhammad Hafizh


Zharfan Lubis
1920221156

Pembimbing:
dr. Tundjungsari Ratna Utami, M.Sc, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA
RSUD AMBARAWA
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Muhammad Hafizh Zharfan Lubis


NIM : 1920221156
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta
Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter
Bidang Pendidikan : Ilmu Kesehatan Anak
Judul : Stomatitis
Pembimbing : dr. Tundjungsari R. U, M.Sc, Sp.A
Telah berhasil dipertahankan di hadapan pembimbing dan diterima sebagai syarat
yang diperlukan untuk ujian kepaniteraan klinik ilmu kesehatan anak Program
Studi Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jakarta.

Pembimbing

dr. Tundjungsari R. U, M.Sc, Sp.A

Ditetapkan di : Ambarawa
Tanggal : Oktober 2021

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan
rahmat dan segala karunia-Nya sehingga laporan kasus ini yang membahas
tentang “Stomatitis” dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda kita yakni Nabi Muhammad SAW.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan memberikan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dr. Tundjungsari R. U, M.Sc, Sp.A,
selaku pembimbing yang dengan penuh kesabaran dan keikhlasan meluangkan
waktu, tenaga, pikiran serta petunjuk yang berharga dalam membimbing penulis
dan telah banyak memberikan saran yang bermanfaat sehingga berbagai kesulitan
dan kendala dalam penulisan laporan kasus ini dapat teratasi. Semoga segala
bantuan yang telah diberikan oleh berbagai pihak dijadikan sebagai amal soleh.
Penulis berharap laporan kasus ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan yang lebih luas dan bermanfaat untuk penulis maupun
semua orang terutama bagi ilmu kedokteran guna untuk kemajuan pendidikan.
Dalam menyusun makalah ini, penulis menyadari banyaknya kekurangan
yang terdapat dalam makalah ini. Sebelumnya penulis mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak
sebagai bahan evaluasi dalam pembuatan makalah berikutnya. Mudah-mudahan
itu semua menjadikan cambuk bagi saya agar lebih meningkatkan kinerja di masa
yang akan datang.

Ambarawa, Oktober 2021

Penulis

iii
BAB I
STATUS PASIEN

I.1. Identitas Pasien


Nama : An. KAN
Umur : 0 tahun 9 bulan 17 hari
Tanggal lahir : 26 Desember 2020
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Bringin
Nama Ayah : Tn. AI
Pekerjaan Ayah : Petugas Koperasi
Pendidikan Ayah : SMK
Nama Ibu : Ny. SW
Pekerjaan Ibu : Buruh Pabrik Sidomuncul
Pendidikan Ibu : SMK
No. Rekam Medik : 205***
Tanggal Masuk : 11 Oktober 2021
Tanggal Periksa : 13 Oktober 2021

I.2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis kepada Ny. SW selaku ibu pasien di
Bangsal Cendana RSUD dr. Gunawan Mangunkusumo Ambarawa tanggal 13
Oktober 2021 pukul 13.30 WIB
III.2.1. Keluhan Utama
Sariawan pada bibir dan mulut.

III.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang

1
Seorang anak perempuan usia 9 bulan 15 hari diantar ke IGD RSGM oleh
orang tuanya dengan keluhan adanya sariawan pada bibir dan di dalam mulut
pasien

2
sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Sariawan awalnya muncul di bibir
pasien, namun sariawan semakin banyak muncul pada mukosa mulut pasien.
Sebelum terjadi sariawan pasien sempat mengalami demam selama 2 hari dan
timbul bentol pada kulit punggung pasien. Keluhan demam dan bentol saat ini
sudah menghilang. Sejak mengalami sariawan pasien sulit untuk minum ASI dan
makan bubur. Orang tua pasien khawatir pasien akan mengalami dehidrasi
sehingga membawa pasien ke IGD RSGM. Pasien juga sempat mengalami batuk
apabila meminum ASI. Keluhan adanya lesi kulit pada telapak tangan dan kaki
pasien disangkal. Keluhan sesak disangkal. Pasien dapat BAK dan BAB dengan
lancar, konsistensi BAB padat.

III.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu


• Riwayat penyakit serupa disangkal
• Riwayat penyakit demam tifoid dan demam berdarah disangkal
• Riwayat demam disertai kejang dan kejang tanpa demam disangkal
• Riwayat alergi (-), asma (-), trauma (-)

III.2.4. Anamnesis Sistem


a. Sistem saraf
Riwayat kejang (-), penurunan kesadaran (-)
b. Jantung dan Pembuluh darah
Bengkak pada tungkai bawah kanan dan kiri (-), kebiruan (-)
c. Sistem pernapasan
Batuk (-), pilek (-), sesak napa (-), mengi (-), mengorok (-)
d. Sistem pencernaan
Perubahan konsistensi BAB (-), menyusui (-), muntah (-), sariawan pada
bibir dan mulut (+), sulit makan dan minum (+)
e. Sistem integumen
Kebiruan (-), pucat (-), terasa dingin (-), kuning (-)
f. Sistem urogenital
BAK kuning pekat (+), BAK sedikit (-), BAK darah (-)

III.2.5. Riwayat Penyakit Keluarga


• Riwayat penyakit serupa pada anggota keluarga yang lain disangkal.
• Riwayat demam disertai kejang dan demam tanpa kejang pada anggota
keluarga yang lain disangkal.
• Riwayat penyakit demam tifoid dan demam berdarah disangkal
• Riwayat penyakit DM, hipertensi, alergi, dan penyakit komorbid lainnya
pada keluarga disangkal.

III.2.6. Riwayat Kehamilan dan Persalinan


Ibu pasien rutin melakukan ANC satu kali setiap bulan di Klinik Nasyifa
Medika, Bawen pada trimester pertama, satu kali pada trimester kedua, dan dua
kali pada trimester ketiga. G2P1A0. Pasien lahir tanggal 26 Desember 2020,
berjenis kelamin perempuan, kehamilan tunggal, usia kehamilan 40 minggu, cara
persalinan spontan, penolong bidan desa, bayi lahir langsung menangis. Berat
badan lahir 3600 gram, panjang badan lahir 50 cm.
Berat Bayi Lahir Cukup, Cukup Bulan, Sesuai Masa Kehamilan, Spontan dari ibu
G2P1A0, UK 40 minggu

III.2.7. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan


a. Riwayat Pertumbuhan
• BB sekarang : 9300 gram
• PB sekarang : 73 cm
• IMT : 17,4 kg/m2
• LK : 46 cm
• LD : 50 cm
• LP : 47 cm
• LLA : 15 cm
• PB/U : 0 s/d 2 SD
• BB/U : 0 s/d 2 SD
• BB/PB : 0 s/d 1 SD
• IMT/U : 0 s/d 1 SD
b. Riwayat Perkembangan
• Motorik kasar
Pasien dapat berdiri dengan pegangan, bangkit terus duduk
• Motorik halus
Pasien dapat memegang barang menggunakan dua tangan dan mencoba
meraih mainan dengan jari
• Bahasa
Pasien dapat mengucapkan “ma.. ma..”
• Kemandirian atau Sosial
Pasien dapat bertepuk tangan, minum dari cangkir, main bola
Kesan : Tidak ada kelainan pertumbuhan dan perkembangan
Table 22.1 Developmental Milestones in 1st 2 Yr of Life

AVERAGE AGE OF
MILESTONE ATTAINMENT (MO) DEVELOPMENTAL IMPLICATIONS
GROSS MOTOR
Holds head steady while sitting 2 Allows more visual interaction
Pulls to sit, with no head lag 3 Muscle tone
Brings hands together in midline 3 Self-discovery of hands
Asymmetric tonic neck reflex gone 4 Can inspect hands in midline
Sits without support 6 Increasing exploration
Rolls back to stomach 6.5 Truncal flexion, risk of falls
Walks alone 12 Exploration, control proximity to parents
Runs 16 Supervision more difficult
FINE MOTOR
Grasps rattle 3.5 Object use
Reaches for objects 4 Visuomotor coordination
Palmar grasp gone 4 Voluntary release
Transfers object hand to hand 5.5 Comparison objects
Thumb-finger grasp 8 Able to explore small objects
Turns pages book 12 Increasing autonomy during book time
Scribbles 13 Visuomotor coordination
Builds tower of 2 cubes 15 Uses objects in combination
Builds tower of 6 cubes 22 Requires visual, gross, and fine motor coordination
COMMUNICATION AND LANGUAGE
Monosyllabic babble Smiles in response to face,
6 voice 1.5 More active social participant
Experimentation with sound, tactile sense
Inhibits to “no” 7 Response to tone (nonverbal)
Follows 1-step command with gesture 7 Nonverbal communication
Follows 1-step command without gesture 10 Verbal receptive language (e.g., “Give it to me”)

Says “mama”
Points to objects“dada” 10
10 Expressive
Interactive language
communication
Speaks first real word 12 Beginning labeling

Speaks 4-6 words 15 Acquisition of object and personal names


Speaks 10-15 words 18 Acquisition of object and personal names
Speaks 2-word sentences (e.g., “Mommy shoe”) 19 Beginning grammatization, corresponds with 50-word vocabulary
COGNITIVE
Stares momentarily at spot where object 2 Lack of object permanence (out sight, out mind; e.g., yarn
disappeared ball dropped)
Bangs 2atcubes
Stares own hand 48 Active comparison
Self-discovery, of and
cause objects
effect
Uncovers toy (after seeing it hidden) 8 Object permanence

Egocentric symbolic play (e.g., pretends to drink 12 Beginning symbolic thought


from cup)
Uses stick to reach toy 17 Able to link actions to solve problems
Pretend play with doll (e.g., gives doll bottle) 17 Symbolic thought

III.2.8. Riwayat Imunisasi


Pasien sudah mendapatkan imunisasi Hep B pada saat dilahirkan, pasien juga
sudah mendapatkan imunisasi BCG dan Polio tetes 1 pada tangal 13 Januari 2021,
DPT 1 dan Polio tetes 2 pada tanggal 12 Maret 2021, DPT 2 pada tanggal 8 April
2021, Polio tetes 3 pada 11 Mei 2021, Polio tetes 4 pada 11 juni 2021, DPT 3 pada
12 Juli
2021, dan Campak-Rubella pada 15 September 2021. Pasien belum mendapatan
imunisasi polio suntik (IPV) dikarenakan habis pada puskesmas.
III.2.9. Riwayat Makanan
Pasien masih meminum ASI dengan pemberian 8 kali sehari, setiap
pemberian sekitar 150 cc . Pasien juga memakan makanan berupa bubur saring
merk cerelac dengan jumlah 2 s.d. 3 sendok makan dengan frekuensi 2 s.d. 3 kali
makan per hari. Pasien tidak memiliki alergi makanan (-) ataupun pantangan
makanan (-).

III.2.10. Silsilah Keluarga


Tn. AI Ny.
38 th SW
30 th

An. ES An.
7 th KAN
9 bln

Keterangan
: Laki – laki
: Perempuan
: Pasien

III.2.11. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien merupakan anak terakhir dari dua bersaudara. Ayah pasien bekerja sebagai
petugas koperasi simpan pinjam. Ibu pasien merupakan buruh pabrik Sidomuncul.
Sumber nafkah keluarga ini berasal dari bapak dan ibu pasien. Pasien diasuh oleh
ibunya, namun bila ibunya bekerja makan pasien ditipkan ke neneknya.
Penghasilan dikatakan mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Pemukiman
tempat tinggal keluarga cukup padat. Keadaan dalam rumah bersih, terdapat
jendela dan
ventilasi untuk udara dapat bersirkulasi di dalam rumah, serta cahaya matahari
dapat masuk ke dalam rumah.

I.3. Pemeriksaan Fisik


Status pasien tanggal 13 Oktober 2021
• Keadaan umum : Baik
• Kesadaran : Compos mentis
• Nadi : 116 x / menit
• Respirasi : 30 x / menit
• SpO2 : 99%
• Suhu : 35.8ºC

Status Generalis
• Mukosa/kulit menyeluruh : Sianosis (-), edema (-), ikterik (-) pada kepala,
leher, dada, perut, dan paha, kulit kemerahan (-), kulit
kering (-).
• Kepala : Normocephal, rambut hitam, tidak mudah dicabut
• Mata : Palpebra edema (-/-), cekung (-/-), konjungtiva anemis
(-/-), sclera ikterik (-/-), pupil isokor, refleks cahaya (+/+)
• Telinga : Sekret (-), darah (-)
• Hidung : Sekret (-), napas cuping hidung (-), epistaksis (-)
• Tenggorokan : Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 tenang
• Mulut : Bibir sianosis (-), bibir kering (-), tampak ulser multipel
diameter ± 1 mm pada mukosa mulut dan bibir, gusi
berdarah (-), lidah kotor (-)
• Leher : Deviasi trakea (-), pembesaran KGB (-), edema (-)
• Thorax
• Paru
• Inspeksi : Pergerakan dada simetris, retraksi dada (-/-), lesi (-/-)
• Palpasi : Ekspansi dada simetris, vocal fremitus (+/+)
• Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
• Auskultasi : VBS (+/+) Ronkhi (-/-) Wheezing (-/-)
• Jantung
• Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
• Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
• Perkusi : Redup, batas jantung kasar kesan jantung tidak membesar.
• Auskultasi : SI-II reguler, murmur (-), gallop (-)
• Abdomen
• Inspeksi : Tampak perut datar
• Auskultasi : Bising usus (+)
• Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen
• Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba besar
• Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, turgor kulit baik, edema (-).

I.4. Pemeriksaan Penunjang


Hasil Pemeriksaan Laboratorium RSGM Ambarawa (11/10/2021)

Pemeriksaan Hasil Nilai normal Satuan Ket

Darah Rutin
Hemoglobin 9.6 10.5-12.9 g/dL
Leukosit 6.20 6-17.5 ribu
Eritrosit 4.45 3.2-5.2 juta

Hematokrit 29.2 35-47 %

Trombosit 345 150-400 ribu

MCV 65.6 82-98 fL

MCH 21.6 27-32 pg


MCHC 32.9 32-37 g/dl

I.5. Diagnosis
Diagnosis Primer
Stomatitis

Diagnosis Status Gizi


Status Gizi Baik

Diagnosis Kelainan Tumbuh Kembang


Pertumbuhan dan Perkembangan Sesuai Usia

I.6. Penatalaksanaan
Non Medikamentosa
• Edukasi mengenai penyakit pasien pada orang tua pasien dan terapi yang
akan diberikan kepada pasien
• Edukasi tata cara aplikasi obat pada pasien
Medikamentosa
• Infus RL 10 tpm
• Inj. PCT 100 mg / 8 jam
• Bufacom salf
• Nystatin drop 3x1 cc

I.7. Follow-Up
Tanggal S O A P

11/10/2021 Datang • KU : Baik Stomatitis, Gizi • Infus RL


dengan • HR : 132x/mnt Baik, Pertumbuhan 10 tpm
keluhan • RR : 46 x/mnt dan Perkembangan • Inj. PCT
sariawan • SpO2 : 99% Sesuai Usia 100 mg /
sudah 3 hari • T : 35.9oC 8 jam
SMRS, sulit
• Retraksi (+), • Bufacom
makan dan Rhonki (-/-), salf
minum. Wheezing (-/-) • Nystatin
Demam (-), • Akral hangat, drop 3x1
batuk (+), CRT < 2s cc
sesak (-), • BB : 9300 g
BAB (+),
BAK (+)
12/10/2021 Sariawan • KU : Baik Stomatitis, Gizi • Infus RL
belum • HR : 118x/mnt Baik, Pertumbuhan 10 tpm
berkurang, • RR : 30x/mnt dan Perkembangan • Inj. PCT
sulit makan • SpO2 : 99% Sesuai Usia 100 mg /
dan minum. • T : 36.6oC 8 jam
Demam (-), • Retraksi (+), • Bufacom
batuk (-), Rhonki (-/-), salf
sesak (-), Wheezing (-/-) • Nystatin
BAB (+) • Akral hangat, drop 3x1
sedikit cair, CRT < 2s cc
BAK (+) • BB : 9300 g
13/10/2021 Sariawan • KU : Baik Stomatitis, Gizi • Infus RL
mulai • HR : 116x/mnt Baik, Pertumbuhan 10 tpm
membaik • RR : 30 x/mnt dan Perkembangan • Inj. PCT
dan • SpO2 : 99% Sesuai Usia 100 mg /
memerah, • T : 35.8oC 8 jam
sudah mau • Retraksi (+), • Bufacom
makan dan Rhonki (-/-), salf
minum. Wheezing (-/-) • Nystatin
Demam (-), • Akral hangat, drop 3x1
batuk (-), CRT < 2s cc
sesak (-), • BB : 9400 g
BAB (+)
sedikit cair,
BAK (+)
14/10/2021 Sariawan • KU : Baik Stomatitis, Gizi • Infus RL
membaik, • HR : 110x/mnt Baik, Pertumbuhan 10 tpm
ulser • RR : 28 x/mnt dan Perkembangan • Inj. PCT
memerah. • SpO2 : 99% Sesuai Usia 100 mg /
Sudah • T : 36.9oC 8 jam
makan dan • Retraksi (+), • Bufacom
minum. Rhonki (-/-), salf
Demam (-), Wheezing (-/-) • Nystatin
batuk (-), • Akral hangat, drop 3x1
sesak (-), CRT < 2s cc
BAB (+), • BB : 9400 g • BLPL
BAK (+)
I.8. Prognosis
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam
Ad Functionam : dubia ad bonam
BAB II
PENDAHULUAN

Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) merupakan kelainan mukosa yang paling


sering terjadi dengan gambaran klinis yaitu berupa ulkus single atau multiple
(Hernawati, 2013). SAR memiliki karakteristik berupak ulkus kambuhan atau
rekuren dan biasanya disertai rasa nyeri (Edgar NS, et al, 2017).
Studi prevalensi SAR yang paling menyeluruh dilakukan pada 10.000
orang dengan usia muda pada 21 negara yang berbeda. Hasil yang
didapatkan dari keseluruhan data tersebut yaitu 38,7% pria dan 49,7% wanita
melaporkan bahwa sebelumnya mereka pernah mengalami Stomatitis Aftosa
Rekuren (SAR) sebanyak
2 kali atau lebih dan 25% menglami minimal satu kali episode dalam satu tahun
(Baccaglini, et al, 2013).
Berdasarkan keparahannya SAR dibagi menjadi 3 macam subtipe yaitu
SAR mayor, SAR minor, dan SAR herpetiformis. Lebih dari 70% kasus yang
paling sering terjadi adalah SAR minor, yang biasanya terjadi pada pasien dengan
rentan usia 5 hingga 19 tahun. (Edgar NS, et al, 2017).
Etiologi dari SAR hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti,
faktor- faktor yang mungkin menjadi penyebab timbulnya SAR antara lain adalah
faktor genetik, imunologi dan hormonal, infeksi, alergi makanan, defisiensi
vitamin dan mineral, penyakit gastrointestinal, trauma, dan stres psikologis
(Slebiodda Z, et al, 2013). Oleh karena itu penting untuk menentukan etiologi dan
penyakit penyerta pada SAR untuk membantu memberikan terapi yang tepat dan
hasil yang maksimal.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

III.1. Stomatitis Aftosa Rekuren


SAR adalah suatu penyakit ulseratif yang paling umum terjadi di mukosa
mulut. Gambaran lesinya yaitu bentukan ulkus dangkal, berbentuk bulat, nyeri,
bagian tengah ditutupi pseudomembran warna kuning keabu-abuan, dan memiliki
batas kemerahan yang jelas. Biasanya terletak dibagian mukosa bukal, labial dan
jarang terjadi pada mukosa yang berkeratin (Akintoye SO and Martin SG, 2014).
Stomatitis memiliki arti dalam bahasa yaitu peradangan jaringan lunak di
mulut, aphtosa berarti terbakar, dan rekuren yang artinya ulkus pada rongga mulut
tersebut timbul berulang atau secara tiba-tiba tanpa penyebab yang pasti.
Masyarakat mengenal Stomatitis Aftosa Rekuren dengan sebutan yaitu sariawan
(Junhar, dkk, 2015).

III.2. Etiologi
Etiopatogenesis dari SAR masih belum diketahui sepenuhnya. Akan tetapi
terdapat beberapa faktor yang berperan dalam timbulnya SAR yaitu faktor
genetik, infeksi virus atau bakteri, alergi makanan, defisiensi nutrisi, penyakit
sistemik, stres, hormonal, dan trauma lokal (Slebiodda Z, et al, 2014).
Interaksi yang kompleks antara faktor etiologi dapat memicu timbulnya
ulkus pada SAR. Faktor etiologi dapat diklasifikasikan menjadi faktor predisposisi
dan faktor pencetus. Faktor predisposisi SAR antara lain yaitu faktor genetik atau
hubungan terhadap HLA, hormonal, disregulasi sistem imun, defisiensi nutrisi,
dan penyakit sistemik. Sedangkan faktor pencetus timbulnya SAR adalah trauma,
infeksi, alergi makanan dan stres (Kummar A, et al, 2014).
III.3. Faktor Predisposisi SAR
III.3.1. Faktor Genetik
Faktor genetik memiliki peran dalam perjalanan penyakit SAR. Pasien
dengan riwayat keluarga positif SAR akan mengalami tingkat keparahan yang
lebih berat dan kekambuhan yang lebih sering dari pada pasien yang tidak
memiliki riwayat keluarga SAR (Slebiodda Z, et al, 2014). Genetik perlu
dipertimbangkan sebagai faktor predisposisi terjadinya SAR. Sekitar 40% pasien
yang memiliki riwayat keluarga SAR akan muncul ulkus lebih awal dan
keparahan yang lebih berat dibanding pasien yang tidak memiliki riwayat
keluarga SAR (Preeti L, et al,
2011).
Gen HLA (Human Leukocyte Antigen) menyandi glikoprotein yang
berperan pada pembentukan sistem imun manusia. Fungsi utama molekul HLA
adalah mengenali protein asing dari kuman patogen (disebut dengan peptide) yang
masuk ke dalam tubuh. Reaksi imunitas timbul apabila terjadi reaksi diantara
kedua molekul tersebut. Ketika interaksi tersebut terjadi, komplek protein akan
dibawa ke permukaan sel untuk dapat dikenali oleh sel T sehingga mengakibatkan
timbulnya respon imun (Slebiodda Z, et al, 2014).
Oleh karena itu, frekuensi dari tipe-tipe molekul HLA tertentu dapat
mempengaruhi keparahan sistem imun pada individu. Pada pasien dengan SAR
yang dibandingkan dengan kelompok sehat, insidensi HLA yang lebih tinggi yaitu
HLA-A33, HLA-B35 dan HLA-B81, HLAB12, HLA-DR7 dan HLA DR5
(Slebiodda Z, et al, 2014).
Selain itu, HLA dengan subtipe HLA B-515, HLA-B52, HLA- B446,
HLA- DRW10 and DQW17 antigen diperkirakan memiliki keterkaitan terhadap
timbulnya SAR (Kummar A, et al, 2014).

III.3.2. Imunologi
Beberapa studi menyatakan dan membuktikan bahwa pada SAR terjadi
immune dysregulation. Yaitu adanya stimulus lokal dan sistemik yang
menyebabkan sel-sel epitel menjadi target aksi sitotoksik limfosit dan monosit
sehingga sel tersebut dihancurkan. Aksi sitotoksik limfosit dan monosit pada sel
epitel oral tersebut menyebabkan timbulnya ulkus pada mukosa mulut. Selain itu
berdasarkan histopatologi pada ulkus SAR didapatkan infiltrasi berbagai macam
sel-sel inflamasi. Pada fase pre-ulseratif dan penyembuhan didapatkan sel T-
helper yang dominan, sedangkan pada fase ulseratif didapatkan sel T-supressor
yang dominan (Kummar A, et al, 2014).
Terjadinya lesi ulserasi pada RAS diduga juga melibakan respon imun
seluler (cellular mediated immune response) dengan diproduksinya sel T dan
TNF- α serta leukosit lain seperti makrofag dan sel mast. TNF-α merupakan
mediator proinflamasi utama, menginduksi inisiasi proses inflamasi dengan
memberikan efek adhesi pada endotel dan efek kemotaksis pada neutrofil. TNF-α
juga menstimulasi MHC-1 (Major Histocompability Complex class 1).
Peningkatan ekspresi MHC-I dan II telah terdeteksi dalam epitel sel-sel epitel
basal akan tampak pada tahap preulseratif dan ulseratif, karena itu hampir tidak
ditemukan antigen MHC pada masa penyembuhan. Mereka mungkin memainkan
peranan dalam kerusakan jaringan secara lokal dengan menargetkan sel-sel ini
untuk dirusak oleh sel CD8 pada proses ulseratif. Sitokin lain yang berperan
adalah interleukin yaitu IL-2, IL-10, dan NK sel yang diaktivasi oleh IL-2 (Cui
RZ, et al, 2016).
Sitokin-sitokin seperti IL-2, IL-10, dan penurunan aktivasi dari sel NK
diyakini memiliki pengaruh terhadap timbulnya SAR. Pada imunopatogenesis
SAR, akan tetapi yang memiliki faktor paling berpengaruh terhadap timbulnya
SAR dalah respon imun seluler yaitu TNF-α (Cui RZ, et al, 2016).
Sistem imun juga memiliki peran terhadap timbulnya SAR. Kondisi sistem
imun yang abnormal atau menurun dapat mempermudah perlekatan
mikroorganisme ke mukosa sehingga mikroorganisme mudah invasi ke mukosa
dan mikroorganisme juga sulit di fagosit. Sehingga menyebabkan lebih rentannya
untuk terjadi infeksi oleh bakteri (Hernawati S, 2013).
III.3.3. Defisiensi Nutrisi
Pasien yang mengalami defisiensi nutrisi memiliki hubungan terhadap
timbulnya SAR. Sebagian penderita SAR diperkirakan mengalami defisiensi
vitamin B12 (Volkov et al, 2009).
Selain itu defisiensi hematinik (zat besi, asam folat, vitamin B6 dan B12
juga memiliki keterkaitan terhadap timbulnya SAR. Pada penelitian didapatkan
20% pasien SAR mengalami defisiensi hematinik (Kummar A, et al, 2014).
Zat besi, asam folat, dan vitamin B12 sangat penting untuk proses
eritropoisis. Sel darah merah dalam sirkulasi darah tubuh, mengangkut oksigen ke
jaringan bersama haemoglobin yang didapat dari zat besi berada di dalamnya.
Anemia menyebabkan aktivitas enzim-enzim pada mitokondria dalam sel
menurun karena terganggunya transpor oksigen dan nutrisi, sehingga menghambat
diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel. Akibatnya proses diferensiasi terminal
sel- sel epitel menuju stratum korneum terhambat dan selanjutnya mukosa mulut
akan menjadi lebih tipis oleh karena hilangnya keratinisasi normal, atropi, dan
lebih mudah mengalami ulserasi. Anemia juga menyebabkan terjadinya kerusakan
imunitas seluler, berkurangnya aktivitas bakterisidal dari leukosit
polymorphonuclear, respon antibodi tidak adekuat dan abnormalitas pada jaringan
epitel. Kondisi inisering terjadi pada seseorang yang menderita defisiensi vitamin
B12, folat, dan zat besi (Laillyza M dan Tutti H, 2010).

III.3.4. Hormonal
Pada penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kadar estradiol
penderita SAR, dengan pola menstruasi teratur cenderung normal, sedangkan
kadar progesteron kurang dari normal. Pengaruh ini mungkin disebabkan oleh
fluktuasi kadar estrogen dan progesteron yang reseptornya dapat dijumpai dalam
rongga mulut, khususnya pada gingiva. Pada penderita SAR, dianggap
berkurangnya kadar progesteron hingga 80%, menyebabkan faktor self limiting
berkurang, polymorphonuclear leukocytes menurun, demikian juga
permeabilitas vaskuler
yang mengalami vasodilatasi oleh karena pengaruh estrogen, dan menjadi lebih
permeabel oleh pengaruh progesteron. (Sumintarti dan Erni M, 2012).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada pasien SAR wanita
menunjukkan adanya hubungan antara onset ulkus oral yang mereka alami
terhadap siklus menstruasi, kehamilan, dan dysmenorrhea. Selain itu timbulnya
SAR juga dipengaruhi oleh hormon seks (Tarakji B, et al, 2014).

III.3.5. Penyakit Sistemik


Beberapa penyakit sistemik biasanya memiliki manifestasi klinik yg mirip
dengan SAR, penyakit sistemik yg nerhubungan dengan SAR biasanya adalah
penyakit yang disebabkan oleh defisiensi nutrisi atau autoimun seperti anemia,
PFAPA, infeksi HIV, sindrom behcet, sweet syndrome, dan magic syndrome
(Tarakji B, et al, 2015). Selain itu penyakit sistemik lain yang memiliki hubungan
dengan SAR adalah SLE, crohn’s disease, dan celiac disease (Kummar A, et al,
2014).
Hasil dari penelitian-penelitian yang pernah dilakukan menyatakan bahwa
SAR lebih sering muncul pada pasien yang memiliki gangguan pada gastro
intestinal. Kebanyakan gangguan tersebut didapati dari penyakit sistemik seperti
chronic inflammatory bowel diseases (Crohn’s disease, ulcerative colitis) dan
celiac disease. Hal tersebut dihubungkan dengan defisiensi nutrisi atau reaksi
autoimun yang dialami oleh pasien dengan penyakit sistemik (Slebiodda Z, et al,
2014)

III.4. Faktor Pencetus SAR


III.4.1. Alergi Makanan
Alergi terhadap beberapa makanan seperti kacang, coklat, kentang goreng,
keju, susu,terigu, gandum, kopi, sereal, almond, stroberi dan beberapa makanan
dari tomat dihubungkan dengan munculnya SAR pada beberapa pasien
(Yogasedana IMA, dkk, 2015).

17
Beberapa makanan seperti coklat, kopi, kacang, sereal, almond, strawberi,
keju, tomat, dan tepung yang mengandung gluten dapat memberikan dampak pada
individu tertentu. Selain itu berdasarkan penelitian didapatkan hubungan antara
kenaikan serum IgA, IgE, dan IgG anti susu sapi pada individu terhadap timbulnya
manifestasi klinis SAR (Tarakji B, et al, 2014).
Makanan yang berbahan dasar tepung diperkirakan juga dapat
menyebabkan timbulnya SAR. Dikarenakan sebagian besar tepung yang
digunakan dalam kue ataupun makanan mengandung gluten yang pada beberapa
orang akan mengalami hipersesnitivitas apabila mengkonsumsinya (Kummar A, et
al, 2014).

III.4.2. Stres Psikologis


Secara umum, stres psikologis dapat memicu pelepasan hormon stres
misalnya glukokortikoid dan katekolamin yang pada akhirnya mempengaruhi
respons imun melalui beberapa jalur.
Jalur pertama, melalui sumbu hypothalamus-pituitary-adrenal (HPA),
dengan sintesis corticotropin releasing hormone (CRH) oleh hipotalamus yang
akan merangsang pelepasan adeno cortico tropine hormone (ACTH) oleh hipofisis
anterior (pituitary), dan stimulasi pelepasan kortikosteroid oleh korteks adrenal.
Kortikosteroid merupakan hormon yang memiliki efek antiinflamasi dan
imunosupresi (Hernawati S, 2013). Kortisol menghambat leukosit dari sirkulasi ke
ekstraseluler, mengurangi akumulasi monosit dan granulosit di tempat radang,
serta menekan produksi beberapa sitokin dan mediator radang. Pengaruh kortisol
terhadap sel imun dimungkinkan karena pada permukaan makrofag, sel natural
killer, dan sel Th terdapat reseptor glukokortikoid (Wardhana M, 2011).
Penelitian yang dilakukan pada tahun 1970 dan 1980 menyatakan bahwa
glukokortikoid menghambat proliferasi limfosit dan sitotoksik sehingga
menurunkan ekspresi sitokin proinflamasi dan meningkatkan ekspresi sitokin

18
antiinflamasi. Akan tetapi, penelitian yang terbaru telah membuktikan bahwak
glukokortikoid juga memiliki pengaruh terhadap sitokin proinflamasi. Pada

19
penelitian tersebut didapatkan pada tikus dengan kadar kortisol yang tinggi
memiliki akumulasi PGE2 yang lebih tinggi dibandingkan dengan sitokin
antiinflamasi (Liu YZ, et al, 2017).
Jalur kedua, melalui sumbu simpatiko adrenal medularis (SAM), jalur ini
dimulai dari rangsangan yang diterima di locus ceruleus adrenergic system dalam
SSP dan di bagian medula kelenjar adrenal. Sistem terdiri atas sistem saraf
parasimpatis dan simpatis. Serat praganglion simpatis dan parasimpatis
melepaskan neurotransmiter yang sama yaitu asetilkolin (Ach), sedangkan ujung
saraf pascaganglion simpatis melepaskan noradrenalin atau norepinefrin (NE).
Serabut praganglion mempersarafi sel-sel kromafin medula adrenal yang dapat
menghasilkan hormon katekolamin terutama epinefrin dan norepinefrin. Dikenal 2
jenis reseptor adrenergik yaitu reseptor α-1, 2 dan reseptor β-1 dan 2. Beberapa
organ limfoid yaitu monosit dan limfosit, memiliki reseptor adrenergik di
permukaan, sehingga rangsangan terhadap reseptor tersebut oleh norepinefrin
dapat mempengaruhi peran sel imun. Norepinefrin juga dapat meningkatkan
produksi IL-
6. Sitokin ini berperan sebagai protein fase akut, serta sangat berperan dalam
pertumbuhan sel plasma untuk membentuk antibodi dan meningkatkan proliferasi
sel Th2. Reseptor beta-adrenergik di permukaan sel Th akan berdiferensiasi
menjadi sel Th2 dengan memproduksi sitokin IL-4, IL-5, dan IL-10, yang sangat
berperan dalam reaksi hipersensitivitas tipe I (Wardhana M, 2011).
Selain itu stimulus stres dapat mempengaruhi SNS untuk memproduksi NE
dan NPY. Norephinephrin meningkatkan fosforilasi MAPKs untuk memproduksi
faktor-faktor inflamasi. Sedangkan neuropetida Y (NPY) dapat memproduksi
TGF- β dan TNFα melalui reseptor Y. Pada imunopatogenesis SAR, yang
memiliki faktor paling berpengaruh terhadap timbulnya SAR dalah respon imun
seluler yaitu TNF- α (Liu YZ, et al, 2017).
Jalur ketiga, melalui sumbu CRH-sel mast. Banyak faktor yang dapat
mengakibatkan degranulasi sel mast, salah satu di antaranya adalah faktor stresor
psikologis. Hal ini dapat dimengerti karena di permukaan sel mast dijumpai
(CRHR-1) reseptor corticotropin releasing hormone (Wardhana M, 2011).
Kadar kortisol meningkat seiring dengan meningkatnya stres yang diukur
dengan STAI (State Trait Anxiety Inventory). Faktor psikologis seperti emosi dan
stres merupakan faktor pencetus terjadinya SAR, contohnya stres saat ujian di
sekolah atau perkuliahan (Rao AK et al, 2015).
Stres psikologis dapat menganggu homeostasis pada organ-organ dalam
tubuh, yang mana hal tesebut berhubungan timbulnya SAR. Selain itu disfungsi
dari saraf otonom juga memiliki peran pada timbulnya SAR. Beberapa studi telah
menunjukkan bahwa terdapat peningkatan level dari biomarker inflamasi pada
orang yang mengalami depresi atau stres psikologis (Sato T, et al, 2015).

III.4.3. Trauma
Umumnya ulser terjadi karena tergigit saat bicara atau saat mengunyah,
kebiasaan buruk (bruksism), akibat perawatan gigi, makanan atau minuman yang
terlalu panas, suntikan anastesi lokal yang dapat memicu terjadinya inflamasi
(Preeti L, et al, 2011).
Trauma lokal pada oral dapat memicu timbulnya edem dan inflamasi
seluler yang beruhubungan dan meningkatnya viskositas dari matriks submukosa
oral (Chaven M, et al, 2012)
Infeksi merupakan salah satu fajtor pencetus timbulnya rekurensi dari
stomatitis. Mikroorganisme yang paling sering menyebabkan destruksi mukosa
oral dan timbulnya ulkus SAR antara lain adalah Helicobacter pylori,
Stresptococus mitis, dan Ebstein-Bar virus (Cui RZ, et al, 2016).
Beberapa penelitian didapatkan bahwa terdapat kemungkinan adanya
hubungan timbulnya SAR dengan spesies Streptococci, yang paling sering adalah
Stresptococci saanguinis (Chaven M, et al, 2012)
III.5. Klasifikasi
Stomatitis Aftosa Rekuren diklasifikasikan menjadi 3 jenis yaitu SAR
minor, mayor, dan hipertiformis. Lebih dari 85 % SAR yang menunjukan lesi
minor (Akintoye SO and Martin SG, 2014).
Stomatitis aftosa rekuren tipe herpetiformis paling sedikit dijumpai pada
populasi yaitu dengan prevalensi 5-10%. Jumlah ulsernya terdiri dari 5 sampai 100
ulser dengan diameter antara 2-3 mm berbentuk kecil, tidak beraturan, bulat dan
menimbulkan nyeri yang sangat sakit (Preeti L, et al, 2011).
III.5.1. Herpetiformis
Stomatitis aftosa rekuren tipe herpetiformis paling sedikit dijumpai pada
populasi yaitu dengan prevalensi 5-10%. Jumlah ulsernya terdiri dari 5 sampai 100
ulser dengan diameter antara 2-3 mm berbentuk kecil, tidak beraturan, bulat dan
menimbulkan nyeri yang sangat sakit (Preeti L, et al, 2011).

Gambar 1. SAR Tipe Herpetiformis

III.5.2. Mayor
SAR mayor memiliki distribusi yang lebih luas dibandingkan dengan SAR
minor yang umumnya meluas ke gingiva dan mukosa faring. Ukurannya lebih
besar yaitu lebih dari 10mm, dan durasi penyembuhan yang lebih lama.SAR
minor umumnya akan menghilang dalam 14 hari,sedangkan SAR mayor dapat
menetap lebih lama bahkan hingga 6 minggu (Edgar NR, et al, 2017).
Gambar 2. SAR Tipe Mayor

III.5.3. Minor
SAR minor adalah bentuk yang paling umum dan biasanya terjadi pada
pasien yang berusia 5 tahun samapi dengan 19 tahun.Lesi ditandai dengan
beberapa ulkus yang berbentuk bulat,letaknya superficial, ukurang yang kurang
dari 10mm
,dan disertai dengan psedumoembran yang berwarna abu-abu dengan batas
kemerahan yang jelas (Edgar NR, et al, 2017).

Gambar 3. SAR Tipe Minor


III.6. Diagnosis
Penegakan diagnosis SAR yang utama adalah berdasarkan anamnesis
dengan menanyakan riwayat pasien dan manifestasi klinis. Pemeriksaan tambahan
seperti tes serologi dan histopatologi juga dapat membantu dalam mengakkan
diagnosis SAR. Diagnosis SAR idiopatik dan SAR sekunder ditegakkan apabila
memenuhi 4 kriteria mayor dan minimal 1 kriteria minor (Preeti L, et al, 2011).
Tabel 1. Manisfestasi Klinis SAR
Tipe SAR
Karakteristik
Minor Mayor Herpetiformis
Jumlah Ulkus 1-5 1-3 5-20 (bisa lebih dari
100
Ukuran Ulkus <10mm >10mm 1-2mm
Durasi 7-14 hari 2 minggu – 3 bulan 7-14 hari
Sembuh dengan - Ya -
bekas jaringan parut
Tempat predileksi Mukosa oral yang Mukosa oral Non keratin mukosa
tidak berkeratin berkeratin dan tidak
(mukosa bukal, berkeratin
mukosa labial, atau
lidah)

III.7. Tatalaksana
Tidak ada penatalaksanaan spesifik terhadap SAR. Perawatannya hanya
berupa perawatan simtomatik (Preeti et al, 2011). Tatalaksana yang perlu
dilakukan pada pasien SAR adalah sebagai berikut (Guallar IB, et al, 2014) :
a. Mengatasi atau mengobati penyebab yang mendasari timbulnya SAR.
b. Mengidentifikasi dan memonitor faktor predisposisi dari timbulnya SAR.
c. Obat topikal seperti kombinasi antiseptik seperti chlorhexidine dan
triclosan diperlukan apabila timbul outbreak dan gejala yang berkelanjutan.
d. Obat sistemik diindikasikan apabila outbreak konstan dan agresif
Untuk memudahkan dalam penatalaksanaannya, maka SAR diklasifikasikan ke
dalam 3 tipe, yaitu: Tipe A, tipe B, tipe C (Rathee et. Al, 2014; Scully & Nur,
2003).
a. Tipe A
SAR yang berlangsung hanya beberapa hari, muncul 2 sampai 3 kali
dalam setahun, rasa nyeri masih dapat ditoleransi, merupakan karakteristik
Tipe A. Dokter perlu mengidentifikasi apa pemicu dari ulser tersebut dan
perawatan apa yang pernah dilakukan pasien dan seberapa efektif perawatan
tersebut. Jika efektif dan aman, dokter dapat menganjurkan pasien untuk
melanjutkannya. Jika faktor pemicunya telah diketahui, dokter harus
menghilangkan pemicunya terlebih dahulu. Sebagai contoh, jika trauma
merupakan faktor pemicu SAR, dokter dapat menyarankan pasien untuk
menggunakan sikat gigi yang halus dan menyikat gigi dengan lembut.
Pemberian obat tidak diindikasikan.
b. Tipe B
Tipe B ditandai dengan adanya SAR yang muncul setiap bulan,
berlangsung 3 sampai 10 hari. Pada kasus ini, lesi sangat nyeri sehingga
menyebabkan diet normal berubah, kondisi oral hygiene juga berubah. Apabila
faktor pemicunya dapat ditemukan (seperti OH, stress, trauma, diet), maka
pengobatan dapat didiskusikan dengan pasien. Bila ada gejala prodromal pada
pasien, seperti rasa kebas ataupun bengkak, dapat diberikan kortikosteroid
untuk menanggulanginya.
Perawatan pada tipe ini meliputi obat kumur chlorhexidine dan
penggunaan kortikosteroid topikal segera saat ulser muncul. Karena pola
rekurensi yang terus menerus, pasien membutuhkan perawatan yang terencana.
Salah satunya bisa dengan menggunakan dexamethasone 0.05 mg/ 5 mL
(berkumur 3 kali sehari). Pada pasien dengan SAR yang tidak kunjung
sembuh, penggunaan kortikosteroid sistemik dapat dilakukan, jangan lebih
dari 50 mg/ hari (sebaiknya pada pagi hari) selama 5 hari.
c. Tipe C
Tipe C adalah SAR dengan rasa nyeri dan kronis dikarenakan saat satu
ulser sembuh, ulser yang lain muncul. Pasien tipe ini biasanya membutuhkan
topikal, sistemik atau injeksi intralesional kortikosteroid, azathioprine, atau
imunosupresi lain seperti dapsone, entoxifylline hingga thalidomide.
DAFTAR PUSTAKA

Akintoye SO and Martin SG, 2014, Recurrent Aphthous Stomatitis, National


Institute of Health [online], Tersedia dari:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3964366/.
Baccalgini L, et al, 2013, Validation of Anamnestic Diagnostic Criteria for
Recurrent Aphthous Stomatitis, J Oral Pathol Med, vol.42, pp. 290-294.
Cui RZ, Alison JB, and Roy SR, 2016, Recurrent Aphthous Stomatitis, Clinics in
Dermatology, vol. 34, pp. 475-481,
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/27343962>.
Chaven M, et al, 2012, Recurrent aphthous stomatitis, Journal of Oral Phatologhy
and Medicine, vol. 5, pp. 55-61.
Edgar NR, Dahlia S, Richard AM, 2017, Reccurent Aphthous Stomatitis: A Rivew,
Journal of Clinical and Aesthetic Dermatology, vol.10, pp. 26-35,
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5367879/>.
Guallar IB, Yolanda JS, and Ariadna CL, 2014, Treatment of Recurrent Apthous
Stomatiti, Journal of Clinical and Experimental Dentistry, vol. 6(2), pp.
168-174 <https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4002348/>.
Hernawati S, 2013, Mekanisme selular dan molekular stres terhadap terjadinya
rekuren aptosa stomatitis, Jurnal Pendidikan Dokter Gigi Indonesia,
vol.62, hal. 36-40.
Junhar MG, Pieter LS, Aurelia SR, 2015, Gambaran Stomatitis Aftosa Rekuren
dan Stres pada Narapidana di Lembaga permasyarakatan Kelas II Bangka
Belitung, Jurnal e-Gigi, vol. 3, hal. 100-107.
Kummar A, Vasanthi A, and Jaisiri G, 2014, Etiology and Pathophysiology of
Reccurent Apthous Stomatitis, Int J Cur Res Rev, vol.6, pp. 16-22,
Lalyyza M dan Tutti H, 2010, Stomatitis aftosa rekuren oleh karena anemia,
Dentofasial, vol. 9, hal. 39-46
Liu YZ, Yun-Xia W, and Chun LJ, 2017, Inflammation: The Common Pathway of
Stress related-disease, Frontiers in Human Neuroscience, vol. 11, pp. 316
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5476783/>.
Preeti L, KT Magesh, K RajKummar, et al, 2011, Reccurent Apthous Stomatitis, J
Oral Maxillofac Pathol, vol. 15(3), pp. 252-256
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3227248/>.
Rao AK, Sudhakar V, and NR Sirisha, et al, 2015, The Association Between
Psychological Stress and Recurrent Aphthous Stomatitis Among Medical
and Dental Student Cohorts in an Educational Setup in India, Journal of
Indian Association of Public Health Dentistry, vol. 13(2), pp. 133-137
http://www.jiaphd.org/article.asp?issn=2319-
5932;year=2015;volume=13;issue=2;spage=133;epage=137;aulast=Rao.
Rathee M, Bhoria M, Boora P 2014. Recurrent aphthous stomatitis: An overview.
The Internet J of Family Practice; 13(1): 1-6.
Sato T, et al, 2015, Possible neuroimmunomodulation therapy in T-cell-mediated
oral diseases, Dental Hypotheses, vol. 6, pp. 49-52.
Scully C, Nur FL 2003. The diagnosis and management of recurrent aphthous
stomatitis: A consensus approach. JADA; 134: 200-7.
Slebiodda Z, Elzbieta S, Anna K, 2013, Recurrent Aphthous Stomatitis: Genetic
Aspects of Etiology, Postep Derm Alergol, vol.30(2), pp. 96-102
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3834687/>.
Sumintarti dan Erni M, 2012, Hubungan antara level estradiol dan progesteron
dengan stomatitis aftosa rekuren, Dentofasial Jurnal Kedokgi, vol. 11(3),
hal. 137-141.
Tarakjhi B, et al, 205, Guideline for the Diagnosis and Treatment of Recurrent
Aphthous Stomatitis for Dental Practitioners, Journal of International
Oral Health, vol. 7, pp. 74-80.

27
Volkov I, et al, 2009, Effectiveness of vitamin B12 in treating recurrent aphthous
stomatitis: A randomized, double-blind, placebo-controlled trial, Journal
of

28
the American Board of Family Medicine, vol. 22(1), pp. 9-16
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19124628>.
Yogasedana IMA, Ni Wayan M, dan Michael AL, 2015, Angka kejadian
stomatitis aftosa rekuren (SAR) ditinjau dari faktor etiologi di RSGMP FK
UNSRAT Tahun 2014, Jurnal e-Gigi, vol. 3(2), hal. 278-284.
Wardhana M, 2011, Psikoneuroimunologi bidang dermatologi, MDVI, vol. 38, hal.
175-180.

Anda mungkin juga menyukai