Disusun Oleh:
Analisis Struktur
13. Sulam Penjudi dan Antagonis Bukti bahwa Sulam penjudi dan
berandal, berandal “ Dia juga kenal siapa
sombong Sulam adanya; anak seorang
lurah kaya dari seberang
kampung. Meski sangat muda,
Sulam dikenal sebagai penjudi
dan berandal.” (Tohari,Ahmad,
2008:42)
Bukti bahwa Sulam sombong “
Sebuah pertanyaan yang
menghina, kecuali engkau
belum mengenalku. Tentu saja
aku membawa sebuah ringgit
emas. Bukan rupiah perak,
apalagi kerbau seperti anak
pecikalan ini.” (Tohari,Ahmad,
2008:42)
Dalam novel ini, banyak terdapat unsur kebudayaan seperti: menari, menyanyi
sambil nyawer, memberikan sesaji kepada nenek moyang.
Demikian, sore itu Srintil menari dengan mata setengah tertutup, jari tangannya
melentik kenes.
Pandangan pengarang : Srintil yang menari dengan lemah gemulai dan memberi
keindahan pada tariannya.
Dalam novel ini, unsur sosial kemasyarakatan lebih cenderung ke arah ronggeng.
Karena segala sesuatu yang berhubungan dengan hubungan antar manusia lebih
diutamakan untuk ronggeng karena bagi mereka, adanya sosok ronggeng merupakan
kebanggaan tersendiri di Dukuh Paruk.
Unsur ini kemungkinan besar mengangkat tentang kenyataan hidup yang pernah
terekam dibenak pengarang, yang terjadi saat pengkhianatan PKI. Tumbuhnya
kesadaran setiap orang Indonesia terhadap nilai-nilai kemanusiaan masih menjadi
persoalan yang penting dalam perjalanan sejarah bangsanya. Banyak orang yang
menyuarakan tentang demokrasi dan hak asasi manusia , itu merupakan bukti bahwa
masalah kemanusiaan sangat sering terusik/ terjadi. Gambaran nyata terdapat dinovel
ini yang terwakili oleh sosok Srintil, Rasus dll, yang berbicara tentang pentingnya
kesadaran terhadap masalah kemanusiaan.
Dalam novel ini, unsur keagamaan tidak terlalu diperlihatkan karema warga Dukuh
Paruk lebih mempercayai adanya nenek moyang dan hal-hal animisme lainnya.
Nilai yang terkandung dalam novel Ronggeng Dukuh Paruh yaitu nilai yang dapat
memberikan atau mengandung hubungan yang mendalam dengan suatu masyatrakat,
peradaban, atau kebudayaan. Hal ini secara eksplisit disampaikan pengarang
sebagaimana tampak pada kutipan berikut.
Orang-orang yang sudah berkumpul hendak melihat Srintil menari mulai gelisah.
Mereka sudah begitu rindu akan suara calung. Belasan tahun lamanya mereka tidak
melihat pagelaran ronggeng. (kutipan novel Ronggeng Dukuh Paruk)
Kutipan di atas menggambarkan bahwa Dukuh Paruk begitu erat dengan budaya
pertunjukkan ronggeng. Adanya ronggeng merupakan pemersatu masyarakat yang ada
di Dukuh Paruk. Nilai budaya yang terdapat dalam novel juga sangat erat dengan adat
yang ada di Dukuh paruk.
Sedangkan moral yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruh yaitu moral
yang didapat dari ajaran pelbagai ajaran adat yang menguasai peputaran manusia atau
disebut moral terapan. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut.
Di belakangku Dukuh Paruh diam membisu. Namun segalanya masih utuh di sana:
keramat Ki Secamenggala, kemelaratan, sumpah serapah, irama calung, dan seorang
ronggeng. (kutipan novel Ronggeng Dukuh Paruk)
Sesungguhnya aku tidak berharap, sesuatu akan menimpa Dukuh Paruk. Betapapun
dia adalah tanah airku yang kecil. Tetapi pada malam kesembilan, ketika cahaya
bintang mampu menerangi pedukuhan itu, dari tempat pengintaian kulihat sinar lampu
senter mendekat. Kubuka mataku lebar-lebar. Empat lima orang sedang berjalan
beriring di atas pematang. Sinar bintang-bintang memungkinkan mataku melihat
kelima orang itu masing-masing membawa benda panjang. Tak salah lagi, bedil.
Unsur ini merupakan unsur yang paling utama terlintas dari benak pengarang,
karena pengarang merasa sangat prihatin terhadap kesewenang-wenangan kekuasaan
yang telah menindas orang-orang kecil yang kebanyakan dari mereka tidak tahu
menahu mengenai berbagai persoalan tentang politik, khususnya persoalan mengenai
pengkhianatan yang dilakukan oleh PKI yang terjadi di akhir September 1965.
a. Majas Personifikasi
Personifiksi adalah majas kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-
barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan.
1. Dukuh Paruk masih diam membisu meskipun beberapa jenis satwanya sudah terjaga.
Tohari melukiskan proses datangnya pagi hari menjelang cahaya matahari terbit dari
timur di Dukuh Paruk. Dukuh Paruk dilukiskan pada suasana pagi yang masih sepi dan
belum ada aktifitas manusia.
2. Tetes-tetes embun jatuh menimbulkan suara desahan desahan musik yang serempak.
Suasana pagi tampak di segala pepohonan terdapat embun yang secara bergantian
menetes, dengan demikian menimbulkan suara-suara bagai musik yang serempak.
Tohari menggambarkan kehidupan Dukuh Paruk yang masih alami sama sekali belum
tersetuh teknologi modern, setiap pagi hanya dihiasi, dihibur oleh suara musik dari tetes-
tetes embun yang berjatuhan dari atas pohon.
3. Dalam kerimbunan daun-daunnya sedang dipagelarkan merdunya harmoni alam yang
melantumkan kesyahduan.
Tohari menggambarkan sebuah pohon dengan daunnya yang tampak subur, rimbun,
segar sehingga terlihat indah dan asri serta selaras dengan alam.
4. Dukuh Paruk kembali menjatuhkan pundak-pundak yang berat, kembali bersimbah air
mata.
Di kutipan diatas kita mengetahui bahwa Dukuh Paruk hanyalah sebuah desa yang tidak
bisa menjatuhkan sebuah punggung.
b. Majas Simile
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada novel yang berjudul Ronggeng Dukuh
Paruk ditemukan penggunaan gaya bahasa perbandingan/simile. Kalimat yang
menggunakan gaya bahasa simile, yaitu:
1. Di bagian langit lain, seekor burung pipit sedang berusaha mempertahankan nyawanya.
Dia terbang bagai batu lepas dari ketapel sambil menjerit-jerit sejadinya.
2. Biji dadap yang telah tua menggunakan kulit polongnya untuk terbang sebagai baling-
baling. Bila angin berembus tampak seperti ratusan kupu terbang menuruti arah angin
meninggalkan poho dadap.
4. Ibarat meniti sebuah titian panjang berbahaya, aku hanya bisa menceritakannya kembali,
mengulas serta merekamnya setelah aku sampai di seberang.
5. Emak sudah mati, ketika hidup ia secantik Srintil, tampilan emak bagai citra perempuan
sejati.
6. Dengar, pak. Serintil masih segar seperti kecambah. sambung nyai kartareja sambil
menyentuh dada marsusi dengan lembut.
7. Arif seperti sepasang perkutut itu adalah Wirsiter dan Ciplak, istrinya.
11. Dia menari seperti mengapung di udara; lincah dan bebas lepas. Kadang seperti burung
beranjangan, berdiri di atas satu titik meski sayap dan paruhnya terus bergetar. Kadang
seperti bangau yang melayang meniti arus angin.
13. Di hadapan mereka Dukuh Paruk kelihatan remang seperti seekor kerbau besar sedang
lelap
14. Kadang suara Srintil penuh semangat, garakannya cekatan, seperti seorang ibu yang
sedang mengajari anaknya berjalan.
15. Padahal sejak semula Rasus mengerti pekerjaan semacam itu ibarat mendongkel sejarah
dengan sebatang lidi.
16. Bila ternyata dirinya masih mewujud, pikir Srintil, itu karena aib adalah salah satu faset
kehidupan dan dia harus mewujud disana. Seperti tinja yang harus ada di dalam usus
manusia.
17. Dukuh Paruk merambat perlahan seperti akar ilalang menyusuri cadas.
18. Dan bila ditiup menentang arus angin, suara puput jadi muncul tenggelam seperti bulan
hilang-tampak di balik awan.
20. Namun setiap kali diurungkannya; batu-batu di atas jalan pegunungan itu bergerak
seperti mata gergaji besar yang akan menggorok apa saja yang jatuh ke permukaannya.
21. Dari jauh udara di permukaan tanah kelihatan berbinar seperti riak-riak panas pada
telaga yang mendidih.
22. Malam hari berlatar langit kemarau, langit seperti akan menelan segalanya kecuali apa-
apa yang bercahaya.
c. Majas Metafora
Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung tetapi
dalam bentuk yang singkat.
1. Di pelataran yang membantu di bawah pohon nangka ketika angin tenggara bertiup
dingin menyapu harum bunga kopi yang selalu mekar di musim kemarau
Maknanya:
Melukiskan keadaan dukuh paruk yang masih asri, ketika malam hari pada musim
kemarau angin terasa dingin.
2. Mereka pantas berkejaran, bermain dan bertembang. Mereka sebaiknya tahu masa
kanak-kanak adalah surga yang hanya sekali datang.
Maknanya:
Melukiskan keindahan dunia anak-anak di dukuh kecil yang serba gembira, bebas
bermain dan belum memiliki tanggung jawab. Dunia anak-anak merupakan fase
kehidupan yang indah dan tidak mungkin terulang kembali pada kehidupan seseorang.
3. Wirsiter bersama istrinya pergi ke sana kemari menjajakan musik yang memanjakan
rasa, yang sendu, dan yang melankolik. Musiknya tidak membuat orang bangkit
berjoget, melainkan membuat pendengarnya mengangguk angguk menatap ke dalam diri
atau terbang mengapung bersama khayalan sentimental.
Maknanya:
Musik tradisional siter yang kini sudah langka dalam masyarakat, yang dimainkan oleh
sepasang suami istri, Wirsiter dan Ciplak. Tohari menempatkan musik yang
memanjakan rasa, membuat pendengarnya masuk ke alam khayalan sentimental. Di
sinilah Tohari membuat pesan tersirat bahwa musik siter adalah budaya kuno yang harus
dilestarikan jangan sampai dilupakan.
d. Majas Metonimia
Majas metonimia adalah majas yang memakai nama ciri atau nama hal yang ditautkan
dengan orang, barang atau hal sebagai penggantinya, kita dapat menyebut pencipta atau
pembuatnya jika yang kita maksudkan ciptaan atau buatannya ataupun kita menyebut
bahannya jika yang kita maksudkan barangnya.
1. Di sana di dalam kurung klambu yang tampak dari tempatku berdiri, akan terjadi
pemusnahan mustika yang selama ini amat kuhargai
Kata mustika pada kutipan di atas artinya sebuah keperawanan seorang gadis.
2. Pelita kecil dalam kamar itu melengkapi citra punahnya kemanusiaan pada diri bekas
mahkota Dukuh Paruk itu
Kata Citra pada kutipan di atas adalah gambaran kepribadian dari seorang ronggeng
yaitu tokoh srintil, citra tersebut telah hilang karena suatu deraan, cobaan hingga
muncullah kegoncangan jiwa pada srintil yang semula mendapat sebutan seorang
mahkota Dukuh Paruk.
e. Majas Hiperbola
Majas hiperbola adalah majas yang mengungkapkan sesuatu pernyataan yang berlebihan
dengan membesar besarkan suatu hal.
1. Ini cukup untuk kukatakan bahwa yang terjadi pada dirinya seribu kali lebih hebat
daripada kematian karena kematian itu sendiri adalah anak kandung kehidupan manusia.
2. Aku bisa mendengar semua bisik hati yang paling lirih sekalipun.
3. Aku dapat melihat mutiara-mutiara jiwa dalam lubuk yang paling pingit
4. Kedua unggas kecil itu telah melayang berates-ratus bahkan beribu-ribu kilometer
mencari genangan air.
5. Dalam pemukiman yang sempit, hitam, gelap, gulita, pekat, terpencil itu lengang sekali,
amat sangat lengang.
6. Aku membiarkan Dukuh Paruk tetap cabul, kere, bodoh, dungu dan sumpah serapah.
7. Srintil meratap, meronta, menangis, melolong lolong di kamarnya yang persis bui.
8. Langit dan matahari menyaksikan luka pada lutut dan mata kaki yang bertambah parah
serta darahnya mengalir lebih banyak, menetes netes menggenangi batu batu.
f. Majas Sinekdoke
Majas sinekdoke adalah majas yang mempergunakan sebagian dari suatu hal yang
menyatakan keseluruhan (pars prototo) atau mempergunakan keseluruhan untuk
menyatakan sebagian (totem pro parte).
1. Celoteh di sudut pasar itu berhenti karena kehabisan bahan.
Penggambaran majas sinekdoke terdapat pada kata di sudut pasar padahal yang
dimaksudkan tidak hanya sudut pasar tetapi seluruh wilayah pasar, ungkapan ini
termasuk majas sinekdoke totem pro parte.
2. Sampean hanya memikirkan diri sendiri dan tidak mau mengerti urusan perut orang.
Majas sinekdoke pada kutipan tersebut terdapat pada kata perut orang yang maksud
sebenarnya adalah seluruh jiwa raga manusia.
3. Dua ekor anak kambing melompat lompat dalam gerakan amat lucu.
Majas sinekdoke pada kutipan tersebut terdapat pada kata dua ekor anak kambing
padahal yang sebenarnya adalah seluruh jiwa raga kambing bukan hanya ekornya.