Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PRAKTIKUM METODE ANALISIS DATA OSEANOGRAFI (OS3102)

MODUL IV PENGANTAR SISTEM INFORMASI GEOSPASIAL

Disusun sebagai laporan dalam pelaksanaan praktikum mata kuliah


Metode Analisis Data Oseanografi (OS3102)

Dosen Pengampu:

Dr. Ayi Tarya, S.Si., M.Si.

Asisten:

Shafina Gammarizkia Nabila 12918039

Disusun oleh:
Jihan Alfira Fitriana 12919008

PROGRAM STUDI OSEANOGRAFI

FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................................................... i


DAFTAR GAMBAR............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................................................ 1
1.2. Tujuan ..................................................................................................................... 1
BAB II TEORI DASAR ........................................................................................................ 2
2.1. Sistem Informasi Geospasial .................................................................................. 2
2.2. Data Spasial ............................................................................................................ 3
2.3. Tipe Data................................................................................................................. 4
2.4. Sumber Data Spasial ............................................................................................... 4
2.5. Standardisasi Peta ................................................................................................... 5
BAB III METODOLOGI ...................................................................................................... 8
3.1. Daerah Kajian ......................................................................................................... 8
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 12
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................................. 17
5.1. Kesimpulan ........................................................................................................... 17
5.2. Saran ..................................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 18

i
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Pulau-pulau Gorong dan pulau-pulau Watubela ................................................ 8


Gambar 2. Pulau Papua ........................................................................................................ 8
Gambar 3. Peta Kontur Batimetri dan Garis Pantai Pulau-pulau Gorong dan Pulau-pulau
Watubela .............................................................................................................................. 12
Gambar 4. Peta Kontur Batimetri dan Garis Pantai Irian Jaya .......................................... 13
Gambar 5. Peta LLN daerah pulau-pulau Gorong dan pulau-pulau Watubela .................. 16
Gambar 6. Peta LLN daerah Irian Jaya .............................................................................. 16

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Seluruh fenomena-fenomena yang terjadi di laut disebabkan oleh banyak faktor dan
kondisi. Faktor dan kondisi ini selalu berubah-ubah terhadap waktu dan tempat serta
memiliki sifat yang sangat dinamis. Untuk dapat mengamati segala fenomena dengan faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi perubahannya, dibutuhkan observasi dan hasil pemodelan
terlebih dahulu. Kemudian digunakan tools atau metode-metode dalam pengolahan dan
penyajian data sehingga dapat menghasilkan gambaran fenomena fisis, kimiawi, maupun
biologis secara komprehensif. Pengolahan data oseanografi ini dapat meliputi metode
statistika, wavelet, maupun transformasi Fourier. Sedangkan metode penyajian data dapat
ditampilkan secara temporal, spasial, atau kombinasi di antara keduanya.
1.2. Tujuan

1. Praktikan dapat menjelaskan sistem koordinat, tipe data, perubahan batimetri, dalam
pembentukan peta batimetri di daerah Pulau-pulau Gorong, Pulau-pulau Watubela,
dan bagian barat daya Irian Jaya.

2. Praktikan dapat menganalisis metode interpolasi yang digunakan dalam pembuatan


kontur batimetri.

3. Praktikan dapat menganalisis tahapan georeferencing dalam pengolahan data.

4. Praktikan dapat menganalisis perbedaan antara peta kontur batimetri yang dibuat
oleh kelompok dan peta LLN.

1
BAB II
TEORI DASAR
2.1. Sistem Informasi Geospasial
Pada dasarnya, istilah sistem informasi geografi atau SIG merupakan gabungan dari tiga
unsur pokok yaitu sistem, informasi, dan geografis. SIG adalah suatu aplikasi di dunia
pemetaan yang prinsipnya adalah memberikan informasi berupa data atribut ke dalam
sebuah data spasial (peta itu sendiri) sehingga menjadikan sebuah peta memiliki nilai
informasi atau data-data yang memberikan informasi tematik tertentu. Penggunaan kata
geografis di sini mengandung pengertian suatu persoalan mengenai bumi yang berarti
permukaan dua atau tiga dimensi. Istilah informasi geografis mengandung pengertian
informasi mengenai tempat-tempat yang terletak di permukaan bumi, pengetahuan mengenai
posisi di mana suatu objek terletak di permukaan bumi, dan informasi mengenai keterangan-
keterangan (atribut) yang terdapat di permukaan bumi yang posisinya diketahui.
Sistem Informasi Geospasial adalah sistem komputer yang digunakan untuk
mengumpulkan, memeriksa, mengintegrasikan, dan menganalisis informasi-informasi yang
berhubungan dengan permukaan bumi. Perangkat lunak yang umum digunakan di antaranya
adalah ArcGIS, Surfer, Global Mapper, QGIS, dll.
2.1.1. Datum
Datum merupakan kumpulan parameter dan titik control yang hubungan
geometriknya diketahui melalui suatu pengukuran atau perhitungan. Datum geodetik
mendefinisikan bentuk dan ukuran ellipsoid referensi, lokasi titik pusat ellipsoid, dan
orientasi terhadap bumi. Lokasi titik pusat ellipsoid didefinisikan berhimpit dengan
pusat bumi dengan Meridian Greenwich sebagai bujur ‘nol’.
Selain datum geodetik, terdapat juga datum vertikal. Menurut Diastomo
(2020), datum vertikal adalah sistem yang digunakan untuk menentukan satu sistem
tinggi suatu objek pada suatu posisi. Sistem tinggi mendefinisikan acuan kedudukan
benda pada sumbu vertikal. Dalam penentuan posisinya, digunakan ellipsoid sebagai
bidang acuan karena merepresentasikan bentuk bumi yang geoid.

2
Dalam sistem koordinat GPS modern, datum yang digunakan adalah WGS84
(World Geodetic System 1984). Sistem ini menggunakan sistem koordinat Cartesian
tiga-dimensi yang diasosiasikan terhadap ellipsoid. Hal ini mengakibatkan sistem
koordinat WGS84 dapat dideskripsikan sebagai XYZ koordinat Cartesian bujur
ataupun lintang, serta koordinat bujur dan tinggi ellipsoid.
2.1.2. Sistem Proyeksi
Menurut PP No. 8 Tahun 2013, sistem proyeksi adalah sistem penggambaran
muka bumi yang tidak beraturan secara matematis pada bidang datar. Diastomo
(2020) menyatakan bahwa proyeksi peta adalah model matematik untuk
mengonversi posisi tiga dimensi (3D) suatu titik di permukaan bumi ke representasi
posisi dua dimensi (2D) di bidang peta (bidang datar). Dalam pengonversiannya, efek
distorsi dapat muncul pada aspek-aspek geometri permukaan bumi, yaittu luas,
bentuk, jarak, dan arah. Beberapa sistem proyeksi yang ada yaitu proyeksi Mercator,
proyeksi Stereografik, proyeksi Universal Transverse Mercator (UTM), proyeksi
Lambert, dan proyeksi Gnomonic.
2.1.3. Sistem Koordinat Geografis
Menurut PP No. 8 Tahun 2013, sistem referensi koordinat adalah sistem yang
digunakan untuk menentukan posisi suatu objek secara unik di muka bumi. Menurut
Ordnance Survey (2015), tipe-tipe sistem koordinat geografis antara lain:
• Sistem Koordinat Bola (Spherical Coordinate System) yang menggunakan bujur,
lintang, dan elevasi geosentris.
• Sistem Koordinat Ellipsoid (Ellipsoidal Coordinate System) yang menggunakan
bujur, lintang, dan elevasi geodetik.
• Sistem Koordinat Hasil Proyeksi Peta
• Sistem Koordinat Cartesian
• Geocode (rangkaian angka, huruf, dan simbol).
2.2. Data Spasial
Terdapat 2 bagian penting dalam data spasial yaitu informasi lokasi (spasial) dan
informasi deskriptif (atribut).

3
• Informasi lokal atau informasi spasial, yaitu informasi yang menunjukkan lokasi
dari suatu data. Pada umumnya berupa informasi bujur dan lintang, informasi datum
dan proyeksi. Selain itu juga termasuk kode pos yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi suatu lokasi.
• Informasi deskriptif (atribut atau nonspasial) adalah informasi (data) yang berkaitan
dengan sebarannya di suatu lokasi. Beberapa contoh informasi deskriptif di
antaranya adalah jenis vegetasi, populasi, pendapatan per tahun, usia, dan lain-lain.
2.3. Tipe Data
Terdapat dua jenis data SIG, di antaranya:
a. Tipe data vektor
Bumi digambarkan sebagai suatu susunan dari garis (line), polygon (daerah yang
dibatasi oleh garis yang berawal dan berakhir pada titik yang sama), titik (point; node
yang berlabel) dan nodes (titik perpotongan antara dua garis). Pada format data ini,
terdapat keuntungan berupa ketepatan dalam proses representasi fitur titik, batasan, dan
garis lurus. Hal ini kemudian dapat bermanfaat untuk analisis yang membutuhkan
ketepatan posisi, seperti pada basis data batas-batas kadaster. Penggunaan lainnya yaitu
untuk mendefinisikan hubungan spasial dari beberapa fitur. Akan tetapi, data vektor
juga memiliki kelemahan utama, yaitu ketidakmampuan untuk mengakomodasikan
perubahan yang gradual.
b. Tipe data raster
Data raster atau sel kotak (grid cell) adalah data yang dihasilkan dari sistem
penginderaan jarak jauh. Pada data raster, objek geografis digambarkan sebagai struktur
sel kotak yang disebut dengan pixel (picture element). Resolusi dari pixel
menggambarkan ukuran sebenarnya di permukaan bumi yang diwakili oleh setiap pixel
pada citra. Semakin kecil ukuran permukaan bumi yang digambarkan oleh satu sel,
maka akan semakin tinggi resolusi pixel-nya. Data raster sangat baik untuk
merepresentasikan batas-batas yang berubah secara gradual, seperti jenis tanah,
kelembapan tanah, vegetasi, suhu tanah, dan sebagainya. Akan tetapi, keterbatasan
utama dari data raster yaitu besarnya ukuran file. Semakin tinggi resolusi yang
diinginkan, akan semakin besar pula ukuran file yang dihasilkan.
2.4. Sumber Data Spasial

4
Input atau masukan data yang digunakan dalam sistem informasi geospasial adalah
dalam bentuk spasial ataupun deskriptif. Terdapat beberapa sumber data-data tersebut, di
antaranya:
a. Peta Analog
Peta analog adalah peta bentuk cetak (print). Pada umumnya, peta analog dibuat
dengan teknik kartografi, sehingga di dalamnya terdapat referensi spasial seperti
koordinat, skala, arah mata angin, dan sebagainya.
b. Penginderaan Jauh
Data penginderaan jauh adalah data berupa foto udara atau citra yang didapat dari
satelit. Data ini dapat dikatakan merupakan sumber data yang terpenting dalam SIG
dikarenakan ketersediaannya secara berkala. Dengan banyaknya jumlah serta berbagai
jenis satelit di luar angkasa, kita dapat menerima berbagai jenis citra satelit untuk
berbagai tujuan pemakaian. Data penginderaan jauh pada umumny direpresentasikan
dalam tipe data raster.
c. Pengukuran Lapangan
Data pengukuran lapangan berupa data batas administrasi, batas kepemilikan tanah,
batas persil, batas hak pengusahaan hutan, dan sebagainya, adalah data yang dihasilkan
berdasarkan teknik perhitungan tersendiri. Data ini merupakan sumber data atribut pada
umumnya.
d. Global Positioning System (GPS)
Data yang dihasilkan dari GPS merupakan data pendukung dalam bentuk titik lokasi
atau titik koordinat. Seiring berkembangnya teknologi, akurasi pengukuran GPS juga
semakin tinggi. Data GPS pada umumnya direpresentasikan dalam format tipe data
vektor.
2.5. Standardisasi Peta

5
Menurut UU No. 4 Tahun 2011 dan PP No. 9 Tahun 2014, peta adalah suatu gambaran
dari unsur-unsur alam dan/atau buatan manusia, yang berada di atas atau di bawah
permukaan bumi yang digambarkan pada suatu bidang datar dengan skala tertentu. Dalam
Informasi Geospasial (IGD), terdapat tga bentuk peta dasar, yaitu Peta Rupabumi Indonesia
(RBI), Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI), dan Peta Lingkungan Laut Nasional (LLN).
Secara berturut-turut, ketiga peta dasar tersebut adalah peta dasar yang memberikan
informasi secara khusus untuk wilayah darat, wilayah pesisir, dan wilayah laut. Pada RBI,
garis pantai ditetapkan berdasarkan garis kedudukan muka air laut rata-rata, sedangkan LPI
dan LLN garis pantainya ditetapkan berdasarkan kedudukan muka air laut saat surut
terendah. Ketiga tipe peta dasar tersebut memiliki standar skala yang berbeda-beda dengan
mengacu pada UU No. 4 Tahun 2011.
Dalam pembuatan peta, terdapat standar khusus secara nasional atau Standar Nasional
Indonesia (SNI). Untuk peta dasar LPI, terdapat dua standar (SNI 19-6726-2002 dan SNI
19-6727-2002), yaitu untuk skala 1:50000 dan skala 1:250000. Berdasarkan kedua SNI
tersebut, informasi pada peta harus menampilkan informasi-informasi berikut:
a. Grid peta
b. Gratikul
c. Informasi tepi peta yang mencakup:
• Judul peta
• Skala peta
• Nama peta
• Diagram lokasi
• Logo, nama, dan alamat instansi pembuat peta
• Edisi
• Keterangan (legenda) peta
• Keterangan Riwayat
• Petunjuk pembacaan koordinat geografi
• Petunjuk pembacaan koordinat UTM
• Pembagian daerah administrasi (bila perlu)
• Skala (gambar dan angka)
• Singkatan

6
• Arah utara
Secara umum, setiap lembar peta mencakup daerah dengan ukuran 20’ (dua puluh
menit) Lintang dan 20’ (dua puluh menit) Bujur. Cakupan peta terdiri dari kurang lebih 60%
wilayah laut dan 40% wilayah darat. Namun, dalam kondisi khusus dimungkinkan adanya
pengecualian, misalnya untuk mencakup pulau-pulau kecil atau laut yang sempit, untuk
mengoptimalkan jumlah lembar peta. Ukuran peta untuk kertas cetak adalah berukuran
900x960 mm.

7
BAB III
METODOLOGI
3.1. Daerah Kajian
Pada modul keempat ini digunakan daerah kajian yang berlokasi di pulau-pulau Gorong
dan pulau-pulau Watubela pada koordinat 3˚50’ LS – 5˚ LS dan 131˚ 15’ BT– 132˚ BT dan
berlokasi di barat Pulau Papua pada koordinat 3˚50’ LS – 4˚ 30’ LS dan 133˚ 50’ BT– 135˚
15’ BT

Gambar 1. Pulau-pulau Gorong dan pulau-pulau Watubela

Gambar 2. Pulau Papua

8
3.2. Data
Data pertama yang digunakan untuk pembuatan peta adalah peta dari Divisi Nautika
Pusat Hidrografi dan Oseanografi yang berjudul “Peta Pelabuhan-pelabuhan dan Pulau-
pulau di Sekitarnya” (Jawa – Pantai Utara) dan “Peta Pulau-pulau Kai dan Pulau-pulau Aru
(Indonesia)”. Data batimetri yang awalnya berdasar pada peta analog ini kemudian didigitasi
menggunakan ArcGIS sehingga dihasilkan peta baru. Selain itu, digunakan juga peta dari
Indonesia Geospatial Portal untuk peta resmi LPI dan LLN sebagai bahan perbandingan dan
analisis.
3.3. Langkah Pengerjaan
3.3.1. Pembuatan Peta Batimetri
a. Pemotongan Peta Menggunakan Global Mapper
1. Aplikasi Global Mapper dibuka
2. Gambar peta analog yang sbeelumnya telah disiapkan dimasukkan ke dalam
Global Mapper dengan cara di-drag
3. Pilihan select Projections dipilih, kemudian pada bagian Projection dipilih
Geographic (Latitude/Longitude), kemudian pada bagian Datum dipilih WGS84,
dan pada bagian Planar Units dipilih Arc Degrees.
4. Pada bagian Zoomed View, daerah kajian dapat diperbesar dan dibuat point pada
bagian ujung kiri bawah, ujung kiri atas, dan bagian tengah peta di mana terdapat
nilai longitude dan latitude.
5. Lalu nilai longitude dan latitude dimasukkan dengan format penulisan (derajat)
(menit)’(detik)”, kemudian menu Add Point to List. Setelah semua point selesai
dibuat, OK.
6. Pada menu File di kiri atas, dipilih Export, kemudian Export Raster/Image
Format.
7. Format gambar yang dipilih adalah “GeoTIFF”, kemudian akan muncul dialog
box GeoTIFF Export Options.
8. Pada dialog box GeoTIFF Export Options, dipilih Export Bounds, kemudian
dipilih ‘Draw a box’, lalu dikotakkan pada daerah kajian, lalu OK.
9. Gambar hasil crop peta disimpan.
b. Pembuatan File SHP
1. Aplikasi ArcMap dibuka.
9
2. Pada menu Customize, dipilih Extensions, kemudian diceklis 3D Analyst, Arc
Scan, Geostatistical Analyst, Network Analyst, Publisher, Schematics, Spatial
Analyst, Tracking Analyst, kemudian OK.
3. Pada menu Customize, dipilih Customize mode, kemudian diceklis Draw,
Georeferencing, Editor, Geostatistical Analyst, Layout, Snapping, Standar, dan
Tools.
4. Peta dimasukkan dengan cara memilih ikon Add Data, kemudian dipilih ikon
Connect to Folder, kemudian folder yang akan digunakan sebagai tempat
penyimpanan project ArcGIS, selanjutnya dipilih gambar peta dalam format .tiff,
kemudian OK.
5. Menu Catalog yang terdapat di sebelah kanan diklik, kemudian dubah Location
menjadi Folder Connection, diklik kanan pada folder kemudian dipilih New
kemudian Shapefile.
6. Pada dialog box Create New Shapefile, nama file disesuaikan dengan keinginan
pada kolomm Name kemudian disesuaikan Feature Type dengan kebutuhan
digitasi (polyline untuk digitasi garis pantai dan kontur batimetri, point untuk
mendigitasi titik-titik batimetri).
7. Pada dialog box Create New Shapefile, dipilih Edit, kemudian dipilih
Geographic Coordinat System, World, WGS 1984, kemudian OK.
8. Total shapefile yang harus dibuat adalah 3, yaitu shapefile untuk garis pantai,
kontur batimetri, dan titik batimetri.
c. Digitasi Poin Batimetri
1. Pada file SHP yang dikhussukan untuk digitasi poin batimetri, diklik Editor,
kemudian Start Editing.
2. Pada bagian Create Feature di sebelah kanan, dipilih shapefile untuk poin
batimetri (point) yang telah dibuat sebelumnya, kemudian pada bagian
Construction Tools, pilih Point.
3. Digitasi dilakukan untuk setiap angka-angka (informasi kedalaman) yang
terdapat pada peta dengan cara mengklik kiri di atas angka-angka tersebut secara
konsisten.
4. Setelah seluruh angka yang terdapat peta telah didigitasi, diklik Editor, kemudian
Save Edits, selanjutnya Stop Editing.

10
5. Selanjutnya dilakukan pengisian database shapefile yaitu dengan klik kanan pada
layer shapefile digitasi poin batimetri, kemudian diklik Open Atribute Tables.
Window ‘Table’ akan muncul, diklik menu Table Options, dan dipilih Add Field.
6. Nama kolom ditentukan untuk memasukkan nilai kedalaman.
7. Start Editing pada Editor diklik, kemudian nilai kedalaman dimasukkan dari
masing-masing titik dengan mengedit baris pada kolom nilai kedalaman.
8. Apabila sudah selesai memasukkan keseluruhan nilai kedalaman, diklik Save
Edits, kemudian Stop Editing.
d. Digitasi Kontur Batimetri
e. Digitasi Garis Pantai
f. Konversi Data Garis Menjadi Poin
g. Konversi Data Garis Menjadi Polygon
h. Penggabungan Seluruh Data Poin
i. Interpolasi Data Batimetri
j. Pembuatan Kontur Batimetri
k. Pembuatan Layout Peta
3.3.2. Pengambilan Peta LPI / LLN
1. Laman https://tanahair.indonesia.go.id dibuka.
2. Menu Download dipilih, kemudian ‘Peta Cetak’, dan dipilih ‘LLN/LPI format
jpeg/pdf’.
3. Kategori peta ‘LLN’ dengan skala ‘500K’ dipilih.
4. Titik yang mendekati daerah kajian dipilih.
5. Setelah muncul pop-up menu untuk mengunduh, file .zip yang muncul diklik
untuk mengunduh secara otomatis
6. Pengambilan peta resmi LPI/LLN telah selesai.

11
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
4.1.1. Peta Batimetri Pulau – pulau Gorong dan Pulau – pulau Watubela

Gambar 3. Peta Kontur Batimetri dan Garis Pantai Pulau-pulau Gorong dan Pulau-pulau
Watubela
4.1.2. Peta Batimetri Irian Jaya

12
Gambar 4. Peta Kontur Batimetri dan Garis Pantai Irian Jaya
4.2. Pembahasan
Pada subbab 4.1 telah dilampirkan hasil peta kontur batimetri dan garis pantai di dua
lokasi kajian yang berbeda.
Kedua peta tersebut menggunakan sistem koordinat WGS84 (World Geodetic System
1984). WGS84 merupakan sistem koordinat yang diciptakan dan dikembangkan oleh NGA
(National Geospatial-Intelligence Agency). WGS84 adalah datum geodesi yang
menggunakan referensi ellipsoid sesuai dengan bentuk geoid di seluruh permukaan bumi.
WGS84 terdiri dari tiga dimensi sistem koordinat Cartesian dan ellipsoid, sehingga posisi
WGS84 dapat digambarkan sebagai koordinat XYZ Cartesian atau lintang, bujur, dan
koordinat ellipsoid tinggi. Ellipsoid dirancang untuk bersesuaian dengan bentuk bumi yang
geoid. Umumnya geoid tidak cocok di negara tertentu, namun WGS84 menjadi salah satu
sistem koordinat yang banyak dipakai di Indonesia karena paling sesuai dan akurat.
Penyimpangan terbesar antara geoid dengan ellipsoid WGS84 adalah 60 m di atas dan 100
m di bawah. Melalui beberapa perhitungan, rasio penyimpangan terbesar ini adalah
1/100.000 Indonesia. WGS84 diimpitkan sedemikian rupa untuk memperoleh

13
penyimpangan terkecil di Indonesia. Titik impit ini digunakan sebagai titik referensi dalam
pemetaan nasional.
Dalam pengolahan data melalui input maupun output, digunakan tipe data berbentuk
GeoTIFF. GeoTIFF merupakan standar metadata yang dapat memasukkan informasi
georeferencing dalam suatu format TIFF. Informasi tambahan tersebut dapat berupa
proyeksi peta, sistem koordinat, ellipsoid, datum, dan referensi spasial lainnya.
Georeferencing merupakan proses pemberian referensi geografi dari gambar atau raster ke
dalam sistem koordinat. Georeferencing ini dilakukan dengan bantuan software Global
Mapper. Sebelum membuat garis dan titik pada peta kontur batimetri, diperlukan gambar
peta yang sudah tercantum referensi koordinat agar disesuaikan dengan
ellipsoid/bengkokkan sistem koordinat WGS84. Pada input data digunakan gambar peta
dalam format .jpg dan kemudian peta tersebut akan ditransformasi ke dalam format GeoTIFF
berisi informasi koordinat untuk setiap pixel-nya.
Berdasarkan hasil peta batimetri yang terlihat pada subbab 4.1, dapat dikatakan bahwa
kedua peta menunjukkan sifat batimetri yang hampir sama, yaitu semakin menjauhi garis
pantai, kedalaman akan semakin meningkat juga. Perbedaan kedalamannya pun terlihat jelas
dengan adanya perbedaan warna biru setiap perubahan batimetri. Di daerah dekat pantai,
warna biru muda akan mendominasi, sedangkan apabila menjauhi daratan akan terlihat
kedalaman laut berwarna biru tua bahkan membentuk suatu area. Pada peta batimetri pulau-
pulau Gorong dan pulau-pulau Watubela, daerah baratnya terlihat memiliki batimetri yang
berangsur dalam. Hal ini disebabkan karena pada kawasan tersebut merupakan kawasan Laut
Banda. Laut Banda merupakan daerah cekungan yang disebut paling dalam di dunia, atau
cekungan Weber. Cekungan Weber yang mencapai kedalaman 7000 meter ini merupakan
lempeng yang tersusun dari batuan sedimen yang sangat bervariasi. Daerah tinggi berarti
tonjolan-tonjolan dan lembah sempit yang tajam. Hal ini disebabkan oleh proses tumbukan
kontinen Australia dengan Kepulauan Banda Cekungan inilah yang menyebabkan adanya
perbedaan batimetri pada Laut Banda dan sekitar pulau-pulau Gorong dan pulau-pulau
Watubela. Pada daerah barat pulau Papua menunjukkan kedalaman yang sangat signifikan
dengan daerah sekitarnya.
Dalam membuat peta kontur batimetri, dilakukan interpolasi untuk mencari data-data
kedalaman yang tidak tersedia pada peta. Metode yang digunakan adalah IDW dan Kriging.
Metode IDW (Inverse Distance Weighted) merupakan metode interpolasi yang dilakukan
berdasarkan perhitungan matematik sederhana. Metode ini memiliki asumsi bahwa nilai

14
interpolasi akan lebih mirip dengan data sampel yang dekat dibandingkan data sampel yang
jauh. Kelemahan dari metode IDW adalah nilai hasil interpolasi terbatas pada nilai yang ada
pada data sampel. Pengaruh dari data sampel terhadap hasil interpolasi disebut sebagai
isotropic. Karena metode ini menggunakan rata-rata dari data sampel, maka hasil interpolasi
yang muncul tidak bisa lebih besar dari data maksimum atau lebih kecil dari data minimum.
Sedangkan metode Kriging adalah metode estimasi yang menggunakan perhitungan secara
statistik. Asumsi dari metode ini adalah jarak dan orientasi antara sampel data menunjukkan
korelasi spasial yang penting dalam hasil interpolasi (ESRI, 1996). Metode Kriging
memberikan ukuran error dan confidence saat menghasilkan suatu nilai interpolasi.
Kelemahan dari metode ini adalah tidak dapat menampilkan puncak, lembah, ataupun nilai
yang berubah signifikan dalam jarak dekat. Pada pengerjaan modul ini, metode interpolasi
IDW digunakan pada peta kontur batimetri Pulau Papua, sedangkan metode interpolasi
Kriging digunakan pada peta kontur batimetri pulau-pulau Gorong dan pulau-pulau
Watubela. Dari yang terlihat, metode Kriging mengeluarkan hasil interpolasi yang cukup
tegas dari warnanya. Di beberapa daerah menunjukkan batimetri berbentuk kotak karena
adanya interpolasi.
Peta kontur batimetri yang telah dibuat akan dibandingkan dengan peta LLN. Secara
umum terlihat bahwa terdapat perbedaan warna biru pada peta kontur batimetri pulau-pulau
Gorong dan pulau-pulau Watubela di daerah barat laut dan timur laut. Daerah yang lebih
dalam ditunjukkan dengan warna biru tua di daerah timur laut. Namun apabila melihat peta
LLN, keterangan kedalaman di daerah barat laut jauh lebih dalam sebesar 4239 m
dibandingkan dengan daerah timur laut sebesar 1705 m saja. Hal ini bisa jadi disebabkan
oleh kesalahan peng-input-an data kedalaman. Ditambah lagi dengan informasi data
kedalaman yang terbatas, nilai-nilai kedalaman yang muncul akibat interpolasi pun
terkadang tidak terlalu akurat. Sehingga dapat menyebabkan perbedaan yang sangat
signifikan. Lalu pada peta LLN di daerah Pulau Papua juga tidak memiliki data kedalaman
yang begitu banyak. Sehingga hasil interpolasinya pun hanya memperhitungkan dari data-
data yang ada saja. Hal inilah yang menyebabkan terdapat batimetri yang timbul pada satu
daerah tertentu saja pada peta kontur batimetri Pulau Papua. Apabila ditinjau dari
kelengkapan petanya, peta LLN jauh lebih lengkap dibandingkan dengan peta kontur
batimetri praktikum kali ini. Hal ini jelas berbeda karena peta LLN dibuat oleh lembaga
pemerintahan BIG sedangkan peta kontur batimetri kali ini dibuat untuk pelatihan saja. Pada

15
peta LLN terdapat legenda peta yang lebih lengkap dalam menerangkan simbol/karakter
pada peta, petunjuk pembacaan koordinat, selang kontur darat dan laut, dan sebagainya.

Gambar 5. Peta LLN daerah pulau-pulau Gorong dan pulau-pulau Watubela

Gambar 6. Peta LLN daerah Irian Jaya

16
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Sistem koordinat yang digunakan pada pembuatan peta kontur batimetri adalah
WGS84 yang lazim digunakan di Indonesia, tipe data yang digunakan untuk input
dan output pengolahan data adalah GeoTIFF, dan terdapat perubahan batimetri yang
telah dijelaskan secara detail pada subbab Analisis.
2. Metode interpolasi yang digunakan pada praktikum kali ini adalah metode IDW dan
metode Kriging. Metode IDW merupakan metode interpolasi yang dilakukan
berdasarkan perhitungan matematik sederhana, sedangkan metode Kriging
merupakan metode interpolasi yang dilakukan berdasarkan perhitungan statistik.
3. Georeferencing merupakan proses pemberian referensi geografi dari gambar atau
raster ke dalam sistem koordinat. Georeferencing dilakukan dengan bantuan
software Global Mapper, sebelum membuat garis dan titik pada peta kontur
batimetri. Gambar peta yang sudah tercantum referensi koordinat disesuaikan dengan
ellipsoid/bengkokkan sistem koordinat WGS84
4. Perbedaan antara peta kontur batimetri dengan peta LLN terletak pada keterangan
kedalamannya. Peta kontur batimetri memiliki data kedalaman yang terbatas
sehingga banyak hasil interpolasi yang muncul pada hasil pembentukan peta.
5.2. Saran
Saran untuk pengerjaan modul ini adalah dibutuhkan ketelitian dan kesabaran dalam
mengoperasikan ArcGIS karena tahapannya cukup banyak. Ditambah lagi ArcGIS
merupakan software yang baru dipelajari pada semester ini sehingga memerlukan
penyesuaian. Selain itu, diperlukan referensi jurnal yang cukup untuk menguatkan argumen
analisis yang ditulis. Terakhir, diharapkan dalam mengerjakan modul ini memiliki waktu
yang cukup banyak agar tidak terburu-buru dalam pengerjaan.

17
DAFTAR PUSTAKA

Analisis Geologi Kejadian Gempa Bumi di Laut Banda, Provinsi Maluku. (2021, April 1).
Retrieved from Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Badan Geologi:
https://vsi.esdm.go.id/index.php/gempabumi-a-tsunami/kejadian-gempabumi-a-
tsunami/3516-analisis-geologi-kejadian-gempa-bumi-di-laut-banda-provinsi-
maluku-tanggal-1-april-2021
Febriarta, E., Vienastra, S., Suyanto, A., & Larasati, A. (2020). Pengukuran Dasar Telaga
Menggunakan Alat Perum Gema untuk Menghasilkan Peta Batimeri di Telaga
Winong Yogyakarta. Geomedia 18(1), 50-59.
Fitriyadi, M. A. (2016). Mengapa Proyeksi di Indonesia Menggunakan WGS84? Sumedang:
Universitas Padjadjaran.
GeoTIFF Definition. (n.d.). Retrieved from OmniSci: https://www.omnisci.com/technical-
glossary/geotiff
Gumelar, O., Saputra, R. M., & Yudha, G. D. (2016). Struktur GeoTIFF untuk Media
Penyimpanan Citra Penginderaan Jauh. Seminar Nasional Penginderaan Jauh, 470-
484.
PPPGL. (2016, Maret 4). Morfologi Dasar Laut Indonesia. diambil dari Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi Kelautan: https://mgi.esdm.go.id/content/morfologi-dasar-
laut-indonesia
Pramono, G. H. (2008). Akurasi Metode IDW dan Kriging untuk Interpolasi Sebaran
Sedimen Tersuspensi. Forum Geografi 22(1), 97-110.
Prarikeslan, W. (2016). Oseanografi. Jakarta: KENCANA.
Segar, D. A., & al, e. (2018). Introduction to Oceanography Fourth Edition. Boston:
American Meteorological Society.

18

Anda mungkin juga menyukai