Anda di halaman 1dari 42

-

DISUSUN OLEH :
Tim Dosen Teknik Mesin UIR

LABORATORIUM MATERIAL
JURUSAN TEKNIK MESIN – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
2003
PRAKTIKUM
PENGUJIAN SIFAT MEKANIK LOGAM

I. UJI KEKERASAN (HARDNESS TEST)

1. PENDAHULUAN
HARDNESS (Kekerasan) merupakan kemampuan bahan untuk tahan
terhadap indentasi atau penetrasi permanen akibat beban dinamis atau statis.

Hasil pengujian kekerasan dapat digunakan untuk :


 Menentukan klasifikasi material.
 Menentukan penggunaan material.
 Kontrol kualitas suatu produk.
Dengan pengujian kekerasan dapat diketahui pengaruh dari proses yang telah
dialami material/produk, seperti ; pengerjaan dingin, pengelasan, heat treatment,
case hardening, normalizing, quenching dan sebagainya. Dengan demikian dapat
diketahui apakah produk sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan.

2. TUJUAN
Pengujian kekerasan bertujuan untuk mengukur angka kekerasan suatu
bahan dengan metode Brinell, Rocwell dan Vickers.

3. DASAR TEORI
Pengukuran kekerasan secara umum dapat dilakukan dengan dua metode
yaitu :
1. Metode Dinamis (Dynamical Methode)
Dengan karakteristik pengujian ;
- Pemberian beban dilakukan dengan tiba-tiba
- waktu penetrasi singkat
- ketelitian rendah
- waktu pengujian cepat
2. Metode Statis (Statical Methode)
Dengan karakteristik pengujian :
- Pemberian beban dilakukan dengan perlahan-lahan dengan beban tertentu
- waktu penetrasi panjang
- ketelitian tinggi
- waktu pengujian lebih lama dibanding metode dinamis.

Jenis pengujian yang menggunakan metode ini antara lain : Brinell.


Vickers, Rocwell, Micro Vickers Hardness, Micro Knop Hardness dll. Metode
pengujian statis merupakan pengujian yang lazim digunakan saat ini. Hal ini
didasarkan pada hasil pengujian yang lebih akurat. Pengujian kekerasan dapat
diklasifikasikan berdasarkan sasaran dari material yang akan diuji yaitu :
a. Untuk mengukur kekerasan suatu material digunakan pengujian Brinell,
Vickers dan Rockwell.
b. Untuk mengukur kekerasan fasa pada struktur mikro atau lapisan tipis
dari suatu material digunakan Micro Hardness Test.

4. PENGUJIAN KEKERASAN
4.1 PENGUJIAN KEKERASAN BRINELL
Pengujian kekerasan brinell dilakukan dengan menekan Identor (hardened
steel ball dengan diameter D) dengan beban P (kg) terhadap suatu speciment.
Diameter indentasi (d) diukur setelah beban dilepas. Gambar 1 menunjukkan
proses penekanan pengujian brinell.
Kekerasan Brinell (HBN) adalah beban (P) dibagi dengan luas permukaan
indentasi, yaitu :

Dimana :
HBN = Angka kekerasan Brinell
P = Beban (kg)
D = Diameter Bola (indentor)
d = Diameter rata-rata indentasi (mm)

Pengujian kekerasan didasarkan pada standart DIN 50351 atau ASTM E-10 dan
harus memenuhi persyaratan lainnya yaitu :
1. Permukaan spesimen harus halus, rata dan tegak lurus terhadap arah
pembebanan.
2. Brinell standart menggunakan :
 Beban (P) = 300 kg,
 Diameter bola = 10 mm, dan
 Waktu penekanan = 10 – 15 detik.
Permukaan indentasi tidak sepenuhnya berbentuk kulit bola, akibat
deformasi bola pada saat penekanan dan terjadinya recovery pada
speciment setelah beban dilepaskan. Oleh sebab itu pengujian yang
menggunakan beban dan diameter bola yang berbeda, geometri indentasi
juga berbeda.
Untuk membandingkan satu angka kekerasan dengan angka kekerasan
lainnya, maka degree of loading adalah Beban (P) dibagi dengan Kuadrat
diameter indentor.

Dimana :
P = Beban (kg)
D = Diameter indentor (mm)
Beberapa degree of loading yang umum digunakan adalah : 30, 15, 10, 5
dan 1
pemakaian beban dan diameter indentor yang tidak standar harus
dicantumkan pada angka kekerasan.
3. Untuk menghindari kesalahan pengukuran kekerasan Brinell, maka
beberapa faktor yang harus diperhatikan antara lain ;
- Ketebalan spesimen minimum = 10 x kedalaman indentasi (t).
- Waktu penekanan = 10 – 15 detik untuk logam ferrous dan
- 30 detik untuk logam yang lebih lunak.
- Jarak antara titik pusat indentasi yang satu terhadap yang lain dan
terhadap tepi spesimen minimal = 3 x diameter indentasi (d).
- Diameter indentasi (d) harus terletak dalam range : 0,2 D < d < 0,7 D
Dimana :
D = Diameter Bola (mm)
d = Diameter indentasi (mm)

4.2 PENGUJIAN KEKERASAN ROCKWELL


Pengujian kekerasan Rockwell hampir sama dengan pengujian kekerasan
Brinell yaitu angka kekerasan sebagai fungsi dari kedalaman indentasi pada
spesimen akibat pembebanan statis.
Pada pengujian Rocwell beban dan indentor yang digunakan lebih kecil
dibandingkan dengan pengujian brinell. Angka kekerasan langsung ditunjukkan
pada mesin sehingga waktu pengujian relatif lebih singkat dan sangat sesuai
digunakan dilapangan.
Prosedur pengujian dilakukan dengan :
 Menekan indentor pada benda kerja dengan beban awal (minor load) 10 kg,
yang menyebabkan kedalaman indentasi h.
 Jarum penunjuk diset pada angka nol skala hitam, selanjutnya
 Berikan beban mayor 140 kg selama 10 – 15 detik.
 Beban mayor dilepas dengan cara mengembalikan posisi pembebanan
keposisi beban minor yang menyebabkan kedalaman indentasi h1.
 Angka kekerasan dapat langsung dibaca pada skala penunjuk.
Angka kekerasan Rockwell tidak bersatuan, tetapi didahului dengan huruf
depan seperti pada tabel 1, yang menyatakan kondisi pengujian. Skala Rockwell
terbagi atas 100 divisi, diamana setiap divisi sebanding dengan kedalaman
indentasi 0,002 mm.

Tabel 1.a. Rocwell Hardness Scale


SCALE SYMBOL INDENTER MAJOR LOAD (kg)
A Diamond 60
B 1/16 in ball 100
C Diamond 150
D Diamond 100
E 1/8 in ball 100
F 1/16 in ball 60
G 1/16 in ball 150
H 1/8 in ball 60
K 1/8 in ball 150

Tabel 1.b. Superficial Rocwell Hardness Scale


SCALE SYMBOL INDENTER MAJOR LOAD (kg)
15 N Diamond 15
30 N Diamond 30
45 Diamond 45
15 1/16 in ball 15
30 1/16 in ball 30
45 1/16 in ball 45
15 1/8 in ball 15
30 1/8 in ball 30
45 1/8 in ball 45

Angka kekerasan Rockwell B dan Rockwell C dinyatakan sebagai kedalaman


indentasi (h1) dapat ditullis sebagai berikut :

Persiapan spesimen perlu dilakukan karena indentasi cukup kecil dan


metode pengukuran langsung oleh mesin meliputi :
 Permukaan atas dan bawah spesimen harus datar, halus dan bebas dari
kotoran, minyak, benda asing dan cacat.
 Ketebalan spesimen minimum 0,01 in (0,25 mm)
 Ketebalan spesimen minimum = 10 x kedalaman indentasi (t)
 Jarak titik pusat indentasi yang saatu terhadap yang lain dan tepi spesimen
minimal = 3 x diameter indentasi (d).

4.3 PENGUJIAN KEKERASAN VICKERS


Pengujian kekerasan Vickers menggunakan indentor intan yang berbentuk
piramid dengan alas bujursangkar dan sudut puncak antara dua sisi yang
berhadapan besarnya 1360 seperti ditunjukkan pada gambar 3.

Angka kekerasan Vickers adalah beban dibagi luas indentasi :


Hv = 1,8544 P / d2
Hv = P / A
Dengan : A = d2 / 2 Cos 220
= d2 / 1,8544
dimana : Hv = Angka kekerasan Vickers
P = Beban (kg)
A = Luas indentasi (mm2)
d = Diagonal rata-rata = (d1 – d2) / 2 (mm)
Hasil pengujian kekerasan Vickers tidak tergantung pada besarnya
tekanan. Gaya tekan yang digunakan antara 1-120 kg. Tapak tekan yang mudah
diukur tidak meninggalkan anvil effect pada benda yang tipis. Permukaan benda
uji harus halus dan rata (perlu digerinda atau dipoles).

4.4 MICRO HARDNESS TEST


Pengukuran kekerasan bagian yang sangat kecil (fasa dalam struktur
mikro) dan suatu lapisan yang sangat tipis dapat dilakukan dengan Mikro
Hardness Test. Ada 2 jenis Mikro hardnes tes yaitu ; Knoop mikro hardness dan
Vickers micro hardness test.
Knoop mikro hardness tes menggunakan indentor Piramid intan dengan
alas berbentuk belah ketupat dengan perbandingan diagonal 7 : 1 seperti
ditunjukkan gambar 4. Beban yang digunakan pada pengujian Knop Micro
hardness adalah 25 – 3600 gram. Angka kekerasan Knop Micro hardness
dapat dihitung dengan :
HK = 14,229 P / l2
Dimana : P = Beban (gram)
l = Panjang diagonal tapak tekan yang panjang (mm)
Vickers Micro Hardness menggunakan indentor piramid intan seperti
pengujian kekerasan Vickers, hanya disini beban yang digunakan 1 – 1000 gram.
Hasil pengujiannya berupa angka kekerasan Vickers (Hv).
Pengujian dengan Micro Hardness menuntut persiapan yang sama dengan
persiapan spesimen untuk pengamatan mikrostruktur, dan pengamatannya
dilakukan dengan mikroskop.
Teknik pengujian kekerasan secara keseluruhan dapat dilihat pada gambar
2. Untuk mengetahui skala perbandingan beberapa angka kekerasan ditunjukkan
pada gambar 5. Sedangkan hubungan antara kekerasan dan kekuatan tarik untuk
baja karbon, brass dan besi tuang ditunjukkan pada gambar 6.
Gambar 6 hubungan kekerasan

Tabel 2 resume hardnes


4.5 EMCO M2N-130 HARDNESS TEST
Perkembangan teknologi yang cepat telah mendorong terciptanya
peralatan uji kekerasan digital. Alat ini memperkecil terjadinya kesalahan
pengukuran akibat human error dan mempercepat serta memudahkan
pelaksanaan pengujian.
Emco Hardness Test merupakan alat uji kekerasan yang dapat langsung
mengkonversikan nilai kekerasan material dan jenis indentor yang digunakan bisa
disesuaikan dengan kebutuhan. Untuk setting alat harus sesuai dengan buku
manual atau tabel yang terdapat pada sisi alat.
Spesifikasi teknis EMCOTEST M2N-130 :
 Max. test heigh : 250 mm
 Throat depth : 170 mm
 Spindel stroke : 6 mm
 Instalation area : 495 x 170 mm
 Total heigh : 850 mm
 Weight : approx. 1200 N (max.equipment)
 Measurement value display : 4 digit digital display
 Resolution of display : 0.1
 Mains suply : 110 V / 220 V / 240 V
 (special voltage on request)
 Operating force : approx. 100 N
Skema Emco hardness Tess dapat dilihat pada gambar berikut :

5. MESIN DAN PERALATAN PENGUJIAN


Beberapa peralatan dan mesin yang dipergunakan dalam pengujian
kekerasan antara lain :
1) Mesin uji kekerasan
2) Indentor untuk pengujian Brinell, Rockwell, Vickers dan Micro hardness
3) Mesin gerinda dan polish
4) Kertas gosok dengan grid kasar hingga grid yang sangat halus (100 –
1200)
5) Standart blok tes
6) Kunci peralatan.

1. PELAKSANAAN PENGUJIAN KEKERASAN


Langkah-langkah pengujian kekerasan :
a) Pasang indentor (Brinell, Vickers atau Rockwell)
b) Pastikan alat telah menyala dengan baik (turn on machine)
c) Atur setting mesin sesuai dengan jenis indentor yang digunakan dan
variabel yang diketahui.
d) Kalibrasi mesin dengan spesimen standar.
e) Siapkan spesimen yang akan diperiksa kekerasannya.
f) Letakkan spesimen diatas Standart anvil
g) Putar Adjustable test spindel ke atas sehingga ujung standart nose cone
hampir menyentuh spesimen (jaraknya 1 – 2 mm)
h) Turunkan Hand lever secara perlahan-lahan untuk melakukan indentasi
i) Tahan Hand lever pada saat indentasi maksimum (Brinell & Vickers: 10 -
15 detik, Rocwell : 10 - 20 detik).
j) Kembalikan Hand lever ke posisi semula seperti sebelum indentasi
k) Catat hasil pengujian yang tertera pada layar di tabel hasil pengujian
l) Ulangi langkah f – k untuk mengukur kekerasan pada titik lainnya pada
spesimen.

Tabel Hasil Pengujian


BEBAN (P) ANGKA KEKERASAN
NO JENIS BAHAN JENIS INDENTOR
(kg) KEKERASAN RATA-RATA
1.
2.
3.
1.
1 Rockwell 2.
3.
1.
2.
3.
1.
2.
3.
1.
2 Brinell 2.
3.
1.
2.
3.
1.
2.
3.
1.
3 Vickers 2.
3.
1.
2.
3.

6. SOAL-SOAL
1. Tentukan nilai kekerasan Brinell, Vickers dan Rockwell
dari hasil pengujian kekerasan.
2. Hitung perkiraan kekuatan tarik dari data kekerasan
dengan menggunakan Grafik hubungan kekuatan tarik dan kekerasan.
3. Untuk mengetahui nilai kekerasan logam yang belum
diketahui nilainya, metode pengujian apa yang anda pilih, jelaskan.
4. Sebutkan keuntungan dan kerugian dari pengujian
Brinell, Vickers, dan Rockwell.
5. Dimana saja Hardnes test dilakukan.
6. Buatlah kesimpulan dari pengujian yang dilakukan.
7. Apa saran anda terhadap pelaksanaan pengujian ini.

II. PRAKTIKUM
UJI TARIK (TENSILE STRENGH)
1.PENDAHULUAN
Kekuatan tarik merupakan sifat mekanik logam yang penting, terutama
untuk perencanaan konstruksi maupun pengerjaan logam. Kekuatan tarik suatu
bahan dapat diketahui dengan melakukan pengjian tarik pada bahan yang
bersangkutan. Dari hasil pengujian tarik tersebut dapat diketahui pula sifat-sifat
lain seperti : kekuatan mulur, perpanjangan, reduksi penampang, modulus
elastisitas dan lain-lain.

2. TUJUAN
Tujuan praktikum pengujian tarik antara lain :
 Mengukur kekuatan tarik (tensile strength) suatu bahan
 Mengukur sifat-sifat mekanis suatu bahan didaerah elastis dan plastis.

3. DASAR TEORI
3.1. Diagram Hasil Uji Tarik
Pada pengujian tarik spesimen dikenal beban uji aksial yang semakin besar
secara kontinu. Penampang spesimen berbentuk lingkaran atau segi empat seperti
ditunjukkan pada gambar …

Perubahan panjang spesimen terhadap besarnya beban oleh mesin tarik


selanjutnya dapat diplot sebagai diagram (P-ΔL) seperti ditunjukkan pada gambar
1.2 berikut :
Gambar 1.2. a. Diagram P- ΔL baja karbon rendah. b. Kurva P- ΔL logam pada
umumnya.

Titik D = titik batas proporsinal


Y = titik batas luluh
E = batas elastisitas
U = titik batas maksimum
F = titik patah
Gambar 1.2 (a) menunjukkan bahwa baja karbon rendah sampai beban Pp,
perpanjangan sebandingan dengan pertambahan beban. Tegangan yang terjadi
pada beban tersebut berdasarkan luas penampang awal spesimen dan disebut
dengan batas proporsional :
σp = Pp / Ao (kg/mm2)

dimana ; σp = tegangan proporsinal


Pp = Beban
Ao = luas penampang

Hubungan (P-ΔL) sebanding sampai batas tersebut, maka grafiknya berupa


garis lurus. Pada daerah ini berlaku
Hukum Hooke yaitu : σ = E . ε

Dimana : σ = tegangan
E = modulus elastisitas
ε = regangan
Pada tegangan yang tidak malebihi batas proporsional secara praktis hanya
mengakibatkan deformasi elastis, yaitu regangan akan hilang bila beban
ditiadakan. Oleh karena itu batas proporsional kadang-kadang identik dengan
batas elastis, sehingga dengan demikian Tp = Te. Komponen mesin harus
dirancang dengan tegangan kerja yang tidak melebihi Tp dan Te.
Bila beban malebihi Pp, maka hubungan beban dan perpanjangan akan
menyimpang dari garis lurus ke bentuk kurva. Selanjutnya pada beban tertentu
pada diagram terdapat bagian yang mendatar. Hal ini menunjukkan bahwa bahan
mengalami perpanjangan (Yield/luluh) walaupun tanpa pertambahan beban.
Besarnya beban disimbolkan sebagai Py (beban luluh), sedangkan tegangan luluh
adalah :

σy = Py / Ao

Tegangan yield adalah tegangan minimum dimana spesimen terdeformasi


tanpa pertambahan beban yang berarti, karena deformasi yang terjadi tidak hilang
meski beban ditiadakan maka diatas titik luluh tersebut disebut daerah plastis.
Deformasi yang terjadi disebut deformasi plastis.
Deformasi elastis hanya menyebabkan distorsi elastis pada kisi kristal,
sedangkan pada deformasi plastis terjadi slip yang menyebabkan naiknya
kekuatan pada spesimen yang dikenal dengan istilah penguatan regangan (Strain
hardening).
Kebanyakan logam, titik luluh ini tidak tampak secara jelas, seperti
ditunjukkan pada gambar 1.2. b. oleh karena itu penentuan titik yield akan sangat
bergantung pada alat ukur yang digunakan. Semakin teliti alat ukur maka akan
semakin rendah titik luluhnya. Untuk mengatasi ini maka bisa siambil perjanjian
yaitu pada deformasi permanen tertentu.
Deformasi permanen yang sering digunakan adalah 0,2 %. Untuk
menetukan tegangan yang bersesuaian dengan deformasi permanen tersebut dapat
dilakukan dengan menarik garis lurus sejajar dengan kurva Tegangan-Regangan
dari titik regangan 0,2 %.
Kenaikan beban lebih lanjut akan menyebabkan deformasi yang besar
pada keseluruhan volume spesimen. Beban maksimum dimana spesimen dapat
bertahan tanpa patah disebut beban pada tegangan maksimum.
Besarnya tegangan maksimum adalah :

σu = Pu / Ao (kg/mm2)
Sampai tegangan maksimum deformasi yang terjadi adalah homogen
sepanjang spesimen. Setelah mencapai tegangan maksimum pada logam yang ulet
akan terjadi pengecilan penampang setempat, beban turun dan akhirnya spesimen
patah pada titik F. Pada logam yang getas akan segera patah begitu mencapai
tegangan maksimum.

3.2 Kurva Tegangan Teknik – Regangan teknik (σ t - εt) dan Kurva


Tegangan Sebenarnya – Regangan Sebenarnya (σ s - εs )

Dari diagram uji tarik dapat (P-ΔL) dapat ditransformasi menjadi kurva
tegangan-regangan teknik dengan hubungan sbb :

σy = P / Ao (kg/mm2)

εt = (ΔL / Lo) x 100 %

dimana : σt = tegangan teknik (kg/mm2)


P = beban (kg)
Ao = luas penampang awal spesimen (mm2)
εt = regangan teknik (%)
ΔL = perpanjangan (mm) ( L1 - Lo )
L1 = panjang akhir spesimen (mm)
Lo = panjang awal spesimen (mm)
Kurva tegangan –regangan hasil uji tarik ditunjukkan pada gambar 1.3.
Dalam menetukan kurva tegangan – regangan teknik (σ t - εt) diatas dianggap
luas penampang apesimen Ao tetap, begitu pula panjang Lo, sehingga dengan
demikian kurva (σ t - εt) tidak menunjukknan keadaan sebenarnya.
Untuk mendapatkan tegangan – regangan sebenarnya (σ s - εs ) digunakan
luas penampang sebenarnya (As) dan panjang sebenarnya (Ls) spesimen selama
pengujian. Tegangan dan regangan sebenarnya didefenisikan sbb:
σ s = P / As
εs = ln (Ls / Lo ) x 100 %
Dengan asumsi volume spesimen konstan, maka regangan sebenarnya
dapat juga dituliskan sebagai :
εs = 2 ln ( do / d ) x 100 %
dimana : do = diameter awal spesimen (mm)
d = diameter sebenarnya spesimen (mm)
Hubungan tegangan - regangan teknik dengan tegangan regangan sebenarnya
dengan dianggap volume konstan ( As . Ls = Ao – Lo = konstant) adalah sebagai
berikut:

σ s = σ t ( 1 + εt )

Sedangkan hubungan regangan teknik dengan regangan sebenarnya adalah :

εs = ln ( 1 + εt )

Kedua hubungan tersebut hanya berlaku sampai tegangan maksimum σ u. Kurva


tegangan - regangan sebenarnya biasanya didekati dengan persamaan :
σ s = K (εs)n
dimana : K = konstant
n = koefisien penguat regangan (strain hardening)
untuk mendaptkan harga K dan n, maka persamaan tersebut diatas dikenakan
operasi logaritma menjadi :
ln σ s = ln K + ln εs
apabila persamaan tersebut diplot dalam salib sumbu grafik ln-ln, maka
persamaan menunjukkan garis lurus, dimana ;
n = ln σ s / ln εs
dengan cara ekstrapolasi ke ln εs = 0 akan diperoleh harga K.
ln σ s = ln K pada εs = 1 atau ln εs = 0
jadi : K = σs
Untuk membuat kurva (σ t - εt) dan (σ s - εs ) maka data yang diperlukan adalah :
P ΔL σt εt σt εt Ln σt ln εt
(........) (........) (........) (........) (........) (........) (........) (........)
Dari data tersebut dapat diplot kurva sebagai berikut :

Gambar 1.3. Kurva tegangan - regangan hasil uji tarik

3.3. Besaran-besaran Hasil Uji Tarik


1) Tegangan dan regangan teknik
2) Modulus Elastisitas
Selama hubungan beban dan perpanjangan berupa garis lurus maka
berlaku
hukum Hooke ; σ = E . ε
dimana E = Modulus Elastisitas
3) Kekuatan Luluh ( σy )
Pada kurva (σ t - εt) ada bagian yang mendatar, maka penentuan σ y

adalah pada bagian yang mendatar tersebut. Bila kurva (σ t - εt) tidak terdapt
bagian yang mendatar, maka penentuan σ y dilakukan dengan menentukan
regangan permanen sebesar 0,2 % - 0,3 %. Titik potong antara garis sejajar
dengan bagian lurus terhadap kurva adalah titk σ y.
Gambar 1.4. penetuan yield point (titik luluh)

(a) Kurva (σ t - εt) terdapat bagain yang mendatar


(b) Kurva (σ t - εt) yang tidak terdapat bagian yang mendatar

4) Kekuatan Maksimum (σu )


σu = Pu / A0
dimana P = beban maksimum

5) Perpanjangan Relatif maksimum (εmax)


εmax = (ΔL / Lo) x 100 %
= ((L1 - Lo) / Lo ) x 100 %
dimana L1 = panjang gauge length sesudah pengujian

6) Reduksi Penampang (ψ)


ψ = ((Aa – Ao) / Ao) x 100 %
dimana : ψ = reduksi penampang
Ao = Luas penampang setelah pengujian

7) Modulus Resilien
Modulus resilien merupakan kemampuan logam untuk menyerap energi
tanpa mengakibatkan terjadinya deformasi plastis (menyerap energi deformasi
plastis dan melepaskannya kembali bila beban dihilangkan) seperti terlihat
pada gambar 1.5
Dari gambar 1.5 terlihat bahwa modulus resilien adalah luasan dibawah kurva
(σ y - εy ) pada daerah elastis, sbb:
UR = σ y2 / 2 εt )
Modulus Resilien untuk beberapa jenis bahan terlihat pada tabel 1 dibawah
ini.
Tabel 1. Modulus Resilien beberapa jenis bahan.
MODULUS
MATERIAL RESILIENT
Medium – Carbon Steel 33,7
High – Carbon Steel 320
Duralium 17
Cooper 5,3
Rubber 300
Acrylic Polimer 4,0

8) Ketangguhan Logam ( Thoughness )


Ketangguhan suatu logam adalah banyaknya energi yang diperlukan untuk
mematahkan satu volume suatu bahan. Thoughness suatu bahan ditunjukkan
dengan luasan dibawah kurva (σ t - εt) seperti pada gambar 1.6.
Gambar 1.6. Luas Daerah dibawah kurva yang menunjukkan thoughness suatu
bahan.

Untuk bahan yang Ductile, maka :


UT = σ u . εf
= εf (( σu + σy ) / 2 )
Untuk bahan yang brittle, maka :
UT = 2/3 (σ u . εf)
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketangguhan suatu bahan antara lain :
 Cacat (bentuk dan ukuran)
 Bentuk dan ukuran benda kerja
 Kondisi pembebanan (strain rate)
 Dll

4. Mesin dan peralatan


4.1. Peralatan yang digunakan
 Alat uji tarik (Universal testing machine)
 Jangka srong atau micrometer)
 Penitik

4.2 Spesimen
Spesimen dibuat sesuai dengan standar DIN 50125 atau dapat juga digunakan
standar ASTM E.8.

5. PELAKSANAAN PENGUJIAN
a. Catat data mesin tarik
b. Ukur dimensi spesimen, tiap dimensi diukur tiga kali.
c. Spesimen dipasang pada penjepit (chuck)
d. Pembebanan dilakukan dengan memutar handle berlawanan arah jarum
jam secara perlahan-lahan sehingga jarum skala bergerak.
e. Catat beban dan perubahan panjang yang terjadi selama pengujian pada
tabel dibawah ini.
f. Setelah spesimen patah, putar handle searah jarum jam untuk
menghentikan pembebanan.
g. Lepaskan apesimen yang telah patah dari penjepit (chuck)
h. Kedua bagian spesimen yang patah digabung kembali, kemudian panjang
spesimen dan diameter pada bagian yang putus diukur.
i. Ulangi langkah diatas untuk spesimen yang lain.
DATA PENGUJIAN
DIMENSI SPESIMEN
I II III
A. Sebelum Pengujian
1. Diameter (Do ,
mm)
2. Luas Penampang
(Ao , mm2)
3. Gauge Length (Lo ,
mm)
4. Panjang (Lt , mm)
B. Pada saat Pengujian
1. Beban yield (Py , kNm)
2. Beban Ultimate (PU ,
kNm)
3. ΔL yield (ΔLy , mm)
C. Sesudah Pengujian
1. Diameter (D1 , mm)
2. Luas Penampang (A1 ,
mm2)
3. Gauge Length (L1 , mm)

Tabel data pengujian

5. SOAL-SOAL
1. Dari data pengujian, plot kurva (P – ΔL)
2. Hitung Tegangan-Regangan Teknik (σ t - εt) dan Tegangan-Regangan
Teknik sebenarnya (σ s - εs) pada titik yield, beban maksimum dan pada
saat patah.
3. Plot kurva Tegangan-Regangan Teknik (σ t - εt) dan Tegangan-Regangan
Teknik sebenarnya (σ s - εs).
4. Hitung reduksi penampang untuk masing-masing spesimen
5. Hitung a. Modulus Resilien, b. Poison ratio, c. Modulus of thoughness
untuk masing-masing spesimen.
6. Apa yang dimaksud dengan Instability dan Strain hardening
7. Gambarkan diagram Mohr untuk uji tarik beban maksimum.
8. Sebutkan sumber-sumber kesalahan pada pengujian ini dan pengaruhnya
terhadap hasil pengujian.
9. Pada industri apa saja pengujian tarik sering digunakan
10. Apa saran-saran saudara terhadap pelaksanaan praktikum ini.
III. PRAKTIKUM
PERLAKUAN PANAS (HEAT TREATMENT)

1. PENDAHULUAN
Perlakuan panas dapat didefenisikan sebagai kombinasi operasi pemanasan
dan pendinginan terhadap logam/paduan dalam keadaan padat dengan waktu
tertentu sehingga didapatkan sifat-sifat mekanis logam seperti yang diinginkan.
Langkah – langkah pada setiap proses laku panas adalah memanaskan
logam itu sampai suatu temperatur tertentu, lalu menahan beberapa saat pada
temparatur tersebut dan selanjutnya didinginkan dengan laju pendinginan tertentu.
Selama pemanasan dan pendinginan akan terjadi beberapa perubahan sifat-sifat
dari logam/paduan tersebut.
Proses perlakuan panas ini banyak sekali digunakan pada industri-industri
yang dalam penerapannya diperlukan adanya rekayasa sifat-sifat mekanis
logam/paduan untuk mendapatkan sifat-sifat yang lebih baik.
Seseorang yang ahli dalam bidang rekayasa material melalui proses
perlakuan panas dapat melakukan perubahan-perubahan baik itu bentuk struktur
mikro, sifat mekanis dan lainnya dari suat logam untuk mendapatkan sifat-sifat
bahan sesuai dengan yang diinginkan.

2. TUJUAN
Tujuan praktikum perlakuan panas adalah untuk mempelajari :
 Pengaruh media pendingin terhadap sifat-sifat mekanis logam
 Pengaruh temperatur pemanasan, holding time dan kecepatan pendinginan
terhadap sifat-sifat mekanis logam.
 Pengaruh kecepatan pendinginan terhadap struktur mikro logam.

3. DASAR TEORI
Sifat-sifat tertentu dari logam diperlukan agar logam tersebut mudah
dilakukan pengerjaan khususnya pengerjaan mekanis. Salah satu cara untuk dapat
merubah sifat-sifat mekanis suatu logam adalah dengan melakukan proses laku
panas. Suatu proses laku panas mungkin diperlukan sesudah pengerjaan mekanis
suatu logam untuk memberikan sifat-sifat tertentu pada produk akhir yang siap
pakai.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa proses perlakuan panas
merupakan rangkaian proses produksi. Proses perlakuan panas hendaknya dilihat
sebagai proses tersendiri yang terpisah dari rangkaian produksi. Proses ini saling
mempengaruhi, sehingga dalam merancang suatu proses laku panas perlu
diperhatikan juga proses yang telah dilalui sebelumnya dan sifat akhir yang
diinginkan.
Beberapa hal yang perlu dihayati dalam mempelajari perlakuan panas
antara lain berkaitan dengan struktur mikro, sifat-sifatnya terutama yang berkaitan
dengan trasformasi yang terjadi selama proses pemanasan dan pendinginan,
perpindahan panas, diffusi, reaksi kimia dan lain-lain.
Proses perlakuan panas dapat dibagi menjadi dua, yaitu proses perlakuan
panas dengan kondisi equilibrium dan proses perlakuan panas non-equilibrium.

3.1. Proses Perlakuan Panas Kondisi Equilibrium.


Proses Perlakuan Panas Kondisi Equilibrium adalah proses perlakuan
panas yang dilakukan dengan kondisi kesetimbangan/equilibrium, sehingga akan
menghasilkan struktur mikro yang sedikit banyak mendekati kondisi pada
diagram fasanya. Secara umum perlakuan panas ini dapat disebut Annealing.
Annealing adalah suatu Proses Perlakuan Panas yang sering dilakukan
terhadap logam/paduan pada proses pembuatan suatu produk. Pada dasarnya
annealing dilakukan dengan memanaskan logam/paduan sampai temperatur
tertentu, menahannya pada temperatur tersebut selama waktu tertentu dan
mendinginkan logan/paduan tadi dengan laju pendinginan yang sangat lambat.
Annealling dapat dilakukan terhadap benda kerja dengan kondisi yang berbeda-
beda dan tujuan yang berbeda pula.
Tujuan melakukan annealing dapat merupakan salah satu dari hal-hal
berikut :
 Melunakkan
 Menghaluskan butir
 Menghilangkan tegangan sisa
 Memperbaiki machinability
 Memperbaiki sifat kelistrikan/kemagnetan
Dilihat dari fungsinya dalam suatu rangkaian produksi, annealing dapat
merupakan suatu langkah mempersiapkan suatu bahan/benda kerja untuk
pengerjaan/perlakuan panas berikutnya, atau sebagai proses akhir yang
menentukan sifat produk jadi.
Karena jenis annealing banyak sekali, tergantung pada jenis/kondisi benda
kerja, temperatur pemanasan, lama holding time, laju pendinginan dan lain-lain.
Secara umum heat treatment dengan kondisi equilibrium ini dapat dibagi
menjadi : full annealing, proses annealing, stress relief annealing, normalizing,
sphreodizing, homogenizing dan lain-lain. Gambar 5.1 memperlihatkan
temperatur pemanasan untuk beberapa jenis perlakuan panas pada kondisi
equilibrium.

a. Full Annealing
Full annealing dilakukan dengan memanaskan baja sampai keatas
temperatur kritis (untuk baja hypoeutektoid 25-50 0 C diatas temperatur kritis A1),
diikuti dengan pendinginan yang cukup lambat (terutama selama melewati
temperatur transformasi). Biasanya pendinginan dilakukan bersama dapur atau
bahan yang mempunyai sifat penyekat panas yang baik. Proses ini biasanya
digunakan untuk membuat baja menjadi lebih lunak, menghaluskan kristal
logam/paduan, memperbaiki machinability dll.
Karena proses pendinginan dengan full annealing ini sangat lambat maka
apabila didinginkan dalam dapur, tentunya akan mengurangi produktivitas dapur.
Untuk menghindari hal ini dapat dilakukan isothermal annealing, dimana
pamanasan dan holding time dilakukan dalam dapur seperti full annealing, tetapi
sesudah itu benda kerja dicelup kedalam garam cair (salt bath, sekitar 650 0C)
dengan tempertur sedikit dibawah temperatur kritis A1 dan dibiarkan disana
sampai transformasi austenit ke pearlite selesai, lalu didinginkan di udara diam.

b. Normalizing
Normalizing dilakukan dengan memanaskan logam sampai temperatur 50
0
C diatas temperatur kritis A3 , ditahan beberapa saat dan didinginkan di udara
diam. Hasil normalising umumnya memiliki struktur mikro lebih halus, sehingga
untuk komposisi kimia yang sama akan memiliki yield strength, ultimate strength,
kekerasan dan impac strenght yang lebih tinggi dibandingkan yang diperoleh dari
proses full annealing dan machinability nya akan menjadi lebih baik.
Normalizing juga sering dilakukan terhadap benda logam hasil tuangan
atau tempa. Tujuannya adalah untuk menghilangkan tegangan dalam dan
menghaluskan butir kristalnya sehingga diperoleh sifat mekanik yang lebih baik.
Normalizing juga akan menghasilkan struktur mikro yang lebih halus sehingga
akan memberikan respon yang baik pada proses pengerasan (hardening).

C. Speroidizing
Speroidizing dilakukan dengan memanaskan logam bampai tempertur
kritis dibawah atau sedikit dibawahnya, dan dibiarkan pada temperatur tersebut
dalam waktu lama, baru kemudian didinginkan. Penahanan pada temperatur
tersebut dalam waktu lama menyebabkan sementit yang awalnya berbentuk plat
atau lempengan akan hancur menjadi bola-bola kecil yang disebut spheroidite
yang tersebar dalam matrik ferrit. Dalam keadaan ini baja mempunyai ductility
dan machinability yang maksimum, sebaliknya kekerasan minimum. Spheroidite
makin besar jika holding time makin lama.
D. Stress Relief Annealing
Stress relief annealing dan proses annealing mempunyai proses yang
hampir sama, temperatur pemanasan tidak mencapai temperatur kritis bawah A1.
Stress relief annealing dimaksudkan untuk menghilangkan tegangan dalam yang
timbul sebagai akibat proses pengerjaan dingin dan machining yang dialami
sebelumnya. Sedangkan proses annealing dimaksudkan untuk melunakkan dan
menaikkan kembali keuletan benda kerja agar dapat dideformasi lebih lanjut.

Gambar Isothermal annealing


E. Homogenizing
Homogenizing dilakukan dengan memanaskan kembali benda kerja
sampai temperatur yang cukup tinggi didaerah austenit dan menahan dalam waktu
yang cukup lama kadar terjadi difusi yang akan didinginkan dengan lambat.
Proses ini dilakukan pada benda tuangan yang memiliki struktur mikro berbentuk
dendritik menjadi struktur yang lebih homogen.

3.2. Perlakuan Panas dengan Kondisi Non-Equilibrium


Proses Perlakuan Panas dengan Kondisi Non-Equilibrium adalah
perlakuan panas yang pendinginannya berlangsung sangat cepat, sehingga struktur
mikro yang dihasilkan struktur mikro yang tidak equilibrium.
Bila diperlukan sifat tahan aus dari satu bagian logam, maka sifat
kekerasannya akan sangat menentukan. Kekerasan baja memang tergantung juga
pada komposisi kimianya, makin tinggi kadar karbonnya maka makin keras baja
tersebut. Disamping itu kekerasan masih dapat dirubah dengan merubah struktur
mikronya. Kekerasan yang sangat tinggi dapat diperoleh dengan melakukan
proses perlakuan panas untuk memperoleh struktur martensit.
Jenis-jenis proses perlakuan panas non-equilibrium antara lain : hardening,
Tempering (yaitu : Austempering, dan Martempering), Surface Hardening (yaitu :
Carburizing, Nitriding, Carbnitriding, Cyaniding, Flame Hardening, Induction
haardening).

4. PENGERASAN (HARDENING)
Hardening dilakukan dengan memanaskan logam hingga mencapai
temperatur austenit, dipertahankan beberapa saat pada temperatur tersebut, lalu
didinginkan dengan cepat sehingga akan diperoleh martensit yang keras. Biasanya
proses hardening sering diikuti dengan proses tempering.
Untuk mendapatkan struktur mikro yang sepenuhnya martensit maka laju
pendinginan harus dapat mencapai laju pendinginan kritis (CCR, critical coling
rate). Dengan laju pendinginan yang kurang dari CCR akan mengakibatkan
adanya sebagian austenit yang tidak bertransformasi menjadi martensit tetapi
menjadi struktur lain, sehingga kekerasan maksimum tidak tercapai.
Laju pendinginan yang terjadi pada suatu benda kerja tergantung pada
beberapa faktor utama, antara lain :
 Jenis media pendingin
 Temperatur media pendingin
 Kuatnya sirkulasi pada media pendinginan
Beberapa media pendingin yang sering digunakan pada proses hardening,
diurutkan menurut kekuatan pendinginannya :
1. Brine (air + 10 % garam dapur)
2. Air
3. Salt bath (garam cair, dipanaskan sampai mencair)
4. Larutan minyak (oli) dalam air
5. Oli
6. Udara
4. MESIN DAN PERALATAN
4.1. Peralatan yang digunakan :
 Dapur pemanas (muffle furnace)
 Tang penjepit benda uji
 Media pendingin
 Alat uji kekerasan
 Mikroskop metalurgi dan accesoriesnya
 Mesin Gerinda dan Pemoles (grinding and Polishing machine)
 Kertas amplas dengan tingkatan kehalusan yang berbeda-beda (180, 240, 400,
500, 800, 1000, 1200).
 Kain poles (beludru).
 Serbuk alumina atau diamoned dust untuk polishing.

4.2. Spesimen
Spesimen berbentuk silinder, diameter antara 10 – 50 mm, dan tebalnya
10 – 25 mm. Sedang untuk benda uji berupa plat/batang dimensinya adalah :
panjang, lebar dan tinggi = 5 – 10 mm.

6. PELAKSANAAN PERCOBAAN
 Percobaan dilaksanakan menggunakan 3 jenis media pendingin yaitu ; air, oli
dan udara.
 Siapkan benda uji sesuai dengan dimensi yang telah ditentukan, ratakan
permukaan dengan menggunakan kertas gosok grid rendah.
 Catat dimensi benda uji pada lembar pengujian.
 Masukkan ketiga benda uji kedalam dapur pamanas.
 Panaskan benda uji sehingga mencapai temperatur sedikit diatas temperatur
kritis A3 (untuk baja karbon rendah sekitar 850 0C).
 Apabila dapur telah menunjukkan temperatur tersebut, tahan temperatur
tersebut selama 15 – 20 menit untuk menghomogenkan panas pada seluruh
bagian benda uji.
 Dengan menggunakan tang penjepit, ambil benda uji satu persatu dan
dinginkan dengan cara memasukkan benda uji 1 ke dalam air, benda uji 2
kedalam oli dan benda uji 3 didinginkan di udara terbuka.
 Setelah benda uji dingin, keluarkan benda uji dari media pendingin, kemudian
amplas benda uji dengan kertas amplas mulai dari yang paling kasar hingga
paling halus dilanjutkan dengan pemolesan dengan alumina. Permukaan
logam yang halus dietsa dengan zat kimia yang sesuai.
 Benda uji kemudian diamati dengan mikroskop. Buat sketsa struktur mikro
material.
 Selanjutnya dengan menggunakan mesin uji kekerasan, dapatkan nilai
kekerasan masing-masing benda uji tersebut diatas. Masing-masing benda
uji dilakukan pengujian minimal tiga kali.
 Catat hasilnya pada lembar pengujian.

NILAI KEKERASAN (……….)


JENIS BAHAN No
PENDINGINAN PENDINGINAN PENDINGINAN
AIR OLI UDARA
1
2
3
1
2
3
1
2
3

7. SOAL-SOAL
1. Hitung kekerasan masing-masing spesimen yang
telah dilakukan perlakuan panas.
2. Plotkan diagram pemanasan (Temperatur-Waktu)
untuk masing-masing perlakuan.
3. Berikan analisa saudara tentang hubungan jenis heat
treatment terhadapkan kekerasan suatu bahan.
4. Bagaimana hubungan antara laju pendinginan
dengan jenis media pendingin yang dilakukan dalam praktikum.
5. Jelaskan struktur mikro akhir yang terbentuk pada
masing-masing proses laku panas yang dilakukan.
6. Bagaimana hubungan struktur mikro dengan nilai
kekerasan material.
7. Jelaskan mekanisme terbentuknya martensit pada
proses hardening.
8. Pada industri apa saja perlakuan panas sering
dilakukan.
9. Apa saran saudara terhadap pelaksanaan praktikum
ini.
IV. PRAKTIKUM
JOMINY HARDENABILITY TEST

1. PENDAHULUAN
Pengaruh komposisi paduan terhadap suatu baja paduan untuk
bertransformasi menjadi martensit pada pendinginan cepat (quenching)
berhubungan dengan suatu parameter yang disebut dengan hardenability. Untuk
setiap perbedaan paduan baja terhadap hubungan yang spesifik antara sifat-sifat
mekanis dengan kecepatan pendinginan.
Hardenability adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan
kemampuan suatu paduan untuk dikeraskan dengan membentuk martensit sebagai
hasil dari proses perlakuan panas. Hardenability bukanlah kekerasan (hardness),
tetapi pengukuran kekerasan digunakan untuk menyatakan sejauh mana
transformasi martensit dalam suatu spesimen.
Baja yang mempunyai hardenability tinggi adalah baja paduan yang keras
(membentuk martensit) tidak hanya pada bagian permukaannya, tetapi juga
sampai kedalaman tertentu suatu spesimen. Atau dengan kata lain hardenability
adalah suatu ukuran kedalaman paduan baja untuk dikeraskan.

2. TUJUAN
Tujuan praktikum Jominy hardenability test antara lain adalah :
 Mempelajari hardenability band suatu paduan baja
 Mengetahui pengaruh jarak dari ujung quench terhadap perubahan kekerasan
suatu bahan.
 Mempeajari pengaruh media pendingin, laju pendinginan, temperatur
pemanasan, holding time dan benruk geometri terhadap hardenability suatu
paduan baja.

3. DASAR TEORI
3.1. Hardenability
Hardenability didefenisikan sebagai kemampuan suatu bahan paduan baja
untuk dikeraskan dengan membentuk martensit sebagai proses perlakuan panas.
Disamping itu hardenability juga menggambarkan dalamnya pengerasan yang
diperoleh dengan quenching, biasanya dinyatakan dengan jarak suatu titik
dibawah permukaan yang strukturnya terdiri dari 50 % martensit.
Dalam melakukan pengerasan dengan pembentukan martensit, bila laju
pendinginannya dapat mencapai laju pendinginan kristis (CCR) maka kekerasan
yang terjadi pada dasarnya tergantung pada kadar karbon paduan tersebut (pada
austenit pada saat pemanasan). Bila laju pendinginan yang terjadi pada benda
lebih lambat dari CCR maka jumlah martensit yang terbentuk akan berkurang
yang menyebabkan berkurangnya kekerasan. Hubungan antara kekerasan sesudah
quenching dengan kadar karbon dalam austenit dan jumlah martensit yang
terbentuk digambarkan pada gambar 4.1

Gambar 4.1. Hubungan antara kekerasan, kandungan karbon dan jumlah


martensit.

Gambar 4.1. memperlihatkan kekerasan dicapai bila dapat diperoleh martensit


dengan kadar karbon tertentu, tidak memperlihatkan bagaimana sejumlah
martensit itu dapat diperoleh.
Bila suatu benda kerja didinginkan dengan suatu media pendingin maka
yang paling cepat menjadi dingin adalah yang paling dengan permukaan, atau
dengan kata lain laju pendinginan dipermukaan akan lebih tinggi dibandingkan
dengan bagian dalam. Gambar 4.2. memperlihatkan kurva pendinginan dari
beberapa titik dalam batang dengan diameter 1 inchi.
Kurva pendinginan ini bila diplot pada diagram CCT (seperti pada gambar
4.3) akan dapat dilihat bahwa bagian yang dekat permukaan dapat mencapai laju
pendinginan kristis (CCR) sedangkan bagian yang lebih dalam mungkin tidak
dapat mencapai CCR (martensit yang terbentuk makin sedikit) sehingga
kekerasannya semakin turun.

Gambar 4.2. Kurva pendinginan pada berbagai posisi dalam batang berdiameter
1”, di quench dalam air.

Suatu batang baja setelah diquench, lalu dipotong dan diukur kekerasan
penampangnya mulai dari permukaan sampai pusat, maka akan didapat kurva
distribusi kekerasan (hardness-penetration diagram atau hardness-trasferse
diagram) batang baja tersebut. Gambar 4.4 memperlihatkan kurva distribusi
kekerasan 3 jenis baja.

Gambar 4.3. Skema kurva pendinginan permukaan dan inti pada bar diameter 95
mm, media quench oli. Permukaan seluruhnya martensit; sebagian inti adalah
bainit atas.

Laju pendinginan pada benda besar akan lebih lambat daripada benda
kecil, sehingga mungkin saja baja yang sama bila dibuat dengan ukuran yang
berbeda akan dapat menghasilkan kekerasan yang berbeda pada bagian pusatnya,
seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.5.

Gambar 4.4 Distribusi kekerasan untuk 3 baja yang berbeda. Diameter bar
100mm. Baja W1 media quench air, sisanya oli.

Gambar 4.5 Kedalaman kekerasan pada baja dengan dimensi yang berbeda setelah
quench dengan oli (AISI 01). Benda uji diameter 25 mm diquench dari 800 oC
dalam oli. Benda uji diameter 50 mm diquench dari 820oC dalam oli. Benda uji
diameter 100mm diquench dari 840oC dalam oli.

Hardenability ditentukan oleh letak kurva awal trasformasi pada CCT


diagram, makin ke kanan letak kurva awal trasformasi maka makin tinggi
hardenability baja tersebut. Karena itu hardenability dipengaruhi oleh 2 hal, yaitu ;
komposisi kimia baja dan ukuran butir austenit baja pada saat pemanasan.
3.2. Jominy Hardenability Test
Jominy hardenability test merupakan salah satu metoda untuk
mendapatkan hardenability band suatu paduan baja, dinamakan juga Jominy end
quenched hardenability band test karena pada pengujian ini menggunakan
spesimen berupa batang silindris yang diquench pada salah satu ujungnya untuk
pengujian.
Paduan baja yang akan diuji hardenabilitynya, terlebih dahulu dibuat
spesimen berbentuk batang silindrik diameter 1 inchi, panjang 4 inchi. Spesimen
dipanaskan dalam dapur pemanas sampai temperatur austenizing yang dianjurkan
untuk baja tersebut dan diholding selama waktu tertentu (lebih kurang 20 menit).
Setelah itu spesimen dikeluarkan dari dapur pemanas dan ditempatkan pada
pemegang (frame) dan ujungnya disemprotkan dengan air yang dikeluarkan dari
nozzle dengan diameter 0,5 inchi. Tinggi pancaran air bebas 2,5 inchi. Gambar 4.6
memperlihatkan desain dari peralatan Jominy hardenability test.

Setelah dingin permukaan spesimen dihaluskan dengan kertas gosok hingga


kedalaman 0,4 mm, selanjutnya diukur kekerasan sepanjang sisi silinder. Dari
hasil pengukuran kekerasan ini selanjutnya dibuat kurva hardenability (kurva
kekerasan terhadap jarak dari ujung quench), seperti ditunjukkan pada gambar.
Setiap titik pada spesimen jominy ini mengalami laju pendinginan yang
berbeda, yang besarnya dianggap sama untuk titik yang sama pada spesimen lain.
Pada suatu paduan baja yang mengalami pendinginan yang sama akan mempunyai
stuktur dan kekerasan yang sama, maka dengan memperhitungkan laju
pendinginan yang akan terjadi pada suatu titik pada suatu benda kerja tertentu
maka akan dapat diramalkan berapa kekerasan yang akan terjadi pada titik itu,
yaitu dengan melihat di suatu titik pada spesimen jominy yang mengalami
pendinginan dengan laju yang sama, sehingga juga akan dapat diramalkan
bagaimana distribusi kekerasan pada penampang suatu benda kerja.
Kekerasan maksimum suatu baja pada dasarnya tergantung pada kadar
karbon, sedangkan hardenability tergantung pada kompsisi kimia (% C dan unsur
paduannya) dan besar butir austenitnya. Gambar 4.7 memperlihatkan
perbandingan hardenability jenis baja yang memiliki kadar karbon sama tetapi
mengadung unsur paduan yang berbeda.

Gambar 4.7. Kurva hardenability untuk lima baja paduan berbeda masing-masing
mengandung 0,4%C. Komposisi paduan (wt%) adalah : 4340-1.85 Ni, 0.8 Cr, dan
0.25 Mo; 4140-1.0 Cr dan 0.20 Mo; 8640 – 0.55 Ni, 0.50 Cr dan 0.20 Mo; 5140-
0.85 Cr; 1040 adalah baja bukan paduan.

Dalam suatu standar baja, komposisi kimianya ditentukan dalam range


tertentu, sehingga hardenability suatu baja/paduannya dari suatu standar menjadi
sangat bervariasi, sedangkan untuk beberapa keperluan diperlukan baja dengan
hardenability yang terjamin. Untuk itu kemudian dibuat standar baja dengan
jaminan pada hardenabilitynya, misalnya pada standart AISI dinyatakan dengan
huruf H dibelakang nomor kode baja (AISI 4140H).
Batas harga maksimum dan minimum hardenabilitinya dinyatakan dengan
hardenability band seperti terlihat pada gambar 4.8.
Gambar 4.8. data pengujian dan hardenability band baja 4140H.

4. MESIN DAN PERALATAN


4.1. Peralatan yang Digunakan
1. Alat uji Jominy
2. Dapur pemanas (muffle furnace)
3. Tang penjepit benda uji
4. Alat uji kekerasan
5. Mesin gerinda
6. Kertas Gosok dengan tingkatan kehalusan berbeda.

4.2. Spesimen
Spesimen berupa paduan baja yang berbentuk batang silinder berdiameter 1
inchi dan panjang 4 inchi, seperti terlihat pada gambar 5.10.

5. PELAKSANAAN PENGUJIAN
a. Panaskan spesimen dalam dapur pemanas
hingga temperatur austenitsasi dan holding pada temperatur tersebut sekitar
20 menit.
b. Set tinggi air bebas pada saat nozzle dibuka
adalah 2,5 inchi kemudian kran dimatikan.
c. Spesimen yang telah dipanaskan selanjutnya
dikeluarkan dari dapur pemanas dengan menggunakan tang penjepit dan
selanjutnya spesimen diletakkan pada tempat (frame) yang telah ditentukan
pada peralatan tersebut.
d. Buka kran sehingga dari ujung nozzle akan
menyemprot air ke ujung spesimen jominy. Pendinginan dilakukan hingga
spesimen menjadi dingin (temperatur kamar).
e. Gosok permukaan spesimen (batang
silindrik) dengan menggunakan kertas gsok hingga kedalaman 0,4 mm.
f. Lakukan pengujian kekerasan pada titik-
titik sepanjang 2 inchi partama dari ujung quench batang silindrik. Jarak
antar titik pada ½ inchi pertama adalah 1/16 inchi, sedangkan pada 1 ½ inchi
berikutnya 2/16 inchi.
g. Catat hasil pada tabel
h. Ulangi langkah a-g untuk pengujian
spesimen lain.
Jarak dari Ujung Quench
Kekerasan (…………….)
(inchi)
1/16
2/16
3/16
4/16
5/16
7/16
½
10/16
12/16
14/16
1
1 2/16
1 4/16
1 6/16
1 8/16
1 10/16
1 12/16
1 14/16
2

6. SOAL-SOAL
A. Plot kurva hubungan kekerasan terhadap jarak dari ujung quench
B. Jelaskan analisa saudara tentang hardenability spesimen tersebut.
C. Sebutkan manfaat diketahuinya hardenability band suatu material.
D. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya perubahan
kekerasan sepanjang permukaan spesimen uji.
E. Mengapa dilakukan penahanan temperatur (holding temperatur)
sebelum spesimen sisinginkan dengan semprotan air.
F. Bagaimana aplikasi jominy tes digunakan dilapangan
G. Apa saran saudara terhadap pelaksanaan pengujian ini.

Anda mungkin juga menyukai