Anda di halaman 1dari 13

REVIEW MATERI HALAL INDUSTRI

(Disusun untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Halal Industri)

Disusun Oleh :
Ayu Risna Zuliana (170421100059)

Program Studi Teknik Industri


Jurusan Teknik Industri Mesin
Fakultas Teknik
Universitas Trunojoyo Madura
2020/2021
Kaidah Ke-50 : Hukum Asal Mu’âmalah Adalah Halal Kecuali Ada
Dalil Yang Melarangnya
QAWA’ID FIQHIYAH Kaidah Kelima Puluh

‫ت ْال ِحلُّ َواإْل ِ بَا َحةُ إِالَّ بِ َدلِي ٍْل‬


5ِ َ‫ْاألَصْ ُل فِي ال ُّشرُوْ ِط فِي ْال ُم َعا َمال‬
Hukum asal menetapkan syarat dalam mu’âmalah, yaitu perkara-perkara yang tidak
termasuk ibadah. Apabila hukum asal suatu perkara dilarang maka hukum asal
menetapkan syarat juga dilarang. Dan jika hukum asal suatu perkara halal maka hukum
asal menetapkan syarat juga halal.
Para fuqahâ’ telah menjelaskan bahwa mu’âmalah, baik jual beli, sewa menyewa,
dan semisalnya hukum asalnya adalah halal dan diperbolehkan kecuali ada dalil yang
melarangnya. Dari sini dapat diketahui bahwa hukum asal menetapkan syarat dalam
mu’âmalah juga adalah halal dan diperbolehkan. Yang dimaksud syarat sah adalah
syarat-syarat yang harus dipenuhi agar akad jual beli itu sah. Adapun syarat jual beli
adalah syarat yang ditentukan oleh salah satu pelaku atau keduanya dan tidak berkaitan
dengan keabsahan jual beli, seperti syarat pengantaran barang ke rumah si pembeli, atau
persyaratan pembayaran secara cicilan, atau syarat lainnya.
1. Syarat sah jual beli disyaratkan pada semua jual beli, adapun syarat jual beli
terkadang ada dan terkadang tidak.
2. Jual beli tidak akan sah kecuali jika syarat sah terpenuhi, tapi jika yang tidak ada
syarat jual beli maka akadnya tetap sah.
3. Syarat sah itu tertentu, tidak berubah, dan berlaku dalam semua jual beli, adapun
persyaratan dalam jual beli tidak tertentu dan bisa berbeda antara satu akad dengan
akad yang lainnya.
4. Syarat sah harus terpenuhi meskipun tidak disebutkan oleh kedua belah pihak.
Adapun persyaratan dalam jual beli itu asalnya tidak ada kecuali jika dikehendaki
dan disebutkan oleh salah satu pelaku akad dan disetujui oleh yang lainnya.
5. Hukum asal syarat sah jual beli adalah tauqîfi, artinya perlu dalil. Seseorang tidak
boleh menetapkan sesuatu sebagai syarat sah kecuali jika ada dalil shahih yang
menunjukkannya.
Persyaratan yang menjadi pembahasan kita dalam kaidah ini adalah syurût fil
mu’âmalah, bukan syarat sah mu’âmalah. Persyaratan tersebut hukum asalnya adalah
halal dan diperbolehkan, kecuali jika ada dalil yang melarang, sebagaimana hukum asal
mu’âmalah itu sendiri yaitu diperbolehkan. Maka seseorang tidak diperkenankan
melarang suatu persyaratan yang disepakati pelaku akad mu’âmalah kecuali jika
memang ada dalil yang menunjukkan larangan terhadap persyaratan tersebut.
Barangsiapa menetapkan suatu syarat yang tidak terdapat dalam Kitabullâh maka tidak
ada hak baginya untuk melaksanakannya meskipun sejumlah seratus syarat. Dalam
hadits tersebut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari persyaratan
mereka, namun yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingkari adalah syarat itu
menyelisihi Kitabullâh. Ini menunjukkan bahwa hukum asal menentukan syarat tertentu
dalam mu’âmalah adalah diperbolehkan kecuali jika menyelisihi Kitabullâh. Contoh
kasus yang masuk dalam implementasi kaidah ini adalah sebagai berikut :
1. Jika seseorang membeli setumpuk kayu dengan syarat kayu tersebut diantar ke
rumahnya atau digergaji di tempat tertentu maka jual beli dan persyaratan tersebut
sah karena hukum asal persyaratan itu adalah boleh.
2. Jika penjual mengatakan, “Aku jual barang ini jika si Fulan rela.” Atau ia
mengatakan, “Aku jual barang ini jika si Fulan datang.” Menurut madzhab Hambali,
jual beli dengan persyaratan seperti ini tidak sah disebabkan tidak adanya
perpindahan kepemilikan. Sedangkan hukum asal dalam jual beli adalah
berpindahnya barang dagangan dari si penjual kepada si pembeli setelah
sempurnanya akad. Maka persyaratan tersebut menyebabkan akad itu tidak sah.
Namun pendapat yang kuat adalah akad dan persyaratan tersebut sah. Karena tidak
ada dalil yang melarang persyaratan ini. Maka, jika si pembeli setuju dengan syarat
tersebut maka ia boleh meneruskan akad jual beli. Namun jika ia tidak setuju maka
tidak ada kewajiban baginya untuk meneruskan akad itu.
3. Persyaratan ‘inah dalam jual beli. Apabila seseorang mengatakan, “Saya jual barang
ini kepadamu dengan harga 1.000 dirham dengan cara kredit, dengan syarat engkau
menjualnya kembali kepadaku dengan harga 800 dirham secara tunai.” Persyaratan
tersebut tidak diperbolehkan. Meskipun persyaratan dalam jual beli hukum asalnya
boleh, namun khusus untuk persyaratan seperti ini dilarang karena ada dalil yang
melarang, seperti sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila kalian berjual
beli dengan sistem ‘inah (salah satu bentuk riba), dan memegang ekor-ekor sapi, dan
ridha dengan pertanian (terlena dengan kehidupan dunia) dan meninggalkan jihad,
maka Allâh akan menurunkan kehinaan kepada kalian. Dia (Allâh) tidak akan
mengangkat kehinaan tersebut sehingga kalian kembali ke agama kalian”.
4. Seseorang menjual rumahnya dengan syarat dia masih diijinkan menempatinya
dalam waktu tertentu. Persyaratan seperti ini diperbolehkan. Demikian pula jika
seseorang menjual hewan peliharaannya dengan syarat masih diijinkan
memanfaatkannya selama waktu tertentu.
5. Apabila seseorang menjual budaknya dengan syarat si pembeli membebaskan budak
itu setelah dibeli, maka hal itu diperbolehkan. Ini pendapat yang masyhur dalam
madzhab Hambali. Karena hukum asal menetapkan syarat dalam jual beli itu
diperbolehkan selama tidak ada dalil yang secara khusus melarang penetapan syarat
tersebut. Dalam hal ini, apabila dikemudian hari, si pembeli menolak untuk
membebaskan budak itu, maka hakim berhak memaksanya untuk membebaskan
budak itu.
6. Apabila seseorang menjual suatu barang dengan syarat seandainya di kemudian hari
si pembeli akan menjual kembali barang itu maka si penjual pertama yang paling
berhak untuk membelinya. Dalam kasus seperti ini sebagian Ulama’ mengharamkan
persyarataan tersebut. Karena si pembeli tidak memiliki kebebasan untuk menjual
barangnya kepada yang ia kehendaki, yang hal itu bertentangan dengan hakikat
kepemilikan atas barang.
Menurut pendapat yang kuat, jual beli tersebut sah, demikian pula persyaratannya.
Karena tidak ada dalil yang secara khusus menunjukkan larangan terhadap syarat
tersebut. Jadi, jika si pembeli ridha dengan syarat tersebut maka ia bisa meneruskan
akad itu, namun jika tidak, maka dia tidak wajib untuk melanjutkannya. Dalam hal ini,
jika di kemudian hari si pembeli menjual barang itu namun tidak mau menjualnya
kepada si penjual pertama, maka hakim berhak memaksanya untuk menjualnya kepada
pembeli pertama itu. Karena sejak semula ia telah bersedia dengan persyaratan tersebut
dan telah menyetujuinya. Ini juga adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah.
Hukum Asal Ibadah adalah Terlarang, sampai Ada Dalil dari Syariat

Banyak orang belum memahami dan mencampur adukkan antara bab ibadah
dengan bab adat kebiasaan. Sehingga ketika kita mengkoreksi sebagian praktek ibadah
yang tidak ada asalnya dari syariat , serta merta mereka akan mengatakan, “Hukum
asal segala sesuatu itu diperbolehkan (mubah)”. Kalimat tersebut adalah salah satu di
antara kaidah ilmiyyah yang shahih, tidak salah. Akan tetapi, kaidah tersebut tidak
ditempatkan sesuai dengan maksud dan tujuannya. Karena kaidah tersebut hanya
berlaku untuk segala sesuatu yang telah Allah Ta’ala ciptakan, baik berupa benda atau
berupa jasa .
Syaikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi berkata setelah menjelaskan dengan tepat kaidah
tersebut di atas, “…dan ini berbeda dengan bab ibadah. Karena ibadah itu semata-
mata hanya berasal dari perintah agama, yang tidaklah diambil kecuali melalui jalan
wahyu. Berkaitan dengan hal ini, terdapat hadits yang shahih, ‘Barangsiapa yang
mengada-adakan dalam perkara agama kami ini, yang tidak ada asalnya, maka amal
tersebut tertolak.”
Hal ini karena hakikat agama ini hanya ada dua, yaitu: hanya beribadah kepada
Allah Ta’ala ; dan tidaklah kita beribadah kepada Allah, kecuali dengan syariat yang
telah Allah Ta’ala tetapkan.
Barangsiapa yang membuat-buat ibadah jenis baru, apa pun bentuknya, maka
tidak bisa diterima dan tertolak. Selain itu, dia telah membuka pintu-pintu
penyimpangan dan kebinasaan. Karena hanya syariat-lah yang memiliki hak untuk
memerintahkan ibadah jenis tertentu dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah
Ta’ala.
Oleh karena itu, penerapan kaidah di atas agar sesuai pada tempatnya telah
dijelaskan dengan sangat indah oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullahu Ta’ala,
َ ‫ اَل َوا ِج‬5ُ‫ َك َما أَنَّه‬،ُ‫ه فَا ِعلَه‬5ِ ِ‫م إاَّل َما أَث َّ َم هَّللا ُ َو َرسُولُهُ ب‬5َ ‫ َواَل تَأْثِي‬5،ُ‫َو َم ْعلُو ٌم أَنَّهُ اَل َح َرا َم إاَّل َما َح َّر َمهُ هَّللا ُ َو َرسُولُه‬
‫ب إاَّل َما‬
ْ ‫ت ْالب‬
‫ل َعلَى‬5ٌ ‫ن َحت َّى يَقُو َم َدلِي‬5ُ ‫ُطاَل‬ ِ ‫ فَاأْل َصْ ُل فِي ْال ِعبَادَا‬،ُ‫ين إاَّل َما َش َر َعه‬
5َ ‫ َواَل ِد‬5،ُ ‫ َواَل َح َرا َم إاَّل َما َح َّر َمهُ هَّللا‬،ُ ‫أَوْ َجبَهُ هَّللا‬
ْ ‫ل َعلَى ْالب‬5ٌ ‫ص َّحةُ َحت َّى يَقُو َم َدلِي‬
‫ُطاَل ِن َوالتَّحْ ِر ِيم‬ ِّ ‫ت ال‬ ِ ‫ َواأْل َصْ ُل فِي ْال ُعقُو ِد َو ْال ُم َعا َماَل‬5،‫اأْل َ ْم ِر‬.
ُ‫ َو َحقُّه‬5،‫ َحقُّهُ َعلَى ِعبَا ِد ِه‬5َ‫ فَإ ِ َّن ْال ِعبَا َدة‬،‫ة ُر ُسلِ ِه‬5ِ َ‫د إاَّل بِ َما َش َر َعهُ َعلَى أَ ْل ِسن‬5ُ َ‫ أَ َّن هَّللا َ – ُس ْب َحانَهُ – اَل يُ ْعب‬5‫ق بَ ْينَهُ َما‬
ُ ْ‫َو ْالفَر‬
ُ ‫ َوأَ َّم ا ْال ُعقُو ُد َوال ُّش ُروطُ َو ْال ُم َعا َماَل‬،ُ‫ه َو َش َر َعه‬5ِ ِ‫ض َي ب‬
‫ت فَ ِه َي َع ْف ٌو َحت َّى يُ َح ِّر َمهَا‬ ِ ‫ال َّ ِذي أَ َحقَّهُ هُ َو َو َر‬
“Telah diketahui bahwa bahwa tidak ada keharaman, kecuali yang diharamkan oleh
Allah Ta’ala dan Rasul-Nya dan tidak ada dosa kecuali yang pelakunya dinilai berbuat
dosa oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Sebagaimana tidak ada kewajiban kecuali
Allah Ta’ala wajibkan; tidak ada keharaman, kecuali Allah Ta’ala haramkan; dan
tidak ada agama kecuali yang Allah Ta’ala syariatkan. Maka, hukum asal ibadah
adalah batil, sampai terdapat perintah . Sedangkan hukum asal berbagai akad dan
muamalah adalah sah, sampai terdapat dalil bahwa perkara tersebut adalah batil dan
diharamkan.
Perbedaan keduanya adalah karena Allah Ta’ala tidaklah disembah kecuali
dengan syariat-Nya yang disampaikan melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Karena ibadah adalah hak Allah atas hamba-Nya, hak yang telah Allah Ta’ala
tetapkan, Allah ridhai, dan Allah syariatkan. Adapun berbagai jenis akad, persyaratan
dan muamalah, itu pada asalnya dimaafkan, sampai diharamkannya.”
Pemahaman seperti inilah yang diterapkan oleh para ulama salaf terdahulu, baik
dari kalangan sahabat dan tabi’in, semoga Allah Ta’ala meridhai mereka semuanya.
Di antaranya adalah salah satu contoh berikut ini. Diriwayatkan dari salah seorang
ulama besar tabi’in, Sa’id bin Musayyib rahimahullah. Beliau melihat seorang laki-
laki yang shalat sunnah setelah terbit fajar (shalat sunnah qabliyah subuh) lebih dari
dua rakaat, dia perbanyak ruku’ dan sujud dalam shalat tersebut. Sa’id bin Musayyib
pun melarangnya, karena yang disyariatkan adalah hanya dua raka’at. Orang tersebut
berkata,
‫ هللا على الصالة؟‬5‫ني‬5‫يا أبا محمد! يعذب‬
“Wahai Abu Muhammad! Apakah Allah akan mengadzabku karena aku
(memperbanyak) shalat?”
Sa’id bin Musayyib rahimahullah menjawab,
‫ على خالف السنة‬5‫ يعذبك‬5‫ ولكن‬5،‫ال‬
“Tidak, akan tetapi (bisa jadi Engkau diadzab) karena menyelisihi sunnah
(petunjuk Nabi).” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, 2/366; Al-Khathib Al-
Baghdadi dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih, 1/147; ‘Abdur Razzaq, 3/25; Ad-Darimi,
1/116 dan Ibnu Nashr, hal. 84; dengan sanad yang hasan).
Oleh karena itu, betapa indah surat yang ditulis oleh Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul
‘Aziz kepada sebagian gubernurnya, yang mewasiatkan untuk menghidupkan sunnah
dan mematikan berbagai bentuk bid’ah. Beliau rahimahullahu Ta’ala berkata,
‫َث‬َ ‫ د‬5ْ‫ا أَح‬55‫ك َم‬ 5ِ ْ‫ر‬55َ‫ َوت‬5،‫ل َّ َم‬5‫ ِه َو َس‬5‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬5‫ص‬ َ ‫ولِ ِه‬5‫ن َّ ِة َر ُس‬5‫اع ُس‬5 ِ 5‫ا ِد فِي أَ ْم‬5‫ص‬
ِ 5َ‫ َواتِّب‬،‫ر ِه‬5 َ ِ‫ َوااِل ْقت‬5،ِ ‫ َوى هَّللا‬5‫ك بِتَ ْق‬ ِ ُ‫أ‬
5َ ‫ي‬5‫وص‬
ٌ ‫ع إِ ْن َس‬5ْ ‫ َوا ْعلَ ْم أَنَّهُ لَ ْم يَ ْبتَ ِد‬5،ُ‫ َو ُكفُوا َمئُونَتَه‬5،ُ‫ه ُسنَّتُه‬5ِ ِ‫ت ب‬
‫ل‬5ٌ 5‫ َو َدلِي‬5ُ‫ا ه‬55‫ إِاَّل قُ ِّد َم قَ ْبلَهَا َم‬5،ً‫ان بِ ْد َعة‬ 5َ ُ‫ْال ُمحْ ِدث‬
ْ ‫ فِي َما قَ ْد َج َر‬5،ُ‫ون بَ ْع َده‬
‫ا‬55َ‫ا فِي ِخاَل فِه‬55‫د َعلِ َم َم‬5ْ 5َ‫ن َس َّن ال ُّسنَنَ ق‬5ْ ‫ َوا ْعلَ ْم أَ َّن َم‬،ٌ‫ن هَّللا ِ ِعصْ َمة‬5ِ ‫ك بِإ ِ ْذ‬ ِ ‫ك بِلُ ُز‬
َ َ‫ فَإِنَّهَا ل‬5،‫وم ال ُّسن َّ ِة‬ 5َ ‫ َو ِع ْب َرةٌ فِيهَا فَ َعلَ ْي‬،‫َعلَ ْيهَا‬
‫ َوى َعلَى‬5‫انُوا هُ ْم أَ ْق‬55‫ َو َك‬،‫ ٍذ َكفُّوا‬5ِ‫ ٍر نَاف‬5‫ص‬ َ َ‫ َوبِب‬،‫وا‬55ُ‫ين ع َْن ِع ْل ٍم َوقَف‬ 5َ ِ‫ابِق‬5‫الس‬َّ ‫إ ِ َّن‬5َ‫ ف‬،‫ق‬5 ِ 5‫ق َو ْال ُح ْم‬
ِ ‫ َوالت َّ َع ُّم‬،‫ ِل‬5َ‫ِمنَ ْال َخطَأ ِ َوال َّزل‬
ِ ْ‫ْالبَح‬
5‫ َولَ ْم يَ ْب َحثُوا‬،‫ث‬
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, bersikap
pertengahan dalam agama (jangan bersikap ghuluw atau ekstrim, pen.), mengikuti
sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan meninggalkan perkara bid’ah
yang dibuat-buat oleh orang-orang yang mengada-adakannya setelah wafatnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal, sunnah Nabi telah berlaku dan
mereka sudah mencukupi beban sulitnya (maksudnya, kita hanya mengikuti saja, tidak
perlu repot-repot berpikir atau berinovasi dalam membuat-buat berbagai jenis ibadah,
pen.)”
Tidaklah manusia berbuat bid’ah, kecuali pasti mereka punya dalil (alasan) dan
qiyas untuk mendukung bid’ahnya. Maka, berpegang teguhlah kalian terhadap sunnah.
Karena dengan ijin Allah, sunnah itu akan menjadi pelindung buat kalian. Dan
ketahuilah bahwa orang yang menetapkan sunnah (yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, pen.) telah mengetahui bahwa yang menyelisihi sunnah itu pasti keliru dan
terpeleset, perbuatan berlebih-lebihan dan kebodohan. Karena sesungguhnya orang-
orang terdahulu (yaitu Nabi dan para sahabat), mereka berhenti (dalam masalah
ibadah) di atas ilmu dan dengan pandangan yang tajam mereka berhenti. Dan
sesungguhnya mereka (yaitu Nabi dan para sahabat) adalah yang lebih kuat dalam
membahas (mengkaji), dan mereka tidak mau membahasnya.” (Al-Ibaanah Al-Kubra
no. 163 dan Syarh Ushuul As-Sunnah no. 16)
Mengenal Hakekat Ibadah

Secara bahasa ibadah bermakna perendahan diri dan ketundukan . Oleh sebab itu
orang arab menyebut jalan yang biasa dilalui orang dengan istilah thariq mu’abbad .
Yaitu jalan yang telah dihinakan, karena telah banyak diinjak-injak oleh telapak kaki
manusia . Sehingga, ibadah bisa diartikan dengan perendahan diri, ketundukan dan
kepatuhan .
Secara terminologi, ada beberapa definisi yang diberikan oleh para ulama tentang
makna ibadah, yang pada hakikatnya semua definsi itu saling melengkapi. Di
antaranya mereka menjelaskan bahwa ibadah adalah ketaatan kepada Allah dengan
melaksanakan perintah-perintah-Nya yang disampaikan melalui lisan para rasul-Nya .
Ibnu Juraij rahimahullah mengatakan bahwa ibadah kepada Allah artinya adalah
mengenal Allah . Yang dimaksud mengenal Allah di sini adalah mentauhidkan Allah.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Menurut pengertian syari’at ibadah itu
adalah suatu ungkapan yang memadukan antara kesempurnaan rasa cinta, ketundukan,
dan rasa takut.” . Syaikh Shalih al-Fauzan berkata, “Sebagian ulama mendefinisikan
ibadah sebagai kesempurnaan rasa cinta yang disertai kesempurnaan sikap tunduk.” .
Syaikh Shalih al-Fauzan menegaskan, “Ibadah yang diperintahkan itu harus
mengandung unsur perendahan diri dan kecintaan. Barangsiapa yang hanya
bergantung kepada salah satu unsur saja maka dia belum dianggap beribadah kepada
Allah dengan sebenarnya.
Ibadah juga diartikan dengan tauhid. “Sebagaimana disebutkan dalam riwayat
yang dibawakan oleh Imam Ibnu Katsir dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma
mengenai maksud firman Allah” , Wahai umat manusia, beribadahlah kepada Rabb
kalian.” . Dari sini, maka ibadah itu mencakup perkara hati/batin dan juga perkara
lahiriyah. Sehingga seluruh ajaran agama itu telah tercakup dalam istilah ibadah .
Dari pengertian-pengertian di atas paling tidak kita dapat menarik satu
kesimpulan penting bahwa sesungguhnya ibadah itu ditegakkan di atas rasa cinta dan
pengagungan. Selain itu, kita juga bisa mengerti bahwa pelaksanaan ibadah tidak bisa
dilakukan secara sembarangan, namun harus mengikuti tuntunan para rasul
‘alaihimush sholatu was salam. Dalam konteks sekarang, maka kita semua harus
mengikuti petunjuk dan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, nabi
dan rasul yang terakhir.
Ikhlas artinya ibadah itu hanya diperuntukkan kepada Allah dan tidak
dipersekutukan dengan selain-Nya. Ini merupakan kandungan dari syahadat laa ilaaha
illallaah. Lawan dari ikhlas adalah syirik, riya’ dan sum’ah. Riya’ adalah beribadah
karena ingin dilihat orang, sedangkan sum’ah adalah beribadah karena ingin didengar
orang. Ittiba’ maksudnya adalah setia dengan tuntunan/sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, tidak mereka-reka tata cara ibadah yang tidak ada tuntunannya. Ini
merupakan kandungan dari syahadat anna Muhammadar rasulullah. Lawan dari ittiba’
adalah ibtida’ atau membuat bid’ah .
Allah ta’ala berfirman , “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan
Rabb-nya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam
beribadah kepada Rabb-nya dengan sesuatu apapun.” . Imam Ibnu Katsir rahimahullah
menerangkan bahwa amal salih ialah amalan yang sesuai dengan syari’at Allah,
sedangkan tidak mempersekutukan Allah maksudnya adalah amalan yang diniatkan
untuk mencari wajah Allah, inilah dua rukun amal yang akan diterima di sisi-Nya.
Sebagaimana orang yang tidak ikhlas amalannya tidak diterima, demikian pula orang
yang tidak ittiba’ -alias berbuat bid’ah- maka amalannya pun tidak diterima. Apalagi
orang yang beribadah tanpa keikhlasan dan tanpa ittiba’ . Oleh sebab itu para ulama,
di antaranya Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah menafsirkan bahwa yang dimaksud
ahsanu ‘amalan dalam surat al-Mulk sebagai amalan yang paling ikhlas dan paling
benar .
Ikhlas jika dikerjakan karena Allah, sedangkan benar jika dikerjakan dengan
mengikuti sunnah/ajaran Nabi . Bukan dengan cara-cara bid’ah. Bid’ah adalah tata
cara beragama yang diada-adakan dan menyaingi syari’at, dimaksudkan dengannya
untuk berlebih-lebihan dalam ibadah kepada Allah ta’ala . Hal ini memberikan
pelajaran berharga kepada kita bahwa syari’at Islam ini mengatur niat dan cara. Niat
yang baik juga harus diwujudkan dengan cara dan sarana yang baik pula . Islam tidak
mengenal kaidah ala Yahudi; ‘tujuan menghalalkan segala cara’.
Dengan demikian untuk beribadah dengan baik, seorang muslim harus
memadukan antara shihhatil irodah dengan shihhatul fahm . Oleh sebab itu Ibnul
Qayyim rahimahullah menyatakan bahwa kedua hal tadi –shihhatul irodah dan
shihhatul fahm– merupakan anugrah dan nikmat terbesar yang diberikan Allah kepada
seorang hamba. Ketulusan niat terwujud di dalam tauhid dan keikhlasan, sedangkan
kelurusan pemahaman terwujud dalam ittiba’ kepada sunnah. Sehingga amat wajar
jika para ulama sangat menekankan kedua pokok yang agung ini. Sampai-sampai
diriwayatkan bahwa Imam Ahmad rahimahullah pernah berdoa, “Allahumma ahyinaa
‘alal islam, wa amitnaa ‘alas sunnah.” Artinya: “Ya Allah, hidupkanlah kami di atas
islam , dan matikanlah kami di atas Sunnah”.
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Untuk Apa Kita Diciptakan di Dunia ini

Allah Ta’ala sudah menjelaskan dengan sangat gamblangnya di dalam Al Qur’an


apa yang menjadi tujuan kita hidup di muka bumi ini. Cobalah kita membuka
lembaran-lembaran Al Qur’an dan kita jumpai pada surat Adz Dzariyat ayat 56.
Bukanlah Allah hanya memerintahkan kita untuk makan, minum, melepas lelah, tidur,
mencari sesuap nasi untuk keberlangsungan hidup. Ingatlah, bukan hanya dengan
tujuan seperti ini Allah menciptakan kita. Tetapi ada tujuan besar di balik itu semua
yaitu agar setiap hamba dapat beribadah kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
5َ ‫ اَل تُرْ َجع‬5‫أَفَ َح ِس ْبتُ ْم أَن َّ َما َخلَ ْقنَا ُك ْم َعبَثًا َوأَن َّ ُك ْم إِلَ ْينَا‬
‫ُون‬
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu
secara main-main , dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?”
Ibnu Qoyyim Al Jauziyah mengatakan, “Apakah kalian diciptakan tanpa ada
maksud dan hikmah, tidak untuk beribadah kepada Allah, dan juga tanpa ada balasan
dari-Nya “ Jadi beribadah kepada Allah adalah tujuan diciptakannya jin, manusia dan
seluruh makhluk. Makhluk tidak mungkin diciptakan begitu saja tanpa diperintah dan
tanpa dilarang. Allah Ta’ala berfirman,
5َ ‫أَيَحْ َسبُ اإْل ِ ْن َسانُ أَ ْن يُ ْت َر‬
‫ك ُسدًى‬
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja ?”
Bukan Berarti Allah Butuh pada Kita, Justru Kita yang Butuh Beribdah pada
Allah. Sesungguhnya Allah tidak menghendaki sedikit pun rezeki dari makhluk-Nya
dan Dia pula tidak menghendaki agar hamba memberi makan pada-Nya. Allah lah
yang Maha Pemberi Rizki. Perhatikan ayat selanjutnya, kelanjutan surat Adz Dzariyat
ayat 56. Di sana, Allah Ta’ala berfirman,
5ُ ِ‫ق ُذو ْالقُ َّو ِة ْال َمت‬
‫ين‬ ْ ‫د أَ ْن ي‬5ُ ‫ق َو َما أ ُ ِري‬
ُ ‫ هُ َو ال َّر َّزا‬5َ ‫ن إِ َّن هَّللا‬5ِ ‫ُط ِع ُمو‬ ٍ ‫م ِم ْن ِر ْز‬5ْ ُ‫َما أ ُ ِري ُد ِم ْنه‬
“Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari makhluk dan Aku tidak
menghendaki supaya mereka memberi makan pada-Ku. Sesungguhnya Allah Dialah
Maha Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.”
Ibnul Qoyyim rahimahullah tatkala beliau menjelaskan surat Adz Dzariyaat ayat
56-57. Beliau rahimahullah mengatakan,”Dalam ayat tersebut Allah Ta’ala
mengabarkan bahwa Dia tidaklah menciptakan jin dan manusia karena butuh pada
mereka, bukan untuk mendapatkan keuntungan dari makhluk tersebut. Akan tetapi,
Allah Ta’ala Allah menciptakan mereka justru dalam rangka berderma dan berbuat
baik pada mereka, yaitu supaya mereka beribadah kepada Allah, lalu mereka pun
nantinya akan mendapatkan keuntungan. Semua keuntungan pun akan kembali kepada
mereka. Hal ini sama halnya dengan perkataan seseorang, “Jika engkau berbuat baik,
maka semua kebaikan tersebut akan kembali padamu”. Jadi, barangsiapa melakukan
amalan sholeh, maka itu akan kembali untuk dirinya sendiri. “
Apa Makna Ibadah?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Dalam ibadah itu terkandung
mengenal, mencintai, dan tunduk kepada Allah. Bahkan dalam ibadah terkandung
segala yang Allah cintai dan ridhoi. Titik sentral dan yang paling urgent dalam segala
yang ada adalah di hati yaitu berupa keimanan, mengenal dan mencintai Allah, takut
dan bertaubat pada-Nya, bertawakkal pada-Nya, serta ridho terhadap hukum-Nya. Di
antara bentuk ibadah adalah shalat, dzikir, do’a, dan membaca Al Qur’an.”
Tidak Semua Makhluk Merealisasikan Tujuan Penciptaan Ini.
Irodah Allah itu ada dua macam. Pertama adalah irodah diniyyah, yaitu setiap
sesuatu yang diperintahkan oleh Allah berupa amalan sholeh. Namun amalannya
dicintai dan diridhoi. Irodah seperti ini bisa terealisir dan bisa pula tidak terealisir.
Kedua adalah irodah kauniyyah, yaitu segala sesuatu yang Allah takdirkan dan
kehendaki, namun Allah tidaklah memerintahkannya. Contohnya adalah perkara-
perkara mubah dan bentuk maksiat. Perkara-perkara semacam ini tidak Allah
perintahkan dan tidak pula diridhoi. Allah tidaklah memerintahkan makhluk-Nya
berbuat kejelekan, Dia tidak meridhoi kekafiran, walaupun Allah menghendaki,
menakdirkan, dan menciptakannya. Dalam hal ini, setiap yang Dia kehendaki pasti
terlaksana dan yang tidak Dia kehendaki tidak akan terwujud.
Jika kita melihat surat Adz Dzariyat ayat 56, Tujuan penciptaan di sini termasuk
irodah diniyyah. Jadi, tujuan penciptaan di sini tidaklah semua makhluk
mewujudkannya. Oleh karena itu, dalam tataran realita ada orang yang beriman dan
orang yang tidak beriman. Tujuan penciptaan di sini yaitu beribadah kepada Allah
adalah perkara yang dicintai dan diridhoi, namun tidak semua makhluk
merealisasikannya.
Dengan Tauhid dan Kecintaan pada-Nya, Kebahagiaan dan Keselamatan akan
Diraih
Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Tujuan yang terpuji yang jika setiap
insan merealisasikannya bisa menggapai kesempurnaan, kebahagiaan hidup, dan
keselamatan adalah dengan mengenal, mencintai, dan beribadah kepada Allah semata
dan tidak berbuat syirik kepada-Nya. Inilah hakekat dari perkataan seorang hamba
“Laa ilaha illallah“. Dengan kalimat inilah para Rasul diutus dan semua kitab
diturunkan. Suatu jiwa tidaklah menjadi baik, suci dan sempurna melainkan dengan
mentauhidkan Allah semata.”
Kami memohon kepada Allah, agar menunjuki kita sekalian dan seluruh kaum
muslimin kepada perkataan dan amalan yang Dia cintai dan ridhoi. Tidak ada daya
untuk melakukan ketaatan dan tidak ada kekuatan untuk meninggalkan yang haram
melainkan dengan pertolongan Allah.
‫صحْ بِ ِه َو َسل َّ َم تَ ْسلِي ًما‬
َ ‫د َو َعلَى آلِ ِه َو‬5ٍ ‫ ُم َح َّم‬5‫صل َّى هَّللا ُ َعلَى َسيِّ ِدنَا‬ 5َ ‫د هَّلِل ِ َربِّ ْال َعالَ ِم‬5ُ ‫َو ْال َح ْم‬
َ ‫ين َو‬
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Anda mungkin juga menyukai