Disusun Oleh :
Ayu Risna Zuliana (170421100059)
Banyak orang belum memahami dan mencampur adukkan antara bab ibadah
dengan bab adat kebiasaan. Sehingga ketika kita mengkoreksi sebagian praktek ibadah
yang tidak ada asalnya dari syariat , serta merta mereka akan mengatakan, “Hukum
asal segala sesuatu itu diperbolehkan (mubah)”. Kalimat tersebut adalah salah satu di
antara kaidah ilmiyyah yang shahih, tidak salah. Akan tetapi, kaidah tersebut tidak
ditempatkan sesuai dengan maksud dan tujuannya. Karena kaidah tersebut hanya
berlaku untuk segala sesuatu yang telah Allah Ta’ala ciptakan, baik berupa benda atau
berupa jasa .
Syaikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi berkata setelah menjelaskan dengan tepat kaidah
tersebut di atas, “…dan ini berbeda dengan bab ibadah. Karena ibadah itu semata-
mata hanya berasal dari perintah agama, yang tidaklah diambil kecuali melalui jalan
wahyu. Berkaitan dengan hal ini, terdapat hadits yang shahih, ‘Barangsiapa yang
mengada-adakan dalam perkara agama kami ini, yang tidak ada asalnya, maka amal
tersebut tertolak.”
Hal ini karena hakikat agama ini hanya ada dua, yaitu: hanya beribadah kepada
Allah Ta’ala ; dan tidaklah kita beribadah kepada Allah, kecuali dengan syariat yang
telah Allah Ta’ala tetapkan.
Barangsiapa yang membuat-buat ibadah jenis baru, apa pun bentuknya, maka
tidak bisa diterima dan tertolak. Selain itu, dia telah membuka pintu-pintu
penyimpangan dan kebinasaan. Karena hanya syariat-lah yang memiliki hak untuk
memerintahkan ibadah jenis tertentu dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah
Ta’ala.
Oleh karena itu, penerapan kaidah di atas agar sesuai pada tempatnya telah
dijelaskan dengan sangat indah oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullahu Ta’ala,
َ اَل َوا ِج5ُ َك َما أَنَّه،ُه فَا ِعلَه5ِ ِم إاَّل َما أَث َّ َم هَّللا ُ َو َرسُولُهُ ب5َ َواَل تَأْثِي5،َُو َم ْعلُو ٌم أَنَّهُ اَل َح َرا َم إاَّل َما َح َّر َمهُ هَّللا ُ َو َرسُولُه
ب إاَّل َما
ْ ت ْالب
ل َعلَى5ٌ ن َحت َّى يَقُو َم َدلِي5ُ ُطاَل ِ فَاأْل َصْ ُل فِي ْال ِعبَادَا،ُين إاَّل َما َش َر َعه
5َ َواَل ِد5،ُ َواَل َح َرا َم إاَّل َما َح َّر َمهُ هَّللا،ُ أَوْ َجبَهُ هَّللا
ْ ل َعلَى ْالب5ٌ ص َّحةُ َحت َّى يَقُو َم َدلِي
ُطاَل ِن َوالتَّحْ ِر ِيم ِّ ت ال ِ َواأْل َصْ ُل فِي ْال ُعقُو ِد َو ْال ُم َعا َماَل5،اأْل َ ْم ِر.
ُ َو َحقُّه5، َحقُّهُ َعلَى ِعبَا ِد ِه5َ فَإ ِ َّن ْال ِعبَا َدة،ة ُر ُسلِ ِه5ِ َد إاَّل بِ َما َش َر َعهُ َعلَى أَ ْل ِسن5ُ َ أَ َّن هَّللا َ – ُس ْب َحانَهُ – اَل يُ ْعب5ق بَ ْينَهُ َما
ُ َْو ْالفَر
ُ َوأَ َّم ا ْال ُعقُو ُد َوال ُّش ُروطُ َو ْال ُم َعا َماَل،ُه َو َش َر َعه5ِ ِض َي ب
ت فَ ِه َي َع ْف ٌو َحت َّى يُ َح ِّر َمهَا ِ ال َّ ِذي أَ َحقَّهُ هُ َو َو َر
“Telah diketahui bahwa bahwa tidak ada keharaman, kecuali yang diharamkan oleh
Allah Ta’ala dan Rasul-Nya dan tidak ada dosa kecuali yang pelakunya dinilai berbuat
dosa oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Sebagaimana tidak ada kewajiban kecuali
Allah Ta’ala wajibkan; tidak ada keharaman, kecuali Allah Ta’ala haramkan; dan
tidak ada agama kecuali yang Allah Ta’ala syariatkan. Maka, hukum asal ibadah
adalah batil, sampai terdapat perintah . Sedangkan hukum asal berbagai akad dan
muamalah adalah sah, sampai terdapat dalil bahwa perkara tersebut adalah batil dan
diharamkan.
Perbedaan keduanya adalah karena Allah Ta’ala tidaklah disembah kecuali
dengan syariat-Nya yang disampaikan melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Karena ibadah adalah hak Allah atas hamba-Nya, hak yang telah Allah Ta’ala
tetapkan, Allah ridhai, dan Allah syariatkan. Adapun berbagai jenis akad, persyaratan
dan muamalah, itu pada asalnya dimaafkan, sampai diharamkannya.”
Pemahaman seperti inilah yang diterapkan oleh para ulama salaf terdahulu, baik
dari kalangan sahabat dan tabi’in, semoga Allah Ta’ala meridhai mereka semuanya.
Di antaranya adalah salah satu contoh berikut ini. Diriwayatkan dari salah seorang
ulama besar tabi’in, Sa’id bin Musayyib rahimahullah. Beliau melihat seorang laki-
laki yang shalat sunnah setelah terbit fajar (shalat sunnah qabliyah subuh) lebih dari
dua rakaat, dia perbanyak ruku’ dan sujud dalam shalat tersebut. Sa’id bin Musayyib
pun melarangnya, karena yang disyariatkan adalah hanya dua raka’at. Orang tersebut
berkata,
هللا على الصالة؟5ني5يا أبا محمد! يعذب
“Wahai Abu Muhammad! Apakah Allah akan mengadzabku karena aku
(memperbanyak) shalat?”
Sa’id bin Musayyib rahimahullah menjawab,
على خالف السنة5 يعذبك5 ولكن5،ال
“Tidak, akan tetapi (bisa jadi Engkau diadzab) karena menyelisihi sunnah
(petunjuk Nabi).” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, 2/366; Al-Khathib Al-
Baghdadi dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih, 1/147; ‘Abdur Razzaq, 3/25; Ad-Darimi,
1/116 dan Ibnu Nashr, hal. 84; dengan sanad yang hasan).
Oleh karena itu, betapa indah surat yang ditulis oleh Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul
‘Aziz kepada sebagian gubernurnya, yang mewasiatkan untuk menghidupkan sunnah
dan mematikan berbagai bentuk bid’ah. Beliau rahimahullahu Ta’ala berkata,
َثَ د5ْا أَح55ك َم 5ِ ْر55َ َوت5،ل َّ َم5 ِه َو َس5لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي5ص َ ولِ ِه5ن َّ ِة َر ُس5اع ُس5 ِ 5ا ِد فِي أَ ْم5ص
ِ 5َ َواتِّب،ر ِه5 َ ِ َوااِل ْقت5،ِ َوى هَّللا5ك بِتَ ْق ِ ُأ
5َ ي5وص
ٌ ع إِ ْن َس5ْ َوا ْعلَ ْم أَنَّهُ لَ ْم يَ ْبتَ ِد5،ُ َو ُكفُوا َمئُونَتَه5،ُه ُسنَّتُه5ِ ِت ب
ل5ٌ 5 َو َدلِي5ُا ه55 إِاَّل قُ ِّد َم قَ ْبلَهَا َم5،ًان بِ ْد َعة 5َ ُْال ُمحْ ِدث
ْ فِي َما قَ ْد َج َر5،ُون بَ ْع َده
ا55َا فِي ِخاَل فِه55د َعلِ َم َم5ْ 5َن َس َّن ال ُّسنَنَ ق5ْ َوا ْعلَ ْم أَ َّن َم،ٌن هَّللا ِ ِعصْ َمة5ِ ك بِإ ِ ْذ ِ ك بِلُ ُز
َ َ فَإِنَّهَا ل5،وم ال ُّسن َّ ِة 5َ َو ِع ْب َرةٌ فِيهَا فَ َعلَ ْي،َعلَ ْيهَا
َوى َعلَى5انُوا هُ ْم أَ ْق55 َو َك، ٍذ َكفُّوا5ِ ٍر نَاف5ص َ َ َوبِب،وا55ُين ع َْن ِع ْل ٍم َوقَف 5َ ِابِق5السَّ إ ِ َّن5َ ف،ق5 ِ 5ق َو ْال ُح ْم
ِ َوالت َّ َع ُّم، ِل5َِمنَ ْال َخطَأ ِ َوال َّزل
ِ ْْالبَح
5 َولَ ْم يَ ْب َحثُوا،ث
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, bersikap
pertengahan dalam agama (jangan bersikap ghuluw atau ekstrim, pen.), mengikuti
sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan meninggalkan perkara bid’ah
yang dibuat-buat oleh orang-orang yang mengada-adakannya setelah wafatnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal, sunnah Nabi telah berlaku dan
mereka sudah mencukupi beban sulitnya (maksudnya, kita hanya mengikuti saja, tidak
perlu repot-repot berpikir atau berinovasi dalam membuat-buat berbagai jenis ibadah,
pen.)”
Tidaklah manusia berbuat bid’ah, kecuali pasti mereka punya dalil (alasan) dan
qiyas untuk mendukung bid’ahnya. Maka, berpegang teguhlah kalian terhadap sunnah.
Karena dengan ijin Allah, sunnah itu akan menjadi pelindung buat kalian. Dan
ketahuilah bahwa orang yang menetapkan sunnah (yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, pen.) telah mengetahui bahwa yang menyelisihi sunnah itu pasti keliru dan
terpeleset, perbuatan berlebih-lebihan dan kebodohan. Karena sesungguhnya orang-
orang terdahulu (yaitu Nabi dan para sahabat), mereka berhenti (dalam masalah
ibadah) di atas ilmu dan dengan pandangan yang tajam mereka berhenti. Dan
sesungguhnya mereka (yaitu Nabi dan para sahabat) adalah yang lebih kuat dalam
membahas (mengkaji), dan mereka tidak mau membahasnya.” (Al-Ibaanah Al-Kubra
no. 163 dan Syarh Ushuul As-Sunnah no. 16)
Mengenal Hakekat Ibadah
Secara bahasa ibadah bermakna perendahan diri dan ketundukan . Oleh sebab itu
orang arab menyebut jalan yang biasa dilalui orang dengan istilah thariq mu’abbad .
Yaitu jalan yang telah dihinakan, karena telah banyak diinjak-injak oleh telapak kaki
manusia . Sehingga, ibadah bisa diartikan dengan perendahan diri, ketundukan dan
kepatuhan .
Secara terminologi, ada beberapa definisi yang diberikan oleh para ulama tentang
makna ibadah, yang pada hakikatnya semua definsi itu saling melengkapi. Di
antaranya mereka menjelaskan bahwa ibadah adalah ketaatan kepada Allah dengan
melaksanakan perintah-perintah-Nya yang disampaikan melalui lisan para rasul-Nya .
Ibnu Juraij rahimahullah mengatakan bahwa ibadah kepada Allah artinya adalah
mengenal Allah . Yang dimaksud mengenal Allah di sini adalah mentauhidkan Allah.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Menurut pengertian syari’at ibadah itu
adalah suatu ungkapan yang memadukan antara kesempurnaan rasa cinta, ketundukan,
dan rasa takut.” . Syaikh Shalih al-Fauzan berkata, “Sebagian ulama mendefinisikan
ibadah sebagai kesempurnaan rasa cinta yang disertai kesempurnaan sikap tunduk.” .
Syaikh Shalih al-Fauzan menegaskan, “Ibadah yang diperintahkan itu harus
mengandung unsur perendahan diri dan kecintaan. Barangsiapa yang hanya
bergantung kepada salah satu unsur saja maka dia belum dianggap beribadah kepada
Allah dengan sebenarnya.
Ibadah juga diartikan dengan tauhid. “Sebagaimana disebutkan dalam riwayat
yang dibawakan oleh Imam Ibnu Katsir dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma
mengenai maksud firman Allah” , Wahai umat manusia, beribadahlah kepada Rabb
kalian.” . Dari sini, maka ibadah itu mencakup perkara hati/batin dan juga perkara
lahiriyah. Sehingga seluruh ajaran agama itu telah tercakup dalam istilah ibadah .
Dari pengertian-pengertian di atas paling tidak kita dapat menarik satu
kesimpulan penting bahwa sesungguhnya ibadah itu ditegakkan di atas rasa cinta dan
pengagungan. Selain itu, kita juga bisa mengerti bahwa pelaksanaan ibadah tidak bisa
dilakukan secara sembarangan, namun harus mengikuti tuntunan para rasul
‘alaihimush sholatu was salam. Dalam konteks sekarang, maka kita semua harus
mengikuti petunjuk dan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, nabi
dan rasul yang terakhir.
Ikhlas artinya ibadah itu hanya diperuntukkan kepada Allah dan tidak
dipersekutukan dengan selain-Nya. Ini merupakan kandungan dari syahadat laa ilaaha
illallaah. Lawan dari ikhlas adalah syirik, riya’ dan sum’ah. Riya’ adalah beribadah
karena ingin dilihat orang, sedangkan sum’ah adalah beribadah karena ingin didengar
orang. Ittiba’ maksudnya adalah setia dengan tuntunan/sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, tidak mereka-reka tata cara ibadah yang tidak ada tuntunannya. Ini
merupakan kandungan dari syahadat anna Muhammadar rasulullah. Lawan dari ittiba’
adalah ibtida’ atau membuat bid’ah .
Allah ta’ala berfirman , “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan
Rabb-nya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam
beribadah kepada Rabb-nya dengan sesuatu apapun.” . Imam Ibnu Katsir rahimahullah
menerangkan bahwa amal salih ialah amalan yang sesuai dengan syari’at Allah,
sedangkan tidak mempersekutukan Allah maksudnya adalah amalan yang diniatkan
untuk mencari wajah Allah, inilah dua rukun amal yang akan diterima di sisi-Nya.
Sebagaimana orang yang tidak ikhlas amalannya tidak diterima, demikian pula orang
yang tidak ittiba’ -alias berbuat bid’ah- maka amalannya pun tidak diterima. Apalagi
orang yang beribadah tanpa keikhlasan dan tanpa ittiba’ . Oleh sebab itu para ulama,
di antaranya Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah menafsirkan bahwa yang dimaksud
ahsanu ‘amalan dalam surat al-Mulk sebagai amalan yang paling ikhlas dan paling
benar .
Ikhlas jika dikerjakan karena Allah, sedangkan benar jika dikerjakan dengan
mengikuti sunnah/ajaran Nabi . Bukan dengan cara-cara bid’ah. Bid’ah adalah tata
cara beragama yang diada-adakan dan menyaingi syari’at, dimaksudkan dengannya
untuk berlebih-lebihan dalam ibadah kepada Allah ta’ala . Hal ini memberikan
pelajaran berharga kepada kita bahwa syari’at Islam ini mengatur niat dan cara. Niat
yang baik juga harus diwujudkan dengan cara dan sarana yang baik pula . Islam tidak
mengenal kaidah ala Yahudi; ‘tujuan menghalalkan segala cara’.
Dengan demikian untuk beribadah dengan baik, seorang muslim harus
memadukan antara shihhatil irodah dengan shihhatul fahm . Oleh sebab itu Ibnul
Qayyim rahimahullah menyatakan bahwa kedua hal tadi –shihhatul irodah dan
shihhatul fahm– merupakan anugrah dan nikmat terbesar yang diberikan Allah kepada
seorang hamba. Ketulusan niat terwujud di dalam tauhid dan keikhlasan, sedangkan
kelurusan pemahaman terwujud dalam ittiba’ kepada sunnah. Sehingga amat wajar
jika para ulama sangat menekankan kedua pokok yang agung ini. Sampai-sampai
diriwayatkan bahwa Imam Ahmad rahimahullah pernah berdoa, “Allahumma ahyinaa
‘alal islam, wa amitnaa ‘alas sunnah.” Artinya: “Ya Allah, hidupkanlah kami di atas
islam , dan matikanlah kami di atas Sunnah”.
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Untuk Apa Kita Diciptakan di Dunia ini