Anda di halaman 1dari 13

UPAYA PEMERINTAH DALAM

PENCEGAHAN KORUPSI (REPRESIF)

Pengampu Mata Kuliah


Ir. Fauzia Djamilus, M.Kes

Disusun Oleh:

Kelompok 3 Tingkat 1A

1. Anisa Widyastuti
2. Bilqis Az Zahrah
3. Dea Deria
4. Eliansyah
5. Rachmawati Wicaksono
6. Ratu Muthia
7. Tasya Gravelya

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN BANDUNG

PROGRAM STUDI KEBIDANAN BOGOR

2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan atas ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
anugerah-Nya. Sehingga tugas makalah mata kuliah Asuhan Kebidanan Kehamilan yang
berjudul Upaya Pemerintah dalam Pencegahan Korupsi (Refresif) dapat diselesaikan
dengan baik dan tepat waktu. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu
tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Pendidikan Budaya Anti Korupsi Ibu Ir. Fauziah
Djamilus, M.Kes.

Makalah ini ditulis berdasarkan informasi dari media massa yang berhubungan
dengan Upaya Pemerintah dalam Pencegahan Korupsi (Refresif) serta dari peran pihak-pihak
terkait. Atas segala bantuan yang diberikan dalam membantu penyusunan makalah laporan
ini, maka penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya.

Didasari bahwa makalah laporan ini masih kurang sempurna. Untuk itu diharapkan
berbagai masukan atau kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaannya. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat sebagaimana mestinya.

Bogor, 16 Maret 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan Penulisan
A. Upaya Pencegahan Korupsi secara Refresif
B. Kasus 5
C. Upaya mengatasi5
9
A. 9
B. 9

10

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tindak pidana korupsi di indonesia sudah sangat meluas dan telah masuk sampai
ke seluruh lapisan kehidupan masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari
tahun ke tahun, dalam jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan
Negara serta dari segi kualitas tindak pidaa korupsi yang dilakukan semakin
sistematis yang telah memasuki seluruh aspek 2 kehidupan masyarakat. Menurut
Gunar Myrdal korupsi tersebut meliputi kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan
kekuasaan, aktifitas-aktifitas pemerintahan, atau usaha-usaha tertentu untuk
memperoleh kedudukan secara tidak patut, serta kegiatan lainnya seperti
penyogokan.1 Dalam Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang komisi
pemberantasan tindak pidana korupsi sudah mengatur secara jelas bagaimana
pemberantasan tindak pidana korupsi di indonesia tetapi masih saja terjadi korupsi di
Indonesia.
Upaya represif atau sering disebut upaya penal, dilakukan dengan menerapkan
hukum pidana guna menimbulkan efek jera bagi pelaku dan menimbulkan daya cegah
bagi masyarakat agar menghindari segala bentuk korupsi dan penyalahgunaan
wewenang. Upaya pemberantasan korupsi melalui upaya represif dalam
pelaksanaannya melalui berbagai kendala terutama dalam mencari bukti-bukti adanya
penyimpangan. Kendala lainnya ialah, pertama: adanya polemik mengenai kata
“dapat” dalam pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 tentang Tindak
Pidana Korupsi. Sebagian kalangan berpendapat kata ,dapat, dipandang sebagai
potensi sehingga cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan, sedangkan
kalangan lainya berpendapat kata “dapat” itu harus dibuktikan secara konkrit ada
kerugian negara secara riil, dilihat dari beberapa prespektif hukum, yaitu: hukum
administrasi negara, hukum perdata dan hukum pidana.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas
dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimana upaya pencegahan Korupsi secara Refresif?
2. Bagaimana upaya pemerintah dalam pencegahan korupsi secara Refresif?
3. Bagaimanakah contoh kasus dan upaya pencegahan Korupsi secara Refresif?
1

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengkaji upaya pencegahan (Refresif)
terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Untuk mengetahui dan menganalisis sejauh
mana kebijakan hukum pidana di Indonesia dalam mengupayakan pencegahan tindak
pidana korupsi.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Upaya Pencegahan Korupsi Secara Represif


Pada dasarnya setiap kasus tindak pidana korupsi harus ditindaklanjuti melalui
peradilan sesuai ketentuan yang berlaku. Penyelesaian atas dilakukan secara
proporsional sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku berdasarkan
kewenangan masing-masing instansi. Setiap tahap penyelesaian kasus harus dilakukan
pemantauan perkembangannya. Terhadap kasus yang hanya bersifat penyimpangan
prosedur tata kerja dan perlu dilakukan pembinaan secara administratif dapat
dilakukan penanganannya secara internal oleh organisasi yang bersangkutan sesuai
ketentuan yang berlaku.
Upaya-upaya penanggulangan secara represif merupakan pelaksanaan tindak
lanjut atas yang ditemukan berdasarkan hasil akhir dari upaya-upaya detektif.
Dalam tahap detektif perlu diperhatikan hal sebagai berikut guna memudahkan
pelaksanaan tindak lanjut, yaitu :
 Setiap yang telah diidentifikasikan dalam langkah detektif agar didukung
dengan bukti yang memadai termasuk penjelasan/keterangan tertulis dari
pihak yang bertanggung jawab.
 Setiap harus dibahas melalui pemaparan kasus untuk menentukan langkah-
langkah penyelesaian yang diperlukan. Dalam pemaparan tersebut, jika perlu,
menyertakan pihak dari instansi penyidik guna menentukan adanya Tindak
Pidana Korupsi/Perdata.
1. Penyelesaian Oleh Unit Kerja Terkait
a. Pelaksanaan Tindak lanjut
1) Pimpinan instansi/unit kerja menindaklanjuti yang ditemukan melalui :
a) pengenaan sanksi administratif berdasarkan PP 30/1980 tentang
disiplin Pegawai Negeri Sipil dan atau peraturan lain yang berlaku.
b) pengenaan sanksi TP/TGR (Tuntutan Perbendaharaan/ Tuntutan
Ganti Rugi) untuk instansi pemerintah sesuai ketentuan yang
berlaku yang selanjutnya dituangkan dalam Surat Kesanggupan
dari pejabat/ petugas yang bertanggung jawab.

3
2) Pimpinan instansi/unit kerja menyerahkan kasus yang sanksi TP/TGR-
nya tidak ditepati kepada kejaksaan untuk diproses secara perdata;
3) Pimpinan instansi/unit kerja mengambil langkah-langkah tindak lanjut
yang diperlukan untuk memperbaiki sistem dan prosedur yang
menyebabkan penyimpangan.
b. Pemantauan tindak lanjut
1) Pimpinan instansi/unit kerja memantau pengenaan sanksi administratif
dan pengenaan sanksi TP/TGR (Tuntutan Perbendaharaan/ Tuntutan
Ganti Rugi) dan atau ketentuan lainnya yang berlaku;
2) Pimpinan instansi/unit kerja melaporkan tindak lanjut penyelesaian
baik melalui pengenaan PP 30/1980 maupun TP/TGR dan atau
ketentuan lainnya yang berlaku kepada Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP).
2. Penyelesaian melalui Penyerahan Kasus ke Instansi Penyidik.
a. Pelaksanaan tindak lanjut
1) Pimpinan instansi/unit kerja menyerahkan kasus yang berindikasi
Tindak Pidana Korupsi (TPK) kepada instansi penyidik dan kasus
perdata kepada kejaksaan sesuai dengan prosedur yang berlaku;
2) Instansi penyidik memproses kasus tindak pidana/perdata secara
hukum dengan prinsip cepat, tepat dan efisien ;
3) Terhadap kasus yang diserahkan ke instansi penyidik yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, Pimpinan instansi/ unit kerja
mengenakan sanksi administrasi berdasarkan PP 30 tahun 1980 dan
atau peraturan lain yang berlaku kepada pegawai yang telah dinyatakan
bersalah.
4) Instansi penyidik memberitahukan perkembangan status penanganan
kasus tindak pidana/perdata kepada instansi pelapor secara berkala.
b. Pemantauan Tindak Lanjut
1) Pimpinan instansi/unit kerja memantau kasus pidana/perdata yang
diserahkan kepada instansi penyidik;
2) Pimpinan instansi/unit kerja melaporkan kasus tindak pidana/perdata
yang diserahkan kepada Instansi Penyidik disertai dengan
perkembangan penanganannya kepada Menteri Pendayagunaan

4
Aparatur Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP)

B. Kasus
Kasus Jiwasraya
Di tahun 2020 kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya (persero) bahkan di sebut
sebagai kerugian besar bagi negara oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK)
yang mencapai hingga belasan triliun rupiah. Kasus ini menyeret eks Kepala
Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya periode 2008-2014, Syahmirwan
dituntut selama 18 tahun penjara. Dikutip Pikiran-rakyat.com dari Antara,
Syahmirwan dinilai terbukti melakukan korupsi yang merugikan keuangan negara
senilai Rp16.807 triliun. Selain itu, kasus ini juga menyeret Direktur Utama PT
Asuransi Jiwasraya 2008-2018, Hendrisman Rahim, ia dituntut 20 tahun penjara.
merugikan keuangan negara senilai Rp16.807 triliun. Sementara mantan Direktur
Keuangan PT Asuransi Jiwasraya periode tahun 2013-2018, Hary Prasetyo
dituntut penjara seumur hidup.
C. Upaya mengatasi
Jaksa Agung Burhanuddin menyatakan PT Asuransi Jiwasraya (Persero)
melakukan pelanggaran prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi sehingga
mengakibatkan kerugian negara Rp 13,7 triliun. Akibat kesalahan investasi,
penuntasan hukum akan menjadi langkah bijak dan menarik dikaji guna
menempatkan sifat kesalahan sesuai proporsi hukumnya. Dugaan korupsi kasus
Jiwasraya dalam pengelolaan dana investasi menjadi bagian penting yang dapat
ditelisik dan ditelusuri kebenaran hukumnya. Pemeriksaan kepada jajaran direksi
guna menemukan titik terang hukumnya, menjadi persoalan public bagaimana
menilai suatu nilai kerugian dalam hukum. Publik pun mempersoalkan peran
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dikatakan ‘kecolongan’ atas manajemen
investasi oleh Jiwasraya. OJK semestinya mampu mengawasi dan mencegah
kejadian atas ketidakmampuan Jiwasraya membayar klaim senilai Rp 802 miliar,
mengingat kewenangan OJK sebagai otoritas pengawas yang relatif luas.
Akhirnya produk investasi yang ditawarkan bergulir di ranah hukum seperti yang
kita saksikan.

5
Tanggung Jawab Hukum
Norma Pasal 11 UU No 40 tahun 2014 tentang Perasuransian tegas
menyatakan bahwa perusahaan asuransi wajib menerapkan tata kelola perusahaan
yang baik, yang tentunya dijalankan dengan itikad baik (te goeder trouw). Ketika
itu dijalankan sebaliknya, alias tidak baik dalam ukuran hukum,
pertanggungjawaban hukum mesti dijalankan. Dalam UU 40 tahun 2014, selain
direksi dan komisaris, pihak bernama ‘Pengendali’ yang diatur OJK, dapat turut
bertanggungjawab atas kerugian usaha asuransi sebagaimana diatur dalam norma
Pasal 15. Oleh karena pengendali turut menentukan direksi dan komisaris.
Keberhasilan tata kelola perusahaan Jiwasraya tidak bisa lepas dari pengawasan
OJK. Lain halnya jika pihak Jiwasraya memberikan laporan, informasi ataupun
data tidak benar kepada OJK, hingga menimbulkan kerugian usaha, direksi
maupun komisaris dapat bertanggungjawab menurut hokum seperti dimaksud
dalam Pasal 74 UU 40/2014. Ketika tata kelola usaha yang dijalankan
menimbulkan kerugian, hukum bisa menilai kerugian tidak melulu pada konteks
kerugian negara sepanjang direksi dapat membuktikannya. Karena usaha
Jiwasraya juga tunduk pada UU Perseroan Terbatas No 40 tahun 2007. Analisis
hukumnya bisa saja menggunakan prinsip business judgment rule yang
merupakan prinsip yang muncul dari sistem hukum anglo-saxon sebagai doktrin
hukum yang memberikan perlindungan terhadap direksi dalam menjalankan
perannya menjalankan usaha. Jika tidak, direksi cenderung bermain ‘aman’ dan
tidak berani mengambil keputusan jika memang dimaksudkan untuk tujuan
kemajuan dan kepentingan perusahaan. Ketika aturan main mengacu pada UU
Perseroan Terbatas, boleh jadi direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas
kerugian bila kerugian bukan karena kesalahannya serta telah bertindak dengan
itikad baik dan hati-hati sesuai maksud dan tujuan perseroan, tidak ada benturan
kepentingan, dan telah bertindak mencegah kerugian (Lihat Pasal 97 ayat 5
UUPT). Namun, norma tersebut seakan tidak berlaku ketika penegak hokum
menggunakan norma UU di luar UU Perseroan. Dan itu akan menjadi dilema
hukum dan persoalan ‘kepastian hukum’ bagi direksi. Begitulah hukum yang
mesti menjadi acuan dalam tiap kali kita menilai kasus setiap badan usaha
berbentuk perseroan.
Membahas keberadaan dan tanggung jawab direksi yang diberi kepercayaan
6
sesuai prinsip kepercayaan (fiduciary duty), ruang perlindungan hukum amat
diperlukan bagi direksi. Sebaliknya, jika aktivitas direksi dapat dibuktikan
menyimpang, mau tidak mau mesti diper tanggungjawabkan secara hukum.
Terlebih jika direksi melanggar UU Korupsi, maka patut dihukum karena sudah
merugikan banyak pihak dan merusak ekonomi bangsa. Bahwa direksi dibantu
oleh unit risk assessment dan investment assessment harus berpegang pada norma
Pasal 92 UU PT untuk menjalankan urusan Perseroan untuk kepentingan
Perseroan sesuai maksud dan tujuan Perseroan, adalah benar. Begitupun dengan
komisaris yang dibantu oleh Komite Audit dan Komite Risiko bertanggung jawab
melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, serta memberi nasihat kepada
direksi yang seharusnya semua mekanisme berjalan efektif sesuai rule yang ada.

Menilai Kerugian
Ketika bisnis (usaha) perseroan telah berjalan, kerugian maupun keuntungan
menjadi sisi yang melekat dan menyatu dalam usaha. Tidaklah tepat jika suatu
usaha perseroan mengharuskan keuntungan terus menerus. Juga tidak tepat jika
terjadi kerugian yang diderita dicap menjadi cela bagi pengurusnya. Analisis
keuntungan dan kerugian dari sisi akuntansi bisa dinilai sebagai bagian pencatatan
biasa dan lumrah dalam usaha. Pencatatan akuntansi jelas menyebutkan judul
‘Laporan Laba Rugi’. Artinya, suatu usaha bisa laba (untung) dan bisa juga rugi.
Kacamata penegak hukum mesti juga menilai dalam konteks demikian. Misalkan
PT ABC punya saham yang diperdagangkan di Bursa Efek yang saat dibeli
November 2018 senilai Rp 1,2 miliar. Kemudiaan pada 31 Desember 2018 harga
pasar Rp 1 miliar, maka ada penurunan nilai sebesar Rp 200 juta. Secara akuntansi
penurunan nilai tersebut diakui sebagai rugi, walaupun unrealized dan tercantum
pada laporan laba rugi perusahaan. Pencatatan dalam akuntansi tunduk pada
Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang bersifat universal. Keberadaan SAK
bukan merupakan undang-undang tetapi semacam generally accepted saja di
kalangan profesi akuntan. Kerugian secara akuntansi berapapun jumlahnya
belumlah dapat dikategorikan kerugian dalam makna kerugian yang berakibat
hukum pidana.
7 dalam akuntansi bisa dimaknai dua hal, pertama,
Oleh karena konsep kerugian
unrealized loss dan kedua, dimaknai realized loss. Laporan keuangan yang
menyatakan kerugian secara akuntansi dapat saja opini Akuntan Publik sebagai
Unqualified Opinion (Wajar Tanpa Pengecualian - WTP). Kalau begitu
pemahaman kerugian, mesti juga ditilik dalam pemahaman kerugian secara
akuntansi, guna mendapatkan makna kerugian yang tepat dan proporsional. Jika
itu yang dilakukan, proses hukum Jiwasraya mesti didudukkan dalam konteks
seperti penulis maksudkan.

Kesimpulan
Mengingat PT Asuransi Jiwasraya sebagai BUMN Persero yang bergerak di
bidang perasuransian, maka terikat dengan UU PT, UU BUMN dan UU
Perasuransian. Jika semua organ yang terkait menjalankan fungsinya secara benar
dan efektif sesuai rule yang seharusnya tentu masalah tidak akan seberat seper ti
sekarang. Akhirnya timbul pertanyaan di kalangan publik bagaimana efektivitas
organ pengawasan yang ada selama ini, termasuk lembaga pengawasan seperti
OJK sebagai otoritas yang mandiri dan juga Kementerian BUMN. Dengan menilai
analisis awal atas persoalan hukum Jiwasraya, kiranya publik bisa memahami
bahwa persoalan kerugian suatu usaha tidak melulu mesti dipahami dalam konteks
hukum tetapi mesti dipahami juga dalam konteks akuntansi, agar keadilan dan
kepastian hukum dapat dipahami bersama secara proporsional sekaligus sebagai
pembelajaran bagi semua pihak.

8
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Upaya penegakan hukum dalam meningkatkan kesadaran dan pemahaman
hukum bagi masyarakat khususnya dalam pemberantasan korupsi yakni, tindakan
represif. Pendekatan represif berupa penindakan dan penanganan terhadap terjadinya
tindak pidana korupsi dilakukan secara profesional dan proporsional. Upaya
Preventif, berupa sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan, yang mengedepankan pada
aspek keseimbangan kepentingan dan pemulihan keadaan yang diakibatkan adanya
pelanggaran hukum.

B. Saran
Bertolak dari berbagai realitas korupsi yang terjadi dan trends
perkembangannya, maka setidaknya hal-hal yang perlu menjadi bahan renungan dan
pemikiran dalam rangka meningkatkan kesadaran hukum dan pemahaman hukum
bagi masyarakat khususnya dalam pencegahan, pemberantasan dan penegakan hukum
korupsi ke depan. Tindak pidana korupsi yang terjadi baik di pusat maupun daerah
akan memberikan andil bagi Indeks Persepsi Korupsi (IPK) secara nasional dan
mempunyai dampak bagi negara Indonesia dimata internasional, oleh karena itu mari
kita berantas korupsi mulai dari diri sendiri, dari hal-hal yang kecil dan mulai hari ini
sehingga negara kita menjadi bebas korupsi. Demikian pokok-pokok pemikiran dalam
pemberantasan dan penegakan hukum sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan
kesadaran dan pemahaman hukum bagi masyarakat, khususnya dalam pemberantasan
korupsi di Indonesia.

9
DAFTAR PUSTAKA

 file:///C:/Users/user/Downloads/5380-10408-1-SM.pdf
 Efendy, Marwan,dkk. 2018. Strategi Upaya Pembernatasan Korupsi Melalui Tindakan
Refresif.https://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?
idu=28&idsu=39&idke=0&hal=1&id=1405&bc= (diakses 16 Maret 2021)
 Pusat Budaya Antikorupsi. 2021. 3 strategi pemberantasan korupsi.
https://aclc.kpk.go.id/materi/berpikir-kritis-terhadap-korupsi/infografis/3-strategi-
pemberantasan-korupsi (diakses 16 Maret 2021)
 Ilya, Wirawan B. Januari.3.2020. menilai kasus hukum Jiwarasya.
https://investor.id/opinion/menilai-kasus-hukum-jiwasraya (diakses 16 Maret 2021)

10

Anda mungkin juga menyukai