Anda di halaman 1dari 21

MODUL PPUHK

(PERMENKES RI NO. 329 TAHUN 1976 TENTANG


PRODUKSI DAN PEREDARAN MAKANAN)

Oleh:
D-III ANAFARMA/1B

1. Milla Fajira Althafira (P17120193053)


2. Septi Layla Fitria (P17120193063)
3. Nila Rahma Fauziah (P17120193065)
4. Carmia Dewi Salmaa (P17120193069)
5. Hafidzah Raihan Savitri (P17120193076)
6. M. Reffieyanto Adjie Kusuma (P17120194080)
7. Shinta Firstly Nuzuliana (P17120194081)
8. Anke Afika Kontesa (P17120194082)
9. Ailsa Dwita Rifzikka (P17120194087)
10. Dina Delfiah (P17120194089)
11. Ana Sofaria (P17120194091)
12. Yusfira Inulia (P17120194094)

Dosen Pembimbing: ISIEN GAERO JENENGE 

PRODI D-III ANALIS FARMASI DAN MAKANAN


JURUSAN GIZI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
2020
Undang-undang Pangan

Ketersediaan makanan dan minuman merupakan salah satu masalah paling rumit yang
pernah manusia hadapi. Ancaman akan bahaya kelaparan merupakan salah satu alasan utama
mengapa manusia menciptakan teknologi. Sebagai bagian dari budaya manusia, teknologi
mengubah pola hidup manusia menuju pola hidup modern. Kegiatan makan dan pengolahan
pangan dengan adanya kemajuan teknologi dapat berkembang menjadi kegiatan mengawet,
mengubah, dan mempermudah proses pembuatan, penyajian, hingga kegiatan konsumsi.
Kegiatan mengolah melalui pemanfaatan teknologi dapat menjadi pisau bermata dua,
apabila teknologi diterapkan tidak dengan benar. Berbagai kasus keracunan makanan akibat
kealpaan produsen dalam proses pengolahan dan penggunaan bahan tambahan yang dilarang,
merupakan bentuk “dampak negatif” dalam proses pengolahan produksi pangan. Di samping
penggunaan bahan tambahan pangan, kurangnya perhatian akan keamanan pangan terutama
dari sisi higiene dan sanitasi merupakan sumber utama keracunan pangan. Berdasarkan fakta
yang dimuat pada Harian Tempo edisi 09/08/2004, sebagian besar industri rumah tangga
belum memenuhi standar keamanan pangan yang ditetapkan oleh Badan POM.
Undang-undang pangan disusun atas dasar fakta-fakta yang selama ini berkembang di
masyarakat. Dalam kurun waktu satu dekade pemerintah telah mengesahkan lebih kurang 72
peraturan yang terkait dengan pangan dalam upayanya untuk memberi jaminan perlindungan
keamanan pangan bagi konsumen. Dalam kegiatan belajar ini, Anda akan diantar untuk
memahami ruang lingkup, dasar pemikiran serta intisari dari undang-undang pangan
Indonesia, beserta penerapannya dalam dunia pangan. Sebagai bentuk pemahaman Anda
terhadap intisari dari undang-undang pangan, Anda nantinya diharapkan dapat
mengelompokkan ciri khas dari masing-masing peraturan perundang-undangan yang berlaku.

A. RUANG LINGKUP PERUNDANGAN PANGAN INDONESIA

Pangan sebagai kebutuhan dasar manusia, yang pemenuhannya merupakan hak asasi
setiap warga negara, harus senantiasa tersedia cukup setiap waktu, aman, bermutu, bergizi,
dan beragam dengan harga beli yang terjangkau oleh masyarakat. Pembangunan pangan
diselenggarakan oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia akan
pangan yang sehat dan bergizi serta aman Selain memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia,
melalui undang-undang pangan, pemerintah bertujuan untuk memberikan manfaat secara adil
dan tidak bertentangan dengan keyakinan serta hukum yang berlaku. Adil di sini berarti
adanya keadilan bagi konsumen dan produsen serta pelaku dunia pangan lainnya. Undang-
undang ini disusun agar tidak terjadi bentrok kepentingan antara unsur-unsur di dalam dunia
pangan. Melalui undang-undang ini, kelompok mayoritas dan kelompok masyarakat
minoritas akan merasa terlindungi dan teradopsi kepentingannya.

Ruang Lingkup dan Dasar Pemikiran Undang-undang Pangan


Berbagai masalah keamanan pangan dan industri pangan secara dominan timbul sebelum
November 1996. Hal tersebut dianggap sebagai akibat pada saat itu Indonesia belum
memiliki undang-undang yang cukup tegas mengatur permasalahan pangan. Undang-undang
pangan yang ada saat itu belum cukup memadai untuk menghadirkan jaminan mutu pangan
serta memberikan perlindungan terhadap konsumen. Baru pada bulan November 1996,
Indonesia memiliki undang-undang tentang pangan yang sudah cukup menaungi
perkembangan dan kemajuan teknologi yang ada saat itu. Undang-undang tersebut diperkuat
dan dilengkapi dengan berbagai undang-undang terkait serta peraturan turunan ataupun
peraturan yang ditetapkan oleh instansi-instansi pemerintah, dengan tujuan untuk
mengakomodasi tuntutan konsumen akan pangan yang aman, bermutu dan bergizi, serta
tersedia dalam jumlah yang cukup.

Undang-undang pangan yang dimiliki oleh Indonesia merupakan undang-undang yang


bersifat modern, artinya sudah didasarkan pada sejarah, mempertimbangkan masa lalu, serta
usaha yang berhasil tetapi masih mempertimbangkan tantangan-tantangan bagi masa depan.
Undang-undang pangan yang dimiliki saat ini telah melingkupi tidak hanya daftar larangan
yang harus dipatuhi, tetapi telah mencakup peraturan yang ada sangkut-pautnya dengan
masalah kesehatan seperti misalnya kekurangan gizi. Undang-undang yang ada saat ini juga
telah mencakup isu-isu baru seperti bioteknologi, serta product liability.

Undang-undang pangan dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi pengaturan, pembinaan,


dan pengawasan terhadap proses produksi, peredaran dan atau perdagangan pangan. Sebagai
landasan hukum di bidang pangan, undang-undang ini menjadi acuan bagi berbagai peraturan
yang berkaitan dengan pangan. Pengaturan ini diarahkan untuk mewujudkan ketahanan dan
keamanan pangan bagi masyarakat Indonesia.
Adanya undang-undang pangan tidak pernah secara utuh menjamin makanan lebih aman
dan mencegah praktek-praktek curang dalam industri. Bahkan undang-undang yang terbaik
pun tidak cukup untuk melindungi konsumen dan mencapai tujuan lain yang menjadi sasaran,
tetapi yang lebih penting justru terletak pada mutu pelaksanaan pengamanan undang-undang
tersebut secara konsekuen. Masih ada peranti-peranti pelengkap yang penting, yaitu
pelaksanaan dan infrastruktur yang mantap (Winarno, 1997).

Isu-isu yang Melandasi Disahkannya Perundangan Pangan


Kualitas hidup seseorang ditentukan oleh dirinya sendiri, dan dengan
cara bagaimana ia dapat berinteraksi dengan lingkungannya. Manusia didorong untuk
berusaha bagaimana caranya faktor-faktor positif dapat diperoleh atau disadap secara optimal
dari lingkungannya dan berusaha meniadakan atau semaksimal mungkin menekan faktor-
faktor yang negatif. Tujuan akhir interaksi manusia dengan sistem kehidupan adalah untuk
menghasilkan manusia yang lebih baik dalam lingkungan dimana manusia hidup (Winarno,
1997).
Aset terbesar dan paling berharga bagi manusia adalah kesehatan. Untuk menjaga agar
tubuh tetap sehat maka tuntutan akan pangan yang bukan saja harus bergizi tinggi, tetapi juga
harus aman dikonsumsi serta memiliki mutu yang baik. Keamanan pangan merupakan aspek
yang paling diperhatikan oleh konsumen modern. Makanan yang tidak sehat tidak hanya
mempengaruhi preferensi konsumen dan kesehatan konsumen, tetapi juga berdampak pada
ekonomi setiap negara yang mengandalkan devisanya dari sektor pangan.
Faktor utama yang menyebabkan mengapa makanan dikatakan sebagai tidak aman ialah
terdapatnya cemaran biologis berupa mikroorganisme patogen, adanya cemaran kimiawi,
antara lain berupa bahan metal berbahaya, pestisida, serta bahan tambahan pangan, kemudian
adanya cemaran fisik akibat proses produksi dan distribusi yang tidak higienis. Untuk
mengendalikan kemungkinan adanya cemaran pangan, maka pemerintah berupaya
melindungi konsumen melalui pemberlakuan undang-undang pangan.
Menurut Winarno (1997), industri pangan yang berkembang di Indonesia dapat
dikelompokkan ke dalam dua sektor, yaitu sektor industri pengolahan pangan yang tidak
terorganisir yang disebut sektor informal dan industri yang terorganisir dengan baik atau
sektor formal. Sektor informal memiliki cakupan yang lebih luas, melingkupi industri kecil,
makanan jajanan, kaki lima, industri rumah tangga atau industri pedesaan.
Golongan masyarakat miskin, umumnya merupakan golongan utama masyarakat yang
lebih banyak terekspos makanan dari sektor informal. Produk pangan dari sektor informal
secara umum masih rentan keamanannya karena memiliki tingkat higienis yang kurang baik,
dan tinggi peluangnya untuk terkontaminasi. Umumnya kontaminasi yang terjadi merupakan
kontaminasi silang mikroorganisme selama proses produksi akibat proses yang tidak higienis
maupun kurangnya pengetahuan tentang bahaya paparan lingkungan yang kurang
mendukung. Sayangnya, sentuhan peraturan dan hukum masih belum banyak menjamah
sektor informal secara intensif.

Bahan makanan umumnya mengandung beberapa unsur atau senyawa seperti air,
karbohidrat, protein, lemak, vitamin, enzim, pigmen, dan lain-lain. Untuk meningkatkan
penerimaan konsumen serta menambah daya tahan makanan, sebagian produsen makanan
menambahkan bahan tambahan makanan. Jenis-jenis bahan tambahan makan yang sering
digunakan adalah bahan pewarna, pengawet, pemanis, antioksidan, pengikat logam, pemutih,
pengental, emulsifier, buffer, zat gizi, dan penambah flavor. Pemahaman produsen yang
rendah terhadap penggunaan bahan-bahan ini sering menimbulkan permasalahan dalam
keamanan produk pangan yang dihasilkan. Kecurangan dalam penggunaan bahan-bahan
kimia yang tidak pada tempatnya seperti pada kasus formalin juga merupakan bahaya-bahaya
yang harus bisa ditangkal dengan peraturan yang ada.
Pangan produk rekayasa genetika dan iradiasi pangan merupakan pengolahan pangan
dengan teknologi yang tergolong baru dibanding teknologi pangan lainnya. Untuk
pemanfaatan yang benar dan demi perlindungan terhadap kesehatan masyarakat, pemerintah
menetapkan sejumlah persyaratan yang diperlukan dalam penerapan teknologi tersebut.
Pemeriksaan keamanan pangan merupakan hal utama terhadap pangan hasil rekayasa
genetika. Pemerintah membentuk suatu komisi yang secara detail akan memperhatikan
karakterisasi modifikasi genetika, deskripsi organisme

donor, deskripsi modifikasi genetika, informasi perubahan nilai gizi, alergenitas dan
toksifitas (Republika, 2006).
Pemerintah menetapkan perihal iradiasi, beberapa ketentuan tentang proses iradiasi
pangan yang meliputi perizinan pemanfaatan tenaga nuklir, jenis pangan yang boleh
diiradiasi, dosis iradiasi, sumber iradiasi, serta tujuan iradiasi. Ketentuan tersebut telah
memperhatikan standar internasional dan hasil-hasil percobaan di Indonesia oleh institusi
yang bergerak di bidang nuklir. Sementara pengawasan telah dilaksanakan oleh institusi
pengawas obat dan makanan (Republika, 2006).

B. PERUNDANGAN PANGAN YANG BERLAKU DI INDONESIA

Pangan merupakan bagian dari kekayaan alam negara Indonesia yang harus sebaik-
baiknya dimanfaatkan untuk kehidupan ekonomi serta kemakmuran rakyat. Masalah
keamanan pangan dan jaminan mutu pangan menjadi sesuatu yang sangat perlu diperhatikan
dan mendesak dalam usaha untuk melindungi konsumen dalam mengkonsumsi pangan yang
sesuai dengan syarat kesehatan, mutu, gizi, dan keyakinan. Dalam rangka keinginan
pemerintah untuk memberikan jaminan atas pangan yang diproduksi dan didistribusikan
untuk dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, hingga saat ini pemerintah telah mengesahkan
berbagai macam perundangan spesifik maupun umum dan telah dipublikasikan oleh berbagai
instansi teknis yang berbeda.
Perubahan kondisi sosial ekonomi masyarakat menjadi salah satu pemicu kritisnya
pemerintah dalam menanggapi serta memperbaharui perundangan yang ada. Di samping itu,
dengan adanya perkembangan teknologi proses serta regulasi internasional juga menuntut
perhatian yang seksama dan tanggapan yang serius bila tidak ingin menimbulkan hambatan
dalam teknis perdagangan nantinya. Berdasarkan fakta tersebut telah dibuat beberapa
prioritas oleh pemerintah dalam penyusunan RUU. Prioritas utama antara lain ialah,
keamanan pangan, mutu dan gizi pangan, label pangan, peran serta masyarakat, serta peran
industri dalam dunia pangan.
Peraturan perundangan tentang pangan sangat menekankan pentingnya masalah
peningkatan mutu, terutama dalam era perdagangan bebas. Pemerintah serta instansi terkait
dituntut untuk mengadakan koordinasi terkait dengan pembinaan, pengawasan, serta
peningkatan pengetahuan mengenai pentingnya masalah pangan. Komitmen pemerintah
dalam memberikan jaminan terhadap pangan tertuang dalam peraturan yang terkait dengan
penyediaan pangan, antara lain sebagai berikut.

Undang-undang
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1976 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan
Kesehatan Hewan.
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan,
Ikan, dan Tumbuhan.
Undang-undang, Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1962 tentang Higiene Untuk Usaha-usaha Bagi Umum.
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Higiene.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.

Peraturan Menteri
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 280/Men.Kes/ Per/VI/76
tentang Ketentuan dan Peredaran dan Penandaan pada Makanan yang Mengandung
Bahan Berasal dari Babi
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 329/Men.Kes/ Per/XII/76
tentang Produksi dan Peredaran Makanan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 79/Men.Kes/ Per/III/78 tentang
Label dan Periklanan Makanan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722 Tahun 1988 tentang Bahan
Tambahan Makanan.
Surat Keputusan Menteri
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 23/Men.Kes/ SK/I/78 tentang
Pedoman Cara Produksi yang Baik untuk Makanan. Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 00474/B/II/87 tentang Keharusan Menyerahkan Sertifikat
Kesehatan dan Sertifikat Bebas Radiasi untuk Makanan Impor. Surat Keputusan Menteri
Pertanian Nomor 306/Kpts/TN.330/4/1994 tentang Pemotongan Unggas dan Penanganan
Daging Unggas serta Hasil Ikutannya. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor
422/Kpts/LB.720/6/1988 tentang Peraturan Karantina Hewan.

Instruksi Bersama Menteri dan Instruksi Menteri


Instruksi Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 04/M/10/ 1989 tentang
Kewajiban Semua Perusahaan Industri Pangan Memerik-sakan Secara Rutin Bahan yang
digunakan pada Proses Produksinya Melalui Cara Pengujian.

Surat Keputusan Direktorat Jenderal


a. Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 02912/B/SK/IX/86 tentang Penyuluhan Bagi Perusahaan
Makanan Industri Rumah Tangga. Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan
Makanan Nomor: 0204/B/SK/VI/91 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 240/MENKES/PER/v/89 Di bidang Pemasaran
Pengganti Air Susu Ibu. Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan
Nomor 0204/B/SK/VII/91 tentang Pedoman Persyaratan Mutu Serta Label Periklanan
Makanan. Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Nomor
02664/B/SK/VIII/91 tentang Persyaratan Mutu Pengganti Air Susu Ibu.
Surat Keputusan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Nomor
13/BPPI/SK/IX/1994 tentang Penunjukan Balai/Lembaga untuk Melaksanakan
Pengambilan Contoh, Pengujian Mutu Produk Serta Pemeriksaan Sistem Manajemen
Mutu.

Perundangan tersebut diaplikasikan pada aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan dunia


pangan, seperti polusi, bahan-bahan kimia, industri, serta aktivitas lain yang mendukung
pembangunan dunia pangan. Masing-masing perundangan memiliki karakteristik yang unik,
sehingga walaupun setiap perundangan memiliki kemiripan, tetapi keunikan tersebut yang
menjadi ciri khas penempatan undang-undang pangan sesuai dengan rambu-rambu yang
berlaku. Masih banyak peraturan lain yang belum tercakup di sini, dapatkah Anda
melengkapinya?

Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan Undang-Undang Pangan No. 7


Tahun 1996 sebagai bentuk realisasi
perlindungan dan jaminan mutu pangan berisi 14 bab yaitu: ketentuan umum, keamanan
pangan, mutu dan gizi pangan, label dan iklan, pemasukan dan pengeluaran ke dalam dan
dari wilayah Indonesia, tanggung jawab industri pangan, ketahanan pangan, peran serta
masyarakat, pengawasan, ketentuan pidana, penyerahan urusan dan tugas pembantuan,
ketentuan lain-lain dan ketentuan penutup. Setiap bab terbagi lagi ke dalam beberapa bagian
dan beberapa Pasal.
Landasan hukum utama yang menaungi UU No. 7 Tahun 1996 ialah Pasal 27 ayat (2) dan
Pasal 33 UUD 1945. Pasal 27 ayat (2) UUD 45 yang berbunyi:
“Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”

Setelah melalui amandemen Pasal 27 UUD 45 menjadi:

“Setiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan Negara”

Pasal 33 UUD 45 berbunyi:

Ayat 1
“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”

Ayat 2
“Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara”

Ayat 3
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”

Sumber daya manusia yang berkualitas selain merupakan unsur terpenting yang perlu
memperoleh prioritas dalam pembangunan, juga sebagai salah satu faktor penentu
keberhasilan pembangunan. Peningkatan kualitas sumber daya manusia sangat ditentukan
oleh kualitas penghidupan yang layak, antara lain oleh kualitas pangan yang dikonsumsinya.

Berlandaskan pada Pasal 33 UUD 45, dapat dijadikan sebagai pijakan bahwa pangan
merupakan hal-hal yang sangat penting, karena pangan menguasai hajat hidup orang banyak.
Selain itu, pangan merupakan bagian dari kekayaan alam negara Indonesia yang harus
sebaik-baiknya dimanfaatkan untuk kehidupan ekonomi serta kemakmuran rakyat.
Kegiatan atau proses produksi pangan untuk diedarkan atau diperdagangkan harus
memenuhi ketentuan tentang sanitasi pangan, bahan tambahan pangan, residu cemaran, dan
kemasan pangan (BAB II Keamanan Pangan). Hal lain yang patut diperhatikan oleh setiap
orang yang memproduksi pangan adalah penggunaan metode tertentu dalam kegiatan atau
proses produksi pangan yang memiliki kemungkinan timbulnya risiko yang dapat merugikan
atau membahayakan kesehatan manusia, seperti rekayasa genetika atau iradiasi, yang harus
dilakukan berdasarkan persyaratan tertentu.

Pasal 4
“Pemerintah menetapkan persyaratan sanitasi dalam kegiatan atau proses produksi,
penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan.
Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan persyaratan minimal
yang wajib dipenuhi dan ditetapkan serta diterapkan secara bertahap dengan
memperhatikan kesiapan dan kebutuhan sistem pangan”

Pasal 13
Setiap orang yang memproduksi pangan atau menggunakan bahan baku, bahan
tambahan pangan, dan atau bahan bantu lain dalam kegiatan atau proses produksi
pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika wajib terlebih dahulu
memeriksakan keamanan pangan bagi kesehatan manusia sebelum diedarkan.
Pemerintah menetapkan persyaratan dan prinsip penelitian, pengembangan, dan
pemanfaatan metode rekayasa genetika dalam kegiatan atau proses produksi pangan,
serta menetapkan persyaratan bagi pengujian pangan yang dihasilkan dari proses
rekayasa genetika.

Pasal 14
“Iradiasi dalam kegiatan atau proses produksi pangan dilakukan berdasarkan izin
Pemerintah.
Proses perizinan penyelenggaraan kegiatan atau proses produksi pangan yang
dilakukan dengan menggunakan teknik dan atau

metode iradiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi persyaratan
kesehatan, penanganan limbah dan penanggulangan bahaya bahan radioaktif untuk
menjamin keamanan pangan, keselamatan kerja, dan kelestarian lingkungan”

Pasal 16
“Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan
bahan apa pun sebagai kemasan pangan yang dinyatakan terlarang dan atau yang
dapat melepaskan cemaran yang merugikan atau membahayakan kesehatan manusia.
Pengemasan pangan yang diedarkan dilakukan melalui tata cara yang dapat
menghindarkan terjadinya kerusakan dan atau pencemaran.
Pemerintah menetapkan bahan yang dilarang digunakan sebagai kemasan pangan dan
tata cara pengemasan pangan tertentu yang diperdagangkan”

Pangan pada dasarnya diciptakan Tuhan YME sebagai bahan yang aman dan baik untuk
kita konsumsi, namun penanganan lebih lanjut oleh manusia membuat pangan menjadi
berisiko mengancam kesehatan manusia. Cemaran pangan akibat proses pengolahan oleh
manusia umumnya terdapat dalam bentuk cemaran kimia dan cemaran biologis. Cemaran
tersebut dapat membahayakan manusia yang mengkonsumsi pangan apabila kadarnya di atas
ambang rata-rata.
Jarang disadari bahwa terkadang kita menebar racun bagi diri kita sendiri. Setiap
manusia, termasuk Anda sebenarnya selalu membawa kuman, kuman tersebut dapat dengan
mudahnya berpindah kepada makanan, atau yang biasa dikenal dengan cross contamination.
Harian Kompas edisi 12/06/2003 memberitakan bahwa 41 warga Kampung Cibedug Girang,
Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor mengalami keracunan makanan setelah
mengkonsumsi makanan pada sebuah acara syukuran. Tidak hanya makanan jadi yang dapat
menyebabkan keracunan, makanan kaleng pun sering kali menjadi penyebab keracunan
makanan pada manusia. Bagaimana mencegahnya? Sanitasi pangan merupakan salah satu
pencegahan yang cukup handal dalam hal mengatasi keracunan pangan. Pada bagian Sanitasi
Pangan UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, dijelaskan bahwa setiap kegiatan yang
menyangkut produksi, penyimpanan, pengangkutan dan peredaran pangan harus memenuhi
persyaratan sanitasi pangan, termasuk di dalamnya persyaratan sanitasi sarana-prasarana dan
sanitasi orang-perseorangan dalam kegiatan yang bersangkutan dengan pangan. Setiap
badan usaha yang akan menyelenggarakan usaha pangan, di samping harus memenuhi
persyaratan sanitasi juga harus memiliki program pengawasan berkala mengenai sanitasi
produksi.
Mutu pangan yang memenuhi standar tertentu merupakan prinsip keadilan bagi
perdagangan pangan. Sudah layak bila konsumen menuntut mutu pangan yang setara dengan
pengorbanan yang diberikan kepada produsen. Penetapan produk pangan dengan persyaratan
mutu tertentu juga membantu konsumen untuk memperoleh nilai pangan sesuai kebutuhan.
Pengaturan mutu pangan yang setara akan mengurangi persaingan yang tidak sehat antar
produsen. Mengingat fungsi pangan adalah juga memenuhi kecukupan gizi bagi tubuh, setiap
orang yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan perlu juga memperhatikan ketentuan
mengenai gizi pangan yang ditetapkan (BAB III. Mutu dan Gizi Pangan). Pangan tertentu
yang diperdagangkan dapat diwajibkan untuk terlebih dahulu diperiksa di laboratorium
sebelum diedarkan. Dalam upaya meningkatkan kandungan gizi pangan olahan tertentu,
Pemerintah berwenang untuk menetapkan persyaratan tentang komposisi pangan tersebut.

Pasal 24
“Pemerintah menetapkan standar mutu pangan;
Terhadap pangan tertentu yang diperdagangkan, Pemerintah dapat memberlakukan
dan mewajibkan pemenuhan standar mutu pangan yang ditetapkan berdasarkan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”

Pasal 25
“Pemerintah menetapkan persyaratan sertifikasi mutu pangan yang diperdagangkan;
Persyaratan sertifikasi mutu pangan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diterapkan
secara bertahap berdasarkan jenis pangan dengan memperhatikan kesiapan dan
kebutuhan sistem pangan”

Pasal 26
“Setiap orang dilarang memperdagangkan:
pangan tertentu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2), apabila tidak
memenuhi standar mutu yang ditetapkan sesuai dengan peruntukannya;
pangan yang mutunya berbeda atau tidak sama dengan mutu pangan yang dijanjikan;
pangan yang tidak memenuhi persyaratan sertifikasi mutu pangan, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25”

Pasal 27
“Pemerintah menetapkan dan menyelenggarakan kebijakan di bidang gizi bagi
perbaikan status gizi masyarakat.
Untuk meningkatkan kandungan gizi pangan olahan tertentu yang diperdagangkan,
Pemerintah dapat menetapkan persyaratan khusus mengenai komposisi pangan.
Dalam hal terjadi kekurangan dan atau penurunan status gizi masyarakat, Pemerintah
dapat menetapkan persyaratan bagi perbaikan atau pengayaan gizi pangan tertentu
yang diedarkan.
Setiap orang yang memproduksi pangan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3), wajib memenuhi persyaratan tentang gizi yang ditetapkan”.

Pasal 28
“Setiap orang yang memproduksi pangan olahan tertentu untuk diperdagangkan wajib
menyelenggarakan tata cara pengolahan pangan yang dapat menghambat proses
penurunan atau kehilangan kandungan gizi bahan baku pangan yang digunakan.
Pangan olahan tertentu serta tata cara pengolahan pangan, sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), diatur lebih lanjut oleh
Pemerintah”.

Persyaratan mutu dan gizi pangan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 25 tertuang di
dalam SNI. Standar tersebut ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional, meskipun standar
tersebut bersifat sukarela, namun atas pertimbangan kesehatan maka standar yang dimaksud
dapat menjadi standar wajib yang harus dipatuhi oleh produsen. Pemerintah melarang
peredaran produk yang tidak sesuai dengan standar atau tidak sesuai dengan mutu yang
diklaim oleh produsen.
Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan perlu dibebani tanggung jawab,
terutama apabila pangan yang diproduksinya menyebabkan baik kerugian pada kesehatan
manusia maupun kematian orang yang mengkonsumsi pangan tersebut. Dalam hal itu,
Undang-undang ini secara spesifik mengatur tanggung jawab industri pangan untuk
memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan. Di samping tanggung jawab untuk
memberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud di atas, undang-undang ini juga menetapkan
ketentuan sanksi lainnya, baik yang bersifat administratif maupun pidana terhadap para
pelanggarnya.
Dalam kegiatan perdagangan pangan, masyarakat yang mengkonsumsi perlu diberikan
sarana yang memadai agar memperoleh informasi yang benar dan tidak menyesatkan.
Sehubungan dengan hal tersebut, perlu ditetapkan

ketentuan mengenai label dan iklan tentang pangan. Dengan demikian, masyarakat yang
mengkonsumsi pangan dapat mengambil keputusan berdasarkan informasi yang akurat
sehingga tercipta perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab, yang pada
gilirannya menumbuhkan persaingan yang sehat di kalangan para pengusaha pangan. Khusus
menyangkut label atau iklan tentang pangan yang mencantumkan pernyataan bahwa pangan
telah sesuai dengan persyaratan atau kepercayaan tertentu, maka orang yang membuat
pernyataan tersebut bertanggung jawab terhadap kebenaran pernyataan dimaksud.
Ketentuan mengenai keamanan, mutu, dan gizi pangan, serta label dan iklan pangan tidak
hanya berlaku bagi pangan yang diproduksi dan atau diedarkan di wilayah Indonesia, tetapi
juga bagi pangan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia. Dalam hal-hal tertentu bagi
produksi pangan nasional yang akan diedarkan di luar negeri, diberlakukan ketentuan yang
sama.
Sebagai komoditas dagang, pangan memiliki peranan yang sangat besar dalam
peningkatan citra pangan nasional di dunia internasional dan sekaligus penghasil devisa.
Oleh karena itu, produksi pangan nasional harus mampu memenuhi standar yang berlaku
secara internasional dan memerlukan dukungan perdagangan pangan yang dapat memberi
peluang bagi pengusaha di bidang pangan, baik yang besar, menengah maupun kecil, untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi.
Pengaturan mengenai pangan juga diarahkan untuk mewujudkan ketahanan pangan yang
mencakup ketersediaan dan cadangan pangan, serta terjangkau sesuai dengan kebutuhan
konsumsi masyarakat. Pemerintah bersama masyarakat perlu memelihara cadangan pangan
nasional. Di samping itu, Pemerintah dapat mengendalikan harga pangan tertentu, baik untuk
tujuan stabilisasi harga maupun untuk mengatasi keadaan apabila terjadi kekurangan pangan
atau keadaan darurat lainnya.
Berdasarkan pemikiran-pemikiran sebagaimana yang diuraikan, Undang-undang tentang
Pangan memuat pokok-pokok:
persyaratan teknis tentang pangan, yang meliputi ketentuan keamanan pangan, ketentuan
mutu dan gizi pangan, serta ketentuan label dan iklan pangan, sebagai suatu sistem
standarisasi pangan yang bersifat menyeluruh.
tanggung jawab setiap orang yang memproduksi, menyimpan, mengangkut, dan atau
mengedarkan pangan, serta sanksi hukum yang

sesuai agar mendorong pemenuhan atas ketentuan-ketentuan yang ditetapkan;


peranan Pemerintah dan masyarakat dalam mewujudkan tingkat kecukupan pangan di
dalam negeri dan penganekaragaman pangan yang dikonsumsi secara tidak bertentangan
dengan keyakinan masyarakat;
tugas Pemerintah untuk membina serta mengembangkan industri pangan nasional,
terutama dalam upaya peningkatan citra pangan nasional dan ekspor.

Pengaturan, pembinaan, dan atau pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi,
peredaran, dan atau perdagangan pangan dalam Undang-undang ini bersifat pokok-pokok,
sedangkan penjabarannya lebih lanjut ditetapkan oleh Pemerintah secara menyeluruh dan
terkoordinasi. Semuanya itu diselenggarakan dengan tetap memperhatikan kesiapan dan
kebutuhan sistem pangan nasional, serta perkembangan yang terjadi baik secara regional
maupun internasional.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Kesehatan adalah keadaan


sejahtera dari badan, jiwa dan sosial, yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Upaya kesehatan
adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh
pemerintah dan atau masyarakat. Kesehatan tertuang dalam cita-cita bangsa Indonesia
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu melindungi
segenap bangsa Indonesia dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dipandang
sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum, yang harus diwujudkan melalui pembangunan
nasional yang berkesinambungan.
Dalam rangka mencapai cita-cita bangsa tersebut diselenggarakan pembangunan nasional
di semua bidang kehidupan yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian
pembangunan yang menyeluruh, terpadu, dan terarah. Pembangunan kesehatan sebagai
salah satu upaya pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan,
dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat
kesehatan yang optimal.
Dalam memberikan kepastian dan perlindungan hukum untuk meningkatkan,
mengarahkan dan memberi dasar bagi pembangunan kesehatan diperlukan perangkat hukum
kesehatan yang dinamis. Bagi pemberi jasa pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman
hasil
produksi rumah tangga yang masih dalam pembinaan Pemerintah, pelaksanaan hukum
diberlakukan secara bertahap. Perangkat hukum tersebut hendaknya dapat menjangkau
perkembangan yang makin kompleks yang akan terjadi dalam kurun waktu mendatang.
Untuk itu perlu penyempurnaan dan pengintegrasian perangkat hukum yang sudah ada.
Pangan merupakan bagian tak terpisahkan dari kesehatan manusia. Perbaikan gizi dan
pengamanan makanan merupakan salah satu upaya pemerintah dalam menyelenggarakan
kesehatan bagi masyarakat. Jaminan pangan dalam UU No. 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan tertuang dalam bagian ketiga dan keempat yang membahas mengenai perbaikan
gizi dan pengamanan makanan dan minuman.

Upaya Kesehatan
Bagian Pertama
Umum
Pasal 11
”(1). Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 dilaksanakan melalui kegiatan:
kesehatan keluarga.
perbaikan gizi.
pengamanan makanan dan minuman.
kesehatan lingkungan.
kesehatan kerja.
kesehatan jiwa.
pemberantasan penyakit.
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.
penyuluhan kesehatan masyarakat.
pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan.
pengamanan zat adiktif.
kesehatan sekolah.
kesehatan olah raga.
pengobatan tradisional.
kesehatan matra.
(2). Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didukung
oleh sumber daya kesehatan”

Bagian Ketiga
Perbaikan Gizi
Pasal 20
“(1). Perbaikan Gizi diselenggarakan untuk mewujudkan terpenuhinya kebutuhan gizi.
(2). Perbaikan gizi meliputi upaya peningkatan status dan mutu gizi, pencegahan,
penyembuhan, dan atau pemulihan akibat gizi salah”

Bagian Keempat
Pengamanan makanan dan Minuman
Pasal 21
“(1). Pengamanan makanan dan minuman diselenggarakan untuk melindungi masyarakat
dari makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan mengenai standar dan atau
persyaratan kesehatan.

(2). Setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi tanda atau label yang berisi:
bahan yang dipakai.
komposisi setiap bahan.
tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa.
ketentuan lainnya.

(3). Makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar dan atau persyaratan
kesehatan dan atau membahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1)
dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran, dan disita untuk dimusnahkan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(4). Ketentuan mengenai pengamanan makanan dan minuman sebagaimana dimaksud


dalam Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”

Perbaikan gizi diselenggarakan untuk mewujudkan terpenuhinya kebutuhan gizi, yang


meliputi upaya peningkatan status dan mutu gizi, pencegahan, penyembuhan dan atau
perbaikan akibat gizi salah. Pengamanan makanan dan minuman diselenggarakan untuk
memberikan perlindungan terhadap makanan dan minuman yang tidak memenuhi persyaratan
kesehatan. Perundangan ini juga mencantumkan aturan pelabelan, mencakup keterangan
bahan yang digunakan, komposisi bahan baku, serta tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa.
Makanan dan minuman yang tidak memenuhi persyaratan akan ditarik dari peredaran untuk
kemudian dimusnahkan.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 1962 tentang Higiene untuk Usaha-usaha


bagi Umum
Tugas pemerintah untuk memelihara dan mempertinggi derajat

kesehatan rakyat antara lain mencakup bidang higiene. Higiene merupakan aspek penting
terkait dengan keamanan pangan, karena penerapan higiene dapat menjamin mutu serta
kondisi kesehatan pangan yang dikonsumsi. Upaya melindungi dan memelihara kesehatan
mencakup usaha-usaha pencegahan penyakit-penyakit yang membahayakan masyarakat.

Pasal 1
“Maksud dan tujuan undang-undang ini adalah untuk melindungi/
memelihara/mempertinggi kesehatan masyarakat yang memperguna-kan tempat atau
hasil-hasil usaha bagi umum”

Pasal 2
“Yang dimaksud dalam undang-undang ini dengan: a. higiene ialah segala usaha untuk
memelihara dan mempertinggi derajat kesehatan; b. Usaha-usaha bagi umum ialah usaha-
usaha yang dilakukan oleh badan-badan pemerintah, swasta maupun perorangan yang
menghasilkan sesuatu untuk atau yang langsung dapat dipergunakan oleh umum”

Usaha-usaha yang berkaitan dengan umum, baik itu yang dikelola oleh badan pemerintah,
swasta maupun perseorangan, terutama yang dapat dipergunakan secara langsung oleh
umum, harus berusaha untuk memelihara serta meningkatkan derajat kesehatan melalui
upaya higiene. Upaya tersebut dimaksudkan untuk melindungi kesehatan pengguna sarana
atau jasa umum.
Higiene yang tercakup dalam undang-undang ini adalah, higiene air, susu, makanan dan
minuman untuk konsumsi umum, higiene perusahaan, higiene bangunan umum, higiene
pemandian umum, dan higiene untuk alat-alat pengangkutan umum. Air minum, air susu,
makanan dan minuman perlu diawasi mutu kesehatannya hingga tidak menimbulkan bahaya
penyakit melalui kuman-kuman yang mungkin terbawa di dalamnya. Perusahaan yang terkait
perlu memperhatikan syarat-syarat kesehatan tertentu agar karyawan tidak tertular masalah
kesehatan akibat faktor biologis maupun kimiawi selama bekerja. Bangunan-bangunan umum
harus memenuhi syarat-syarat kesehatan, antara lain adanya ventilasi, sarana kebersihan serta
sarana-sarana yang dapat mencegah bahaya kesehatan pada penggunaan bangunan. Upaya
pelaksanaan higiene harus serta merta melibatkan masyarakat bersama dengan pemerintah
pusat maupun daerah.

Usaha-usaha yang dilakukan pemerintah dalam pelaksanaan undang-undang ini antara


lain, penerangan dan bimbingan mengenai higiene, pengawasan dan pemeriksaan atas
keadaan higiene pada badan-badan usaha terkait, dan pengawasan terhadap peralatan yang
digunakan selama proses. Tindakan pidana dapat diambil apabila badan-badan yang terkait
tidak mengindahkan kondisi higiene selama proses produksinya. Tindakan tersebut harus
ditujukan pada perlindungan kesehatan masyarakat, dengan tidak memandang kepentingan
individu atau kelompok. Segala bentuk tindakan yang dapat mengakibatkan penutupan suatu
usaha hanya boleh diberlakukan apabila telah dikuatkan dengan pendapat panitia kesehatan,
dewan perusahaan, dan organisasi tenaga kerja.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok


Peternakan dan Kesehatan Hewan
Hewan adalah makhluk karunia Tuhan YME yang diberikan pada
manusia untuk disyukuri dan digunakan untuk keberlangsungan hidup manusia. Tanah air
Indonesia dengan kondisi geografis dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
memiliki potensi yang besar di bidang peternakan. Potensi tersebut harus dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran, kesejahteraan, peningkatan taraf hidup serta
pemenuhan kebutuhan protein hewani bagi masyarakat Indonesia.

Ruang lingkup dan dasar pemikiran


Pembangunan peternakan dan pemeliharaan kesehatan hewan memiliki tujuan utama
untuk menambah produksi, meningkatkan taraf hidup peternak Indonesia, dan untuk dapat
memenuhi kebutuhan keperluan bahan makanan hewani bagi seluruh masyarakat Indonesia
(Pasal 2 UU No. 6 Tahun 1967). Ternak merupakan bagian dari kekayaan alam bumi
Indonesia, sebagaimana tersebut dalam Pasal 33 UUD 1945 ayat 3.

“Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan digunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”

Oleh karena itu, ternak harus dimanfaatkan sebesar-besarnya serta dikelola sebagaimana
semestinya bagi kesejahteraan rakyat. Pengertian hewan sebagaimana tercantum dalam Pasal
1 ialah semua binatang yang hidup di darat baik yang dipelihara maupun yang hidup secara
liar.

Sedangkan ternak ialah hewan-piara, yang kehidupannya serta manfaatnya diatur dan diawasi
oleh manusia dan dipelihara sebagai penghasil bahan-bahan. Peternakan yang dimaksud ialah
usaha atau pengusahaan ternak yang dilakukan di tempat tertentu serta perkembangbiakannya
dan pemanfaatan-nya diatur dan diawasi oleh peternak. Kesejahteraan hewan melingkupi
upaya manusia memelihara hewan dan melindungi hewan dengan wajar dan semestinya.

Tujuan dan keterkaitan peternakan dengan pangan


Peternakan diselenggarakan dengan tujuan umum untuk memenuhi kebutuhan rakyat
akan protein hewani, yang didukung oleh pemeliharaan kesehatan hewan melalui
perombakan dan pembangunan peternakan, sehingga dicapai penambahan produksi untuk
memenuhi kuota produksi serta peningkatan taraf hidup peternak. Peningkatan produksi
ternak diharapkan dapat memberikan persediaan ternak yang adil serta merata bagi seluruh
wilayah Indonesia. Sebagaimana tertuang di dalam Pasal 8 bagian peternakan, pembangunan
peternakan memiliki beberapa tujuan khusus yang ditunjang oleh beberapa bentuk usaha
peternakan.

Pasal 8
“Tujuan peternakan
Peternakan diselenggarakan dengan tujuan untuk:
Mencukupi kebutuhan rakyat akan protein hewani dan lain-lain bahan, yang berasal
dari ternak yang bermutu tinggi.
Mewujudkan terbentuknya dan perkembangan industri dan perdagangan bahan-bahan
yang berasal dari ternak.
Mempertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat terutama rakyat petani-peternak.
Mencukupi kebutuhan tenaga pembantu bagi usaha pertanian dan pengangkutan.
Mempertinggi daya-guna tanah”

Bab 1. Ketentuan Umum


Pasal 3
“Bidang usaha dan alat-alat pelengkap
1.Untuk mencapai tujuan termaksud dalam Pasal 2, maka Pemerintah mengadakan
perombakan dan pembangunan di bidang usaha:
Peningkatan hasil perkembangbiakan ternak.
Perbaikan mutu ternak.
Perbaikan situasi makanan ternak.

Perbaikan pengolahan bahan-bahan yang berasal dari ternak, baik untuk keperluan
konsumsi maupun industri dan keperluan lainnya.
Pewilayahan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan usaha penyaluran
ternak dan bahan-bahan berasal dari ternak.
Pemeliharaan kesehatan hewan”.

Usaha-usaha yang dimaksud dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun swasta, atau
koordinasi bersama pemerintah dengan pihak swasta terkait. Pembentukan kelengkapan
peternakan didirikan sesuai dengan luas dan skala usaha yang didukung oleh upaya
pendidikan kepada masyarakat.
Keterkaitan industri pangan dengan peternakan di dalam undang-undang ini terletak pada
Pasal 15 dan Pasal 16. Kedua Pasal tersebut mengatur mengenai industri peternakan dan
perdagangan bahan-bahan yang berasal dari ternak.

Pasal 15
“Pemerintah mengatur, membina, membantu dan mengawasi pertumbuhan dan
perkembangan industri pengolahan bahan-bahan yang berasal dari ternak.
hal-hal yang tersebut pada ayat 1 ditetapkan lebih lanjut berdasarkan peraturan
pemerintah.
dalam pengolahan bahan-bahan makanan berasal dari ternak harus diindahkan unsur-
unsur kepercayaan yang dianut oleh masyarakat”.

Pasal 16
“Perdagangan ternak dan bahan-bahan yang berasal dari ternak:
di bidang perdagangan ternak dan bahan-bahan yang berasal dari ternak, pemerintah
berusaha mengurangi jumlah perantaraan antara produsen dan konsumen. Hal ini
diatur lebih lanjut di dalam peraturan pemerintah.
impor ternak dan hewan lainnya terutama ditujukan untuk memperbaiki mutu ternak
dan hewan di Indonesia.
oleh pemerintah ditetapkan jumlah ternak yang boleh diekspor keluar negeri. Kecuali
dengan izin pemerintah atau pejabat yang ditunjuk maka hanya ternak kastrasi yang
boleh diekspor keluar negeri.
untuk mencukupi kebutuhan daerah-daerah akan ternak sembelihan oleh Menteri
diadakan ketentuan-ketentuan tentang pengiriman ternak dari daerah yang kelebihan
ternak, ke daerah yang memerlukannya.
pemerintah berusaha memberikan fasilitas pengangkutan ternak dan bahan dalam
jumlah yang mencukupi”.

Industri ternak didirikan dengan landasan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat


Indonesia akan sumber makanan hewani yang bergizi serta bermutu tinggi. Dalam Pasal
tersebut secara tersirat pihak industri harus mengindahkan aspek halal sebagai salah satu
aspek jaminan mutu pangan yang terkait dengan keyakinan. Untuk menjamin keamanan
pangan hasil ternak, mengingat produk pangan berbasis peternakan merupakan produk
pangan yang mudah rusak, pemerintah melalui perundangan tersebut di atas menegaskan
bahwa terdapat batas waktu distribusi agar mutu bahan makanan tetap terjamin dan aman
untuk dikonsumsi. Pemerintah juga mengizinkan arus lalu lintas hewan ternak untuk
menunjang berkembangnya industri pangan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat akan
sumber makanan berbasis peternakan. Untuk menjamin mutu produk, maka pemerintah
memperhatikan keamanan kesehatan ternak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 21 ayat 2,
bahwa pemerintah menetapkan ketentuan sebagai berikut.

“Maka dengan peraturan pemerintah ditetapkan ketentuan-ketentuan tentang:


pengawasan pemotongan hewan
pengawasan perusahaan susu, perusahaan unggas, perusahaan babi.
Pengawasan dan pengujian daging, susu, dan telur.
Pengawasan pengolahan bahan makanan yang berasal dari hewan.
Pengawasan terhadap bahan-bahan hayati yang ada sangkut-pautnya dengan hewan,
bahan pengawetan makanan dan lain-lain”.

Pengawasan tersebut bertujuan untuk mencegah penyebaran penyakit asal hewani melalui
perantara bahan makanan. Tanpa pengawasan penyakit menular maupun yang tidak menular
maka masyarakat akan kehilangan ketenangan dalam mengkonsumsi sumber bahan makanan
berprotein tinggi. Dalam kesehatan hewani serta kesehatan proses produksi akan terbuka
keseimbangan antara perspektif teknologi dengan kebutuhan manusia akan pangan, karena
ternak tidak dapat dipisahkan dari pangan itu sendiri. Sinkronisasi yang berusaha diciptakan
melalui undang-undang ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan serta kebutuhan
masyarakat akan pangan yang bermutu dan bergizi.

SYARAT-SYARAT MAKANAN YANG DIPRODUKSI DAN DIEDARKAN DI WILAYAH


INDONESIA YANG DITETAPKAN OLEH MENTERI
1.) Untuk memproduksi makanan harus memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri.
2.) Untuk memproduksi jenis makanan tertentu yang ditetapkan oleh Menteri harus mendapatkan izin dari
Menteri. (BAB 2 pasal 3)

BEBERAPA SYARAT MAKANAN YANG DAPAT DIPRODUKSI, DIIMPOR, DAN DIEDARKAN


1.) Memenuhi standar mutu atau persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri
2.) Di negara asalnya tidak dilarang peredarannya
3.) Tidak berbahaya atau mengganggu kesehatan manusia
4.) Bebas dari penyakit atau hama yang dapat menular pada manusia, hewan, atau tumbuh-tumbuhan
(BAB 2 pasal 5)

BEBERPA UNIT PRODUKSI MAKANAN YANG HARUS DIPILIH UNTUK MENCEGAH


PENCEMARAN TERHADAP PRODUK
BANGUNAN
1.) Bangunan yang digunakan untuk memproduksi makanan harus dibuat berdasarkan perencanaan yang
memenuhi persyaratan teknik dan hgiene yang ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan jenis produksi
makanan yang dibuat
2.) Harus mempunya fasilitas sanitasi serta terpelihara (BAB 3 pasal 7)

ALAT PRODUKSI
1.) Alat yang digunakan untuk memproduksi makanan harus dibuat dari bahan yang melepaskan unsur
yang dapat mengganggu kesehatan. (BAB 3 pasal 8)
2.) Alat dibuat berdasarkan perencanaan yang memenuhi persyaratan teknik dan hiegene yang
ditetapkan oleh Menteri. (BAB 3 pasal 9)

BAHAN
1.) Bahan baku, bahan tambahan, dan bahan penolong yang digunakan untuk memproduksi makanan harus
memenuhi standar mutu atau persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri.
2.) Jenis bahan tambahan dan bahan penolong yang diizinkan untuk memproduksi makanan ditetapkan
olen Menteri. (BAB 3 pasal 10)

PROSES PENGOLAHAN
1.) Proses produksi makanan yang menggunakan bahan radioaktif diatur sesuai dengan ketentuan
Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 1975 tentang izin Pemakaian Zat Radioaktif dan atau Sumber
Radiasi lainnya (BAB 3 pasal 11)
2.) Proses pengolahan harus dilakukan berdasarkan perencanaan yang memenuhi persyaratan teknik dan
higiene, sehingga produk akhir memenuhi syarat-syarat keselamatan dan kesehatan. (BAB 3 pasal 12)

WADAH
1.) Wadah makanan dapat melindungi dan mempertahankan mutu isinya.
2.) Wadah harus dibuat dari bahan yang tidak melepaskan zat yang dapat mengganggu kesehatan. (BAB 3
pasal 13)

PRODUK AKHIR
Terhadap produk akhir jenis maknan tertentu yang ditetapkan oleh Menteri harus dilakukan pengujian
sebelum diedarkan. (BAB 3 pasal 14)
LABORATORIUM PEMERIKSAAN MUTU
1.) Perusahaan yang memproduksi jenis makann tertentu yang ditetapkan oleh Menteri diwajibkan
memiliki laboratorium pemeriksaan mutu untuk melakukan pemeriksaan dan analisa terhadapm bahan
yang digunakan dan produk akhir. (BAB 3 pasal 15)
2.) Perusahaan yang memproduksi jenis makanan tertentu yang dimaksud dalam pasal 15 wajib
mempunyai tenaga ahli sebagai penanggung-jawab mutu, yang kwalifikasinya ditetapkan oleh Menteri.
(BAB 3 pasal 16)

KARYAWAN
Karyawan yang berhubungan langsung dengan produksi makanan harus dalam keadaan sehat dan
bersih. (BAB 3 pasal 17)
PERSYARATAN PEREDARAN MAKANAN
LABEL DAN PERIKLANAN
Menteri menetapkan peraturan tentang label dan periklanan makanan. (BAB 4 pasal 18)
PENYIMPANAN
Menteri menetapkan peraturan tentang persyaratan teknik dan higiene penyimpanan makanan. (BAB 4
pasal 19)
PENGANGKUTAN DAN PEREDARAN
Menteri menetapkan peraturan tentang persyaratan teknik dan higiene pengangkutan dan peredaran
makanan. (BAB 3 pasal 20)
BEBERAPA LARANGAN DALAM PENGEDARAN, PENGIMPORAN, DAN PEMPRODUKSIAN
MAKANAN
1.) Dilarang memproduksi mengimpor atau mengedarkan makanan yang:
a.) Bangar atau berbau busuk, menjijikkan, kotor, tercemar, busuk, atau terurai
b.) Mengandung bahan nabati atau hewani yang berpenyakit
c.) Mengandung atau adanya terdapat bagian atau kotoran serangga atau binatang pengerat yang
melampaui batas
d.) Mengandung atau adanya terdapat sisa pestisida atau senyawa lain pemberantasan hama dan
penyakit yang melampaui batas
e.) Mengandung atau adanya terdapat zat kimia beracun, logam atau metaloida, atau bahan tambahan
yang melampaui batas
f.) Yang padanya terdapat jasad renik yang berbahaya atau yang melampaui batas
g.) Tidak cock untuk konsumsi manusia
h.) Berbahaya atau dapat mengganggu kesehatan manusia
(BAB 5 pasal 21)
2.) Dilarang memproduksi, mengimpor atau mengedarkan makanan tertentu yang ditetapkan oleh Menteri:
a.) Yang tidak didaftarkan pada Departemen Kesehatan Republik Indonesia
b.) Yang tidak memenuhi standar mutu atau persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri
c.) Dilarang mengedarkan makanan tertentu yang tidak diproduksi oleh orang atau perusahaan yang
telah mendapat izin menurut ketentuan pasal 3 ayat (2)
(BAB 5 pasal 22)
3.) Dilarang bagi unit produksi makanan yang dimaksud dalam pasal 6 mengakibatkan pencemaran
lingkungan (BAB 5 pasal 23)
4.) Dilarang menggunakan bagian bangunan yang digunakan untuk memproduksi makanan untuk
keperluan lain (BAB 5 pasal 24)
5.) Dilarang menggunakan alat yang dimaksud dalam pasal 8 selain untuk tujuan produksi makanan. (BAB
5 pasal 25)
6.) Dilarang memperkerjakan karyawan yang penyakit menular atau yang dapat menularkan penyakit.
(BAB 5 pasal 26)
7.) Dilarang mencantumkan pada label makanan:
a.) Kalimat, kata-kata, tanda, nama, lambang, gambar, dan sebagainya yang dapat menyesatkan,
mengacaukan atau ditafsirkan salah perihal asal, sifat, isi, komposisi, mutu atau kegunaan
makanan
b.) Referensi, nasehat, peringatan atau pernyataan dari siapapun, yang bertujuan untuk meningkatkan
penjualan, baik secara langsung atau tidak langsung
c.) Referensi, nasehat, peringatan atau pernyataan yang dapat menjurus ke pendapat yang tidak benar
bahwa makanan yang bersangkutan berkhasiat sebagai obat.
(BAB 5 pasal 27)
8.) Larangan yang disebut dalam pasal 27 berlaku juga terhadap periklanan makanan. (BAB 5 pasal 28)

LATIHAN

Setelah Anda memahami intisari dari undang-undang pangan yang berlaku di Indonesia,
Anda diharapkan dapat menjawab soal-soal latihan di bawah ini sebagai sarana evaluasi diri
Anda terhadap pemahaman materi kegiatan belajar.

Jelaskan alasan utama pemberlakuan undang-undang pangan di Indonesia!


Jelaskan mengapa pangan merupakan sektor yang sangat terkait dengan hajat hidup orang
banyak!
Jelaskan intisari dari UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan!
Jelaskan aspek sanitasi pangan pada UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, terkait dengan
UU Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan
Hewan!
Sebutkan dan jelaskan pasal-pasal yang terkait dengan pangan dalam UU Kesehatan!

RANGKUMAN

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia dalam mempertahankan hidupnya.


Kebutuhan tersebut terkait dalam segi jumlah, keamanan, mutu, gizi, harga, serta daya
beli yang dapat dijangkau oleh konsumen. Pembangunan pangan tercipta sebagai suatu
momentum demi terciptanya kondisi pangan yang berkualitas dan berkecukupan,
mengingat pangan merupakan salah satu aspek penting penunjang pembangunan bangsa.
Era perdagangan bebas menjadikan pangan sebagai komoditi yang diperdagangkan secara
luas, baik di tingkat regional, maupun internasional. Oleh karena itu, masalah jaminan
mutu dan keamanan pangan menjadi sangat penting untuk ditegakkan demi adanya
jaminan perlindungan bagi konsumen.
Jaminan perlindungan pangan diberikan oleh pemerintah melalui adanya undang-
undang pangan. Pemberlakuan undang-undang pangan dimaksudkan untuk memberikan
kepada konsumen dan produsen hak dan kewajiban yang semestinya. Beberapa undang-
undang yang terkait dengan pangan di antaranya:
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1976 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan
dan Kesehatan Hewan.
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina
Hewan, Ikan, dan Tumbuhan.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1962 tentang, Higiene untuk Usaha-usaha Bagi
Umum.
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Higiene.

Undang-undang tersebut saling berkaitan, karena di dalamnya terdapat intisari yang


menunjukkan keterkaitan antara setiap sektor untuk mewujudkan pembangunan pangan
yang berkesinambungan. Undang-undang tersebut memiliki dua tujuan utama yang
memiliki keterkaitan secara langsung dengan dunia pangan, yaitu menyediakan pangan
yang memenuhi persyaratan mutu, gizi serta keamanan pangan, kemudian untuk
menciptakan iklim perdagangan pangan yang kondusif.

TES FORMATIF 1
Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

Dalam upaya perlindungan dan jaminan pangan, perundangan pangan di Indonesia


diaplikasikan pada aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan ....
polusi dan kontaminasi
bahan-bahan kimia
industri pangan
jawaban A, B, dan C benar semua

Undang-undang yang mengatur tentang pangan adalah ....


UU Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1976
UU Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1985
UU Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992
UU Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996

Di antara cakupan UU Pangan adalah ....


keamanan pangan
mutu dan gizi pangan

label dan iklan


jawaban A, B, dan C benar semua

Landasan hukum dari UU Pangan adalah ....


Pasal 27 ayat 2 UUD 45
Pasal 23 UUD 45
Pasal 7 ayat 1 UUD 45
jawaban A, B, dan C benar semua

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang ketentuan dan peredaran serta
penandaan pada makanan yang mengandung bahan berasal dari babi adalah ....
PP No. 329/MEN.KES/PER/XII/76
PP No. 280/MEN.KES/PER/VI/76
PP No. 79/MEN.KES/PER/III/78
PP No. 722 Tahun 1988

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia yang mengatur tentang pemotongan


unggas dan penanganan daging unggas serta hasil ikutannya adalah ....
SK No. 23/MEN.KES/SK/I/78
SK No. 00474/B/II/87
SK No. 306/Kpts/TN.330/4/1994
SK No. 422/Kpts/LB/720/6/1988

Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan


Republik Indonesia tentang persyaratan mutu pengganti air susu ibu tertuang dalam
SK ....
No. 02912/B/SK/IX/86
No. 0204/B/SK/VI/96
No. 0204/B/SK/VII/91
No. 02664/B/SK/VIII/91

Anda mungkin juga menyukai