Anda di halaman 1dari 12

BAB 2.

SISTEM BUDIDAYA ORGANIK “AKUAPONIK”

2.1 PENDAHULUAN

2.1.1 DESKRIPSI

Semakin tingginya permintaan konsumsi ikan menuntut percepatan


produksi budidaya ikan sehingga proses budidaya sistem intensif dengan
kepadatan tebar yang tinggi menjadi pilihan untuk memenuhi kebutuhan pasar.
Keterbatasan lahan untuk budidaya ikan juga turut andil meningkatkan padat tebar
pada budidaya ikan menjadi solusi untuk meningkatkan produktivitas. Namun
kepadatan ikan yang tinggi pada budidaya sistem tersebut memunculkan beberapa
permasalahan, salah satunya adalah menurunnya kualitas air media budidaya ikan.
Penurunan kualitas air pada sistem budidaya intensif disebabkan oleh
cepatnya akumulasi limbah dari residu pakan dan bahan organik. Penurunan
kualitas air bersumber dari sisa pakan, feses, dan hasil aktivitas metabolisme ikan
sehingga apabila limbah tersebut tidak diolah dengan baik, maka akan menggangu
pertumbuhan ikan (Kordi dan Tancung, 2007).
Salah satu upaya yang dapat digunakan dalam menangani permasalahan
penurunan kualitas air pada budidaya ikan intensif adalah dengan penerapan
sistem resirkulasi. Resirkulasi yang umumnya menggunakan bahan-bahan filter
hanya dapat memperbaiki kualitas air secara fisik, namun penyebab penurunan
kualitas air secara kimia belum teratasi dengan optimal. Salah satu parameter
kimia yang menyebabkan menurunnya kualitas air pada budidaya ikan dan
berbahaya bagi ikan adalah amonia. Maka perlu dilakukan perbaikan sistem
resirkulasi sehingga dapat memperbaiki kualitas air secara fisika dan kimia.
Penggunaan media budidaya hidroponik dapat dimanfaatkan sebagai filter pada
proses resirkulasi.
Sistem budidaya ikan dengan budidaya tanaman secara hidroponik pada
sirkulasi air yang sama dengan media budidaya ikan disebut sistem akuaponik.
Tujuan utama dari akuaponik adalah memanfaatkan limbah nutrien yang
dilepaskan oleh ikan untuk menumbuhkan tanaman sehingga keberadaan limbah
nutrien di dalam media budidaya tidak mengganggu pertumbuhan ikan. Sistem

1
akuaponik merupakan suatu sistem budidaya yang kompleks sehingga diperlukan
manajemen yang baik dalam aplikasinya. Perbedaan media tanam dan waktu
resirkulasi diasumsikan berpengaruh terhadap reduksi amonia pada media
budidaya ikan.
Jenis media tanam pada sistem akuaponik cukup beragam, mulai dari
tanah gambut, arang aktif, sekam hingga gel. Pulau Bangka yang memiliki potensi
produksi sawit juga menghasilkan limbah dari produksi tersebut. Cangkang sawit
merupakan salah satu diantara limbah-limbah produksi sawit. Banyaknya limbah
berupa cangkang sawit ini memberikan permasalahan tersendiri. Beberapa
perusahaan sawit menggunakan cangkang sawit sebagai bahan bakar dengan
pembakaran sederhana. Sisa pembakaran ini masih menjadi limbah yang belum
dimanfaatkan optimal dan diprediksikan memiliki kemampuan sebagai media
tanam pada budidaya sistem akuaponik. Penggunaan cangkang sawit diharapkan
memiliki kemampuan reduksi limbah organik budidaya ikan pada sistem
akuaponik. Pemanfaatan limbah diharapkan dapat meningkatkan daya guna serta
memudahkan masyarakat Bangka memperoleh media akuaponik yang terjangkau.
Kemampuan reduksi limbah organik diprediksi juga dipengaruhi frekuensi
sirkulasi air yang melalui media tanam. Menurut Ratannanda (2011), waktu
retensi optimal resirkulasi air dalam sistem akuaponik adalah 120 menit. Pada
masa tersebut dapat direduksi amonia 58,4%, nitrit 51,9% dan nitrat 33,88%.
Namun resirkulasi secara terus-menerus pada sistem akuaponik yang terbatas
menjadikan keterbatasan media tanam hidroponik. Semakin tinggi persentase
pergantian air setiap harinya maka media budidaya akan semakin encer dan akan
berpengaruh secara langsung terhadap penurunan konsentrasi nitrit pada media
budidaya, begitupun sebaliknya.
Dengan demikian penelitian untuk mengkaji tentang jenis media tanam
menggunakan limbah cangkang sawit dengan frekuensi resirkulasi diperlukan
untuk memperoleh kombinasi dari variable tersebut dalam upaya mencapai
kualitas air media budidaya ikan dan pertumbuhan tanaman hidroponik yang
optimal.

2
2.1.2 RELEVANSI
Mahasiswa dan praktisi budidaya ikan diharapkan mampu memahami
tentang sistem budidaya ikan organik untuk mewujudkan produk budidaya ikan
yang aman dan sehat. Pemahaman bab ini menjadi dasar bagi mahasiswa untuk
mempelajari bab selanjutnya.

2.1.3 KOMPETENSI
Pada akhir pokok bahasan ini, mahasiswa diharapkan memiliki
kompetensi berupa pemahaman konsep budidaya ikan sistem organik. Adapun
materi pokok yang disampaikan dalam bab ini adalah definisi budidaya organik
dan prinsip budidaya ikan sistem organik..

2.2 PENYAJIAN

2.2.1 Pengertian akuaponik


Akuaponik adalah sistem budidaya yang mengkombinasikan ikan dan
tanaman pada sistem sirkulasi air yang sama (Nugroho dan Sutrisno, 2008).
Menurut Ratannanda (2011), akuaponik merupakan bio-integrasi yang
menghubungkan akuakultur berprinsip resirkulasi dengan produksi tanaman atau
sayuran hidroponik. Oleh karena itu, akuaponik dirancang untuk memanfaatkan
air yang mengandung nutrien yang dikeluarkan langsung oleh ikan untuk
diserapkan tanaman hidroponik yang diresirkulasi secara terus-menerus maupun
secara berkala. Sistem akuaponik disajikan pada Gambar 2.1.

3
Gambar 2.1. Sistem Akuaponik (Ecolife Foundation, 2011)

2.2.2 Prinsip Dasar Akuaponik


Sistem akuaponik dalam prosesnya menggunakan air dari kolam ikan
kemudian disirkulasikan ke tanaman melalui pompa. Bakteri nitrifikasi mengubah
limbah ikan sebagai nutrien yang dapat dimanfaatkan tanaman. Kemudian
tanaman akan berfungsi sebagai filter vegetasi yang akan mengurai zat racun
tersebut menjadi zat yang tidak berbahaya bagi ikan dan suplai oksigen pada air
yang digunakan untuk memelihara ikan. Menurut Nelson (2008), ada tiga jenis
keuntungan dalam sistem akuaponik yaitu ikan, tanaman, dan bakteri yang
menguntungkan. Ada dua jenis bakteri yang berbeda yaitu Nitrosomonas dan
Nitrobacter. Bakteri Nitrosomonas mengubah amonia menjadi nitrit dan kemudian
oleh bakteri Nitrobacter, nitrit diubah menjadi nitrat. Saat sampai ke tanaman,
nitrat diserap tanaman untuk membantu pertumbuhannya. Proses siklus nitrogen
pada sistem akuaponik disajikan pada Gambar 2.2.

4
Gambar 2.2. Daur Siklus Akuaponik (Ecolife Foundation, 2011)
Proses siklus nitrogen anorganik menjadi nitrogen organik dilakukan oleh
mikroorganisme dan jamur. Sisa pakan dan kotoran ikan di dekomposisi oleh
bakteri menjadi gas nitrogen berupa amonia. Sumber amonia di perairan berasal
dari pemecahan nitrogen organik dan nitrogen anorganik yang didekomposisikan
olah bakteri dan jamur. Amonia dioksidasi menjadi nitrit dan nitrat yang
dilakuakan oleh bakteri aerobik. Proses nitrifikasi amonia menjadi nitrit dilakukan
oleh bakteri nitrosomonas sedangkan denitrifikasi nitrit menjadi nitrat dilakukan
olah bakteri nitrobacter. Kemudian nitrat diserap oleh tanaman sebagai sumber
makanan.
Budidaya sistem akuaponik amonia, nitrit, nitrat yang merupakan limbah
dari budidaya ikan dapat diserap dan digunakan sebagai pupuk oleh tanaman
hidroponik sehingga menurunkan konsentrasi cemaran limbah amonia serta
meningkatkan kualitas air (Sumoharjo, 2010). Untuk kegiatan budidaya perikanan
kualitas air yang tepat dan berada dalam kisaran layak berkaitan dengan
pertumbuhan ikan (Effendi, 2002).
2.2.3 Pemilihan Komoditas Ikan dan Tanaman
Pemilihan komoditas jenis ikan yang akan dipelihara merupakan salah satu
hal yang perlu dilakukan dengan tepat agar usaha pemeliharaan ikan dalam sistem
akuaponik dapat berhasil (Nugroho dan Sutrisno, 2008). Di dalam pemilihan
komoditas jenis ikan yang akan dibudidayakan dalam sistem akuaponik perlu

5
memperhatikan kolam budidaya dan umur panen ikan serta jenis ikan yang akan
dibudidayakan. Menurut Pramono (2009) jenis ikan air tawar yang dapat
dibudidayakan pada sistem akuaponik adalah ikan nila, patin, gurame, tawes,
mujair, mas, lele, bawal dan ikan hias.
Pemilihan komoditas tanaman yang digunakan pada sistem akuaponik
untuk mendukung keberhasilan dalam penyerapan limbah organik di perairan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemeliharaan tanaman dalam sistem
akuaponik di antaranya jenis tanaman yang digunakan, tipe perakaran serabut,
umur panen tanaman sesuai jenis ikan yang di pelihara. Beberapa sayuran yang
bisa ditanam pada sistem akuaponik yaitu kangkung, selada, sawi, bayam, seledri,
cabai, tomat, timun (Nugroho dan Sutrisno, 2008).
Sistem akuaponik merupakan salah satu alternatif yang dapat diterapkan
dalam rangka pemecahan keterbatasan air dan lahan. Menurut Sumoharjo (2010)
penerapan sistem akuaponik memiliki keuntungan antara lain yaitu:
a. Multiple product
Sistem akuaponik merupakan sistem budidaya yang mengkombinasikan
antara budidaya ikan dan tanaman hidroponik dapat menghasilkan produksi
polikultur yang mampu meningkatakan diversitas produk yang dihasilkan, yaitu
ikan dan tanaman secara bersama dalam satu siklus produksi. Pada sistem
akuaponik dapat diterapkan sistem panen ganda dengan memperhatikan jenis
tanaman, ikan yang dibudidayakan, dan masa produksi tanaman maupun ikan.
b. Hemat lahan dan penggunaan air
Teknik budidaya dengan sistem akuaponik mampu menghemat lahan
sempit dan air melalui efisiensi yang dilakukan dengan sistem resirkulasi sehingga
bermanfaat bagi tanaman yang membutuhkan air dalam jumlah yang banyak.
Teknik ini dimungkinkan untuk diterapkan pada daerah yang sedikit mengalami
kesulitan air dan lahan sempit. Sistem resirkulasi dapat diatur dengan
menggunakan pengatur waktu (timer) sehingga interval waktu penyiraman
tanaman dapat pula diatur sebagaimana mestinya.
c. Resirkulasi nutrisi
Pada proses pemberian pakan pada ikan, apabila pakan yang diberikan
berlebihan dan tidak dimakan ikan akan menjadi limbah di perairan. Proses

6
resirkulasi yang dilakukan pada teknik akuaponik memungkinkan untuk mendaur
ulang limbah pakan di perairan menjadi nutrisi bagi tanaman. Sehingga air dari
media tanaman kembali ke media budidaya menjadi bersih.
d. Produk sehat
Produksi dengan menggunakan sistem akuaponik memungkinkan untuk
menghasilkan produksi yang sehat dan organik. Hal ini dikarenakan di dalam
budidaya ikan dan tanaman dapat dilakukan tanpa menggunkan bahan kimia
maupun antibiotik untuk mendukung pertumbuhan dan pengendalian penyakit.
Kondisi lingkungan yang lebih mudah dikendalikan menjadi faktor untuk
menggurangi kontaminasi penyakit yang dapat mengganggu ikan dan tanaman.

2.2.4 Kualitas Air Akuaponik


Kualitas air peran penting dalam bidang perikanan terutama untuk
kegiatan budidaya. Kualitas didefinisikan sebagai faktor kelayakan suatu perairan
untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme akuatik yang nilainya
ditentukan dalam kisaran tertentu (Boyd, 1982). Kondisi kualitas air juga berperan
dalam menekan terjadinya peningkatan perkembangan bakteri patogen dan parasit
di dalam kolam budidaya ikan (Effendi, 2003). Kualitas air sangat di pengaruhi
olah faktor – faktor fisika dan kimia perairan seperti :
a. Oksigen terlarut (O2)
Oksigen adalah satu jenis gas terlarut dalam air dengan jumlah yang sangat
banyak. Oksigen yang diperlukan biota air untuk bernapasannya harus larut dalam
air. Oksigen merupakan salah satu faktor pembatas, sehingga bila tersediaannya di
dalam air tidak mencukupi kebutuhan biota budidaya, maka segala aktivitas biota
akan terhambat. Kebutuhan oksigen pada ikan mempunyai kepentingan pada dua
aspek, yaitu kebutuhan lingkungan bagi spesies tertentu dan kebutuhan konsumtif
yang tergantung bagi spesies tertentu disebabkan oleh adanya perbedaan stuktur
molekul sel darah ikan, yang mempengaruhi hubungan antara tekanan parsial
oksigen dalam air dan derajat kejenuhan oksigen dalam sel darah (Zonneveld et
al., 1991).
Biota air membutuhkan oksigen guna pembakaran bahan bakarnya
(makanan) untuk menghasilkan aktivitasnya. Oleh karena itu, ketersediaan

7
oksigen bagi biota air menentukan aktivitasnya serta kekurangan oksigen dalam
air dapat mengganggu kehidupan biota air.
Beberapa jenis ikan mampu bertahan hidup pada perairan dengan
konsentrasi oksigen 3 - 4 ppm, akan tetapi nafsu makan ikan mulai menurun.
Secara umum ikan nila merah dapat hidup dalam air dengan kandungan oksigen
0,3 – 0,5 mg/l. untuk itu, konsentrasi oksigen terlarut dalam air yang baik dalam
budidaya perairan adalah 5-7 ppm (Judantari et al., 2008).
b. Karbon dioksida (CO2)
Di perairan konsentrasi karbon dioksida diperlukan untuk proses
fotosintesis oleh tanaman air. Nilai CO2 ditentukan olah pH dan suhu. Jika jumlah
CO2 dalam air bertambah akan menekan aktivitas pernapasan ikan dan
menghambat pengikatan oksigen olah darah sehingga membuat ikan stress.
Kandungan CO2 untuk budidaya ikan nila merah sebaiknya kurang dari 15
mg/liter ( Effendi, 2003).
c. Suhu
Suhu air dapat mempengaruhi kehidupan biota air secara tidak langsung,
yaitu melalui pengaruhnya terhadap kelarutan oksigen dalam air. Semakain tinggi
suhu air, semakain rendah daya larutan oksigen di dalam air dan sebaliknya.
Proses penyerapan cahaya berlangsung secara lebih intensif pada lapisan atas
perairan sehingga lapisan atas perairan memiliki suhu yang lebih tinggi (lebih
panas) dan densitas yang lebih kecil daripada lapisan bawah. Suhu optimal untuk
pertumbuhan ikan nila merah berkisar 22-32oC. serta ikan nila merah dapat
beradaptasi pada kisaran suhu 14-38oC (Khairuman dan Amri, 2011). Jika suhu di
bawah 25oC akan menghambat pertumbuhan dan nafsu makan ikan menurun serta
serangan penyakit akan lebih mudah (Effendi, 2003).
d. Derajat keasaman (pH)
Ikan nila merah dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada
lingkungan perairan dengan alkalinitas rendah atau netral. Pada lingkungan
dengan pH rendah pertumbuhan ikan nila mengalami penurunan, aktivitas
pernapasan naik dan konsumsi oksigen terlarut akan berkurang, nafsu makan
berkurang. Ikan nila merah masih dapat hidup pada nilai pH berkisar 5-10. Tetapi

8
untuk budidaya ikan nila pada kolam air tenang sebaiknya mempunyai pH sekitar
7- 8.5 (Effendi, 2000).
e. Amonia (NH3)
Amonia dalam air merupakan produk hasil metabolisme ikan dan
pembusukan senyawa organik oleh bakteri. Keberadaan amonia dalam air dapat
mempengaruhi pertumbuhan ikan karena dapat mereduksi masukan oksigen yang
disebabkan oleh rusaknya insang. Sumber penyebab kadar amonia di dalam kolam
budidaya yaitu berasal dari sisa pakan dan kotoran serta aktivitas metabolisme
(Effendi, 2003). Kesetimbangan antara gas amonia dan gas ammonium
ditunjukkan dalam persamaan reaksi.
NH3 + H2O NH3+ + OH-

Perairan alami amonia terdapat dalam 2 bentuk, yaitu NH3 (amonia) yang
beracun dan NH4+ (ammonium) yang tidak beracun. Keracunan kadar amonia
terhadap organisme perairan akan meningkat jika terjadi penurunan pH, suhu dan
DO. Pada pH 7 atau kurang, sebagian besar amonia akan mengalami ionisasi. .
Pada pH 8, sekitar 5-9% amonia dalam bentuk tak terionisasi yang bersifat toksik.
Sementara pada pH 9 sebanyak 37-50% amonia dan pada pH 10 kadar amonia
berkisar 85-90%, sehinga mengakibatkan sering terjadi toksik pada kolam
pemeliharaan ikan (Kordi dan Tancung, 2007).
Peningkatan toksisitas amonia sering terjadi pada sore hari terutama pada
kolam yang pH 9-10. Hal ini karena suhu pada sore hari lebih tinggi sehingga
semakin banyak total amonia yang berubah dalam bentuk racun. Pengaruh
langsung dari kadar amonia tinggi yang belum mematikan ialah rusaknya jaringan
insang, dimana lempeng insang membengkak sehingga fungsinya sebagai alat
pernapasan akan terganggu. Ikan dapat mengalami kematian pada perairan yang
kadar amonia lebih dari 0,1-0,2 mg/liter (Sawyer dan McCarty, 1978). Pada kadar
amonia 0,08 mg/liter dapat menurunkan nafsu makan dan pertumbuhan ikan
(Meade, 1989). Untuk budidaya ikan di perairan kolam tenang kondungan amonia
sebaikanya kurang dari 0,016 mg/liter.

9
f. Nitrit (NO2)
Nitrit merupakan bentuk peralihan antara amonia dan nitrat, dan antara
nitrat dan gas nitrogen. Kandungan nitrit (N-N02) dalam perairan dapat
menghambat kemampuan darah biota air dalam mengikat oksigen, sehingga biota
air akan terserang methaemoglobin yang dapat menyebabkan kematian. Setelah
nitrit terbentuk dari terakumulasi maka nitrobakter akan tumbuh dengan
mengkonsumsi nitrit tersebut dan kemudian menguraikannya menjadi nitrat (N-
N03). Di perairan, nitrit (NO2) biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat
sedikit, lebih sedikit dari pada nitrat, karena bersifat tidak stabil dengan
keberadaan oksigen (Novotny dan Olem, 1994). Di perairan, kadar nitrit yang
lebih dari 0,05 mg/liter dapat bersifat toksik bagi organisme perairan (Moore,
1991). Untuk keperluan budidaya ikan kadar nitrit tidak lebih dari 1 mg/liter
(Sawyer dan McCarty, 1978).

DAFTAR PUSTAKA

Agritekno, S. 2002. Hidroponik Bercocok Tanam Tanpa Tanah. Penebar


Swadaya. Jakarta

APHA, 2005. Standar Methods for the Examination of Water and


Wastewater. Washington (USA)

10
Arikuntoro, S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. PT.
Rineka Cipta. Jakarta

Barus, T. A. 2000. Pengantar Limnologi. Universitas Sriwijaya. Palembang

Boyd, C. E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier
Scientific Publishing Company, Amsterdam the Netherland.

Effendi, H. 2000. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelola Sumberdaya dan


Lingkungan Perairan. Kanisius. Jakarta
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta

Effendi, I. 2002. Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya

Hadadi, A., Herry., Setyorini., Surahman A., dan Ridwan, E. 2007. Pemanfaatan
Liambah Kelapa Sawit untuk Bahan Pakan Ikan. Jurnal Budidaya Air
Tawar. 4(1) : 10-17

Handajani, H dan Widodo, W. 2010. Nutrisi Ikan. Umm Press. Malang

Judantari, S., Khairuman., Amri, K. 2008. Prospek Bisnis Dan Teknik Budidaya
Nila Unggul. Gramedia Pustaka. Jakarta

Khairuman dan Amri, K. 2002. Budidaya Intensif Ikan Nila. Agromedia


Pustaka. Jakarta

Khairuman dan Amri, K. 2003. Budidaya Ikan Nila Secara Intensif.


Agromedia Pustaka. Depok

Khairuman dan Amri, K. . 2011. Buku Pintar Budidaya dan Bisnis 15 Ikan
Konsumsi. Agromedia pustaka. Jakarta

Kordi, M. G. 1996. Parameter Kualitas Air. Karya Anda. Surabaya

Kordi, M.G dan Tancung, A. B. 2007. Pengelolaan Kualitas Air Dalam


Budidaya Perairan. Renika cipta. Jakarta

Krause,H.M dan Kaiser, H. 1977. Plant Response to Heavy Metals and Sulphur
Dioxide. Environmental Pollution, 12: 63-70.

Losordo TM,, Masser MP., Rakocy, J. 1998. Recirculating Aquaculture Tank


Production Systems : An Overview of Critical Cansiderations,
Revised. SRAC Publication NO. 451. USA

Meade, J. W. 1989. Aquaculture Management. Thomson Publishing. New


York.

11
Moore, J. W. 1991. Inorganic Contaminants of Surface Water, Springer
Verlag. New York

Nelson, R. L. 2008. Aquaponic Equipment The Biofilter. Aquaponic Journal


Issue 48

Nugroho, E. dan Sutrisno. 2008. Budidaya ikan dan Sayuran dengan Sistem
Akuaponik. Penebar Swadaya. Jakarta

Novotny, V. and H. Olem. 1994. Water Quality, Prevention, Identification,


and Management of Diffusi Pollution. Van Nostrans Reinhold, New
York. 1045 p.

Ratannanda, Ruli. 2011. Penentuan Waktu Retensi Sistem Akuaponik Untuk


Mereduksi Limbah Budidaya Ikan Nila. Institut Pertanian Bogor.

Sawyer, C. N. and McCarty, P. L. 1978. Chemistry For Environmental


Engineering. Third edition, McGraw-Hill Book Company, Tokyo. 532 p.

Sucipto, A. dan Prihartono, R. E. 2005. Pembesaran Nila Merah Bangkok.


Penebar Swadaya. Jakarta

Surawidjaja, E. H. 2006. Akuakultur berbasis – trophic level: revitalisasi


untuk ketahanan pangan, daya saing ekspor, dan kelestarian
lingkungan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Akuakultur.

Sumoharjo. 2010. Penyisihan limbah nitrogen pada pemeliharaan ikan nila


(Oreochromis niloticus) dalam sistem akuaponik : konfigurasi desain
bioreactor. [Tesis]. Program pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Bogor

Zonneveld, A., Huisman, FA., Boon, JH. 1991. Prinsip-prinsip Budidaya Ikan
Gramedia Pustaka. Jakarta

12

Anda mungkin juga menyukai