Anda di halaman 1dari 20

MENIKMATI NOVEL

Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk

“Catatan Buat Emak”


AHMAD TOHARI

Daniel Pratama S
Giovanni Caesar M
Lintang Nursetiani
Nayla Lanjarni S
Rizki Fauzi
XII – MIPA 7

SMA Negeri 3 Depok


Jalan Raden Saleh Nomor 45, Sukmajaya, Depok
Tahun Pelajaran 2018/2019
A. Pertanyaan prabaca :
1. Apa yang diceritakan dalam novel “Ronggeng Dukuh Paruk”?
2. Bagaimana cara pengarang menggambarkan watak tokoh dalam cerita tersebut?
3. Kapan peristiwa-peristiwa dalam cerita novel tersebut terjadi?
4. Mengapa novel ini diberi judul “Ronggeng Dukuh Paruk?
5. Siapa saja tokoh yang berperan dalam cerita novel tersebut?
6. Berapa tokoh yang berperan dalam cerita novel tersebut?

B. Sinopsis
Sudah sebelas tahun Dukuh Paruk tidak memiliki ronggeng. Padahal tanpa ronggeng dukuh
itu serasa lesu. Malapetaka keracunan tempe bongkrek sebelas tahun yang lalu menjadi
penyebab mendegnya pertunjukkan ronggeng tersebut. Dalam suasana seperti itu, Srintil gadis
sebelas tahun tampil sebagai ronggeng baru. Indang ronggeng telah merasuki tubuh Srintil
dan membuat Srintil menjadi seorang ronggeng sejati. Untuk mengesahkan hal itu, seorang
ronggeng harus melalui sayembara bukak kelambu. Dalam sayembara bukak kelambu, lelaki
yang membayar paling mahallah yang berhak mendapatkan keperawanan Srintil. Dower yang
memenangkan sayembara tersebut. Namun karena kelicikkan Srintil, Rasus teman
sepermainan dan orang yang benar-benar Srintil cintailah yang melakukan malam bukak
kelambu dengan Srintil. Walaupun ia telah mendapatkan keperawanaan Srintil, Rasus tetap
kecewa dan merasakan kehilangan dengan dinobatkannya Srintil sebagai ronggeng. Karena
apabila Srintil menjadi ronggeng maka Rasus tidak akan bisa lagi bermain dengan Srintil
sekaligus kehilangan sosok emaknya yang ada dalam diri Srintil. Bagi Rasus, menjadi
ronggeng berarti harus bersedia melayani semua orang yang menginginkannya.

Meskipun baru berusia sebelas tahun, mimik penagih birahi yang selalu ditampilkan oleh
seorang ronggeng yang sebenarnya, juga sangat baik dibawakan oleh Srintil. Srintil
melakukan semuanya dengan kesadaran penuh serta kebanggaan seorang perempuan
menaklukkan banyak lelaki hanya dengan sampur dan kerlingan nakalnya. Tak ada yang tabu
bagi seorang ronggeng secantik dirinya melakoni semua itu. Orang-orang di dukuh Paruk
bangga memilikinya, ronggeng cantik dan terkenal. Tak ada kecemburuan para istri, justru
kebanggan bila suami mereka bisa tidur bersama Srintil. Tampilnya Srintil pun mengidupkan
kembali dukuh itu.

Setelah kejadian itu Rasus pergi menghilang meninggalkan Dukuh Paruk. Sekian lama ia
membantu berjualan singkong di pasar kecamatan dan bertemulah ia dengan sersan Slamet.
Rasus pun dipilih untuk menjadi pembantu tentara. Walaupun Rasus kecewa dengan Srintil
dan tanah kelahirannya, ia tetap merasa terpanggil untuk melindungi tanah leluhur dan
warganya. Maka pada saat perampokan di rumah Nyai Kertareja yang merupakan nenek
Srintil, Rasus ikut mengambil peran dalam penumpasan para perampok dan berhasil
menyelamatkan Srintil. Setelah kejadian tersebut Rasus tinggal beberapa hari di Dukuh Paruk,
dan Srintil pun merasa senang karena sudah sangat lama tidak berjumpa dengan Rasus.
Selama kembalinya Rasus di Dukuh Paruk, Srintil melayani segala kebutuhan Rasus layaknya
seorang istri melayani suaminya. Namun pada suatu pagi, Rasus bertekad untuk tetap
meninggalkan Dukuh Paruk dan kembali bergabung dengan kelompok tentara untuk
mengayomi masyarakat
C. Unsur Instrinsik
1. Tokoh dan Penokohan
a) Rasus : Bersahabat, penyayang, pendendam, dan pemberani.
 Bukti bahwa Rasus bersahabat “Di tepi kampung, tiga orang anak laki-laki
sedang bersusah payah mencabut sebatang singkong.” (Tohari,Ahmad, 2008:4)
 Bukti bahwa Rasus penyayang “Suatu saat ku bayangkan emak ingin pulang
ke Dukuh Paruk.” (Tohari,Ahmad, 2008:49)
 Bukti bahwa Rasus pendendam “Nenek menjadi korban balas dendamku
terhadap Dukuh Paruk” (Tohari,Ahmad, 2008:47)
 Bukti bahwa Rasus pemberani “Aku mengutuk sengit mengapa kopral Pujo
belum juga muncul. Karena tidak sabar menunggu, maka timbul keberanianku”
(Tohari,Ahmad, 2008:61)
b) Srintil : Bersahabat, seorang ronggeng, agresif, dan dewasa.
 Bukti bahwa Srintil bersahabat “Sebelum berlari pulang. Srintil minta jaminan
besok hari Rasus dan dua orang temannya akan bersedia kembali bermain
bersama.” (Tohari,Ahmad, 2008:4)
 Bukti bahwa Srintil seorang Ronggeng “Srintil mulai menari. Matanya
setengah terpeja. Sakarya yang berdiri di samping Kartsreja memperhatikan
ulah cucunya dengan seksama. Dia ingin membuktikan bahwa dalam tubuh
Srintil telah bersemayam indang ronggeng.” (Tohari,Ahmad, 2008:10)
 Bukti bahwa Srintil agresif “Aku tak bergerak sedikit pun ketika Srintil
merangkulku, menciumiku. Nafasnya terdengar begitu cepat.” (Tohari,Ahmad,
2008:38)
 Bukti bahwa Srintil dewasa “Dia tidak mengharapkan uang. Bahkan suatu
ketika dia mulai berceloteh tentang bayi, tentang perkawinan.” (Tohari,Ahmad,
2008:53)
c) Darsun : Bersahabat.
 Bukti bahwa Darsun bersahabat “Di tepi kampung, tiga orang anak laki-laki
sedang bersusah payah mencabut sebatang singkong.” (Tohari,Ahmad, 2008:4)
d) Warta : Bersahabat, perhatian dan penghibur.
 Bukti bahwa Warta bersahabat “Di tepi kampung, tiga orang anak laki-laki
sedang bersusah payah mencabut sebatang singkong.” (Tohari,Ahmad, 2008:4)
 Bukti bahwa Warta perhatian dan penghibur “Rasus, kau boleh sakit hati. Kau
boleh cemburu. Tetapi selagi kau tak mempunyai sebuah ringgit emas,
semuanya menjadi sia-sia.” (Tohari,Ahmad, 2008:37)
 Bukti bahwa Warta penghibur “Tidak apa-apa Warta. Percayalah sahabatku,
tak ada yang salah pada diriku. Aku terharu. Suaramu memang bisa membuat
siapa pun merasa begitu terharu.” (Tohari,Ahmad, 2008:37)
e) Sakarya (Kakek Srintil) : Penyayang dan tega.
 Bukti bahwa Sakarya penyayang “Dibawah lampu minyak yang bersinar redup.
Sakarya, kamitua di pedukuhan kecil itu masih merenungi ulah cucunya sore
tadi.” (Tohari,Ahmad, 2008:8)
 Bukti bahwa Sakarya tega “Jangkrik!” sahutku dalam hati. “Kamu si tua
bangka dengan cara memperdagangkan Srintil.” (Tohari,Ahmad, 2008:63)
f) Ki Secamenggala (Nenek moyang asal Dukuh Paruk) : Berandal.
 Buktinya adalah “Hanya Sakarya yang cepat tanggap. Kakek Srintil itu percaya
penuh Roh Ki Secamenggala telah memasuki tubuh Kartareja”
(Tohari,Ahmad, 2008:27)
 Bukti bahwa Ki Secamenggala berandal “Konon, moyang semua orang Dukuh
Paruh adalah Ki Secamenggala, seorang bromocorah yang sengaja mencari
daerah paling sunyi sebagai tempat menghabiskan riwayat keberandalanya.”
(Tohari,Ahmad, 2018:10)
g) Kartareja dan Nyai Kartareja : Mistis.
 Bukti bahwa Kartareja dan Nyai Karateja mistis “Satu hal disembunykan oleh
Nyai Kartareja terhadap siapa pun. Itu ketika dia meniuokan mantra pekasih ke
ubun-ubun Srintil.” (Tohari,Ahmad, 2008:9)
h) Sakum : Hebat.
 Bukti bahwa Sakum hebat “Sakum, dengan mata buta mampu mengikuti secata
seksama pagelaran ronggeng.” (Tohari,Ahmad, 2008:9)
i) Nenek Rasus : Linglung.
 Bukti bahwa Nenek Rasus pikun “Ah, semakin tua nenekku. Kurus dan makin
bungkuk. Kasian, Nenek tidak bisa banyak bertanya kepadaku. Linglung dia.”
(Tohari,Ahmad, 2008:62)
j) Santayib (Ayah Srintil) : Bertanggungjawab dan keras kepala.
 Bukti bahwa Santayib bertanggungjawab “ Meski Santayiborang yang paling
akhir pergi tidur, namun dia pulalah pertama kali terjaga di Dukuh Paruk”
(Tohari,Ahmad, 2008:12)
 Bukti bahwa Santayib keras kepala “Kalian, orang Dukuh Paruk. Buka
matamu, ini Santayib! Aku telah menelan seraup tempe bongrek yang kalian
katakan beracun. Dasar kalian semua, asu buntung! Aku tetap segar bugar
meski perutku penuh tempe bingrek. Kalian mau mampus, mampuslah! Jangan
katakan tempeku mengandung racun” (Tohari,Ahmad, 2008:15)
k) Istri Santayib : Keibuan dan prihatin.
 Bukti bahwa Istri Santayib keibuan “ Srintil bayi yang tahu diri. Rupanya dia
tahu aku harus melayani sampean setiap pagi.” (Tohari,Ahmad, 2008:12)
 Bukti bahwa Istri Santayib prihatin “Srintil kang. Bersama siapakah nanti anak
kita, kang?” (Tohari,Ahmad, 2008:16)
l) Dower : Mengusahakan segala macam cara.
 Bukti bahwa Dower mengusahakan “Pada saja baru ada dua buah perak. Saya
bermaksud menyerahkannya kepadamu sebagai panjar. Masih ada waktu satu
hari lagi. Barangkali besok bisa kuperoleh seringgit emas.” (Tohari,Ahmad,
2008:34) dan “Aku datang lagi kek. Meski bukan sekeping ringgit emas yang
kubawa, kuharap engkau mau menerimanya.” (Tohari,Ahmad, 2008:41)
m) Sulam : Sombong, penjudi dan berandal.
 Bukti bahwa Sulam sombong “Sebuah pertanyaan yang menghina, kecuali
engkau belum mengenalku. Tentu saja aku membawa sebuah ringgit emas.
Bukan rupiah perak, apalagi kerbau seperti anak pecikalan ini.”
(Tohari,Ahmad, 2008:42)
 Bukti bahwa Sulam penjudi dan berandal “Dia juga kenal siapa Sulam adanya,
anak seorang lurah kaya dari seberang kampung. Meski sangat muda, Sulam
dikenal sebagai penjudi dan berandal.” (Tohari,Ahmad, 2008:42)
n) Siti : Alim.
 Bukti bahwa Siti alim “Hw, jangan samakan Siti dengan gadis-gadis di Dukuh
Paruk. Dia marah karena kau memperlakukannya secara tidak senonoh.” (Siti
meleparkan singkong ke arah Rasus) (Tohari,Ahmad, 2008:50)
o) Sersan Slamet : Penyuruh dan tegas.
 Bukti bahwa Sersan Slamet penyuruh “Pekerjaan dimulai. Peti-peti logam serta
barang lainnya diangkat ke atas pundak dan kubawa ke sebuah rumah”
(Tohari,Ahmad, 2008:54)
 Bukti bahwa Sersan Slamet tegas “Katakan ya! Kami tentara. Kami
memerlukan ketegasan dalam setiap sikap,” kata Sersan Slamet tegas
(Tohari,Ahmad, 2008:55)
p) Kopral Pujo : Penakut.
 Bukti bahwa Kopral Pujo penakut “Mengecewakan. Ternyata Kopral Pujo
tidak lebih berani daripada aku.” (Tohari,Ahmad, 2008:60)

Tema dalam novel “Ronggeng Dukuh Paruk” yaitu “Kasih Tak Sampai”. Mengapa “Kasih Tak
Sampai”? karena cerita dalam novel tersebut bercerita tentang harapan ronggeng Srintil untuk
dapat hidup bersama dengan lelaki yang sangat dicintai dan didambakan sejak kecil, karena dia
memang teman bermainnya, yaitu Rasus. Namun Rasus tidak mau menerima ajakan Srintil untuk
menikah, karena bagi Rasus, Ronggeng adalah milik masyarakat, milik orang banyak, dan milik
semua orang. Maka Rasus merasa akan sangat egois jika harus menikahi Srintil. Meskipun
sebenarnya hati Rasus sangat sakit ketika harus mengatakan hal itu kepada Srintil. Srintilpun
sebenarnya tahu perasaan Rasus, bahwa dia masih sangat mencintainya. Namun Rasus tidak mau
mengakuinya dan lebih memilih pergi meninggalkan Srintil, neneknya yang sudah tua, dan Dukuh
Paruk.

2. Alur

Novel ini menggunakan alur campuran. Di awal-awal cerita, alurnya maju. Di tengah-
tengah cerita, alurnya mundur yaitu saat flashback ke masa lalu. Kemudian alur cerita
kembali maju.

Bukti alur mundurnya : “Orang-orang Dukuh Paruk pulang kerumah masing-masing.


Mereka, baik lelaki maupun perempuan, membawa kenangan yang dalam. Malam itu
kenangan atas Srintil meliputi semua orang Dukuh Paruk. Penampilan Srintil malam itu
mengingatkan kembali bencana yang menimpa Dukuh Paruk sebelas tahun yang lalu.
Sebelas tahun yang lalu ketika Srintil masih bayi, Dukuh Paruk yang kecil basah kuyup
tersiram hujab lebat….”

3. Latar
a) Latar tempat :
 Dukuh Paruk. “Dua puluh tiga rumah berada di pedukuhan itu, dihuni oleh
orang-orang seketurunan”
 Kebun. “Ditepi kampung, tiga anak sedang bersusah payah mencabut sebatang
singkong. Yakni Rasus, Darsun dan Warta.”
 Dibawah pohon nangka. “Dipelataran yang membatu dibawah pohon nangka,
Srintil menari dan bertembang. Gendang, gong dan calung mulut
mengiringinya”
 Rumah Nyai Kartareja. “Di dalam rumah. Nyai Kartareja sedang merias Srintil.
Tubuhnya yang kecil dan masih lurus tertutup kain sampai ke dada.”
 Perkuburan. “Rombongan bergerak menuju perkuburan dukuh paruk. Kartareja
berjalan paling depan membawa pedupan….”
 Pasar Dawuan. “Perkenalanku dengan pedagang singkong di pasar
memungkinkan aku mendapat upah”
 Markas tentara. “Pada hari pertama menjadi tobang, banyak hal baru yang
kurasakan”
 Hutan. “Sampai di hutan, perburuan langsung dimulai. Dalam hal ini aku
kecewa karena tiga orang tentara yang kuiringkan sama sekali tak
berpengalaman dalam hal berburu”
 Rumah Sakarya. ”Kulihat dua orang perampok tetap tinggal di luar rumah, satu
dibelakang dan lainya dihalaman. Sakarya yang terkejut langsung mengerti”.
 Rumah nenek. “Selagi orang-orang Dukuh Paruk mengerumuni rumah
Kartareja, aku duduk berdekatan dengan Srintil di beranda rumah neneku
sendiri”
b) Latar waktu :
 Sore hari “ ketiganya patuh. Ceria dibawah pohon nangka itu sampai matahari
menyentuh garis cakrawala.” (Tohari,Ahmad, 2008:7)
 Malam hari “ jadi pada malam yang bening itu, tak ada anak Dukuh Paruk yang
keluar halaman...” (Tohari,Ahmad, 2008:7)
 Pagi hari “ menjelang fajar tiba, kudengar burung sikakat mencecet si rumpun
aur di belakang rumah.” (Tohari,Ahmad, 2008:63)
c) Latar Suasana :
 Tenang, tentram
“Sakarya merasa hawa dingin bertiup di kuduknya. Suara hiruk-pikuk
bergalau dalam telinga. Dan tiba-tiba Sakarya terkejut oleh sinar
menyilaukan yang masuk matanya. Matahari pagi muncul di balik awan.
“Ah, boleh jadi benar, kematianku sudah dekat,” gumam Sakarya. Aneh,
Sakarya merasakan ketentraman dalam hati setelah bergumam demikian.”
 Gembira, bangga, bahagia
“Kegembiraan itu lahir dan berkembang dari Dukuh Paruk. Berita cepat
tersiar bahwa pada malam perayaan Agustusan nanti Srintil akan kembali
meronggeng. Kurang dua hari lagi, tetapi sudah banyak orang bersiap-siap.
Anak-anak mulai bertanya tentang uang jajan kepada orangtua mereka. Para
pedagang, dari pedagang toko sampai pedagang pecel bersiap dengan modal
tambahan. Juga tukang lotre putar yang selalu menggunakan kesempatan
ketika banyak orang berhimpun.”
 Tegang dan genting
“Kenapa Jenganten?”

“Pusing, Nyai, pusing! Oh, hk. Napasku sesak. Dadaku sesak!”

Nyai Kartareja merangkul Srintil. Dia langsung mengerti masalahnya


genting karena Srintil tidak lagi menguasai berat badannya sendiri.

4. Tokoh dan Penokohan

5. Gaya Bahasa

Gaya Bahasa yang terlihat dalam novel ini kadang membingungkan, karena terdapat bahasa jawa
dan mantra-mantra jawa.

Misalnya :

Uluk-uluk perkutut manggung

Teka saka negndi,

Teka saba tanah sabrang

Pakanmu apa

Pakanku madu tawon

Manis madu tawon,

Ora manis kaya putuku, Srintil

6. Sudut Pandang

Sudut pandang yang digunakan oleh Pengarang dalam penulisan novel “Ronggeng Dukuh Paruk”
ini adalah menggunakan sudut pandang orang pertama sebagai pelaku utama seperti adanya kata
“aku” dan sudut pandang pengganti orang ketiga baik dalam cerita maupun diluar cerita. Bukti
pengarang menggunakan kata ganti orang ketiga adalah seperti adanya kata “ dia dan –nya” dan
menyebutkan nama tokoh secara langsung.

7. Amanat

Amanat atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca melalui novel
“Ronggeng Dukuh Paruk” ini adalah: agar kita semua mau dan mampu melihat seseorang itu tidak
hanya dari luarnya saja melainkan juga dari hatinya. Dan agar kita mau berpikir mengenai tragedi-
tragedi kemanusiaan yang terjadi disekeliling kita. Pesan lain mungkin juga seperti jangan menyia-
nyiakan orang yang telah sepenuh hati mencintai kita, karena belum tentu suatu saat nanti kita
dapat menemukan orang yang mencintai kita seperti itu.

Dan adat bagaimanapun tetap harus berlaku dalam kehidupan yang meyakininya, karena jika
memang suatu daerah mempercayai adat yang berlaku, maka harus dijalankan dengan sebaik-
baiknya. Karena pada setiap keyakinan pasti ada suatu hal yang akan terjadi jika suatu adat
kebiasaan tidak dilaksanakan. Serta jangan gampang terpengaruh dengan keadaan duniawi karena
suatu saat penyesalan akan datang dalam hidupmu, segala sesuatu akan kembali kepadaNya.
Kehidupan fana dalam hura-hura dunia dapat mencekam masa depanmu!

2. Unsur Ekstrinsik

a. Keagamaan (relegius)

Dalam novel ini, unsur keagamaan tidak terlalu diperlihatkan karena warga Dukuh Paruk lebih
mempercayai adanya nenek moyang dan hal-hal animisme lainnya

b. Kebudayaan

Dalam novel ini, banyak terdapat unsur kebudayaan seperti: menari, menyanyi sambil nyawer,
memberikan sesaji kepada nenek moyang

c. Sosial

Dalam novel ini, unsur sosial kemasyarakatan lebih cenderung ke arah ronggeng. Karena segala
sesuatu yang berhubungan dengan hubungan antar manusia lebih diutamakan untuk ronggeng
karena bagi mereka, adanya sosok ronggeng merupakan kebanggaan tersendiri di Dukuh Paruk
d. Ekonomi

Dalam novel ini sering terlihat dalam pergantian judul maupun pergantian bab, yang mana
mengggambarkan kemiskinan masyarakat “Dukuh Paruk” yang terletak ditengah-tengah
pematang sawah. Penggambaran ini tampak jelas terlihat seperti : digambarkan luasnya ribuan
hektar sawah yang mengelilingi desa telah tujuh bulan kering kerontang,…. Sampai anak-anak
kecil rela bersusah payah mencabut singkong yang terpendam dalam ditanah kapur,,, itulah sedikit
gambaran keadaan ekonmi yang sedang dialami oleh masyarakat “Dukuh Paruk”, dan keadaan
itulah yang sebenarnya ingin ditunjukan oleh pengarang kepada pembaca.

e. Latar belakang pengarang

Ahmad Tohari adalah sebuah nama besar dan langka di dalam khasanah kesusastraan Indonesia.
Dari karya sastra yang saya baca, nama Ahmad Tohari langgeng dan cepat nempel di kalangan
pembaca. Ketika mendengar namanya, maka asosiasi yang muncul dari pengarang ini adalah
lokalitas, tema keislaman, dan nilai kehidupan kesederhanaan. Ronggeng Dukuh Paruk adalah
salah satu bibel Ahmad Tohari. Dengan hadirnya serangkaian karya Ahmad sebagai juru bicara
kesusastraan bertema lokal. Pengetahuan Ahmad Tohari mengenai dunia ronggeng dan filosofinya

menegaskan bahwa Ahmad Tohari adalah wakil dari suara orang-orang yang satu daerah asalnya .
Kaidah Kebahasaan

A. Majas

Majas Personifikasi

Majas Personifikasi adalah majas kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-
barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan.

1) Dukuh Paruk masih diam membisu meskipun beberapa jenis satwanya sudah terjaga
(hlm. 111)
2) Tetes-tetes embun jatuh menimbulkan suara desahan desahan musik yang serempak (hlm.
111)
3) Dalam kerimbunan daun-daunnya sedang dipagelarkan merdunya harmoni alam yang
melantumkan kesyahduan (hlm. 111)
Penjelasan :

Tohari melukiskan proses datangnya pagi hari menjelang cahaya matahari terbit dari timur di
Dukuh Paruk.

(1) majas personifikasi terlihat pada ”Dukuh Paruk masih diam membisu” Dukuh Paruk
dilukiskan pada suasana pagi, masih sepi, belum ada aktifitas manusia dalam
kehidupan sehari - hari. Dukuh paruk masih tertidur pulas.
(2) majas personifikasi terlihat pada “tetes embun menimbulkan suara desahan-desahan
musik serempak” suasana pagi tampak di segala pepohonan terdapat embun yang
secara bergantian menetes, dengan demikian menimbulkan suara-suara bagai musik
yang serempak. Tohari menggambarkan kehidupan Dukuh Paruk yang masih alami sama
sekali belum tersetuh teknologi modern, setiap pagi hanya dihiasi, dihibur oleh suara musik
dari tetes- tetes embun yang berjatuhan dari atas pohon.
(3) “sedang dipagelarkan merdunya harmoni alam”. Tohari melukiskan sebuah pohon
dengan daunnya yang tampak subur, rimbun, segar sehingga terlihat indah dan asri serta
selaras dengan alam. Sehingga membentuk majas personifikasi yang indah, dan tercipta
suatu kesan yang tidak bosan untuk dibaca.

Majas Metafora

Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung tetapi dalam
bentuk yang singkat.

Perhatikan data penggunaan majas metafora berikut.

1) Di Pelataran yang membantu di bawah pohon nangka. Ketika angin tenggara bertiup
dingin menyapu harum bunga kopi yang selalu mekar di musim kemarau. ( hlm. 13)
2) Mereka pantas berkejaran, bermain dan bertembang. Mereka sebaiknya tahu masa
kanak- kanak adalah surga yang hanya sekali datang. ( hlm. 14)
3) Wirsiter bersama istrinya pergi ke sana kemari menjajakan musik yang memanjakan rasa,
yang sendu, dan yang melankolik. Musiknya tidak membuat orang bangkit berjoget,
melainkan membuat pendengarnya mengangguk angguk menatap ke dalam diri atau
terbang mengapung bersama khayalan sentimental. (hlm. 130)

Penjelasan :

(1) Pelukisan metafora yang indah terlihat pada data (1), Tohari menempatkan bentuk
metaforis begitu menarik dan mengesankan. Pelukisan metaforis terbaca pada keadaan
Dukuh Paruk yang masih lugu, asri belum tersentuh tangan tangan teknologi modern.
Angin malam yang bertiup pada musim kemarau di lukiskan oleh Tohari terasa dingin
seolah olah menyapu bunga kopi yang selalu mekar pada musim kemarau.
(2) Metaforis yang indah juga terdapat pada data (2), Tohari melukiskan dunia anak-anak
yang penuh dengan kegembiraan, keriangan di sebuah pedesaan yang masih lugu dan
terbelakang, dunia anak anak yang serba gembira, polos serta bebas bermain, belum
memiliki tanggung jawab keluarga dan beban kehidupan. Pelukisan cerita ini pun
dilatarbelakangi dari kehidupan Tohari pada masa anak anak. Tohari mengibaratkan dunia
anak anak itu sebagai surga yang hanya sekali datang.
(3) Tohari memanfaatkan metaforis pada data (3) musik tradisional siter yang kini sudah
langka dalam masyarakat, yang dimainkan oleh sepasang suami istri, Wirsiter dan
Ciplak. Tohari menempatkan musik yang memanjakan rasa, membuat pendengarnya
masuk ke alam khayalan sentimental. Di sinilah Tohari membuat pesan tersirat bahwa
musik siter adalah budaya kuno yang harus dilestarikan jangan sampai dilupakan.

Majas Metonimia

Majas metonimia adalah majas yang memakai nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan
orang, barang atau hal sebagai penggantinya, kita dapat menyebut pencipta atau pembuatnya jika
yang kita maksudkan ciptaan atau buatannya ataupun kita menyebut bahannya jika yang kita
maksudkan barangnya (Tarigan, 2000:139).

1) Pelita kecil dalam kamar itu melengkapi citra punahnya kemanusiaan pada diri bekas
mahkota Dukuh Paruk itu (hlm. 395)
2) Di sana di dalam kurung klambu yang tampak dari tempatku berdiri, akan terjadi
pemusnahan mustika yang selama ini amat kuhargai (hlm.53)
3) Marsusi bersedia memberi sebuah vespa bila sampean mau (hlm.288)
4)

Pejelasan :

(1) Kata “Citra” pada data (1), adalah gambaran kepribadian dari seorang ronggeng yaitu tokoh
srintil, citra tersebut telah hilang karena suatu deraan, cobaan hingga muncullah
kegoncangan jiwa pada srintil yang semula mendapat sebutan seorang mahkota Dukuh
Paruk.
(2) Demikian pula data (2), majas metonimia terletak pada kata “mustika” yang artinya sebuah
keperawanan seorang gadis.
(3) Pelukisan majas ditemukan pada data (3), majas metonimia terdapat pada kata “Si Rahang
Persegi” merupakan sebutan Pak Blengur, dia seorang kontraktor yang kaya raya dan akan
memberi Bajus Proyek Pekerjaan Bangunan.

Majas Simile/Persamaan

Majas simile merupakan perbandingan yang bersifat eksplisit, pada hakikatnya membandingkan
dua hal yang berlainan dengan sengaja dianggap sama, ia langsung menyatakan sesuatu sama
dengan hal yang lain (Mulyono, 2001:75)

1) Emak sudah mati, ketika hidup ia secantik Srintil, tampilan emak bagai citra perempuan
sejati (hlm. 33)
2) Malam hari berlatar langit kemarau, langit seperti akan menelan segalanya kecuali apa-apa
yang bercahaya (hlm. 312)
3) Srintil merasa dirinya adalah aib kehidupan, dia harus mewujud di sana bagai tinja yang
harus ada di dalam usus manusia (hlm.272)

Penjelasan :

Data (1) di atas, merupakan pernyataan yang termasuk majas simile, terlihat pada ungkapan tokoh
Rasus yang menemukan kemiripan dalam diri Srintil kekasihnya dengan figur ibu kandungnya
yang sudah meninggal yakni emak. Hal ini dapat terbaca pada “Penampilan Srintil membantu
mewujudkan angan-anganku tentang pribadi perempuan yang telah melahirkanku”. Bahkan
bentuk lahirnya sekalipun”. Sebuah perbandingan antara Srintil dengan Emak yang dihubungkan
dengan kata “bagai”. Kemiripan lahir yang terlihat di antaranya Emak mempunyai senyum yang
bagus seperti Srintil, suaranya lembut, sejuk, suara perempuan sejati. Persamaan antara Srintil
dengan tokoh Emak itu dibangun sendiri oleh tokoh Rasus. Sedikit demi sedikit, lama-lama hal
yang direkam sendiri itu dijadikan kepastian dalam hidup Rasus. Menurutbentuknya majas simile
di atas menggunakan persamaan tertutup karena dalam ungkapan tersebut mengandung perincian
mengenai sifat persamaan itu, yakni “citra perempuan sejati”. Tujuan Tohari menampilkan
kalimat bermajas simile di atas tersirat makna, untuk mengingatkan kepada pembaca agar tidak
melupakan seorang ibu kandung yang telah melahirkan kita walaupun beliau sudahmeninggal
dunia. Tujuan lain agar pembaca dapat belajar menghargai dantidak melupakan pada orang yang
sudah berjasa dengan kita.Pada bagian lain, Tohari menggambarkan suasana alam Dukuh Paruk
saat malam hari. Tohari mendeskripsikannya dengan teliti dan apik.

Penggambaran majas simile juga tergambar pada data (2) di atas. Majas Simile terlihat pada
perbandingan antara sinar terang yang tampak pada malam hari dengan gelapnya malam kelam di
Dukuh Paruk. Pemahaman lebih mendalam terbaca pada rincian ungkapan selanjutnya “Bintang
berkelip-kelip, seakan selalu berusaha membebaskan diri dari cengkeraman gelap. Hanya bulan
kecil yang tampak tenang mengambang. Bulan yang makin anggun dan berseri karena kelam tak
mampu mendaulatnya”. Tujuan Tohari menggunakan kalimat bermajas ini ingin memberi
gambaran kepada pembaca tentang keadaan dan suasana Dukuh Paruk yang dulu pernah menjadi
sejarah masa kecilnya. Dukuh Paruk di malam yang gelap hanya hanya sinar bintang yang
berkedip. Tohari dengan kental menggambarkan sebuah desa yang sunyi, sepi serta belum ada
penerangan serta sarana teknologi modern.

Tohari memanfaatkan majas simile terbaca pada data (3). Tersirat sebuah tujuan untuk melukiskan
keadaan Srintil yang sedang krisis kepercayaan diri karena Srintil merasa dirinya adalah aib
kehidupan. Majas Simile terlihat pada perbandingan antara kehidupan di masyarakat yang bebas,
penuh perhatian dan dihormati serta disanjung-sanjung dengan kehidupan Srintil yang sekarang
sebagai seorang yang hidup dalam tahanan yang selalu terkurung, terkekang, menderita dan
terhina. Tohari menggunakan istilah “aib kehidupan” maksudnya bahwa seseorang yang terhina
dan seakan tidak berguna lagi serta seseorang yang kehilangan segalanya dalam kehidupan. Tohari
membandingkannya pula dengan “tinja” yang harus ada di dalam usus manusia” bermakna seorang
tahanan yang hidupnya selalu terkurung, terkekang serta terhina bahkan terbuang dari masyarakat.

Majas Hiperbola

Majas hiperbola adalah majas yang mengungkapkan sesuatu pernyataan yang berlebihan dengan
membesar besarkan suatu hal.

1) Ini cukup untuk kukatakan bahwa yang terjadi pada dirinya seribu kali lebih hebat daripada
kematian karena kematian itu sendiri adalah anak Kandung kehidupan manusia. (hlm. 386)
2) Aku bisa mendengar semua bisik hati yang paling lirih sekalipun ( hlm. 394)
3) Aku dapat melihat mutiara- mutiara jiwa dalam lubuk yang paling pingit (hlm. 394)
4) Kedua unggas kecil itu telah melayang beratus - ratus bahkan beribu- ribu kilometer
mencari genangan air (hlm. 9)
5) Dalam pemukiman yang sempit, hitam, gelap, gulita, pekat, terpencil itu lengang sekali,
amat sangat lengang (hlm. 21)
6) Aku membiarkan Dukuh Paruk tetap cabul, kere, bodoh, dungu dan sumpah serapah (hlm.
391)
7) Srintil meratap,meronta, menangis, melolong lolong di kamarnya yang persis bui (hlm.
402)
8) Langit dan matahari menyaksikan luka pada lutut dan mata kaki yang bertambah parah
serta darahnya mengalir lebih banyak, menetes netes menggenangi batu batu. (hlm. 304)

Penjelasan :

Majas hiperbola yang terlihat pada data (1), (2) dan (3) gagasan yang dikemukakan menjadi lebih
intens dan menarik perhatian pembaca sehingga dapat mencapai efek estetik. Bentuk seribu kali
lebih hebat daripada kematian pada data (4) merupakan ungkapan hiperbola. Demikian hiperbola
terlihat pada kalimat data (5) dan (6). Pembaca terkesan sesuatu yang lebih mendalam dari
ungkapan ungkapan hiperbola tersebut. Tohari begitu cermat dalam menerapkan majas hiperbola
pada data (7), (8) dan (9) ungkapan di atas menjadi lebih intens dan menarik perhatian pembaca
sehingga dapat mencapai efek estetis. Bentuk “ Beratus- ratus bahkan beribu-ribu kilometer” pada
data (35), merupakan ungkapan yang hiperbola. Demikian pula Hiperbola terlihat pada data (5),
“gelap, gulita, pekat terpencil itu lengang amat sangat lengang”. Dalam pikiran pembaca terbayang
sesuatu yang lebih mendalam dan mengesankan mengenai deskriptif hiperbola tersebut.
Pemanfaatan majas dengan cermat terlihat pada data (6), majas hiperbola terbaca pada “Dukuh
Paruk tetap cabul, kere, bodoh, dungu dan sumpah serapah” menimbulkan makna yang berlebihan,
lebih mendalam tetapi tetap terkesan menarik. Tohari juga menempatkan majas hiperbola untuk
melukiskan tokoh Srintil, terlihat pada data berikut. Tohari memanfaatkan hiperbola dengan
menarik dan indah terlukis pada data (7) dimana Srintil melakukan perbuatan yang berlebihan.
Demikian pula hiperbola tersirat pada data (8)….darahnya mengalir lebih banyak, menetes netes
menggenangi batu batu. Tampak jelas suatu makna yang berlebihan.

Majas Sinekdoke

Majas sinekdoke adalah majas yang mempergunakan sebagian dari suatu hal yang menyatakan
keseluruhan (pars prototo) atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian
(totemproparte).

1) Celoteh di sudut pasar itu berhenti karena kehabisan bahan (hlm. 126)
2) Sampean hanya memikirkan diri sendiri dan tidak mau mengerti urusan perut orang (hlm.
288)
3) Dua ekor anak kambing melompat lompat dalam gerakan amat lucu (hlm. 118)

Penjelasan :

(1) Penggambaran majas pada data (1), majas sinekdoke terdapat pada kata “di sudut pasar”
padahal yang dimaksudkan tidak hanya sudutpasar tetapi seluruh wilayah pasar, ungkapan
ini termasuk majas sinekdoketotem pro parte.
(2) Data (2) letak majas sinekdoke pada kata “perut orang” yang maksud sebenarnya adalah
seluruh jiwa raga manusia.
(3) Demikian juga data (3) majas sinekdoke terdapat pada kata “dua ekor anak kambing”
padahal yang sebenarnya adalah seluruh jiwa raga kambing. Ketiga data di atas
menggunakan majas sinekdoke.

Majas pertentangan (litotes )

Litotes adalah majas yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri.
Sesuatu hal kurang dari keadaan sebenarnya atau suatu pikiran dinyatakan dengan menyangkal
lawan katanya (Gorys Keraf, 2008:34)

1) Aku sadar betul diriku terlalu kecil bagi alam (hlm. 66)
2) Aku terkejut menyadari semua orang di tanah airku yang kecil ini memenuhi segala
keinginanku (hlm. 104)
3) Kita ini memang buruk rupa tapi punya suami dan anak anak (hlm. 339)

Penjelasan :

(1) Pelukisan majas pada data (1), Litotes terdapat pada kata diriku terlalu kecil.
(2) Ditemukan ungkapan majas pada data (2), Litotes muncul dalam kata tanah airku yang
kecil ini.
(3) Pada data (3), ditemukan Litotes pada kata buruk rupa .

Majas Penegasan ( repetisi )

Repetisi adalah majas yang mengandung pengulangan berkali-kali kata atau kelompok kata yang
sama. Ducrot and Todorov (Guntur Tarigan, 2000:152)

1) Mereka hanya ingin melihat Srintil kembali menari, menari dan menari (hlm. 140)
2) Srintil sedang berada dalam haribaan Dukuh Paruk yang tengah tidur lelap selelap lelapnya,
merenung dan terus merenung (hlm.156)
3) Yang kelihatan adalah perempuan perempuan pekerja, perempuan-perempuan bergiwang
serta perempuan-perempuan berkaleng besar (hlm. 235)

Penjelasan :

(1) Pada data (1), majas repetisi ditemukan pada kata kembali menari dan menari,
(2) kemudian data (2) majas repetisi terlihat pada kata tidur lelap selelap lelapnya, merenung
dan terus merenung.
(3) Data (3) repetisi tergambar pada kata perempuan perempuan pekerja, perempuan
perempuan bergiwang serta perempuan perempuan berkalung besar tersebut dimaksudkan
untuk penegasan gagasan tertentu. Dengan gaya bahasa repetisi terciptalah makna yang
lebih lugas dan intens.

Majas Sindiran (sarkasme)

Sarkasme merupakan suatu acuan yang lebih kasar dari ironi dan sinisme. Ia adalah suatu acuan
yang mengandung kepahitan dan celaan yang getir.

1) Dower merasa berat dan mengutuk Kartareja dengan sengit “Si tua bangka ini sungguh
sungguh tengik !” (hlm. 71)
2) Kertareja memang bajingan. Bajul buntung, “jawabku, mengumpat dukun ronggeng itu.
(hlm. 49)
3) Kalian mau mampus mampuslah tapi jangan katakan tempeku mengandung racun (hlm.
28)

Penjelasan :

(1) Pelukisan majas pada data (1), majas sarkasme ada pada kata “si tua bangka sungguh
tengik”,
(2) data (2) “bajingan. Bajul buntung”,
(3) data (3) “mampus mampuslah”

Anda mungkin juga menyukai