DISUSUN OLEH :
Tim Dosen Teknik Mesin UIR
LABORATORIUM MATERIAL
JURUSAN TEKNIK MESIN – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
2003
PRAKTIKUM
PENGUJIAN SIFAT MEKANIK LOGAM
1. PENDAHULUAN
HARDNESS (Kekerasan) merupakan kemampuan bahan untuk tahan
terhadap indentasi atau penetrasi permanen akibat beban dinamis atau statis.
2. TUJUAN
Pengujian kekerasan bertujuan untuk mengukur angka kekerasan suatu
bahan dengan metode Brinell, Rocwell dan Vickers.
3. DASAR TEORI
Pengukuran kekerasan secara umum dapat dilakukan dengan dua metode
yaitu :
1. Metode Dinamis (Dynamical Methode)
Dengan karakteristik pengujian ;
- Pemberian beban dilakukan dengan tiba-tiba
- waktu penetrasi singkat
- ketelitian rendah
- waktu pengujian cepat
2. Metode Statis (Statical Methode)
Dengan karakteristik pengujian :
- Pemberian beban dilakukan dengan perlahan-lahan dengan beban tertentu
- waktu penetrasi panjang
- ketelitian tinggi
- waktu pengujian lebih lama dibanding metode dinamis.
4. PENGUJIAN KEKERASAN
4.1 PENGUJIAN KEKERASAN BRINELL
Pengujian kekerasan brinell dilakukan dengan menekan Identor (hardened
steel ball dengan diameter D) dengan beban P (kg) terhadap suatu speciment.
Diameter indentasi (d) diukur setelah beban dilepas. Gambar 1 menunjukkan
proses penekanan pengujian brinell.
Kekerasan Brinell (HBN) adalah beban (P) dibagi dengan luas permukaan
indentasi, yaitu :
Dimana :
HBN = Angka kekerasan Brinell
P = Beban (kg)
D = Diameter Bola (indentor)
d = Diameter rata-rata indentasi (mm)
Pengujian kekerasan didasarkan pada standart DIN 50351 atau ASTM E-10 dan
harus memenuhi persyaratan lainnya yaitu :
1. Permukaan spesimen harus halus, rata dan tegak lurus terhadap arah
pembebanan.
2. Brinell standart menggunakan :
Beban (P) = 300 kg,
Diameter bola = 10 mm, dan
Waktu penekanan = 10 – 15 detik.
Permukaan indentasi tidak sepenuhnya berbentuk kulit bola, akibat
deformasi bola pada saat penekanan dan terjadinya recovery pada
speciment setelah beban dilepaskan. Oleh sebab itu pengujian yang
menggunakan beban dan diameter bola yang berbeda, geometri indentasi
juga berbeda.
Untuk membandingkan satu angka kekerasan dengan angka kekerasan
lainnya, maka degree of loading adalah Beban (P) dibagi dengan Kuadrat
diameter indentor.
Dimana :
P = Beban (kg)
D = Diameter indentor (mm)
Beberapa degree of loading yang umum digunakan adalah : 30, 15, 10, 5
dan 1
pemakaian beban dan diameter indentor yang tidak standar harus
dicantumkan pada angka kekerasan.
3. Untuk menghindari kesalahan pengukuran kekerasan Brinell, maka
beberapa faktor yang harus diperhatikan antara lain ;
- Ketebalan spesimen minimum = 10 x kedalaman indentasi (t).
- Waktu penekanan = 10 – 15 detik untuk logam ferrous dan
- 30 detik untuk logam yang lebih lunak.
- Jarak antara titik pusat indentasi yang satu terhadap yang lain dan
terhadap tepi spesimen minimal = 3 x diameter indentasi (d).
- Diameter indentasi (d) harus terletak dalam range : 0,2 D < d < 0,7 D
Dimana :
D = Diameter Bola (mm)
d = Diameter indentasi (mm)
6. SOAL-SOAL
1. Tentukan nilai kekerasan Brinell, Vickers dan Rockwell
dari hasil pengujian kekerasan.
2. Hitung perkiraan kekuatan tarik dari data kekerasan
dengan menggunakan Grafik hubungan kekuatan tarik dan kekerasan.
3. Untuk mengetahui nilai kekerasan logam yang belum
diketahui nilainya, metode pengujian apa yang anda pilih, jelaskan.
4. Sebutkan keuntungan dan kerugian dari pengujian
Brinell, Vickers, dan Rockwell.
5. Dimana saja Hardnes test dilakukan.
6. Buatlah kesimpulan dari pengujian yang dilakukan.
7. Apa saran anda terhadap pelaksanaan pengujian ini.
II. PRAKTIKUM
UJI TARIK (TENSILE STRENGH)
1.PENDAHULUAN
Kekuatan tarik merupakan sifat mekanik logam yang penting, terutama
untuk perencanaan konstruksi maupun pengerjaan logam. Kekuatan tarik suatu
bahan dapat diketahui dengan melakukan pengjian tarik pada bahan yang
bersangkutan. Dari hasil pengujian tarik tersebut dapat diketahui pula sifat-sifat
lain seperti : kekuatan mulur, perpanjangan, reduksi penampang, modulus
elastisitas dan lain-lain.
2. TUJUAN
Tujuan praktikum pengujian tarik antara lain :
Mengukur kekuatan tarik (tensile strength) suatu bahan
Mengukur sifat-sifat mekanis suatu bahan didaerah elastis dan plastis.
3. DASAR TEORI
3.1. Diagram Hasil Uji Tarik
Pada pengujian tarik spesimen dikenal beban uji aksial yang semakin besar
secara kontinu. Penampang spesimen berbentuk lingkaran atau segi empat seperti
ditunjukkan pada gambar …
Dimana : σ = tegangan
E = modulus elastisitas
ε = regangan
Pada tegangan yang tidak malebihi batas proporsional secara praktis hanya
mengakibatkan deformasi elastis, yaitu regangan akan hilang bila beban
ditiadakan. Oleh karena itu batas proporsional kadang-kadang identik dengan
batas elastis, sehingga dengan demikian Tp = Te. Komponen mesin harus
dirancang dengan tegangan kerja yang tidak melebihi Tp dan Te.
Bila beban malebihi Pp, maka hubungan beban dan perpanjangan akan
menyimpang dari garis lurus ke bentuk kurva. Selanjutnya pada beban tertentu
pada diagram terdapat bagian yang mendatar. Hal ini menunjukkan bahwa bahan
mengalami perpanjangan (Yield/luluh) walaupun tanpa pertambahan beban.
Besarnya beban disimbolkan sebagai Py (beban luluh), sedangkan tegangan luluh
adalah :
σy = Py / Ao
σu = Pu / Ao (kg/mm2)
Sampai tegangan maksimum deformasi yang terjadi adalah homogen
sepanjang spesimen. Setelah mencapai tegangan maksimum pada logam yang ulet
akan terjadi pengecilan penampang setempat, beban turun dan akhirnya spesimen
patah pada titik F. Pada logam yang getas akan segera patah begitu mencapai
tegangan maksimum.
Dari diagram uji tarik dapat (P-ΔL) dapat ditransformasi menjadi kurva
tegangan-regangan teknik dengan hubungan sbb :
σy = P / Ao (kg/mm2)
σ s = σ t ( 1 + εt )
εs = ln ( 1 + εt )
adalah pada bagian yang mendatar tersebut. Bila kurva (σ t - εt) tidak terdapt
bagian yang mendatar, maka penentuan σ y dilakukan dengan menentukan
regangan permanen sebesar 0,2 % - 0,3 %. Titik potong antara garis sejajar
dengan bagian lurus terhadap kurva adalah titk σ y.
Gambar 1.4. penetuan yield point (titik luluh)
7) Modulus Resilien
Modulus resilien merupakan kemampuan logam untuk menyerap energi
tanpa mengakibatkan terjadinya deformasi plastis (menyerap energi deformasi
plastis dan melepaskannya kembali bila beban dihilangkan) seperti terlihat
pada gambar 1.5
Dari gambar 1.5 terlihat bahwa modulus resilien adalah luasan dibawah kurva
(σ y - εy ) pada daerah elastis, sbb:
UR = σ y2 / 2 εt )
Modulus Resilien untuk beberapa jenis bahan terlihat pada tabel 1 dibawah
ini.
Tabel 1. Modulus Resilien beberapa jenis bahan.
MODULUS
MATERIAL RESILIENT
Medium – Carbon Steel 33,7
High – Carbon Steel 320
Duralium 17
Cooper 5,3
Rubber 300
Acrylic Polimer 4,0
4.2 Spesimen
Spesimen dibuat sesuai dengan standar DIN 50125 atau dapat juga digunakan
standar ASTM E.8.
5. PELAKSANAAN PENGUJIAN
a. Catat data mesin tarik
b. Ukur dimensi spesimen, tiap dimensi diukur tiga kali.
c. Spesimen dipasang pada penjepit (chuck)
d. Pembebanan dilakukan dengan memutar handle berlawanan arah jarum
jam secara perlahan-lahan sehingga jarum skala bergerak.
e. Catat beban dan perubahan panjang yang terjadi selama pengujian pada
tabel dibawah ini.
f. Setelah spesimen patah, putar handle searah jarum jam untuk
menghentikan pembebanan.
g. Lepaskan apesimen yang telah patah dari penjepit (chuck)
h. Kedua bagian spesimen yang patah digabung kembali, kemudian panjang
spesimen dan diameter pada bagian yang putus diukur.
i. Ulangi langkah diatas untuk spesimen yang lain.
DATA PENGUJIAN
DIMENSI SPESIMEN
I II III
A. Sebelum Pengujian
1. Diameter (Do ,
mm)
2. Luas Penampang
(Ao , mm2)
3. Gauge Length (Lo ,
mm)
4. Panjang (Lt , mm)
B. Pada saat Pengujian
1. Beban yield (Py , kNm)
2. Beban Ultimate (PU ,
kNm)
3. ΔL yield (ΔLy , mm)
C. Sesudah Pengujian
1. Diameter (D1 , mm)
2. Luas Penampang (A1 ,
mm2)
3. Gauge Length (L1 , mm)
5. SOAL-SOAL
1. Dari data pengujian, plot kurva (P – ΔL)
2. Hitung Tegangan-Regangan Teknik (σ t - εt) dan Tegangan-Regangan
Teknik sebenarnya (σ s - εs) pada titik yield, beban maksimum dan pada
saat patah.
3. Plot kurva Tegangan-Regangan Teknik (σ t - εt) dan Tegangan-Regangan
Teknik sebenarnya (σ s - εs).
4. Hitung reduksi penampang untuk masing-masing spesimen
5. Hitung a. Modulus Resilien, b. Poison ratio, c. Modulus of thoughness
untuk masing-masing spesimen.
6. Apa yang dimaksud dengan Instability dan Strain hardening
7. Gambarkan diagram Mohr untuk uji tarik beban maksimum.
8. Sebutkan sumber-sumber kesalahan pada pengujian ini dan pengaruhnya
terhadap hasil pengujian.
9. Pada industri apa saja pengujian tarik sering digunakan
10. Apa saran-saran saudara terhadap pelaksanaan praktikum ini.
III. PRAKTIKUM
PERLAKUAN PANAS (HEAT TREATMENT)
1. PENDAHULUAN
Perlakuan panas dapat didefenisikan sebagai kombinasi operasi pemanasan
dan pendinginan terhadap logam/paduan dalam keadaan padat dengan waktu
tertentu sehingga didapatkan sifat-sifat mekanis logam seperti yang diinginkan.
Langkah – langkah pada setiap proses laku panas adalah memanaskan
logam itu sampai suatu temperatur tertentu, lalu menahan beberapa saat pada
temparatur tersebut dan selanjutnya didinginkan dengan laju pendinginan tertentu.
Selama pemanasan dan pendinginan akan terjadi beberapa perubahan sifat-sifat
dari logam/paduan tersebut.
Proses perlakuan panas ini banyak sekali digunakan pada industri-industri
yang dalam penerapannya diperlukan adanya rekayasa sifat-sifat mekanis
logam/paduan untuk mendapatkan sifat-sifat yang lebih baik.
Seseorang yang ahli dalam bidang rekayasa material melalui proses
perlakuan panas dapat melakukan perubahan-perubahan baik itu bentuk struktur
mikro, sifat mekanis dan lainnya dari suat logam untuk mendapatkan sifat-sifat
bahan sesuai dengan yang diinginkan.
2. TUJUAN
Tujuan praktikum perlakuan panas adalah untuk mempelajari :
Pengaruh media pendingin terhadap sifat-sifat mekanis logam
Pengaruh temperatur pemanasan, holding time dan kecepatan pendinginan
terhadap sifat-sifat mekanis logam.
Pengaruh kecepatan pendinginan terhadap struktur mikro logam.
3. DASAR TEORI
Sifat-sifat tertentu dari logam diperlukan agar logam tersebut mudah
dilakukan pengerjaan khususnya pengerjaan mekanis. Salah satu cara untuk dapat
merubah sifat-sifat mekanis suatu logam adalah dengan melakukan proses laku
panas. Suatu proses laku panas mungkin diperlukan sesudah pengerjaan mekanis
suatu logam untuk memberikan sifat-sifat tertentu pada produk akhir yang siap
pakai.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa proses perlakuan panas
merupakan rangkaian proses produksi. Proses perlakuan panas hendaknya dilihat
sebagai proses tersendiri yang terpisah dari rangkaian produksi. Proses ini saling
mempengaruhi, sehingga dalam merancang suatu proses laku panas perlu
diperhatikan juga proses yang telah dilalui sebelumnya dan sifat akhir yang
diinginkan.
Beberapa hal yang perlu dihayati dalam mempelajari perlakuan panas
antara lain berkaitan dengan struktur mikro, sifat-sifatnya terutama yang berkaitan
dengan trasformasi yang terjadi selama proses pemanasan dan pendinginan,
perpindahan panas, diffusi, reaksi kimia dan lain-lain.
Proses perlakuan panas dapat dibagi menjadi dua, yaitu proses perlakuan
panas dengan kondisi equilibrium dan proses perlakuan panas non-equilibrium.
a. Full Annealing
Full annealing dilakukan dengan memanaskan baja sampai keatas
temperatur kritis (untuk baja hypoeutektoid 25-50 0 C diatas temperatur kritis A1),
diikuti dengan pendinginan yang cukup lambat (terutama selama melewati
temperatur transformasi). Biasanya pendinginan dilakukan bersama dapur atau
bahan yang mempunyai sifat penyekat panas yang baik. Proses ini biasanya
digunakan untuk membuat baja menjadi lebih lunak, menghaluskan kristal
logam/paduan, memperbaiki machinability dll.
Karena proses pendinginan dengan full annealing ini sangat lambat maka
apabila didinginkan dalam dapur, tentunya akan mengurangi produktivitas dapur.
Untuk menghindari hal ini dapat dilakukan isothermal annealing, dimana
pamanasan dan holding time dilakukan dalam dapur seperti full annealing, tetapi
sesudah itu benda kerja dicelup kedalam garam cair (salt bath, sekitar 650 0C)
dengan tempertur sedikit dibawah temperatur kritis A1 dan dibiarkan disana
sampai transformasi austenit ke pearlite selesai, lalu didinginkan di udara diam.
b. Normalizing
Normalizing dilakukan dengan memanaskan logam sampai temperatur 50
0
C diatas temperatur kritis A3 , ditahan beberapa saat dan didinginkan di udara
diam. Hasil normalising umumnya memiliki struktur mikro lebih halus, sehingga
untuk komposisi kimia yang sama akan memiliki yield strength, ultimate strength,
kekerasan dan impac strenght yang lebih tinggi dibandingkan yang diperoleh dari
proses full annealing dan machinability nya akan menjadi lebih baik.
Normalizing juga sering dilakukan terhadap benda logam hasil tuangan
atau tempa. Tujuannya adalah untuk menghilangkan tegangan dalam dan
menghaluskan butir kristalnya sehingga diperoleh sifat mekanik yang lebih baik.
Normalizing juga akan menghasilkan struktur mikro yang lebih halus sehingga
akan memberikan respon yang baik pada proses pengerasan (hardening).
C. Speroidizing
Speroidizing dilakukan dengan memanaskan logam bampai tempertur
kritis dibawah atau sedikit dibawahnya, dan dibiarkan pada temperatur tersebut
dalam waktu lama, baru kemudian didinginkan. Penahanan pada temperatur
tersebut dalam waktu lama menyebabkan sementit yang awalnya berbentuk plat
atau lempengan akan hancur menjadi bola-bola kecil yang disebut spheroidite
yang tersebar dalam matrik ferrit. Dalam keadaan ini baja mempunyai ductility
dan machinability yang maksimum, sebaliknya kekerasan minimum. Spheroidite
makin besar jika holding time makin lama.
D. Stress Relief Annealing
Stress relief annealing dan proses annealing mempunyai proses yang
hampir sama, temperatur pemanasan tidak mencapai temperatur kritis bawah A1.
Stress relief annealing dimaksudkan untuk menghilangkan tegangan dalam yang
timbul sebagai akibat proses pengerjaan dingin dan machining yang dialami
sebelumnya. Sedangkan proses annealing dimaksudkan untuk melunakkan dan
menaikkan kembali keuletan benda kerja agar dapat dideformasi lebih lanjut.
4. PENGERASAN (HARDENING)
Hardening dilakukan dengan memanaskan logam hingga mencapai
temperatur austenit, dipertahankan beberapa saat pada temperatur tersebut, lalu
didinginkan dengan cepat sehingga akan diperoleh martensit yang keras. Biasanya
proses hardening sering diikuti dengan proses tempering.
Untuk mendapatkan struktur mikro yang sepenuhnya martensit maka laju
pendinginan harus dapat mencapai laju pendinginan kritis (CCR, critical coling
rate). Dengan laju pendinginan yang kurang dari CCR akan mengakibatkan
adanya sebagian austenit yang tidak bertransformasi menjadi martensit tetapi
menjadi struktur lain, sehingga kekerasan maksimum tidak tercapai.
Laju pendinginan yang terjadi pada suatu benda kerja tergantung pada
beberapa faktor utama, antara lain :
Jenis media pendingin
Temperatur media pendingin
Kuatnya sirkulasi pada media pendinginan
Beberapa media pendingin yang sering digunakan pada proses hardening,
diurutkan menurut kekuatan pendinginannya :
1. Brine (air + 10 % garam dapur)
2. Air
3. Salt bath (garam cair, dipanaskan sampai mencair)
4. Larutan minyak (oli) dalam air
5. Oli
6. Udara
4. MESIN DAN PERALATAN
4.1. Peralatan yang digunakan :
Dapur pemanas (muffle furnace)
Tang penjepit benda uji
Media pendingin
Alat uji kekerasan
Mikroskop metalurgi dan accesoriesnya
Mesin Gerinda dan Pemoles (grinding and Polishing machine)
Kertas amplas dengan tingkatan kehalusan yang berbeda-beda (180, 240, 400,
500, 800, 1000, 1200).
Kain poles (beludru).
Serbuk alumina atau diamoned dust untuk polishing.
4.2. Spesimen
Spesimen berbentuk silinder, diameter antara 10 – 50 mm, dan tebalnya
10 – 25 mm. Sedang untuk benda uji berupa plat/batang dimensinya adalah :
panjang, lebar dan tinggi = 5 – 10 mm.
6. PELAKSANAAN PERCOBAAN
Percobaan dilaksanakan menggunakan 3 jenis media pendingin yaitu ; air, oli
dan udara.
Siapkan benda uji sesuai dengan dimensi yang telah ditentukan, ratakan
permukaan dengan menggunakan kertas gosok grid rendah.
Catat dimensi benda uji pada lembar pengujian.
Masukkan ketiga benda uji kedalam dapur pamanas.
Panaskan benda uji sehingga mencapai temperatur sedikit diatas temperatur
kritis A3 (untuk baja karbon rendah sekitar 850 0C).
Apabila dapur telah menunjukkan temperatur tersebut, tahan temperatur
tersebut selama 15 – 20 menit untuk menghomogenkan panas pada seluruh
bagian benda uji.
Dengan menggunakan tang penjepit, ambil benda uji satu persatu dan
dinginkan dengan cara memasukkan benda uji 1 ke dalam air, benda uji 2
kedalam oli dan benda uji 3 didinginkan di udara terbuka.
Setelah benda uji dingin, keluarkan benda uji dari media pendingin, kemudian
amplas benda uji dengan kertas amplas mulai dari yang paling kasar hingga
paling halus dilanjutkan dengan pemolesan dengan alumina. Permukaan
logam yang halus dietsa dengan zat kimia yang sesuai.
Benda uji kemudian diamati dengan mikroskop. Buat sketsa struktur mikro
material.
Selanjutnya dengan menggunakan mesin uji kekerasan, dapatkan nilai
kekerasan masing-masing benda uji tersebut diatas. Masing-masing benda
uji dilakukan pengujian minimal tiga kali.
Catat hasilnya pada lembar pengujian.
7. SOAL-SOAL
1. Hitung kekerasan masing-masing spesimen yang
telah dilakukan perlakuan panas.
2. Plotkan diagram pemanasan (Temperatur-Waktu)
untuk masing-masing perlakuan.
3. Berikan analisa saudara tentang hubungan jenis heat
treatment terhadapkan kekerasan suatu bahan.
4. Bagaimana hubungan antara laju pendinginan
dengan jenis media pendingin yang dilakukan dalam praktikum.
5. Jelaskan struktur mikro akhir yang terbentuk pada
masing-masing proses laku panas yang dilakukan.
6. Bagaimana hubungan struktur mikro dengan nilai
kekerasan material.
7. Jelaskan mekanisme terbentuknya martensit pada
proses hardening.
8. Pada industri apa saja perlakuan panas sering
dilakukan.
9. Apa saran saudara terhadap pelaksanaan praktikum
ini.
IV. PRAKTIKUM
JOMINY HARDENABILITY TEST
1. PENDAHULUAN
Pengaruh komposisi paduan terhadap suatu baja paduan untuk
bertransformasi menjadi martensit pada pendinginan cepat (quenching)
berhubungan dengan suatu parameter yang disebut dengan hardenability. Untuk
setiap perbedaan paduan baja terhadap hubungan yang spesifik antara sifat-sifat
mekanis dengan kecepatan pendinginan.
Hardenability adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan
kemampuan suatu paduan untuk dikeraskan dengan membentuk martensit sebagai
hasil dari proses perlakuan panas. Hardenability bukanlah kekerasan (hardness),
tetapi pengukuran kekerasan digunakan untuk menyatakan sejauh mana
transformasi martensit dalam suatu spesimen.
Baja yang mempunyai hardenability tinggi adalah baja paduan yang keras
(membentuk martensit) tidak hanya pada bagian permukaannya, tetapi juga
sampai kedalaman tertentu suatu spesimen. Atau dengan kata lain hardenability
adalah suatu ukuran kedalaman paduan baja untuk dikeraskan.
2. TUJUAN
Tujuan praktikum Jominy hardenability test antara lain adalah :
Mempelajari hardenability band suatu paduan baja
Mengetahui pengaruh jarak dari ujung quench terhadap perubahan kekerasan
suatu bahan.
Mempeajari pengaruh media pendingin, laju pendinginan, temperatur
pemanasan, holding time dan benruk geometri terhadap hardenability suatu
paduan baja.
3. DASAR TEORI
3.1. Hardenability
Hardenability didefenisikan sebagai kemampuan suatu bahan paduan baja
untuk dikeraskan dengan membentuk martensit sebagai proses perlakuan panas.
Disamping itu hardenability juga menggambarkan dalamnya pengerasan yang
diperoleh dengan quenching, biasanya dinyatakan dengan jarak suatu titik
dibawah permukaan yang strukturnya terdiri dari 50 % martensit.
Dalam melakukan pengerasan dengan pembentukan martensit, bila laju
pendinginannya dapat mencapai laju pendinginan kristis (CCR) maka kekerasan
yang terjadi pada dasarnya tergantung pada kadar karbon paduan tersebut (pada
austenit pada saat pemanasan). Bila laju pendinginan yang terjadi pada benda
lebih lambat dari CCR maka jumlah martensit yang terbentuk akan berkurang
yang menyebabkan berkurangnya kekerasan. Hubungan antara kekerasan sesudah
quenching dengan kadar karbon dalam austenit dan jumlah martensit yang
terbentuk digambarkan pada gambar 4.1
Gambar 4.2. Kurva pendinginan pada berbagai posisi dalam batang berdiameter
1”, di quench dalam air.
Suatu batang baja setelah diquench, lalu dipotong dan diukur kekerasan
penampangnya mulai dari permukaan sampai pusat, maka akan didapat kurva
distribusi kekerasan (hardness-penetration diagram atau hardness-trasferse
diagram) batang baja tersebut. Gambar 4.4 memperlihatkan kurva distribusi
kekerasan 3 jenis baja.
Gambar 4.3. Skema kurva pendinginan permukaan dan inti pada bar diameter 95
mm, media quench oli. Permukaan seluruhnya martensit; sebagian inti adalah
bainit atas.
Laju pendinginan pada benda besar akan lebih lambat daripada benda
kecil, sehingga mungkin saja baja yang sama bila dibuat dengan ukuran yang
berbeda akan dapat menghasilkan kekerasan yang berbeda pada bagian pusatnya,
seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.5.
Gambar 4.4 Distribusi kekerasan untuk 3 baja yang berbeda. Diameter bar
100mm. Baja W1 media quench air, sisanya oli.
Gambar 4.5 Kedalaman kekerasan pada baja dengan dimensi yang berbeda setelah
quench dengan oli (AISI 01). Benda uji diameter 25 mm diquench dari 800 oC
dalam oli. Benda uji diameter 50 mm diquench dari 820oC dalam oli. Benda uji
diameter 100mm diquench dari 840oC dalam oli.
Gambar 4.7. Kurva hardenability untuk lima baja paduan berbeda masing-masing
mengandung 0,4%C. Komposisi paduan (wt%) adalah : 4340-1.85 Ni, 0.8 Cr, dan
0.25 Mo; 4140-1.0 Cr dan 0.20 Mo; 8640 – 0.55 Ni, 0.50 Cr dan 0.20 Mo; 5140-
0.85 Cr; 1040 adalah baja bukan paduan.
4.2. Spesimen
Spesimen berupa paduan baja yang berbentuk batang silinder berdiameter 1
inchi dan panjang 4 inchi, seperti terlihat pada gambar 5.10.
5. PELAKSANAAN PENGUJIAN
a. Panaskan spesimen dalam dapur pemanas
hingga temperatur austenitsasi dan holding pada temperatur tersebut sekitar
20 menit.
b. Set tinggi air bebas pada saat nozzle dibuka
adalah 2,5 inchi kemudian kran dimatikan.
c. Spesimen yang telah dipanaskan selanjutnya
dikeluarkan dari dapur pemanas dengan menggunakan tang penjepit dan
selanjutnya spesimen diletakkan pada tempat (frame) yang telah ditentukan
pada peralatan tersebut.
d. Buka kran sehingga dari ujung nozzle akan
menyemprot air ke ujung spesimen jominy. Pendinginan dilakukan hingga
spesimen menjadi dingin (temperatur kamar).
e. Gosok permukaan spesimen (batang
silindrik) dengan menggunakan kertas gsok hingga kedalaman 0,4 mm.
f. Lakukan pengujian kekerasan pada titik-
titik sepanjang 2 inchi partama dari ujung quench batang silindrik. Jarak
antar titik pada ½ inchi pertama adalah 1/16 inchi, sedangkan pada 1 ½ inchi
berikutnya 2/16 inchi.
g. Catat hasil pada tabel
h. Ulangi langkah a-g untuk pengujian
spesimen lain.
Jarak dari Ujung Quench
Kekerasan (…………….)
(inchi)
1/16
2/16
3/16
4/16
5/16
7/16
½
10/16
12/16
14/16
1
1 2/16
1 4/16
1 6/16
1 8/16
1 10/16
1 12/16
1 14/16
2
6. SOAL-SOAL
A. Plot kurva hubungan kekerasan terhadap jarak dari ujung quench
B. Jelaskan analisa saudara tentang hardenability spesimen tersebut.
C. Sebutkan manfaat diketahuinya hardenability band suatu material.
D. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya perubahan
kekerasan sepanjang permukaan spesimen uji.
E. Mengapa dilakukan penahanan temperatur (holding temperatur)
sebelum spesimen sisinginkan dengan semprotan air.
F. Bagaimana aplikasi jominy tes digunakan dilapangan
G. Apa saran saudara terhadap pelaksanaan pengujian ini.