Anda di halaman 1dari 26

HUKUM KEWARISAN ISLAM

MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM


(KAJIAN IMPLEMENTASI PASAL 178 AYAT 2
PASAL 181, 182 DAN PASAL 185 KOMPILASI HUKUM ISLAM)

Oleh : Drs.H.Djafar Abdul Muchith.SH.MHI

I. Pendahuluan
Hukum waris Islam memiliki karakteristik yang unik sebagai bagian dari
syari’ah Islam yang pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari aqidah
(keimanan). Seseorang tidak mendapatkan atau akan mendapatkan harta waris
sesuai bagian yang telah ditentukan Allah di luar keinginan atau kehendaknya dan
tidak perlu meminta haknya.
Begitu juga orang yang akan mati suatu ketika tidak perlu direncanakan
pembagian hartanya setelah ia mati. Karena secara otomatis hartanya akan beralih
kepada ahli warisnya sesuai perolehan yang telah ditentukan kecuali bila ia ingin
tabarru atau wasiat. Ketentuan Nashiban Mafrudlan menunjukkan bahwa rincian
sudah pasti hendaknya tidak ada suatu usaha atau kekuatan manusia yang dapat
mengubahnya.
Perbedaan pendapat tentang keadilan hukum waris antara Sunni, Syiah,
Hazairin dan hukum waris menurut KUH Perdata, menimbulkan pemikiran
tentang sistem kewarisan Islam Indonesia. Kompilasi Hukum Islam (KHI) tetap
mempertahankan kewarisan Sunni yakni adanya Dzawil Furdl, Ashobah dan Dzawil
Arham (lihat pasal 176-193 KHI), kecuali dalam beberapa hal yang waris Sunni
tidak mengatur atau tidak mengenalinya seperti ahli waris pengganti, wasiat
wajibah, anak/orang tua angkat, dan sebagainya.
Dalam kaitan ini, kami mencoba mengimplementasikan pasal-pasal KHI
tersebut yang kami anggap bahwa pasal-pasal tersebut sebagai memelihara norma
lama yang baik dan mengambil norma baru yang lebih baik.

‫المحافظة على القديم الصالح واألخذ بالجديد األصلح‬


II. Permasalahan
Dalam makalah ini ada beberapa permasalahan yang perlu mendapatkan
perhatian, yaitu :
1. Tentang bagian waris ayah bersama ibu bila ada suami atau istri. Bagian ayah
sebagai ashabah lebih kecil atau tidak seimbang dengan bagian ibu, padahal

1
ayah sebagai laki-laki ketentuannya adalah 2 (dua) kali daripada bagian ibu
yang perempuan. Dari masalah ini tersusunlah rumusan pasal 178 ayat (2)
Kompilasi Hukum Islam (KHI).
2. Tentang saudara/saudari kandung (seibu-seayah) tidak mendapat bagian
sedikitpun bila bersama dengan saudara/saudari seibu, karena harta
peninggalan sudah habis oleh ahli waris Ashabul Furudl. Apakah
saudara/saudari kandung gugur hak warisnya karena telah dihabiskan oleh
Ashabul Furudl yang diantaranya adalah saudara/saudari seibu? Atau apakah
saudara/saudari seibu lebih utama daripada saudara/saudari kandung,
sehingga dapat menggugurkan hak waris? Apakah Pasal 181 dan 182 KHI
sudah menjawab?
3. Tentang nasib binti al-binti atau ibnu al binti tidak dapat bagian waris karena
termasuk ahli waris dzawil arham, padahal sama pertaliannya dengan binti al
ibn atau ibn al ibn sebagai cucu, bedanya hanya karena bint al bint atau ibn al bint
lahir dari garis anak perempuan sedang bint al ibn atau ibn al ibn lahir dari garis
anak laki-laki. Mengapa nasib bint al bint atau ibn al bint begitu sial (buruk)
sehingga tidak mendapat bagian hanya karena yang menjadi penghubung
(wasithah) dengan pewaris adalah ibu (perempuan). Apakah karena ibu
perempuan lalu mewariskan nasib buruk kapada putra-putrinya? Padahal
sepeninggal orang tuanya pada lazimnya cucu lebih dekat dengan
kakek/neneknya dan seharusnya lebih diperhatikan nasibnya yang yatim atau
yatimah bukan malah tersingkir. Bagaimana apakah Pasal 185 KHI sudah
menjawabnya?

III. Pemecahan Masalah


A. Al-Gharrawain
Masalah ayah jika bersama ibu dan suami atau istri, menurut ahli
Faraidl atau Faradliyun disebut dengan al-Gharrawain, yaitu pemecahan masalah
waris yang sangat bijak/adil sehingga diumpamakan 2 (dua) bintang yang
cemerlang karena terang dan gamblang (masyhur). Disebut juga Umaryatain
karena masalah tersebut dipresentasikan oleh Umar bin Khathab (A. Hasan,
1979, 44).
Penyelesaian masalah tersebut secara tekstual adalah sebagai berikut :

2
Contoh 1 :
- Suami = 1/2 = 3/6 x 6 = 3
- Ibu = 1/3 = 2/6 x 6 = 2
- Ayah = A = 1/6 x 6 = 1 (lebih kecil dari ibu)
Contoh 2 :
- Istri = 1/4 = 3/12 x 12 = 3
- Ibu = 1/3 = 4/12 x 12 = 4
- Ayah = A = 5/12 x 12 = 5 (lebih besar sedikit dari ibu)

Pemecahan masalah di atas, yakni ibu mendapat 1/3 bagian dan ayah
menerima ashabah (sisa), menurut Ibnu Abbas adalah logis, karena ayah itu
termasuk kelompok Ashabah yang bagiannya tidak tetap, terkadang mendapat
bagian besar (banyak) dan terkadang kecil (sedikit) daripada bagian ibu.
Cara pembagian seperti di atas, menurut Umar bin Khathab dipandag
tidak/kurang memenuhi rasa keadilan, karena ayah sebagai laki-laki bagiannya
lebih kecil atau tidak imbang dengan bagian ibu. Menurutnya ibu itu
mendapatkan 1/3 (sepertiga) dari sisa (Tsulutsul-baq), sehingga selamanya
bagian ayah lebih besar dua kali lipat daripada bagian ibu.
Penyelesaian kasus di atas menurut Umar bin Khathab adalah sebagai
berikut :
Contoh 1 ; Pewaris meninggalkan ahli waris :
- Suami = 1/2 = 1/2 x 6 = 3
- Ibu = 1/3 dari sisa = 1/3 x (6 - 3) = 1
- Ayah = A = 6–4 = 2

Contoh 2 ; Pewaris meninggalkan ahli waris :


- Istri = 1/4 = 1/4 x 12 = 3
- Ibu = 1/3 dari sisa = 1/3 x (12-3) = 3
- Ayah = A = 12 – 6 = 6

Penyelesaian dengan cara di atas ternyata bagian ayah selalu dua kali
lipat daripada bagian ibu. Atau bagian ibu selalu seperdua daripada bagian
ayah. Penetapan bagian ibu 1/3 dari sisa tidak berdasarkan nash sharih, tapi
banyak bersifat pada nalar. Sesuai nash Al-Qur’an, bila ahli warisnya hanya ibu

3
dan ayah saja, maka ibu mendapat 1/3 bagian dan ayah menerima sisanya
yaitu 2/3 bagian. Perbandingan dengan komposisi 2 : 1 antara ayah (laki-laki)
dan ibu (perempuan) atau Lidzakari mitslu Hadzil Untsayain haruslah tetap
berlaku biarpun kedua bapak ibu tersebut mewarisi bersama-sama dengan
suami atau istri.
Dasar dan alasan kedua pendapat tersebut dapat dilihat pada kitab
hukum waris oleh Fathur Rahman : penerbit PT. al-Ma’arif, 1994, halaman 238-
239.
Pendapat Umar tersebut didukung oleh para sahabat besar dan
jumhurul ulama, karena dianggap lebih logis dan tepat dengan kaidah
mawarits yang menyatakan bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan
manakala ia sederajat, seperti ayah dengan ibu, ibnun dengan bintun, akhun
dengan ukhtun, dan sebagainya.
Pemerintah Mesir mengikuti dan mempedomani pendapat Umar bin
Khathab di atas dengan mencantumkan dalam perundang-undangankewarisan
Mesir No : 77 Tahun 1943 dalam Pasal 14 yang berbunyi :

‫ولها الثلث في غير ﻫﺫه االحىا ل غير ﺁ نها ﺇﺫا اجتمعت مع ﺁحد الزوجين‬
‫واالب فقد كان لها الثلث مابقي بعد فرض الزوج‬
Artinya :
“Ibu berhak 1/3 (sepertiga) dalam keadaan selain ini, hanya saja bila ia (ibu)
kumpul dengan salah seorang suami – istri dan ayah saja, maka bagian ibu 1/3
(sepertiga) sisa setelah diambil bagian suami atau istri.” (Fathur Rahman, 1994,
241).
Pemerintah Indonesia, setelah melewati proses panjang, perdebatan
sengit dengan argumentasi yang cukup melelahkan akhirnya memilih cara
Umar bin Khathab atau sejalan dengan pemerintah Mesir yang menetapkan
bagian ibu 1/3 dari sisa. Hal ini dituangkan dalam Pasal 178 ayat (2) Kompilasi
Hukum Islam (KHI) yang berbunyi : “Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa
sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama dengan ayah.”
Prof. DR. Hazairin, S.H., dalam koreksi total terhadap sistem kewarisan
Sunni yang dianggapnya patrilineal dengan cara menafsirkan ayat-ayat
kewarisan Islam dalam fokus pemahaman bilateral, ternyata dalam masalah ini

4
tidak sependapat dengan pemikiran Umar bin Khathab atau mayoritas ulama
yang menyatakan bagian ayah selamanya harus lebih besar 2 (dua) kali lipat
dari bagian ibu.
Menurut Hazairin, ayah sebagai Dzul-Qarabah bila ia sendirian akan
menghabiskan seluruh harta jika pewaris tidak meninggalkan far’un waris dan
para saudara. Jika bersama-sama saudara atau ibu, ia mendapat sisa harta
sebagai ashabah. Adanya Dzul-Qarabah bagi ayah hanyalah untuk
menyeimbangi bagian ibu 1/3 faradl agar bagian ibu tidak melebihi bagian
ayah. (A. Sukris Sarmadi, 1997, 88 dan 276).
Menurut KUH Perdata (BW. Ps. 852 s/d Ps. 859), konsep al-Gharrawain
tidak akan terjadi, karena ayah dan ibu berada dalam keutamaan II bersama
saudar-saudara kandung; sedang istri dan suami berada dalam kelompok
keutamaan I bersama anak dan cucu. Sehingga keutamaan I dapat menghijab,
menutup atau menyisihkan kelompok keutamaan ke II dan seterusnya. Dengan
demikian dalam kasus tersebut semua harta menjadi milik suami atau istri dan
ayah/ibu tertutup (mahjub). (Efendi Parangin, 1997, 31)

B. Musyarakah
Musyarakah atau musytarakah artinya yang disekutukan (digabungkan),
dan disebut juga musyarikah yang menyekutukan (menggabungkan); sebab
saudara seibu sebapak (kandung) bersekutu atau menggabungkan diri dengan
saudara seibu. (A. Hasan, 1979, 60)
Musyarakah menurut A. Sukris Sarmadi (A. Sukris Sarmadi, 1997, 210)
adalah metode penyelesaian kasus ketika saudara laki-laki kandung sebagai
ashabah tidak memperoleh sisa harta karena habis dibagi oleh ahli waris lain.
Padahal diantara ahli waris tersebut ada saudara-saudara seibu yang mendapat
bagian sesuai ketentuan yang berlaku, seperti berkumpulnya ahli waris yang
terdiri dari suami, ibu, dua orang saudara laki-laki seibu dan seorang saudara
laki-laki kandung.
Contoh masalah sebagai berikut :
Contoh 1 ; Pewaris meninggalkan ahli waris sebagai berikut :
- Suami = 1/2 x 6 = 3
- Ibu = 1/6 x 6 = 1
- 2 saudara seibu = 1/3 x 6 = 2

5
- 1 saudara kandung = A = 0
Contoh 2; Pewaris meninggalkan ahli waris :
- Suami = 1/2 x 6 = 3
- Nenek = 1/6 x 6 = 1
- 2 saudara seibu = 1/3 x 6 = 2
- 1 sdra/1 sdri kandung = A = 0
Contoh 3; Pewaris meninggalkan ahli waris :
- Suami = 1/2 x 6 = 3
- Ibu = 1/6 x 6 = 1
- 2 sdra/sdri seibu = 1/3 x 6 = 2
- 2 sdra/2 sdri kandung = A = 0

Dalam contoh kasus di atas, saudara-saudari kandung (seibu-sebapak) tidak


mendapat bagian sedikitpun karena harta peninggalan sudah habis oleh ashabul
furudl. Dalam hal ini timbul persoalan/pertanyaan, apakah saudara-saudari
kandung gugur hak warisnya karena telah dihabiskan oleh ashabul furudl yang
diantaranya adalah saudara-saudari seibu? Apakah saudara-saudari seibu lebih
utama dari pada saudara-saudari kandung sehingga dapat menggugurkan hak
penerimaan waris saudara-saudari kandung ?
Sebagian sahabat Nabi SAW, seperti Ali Bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Ibnu
Abbas, dan Ubay bin Kaab hingga Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal, tetap
berpendapat seperti yang di atas bahwa saudara-saudari kandung tidak dapat
berserikat dengan saudara saudari seibu dalam 1/3 bagian. Jadi bila sudah tidak
ada lagi harta sisa, maka saudara kandung haknya gugur sedang hak saudara seibu
masih tetap ada. (Fatchur Rachman, 1994, 325).
Umar bin Khathab r.a semula menetapkan hal yang sama yaitu gugurnya
hak waris bagi saudara-saudara kandung dalam kasus di atas. Namun
penetapannya diprotes oleh orang-orang yang dirugikan (saudara-saudari
kandung) seraya berkata : “Wahai tuan hakim amirul mukminin, taruhlah
andaikata bapak kami itu khimar (keledai), atau hajarun mulqon fil yammi (batu
yang dilemparkan ke laut), bukankah kami ini berasal dari seorang ibu yang satu
(sama) juga” ? (A. Hassan, 1979, 61).
Atas protes tersebut, dan dengan ijtihadnya Umar akhirnya meninjau lagi
penetapannya dan merubahnya dengan cara menggabungkan mereka dalam 1/3

6
bagian, tanpa memperhatikan apakah mereka itu laki-laki atau perempuan,
semuanya dianggap saudara seibu.
Sesuai kasus posisinya, masalah tersebut kemudian dikenal dengan sebutan
Al - Umariyah dan dilihat dari cara penyelesaiaannya dikenal dengan musyarakah
atau musytarakah dan sesuai dengan tempat dimana Umar mengucapkan masalah
tersebut dikenal dengan min bariyah dan akibat dari protes para pihak yang
dirugikan, masalah ini dikenal dengan himariyah hajariyah dan yammiyah.(Fatchur
Rachman, 1994, 325).
Menurut A. Sukris Sarmadi (A. Sukris Sarmadi, 1997, 210) : “ketidak adilan
terjadi dimana saudara kandung justru tidak memperoleh harta sedang dua
saudaranya yang seibu memperoleh harta, padahal derajat yang lebih dekat
dengan mayit adalah saudara laki – laki kandung” Sebab itu dalam konteks ini
apabila sistem biasa yang diberlakukan dalam perhitungan waris, jelas tidak
mencerminkan keadilan, maka sistem musyarakah yang dipresentasikan oleh Umar
bin Khathab dan diberlakukan kelompok sunni merupakan alternatif pemecahan
kasus untuk mewujudkan keadilan tanpa menentang dasar agama dan justru
berupaya memahami dan lebih membumi tentang pembagian harta waris.
Penyelesaiaan kasus musyarakah menurut versi Umar bin Khathab adalah
sebagai berikut :
Contoh 1 : Pewaris meninggalkan ahli waris seperti dibawah ini dan harta
peninggalan sejumlah 360.000,-
- Suami = 1/2 x 6 = 3 . 3 x Rp. 360.000 / 6 = Rp. 180.000
- Ibu = 1/6 x 6 = 1 . 1 x Rp. 360.000 / 6 = Rp. 60.000
- 2 saudara seibu = Rp. 60.000
= 1/3 x 6 = 2 . 2 x Rp. 360.000 / 6 = Rp. 120.000
- 1 saudara kandung = Rp. 60.000

Contoh 2 : Pewaris meninggalkan ahli waris seperti dibawah ini dengan


harta peninggalan sebesar Rp. 360.000,-
- Suami = 1/2 = 3/6 x Rp. 360.000 = Rp. 180.000
- Nenek shihah = 1/6 = 1/6 x Rp. 360.000 = Rp. 60.000
- 2 saudara seibu = Rp. 60.000
= 2/6 = 2/6 x Rp. 360.000 = Rp. 120.000
- 1 sdra/1 sdri kandung = Rp. 60.000

7
Contoh 3 : Pewaris meninggalkan ahli waris :
- Suami = 1/2 = 3/6 x Rp. 360.000 = Rp. 180.000
- Ibu = 1/6 = 1/6 x Rp. 360.000 = Rp. 60.000
- 2 sdra/1 sdri seibu = Rp. 60.000
= 1/3 = 2/6 x Rp. 360.000 = Rp. 120.000
- 2 sdra/2 sdri kandung = Rp. 60.000

Pendapat Umar tersebut ternyata didukung oleh Utsman bin Affan dan
Zaid bin Tsabit (menurut satu riwayat Ibnu Mas’ud) dan oleh Tsauri, Imam Malik
bin Anas, Asy Syafi’i dan Ishaq bin Rahawaih ( Ibnu Katsir, I, Tt, 460).
Diantara dasar dan alasan pendapat ini disamping pertimbangan di atas
ialah bahwa saudara-saudari kandung si mati itu identik dengan saudara-saudari
seibu, disebabkan adanya persamaan jurusan dan kekerabatan. Oleh karena
mereka semuanya adalah anak-anak ibu dan kerabat ayah, maka tidaklah layak
seandainya mereka dapat menggugurkan saudaranya. Bila saudara-saudara seibu
dapat bagian karena ada hubungan ibu maka saudara-saudara kandung (seibu
sebapak) logikanya patut dan lebih pantas untuk mendapatkan 1/3 (sepertiga)
bagian tersebut karena mereka juga seibu bahkan ada tambahannya yaitu seayah.
(A. Hassan, 1979, 61).
Menurut pendapat ini, musyarakah itu terjadi bila dipenuhi syarat
ketentuannya yaitu ketika :
a) Bagian suami 1/2 (separuh)
b) Bagian ibu atau nenek 1/6 (seperenam)
c) Adanya 2 orang atau lebih saudara-saudari seibu (laki-laki atau perempuan
atau campuran) yang bagiannya 1/3 (sepertiga)
d) Adanya saudara kandung seorang atau lebih laki-laki atau perempuan atau
campuran) yang bagiannya ushubah (sisa) dan bukan ayah.
e) Sudah habis / tidak ada sisa dari ashabul furudl. (Fatchur Rahman, 1994, 326).
Berdasarkan ketentuan di atas, maka kasus di bawah ini tidak/bukan
termasuk musyarakah yaitu sebagai berikut :
1. Pewaris meninggalkan ahli waris :
 Istri = 1/4 = 3/12 = 3
 Ibu = 1/6 = 2/12 = 2
 2 Saudara seibu = 1/3 = 4/12 = 4
 1 Saudara kandung = A = 3/12 = 3 ( masih ada sisa )

8
2. Pewaris meninggalkan ahli waris :
 Suami = 1/2 = 3
 Nenek = 1/6 = 1
 2 Saudara ibu = 1/3 = 2
 1 Saudari kandung = 1/2 = 3 (saudari kandung bagiannya 1/2
(separuh)) / aul 9
3. Pewaris meninggalkan ahli waris :
 Suami = 1/2 = 3
 Ibu = 1/6 = 1
 1 Saudara seibu = 1/6 = 1 (syarat bagiannya 1/3)
 2 Saudara kandung = A =1

4. Pewaris meninggalkan ahli waris :


 Suami = 1/2 = 3
 Ibu = 1/6 = 1
 3 saudara ibu = 1/3 = 2
 1 saudara 1 saudari seayah = saudara/saudari seayah tidak
berserikat
5. dan sebagainya

Metode musyarakah tersebut ternyata diikuti oleh pemerintah Mesir dengan


mencantumkan dalam pasal 10 kitab undang-undang hukum waris Mesir yang
berbunyi :

‫وفي ا لحا لة ا لثا نية ﺇﺫا ا ستغرقت ا لفروض ا لتركة يشارك ﺃ والد االم االخ ا لشقيق‬
‫المتقدم‬ ‫واال خىة اال شقاء باﻹنفراد ﺃ ومع ﺃ خت شقيقة ا وﺃ كثر ويقسم الثلث بيهم على الو جه‬
artinya :Dalam keadaan kedua (mendapat1/3), bila faradl dari ashabul furudl telah
menghabiskan harta peninggalan, anak-anak ibu berserikat dengan
saudara kandung dan saudara-saudara kandung dengan infirad (sendiri
tidak bersama-sama dengan saudari) atau berserta saudari kandung 1
(satu) atau lebih, dan 1/3 tersebut dibagi antara mereka menurut
ketentuan yang telah lalu (sama rata) . (Fatchur Rahman, 1994, 326)
Menurut Syiah, konsep musyarakah merupakan sistem yang sudah lama
berjalan dalam kelompoknya, tapi ada perbedaan, yakni antara para saudara dalam

9
berbagai jurusan tidak saling menghijab, hanya saja didahulukan pemberian untuk
saudara kandung kemudian saudara yang seayah dan kemudian lagi yang seibu.
Kasus musyarakah sebagaimana yang dipresentasikan oleh Umar bin
Khathab atau kelompok Sunni menurut Syiah bahwa para saudara itu mahjub oleh
ibu kecuali ketika bersama ibunya ibu (nenek) atau dalam jurusan bapak seperti
kakek, maka mereka berserikat dalam pewarisan sebagaimana masalah al-jad maal
Ikhwah. (A. Sukris Sarmadi, 1997, 213).

Contoh penyelesaian kasus menurut syiah adalah sebagai berikut :


1. Pewaris meninggalkan ahli waris.
 Suami = 1/2 = 3/6 + Rad = 3/5 x HP
 Ibu = 1/3 = 2/6 + Rad = 2/5 x HP
 2 Saudara seibu = mahjub karena ada ibu
 2 Saudara kandung = mahjub karena ada ibu

2. Pewaris meniggalkan ahli waris.


 Suami = 1/2 = 3/6 x HP = 12/24 x HP
 Nenek ( Ibunya ibu ) = 1/6 = 1/6 x HP = 4/24 x HP
 1 Saudara 1 Saudari seibu = harta habis tidak peroleh
 1 Saudara lelaki kandung = 2/4 x 2/6 = 4/24 x HP
= 2/6 x HP
 2 Saudari perempuan kandung = 2/4 x 2/6 = 4/24 x HP

Di Indonesia hukum waris menurut KUH Perdata ( BW ) tidak mengenal


konsep gharrawain maupun musyarakah, sebab suami masuk dalam kelompok
keutamaan pertama sedang ibu dan sudara masuk dalam kelompok keutamaan
kedua. Kelompok keutamaan pertama akan menyisihkan kelompok keutamaan
kedua, kelompok keutamaan kedua akan menyisihkan kelompok ketiga dan
seterusnya. Kelompok-kelompok tersebut saling menghijab. Sebab itu dalam kasus
tersebut seluruh harta untuk suami dan yang lainnya mahjub (tertutup) oleh
kelompok keutamaan I. (Effendi Perangin, 1997, 31).
Konsep musyarakah menurut sistem Sunni juga ditolak keras oleh Prof. Dr.
Hazairin, SH. Menurutnya, para saudara dari segala jurusan telah jelas dan tidak
ada penyimpangan perhitungan dan tidak perlu dengan cara musyarakah. (A.
Surkis Sarmadi, 1997, 213)

10
Para saudara hanya akan mewarisi jika tidak ada anak dan mereka hanya
dihijab secara nuqson oleh ibu atau bapak. Berkumpulnya saudara dalam jurusan
manapun berjumlah 2 orang atau lebih akan memperoleh 2/3 bagian, tapi bila ada
ayah bagian berkurang menjadi 1/3 berbagi antara mereka.
Pemecahan kasus menurut Hazairin sebagai berikut :
Pewaris meninggalkan ahli waris sebagai berikut :
 Suami = 1/2 = 3/6 x HP = 9/18
 Ibu = 1/6 = 1/6 x HP = 3/18
 Saudara laki-laki seibu = 1/3 x 2/6 = 2/18
 Saudara laki-laki seibu = 2/6xHP = 1/3 x 2/6 = 2/18
 Saudara laki-laki kandung = 1/3 x 2/6 = 2/18
Rumusan pasal 181 KHI intinya sama atau sebagai penegasan ayat 12 surat
An Nisa dan Rumusan pasal 182 intinya juga sama atau penegasan kembali ayat
176 surat An Nisa.
Jelasnya, rumusan pasal tersebut adalah sebagai berikut. Pasal 181 KHI :
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah maka saudara laki-laki
dan saudara perempuaan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila
mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga
bagian.
Ayat 12 Surah An-Nisa, artinya sebagai berikut :
“Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan (tidak meninggalkan anak
dan tidak bapak), tetapi ia mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau
saudari perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu
seperenam harta. Tetapi jika Saudara-saudara itu lebih dari seorang, maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu.”(Q.S. IV, 12)
Apabila dihubungkan ayat 12 dengan ayat 176 surat An Nisa keduanya
seperti dalam pengertian yang sama yakni kalalah, akan tetapi apabila dilihat dari
hasil perolehan pembagian jelas berbeda. Pada ayat 12, bagian saudara perempuan
memperoleh 1/6 (seperenam) dan bila lebih dari satu (banyak) mereka mendapat
1/3 (sepertiga). Berbeda dengan ayat 176, saudara perempuan (tunggal)
memperoleh 1/2 (seperdua) dan jika berbilang memperoleh 2/3 (dua pertiga).
Pada ayat 12 bagian saudara laki-laki dengan saudara perempuan adalah sama
(karena bersekutu) atau alternatif 2:1. Ayat 12 dapat diambil kesimpulan pendapat

11
ulama, bahwa yang dimaksud saudara perempuan adalah saudara seibu. (Ibnu
Katsir, I, Tt, 460)
Menurut Ibnu Katsir, saudara-saudari seibu berbeda dengan ahli waris
yang lain dalam beberapa hal, yaitu ;
a) Mereka tidak mewarisi kecuali terhadap orang (pewaris) yang mati secara
Kalalah. (tidak ada anak dan tidak ayah), sebab itu mereka tidak dapat
mewarisi bersama ayah atau anak laki-laki.
b) Mereka mewarisi bersama atau dengan adanya ibu atau nenek shihah.
c) Mereka, lelaki dan perempuan sama bagiannya tanpa dibedakan.
d) Mereka, meskipun banyak jumlahnya, lelaki maupun perempuan bagiannya
tidak bisa lebih dari 1/3 (sepertiga). (Ibnu Katsir, I, Tt, 460)

Oleh sebab itu, pada ayat 176 yang dimaksud saudara perempuan adalah
saudara sekandung dari pewaris, sebagaimana yang dimaksud saudara laki-laki
adalah saudara sekandung (Syaqiq/sulbi). (Al-Maraghi, IV, Tt, 39 dan A. Hasan,
1997, 10).
Pasal 182 KHI : Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak,
sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia
mendapat separuh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan
saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka
bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut
bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian
saudara laki-laki adalah dua berbanding satu dengan saudara perempuan.
(Himpunan 2004, 352).
Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagaimana dalam rumusan 181, dan pasal
182 mengisyaratkan ada 2 (dua) kemungkinan, yakni menerima konsep
musyarakah atau percampuran antara mereka dalam segala jurusan, tetapi
membedakan antara lelaki dan perempuan 2:1 disamping berlakunya faradl
/saham yang semestinya bagi masing-masing mereka tanpa selalu harus berbagi
sama.(A . Surkis Sarmadi, 1997, 213).
Kemungkinan pertama sama seperti cara sunni dan kemungkinan kedua,
bagian saudara-saudari seibu 1/3 (sepertiga) dibagi rata/sama antara mereka, dan
bagian saudara-saudari kandung mendapat bagian sebagaimana ketentuannya
dan dibagi antar mereka atau berbanding 2:1 antara lelaki dan perempuan.

12
Contoh kemungkinan kedua menurut A. Surkis Sarmadi halaman 217,
sebagai berikut :

Pewaris meninggalkan ahli waris sebagai berikut :

 Suami = 1/2 = 3/10 x HP = 3/10 x HP =18/60


 Ibu = 1/6 = 1/10 x HP = 1/10 x HP = 6/60
 Saudara perempuan sibu 1/2 x 2/10 =2/20 x HP =6/60
=1/3= 2/10 x HP
 Saudara laki-laki seibu 1/2 x 2/10 =2/20 x HP =6/60
 Saudara laki-laki kandung 2/3 x 4/10 =8/30 x HP= 16/60
=2/3= 4/10 x HP
 Saudara perempuan kandung 1/3 x 4/10 =4/30 x HP= 8/60

Menurut penulis, KHI belum mencantumkan secara tegas tentang


musyarakah sebagaimana terlihat jelas bahwa pasal 181 menjelaskan kewarisan
saudara-saudari seibu, dan pasal 182 menegaskan tentang kewarisan saudara laki-
laki bersama saudara perempuan bila pewaris tidak meninggalkan keturunan dan
ayah. KHI tidak menjelaskna bagaimana jika semua saudara-saudari seibu kumpul
dengan saudara/saudari seayah seibu (kandung) ?
Menurut penulis, berkumpulnya para saudara dari semua jurusan, baik
laki-laki maupun perempuan sebaiknya diberi tempat atau pasal tersendiri dalam
KHI. Metode penyelesaian dengan musyarakah adalah cara yang dipandang lebih
dekat pada keadaan dan tetap berdasar pada dalil yang lebih kuat. Namun oleh
karena hal tersebut tidak semudah yang dibayangkan, maka penulis menyambut
baik dan salut atas yurispendensi Mahkamah Agung RI yang menyamakan
kedudukan saudara seibu dengan saudara sekandung dan saudara seayah, mereka
mendapat ashabah secara bersama-sama dengan ketentuan saudara laki-laki
mendapat dua kali lipat dari bagian saudara perempuan. (Mahkamah Agung RI,
2009, 242/2011, 168).
Yurisprudensi yang menetapkan para saudara seperti diatas mendapat
bagian ashabah bersama adalah suatu ijtihad yang maju/baik karena mendekati
rasa keadilan, bila dibanding dengan BW dan pendapat Syiah yang menyatakan
para saudara tidak mendapat bagian karena mahjub, sebab ashabah dalam contoh
kasus di atas pada hakikatnya adalah juga 1/3 bagian, setelah diambil suami 1/2
dan ibu 1/6 bagian. Ini berarti sama dengan penerapan musyarakah yang diperluas.

13
C. Ahli Waris Pengganti
1. Lembaga Ahli Waris Pengganti Sebagai Opsi
Menurut Fiqh Sunny, anak laki-laki (ibn) dapat menghijab hirman
cucu, baik cucu laki-laki maupun perempuan, baik cucu dari anak laki-laki
maupun cucu dari anak perempuan. Demikian juga anak laki-laki dapat
menghijab hirman saudara, baik kandung, seayah atau seibu dan juga
menghijab ashabah selain bapak dan kakek. (Yasin Ahmad Ibrahim
Daradikah, 1986, 228).
Tidak hanya anak laki-laki (ibn) yang menghijab cucu, tapi cucu laki-
laki dari anak laki-laki (ibn al ibn, menurut paham di atas) juga dapat
menghijab cucu perempuan dari anak perempuan (bint al bint) dan cucu
laki-laki dari anak perempuan (ibn al bint). (A. Hasan, 1929 : 15)
Diantara argumentasi pendapat ini ialah hadits riwayat al-Bukhari
dan Muslim dari Ibnu Abbas ra. bahwa Nabi saw bersabda : ”Berikanlah
bagian harta peninggalan kepada yang berhak, kemudian sisanya untuk
laki-laki yang paling dekat (hubungannya dengan pewaris)”. (Al-Asqolani,
XV, 1959 : II). Dasar yang kedua ialah kakidah yang artinya : ”Setiap orang
yang dipertalikan nasabnya dengan si mati melalui perantara seseorang
(wasithah) maka ia tidak dapat mewarisi bersama dengan orang yang
mempersatukan, selama orang yang dipertalikan masih ada”. (Yasin
Ahmad Ibrahim Daradikah, 1986 : 230 dan Fatchur Rahman, tt : 443).
Tersingkirnya bint al bint atau Ibn al bint dari ibn al ibn dirasakan
kurang adil, tidak manusiawi dan atau diskriminatif, karena membedakan
kedudukan penghubung (wasithah) laki-laki dan perempuan yang berakibat
penderitaan dan kesengsaraan anak turun ibu yang perempuan yang
kebetulan orang tuanya mati lebih dulu dari pada kakek / neneknya.
Padahal sepeninggal orang tuanya pada lazimnya cucu lebih dekat dengan
kakek / neneknya dan seharusnya lebih diperhatikan nasibnya yang yatim
atau yatimah bukan malah tersingkir.
Dalam hal ini terdapat dua cara pemecahan yang semuanya
bertujuan mengangkat nasib mereka ke arah yang lebih baik. Dua solusi
pemecahan tersebut ialah dengan cara menerapkan wasiat wajibah dan
dengan cara penggantian tempat / kedudukan.

14
Diantara negara-negara yang memilih opsi wasiat wajibah ialah
Mesir, Suriah, Maroko dan Tunisia. Mesir menetapkan wasiat wajibah
dalam Undang-undang Nomor 71 Tahun 1946 Pasal 76, Suriah pada tahun
1953, Maroko pada tahun 1957 dan Tunisia pada tahun 1956. (Raihan A.
Rasyid, 1959 : 54-56).
Lembaga wasiat wajibah berpedoman pada ayat 180 Surah al Baqarah :

Artinya : ”Ditetapkan (diwajibkan) atas kamu, apabila seorang diantara


kamu kedatangan (tanda-tanda) mati, jika ia meninggalkan harta
yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara
ma’ruf. Ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.”

Menurut ahli tafsir, oleh karena al walidain (bapak ibu) tergolong ahli
waris yang telah ada ketentuan bagiannya, maka tidak boleh diwasiati lagi,
karena ada hadits yang artinya tidak sah berwasiat kepada ahli waris. Ini
berarti wasiat masih ada untuk al aqrabin (kaum kerabat) yang tidak
tergolong ahli waris yang ditentukan bagiannya seperti cucu.
Solusi kedua dengan cara menggantikan tempat/kedudukan.
Negara yang memilih opsi penggantian tempat ialah Pakistan. Pakistan
menyikapi masalah cucu diatas dengan cara memberi porsi kepada cucu
untuk menggantikan tempat atau kedudukan orang tuanya yang meninggal
lebih dulu dari pada pewaris yang bagian mereka seperti bagian untuk
ayah atau ibunya seandainya ia masih hidup. Demikian ditetapkan dalam
undang-undang personel muslim tahun 1962 pada Pasal 5. (A. Rasyid, 1959:
60)
Diantara argumentasinya seperti dinyatakan oleh Fazlur Rahman
ialah : ...... Prinsip waris klasik menjadikan cucu terhalang, adalah
dipengaruhi oleh praktek masyarakat kesukuan masyarakat pra Islam.
Dalam masyarakat kesukuan, ketua suku berkewajiban mengurus angota
sukunya yang tidak mampu. Pada abad pertengahan, para paman

15
mengurus dan mengasuh keponakan-keponakan yang yatim.
Konsekwensinya keponakan tersebut tidak mendapat hak waris dari
kakeknya. Pada zaman modern ini situasi kekeluargaan sudah jauh
berbeda. Para paman semakin tidak menyukai tanggung jawabnya untuk
mengurusi dan mengasuh keponakannya yang yatim dan yang terhalang,
sebagamana yang telah dimasyarakatkan di Pakistan. Maka kedudukan
cucu yatim untuk mendapatkan bagian waris dari kakek neneknya dengan
cara menempatkan mereka para cucu pada posisi/kedudukan orang tuanya
yang telah meninggal. Hal ini sesuai dengan semangat Al-Qur’an mengenai
kepedulian atas kesejahteraan anak yatim dan fakir miskin. Hal ini tidak
bertentangan dengan sunnah dan memenuhi sosio ekonomi Islam. (Fazlur
Rahman, 1998 : 179)
Dua opsi tersebut yakni wasiat wajibah dan penggantian tempat,
keduanya masih asing dan tidak dikenal dalam fiqih waris sunni.
Dari berbagai pertimbangan, ternyata pemerintah dan ulama
Indonesia mengadopsi keduanya. Wasiat wajibah diadopsi bukan untuk
memecahkan masalah cucu seperti di Mesir, tetapi dipergunakan untuk
mengatasi masalah kewarisan anak/orang tua angkat dan untuk
perkembangannya untuk mengatasi kewarisan ahli waris yang berbeda
agama. Sedangkan untuk mengatasi masalah cucu seperti diatas dipilih opsi
dengan penggantian tempat / kedudukan.

2. Argumentasi Ahli Waris Pengganti Sebagai Solusi


Sejauh ini belum didapatkan dasar dan argumentasi ulama dan
pakar hukum di Indonesia memilih opsi penggantian kedudukan dalam
mengatasi masalah cucu bila bersama anak alaki-aki. Menurut penulis, hal
ini kemungkinan karenan penggantian kedudukan/tempat dianggap
paling sesuai dengan hukum yang berkembang di masyarakat Indonesia,
yaitu :
a. Hukum waris adat Indonesia telah mengenal dan memperlakukan
sistem penggantian tempat.
b. Pemikiran Prof. Dr. Hazairin, S.H. tentang kewarisan bilateral dengan
konsep mawali telah memasyarakat, tidak hanya terbatas di kampus
melainkan sudah diterima oleh sebagian besar cendekiawan muslim.

16
c. Dalam hukum waris sunni sendiri bila dicermati sebenarnya juga
terdapat ajaran yang identik dengan penggantian tempat/kedudukan.
Untuk sub a dan b di atas kiranya tidak perlu diuraikan karena
sudah maklum, disamping tidak mungkin dibicarakan karena tempatnya
yang terbatas. Oleh karena itu untuk sub c perlu uraian, karena ahlinya
menolak sistem penggantian tetapi kenyataannya dalam ilmu kewarisan
bila dicermati dan digali ternyata ada ajaran yang menjelaskan adanya
penggantian tempat.
Dijelaskan dalam kitab fiqh al-Khulasoh al Ilmi al-Faraid mengenai
adanya penggantian tempat antara lain sebagai berikut :
a. Anak laki-laki dari anak laki-laki (Ibn al Ibn) seperti anak laki-laki
(Ibn), hanya ia tidak mendapat dua kali bagian bersama anak
perempuan (Bint).
b. Anak perempuan dari anak laki-laki (Bint al Ibn) seperti anak
perempuan (Bint), kecuali ia dapat terhalang dengan adanya anak
laki-laki (Ibn).
c. Nenek perempuan adalah seperti ibu, hanya ia tidak dapat menerima
sepertiga bagian atau sepertiga sisa.
d. Kakek adalah seperti ayah, kecuali ia tidak dapat menghijab saudara
kandung dan saudara seayah.
e. Saudara laki-laki seayah adalah seperti saudara laki-laki seibu seayah
(shaqiq), kecuali ia tidak dapat menerima dua kali banyaknya bersama
saudara perempuan seayah.
f. Saudara perempuan seayah adalah seperti saudara perempuan seibu
seayah (shaqiqah), kecuali ia dapat terhalang (terhijab) dengan adanya
saudara laki-laki seibu seayah. (Ismuha, 2004 : 80)
Abu Zahrah dalam kitab Ahkam al-Tirkah wal mawaris (Abu Zahrah,
1974 : 181-184) menjelaskan bahwa anak perempuan dari anak laki-laki (bint
al ibn) dapat menggantikan anak laki-laki (ibn) bila bersama-sama dengan
anak perempuan (bint), maka keduanya bergabung menerima 2/3 bagian
dengan ketentuan bint (anak perempuan) mendapat 1/2 (seperdua) bagian
dan bint al ibn (cucu perempuan dari anak laki-laki) mendapat 1/6 bagian
sebagai pelengkap 2/3 bagian (Takmilah Atsulutsain). Dan bint al ibn terhijab

17
bila bersama 2 (dua) orang bint atau seorang al ibn, dan dapat ashabah bila
ia didampingi al ibn.
Jadi sebenarnya ahli waris pengganti secara implisit sudah dikenal
dalam hukum kewarisan Islam, tapi sebatas jalur ke bawah (bunuwah).

3. Rumusan Penggantian Tempat Menurut Waris Sunni


Konsep penggantian tempat dalam waris sunni dirumuskan sebagai
berikut :
a. Ahli waris yang menggantikan tempat/kedudukan ahli waris yang
telah meninggal lebih dulu dari pewaris tidak menempati kedudukan
penuh seperti kedudukan ahli waris yang digantikan.
b. Penerimaan penggantian tidak boleh merugikan penerimaan ahli
waris yang sederajat dengan ahli waris yang digantikan.
c. Kerabat yang terhalang menjadi ahli waris disebabkan karena tindak
kejahatan yang dilakukan (pembunuhan) tidak dapat dimasukkan
sebagai ahli waris pengganti.
d. Penggantian baru dilakukan apabila pengganti memang tidak dapat
menerima bagian harta waris berdasarkan aturan yang ada.
e. Penggantian hanya dipakai pada saat diperlukan atau terhadap kasus-
kasus tertentu dan tidak merupakan general rule.
f. Penggantian tempat/kedudukan tidak dapat menghijab nuqsan
(mengurangi) porsi ahli waris lainnya.
g. Ahli waris pengganti hanya dapat diduduki oleh cucu laki-laki dari
anak laki-laki (Ibn al Ibn), sedangkan cucu perempuan dari anak laki-
laki (Bint al Ibn) tidak mungkin karena ia termasuk Dhaw al Furudl.
Demikian juga cucu laki-laki atau cucu perempuan dari anak
perempuan (ibn al Bint atau Bint al Bint) tidak mungkin menggantikan
kedudukan karena termasuk kelompok Dhaw al Arham.
h. Cucu dari anak laki-laki baru dapat menggantikan oorang tuanya
apabila pewaris tidak meninggalkan anak laki-laki lain yang masih
hidup. Bila ia masih ada maka ditempuh dengan wasiat wajibah atau
hibah wasiat. (A. Wasit Aulawi, 1994 : 93)
Berdasarkan hasil temuan dan pertimbangan di atas, dan melihat
berbagai penafsiran ayat 33 Surah al-Nisa, tidak satupun ahli tafsir

18
termasuk tim ahli tafsir Departemen Agama yang menterjemahkan mawali
sebagai ahli waris pengganti, maka ada yang berpendapat bahwa ulama
Indonesia dan pakar hukum dalam menerima konsep ahli waris pengganti
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah berdasarkan kemaslahatan
ahli waris semua dan bukan berdasarkan pendapat Prof. Dr. Hazairin, S.H.
dalam penafsiran ayat 33 Surah al-Nisa’, atau dengan istilah lain karena
berorientasi pada al Maqasid al Shariah (tujuan shariah).

4. Rumusan Pasal Ahli Waris Pengganti Dalam KHI.


Dalam KHI hanya ada satu pasal yang menjelaskan ahli waris
pengganti yaitu Pasal 185 yang terdiri dari 2 (dua) ayat. Lebih jelasnya
penulis kutipkan bunyi pasal dan ayat sebagai berikut :
Pasal 185 ayat (1) : Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si
pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh
anaknya, kecuali mereka yang telah tersebut dalam
Pasa 173.
Pasal 185 ayat (2) : Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari
bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Melihat teks pasal yang sangat simpel dan juga penjelasan umum
serta penjelasan pasal demi pasal, maka dapat disimpulkan bahwa
Kompilasi Hukum Islam baca KHI tidak menyajikan secara literal dan jelas
tentang ahli waris pengganti.
Bila dicermati rumusan pasal dan ayat di atas, maka terdapat
beberapa butir pengertian/ketentuan hukum sebagai berikut :
1. Pernyataan “dapat digantikan” mengandung arti bisa digantikan dan
bisa tidak digantikan sesuai kasusnya. Ini berarti penggantian
kedudukan sifatnya tentatif dan bukan imperatif. Hal ini terserah
hakim untuk memilih cara penggantian tempat atau tidak sesuai
kemaslahatan ahli waris secara umum. Jadi hakim memutus menurut
hukum kasus, bukan menurut hukum yang berlaku umum.

19
Contoh : P. meninggalkan : Sdr pr (A), anak pr
(C) dan Bint al Ibn (D). Penyelesaiannya
ada beberapa pendapat :
1. Anak (C) mendapat ½; Sdr pr (A)
P A mendapat ½ bagian dan Bint al Ibn
(D) tidak mendapat bagian (Abi
Musa).
2. Anak pr (C) mendapat ½; Bint al Ibn
B C
(D) mendapat 1/6 dan Sdr pr (A)
sisanya (Ibnu Mas’ud).
3. Menurut KHI cucu pr (D)
menempati kedudukan (B) yang
D
besarnya tidak boleh melebihi (C).
Bila C (anak pr) mendapat 1/2,
maka D mendapat 1/6 dan A (Sdr
pr) dapat sisa.

2. Pasal 185 dan pasal penjelasannya tidak menjelaskan pengertian anak.


Apakah anak itu lelaki atau bersifat umum mencakup laki-laki dan
perempuan. Dalam bahasa Arab anak sering disebut walad
sebagaimana disebut dalam berbagai ayat dalam al-Qur’an seperti ayat
11, 12 dan 14 surah al-Nisa yang banyak diterjemahkan oleh mufasirin
dengan anak laki-laki dan anak perempuan. Kecuali ayat 176 surah al-
Nisa yang diterjemahkan oleh A. Hasan dengan anak laki-laki yang
berbeda dengan penafsiran Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa walad
itu mencakup anak laki-laki dan anak perempuan.
3. penggantian tempat / kedudukan oleh ahli waris yang meninggal
lebih dulu dari pewaris dibatasi pada ahli waris menurut hubungan
darah dan utamanya ahli waris menurut jalur bunuwah yaitu anak
keturunan dari orang yang seharusnya menjadi ahli waris langsung
dari pewaris, tapi kebetulan ia meninggal duluan dari pewaris; dan
sesuai latar belakang lahirnya solusi di atas, maka penggantian tempat
dibatasi hanya pada derajat cucu dan tidak pada turunan kebawah lagi
(cicit), kecuali memang bila tidak ada generasi cucu yang lain.

20
4. Pernyataan : ahli waris yang meninggal lebih dulu dapat digantikan
oleh anaknya, mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu :
1) Penggantian hanya terjadi dalam garis lurus ke bawah, yakni
cucu pewaris bukan ke atas atau menyamping.
2) Penggantian dapat terjadi pada anak saudara, sesuai kasusnya
siapa yang menjadi pewaris. Contoh A + B saudara P (pewaris).
A mendahului P tetapi ia mempunya 2 orang anak (C dan D).
Bila A hidup, ia adalah ahli waris P, dengan demikian ahli waris
(A) dapat digantikan oleh anaknya yaitu C dan D.
Contoh : - Ahli waris yang
mendahului P (pewaris)
yakni A kedudukannya
dapat digantikan oleh
P B
A
anaknya yaitu C + D.
- Dalam contoh diatas, C+D
bukan cucu dari P, tetapi
C D
anak saudari P
(keponakan/jawa)

5. Pengertian ahli waris pengganti tidak dijelaskan dengan tegas, apakah


ia ahli waris atau bukan ahli waris yang kemudian didudukkan
sebagai ahli waris. Dalam hal ini penulis mendukung pendapat yang
menjelaskan bahwa ahli waris pengganti itu adalah kelompok ahli
waris, bukan orang diluar ahli waris yang ditempatkan sebagai ahli
waris. Seperti cucu yang mahjub sebenarnya adalah kelompok ahli
waris yang karena keadaan tertentu ia menjadi tertutup. Karena alasan
dan pertimbangan lain, cucu yang mahjub itu ditempatkan sebagai ahli
waris menggantikan orang tuanya yang meninggal lebih dulu dari
pada si pewaris. Jadi ia adalah ahli waris yang tertunda haknya selama
masih ada yang lebih berhak, seperti dhawil furudl atau ashobah.
Berbeda dengan anak/orang tua angkat yang mewarisi dengan wasiat
wajibah, ia memang bukan ahli waris tetapi didudukkan seperti ahli
waris yang mendapat bagian paling besar 1/3 bagian.

21
6. tidak semua orang dapat menjadi ahli waris pengganti; untuk dapat
menjadi ahli waris pengganti syaratnya adalah orang tersebut tidak
terhalang menjadi ahli waris. Orang yang terhalang menjadi ahli waris
menurut hukum juga tidak boleh menjadi ahli waris pengganti.
Mereka itu ialah orang yang disebut dalam Pasal 173 KHI, yaitu orang
yang telah divonis hakim (berkekuatan hukum tetap) dihukum karena
dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat pada pewaris; dipersalahkan secara memfitnah telah
mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu
kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 (lima) tahun penjara atau
hukuman yang lebih berat.
7. Pasal 185 ayat (1) KHI menyebutkan bahwa kedudukannya dapat
digantikan oleh anaknya, telah diperjelas oleh ayat (2) yaitu bagian ahli
waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang
sederajat dengan yang digantikan. Ini berarti penggantiannya tidak
sepenuhnya seperti kedudukan ahli waris yang digantikan. Sebab bila
tidak dibatasi, maka dapat merugikan ahli waris lainnya yang
sederajat. Pengertian sederajat, dapat juga diartikan bahwa ahli waris
pengganti itu hanya terbatas pada ahli waris menurut hubungan
darah. Ini berarti tidak ada masalah seandainya ahli waris pengganti
bagiannya lebih besar dari pada bagia ahli waris langsung seperti
zaujah (janda/isteri) dan atau mungkin ibu/nenek.
8. Penggantian ahli waris tersebut terbatas pada penggantian hak bagian
ahli waris dan bukan menggantikan penuh kedudukan dan fungsinya.
Sehingga ahli waris pengganti tidak mempunyai hak menghijab, baik
hirman (total) atau nuqsan (mengurangi).
9. Penggantian hanya berlaku untuk orang yang ahli warisnya mati
mendahului pewaris dan waktu penggantian ahli waris terjadi pada
saat meninggalnya pewrais. Ini berarti berlakunya penggantian itu
jaraknya tidak terlalu jauh dari kematian pewaris. Hal ini untuk
menghindari mudharat atau hal-hal yang tidak diinginkan. Jadi pada
saat pewaris meninggal, saat itu anak ahli waris yang mati mendahului
pewaris dapat menggantikan kedudukannya. Namun oleh karena
penggantian tersebut tidak wajib dan tidak memaksa, maka sebaiknya

22
tidak frontal dan spontanitas, melainkan melalui proses dan ketentuan
pembagian tirkah pada umumnya (kepatuhan ’urf dan kemaslahatan
semua).
10. Ayahnya ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pewaris (cucu)
atau kakek/nenek dapat menggantikan anaknya (ayah pewaris)
berdasarkan penafsiran qiyas musawi yaitu menyamakan kakek dengan
cucu dalam hal kepatutan keduanya sama-sama memerlukan/
menerima hukum tersebut. Sebagaimana contoh di bawah ini :
Gambar Keterangan :
P = Pewaris
D E
C F A = Ayah P yang mendahului P.
B = Ibu P yang mendahului P.
C+D = Kakek nenek P dari ayah (A)

A E+F = Kakek nenek P dari ibu (B)


B
Oleh karena ayah (A) dan ibu P (B)
telah meninggal lebih dulu dari P,

P maka kakek neneknya yang


memperolah warisannya.

5. Batasan Ahli Waris Pengganti dalam KHI.


Melihat rumusan ahli waris pengganti begitu simple dan multi tafsir
(10 macam) dan memperhatikan rumusan penggantian tempat menurut
waris Sunny diatas, maka perlu adanya pembatasan ahli waris pengganti
sebagai berikut :
1. Penerapan ahli waris pengganti sifatnya tentatif bukan imperatif.
2. Pengertian anak sifatnya umum, yaitu lelaki dan perempuan.
3. Dapat digantikan oleh anaknya, diartikan dibatasi pada ahli waris
menurut hubungan darah dan utamanya menurut jalur Bunuwah
(anak keturunan langsung ke bawah) dan dibatasi sampai derajat
cucu.
4. Ahli waris pengganti pada dasarnya adalah kelompok ahli waris yang
karena keadaan tertentu ia menjadi tertutup lalu ditempatkan sebagai

23
ahli waris pengganti; dan bukan orang atau kelompok lain yang
ditempatkan sebagai ahli waris pengganti.
5. Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli
waris yang sederajat dengan yang diganti.
6. Penggantian ahli waris terbatas pada penggantian hak bagian ahli
waris dan bukan menggantikan penuh kedudukan dan fungsinya;
sehingga ahli waris pengganti tidak mempunyai hal menghijab, baik
kirman (total) atau nuqshon (mengurangi).
7. Penggantian ahli waris hanya diperuntukkan untuk anak keturuanan
langsung ke jalur bawah, dan bukan menyamping (anak keturunan
dari saudara laki-laki/perempuan). Ini berbeda dengan rumusan
hukum waris hal : 164 b (2) Pedoman Pelaksanaan Tugas Buku II edisi
Revisi 2010 yang memasukkan anak keturunan saudara sebagai ahli
waris pengganti.
8. untuk menghindari kesulitan, sebaiknya penggantian tempat tersebut
jaraknya tidak terlalu lama/jauh dari kematian pewaris.
9. dan sebagainya.

PENUTUP

Demikian sepintas Implementasi pasal 178 ayat 2, pasal 181, 182 dan 185 KHI.
Dengan pendekatan pendalaman dan penafsiran analogis untuk rasa keadilan, metode
pemecahan kasus seperti di atas ternyata tetap up to date meskipun sudah berjalan 15
abad yang lalu.
Mengakhiri uraian ini, kami mengucapkan syukur Alhamdulillah awalan wa
akhiran, karena atas rahmat dan karunia-Nya dapat tersusun makalah ini walau masih
jauh panggang dari api. Sudah semaksimal mungkin kami menyusun ini, namun
dengan keterbatasan yang ada, kami mohon maaf serta saran dan kritik, semoga di
masa depan akan lebih baik. Kepada Allah kami berharap semoga tulisan ini
bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. Amin.
Banjarmasin,
Penulis

Drs. H. Dja’far Abdul Muchith, S.H., M.HI.


KPTA Banjarmasin

24
DAFTAR PUSTAKA

A. Hasan, al-Faraidl, Fa Pustaka Progresif, 1997.

A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris islam Transparantif, PT. Raja
Grafindo Persada jakarta, 1997.

Al Maraghi Ahmad Mustafa, Tafsir Al Maraghi, Daru Ihyail Kutub Al-Arabiyah, Mesir
1365 H.

Aulawi A. Wasit, sejarah Perkembangan Hukum Islam dalam Prospek Hukum Islam,
Jakarta : PT Kemudimas Abadi, 1993/1994.

A. Rasyid H. Raichan, Pengganti Ahli Waris dan Wasiat Wajibah, Mimbar Hukum No :
23 Th. VI, Jakarta : Yayasan al-Hikmah.

Abu Zahrah, Muhammad, Ahkam al-Tirkah wal mawarits, Kairo : Darul Fikri, 1974.

Daradikah, Yasin Ahmad Ibrahim, al Mirats fi al-Syariah al Islamiyah, Beirut :


Muassasah al Risalah, 1986.

Effendi Perangin, Hukum Waris, PT. Raja Grafindo Persada, 1997.

Fatchur Rahman, Hukum Waris, Penerbit PT Al-maarif, Bandung, 1997.

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits, Jakarta :


Tintamas, 1982.

Ismuha, Penggantian Tempat dalam Hukum Waris Islam, Jakarta : Bulan Bintang,
2004.

Ibnu Katsir, Imamuddin Abil Fida’, tafsir Ibnu Katsir, Daru ihyail Kitab Al-Arabiyah,
Mesir : tt.

Mahkamah Agung RI, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama,
Buku II Edisi 2009 dan Edisi Revisi 2010 tahun 2011.

......................................., Himpunan Peraturan Perundang-Undangan dalam Lingkungan


Peradilan Agama.

Dan sebagainya.

25
26

Anda mungkin juga menyukai