Anda di halaman 1dari 25

LEMBAR KONSUL

Nama : Theo Praamudita Pembimbing Akademik :


Nim : 201614201040 Pembimbing Ruangan :
Ruangan : RR Massa Praktek :
Tanda Tangan
Pembimbing
No Hari/Tanggal Uraian Konsul
Akademik / Rungan
.
LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR TIBIA

DAN RESUME ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

DI RUANG RR (RECOVERY ROOM) RSUD SIDOARJO

Disusun Oleh :

THEO PRAMUDITA

201614201040

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

SATRIA BHAKTI NGANJUK

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

TAHUN AKADEMIK

2020/2021
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan tentang Fraktur Tibia dan Resume Keperawatan telah


disetujui dan disahkan pada :
Hari :
Tanggal :

Nganjuk,...........................................2021
Mahasiswa

.......................................................
NIM ................................................
Mengetahui,
Pembimbing Akademik, Pembimbing Ruangan,

............................................................. ...............................................................
NIDN................................................... NIP ...........................................................
Menyetujui,
Kepala Ruang,

..........................................................................
NIP ................................................................
KONSEP MEDIS
FRAKTUR TIBIA

A. Definisi
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan
jaringan lunak disekiar tulang akan menentkan apakah fraktur yang terjadi
itu lengkap atau tidak lengkap (Herman Santoso, 2016).
Fraktur tibia merupakan trauma pada tulang panjang atau yang biasa
disebut tulang kering yang paling umum retak dalam tubuh, karena berada
langsung dibawah kulit yang juga sering ditemukan fraktur terbuka.
Trauma langsung atau benturan pada tulang mengakibatkan fraktur pada
tempat tersebut (tibia), namun trauma tidak langsung yaitu terjadi ketika
titik tumpu benturan fraktur berjauhan (Smeltzer, 2014).
B. Etiologi
Fraktur tibia disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang
berlebihan pada tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan
tidak langsung dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau
luka yang di sebabkan oleh kendaraan bermotor. Menurut Carpenito
(2013:47) adapun penyebab fraktur antara lain:
1. Trauma langsung
Trauma langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur tibia demikian sering bersifat fraktur terbuka
dengan garis patah melintang atau miring pada bagian tulang
panjang/tulang kering.
2. Trauma tidak langsung
Trauma tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh
dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian
yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3. Trauma akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat
berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi
dari ketiganya, dan penarikan.

C. Klasifikasi
Klasifikasi fraktur tibia ada beberapa yaitu sebagai berikut (Herman
Santoso, 2016).
1. Klasifikasi klinis
a. Fraktur tertutup ( simple fraktur ), bila tidak terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar.
b. Fraktur terbuka ( compoun fraktur ), bila terdapat hubungn antara
fragmen tulang dengan dunia luar, karena adanya perlukan di kulit.
c. Fraktur dengan komplikasi, misal malunion, delayed, union,
nonunion, infeksi tulang.
2. Klasifikasi radiologis
a. Lokalisasi : diafisal, metafisial, intra – artikuler, fraktur dengan
dislokasi.
b. Konfigurasi : F. Transfersal, F. Oblik, F. Spiral, F. Segmental, F.
Komunitif ( lebi dari deaf ragmen ), F. baji biasa pada vertebra
karena trauma, F. avulse, F. depresi, F. pecah, F. Epifisis.
c. Menurut ekstensi : F. total, F. tidak total, F. buckle atau torus, F.
garis rambut, F. green stick.
d. Menurut hubungan antara fragmen dengan fragmen lainnya : tidak
bergeser, bergeser ( bersampingan, anglasi, rotasi, distraksi, over –
riding, impaksi ).
D. Manifestasi klinis
1. Nyeri pembengkakan.
2. Terdapat trauma (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian atau
jatuh di kamar mandi pada orangta, penganiayaan, tertimpa benda
berat, kecelakaan kerja, trauma olahraga).
3. Gangguan fungsi anggota gerak.
4. Deformitas.
5. Krepitasi atau datang dengan gejala – gejala lain (Smeltzer, 2014).

E. Patofisiologi
Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh atau
trauma. Baik itu karena trauma langsung misalnya: tulang paha terbentur
bemper mobil, atau tidak langsung. (Doenges, 2010:629)
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat
patah dan ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak
juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul
hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi
menyebabkan peningkatan aliran darahketempat tersebut. Fagositosis dan
pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Di tempat patah terbentuk fibrin
(hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk melekatkan sel-
sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru imatur
yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru
mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati (Carpenito,
2013:50)
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yg tidak ditangani dapat menurunkan
asupan darah ke ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer.
Bila tidak terkontrol pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan
tekanan jaringan, oklusi darah total dapat berakibat anoksia jaringanyg
mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan otot. Komplikasi
ini dinamakan sindrom kompartemen (Brunner & suddarth, 2012: 2387).
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya
pegas untuk menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang
lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada
tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas
tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf
dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang
rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah
hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke
bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini
menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn
vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih.
Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang
nantinya (Doenges, 2010:629).

F. WOC
G. Pemeriksaan penunjang
1. X-ray menentukan lokasi / luasnya fraktur
2. Scan tulang : memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak
3. Arteriogram : dilakukan untk memastikan ada tidaknya kerusakan
vaskuler
4. Hitung darah lengkap : hemokonsentrasi mungkin meningkat, menurun
pada perdarahan, peningkatan lekosit sebagai respon terhadap
peradangan
5. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens
ginjal
6. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfusi atau cedera hati.(Brunner & suddarth, 2002)

H. Penatalaksanaan
1. Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk menentukan diagnose dan tindakan
selanjutnya.
2. Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan unt
uk mereduksi fraktur. Metode tertentu dapat dipilih bergantung sifat fr
aktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap, sama. Biasanya dokter
melakukan reduksi fraktur segera mungkin untuk mencegah jaringan l
unak kehilangan elastisitasnya akibat anfiltrasi karena edema dan perd
arahan. Pada kebanyakan kasus, produksi fraktur menjadi semakin suli
t bila cidera sudah mulai mengalami penyembuhan.
3. OREF
Penanganan intraoperatif pada fraktur terbuka derajat tiga yaitu de
ngan cara reduksi terbuka diikuti fiksasi eksternal (open reduksi and e
ksternal fixation= OREF) sehingga diperoleh stabilisasi fraktur yang b
aik. Keuntungan fiksasi eksternal adalah memungkinkan stabilisasi fra
ktur sekaligus menilai jaringan lunak sekitar dalam masa penyembuha
n fraktur. Penanganan pasca operatif yaitu perawatan luka dan pember
ian antibiotic untuk mengurangi resiko infeksi, pemeriksaan radiologic
serial, darah lengkap, serta rehabilitasi berupa latihan-latihan secara te
ratur dan bertahap sehingga ketiga tujuan utama penanganan fraktur bi
sa tercapai, yakni union (penyambungan tulang secara sempurna), sem
buh secara anatomis (penampakan fisik organ anggota gerak : baik, pr
oposional) dan sembuh secara fungsional (tidak ada kekakuan dan ha
mbatan lain dalam melakukan gerakan) (Ircham Machfoedz, 2016).
4. ORIF
ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan intern
al fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk me
mpertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak me
ngalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa intra medulari nail bias
anya digunakan untuk fraktur tulang Panjang dengan fraktur transfe
r(Ircham Machfoedz, 2016).
5. Retensi atau imobilisas
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga k
embali seperti semula seperti optimum. Imobilisasi fraktur. Setelah fra
ktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan
dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobili
sasi dapat dilakukan dengan fiksasi ekterna dan interna. Metode fiksas
i eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, fraksi continue, pin dan Te
knik gips, atau fiksator eksterna. Implant logam dapat digunakan untu
k fikssi ekterna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobil
isasi fraktur.
6. Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upay
a diarahkan pada penyembuhan tulang dan ajringan lunak. Reduksi da
n imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neovaskule
r (mis, pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau
dan ahli bdah ortopedi diberi tahu segera bila ada gangguan neurovas
kuler. Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan b
erbagai pendekatan (mis, meyankinkan, perubahan posisi, strategi pere
daan nyeri, termasuk analgetika). (Ircham Machfoedz, 2016).
M. Komplikasi
1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Artery
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak
adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma
yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh
tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit,
tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan
dalam ruang tertutup di otot, yang sering berhubungan dengan
akumulasi cairan sehingga menyebabkan hambatan aliran darah
yang berat dan berikutnya menyebabkan kerusakan pada otot.
c. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada
jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit
(superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus
fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain
dalam pembedahan seperti pin dan plat.
d. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke
tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan  nekrosis
tulang. Nekrosis avaskular dapat terjadi saat suplai darah ke
tulang kurang baik. Hal ini paling sering mengenai fraktur
intrascapular femur (yaitu kepala dan leher), saat kepala femur
berputar atau keluar dari sendi dan menghalangi suplai darah.
Karena nekrosis avaskular mencakup proses yang terjadi dalam
periode waktu yang lama, pasien mungkin tidak akan merasakan
gejalanya sampai dia keluar dari rumah sakit. Oleh karena itu,
edukasi pada pasien merupakan hal yang penting. Perawat harus
menyuruh pasien supaya melaporkan nyeri yang bersifat
intermiten atau nyeri yang menetap pada saat menahan beban.
e. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan
meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan
menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
f. Osteomyelitis
Adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum
dan korteks tulang dapat berupa exogenous (infeksi masuk dari
luar tubuh) atau hematogenous (infeksi yang berasal dari dalam
tubuh). Patogen dapat masuk melalui luka fraktur terbuka, luka
tembus, atau selama operasi. Luka tembak, fraktur tulang
panjang, fraktur terbuka yang terlihat tulangnya, luka amputasi
karena trauma dan fraktur – fraktur dengan sindrom kompartemen
atau luka vaskular memiliki risiko osteomyelitis yang lebih besar
2. Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union (Penyatuan tertunda)
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi
sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung.
Ini disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang.
b. Non union (tak menyatu)
Penyatuan tulang tidak terjadi,  cacat diisi  oleh  jaringan
fibrosa. Kadang –kadang dapat terbentuk sendi palsu pada tempat
ini. Faktor – faktor yang dapat menyebabkan non union adalah
tidak adanya imobilisasi, interposisi jaringan lunak, pemisahan
lebar dari fragmen contohnya patella dan fraktur yang bersifat
patologis.
c. Malunion
Kelainan penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk
menimbulkan deformitas, angulasi atau pergeseran. (Brunner &
suddarth, 2002)

KONSEP KEPERAWATAN
FRAKTUR TIBIA

A. Pengkajian
1. Identitas Klien
Pada pasien dengan fraktur tibia lebih beresiko pada usia lanjut hal
tersebut dikarenakan daya elastisitas yang menurun mengakibatkan
struktur tulang yang semakin rentan dan tidak ada peningkatan resiko
pada jenis kelamin tertentu namun fraktur juga banyak terjadi terkait
pekerjaan yang lebih beresiko (Amin Huda, Hardhi, 2016).
2. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur tibia adalah rasa
nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya
serangan (Amin Huda, Hardhi, 2016).
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur tibia, yang nantinya membantu dalam membuat rencana
tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit
tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan
bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui
mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang
lain (Amin Huda, Hardhi, 2016).
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur tibia
dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang yang menyebabkan
fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu,
penyakit diabetes dengan luka di kaki sangat beresiko terjadinya
osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat
proses penyembuhan tulang (Amin Huda, Hardhi, 2016).

5. Riwayat Penyakit Keluarga


Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur tibia,
seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa
keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara
genetik (Amin Huda, Hardhi, 2016).
6. Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya
dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat (Amin Huda, Hardhi, 2016).
7. Pengkajian Primer
a. Airway
Pada pasien dengan fraktur tibia biasanya juga bisa terjadi
sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret
akibat kelemahan reflek batuk, bisa terjadi saat post kejadian
kecelakaan pasien (Brunner & Suddart, 2012).
b. Breathing
Pasien dengan fraktur tibia biasanya tidak terjadi gangguan pada
breathing namun pada beberapa kondisi pasien yang parah dapat
terjadi kelemahan menelan, batuk bahkan melindungi jalan napas
sehingga dapat timbul pernapasan yang sulit dan tidak teratur serta
suara napas terdengar ronchi (Brunner & Suddart, 2012).
c. Circulation
Biasanya pada pasien dengan fraktur tibia tekanan darah
mengalami peningkatan diikuti oleh denyut nadi takikardi, pada
tahap dini bisa terdapat disritmia, kulit dan membran mukosa
pucat, dingin serta sianosis pada tahap lanjut (Brunner & Suddart,
2012).

8. Pola-Pola Fungsi Kesehatan


a. Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur tibia akan timbul ketidakutan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan
obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,
pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya
dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak (Amin Huda,
Hardhi, 2016).
b. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur tibia harus mengkonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C
dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi
terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab
masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari
nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan
terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi
masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga
obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
c. Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur tibia bisa saja ada gangguan pada pola
eliminasi karena kesulitan bergerak akibat gangguan pada
ekstremitas (Amin Huda, Hardhi,2016).
d. Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur biasanya timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak,
sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien
(Doengos. Marilynn E, 2002).
e. Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu
banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah
bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada
beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur tibia
dibanding pekerjaan yang lain (Amin Huda, Hardhi, 2016).
f. Pola Hubungan dan Peran
Klien biasanya dapat kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap. (Amin Huda,
Hardhi, 2016).
g. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur tibia yaitu timbul
ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image)
(Amin Huda, Hardhi, 2016).
h. Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur tibia biasanya daya rabanya berkurang terutama
pada bagian yang terdampak fraktur, sedang pada indera yang lain
tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak
mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat
fraktur (Amin Huda, Hardhi, 2016).
i. Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur tibia biasanya timbul rasa cemas tentang
keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan
fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa
tidak efektif.
9. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata)
untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat
(lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada
kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang
lebih sempit tetapi lebih mendalam (Amin Huda, Hardhi,2016).
a. Keadaan umum : baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-
tanda, seperti:
1) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
2) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan
pada kasus fraktur biasanya akut.
3) Tanda-tanda vital biasanya tidak dalam rentang normal karena ada
gangguan baik fungsi maupun bentuk.
10. Pemeriksaan Head To Toe
Pada pemeriksaan fisik klien dengan fraktur tibia menurut Brunner &
Suddart (2012), biasanya didapatkan sebagai berikut:
a. Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
b. Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
c. Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi
maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
d. Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak
terjadi perdarahan).
e. Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi
atau nyeri tekan.
f. Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
g. Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa
mulut tidak pucat.
h. Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
i. Paru
1) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada
riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
2) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
3) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
4) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan
lainnya seperti stridor dan ronchi.
j. Jantung
1) Inspeksi
Tidak tampak iktus cordis pada jantung.
2) Palpasi
Nadi meningkat, iktus cordis tidak teraba.
3) Perkusi
Suara ketuk pada jantung pekak.
4) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada surara mur-mur.
k. Abdomen
1) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
2) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
3) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
4) Auskultasi
Peristaltik usus normal  20 kali/menit.
l. Ekstermitas
1) Inspeksi
Biasanya terjadi bengkak pada ekstremitas bawah (tulang
tibia/kering) serta luka terbuka yang mengakibatkan penurunan
kontrol otot dan kerusakan jaringan, terdapat perubahan warna
pada kulit serta perubahan kelembapan sekitar trauma.
2) Palpasi
Terdapat edema ekstremitas, cedera tekan beberapa penonjolan
tulang, teraba hangat di sekitar trauma dan kenaikan suhu dan
nyeri tekan, waktu pengisian kapiler 3 detik..
m. Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan
BAB.
B. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang biasa dijumpai pada klien fraktur tibia
adalah sebagai berikut (NIC-NOC 2015):
Berikut adalah diagnosa keperawatan pada pasien fraktur tibia pre op:
1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
2. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri,
terapi restriktif (imobilisasi)
3. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen,
kawat, sekrup)
4. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan
kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
(Doengoes, 2010).
Berikut adalah diagnosa keperawatan pada pasien fraktur tibia post op:
1. Gangguan mobilitas fisik b/d pasca operasi (imobilisasi).
2. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen,
kawat, sekrup).
3. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
4. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan
kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang).
C. Intervensi Keperawatan
1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
Tujuan: Klien mengataka nyeri berkurang atau hilang dengan
menunjukkan tindakan santai, mampu berpartisipasi dalam
beraktivitas, tidur, istirahat dengan tepat, menunjukkan
penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas trapeutik sesuai
indikasi untuk situasi individual
Intervensi :
1. Pertahankan imobilasasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips,
bebat dan atau traksi
2. Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena.
3. Lakukan dan awasi latihan gerak pasif/aktif.
4. Lakukan tindakan untuk meningkatkan kenyamanan (masase,
perubahan posisi)
5. Ajarkan penggunaan teknik manajemen nyeri (latihan napas dalam,
imajinasi visual, aktivitas dipersional)
6. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi.
7. Evaluasi keluhan nyeri (skala, petunjuk verbal dan non verval,
perubahan tanda-tanda vital)
Rasional
1. Mengurangi nyeri dan mencegah malformasi.
2. Meningkatkan aliran balik vena, mengurangi edema/nyeri.
3. Mempertahankan kekuatan otot dan meningkatkan sirkulasi vaskuler.
4. Meningkatkan sirkulasi umum, menurunakan area tekanan lokal dan
kelelahan otot.
5. Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, meningkatkan kontrol terhadap
nyeri yang mungkin berlangsung lama.
6. Menurunkan nyeri melalui mekanisme penghambatan rangsang nyeri
baik secara sentral maupun perifer.
7. Menilai perkembangan masalah klien.
b. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri,
terapi restriktif (imobilisasi)
Tujuan : Klien dapat meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada
tingkat paling tinggi yang mungkin dapat mempertahankan
posisi fungsional meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit
dan mengkompensasi bagian tubuh menunjukkan tekhnik
yang memampukan melakukan aktivitas
Intervensi
1. Pertahankan pelaksanaan aktivitas rekreasi terapeutik (radio, koran,
kunjungan teman/keluarga) sesuai keadaan klien.
2. Berikan papan penyangga kaki, gulungan trokanter/tangan sesuai
indikasi.
3. Bantu dan dorong perawatan diri (kebersihan/eliminasi) sesuai
keadaan klien.
4. Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien.
5. Dorong/pertahankan asupan cairan 2000-3000 ml/hari.
6. Berikan diet TKTP.
7. Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi sesuai indikasi.
8. Evaluasi kemampuan mobilisasi klien dan program imobilisasi.
Rasional
1. Memfokuskan perhatian, meningkatakan rasa kontrol diri/harga diri,
membantu menurunkan isolasi sosial.
2. Mempertahankan posis fungsional ekstremitas.
3. Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai kondisi
keterbatasan klien.
4. Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan (dekubitus,
atelektasis, penumonia)
5. Mempertahankan hidrasi adekuat, men-cegah komplikasi urinarius
dan konstipasi.
6. Kalori dan protein yang cukup diperlukan untuk proses penyembuhan
dan mem-pertahankan fungsi fisiologis tubuh.
7. Kerjasama dengan fisioterapis perlu untuk menyusun program
aktivitas fisik secara individual.
8. Menilai perkembangan masalah klien.
c. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen,
kawat, sekrup)
Tujuan : Klien menyatakan ketidaknyamanan hilang, menunjukkan
perilaku tekhnik untuk mencegah kerusakan kulit/memudahkan
penyembuhan sesuai indikasi, mencapai penyembuhan luka
sesuai waktu/penyembuhan lesi terjadi
Intervensi
1. Pertahankan tempat tidur yang nyaman dan aman (kering, bersih, alat
tenun kencang, bantalan bawah siku, tumit).
2. Masase kulit terutama daerah penonjolan tulang dan area distal
bebat/gips.
3. Lindungi kulit dan gips pada daerah perianal
4. Observasi keadaan kulit, penekanan gips/bebat terhadap kulit, insersi
pen/traksi.
Rasional
1. Menurunkan risiko kerusakan/abrasi kulit yang lebih luas.
2. Meningkatkan sirkulasi perifer dan meningkatkan kelemasan kulit dan
otot terhadap tekanan yang relatif konstan pada imobilisasi.
3. Mencegah gangguan integritas kulit dan jaringan akibat kontaminasi
fekal.
4. Menilai perkembangan masalah klien.

d. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan


kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang
Tujuan : Klien mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase
purulen atau eritema dan demam
Intervensi
1. Lakukan perawatan pen steril dan perawatan luka sesuai protokol
2. Ajarkan klien untuk mempertahankan sterilitas insersi pen.
3. Observasi tanda-tanda vital dan tanda-tanda peradangan lokal pada
luka.
4. Analisa hasil pemeriksaan laboratorium (Hitung darah lengkap, LED,
Kultur dan sensitivitas luka/serum/tulang)
5. Kolaborasi pemberian antibiotika dan toksoid tetanus sesuai indikasi.
Rasional
1. Mencegah infeksi sekunderdan mempercepat penyembuhan luka.
2. Meminimalkan kontaminasi.
3. Mengevaluasi perkembangan masalah klien.
4. Leukositosis biasanya terjadi pada proses infeksi, anemia dan
peningkatan LED dapat terjadi pada osteomielitis. Kultur untuk
mengidentifikasi organisme penyebab infeksi.

5. Antibiotika spektrum luas atau spesifik dapat digunakan secara


profilaksis, mencegah atau mengatasi infeksi. Toksoid tetanus untuk
mencegah infeksi tetanus.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner, Suddarth. 2015. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3.


EGC. Jakarta
Carpenito, LJ. 2011. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 . Jakarta: EGC

Doengoes, M.E., 2010, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta


Carpenito (2013), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6,
EGC, Jakarta

Brunner dan Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta

Amin Huda, Hardhi.2016. Asuhan Keperawatan Praktis Jilid 2. Jogjakarta

Ircham Machfoedz, 2016. Pertolongan Pertama di Rumah, di Tempat Kerja, atau


di Perjalanan. Yogyakarta: Fitramaya

Herman Santoso, dr., SpBO (2016), Diagnosis dan Terapi Kelainan Sistem
Muskuloskeletal, Diktat Kuliah PSIK, tidak dipublikasikan.

Potter, Perry. 2010. Penatalaksanaan Asuhan Keperawatan Fraktur, EGC:


Jakarta

Desiartama, Aryana. 2017. Penatalaksanaan Terapi Imobilisasi Dini Pasien


Fraktur, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai