Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH PENEGAKAN HUKUM

Nama/Npm
Muhammad Alfi Firdaus 19810049
Mohammad Arief Shafei 19810294
Denny Arya Prasetya 19810097
Fiyriansyah 19810117

UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN


MUHAMMAD ARSYAD AL BANJARI
FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI S1
ILMU HUKUM BANJARMASIN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang,
atas berkat, hikmah dan anugrah-Nya kami dapat menyelesaiakan
makalah yang berjudul “Hukum Dalam masyarakat” dengan tepat
waktu.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih
terdapat banyak kekurangan karena kemampuan, keterbatasan
pengetahuan serta kurangnnya pengalaman dari diri kami. Selama
menyusun makalah saya banyak memperoleh bimbingan, saran, nasehat,
serta bantuan yang sangat besar dari berbagai pihak, maka pada
kesempatan ini kami mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-
besarnya.
Akhir kata, semoga Allah SWT selalu melimpah rahmad dan
anugrah-Nya kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
menyusun makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………….. i
KATA PENGANTAR………………………………………….ii
DAFTAR ISI………………………………………………......iii
BAB 1 PENDAHULUAN ……………………………………iv
1.LATAR BELAKANG………………………………vi
2.RUMUSAN MASALAH……………………………vii
3.TUJUAN PENULISAN……………………………..viii
4.SISTEMATIKA PENULISAN……………………...ix
BAB 2 PEMBAHASAN……………………………………xi
A.TEORI PENEGAKAN HUKUM…………………..x
B.PENEGAKAN HUKUM REFORMASI…………….xi
C.PROBLEM PEMBENTUKAN H.PIDANA…………xii
D.PROSES PENGAJUAN RUU………………………...xiii
BAB 3 PENUTUP
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginankeinginan
dalam hukum agar menjadi kenyataan dan ditaati oleh masyarakat. Masyarakat
Indonesia makin hari makin mendambakan tegaknya hukum yang berwibawa,
memenuhi rasa keadilan dan ketentraman yang menyejukkan hati. Penegakan
hukum terhadap kejahatan di Indonesia merujuk pada pendekatan norma hukum
yang bersifat menghukum sehingga memberikan efek jera.
Tanpa perasaan tentram dan adil maka hasil-hasil pembangunan negara yang
menyangkut berbagai permasalahan akan terasa ada hambatan untuk mencapai
kemajuan yang maksimal karena itu untuk menegakan hukum dan menjaga
kententraman masyarakat diperlukan suatu organ yang disebut Polisi.
Sejak lama masyarakat menghendaki Kepolisan Negara Republik Indonesia
(Polri) dalam menjalankan tugasnya tidak bersifat militaristik yakni menggunakan
senjata melawan musuh masyarakat, tetapi yang diinginkan masyarakat adalah
Polri bisa lebih berperan sebagai sosok hukum yang hidup yang bertugas
melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat serta bertindak berdasarkan
hukum yang berlaku.2 Di dalam hukum positif Indonesia, telah terdapat jaminan
adanya kepastian hukum, terutama hukum pidana.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) secara langsung mengatur dan
menunjuk proses hukum dan materi hukum anak-anak di bawah umur atau belum
dewasa. Masa remaja adalah masa yang amat baik untuk mengembangkan segala
potensi positif yang mereka miliki seperti bakat, kemampuan, dan minat. Selain itu
masa ini adalah masa pencarian nilai-nilai hidup, oleh karena itu sebaiknya mereka
diberikan bimbingan agama agar menjadi pedoman hidup baginya.3 Masalah
kenakalan remaja dirasa telah mencapai tingkat yang cukup meresahkan bagi
masyarakat.
Kondisi ini memberi dorongan kuat kepada pihak-pihak yang bertanggung
jawab mengenai masalah ini, seperti kelompok edukatif di lingkungan sekolah, dan
di lingkungan masyarakat. Kenakalan-kenakalan yang dilakukan oleh remaja
biasanya muncul karena pengaruh atau sebagai akibat dari kondisi sosial yang
kurang menguntungkan bagi perkembangan remaja. Ada beberapa faktor yang
menyebabkan kenakalan remaja itu muncul yakni faktor dari diri anak itu sendiri,
faktor rumah tangga, faktor masyarakat, dan faktor yang berasal dari sekolah.
Pihak lain yang ikut bertanggung jawab dalam proses pembinaan remaja adalah
para pendidik di lingkungan sekolah. Pembinaan ini dilakukan secara formal dalam
proses belajar mengajar dan sosialisasi mengenai pergaulan-pergaulan
menyimpang di luar lingkungan sekolah agar tidak terjerumus ke dalam pergaulan
menyimpang yang salah satunya mengenai minum-minuman yang mengandung
alkohol seperti ciu.
Ciu adalah minuman alkohol yang sangat terkenal di solo, karena minuman ini
mudah di dapat dan sangat murah atau terjangkau dan pabrikpabrik pembuat ciu
banyak terdapat di daerah pinggiran kota Solo tepatnya di Bekonang Sukoharjo.
Apabila kita mengkonsumsi atau meminum ciu ini banyak resiko yang kita dapat
yaitu karena beralkohol tinggi dapat memabukkan, membuat hilang kesadaran dan
membuat pandangan kabur saat berkendara.5 Negara-negara barat sudah
menjadikan minuman beralkohol sebagai minuman budaya, artinya setiap orang
dewasa boleh meminumnya, misal di pesta, di night club dan terutama saat
mengalami stress maka mereka lari kepada alkohol sebagai penenang jiwanya,
Padahal belum terbukti bahwa alkohol dapat menenangkan jiwa manusia. Paling-
paling saat dia mabuk maka penderitaan jiwanya akan terlupakan untuk sementara.
Setelah dia sadar dari mabuknya, maka sudah pasti masalah kesulitan hidup akan
kembali terasa. Ajaran Islam telah mengemukakan bahwa dengan zikrullah maka
hati manusia akan tenang. Akan tetapi di negara yang beragama seperti Indonesia
sudah terlihat gejala untuk meniru cara-cara barat yaitu menyelesaikan masalah
pribadi yang berkecumuk adalah lari ke alkohol. Hal itu adalah hasil tontonan di
TV dimana jika orang bule mengalami stres maka mereka lari ke alkohol, dengan
banyak minum dan menjadi teler (mabuk), maka kesusahannya akan hilang untuk
sementara. Akibatnya menjadi kecanduan.

2. Rumusan masalah
Dari latar belakang diatas maka dapat diidentifikasikan beberapa permasalahan
sebagai berikut, yaitu :
A. Teori penegakan hukum
B. Penegakan hukum pada masa reformasi
C. Problem pembentukan hukum pidana
D. Proses pengajuan ruu
Tujuan penulisan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini, antara lain adalah
a. Untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Sosiologi Hukum
b. Untuk Memberikan kemampuan pemahaman hukum dalam konteks sosial
c. Untuk mengetahui Memberikan kemampuan mengadakan evaluasi (penilaian)
terhadap hukum dalam masyarakat.
4. Sistematika penulisan
Untuk mempermudah pemahaman dan penelitian, dibuat rancangan penulisan
sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang masalah yang
menguraikan mengapa penelitian perlu dilakukan, kemudian dirumuskan pokok
masalah yang dalam penelitian. Setelah perumusan masalah kemudian tujuan
dari penelitian, dilanjut dengan sistematika penulisan sebagai akhir dari BAB I.
BAB II : PEMBAHASAN Bab ini berisi tentang tinjauan pustaka yang memuat teori-
teori yang relevan dengan penelitian yang dilakukan dan diakhiri dengan hipotesis
yang nantinya akan diuji kebenarannya.
BAB III : PENUTUP Bab ini berisi tentang simpulan dari serangkaian pembahasan,
keterbatasan atau kendala-kendala dalam penelitian serta saran yang dapat
dijadikan masukan dari berbagai pihak yang berkepentingan untuk melakukan
penelitian lebih lanjut.
BAB 2
RUMUSAN MASALAH
A. TEORI PENEGAKAN HUKUM
Pengertian penegakan hukum dapat juga diartikan penyelenggaraan hukum oleh
petugas penegak hukum dan oleh setiap orang yang mempunyai kepentingan
sesuai dengan kewenangannya masing-masing menurut aturan hukum yang
berlaku.
Penegakan hukum pidana merupakan satu kesatuan proses diawali dengan
penyidikan, penangkapan, penahanan, peradilan terdakwa dan diakhiri dengan
pemasyarakatan terpidana.
Menurut Soerjono Soekanto, mengatakan bahwa penegakan hukum adalah
kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah
mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir.
Untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan
hidup.
Penegakan hukum pidana adalah penerapan hukum pidana secara konkrit oleh
aparat penegak hukum.
Dengan kata lain, penegakan hukum pidana merupakan pelaksaan dari peraturan-
peraturan pidana. Dengan demikian, penegakan hukum merupakan suatu sistem
yang menyangkut penyerasian antara nilai dengan kaidah serta perilaku nyata
manusia. Kaidah-kaidah tersebut kemudian menjadi pedoman atau patokan bagi
perilaku atau tindakan yang dianggap pantas atau seharusnya.
Perilaku atau sikap tindak itu bertujuan untuk menciptakan, memelihara, dan
mempertahankan kedamaian.
Menurut Moeljatno menguraikan berdasarkan dari pengertian istilah hukum pidana
yang mengatakan bahwa penegakan hukum adalah bagian dari keseluruhan hukum
yang berlaku disuatu Negara yang mengadakan unsurunsur dan aturan-aturan,
yaitu:
a. Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh di lakukan dengan di sertai
ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar
larangan tersebut.
b. Menentukan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar
laranganlarangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah
diancamkan.
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan
apabila orang yang disangkakan telah melanggar larangan tersebut.

B. PENEGAKAN HUKUM PADA MASA REFORMASI


Ada tiga alasan perlunya ada kebijakan dari pemerintah dalam penegakan hukum:
Pertama, pemerintah bertanggung jawab penuh mengelola wilayah dan
rakyatnya untuk mencapai tujuan dalam bernegara. Bagi Indonesia sendiri,
pernyataan tujuan bernegara sudah dinyatakan dengan tegas oleh para pendiri
negara dalam Pembukaan UUD 1945, diantaranya: melindungi bangsa dan
memajukan kesejahteraan umum. Bukan hanya pernyataan tujuan bernegara
Indonesia, namun secara mendasar pun gagasan awal lahirnya konsep negara,
pemerintah wajib menjamin hak asasi warga negaranya. Memang, dalam teori
pemisahan kekuasaan cabang kekuasaan negara mengenai penegakan hukum
dipisahkan dalam lembaga yudikatif. Namun lembaga eksekutif tetap mempunyai
tanggung jawab karena adanya kewenangan dengan yudikatif serta legislatif dalam
konteks checks and balances dan kebutuhan pelaksanaan aturan hukum dalam
pelaksanaan wewenang pemerintahan sehari-hari.
Kedua, tidak hanya tanggung jawab, pemerintah pun punya kepentingan
langsung untuk menciptakan kondisi yang kondusif dalam menjalankan
pemerintahannya. Birokrasi dan pelayanan masyarakat yang berjalan dengan baik,
serta keamanan masyarakat. Dengan adanya penegakan hukum yang baik, akan
muncul pula stabilitas yang akan berdampak pada sektor politik dan ekonomi.
Menjadi sebuah penyederhanaan yang berlebihan bila dikatakan penegakan
hukum hanyalah tanggung jawab dan kepentingan lembaga yudikatif.
Ketiga, sama sekali tidak bisa dilupakan adanya dua institusi penegakan hukum
lainnya yang berada di bawah lembaga eksekutif, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan.
Penegakan hukum bukanlah wewenang Mahkamah Agung semata. Dalam konteks
keamanan masyarakat dan ketertiban umum, Kejaksaan dan Kepolisian justru
menjadi ujung tombak penegakan hukum yang penting karena ia langsung
berhubungan dengan masyarakat. Sehingga saat ini pemerintah masih mempunyai
suara yang signifikan dalam penegakan hukum. Karenanya, ada asumsi dasar
bahwa adanya kepastian dalam penegakan hukum akan mengarah kepada stabilitas
masyarakat. Dan memang, selama hukum masih punya nafas keadilan walau
terdengar utopis, kepastian hukum jadi hal yang didambakan. Sebab melalui
kepastian inilah akan tercipta rasa aman bagi rakyat. Kepastian bahwa kehidupan
dijaga oleh negara, kepentingannya dihormati, dan kepemilikan yang diraihnya
dilindungi. Bagi Indonesia sendiri, penegakan hukum bukan cuma soal mendorong
perbaikan politik dan pemulihan ekonomi. Harus disadari bahwa penegakkan
hukum justru merupakan ujung tombak proses demokratisasi. Sebabnya, melalui
penegakan hukum ini Indonesia dapat secara konsisten memberantas korupsi
yang sudah mengakar dengan kuat di berbagai sektor, menjalankan aturan-aturan
main dalam bidang politik dan ekonomi secara konsisten. Dengan penegakan
hukum yang konsisten dan tegas, pemulihan ekonomi dan tatanan politik juga bisa
didorong percepatannya.
Selama era reformasi yang dimulai sejak tahun 1998 berbagai upaya
reformasi peradilan telah dilakukan, akan tetapi perubahan secara sistematis dan
mendasar dari lembaga-lembaga penegak hukum tetap berjalan lambat di mana
Kepolisian dan lembaga peradilan dipandang sebagai lembaga terkorup di
Indonesia. Tidak seperti bidang pemerintahan lainnya yang telah terdesentralisasi
kewenangannya Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman masih tersentralisasi di
pusat dan bersifat hierarkis.
Dan jika pemerintahan itu sendiri “berantakan”, tentu saja pemerintah tidak
akan dihargai oleh masyarakat dan bahkan Negara lain. Karena hukum dibuat
untuk mencapai keadilan, keseimbangan dan keselerasan dalam hidup atau dengan
kata lain untuk mencegah terjadinya kekacauan dan lain sebagainya dalam hidup.
Para penegak hukum di pemerintahan Indonesia bisa dikatakan penuh dengan
nuansa KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Penegakan hukum di Indonesia ini
masihlah membuat masyarakat memiliki niat melanggar aturan. Apabila ada
masyarakat yang melanggar aturan, maka masyarakat yang awalnya tidak
melanggar aturan setelah melihat masyarakat yang melanggar yang tidak ditindak
lanjuti dengan seharusnya maka masyarakat tersebut akan ikut-ikutan untuk
melanggar aturan. Oleh karena itu, masih bisa dilihat bahwa penegakan hukum di
Indonesia belum berjalan dengan efektif. Seharusnya penegakan hukum diharuskan
bersifat “ada”, yaitu hukum yang bersifat mutlak, yang artinya bersih, jujur, dan
murni serta saling menghargai dan saling menghormati apa yang sudah diputuskan
bersama. Dan pemerintah sendiri harus mengambil sikap tegas dalam mengambil
tindakan dan tidak mengambil pendapat sendiri tanpa campur tangan dari
masyarakat.
Berdasarkan pendapat masyarakat, adapun solusi yang harus diubah oleh
pemerintah, sebagai berikut:
1. Hukum harus tegas dalam mengambil tindakan.
2Pemerintah harus lebih komunikatif kepada masyarakat dalam mengambil
keputusan.
3.Manusia harus taat kepada Tuhan.
4.Masyarakat perlu di bina untuk taat kepada hukum pemerintahan di Indonesia.
5.Masyarakat harus memiliki kesadaran dalam diri sendiri untuk menaati hukum.
6.Penegakan hukum harus lebih tertata.
Itulah mengapa peran pemerintah dalam penegakan hukum sangat penting di era
reformasi ini, masyarakat bisa bersikap baik apabila badan-badan hukum di
Indonesia bersikap bersih, jujur dan sebagainya.
C. PROBLEM PEMBENTUKAN HUKUM PIDANA
KUHP (Kodifikasi Untuk Hukum Pidana), Problematika Awal Hukum Pidana
Indonesia
Singkatan diatas bukan bermaksud meremehkan pembahasan RUU KUHP (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana) di DPR RI, melainkan mencoba membahas
perbedaan pendapat antara kodifikasi hukum yang memuat aturan-aturan pidana
dengan pendapat yang menyatakan tindak pidana khusus tidak perlu diatur dalam
KUHP. Perdebatan mengenai perbedaan pendapat ini akan menentukan bentuk
hukum pidana Indonesia yang (akan) diatur dalam KUHP. Pakar-pakar hukum
(pidana) angkat bicara urun rembug dalam perdebatan dengan menampilkan
argumentasi yang menjadi dasar keberpihakan pada salah satu pendapat.

Perbedaan pendapat ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah hukum pidana Indonesia,
khususnya pasca pemberlakuan KUHP berdasarkan UU No. 1 Tahun 1946 dengan
perubahannya. Hukum Pidana Indonesia mengalami perkembangan, apalagi
setelah orde baru berkuasa dan gencar melaksanakan pembangunan, perangkat
hukum dibutuhkan untuk mendukung agenda pembangunannya. Era 80an bisa
dianggap sebagai awal perkembangan hukum modern Indonesia, dengan panduan
yang berasal dari konsep hukum yang dikemukakan oleh Roscoe Pound yaitu law
as a tool of social engineering menjadikan pembangunan hukum memperoleh
momentumnya. Law yang dipahami sebagai peraturan perundang-undangan
kemudian ‘diproduksi’ untuk memayungi kegiatan pembangunan yang
dilaksanakan pemerintah, sekaligus sebagai upaya menjaga ketertiban masyarakat.

Hukum (baca: peraturan perundang-undangan) dihasilkan sebagai alat pemaksa


dan penyelesai sengketa antara negara dengan masyarakat atau antar masyarakat.
Hukum sebagai dasar pembangunan menjadi konsekuensi dari konsep negara
hukum (rechtstaat) yang terdapat UUD 1945. Namun pada jaman orde baru,
hukum menjadi alat kekuasaan yang melegitimasi tindakan negara dalam
melaksanakan pembangunan yang mengesampingkan penghormatan terhadap Hak
Asasi Manusia (HAM).
Ungkapan ibi ius ubi societas menjadi relevan bagi perkembangan hukum (pidana)
di Indonesia. Perkembangan masyarakat Indonesia dengan peningkatan
kesejahteraan berimbas pada meningkatnya problematika hukum baik yang bersifat
privat maupun public. Ekonomi Indonesia yang berkembang melahirkan aneka
masalah, termasuk lahirnya kejahatan modern seperti kejahatan siber, kejahatan
asuransi, kejahatan perbankan, illegal logging, kejahatan korporasi, korupsi dan
lain sebagainya. Aneka kejahatan tersebut belum di antisipasi dalam KUHP, dan
membutuhkan pengaturan untuk menjadi dasar dalam penegakan hukum
kejahatan-kejahatan tersebut.

Hasilnya adalah sebaran aturan pidana mengenai perbuatan pidana di beberapa


undang-undang. Inilah yang menjadi titik pangkal perdebatan antara kodifikasi
hukum pidana dan yang tidak setuju dengan kodifikasi. Meski dalam perdebatan
tersebut dipicu oleh tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), namun konsekuensi yuridisnya akan berdampak
pada penempatan tindak pidana khusus dimasukkan dalam KUHP. Dalam hal ini
bisa dipilah yaitu pertama, apakah kodifikasi hanya untuk tindak pidana korupsi
saja? Ataukah kedua, semua tindak pidana khusus yang dalam literature hukum
disebut dengan Tindak Pidana diluar KUHP akan dimasukkan dalam kodifikasi
KUHP? Apabila yang hendak dikodifikasi hanya tindak pidana korupsi, maka
dugaan banyak kalangan terhadap upaya pengerdilan KPK dalam penegakan tindak
pidana korupsi benar adanya.

Inilah awal problematika kodifikasi hukum pidana dalam pembahasan RUU


KUHP. Apakah DPR RI cukup mempunyai sumber daya (waktu, tenaga, pikiran)
untuk membahas seluruh perbuatan yang hendak dipidanakan baik dalam wilayah
social, ekonomi, budaya, pertahanan dan keamaman, teknologi informatika?
Pembahasan RUU KUHP sampai saat ini merupakan perjalanan panjang dalam
berhukum di Indonesia oleh lembaga legislative republic ini. Wacana pembaruan
hukum pidana sudah muncul puluhan tahun lalu, dan sering mengalami kegagalan
untuk diundangkan oleh DPR RI periode sebelumnya.

Kendala teknis menjadi hambatan yang harus diatasi oleh DPR RI ketika hendak
melakukan kodifikasi tindak pidana. Ketika hanya tindak pidana korupsi saja yang
hendak di masukkan dalam KUHP maka proses pengerdilan KPK dalam upaya
pemberantasan korupsi sedang berjalan. Penilaian ini tidak bisa dihindarkan karena
pertama, hanya satu saja tindak pidana khusus yang hendak di kodifikasi. Kedua,
padahal masyarakat mengetahui kiprah lembaga anti korupsi dengan segala
dinamika berhasil menggaungkan perlawanan terhadap korupsi di Indonesia.
Kiprah yang berani masuk ke ranah lembaga legislative menjadi penelanjangan
public telah membuka aib polah tingkah wakil rakyat yang merampok uang rakyat.

Untuk DPR RI perlu berpikir ulang untuk melakukan kodifikasi, entah yang
bersifat tertutup maupun terbuka. Pilihan kodifikasi akan menempatkan hukum
pidana menjadi hukum yang tertutup, karena perubahannya sebagai bentuk
mengikuti perkembangan masyarakat akan mengalami kendala yang sama dengan
KUHP yang saat ini hendak di ganti. Berbeda halnya apabila tindak pidana khusus
tetap tersebar di beberapa peraturan perundang-undangan, ketika harus merubah
atau merevisi sesuai dengan perkembangan masyarakat, DPR dan Pemerintah
relative lebih mudah. Kecuali kemudian, mendorong pengembangan model
amandemen peraturan perundang-undangan seperti yang dilakukan pada UUD
1945.

KUHP harus tetap menjadi kitab hukum pidana umum dengan melakukan
positivasi norma social yang berkembang di masyarakat. Karena tindak pidana
umum juga mengalami aneka modifikasi yang berkaitan dengan perkembangan
perilaku individu maupun paradigma berpikir masyarakat. DPR RI (dan
Pemerintah) mempunyai momentum membangun monument hukum pidana pasca
jaman kolonialisme. Sehingga patut disayangkan apabila momentum itu tersita
dengan perdebatan tentang kodifikasi.

D. PROSES PENGAJUAN RUU


Pembuatan suatu peraturan baik pusat maupun daerah,pada dasarnya hampir sama.
Tetapi pihak yang membuatnya berbeda.Peraturan peraturan pusat di buat oleh
Presiden dan DPR. Sedangkan peraturan peraturan daerah dibuat oleh
DPRD,Gubernur,Bupati,walikota,dan perangkat perangkat lainnya.

Cara pembuatan peraturan biasanya menempuh beberapa cara,antara lain :


a. membuat rancangan peraturan
Ada beberapa orang yang membuat rancangan Undang undang atau
peraturan.Misalnya peraturan pusat dibuat rancangannya oleh DPRD dan
Presiden.Sedangkan rancangan peraturan daerah dibuat oleh
gubernur,walikota,bupati,DPRD.

b. Mengajukan rancangan peraturan atau undang undang


Rancangan peraturan atau Undang Undang yang telah dibuat oleh Presiden dan
DPR,gubernur,walikota,bupati,DPRD akan diajukan untuk dibahas secara
musyawarah mufakat.

c. Membahas rancangan peraturan atau Undang undang


Setelah mengajukan rancangan peraturan atau Undang undang maka tahap
berikutnya adalah membahas bersama rancangan peraturan atau undang undang
pada sidang DPR atau DPRD.

d. Menetapkan rancangan peraturan atau undang undang


Setelah rancangan peraturan tersebut dibahas atau didiskusikan dalam rapat DPR
atau DPRD maka langkah berikutnya adalah menetapkan rancangan peraturan
tersebut menjadi peraturan atau undang undang.

e. Mensahkan peraturan atau undang undang


Setelah dinyatakan baik dan memenuhi syarat,maka peraturan atau undang undang
tersebut disahkan DPR atau DPRD menjadi undang undang. Setelah itu
DPR/DPRD meminta persetujuan presiden atau gubernur,walikota,atau bupati.
BAB 3
KESIMPULAN
BEBERAPA PEMBAHASAN TENTANG PENEGAKAN HUKUM
DIINDONESIA YAITU ADANYA LEMBAGA YANG MENGATUR
TENTANG PERMASALAHAN DAN NORMA DIMASYARAKAT DILIHAT
DARI SUDUT PANDANG TEORI NYA JUGA MENINJAU PERMASALAHAN
YANG ADA HUKUM DITEGAKAN DENGAN SEBAGAIMANA HUKUM
ITU DITEGAKAN .

Anda mungkin juga menyukai