Disusun Oleh :
THEO PRAMUDITA
201614201040
TAHUN AKADEMIK
2020/2021
LEMBAR PENGESAHAN
Nganjuk,...........................................2021
Mahasiswa
.......................................................
NIM ................................................
Mengetahui,
Pembimbing Akademik, Pembimbing Ruangan,
............................................................. ...............................................................
NIDN................................................... NIP ...........................................................
Menyetujui,
Kepala Ruang,
..........................................................................
NIP ................................................................
KONSEP MEDIS
FRAKTUR TIBIA
A. Definisi
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan
jaringan lunak disekiar tulang akan menentkan apakah fraktur yang terjadi
itu lengkap atau tidak lengkap (Herman Santoso, 2016).
Fraktur tibia merupakan trauma pada tulang panjang atau yang biasa
disebut tulang kering yang paling umum retak dalam tubuh, karena berada
langsung dibawah kulit yang juga sering ditemukan fraktur terbuka.
Trauma langsung atau benturan pada tulang mengakibatkan fraktur pada
tempat tersebut (tibia), namun trauma tidak langsung yaitu terjadi ketika
titik tumpu benturan fraktur berjauhan (Smeltzer, 2014).
B. Etiologi
Fraktur tibia disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang
berlebihan pada tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan
tidak langsung dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau
luka yang di sebabkan oleh kendaraan bermotor. Menurut Carpenito
(2013:47) adapun penyebab fraktur antara lain:
1. Trauma langsung
Trauma langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur tibia demikian sering bersifat fraktur terbuka
dengan garis patah melintang atau miring pada bagian tulang
panjang/tulang kering.
2. Trauma tidak langsung
Trauma tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh
dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian
yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3. Trauma akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat
berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi
dari ketiganya, dan penarikan.
C. Klasifikasi
Klasifikasi fraktur tibia ada beberapa yaitu sebagai berikut (Herman
Santoso, 2016).
1. Klasifikasi klinis
a. Fraktur tertutup ( simple fraktur ), bila tidak terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar.
b. Fraktur terbuka ( compoun fraktur ), bila terdapat hubungn antara
fragmen tulang dengan dunia luar, karena adanya perlukan di kulit.
c. Fraktur dengan komplikasi, misal malunion, delayed, union,
nonunion, infeksi tulang.
2. Klasifikasi radiologis
a. Lokalisasi : diafisal, metafisial, intra – artikuler, fraktur dengan
dislokasi.
b. Konfigurasi : F. Transfersal, F. Oblik, F. Spiral, F. Segmental, F.
Komunitif ( lebi dari deaf ragmen ), F. baji biasa pada vertebra
karena trauma, F. avulse, F. depresi, F. pecah, F. Epifisis.
c. Menurut ekstensi : F. total, F. tidak total, F. buckle atau torus, F.
garis rambut, F. green stick.
d. Menurut hubungan antara fragmen dengan fragmen lainnya : tidak
bergeser, bergeser ( bersampingan, anglasi, rotasi, distraksi, over –
riding, impaksi ).
D. Manifestasi klinis
1. Nyeri pembengkakan.
2. Terdapat trauma (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian atau
jatuh di kamar mandi pada orangta, penganiayaan, tertimpa benda
berat, kecelakaan kerja, trauma olahraga).
3. Gangguan fungsi anggota gerak.
4. Deformitas.
5. Krepitasi atau datang dengan gejala – gejala lain (Smeltzer, 2014).
E. Patofisiologi
Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh atau
trauma. Baik itu karena trauma langsung misalnya: tulang paha terbentur
bemper mobil, atau tidak langsung. (Doenges, 2010:629)
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat
patah dan ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak
juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul
hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi
menyebabkan peningkatan aliran darahketempat tersebut. Fagositosis dan
pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Di tempat patah terbentuk fibrin
(hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk melekatkan sel-
sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru imatur
yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru
mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati (Carpenito,
2013:50)
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yg tidak ditangani dapat menurunkan
asupan darah ke ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer.
Bila tidak terkontrol pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan
tekanan jaringan, oklusi darah total dapat berakibat anoksia jaringanyg
mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan otot. Komplikasi
ini dinamakan sindrom kompartemen (Brunner & suddarth, 2012: 2387).
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya
pegas untuk menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang
lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada
tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas
tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf
dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang
rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah
hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke
bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini
menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn
vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih.
Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang
nantinya (Doenges, 2010:629).
F. WOC
G. Pemeriksaan penunjang
1. X-ray menentukan lokasi / luasnya fraktur
2. Scan tulang : memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak
3. Arteriogram : dilakukan untk memastikan ada tidaknya kerusakan
vaskuler
4. Hitung darah lengkap : hemokonsentrasi mungkin meningkat, menurun
pada perdarahan, peningkatan lekosit sebagai respon terhadap
peradangan
5. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens
ginjal
6. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfusi atau cedera hati.(Brunner & suddarth, 2002)
H. Penatalaksanaan
1. Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk menentukan diagnose dan tindakan
selanjutnya.
2. Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan unt
uk mereduksi fraktur. Metode tertentu dapat dipilih bergantung sifat fr
aktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap, sama. Biasanya dokter
melakukan reduksi fraktur segera mungkin untuk mencegah jaringan l
unak kehilangan elastisitasnya akibat anfiltrasi karena edema dan perd
arahan. Pada kebanyakan kasus, produksi fraktur menjadi semakin suli
t bila cidera sudah mulai mengalami penyembuhan.
3. OREF
Penanganan intraoperatif pada fraktur terbuka derajat tiga yaitu de
ngan cara reduksi terbuka diikuti fiksasi eksternal (open reduksi and e
ksternal fixation= OREF) sehingga diperoleh stabilisasi fraktur yang b
aik. Keuntungan fiksasi eksternal adalah memungkinkan stabilisasi fra
ktur sekaligus menilai jaringan lunak sekitar dalam masa penyembuha
n fraktur. Penanganan pasca operatif yaitu perawatan luka dan pember
ian antibiotic untuk mengurangi resiko infeksi, pemeriksaan radiologic
serial, darah lengkap, serta rehabilitasi berupa latihan-latihan secara te
ratur dan bertahap sehingga ketiga tujuan utama penanganan fraktur bi
sa tercapai, yakni union (penyambungan tulang secara sempurna), sem
buh secara anatomis (penampakan fisik organ anggota gerak : baik, pr
oposional) dan sembuh secara fungsional (tidak ada kekakuan dan ha
mbatan lain dalam melakukan gerakan) (Ircham Machfoedz, 2016).
4. ORIF
ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan intern
al fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk me
mpertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak me
ngalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa intra medulari nail bias
anya digunakan untuk fraktur tulang Panjang dengan fraktur transfe
r(Ircham Machfoedz, 2016).
5. Retensi atau imobilisas
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga k
embali seperti semula seperti optimum. Imobilisasi fraktur. Setelah fra
ktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan
dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobili
sasi dapat dilakukan dengan fiksasi ekterna dan interna. Metode fiksas
i eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, fraksi continue, pin dan Te
knik gips, atau fiksator eksterna. Implant logam dapat digunakan untu
k fikssi ekterna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobil
isasi fraktur.
6. Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upay
a diarahkan pada penyembuhan tulang dan ajringan lunak. Reduksi da
n imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neovaskule
r (mis, pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau
dan ahli bdah ortopedi diberi tahu segera bila ada gangguan neurovas
kuler. Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan b
erbagai pendekatan (mis, meyankinkan, perubahan posisi, strategi pere
daan nyeri, termasuk analgetika). (Ircham Machfoedz, 2016).
M. Komplikasi
1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Artery
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak
adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma
yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh
tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit,
tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan
dalam ruang tertutup di otot, yang sering berhubungan dengan
akumulasi cairan sehingga menyebabkan hambatan aliran darah
yang berat dan berikutnya menyebabkan kerusakan pada otot.
c. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada
jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit
(superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus
fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain
dalam pembedahan seperti pin dan plat.
d. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke
tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis
tulang. Nekrosis avaskular dapat terjadi saat suplai darah ke
tulang kurang baik. Hal ini paling sering mengenai fraktur
intrascapular femur (yaitu kepala dan leher), saat kepala femur
berputar atau keluar dari sendi dan menghalangi suplai darah.
Karena nekrosis avaskular mencakup proses yang terjadi dalam
periode waktu yang lama, pasien mungkin tidak akan merasakan
gejalanya sampai dia keluar dari rumah sakit. Oleh karena itu,
edukasi pada pasien merupakan hal yang penting. Perawat harus
menyuruh pasien supaya melaporkan nyeri yang bersifat
intermiten atau nyeri yang menetap pada saat menahan beban.
e. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan
meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan
menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
f. Osteomyelitis
Adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum
dan korteks tulang dapat berupa exogenous (infeksi masuk dari
luar tubuh) atau hematogenous (infeksi yang berasal dari dalam
tubuh). Patogen dapat masuk melalui luka fraktur terbuka, luka
tembus, atau selama operasi. Luka tembak, fraktur tulang
panjang, fraktur terbuka yang terlihat tulangnya, luka amputasi
karena trauma dan fraktur – fraktur dengan sindrom kompartemen
atau luka vaskular memiliki risiko osteomyelitis yang lebih besar
2. Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union (Penyatuan tertunda)
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi
sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung.
Ini disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang.
b. Non union (tak menyatu)
Penyatuan tulang tidak terjadi, cacat diisi oleh jaringan
fibrosa. Kadang –kadang dapat terbentuk sendi palsu pada tempat
ini. Faktor – faktor yang dapat menyebabkan non union adalah
tidak adanya imobilisasi, interposisi jaringan lunak, pemisahan
lebar dari fragmen contohnya patella dan fraktur yang bersifat
patologis.
c. Malunion
Kelainan penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk
menimbulkan deformitas, angulasi atau pergeseran. (Brunner &
suddarth, 2002)
KONSEP KEPERAWATAN
FRAKTUR TIBIA
A. Pengkajian
1. Identitas Klien
Pada pasien dengan fraktur tibia lebih beresiko pada usia lanjut hal
tersebut dikarenakan daya elastisitas yang menurun mengakibatkan
struktur tulang yang semakin rentan dan tidak ada peningkatan resiko
pada jenis kelamin tertentu namun fraktur juga banyak terjadi terkait
pekerjaan yang lebih beresiko (Amin Huda, Hardhi, 2016).
2. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur tibia adalah rasa
nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya
serangan (Amin Huda, Hardhi, 2016).
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur tibia, yang nantinya membantu dalam membuat rencana
tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit
tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan
bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui
mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang
lain (Amin Huda, Hardhi, 2016).
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur tibia
dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang yang menyebabkan
fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu,
penyakit diabetes dengan luka di kaki sangat beresiko terjadinya
osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat
proses penyembuhan tulang (Amin Huda, Hardhi, 2016).
DAFTAR PUSTAKA
Brunner dan Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta
Herman Santoso, dr., SpBO (2016), Diagnosis dan Terapi Kelainan Sistem
Muskuloskeletal, Diktat Kuliah PSIK, tidak dipublikasikan.