Laporan Kasus - Stomatitis
Laporan Kasus - Stomatitis
Stomatitis
Pembimbing:
dr. Tundjungsari Ratna Utami, M.Sc, Sp.A
Pembimbing
Ditetapkan di : Ambarawa
Tanggal : Oktober 2021
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan
rahmat dan segala karunia-Nya sehingga laporan kasus ini yang membahas
tentang “Stomatitis” dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda kita yakni Nabi Muhammad SAW.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan memberikan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dr. Tundjungsari R. U, M.Sc, Sp.A,
selaku pembimbing yang dengan penuh kesabaran dan keikhlasan meluangkan
waktu, tenaga, pikiran serta petunjuk yang berharga dalam membimbing penulis
dan telah banyak memberikan saran yang bermanfaat sehingga berbagai kesulitan
dan kendala dalam penulisan laporan kasus ini dapat teratasi. Semoga segala
bantuan yang telah diberikan oleh berbagai pihak dijadikan sebagai amal soleh.
Penulis berharap laporan kasus ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan yang lebih luas dan bermanfaat untuk penulis maupun
semua orang terutama bagi ilmu kedokteran guna untuk kemajuan pendidikan.
Dalam menyusun makalah ini, penulis menyadari banyaknya kekurangan
yang terdapat dalam makalah ini. Sebelumnya penulis mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak
sebagai bahan evaluasi dalam pembuatan makalah berikutnya. Mudah-mudahan
itu semua menjadikan cambuk bagi saya agar lebih meningkatkan kinerja di masa
yang akan datang.
Penulis
iii
BAB I
STATUS PASIEN
I.2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis kepada Ny. SW selaku ibu pasien di
Bangsal Cendana RSUD dr. Gunawan Mangunkusumo Ambarawa tanggal 13
Oktober 2021 pukul 13.30 WIB
III.2.1. Keluhan Utama
Sariawan pada bibir dan mulut.
1
Seorang anak perempuan usia 9 bulan 15 hari diantar ke IGD RSGM oleh
orang tuanya dengan keluhan adanya sariawan pada bibir dan di dalam mulut
pasien
2
sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Sariawan awalnya muncul di bibir
pasien, namun sariawan semakin banyak muncul pada mukosa mulut pasien.
Sebelum terjadi sariawan pasien sempat mengalami demam selama 2 hari dan
timbul bentol pada kulit punggung pasien. Keluhan demam dan bentol saat ini
sudah menghilang. Sejak mengalami sariawan pasien sulit untuk minum ASI dan
makan bubur. Orang tua pasien khawatir pasien akan mengalami dehidrasi
sehingga membawa pasien ke IGD RSGM. Pasien juga sempat mengalami batuk
apabila meminum ASI. Keluhan adanya lesi kulit pada telapak tangan dan kaki
pasien disangkal. Keluhan sesak disangkal. Pasien dapat BAK dan BAB dengan
lancar, konsistensi BAB padat.
AVERAGE AGE OF
MILESTONE ATTAINMENT (MO) DEVELOPMENTAL IMPLICATIONS
GROSS MOTOR
Holds head steady while sitting 2 Allows more visual interaction
Pulls to sit, with no head lag 3 Muscle tone
Brings hands together in midline 3 Self-discovery of hands
Asymmetric tonic neck reflex gone 4 Can inspect hands in midline
Sits without support 6 Increasing exploration
Rolls back to stomach 6.5 Truncal flexion, risk of falls
Walks alone 12 Exploration, control proximity to parents
Runs 16 Supervision more difficult
FINE MOTOR
Grasps rattle 3.5 Object use
Reaches for objects 4 Visuomotor coordination
Palmar grasp gone 4 Voluntary release
Transfers object hand to hand 5.5 Comparison objects
Thumb-finger grasp 8 Able to explore small objects
Turns pages book 12 Increasing autonomy during book time
Scribbles 13 Visuomotor coordination
Builds tower of 2 cubes 15 Uses objects in combination
Builds tower of 6 cubes 22 Requires visual, gross, and fine motor coordination
COMMUNICATION AND LANGUAGE
Monosyllabic babble Smiles in response to face,
6 voice 1.5 More active social participant
Experimentation with sound, tactile sense
Inhibits to “no” 7 Response to tone (nonverbal)
Follows 1-step command with gesture 7 Nonverbal communication
Follows 1-step command without gesture 10 Verbal receptive language (e.g., “Give it to me”)
Says “mama”
Points to objects“dada” 10
10 Expressive
Interactive language
communication
Speaks first real word 12 Beginning labeling
An. ES An.
7 th KAN
9 bln
Keterangan
: Laki – laki
: Perempuan
: Pasien
Status Generalis
• Mukosa/kulit menyeluruh : Sianosis (-), edema (-), ikterik (-) pada kepala,
leher, dada, perut, dan paha, kulit kemerahan (-), kulit
kering (-).
• Kepala : Normocephal, rambut hitam, tidak mudah dicabut
• Mata : Palpebra edema (-/-), cekung (-/-), konjungtiva anemis
(-/-), sclera ikterik (-/-), pupil isokor, refleks cahaya (+/+)
• Telinga : Sekret (-), darah (-)
• Hidung : Sekret (-), napas cuping hidung (-), epistaksis (-)
• Tenggorokan : Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 tenang
• Mulut : Bibir sianosis (-), bibir kering (-), tampak ulser multipel
diameter ± 1 mm pada mukosa mulut dan bibir, gusi
berdarah (-), lidah kotor (-)
• Leher : Deviasi trakea (-), pembesaran KGB (-), edema (-)
• Thorax
• Paru
• Inspeksi : Pergerakan dada simetris, retraksi dada (-/-), lesi (-/-)
• Palpasi : Ekspansi dada simetris, vocal fremitus (+/+)
• Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
• Auskultasi : VBS (+/+) Ronkhi (-/-) Wheezing (-/-)
• Jantung
• Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
• Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
• Perkusi : Redup, batas jantung kasar kesan jantung tidak membesar.
• Auskultasi : SI-II reguler, murmur (-), gallop (-)
• Abdomen
• Inspeksi : Tampak perut datar
• Auskultasi : Bising usus (+)
• Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen
• Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba besar
• Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, turgor kulit baik, edema (-).
Darah Rutin
Hemoglobin 9.6 10.5-12.9 g/dL
Leukosit 6.20 6-17.5 ribu
Eritrosit 4.45 3.2-5.2 juta
I.5. Diagnosis
Diagnosis Primer
Stomatitis
I.6. Penatalaksanaan
Non Medikamentosa
• Edukasi mengenai penyakit pasien pada orang tua pasien dan terapi yang
akan diberikan kepada pasien
• Edukasi tata cara aplikasi obat pada pasien
Medikamentosa
• Infus RL 10 tpm
• Inj. PCT 100 mg / 8 jam
• Bufacom salf
• Nystatin drop 3x1 cc
I.7. Follow-Up
Tanggal S O A P
III.2. Etiologi
Etiopatogenesis dari SAR masih belum diketahui sepenuhnya. Akan tetapi
terdapat beberapa faktor yang berperan dalam timbulnya SAR yaitu faktor
genetik, infeksi virus atau bakteri, alergi makanan, defisiensi nutrisi, penyakit
sistemik, stres, hormonal, dan trauma lokal (Slebiodda Z, et al, 2014).
Interaksi yang kompleks antara faktor etiologi dapat memicu timbulnya
ulkus pada SAR. Faktor etiologi dapat diklasifikasikan menjadi faktor predisposisi
dan faktor pencetus. Faktor predisposisi SAR antara lain yaitu faktor genetik atau
hubungan terhadap HLA, hormonal, disregulasi sistem imun, defisiensi nutrisi,
dan penyakit sistemik. Sedangkan faktor pencetus timbulnya SAR adalah trauma,
infeksi, alergi makanan dan stres (Kummar A, et al, 2014).
III.3. Faktor Predisposisi SAR
III.3.1. Faktor Genetik
Faktor genetik memiliki peran dalam perjalanan penyakit SAR. Pasien
dengan riwayat keluarga positif SAR akan mengalami tingkat keparahan yang
lebih berat dan kekambuhan yang lebih sering dari pada pasien yang tidak
memiliki riwayat keluarga SAR (Slebiodda Z, et al, 2014). Genetik perlu
dipertimbangkan sebagai faktor predisposisi terjadinya SAR. Sekitar 40% pasien
yang memiliki riwayat keluarga SAR akan muncul ulkus lebih awal dan
keparahan yang lebih berat dibanding pasien yang tidak memiliki riwayat
keluarga SAR (Preeti L, et al,
2011).
Gen HLA (Human Leukocyte Antigen) menyandi glikoprotein yang
berperan pada pembentukan sistem imun manusia. Fungsi utama molekul HLA
adalah mengenali protein asing dari kuman patogen (disebut dengan peptide) yang
masuk ke dalam tubuh. Reaksi imunitas timbul apabila terjadi reaksi diantara
kedua molekul tersebut. Ketika interaksi tersebut terjadi, komplek protein akan
dibawa ke permukaan sel untuk dapat dikenali oleh sel T sehingga mengakibatkan
timbulnya respon imun (Slebiodda Z, et al, 2014).
Oleh karena itu, frekuensi dari tipe-tipe molekul HLA tertentu dapat
mempengaruhi keparahan sistem imun pada individu. Pada pasien dengan SAR
yang dibandingkan dengan kelompok sehat, insidensi HLA yang lebih tinggi yaitu
HLA-A33, HLA-B35 dan HLA-B81, HLAB12, HLA-DR7 dan HLA DR5
(Slebiodda Z, et al, 2014).
Selain itu, HLA dengan subtipe HLA B-515, HLA-B52, HLA- B446,
HLA- DRW10 and DQW17 antigen diperkirakan memiliki keterkaitan terhadap
timbulnya SAR (Kummar A, et al, 2014).
III.3.2. Imunologi
Beberapa studi menyatakan dan membuktikan bahwa pada SAR terjadi
immune dysregulation. Yaitu adanya stimulus lokal dan sistemik yang
menyebabkan sel-sel epitel menjadi target aksi sitotoksik limfosit dan monosit
sehingga sel tersebut dihancurkan. Aksi sitotoksik limfosit dan monosit pada sel
epitel oral tersebut menyebabkan timbulnya ulkus pada mukosa mulut. Selain itu
berdasarkan histopatologi pada ulkus SAR didapatkan infiltrasi berbagai macam
sel-sel inflamasi. Pada fase pre-ulseratif dan penyembuhan didapatkan sel T-
helper yang dominan, sedangkan pada fase ulseratif didapatkan sel T-supressor
yang dominan (Kummar A, et al, 2014).
Terjadinya lesi ulserasi pada RAS diduga juga melibakan respon imun
seluler (cellular mediated immune response) dengan diproduksinya sel T dan
TNF- α serta leukosit lain seperti makrofag dan sel mast. TNF-α merupakan
mediator proinflamasi utama, menginduksi inisiasi proses inflamasi dengan
memberikan efek adhesi pada endotel dan efek kemotaksis pada neutrofil. TNF-α
juga menstimulasi MHC-1 (Major Histocompability Complex class 1).
Peningkatan ekspresi MHC-I dan II telah terdeteksi dalam epitel sel-sel epitel
basal akan tampak pada tahap preulseratif dan ulseratif, karena itu hampir tidak
ditemukan antigen MHC pada masa penyembuhan. Mereka mungkin memainkan
peranan dalam kerusakan jaringan secara lokal dengan menargetkan sel-sel ini
untuk dirusak oleh sel CD8 pada proses ulseratif. Sitokin lain yang berperan
adalah interleukin yaitu IL-2, IL-10, dan NK sel yang diaktivasi oleh IL-2 (Cui
RZ, et al, 2016).
Sitokin-sitokin seperti IL-2, IL-10, dan penurunan aktivasi dari sel NK
diyakini memiliki pengaruh terhadap timbulnya SAR. Pada imunopatogenesis
SAR, akan tetapi yang memiliki faktor paling berpengaruh terhadap timbulnya
SAR dalah respon imun seluler yaitu TNF-α (Cui RZ, et al, 2016).
Sistem imun juga memiliki peran terhadap timbulnya SAR. Kondisi sistem
imun yang abnormal atau menurun dapat mempermudah perlekatan
mikroorganisme ke mukosa sehingga mikroorganisme mudah invasi ke mukosa
dan mikroorganisme juga sulit di fagosit. Sehingga menyebabkan lebih rentannya
untuk terjadi infeksi oleh bakteri (Hernawati S, 2013).
III.3.3. Defisiensi Nutrisi
Pasien yang mengalami defisiensi nutrisi memiliki hubungan terhadap
timbulnya SAR. Sebagian penderita SAR diperkirakan mengalami defisiensi
vitamin B12 (Volkov et al, 2009).
Selain itu defisiensi hematinik (zat besi, asam folat, vitamin B6 dan B12
juga memiliki keterkaitan terhadap timbulnya SAR. Pada penelitian didapatkan
20% pasien SAR mengalami defisiensi hematinik (Kummar A, et al, 2014).
Zat besi, asam folat, dan vitamin B12 sangat penting untuk proses
eritropoisis. Sel darah merah dalam sirkulasi darah tubuh, mengangkut oksigen ke
jaringan bersama haemoglobin yang didapat dari zat besi berada di dalamnya.
Anemia menyebabkan aktivitas enzim-enzim pada mitokondria dalam sel
menurun karena terganggunya transpor oksigen dan nutrisi, sehingga menghambat
diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel. Akibatnya proses diferensiasi terminal
sel- sel epitel menuju stratum korneum terhambat dan selanjutnya mukosa mulut
akan menjadi lebih tipis oleh karena hilangnya keratinisasi normal, atropi, dan
lebih mudah mengalami ulserasi. Anemia juga menyebabkan terjadinya kerusakan
imunitas seluler, berkurangnya aktivitas bakterisidal dari leukosit
polymorphonuclear, respon antibodi tidak adekuat dan abnormalitas pada jaringan
epitel. Kondisi inisering terjadi pada seseorang yang menderita defisiensi vitamin
B12, folat, dan zat besi (Laillyza M dan Tutti H, 2010).
III.3.4. Hormonal
Pada penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kadar estradiol
penderita SAR, dengan pola menstruasi teratur cenderung normal, sedangkan
kadar progesteron kurang dari normal. Pengaruh ini mungkin disebabkan oleh
fluktuasi kadar estrogen dan progesteron yang reseptornya dapat dijumpai dalam
rongga mulut, khususnya pada gingiva. Pada penderita SAR, dianggap
berkurangnya kadar progesteron hingga 80%, menyebabkan faktor self limiting
berkurang, polymorphonuclear leukocytes menurun, demikian juga
permeabilitas vaskuler
yang mengalami vasodilatasi oleh karena pengaruh estrogen, dan menjadi lebih
permeabel oleh pengaruh progesteron. (Sumintarti dan Erni M, 2012).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada pasien SAR wanita
menunjukkan adanya hubungan antara onset ulkus oral yang mereka alami
terhadap siklus menstruasi, kehamilan, dan dysmenorrhea. Selain itu timbulnya
SAR juga dipengaruhi oleh hormon seks (Tarakji B, et al, 2014).
17
Beberapa makanan seperti coklat, kopi, kacang, sereal, almond, strawberi,
keju, tomat, dan tepung yang mengandung gluten dapat memberikan dampak pada
individu tertentu. Selain itu berdasarkan penelitian didapatkan hubungan antara
kenaikan serum IgA, IgE, dan IgG anti susu sapi pada individu terhadap timbulnya
manifestasi klinis SAR (Tarakji B, et al, 2014).
Makanan yang berbahan dasar tepung diperkirakan juga dapat
menyebabkan timbulnya SAR. Dikarenakan sebagian besar tepung yang
digunakan dalam kue ataupun makanan mengandung gluten yang pada beberapa
orang akan mengalami hipersesnitivitas apabila mengkonsumsinya (Kummar A, et
al, 2014).
18
antiinflamasi. Akan tetapi, penelitian yang terbaru telah membuktikan bahwak
glukokortikoid juga memiliki pengaruh terhadap sitokin proinflamasi. Pada
19
penelitian tersebut didapatkan pada tikus dengan kadar kortisol yang tinggi
memiliki akumulasi PGE2 yang lebih tinggi dibandingkan dengan sitokin
antiinflamasi (Liu YZ, et al, 2017).
Jalur kedua, melalui sumbu simpatiko adrenal medularis (SAM), jalur ini
dimulai dari rangsangan yang diterima di locus ceruleus adrenergic system dalam
SSP dan di bagian medula kelenjar adrenal. Sistem terdiri atas sistem saraf
parasimpatis dan simpatis. Serat praganglion simpatis dan parasimpatis
melepaskan neurotransmiter yang sama yaitu asetilkolin (Ach), sedangkan ujung
saraf pascaganglion simpatis melepaskan noradrenalin atau norepinefrin (NE).
Serabut praganglion mempersarafi sel-sel kromafin medula adrenal yang dapat
menghasilkan hormon katekolamin terutama epinefrin dan norepinefrin. Dikenal 2
jenis reseptor adrenergik yaitu reseptor α-1, 2 dan reseptor β-1 dan 2. Beberapa
organ limfoid yaitu monosit dan limfosit, memiliki reseptor adrenergik di
permukaan, sehingga rangsangan terhadap reseptor tersebut oleh norepinefrin
dapat mempengaruhi peran sel imun. Norepinefrin juga dapat meningkatkan
produksi IL-
6. Sitokin ini berperan sebagai protein fase akut, serta sangat berperan dalam
pertumbuhan sel plasma untuk membentuk antibodi dan meningkatkan proliferasi
sel Th2. Reseptor beta-adrenergik di permukaan sel Th akan berdiferensiasi
menjadi sel Th2 dengan memproduksi sitokin IL-4, IL-5, dan IL-10, yang sangat
berperan dalam reaksi hipersensitivitas tipe I (Wardhana M, 2011).
Selain itu stimulus stres dapat mempengaruhi SNS untuk memproduksi NE
dan NPY. Norephinephrin meningkatkan fosforilasi MAPKs untuk memproduksi
faktor-faktor inflamasi. Sedangkan neuropetida Y (NPY) dapat memproduksi
TGF- β dan TNFα melalui reseptor Y. Pada imunopatogenesis SAR, yang
memiliki faktor paling berpengaruh terhadap timbulnya SAR dalah respon imun
seluler yaitu TNF- α (Liu YZ, et al, 2017).
Jalur ketiga, melalui sumbu CRH-sel mast. Banyak faktor yang dapat
mengakibatkan degranulasi sel mast, salah satu di antaranya adalah faktor stresor
psikologis. Hal ini dapat dimengerti karena di permukaan sel mast dijumpai
(CRHR-1) reseptor corticotropin releasing hormone (Wardhana M, 2011).
Kadar kortisol meningkat seiring dengan meningkatnya stres yang diukur
dengan STAI (State Trait Anxiety Inventory). Faktor psikologis seperti emosi dan
stres merupakan faktor pencetus terjadinya SAR, contohnya stres saat ujian di
sekolah atau perkuliahan (Rao AK et al, 2015).
Stres psikologis dapat menganggu homeostasis pada organ-organ dalam
tubuh, yang mana hal tesebut berhubungan timbulnya SAR. Selain itu disfungsi
dari saraf otonom juga memiliki peran pada timbulnya SAR. Beberapa studi telah
menunjukkan bahwa terdapat peningkatan level dari biomarker inflamasi pada
orang yang mengalami depresi atau stres psikologis (Sato T, et al, 2015).
III.4.3. Trauma
Umumnya ulser terjadi karena tergigit saat bicara atau saat mengunyah,
kebiasaan buruk (bruksism), akibat perawatan gigi, makanan atau minuman yang
terlalu panas, suntikan anastesi lokal yang dapat memicu terjadinya inflamasi
(Preeti L, et al, 2011).
Trauma lokal pada oral dapat memicu timbulnya edem dan inflamasi
seluler yang beruhubungan dan meningkatnya viskositas dari matriks submukosa
oral (Chaven M, et al, 2012)
Infeksi merupakan salah satu fajtor pencetus timbulnya rekurensi dari
stomatitis. Mikroorganisme yang paling sering menyebabkan destruksi mukosa
oral dan timbulnya ulkus SAR antara lain adalah Helicobacter pylori,
Stresptococus mitis, dan Ebstein-Bar virus (Cui RZ, et al, 2016).
Beberapa penelitian didapatkan bahwa terdapat kemungkinan adanya
hubungan timbulnya SAR dengan spesies Streptococci, yang paling sering adalah
Stresptococci saanguinis (Chaven M, et al, 2012)
III.5. Klasifikasi
Stomatitis Aftosa Rekuren diklasifikasikan menjadi 3 jenis yaitu SAR
minor, mayor, dan hipertiformis. Lebih dari 85 % SAR yang menunjukan lesi
minor (Akintoye SO and Martin SG, 2014).
Stomatitis aftosa rekuren tipe herpetiformis paling sedikit dijumpai pada
populasi yaitu dengan prevalensi 5-10%. Jumlah ulsernya terdiri dari 5 sampai 100
ulser dengan diameter antara 2-3 mm berbentuk kecil, tidak beraturan, bulat dan
menimbulkan nyeri yang sangat sakit (Preeti L, et al, 2011).
III.5.1. Herpetiformis
Stomatitis aftosa rekuren tipe herpetiformis paling sedikit dijumpai pada
populasi yaitu dengan prevalensi 5-10%. Jumlah ulsernya terdiri dari 5 sampai 100
ulser dengan diameter antara 2-3 mm berbentuk kecil, tidak beraturan, bulat dan
menimbulkan nyeri yang sangat sakit (Preeti L, et al, 2011).
III.5.2. Mayor
SAR mayor memiliki distribusi yang lebih luas dibandingkan dengan SAR
minor yang umumnya meluas ke gingiva dan mukosa faring. Ukurannya lebih
besar yaitu lebih dari 10mm, dan durasi penyembuhan yang lebih lama.SAR
minor umumnya akan menghilang dalam 14 hari,sedangkan SAR mayor dapat
menetap lebih lama bahkan hingga 6 minggu (Edgar NR, et al, 2017).
Gambar 2. SAR Tipe Mayor
III.5.3. Minor
SAR minor adalah bentuk yang paling umum dan biasanya terjadi pada
pasien yang berusia 5 tahun samapi dengan 19 tahun.Lesi ditandai dengan
beberapa ulkus yang berbentuk bulat,letaknya superficial, ukurang yang kurang
dari 10mm
,dan disertai dengan psedumoembran yang berwarna abu-abu dengan batas
kemerahan yang jelas (Edgar NR, et al, 2017).
III.7. Tatalaksana
Tidak ada penatalaksanaan spesifik terhadap SAR. Perawatannya hanya
berupa perawatan simtomatik (Preeti et al, 2011). Tatalaksana yang perlu
dilakukan pada pasien SAR adalah sebagai berikut (Guallar IB, et al, 2014) :
a. Mengatasi atau mengobati penyebab yang mendasari timbulnya SAR.
b. Mengidentifikasi dan memonitor faktor predisposisi dari timbulnya SAR.
c. Obat topikal seperti kombinasi antiseptik seperti chlorhexidine dan
triclosan diperlukan apabila timbul outbreak dan gejala yang berkelanjutan.
d. Obat sistemik diindikasikan apabila outbreak konstan dan agresif
Untuk memudahkan dalam penatalaksanaannya, maka SAR diklasifikasikan ke
dalam 3 tipe, yaitu: Tipe A, tipe B, tipe C (Rathee et. Al, 2014; Scully & Nur,
2003).
a. Tipe A
SAR yang berlangsung hanya beberapa hari, muncul 2 sampai 3 kali
dalam setahun, rasa nyeri masih dapat ditoleransi, merupakan karakteristik
Tipe A. Dokter perlu mengidentifikasi apa pemicu dari ulser tersebut dan
perawatan apa yang pernah dilakukan pasien dan seberapa efektif perawatan
tersebut. Jika efektif dan aman, dokter dapat menganjurkan pasien untuk
melanjutkannya. Jika faktor pemicunya telah diketahui, dokter harus
menghilangkan pemicunya terlebih dahulu. Sebagai contoh, jika trauma
merupakan faktor pemicu SAR, dokter dapat menyarankan pasien untuk
menggunakan sikat gigi yang halus dan menyikat gigi dengan lembut.
Pemberian obat tidak diindikasikan.
b. Tipe B
Tipe B ditandai dengan adanya SAR yang muncul setiap bulan,
berlangsung 3 sampai 10 hari. Pada kasus ini, lesi sangat nyeri sehingga
menyebabkan diet normal berubah, kondisi oral hygiene juga berubah. Apabila
faktor pemicunya dapat ditemukan (seperti OH, stress, trauma, diet), maka
pengobatan dapat didiskusikan dengan pasien. Bila ada gejala prodromal pada
pasien, seperti rasa kebas ataupun bengkak, dapat diberikan kortikosteroid
untuk menanggulanginya.
Perawatan pada tipe ini meliputi obat kumur chlorhexidine dan
penggunaan kortikosteroid topikal segera saat ulser muncul. Karena pola
rekurensi yang terus menerus, pasien membutuhkan perawatan yang terencana.
Salah satunya bisa dengan menggunakan dexamethasone 0.05 mg/ 5 mL
(berkumur 3 kali sehari). Pada pasien dengan SAR yang tidak kunjung
sembuh, penggunaan kortikosteroid sistemik dapat dilakukan, jangan lebih
dari 50 mg/ hari (sebaiknya pada pagi hari) selama 5 hari.
c. Tipe C
Tipe C adalah SAR dengan rasa nyeri dan kronis dikarenakan saat satu
ulser sembuh, ulser yang lain muncul. Pasien tipe ini biasanya membutuhkan
topikal, sistemik atau injeksi intralesional kortikosteroid, azathioprine, atau
imunosupresi lain seperti dapsone, entoxifylline hingga thalidomide.
DAFTAR PUSTAKA
27
Volkov I, et al, 2009, Effectiveness of vitamin B12 in treating recurrent aphthous
stomatitis: A randomized, double-blind, placebo-controlled trial, Journal
of
28
the American Board of Family Medicine, vol. 22(1), pp. 9-16
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19124628>.
Yogasedana IMA, Ni Wayan M, dan Michael AL, 2015, Angka kejadian
stomatitis aftosa rekuren (SAR) ditinjau dari faktor etiologi di RSGMP FK
UNSRAT Tahun 2014, Jurnal e-Gigi, vol. 3(2), hal. 278-284.
Wardhana M, 2011, Psikoneuroimunologi bidang dermatologi, MDVI, vol. 38, hal.
175-180.