Anda di halaman 1dari 39

DISUSUN OLEH :

TIM DOSEN JURUSAN TEKNIK MESIN

UNIT LABORATORIUM TEKNIK MESIN


JURUSAN TEKNIK MESIN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
2005
PRAKTIKUM
PENGUJIAN SIFAT MEKANIK LOGAM

UJI KEKERASAN (HARDNESS TEST)

1. PENDAHULUAN
HARDNESS (Kekerasan) merupakan kemampuan bahan untuk tahan terhadap
indentasi atau penetrasi permanen akibat beban dinamis atau statis.
Beberapa terminologi defenisi kekerasan antara lain :
- Energi yang diserap pada beban impact (kekerasan pantul)
- Ketahanan terhadap goresan (kekerasan Goresan)
- Ketahanan terhadap abrasi (kekerasan Abrasi)
- Ketahanan terhadap pemotongan (mampu mesin)

Hasil pengujian kekerasan tidak dapat diaplikasikan langsung dalam mendesain


suatu konstruksi seperti halnya pengujian tarik. Namun demikian angka kekerasan
material merupakan salah satu sifat mekanik penting dalam memilih material. Pengujian
kekerasan banyak dilakukan karena proses pengujian ini relatif sederhana dibanding
proses pengujian lain. Hasil pengujian kekerasan dapat digunakan untuk :
 Menentukan klasifikasi material.
 Menentukan penggunaan material.
 Kontrol kualitas suatu produk.
Dengan pengujian kekerasan dapat diketahui pengaruh dari proses yang telah dialami
material/produk, seperti ; pengerjaan dingin, pengelasan, heat treatment, case hardening,
normalizing, quenching dan sebagainya. Dengan demikian dapat diketahui apakah
produk sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan.

2. TUJUAN
Pengujian kekerasan bertujuan untuk mengukur angka kekerasan suatu bahan
dengan metode Brinell, Rocwell dan Vickers.
3. DASAR TEORI
Pengukuran kekerasan secara umum dapat dilakukan dengan dua metode yaitu :
1. Metode Dinamis (Dynamical Methode)
Dengan karakteristik pengujian ;
- Pemberian beban dilakukan dengan tiba-tiba
- waktu penetrasi singkat
- ketelitian rendah
- waktu pengujian cepat
2. Metode Statis (Statical Methode)
Dengan karakteristik pengujian :
- Pemberian beban dilakukan dengan perlahan-lahan dengan beban tertentu
- waktu penetrasi panjang
- ketelitian tinggi
- waktu pengujian lebih lama dibanding metode dinamis.

Jenis pengujian yang menggunakan metode ini antara lain : Brinell. Vickers,
Rocwell, Micro Vickers Hardness, Micro Knop Hardness dll. Metode pengujian statis
merupakan pengujian yang lazim digunakan saat ini. Hal ini didasarkan pada hasil
pengujian yang lebih akurat. Pengujian kekerasan dapat diklasifikasikan berdasarkan
sasaran dari material yang akan diuji yaitu :
a. Untuk mengukur kekerasan suatu material digunakan pengujian Brinell,
Vickers dan Rockwell.
b. Untuk mengukur kekerasan fasa pada struktur mikro atau lapisan tipis dari
suatu material digunakan Micro Hardness Test.

4. PENGUJIAN KEKERASAN
4.1 PENGUJIAN KEKERASAN BRINELL
Pengujian kekerasan brinell dilakukan dengan menekan Identor (hardened steel
ball dengan diameter D) dengan beban P (kg) terhadap suatu speciment. Diameter
indentasi (d) diukur setelah beban dilepas. Gambar 1 menunjukkan proses penekanan
pengujian brinell.
Kekerasan Brinell (HBN) adalah beban (P) dibagi dengan luas permukaan
indentasi, yaitu :

Dimana :
HBN = Angka kekerasan Brinell
P = Beban (kg)
D = Diameter Bola (indentor)
d = Diameter rata-rata indentasi (mm)

Pengujian kekerasan didasarkan pada standart DIN 50351 atau ASTM E-10 dan harus
memenuhi persyaratan lainnya yaitu :
1. Permukaan spesimen harus halus, rata dan tegak lurus terhadap arah
pembebanan.
2. Brinell standart menggunakan :
 Beban (P) = 300 kg,
 Diameter bola = 10 mm, dan
 Waktu penekanan = 10 – 15 detik.
Permukaan indentasi tidak sepenuhnya berbentuk kulit bola, akibat deformasi
bola pada saat penekanan dan terjadinya recovery pada speciment setelah beban
dilepaskan. Oleh sebab itu pengujian yang menggunakan beban dan diameter
bola yang berbeda, geometri indentasi juga berbeda.
Untuk membandingkan satu angka kekerasan dengan angka kekerasan lainnya,
maka degree of loading adalah Beban (P) dibagi dengan Kuadrat diameter
indentor.

Dimana :
P = Beban (kg)
D = Diameter indentor (mm)
Beberapa degree of loading yang umum digunakan adalah : 30, 15, 10, 5 dan 1
pemakaian beban dan diameter indentor yang tidak standar harus dicantumkan
pada angka kekerasan.
3. Untuk menghindari kesalahan pengukuran kekerasan Brinell, maka beberapa
faktor yang harus diperhatikan antara lain ;
- Ketebalan spesimen minimum = 10 x kedalaman indentasi (t).
- Waktu penekanan = 10 – 15 detik untuk logam ferrous dan
- 30 detik untuk logam yang lebih lunak.
- Jarak antara titik pusat indentasi yang satu terhadap yang lain dan terhadap
tepi spesimen minimal = 3 x diameter indentasi (d).
- Diameter indentasi (d) harus terletak dalam range : 0,2 D < d < 0,7 D
Dimana :
D = Diameter Bola (mm)
d = Diameter indentasi (mm)

gambar tes brinel………………..

4.2 PENGUJIAN KEKERASAN ROCKWELL


Pengujian kekerasan Rockwell hampir sama dengan pengujian kekerasan Brinell
yaitu angka kekerasan sebagai fungsi dari kedalaman indentasi pada spesimen akibat
pembebanan statis.
Pada pengujian Rocwell beban dan indentor yang digunakan lebih kecil
dibandingkan dengan pengujian brinell. Angka kekerasan langsung ditunjukkan pada
mesin sehingga waktu pengujian relatif lebih singkat dan sangat sesuai digunakan
dilapangan.
Prosedur pengujian dilakukan dengan :
 Menekan indentor pada benda kerja dengan beban awal (minor load) 10 kg, yang
menyebabkan kedalaman indentasi h.
 Jarum penunjuk diset pada angka nol skala hitam, selanjutnya
 Berikan beban mayor 140 kg selama 10 – 15 detik.
 Beban mayor dilepas dengan cara mengembalikan posisi pembebanan keposisi
beban minor yang menyebabkan kedalaman indentasi h1.
 Angka kekerasan dapat langsung dibaca pada skala penunjuk.
Secara skematis hal ini ditunjukkan pada gambar 3.

Gaambar 3……………..

Angka kekerasan Rockwell tidak bersatuan, tetapi didahului dengan huruf depan
seperti pada tabel 1, yang menyatakan kondisi pengujian. Skala Rockwell terbagi atas
100 divisi, diamana setiap divisi sebanding dengan kedalaman indentasi 0,002 mm.
Tabel 1.a. Rocwell Hardness Scale
SCALE SYMBOL INDENTER MAJOR LOAD (kg)
A Diamond 60
B 1/16 in ball 100
C Diamond 150
D Diamond 100
E 1/8 in ball 100
F 1/16 in ball 60
G 1/16 in ball 150
H 1/8 in ball 60
K 1/8 in ball 150

Tabel 1.b. Superficial Rocwell Hardness Scale


SCALE SYMBOL INDENTER MAJOR LOAD (kg)
15 N Diamond 15
30 N Diamond 30
45 Diamond 45
15 1/16 in ball 15
30 1/16 in ball 30
45 1/16 in ball 45
15 1/8 in ball 15
30 1/8 in ball 30
45 1/8 in ball 45

Angka kekerasan Rockell B dan Rcwell C dinyatakan sebagai kedalaman indentasi (h1)
dapat ditullis sebagai berikut :

Persiapan spesimen perlu dilakukan karena indentasi cukup kecil dan metode
pengukuran langsung oleh mesin meliputi :
 Permukaan atas dan bawah spesimen harus datar, halus dan bebas dari kotoran,
minyak, benda asing dan cacat.
 Ketebalan spesimen minimum 0,01 in (0,25 mm)
 Ketebalan spesimen minimum = 10 x kedalaman indentasi (t)
 Jarak titik pusat indentasi yang saatu terhadap yang lain dan tepi spesimen
minimal = 3 x diameter indentasi (d).

4.3 PENGUJIAN KEKERASAN VICKERS


Pengujian kekerasan Vickers menggunakan indentor intan yang berbentuk
piramid dengan alas bujursangkar dan sudut puncak antara dua sisi yang berhadapan
besarnya 1360 seperti ditunjukkan pada gambar 3.

Gambar vickers

Angka kekerasan Vickers adalah beban dibagi luas indentasi :


Hv = 1,8544 P / d2
Hv = P / A
Dengan : A = d2 / 2 Cos 220
= d2 / 1,8544
dimana : Hv = Angka kekerasan Vickers
P = Beban (kg)
A = Luas indentasi (mm2)
d = Diagonal rata-rata = (d1 – d2) / 2 (mm)
Hasil pengujian kekerasan Vickers tidak tergantung pada besarnya tekanan. Gaya
tekan yang digunakan antara 1-120 kg. Tapak tekan yang mudah diukur tidak
meninggalkan anvil effect pada benda yang tipis. Permukaan benda uji harus halus dan
rata (perlu digerinda atau dipoles).

4.4 MICRO HARDNESS TEST


Pengukuran kekerasan bagian yang sangat kecil (fasa dalam struktur mikro) dan
suatu lapisan yang sangat tipis dapat dilakukan dengan Mikro Hardness Test. Ada 2
jenis Mikro hardnes tes yaitu ; Knoop mikro hardness dan Vickers micro hardness test.
Knoop mikro hardness tes menggunakan indentor Piramid intan dengan alas
berbentuk belah ketupat dengan perbandingan diagonal 7 : 1 seperti ditunjukkan
gambar 4. Beban yang digunakan pada pengujian Knop Micro hardness adalah
25 – 3600 gram. Angka kekerasan Knop Micro hardness dapat dihitung dengan :
HK = 14,229 P / l2
Dimana : P = Beban (gram)
l = Panjang diagonal tapak tekan yang panjang (mm)
Vickers Micro Hardness menggunakan indentor piramid intan seperti pengujian
kekerasan Vickers, hanya disini beban yang digunakan 1 – 1000 gram. Hasil
pengujiannya berupa angka kekerasan Vickers (Hv).
Pengujian dengan Micro Hardness menuntut persiapan yang sama dengan
persiapan spesimen untuk pengamatan mikrostruktur, dan pengamatannya dilakukan
dengan mikroskop.
Teknik pengujian kekerasan secara keseluruhan dapat dilihat pada gambar 2.
Untuk mengetahui skala perbandingan beberapa angka kekerasan ditunjukkan pada
gambar 5. Sedangkan hubungan antara kekerasan dan kekuatan tarik untuk baja karbon,
brass dan besi tuang ditunjukkan pada gambar 6.

Gaambar 5 perabandingan skala


Gambar 6 hubungan kekerasan

Tabel 2 resume hardnes


4.5 EMCO M2N-130 HARDNESS TEST
Perkembangan teknologi yang cepat telah mendorong terciptanya peralatan uji
kekerasan digital. Alat ini memperkecil terjadinya kesalahan pengukuran akibat human
error dan mempercepat serta memudahkan pelaksanaan pengujian.
Emco Hardness Test merupakan alat uji kekerasan yang dapat langsung
mengkonversikan nilai kekerasan material dan jenis indentor yang digunakan bisa
disesuaikan dengan kebutuhan. Untuk setting alat harus sesuai dengan buku manual atau
tabel yang terdapat pada sisi alat.
Skema Emco hardness Tess dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar emco hardness

Spesifikasi teknis EMCOTEST M2N-130 :


 Max. test heigh : 250 mm
 Throat depth : 170 mm
 Spindel stroke : 6 mm
 Instalation area : 495 x 170 mm
 Total heigh : 850 mm
 Weight : approx. 1200 N (max.equipment)
 Measurement value display : 4 digit digital display
 Resolution of display : 0.1
 Mains suply : 110 V / 220 V / 240 V
 (special voltage on request)
 Operating force : approx. 100 N
5. MESIN DAN PERALATAN PENGUJIAN
Beberapa peralatan dan mesin yang dipergunakan dalam pengujian kekerasan
antara lain :
1) Mesin uji kekerasan
2) Indentor untuk pengujian Brinell, Rockwell, Vickers dan Micro hardness
3) Mesin gerinda dan polish
4) Kertas gosok dengan grid kasar hingga grid yang sangat halus (100 – 1200)
5) Standart blok tes
6) Kunci peralatan.

Gambar mesin uji kekerasan

1. PELAKSANAAN PENGUJIAN KEKERASAN


Langkah-langkah pengujian kekerasan :
a) Pasang indentor (Brinell, Vickers atau Rockwell)
b) Pastikan alat telah menyala dengan baik (turn on machine)
c) Atur setting mesin sesuai dengan jenis indentor yang digunakan dan variabel
yang diketahui.
d) Kalibrasi mesin dengan spesimen standar.
e) Siapkan spesimen yang akan diperiksa kekerasannya.
f) Letakkan spesimen diatas Standart anvil
g) Putar Adjusteble test spindel ke atas sehingga ujung standart nose cone hampir
menyentuh spesimen (jaraknya 1 – 2 mm)
h) Turunkan Hand lever secara perlahan-lahan untuk melakukan indentasi
i) Tahan Hand lever pada saat indentasi maksimum (Brinell & Vickers: 10 - 15
detik, Rocwell : 10 - 20 detik).
j) Kembalikan Hand lever ke posisi semula seperti sebelum indentasi
k) Catat hasil pengujian yang tertera pada layar di tabel hasil pengujian
l) Ulangi langkah f – k untuk mengukur kekerasan pada titik lainnya pada
spesimen.

Tabel Hasil Pengujian


BEBAN (P) JENIS ANGKA KEKERASAN
NO JENIS BAHAN
(kg) INDENTOR KEKERASAN RATA-RATA
1.
2.
3.
1.
1 Rockwell 2.
3.
1.
2.
3.
1.
2.
3.
1.
2 Brinell 2.
3.
1.
2.
3.
1.
2.
3.
1.
3 Vickers 2.
3.
1.
2.
3.
6. SOAL-SOAL
1. Tentukan nilai kekerasan Brinell, Vickers dan Rockwell dari
hasil pengujian kekerasan.
2. Hitung perkiraan kekuatan tarik dari data kekerasan dengan
menggunakan Grafik hubungan kekuatan tarik dan kekerasan.
3. Untuk mengetahui nilai kekerasan logam yang belum
diketahui nilainya, metode pengujian apa yang anda pilih, jelaskan.
4. Sebutkan keuntungan dan kerugian dari pengujian Brinell,
Vickers, dan Rockwell.
5. Dimana saja Hardnes test dilakukan.
6. Buatlah kesimpulan dari pengujian yang dilakukan.
7. Apa saran anda terhadap pelaksanaan pengujian ini.
PRAKTIKUM
UJI TARIK (TENSILE STRENGH)

1.PENDAHULUAN
Kekuatan tarik merupakan sifat mekanik logam yang penting, terutama untuk
perencanaan konstruksi maupun pengerjaan logam. Kekuatan tarik suatu bahan dapat
diketahui dengan melakukan pengjian tarik pada bahan yang bersangkutan. Dari hasil
pengujian tarik tersebut dapat diketahui pula sifat-sifat lain seperti : kekuatan mulur,
perpanjangan, reduksi penampang, modulus elastisitas dan lain-lain.

2. TUJUAN
Tujuan praktikum pengujian tarik antara lain :
 Mengukur kekuatan tarik (tensile strength) suatu bahan
 Mengukur sifat-sifat mekanis suatu bahan didaerah elastis dan plastis.

3. DASAR TEORI
3.1. Diagram Hasil Uji Tarik
Pada pengujian tarik spesimen dikenal beban uji aksial yang semakin besar
secara kontinu. Penampang spesimen berbentuk lingkaran atau segi empat seperti
ditunjukkan pada gambar …

gambar
Perubahan panjang spesimen terhadap besarnya beban oleh mesin tarik
selanjutnya dapat diplot sebagai diagram (P-ΔL) seperti ditunjukkan pada gambar 1.2
berikut :

gambar

Gambar 1.2. a. Diagram P- ΔL baja karbon rendah. b. Kurva P- ΔL logam pada umumnya.

Titik D = titik batas proporsinal


Y = titik batas luluh
E = batas elastisitas
U = titik batas maksimum
F = titik patah
Gambar 1.2 (a) menunjukkan bahwa baja karbon rendah sampai beban Pp, perpanjangan
sebandingan dengan pertambahan beban. Tegangan yang terjadi pada beban tersebut
berdasarkan luas penampang awal spesimen dan disebut dengan batas proporsional :

σp = Pp / Ao (kg/mm2)

dimana ; σp = tegangan proporsinal


Pp = Beban
Ao = luas penampang

Hubungan (P-ΔL) sebanding sampai batas tersebut, maka grafiknya berupa garis
lurus. Pada daerah ini berlaku

Hukum Hooke yaitu : σ = E . ε

Dimana : σ = tegangan
E = modulus elastisitas
ε = regangan
Pada tegangan yang tidak malebihi batas proporsional secara praktis hanya
mengakibatkan deformasi elastis, yaitu regangan akan hilang bila beban ditiadakan.
Oleh karena itu batas proporsional kadang-kadang identik dengan batas elastis, sehingga
dengan demikian Tp = Te. Komponen mesin harus dirancang dengan tegangan kerja
yang tidak melebihi Tp dan Te.
Bila beban malebihi Pp, maka hubungan beban dan perpanjangan akan
menyimpang dari garis lurus ke bentuk kurva. Selanjutnya pada beban tertentu pada
diagram terdapat bagian yang mendatar. Hal ini menunjukkan bahwa bahan mengalami
perpanjangan (Yield/luluh) walaupun tanpa pertambahan beban. Besarnya beban
disimbolkan sebagai Py (beban luluh), sedangkan tegangan luluh adalah :

σy = Py / Ao

Tegangan yield adalah tegangan minimum dimana spesimen terdeformasi tanpa


pertambahan beban yang berarti, karena deformasi yang terjadi tidak hilang meski beban
ditiadakan maka diatas titik luluh tersebut disebut daerah plastis. Deformasi yang terjadi
disebut deformasi plastis.
Deformasi elastis hanya menyebabkan distorsi elastis pada kisi kristal,
sedangkan pada deformasi plastis terjadi slip yang menyebabkan naiknya kekuatan pada
spesimen yang dikenal dengan istilah penguatan regangan (Strain hardening).
Kebanyakan logam, titik luluh ini tidak tampak secara jelas, seperti ditunjukkan
pada gambar 1.2. b. oleh karena itu penentuan titik yield akan sangat bergantung pada
alat ukur yang digunakan. Semakin teliti alat ukur maka akan semakin rendah titik
luluhnya. Untuk mengatasi ini maka bisa siambil perjanjian yaitu pada deformasi
permanen tertentu.
Deformasi permanen yang sering digunakan adalah 0,2 %. Untuk menetukan
tegangan yang bersesuaian dengan deformasi permanen tersebut dapat dilakukan dengan
menarik garis lurus sejajar dengan kurva Tegangan-Regangan dari titik regangan 0,2 %.
Kenaikan beban lebih lanjut akan menyebabkan deformasi yang besar pada
keseluruhan volume spesimen. Beban maksimum dimana spesimen dapat bertahan tanpa
patah disebut beban pada tegangan maksimum.
Besarnya tegangan maksimum adalah :
σu = Pu / Ao (kg/mm2)

Sampai tegangan maksimum deformasi yang terjadi adalah homogen sepanjang


spesimen. Setelah mencapai tegangan maksimum pada logam yang ulet akan terjadi
pengecilan penampang setempat, beban turun dan akhirnya spesimen patah pada titik F.
Pada logam yang getas akan segera patah begitu mencapai tegangan maksimum.

3.2 Kurva Tegangan Teknik – Regangan teknik (σ t - εt) dan Kurva Tegangan
Sebenarnya – Regangan Sebenarnya (σ s - εs )

Dari diagram uji tarik dapat (P-ΔL) dapat ditransformasi menjadi kurva
tegangan-regangan teknik dengan hubungan sbb :

σy = P / Ao (kg/mm2)

εt = (ΔL / Lo) x 100 %

dimana : σt = tegangan teknik (kg/mm2)


P = beban (kg)
Ao = luas penampang awal spesimen (mm2)
εt = regangan teknik (%)
ΔL = perpanjangan (mm) ( L1 - Lo )
L1 = panjang akhir spesimen (mm)
Lo = panjang awal spesimen (mm)
Kurva tegangan –regangan hasil uji tarik ditunjukkan pada gambar 1.3. Dalam
menetukan kurva tegangan – regangan teknik (σ t - εt) diatas dianggap luas penampang
apesimen Ao tetap, begitu pula panjang Lo, sehingga dengan demikian kurva (σ t - εt)
tidak menunjukknan keadaan sebenarnya.
Untuk mendapatkan tegangan – regangan sebenarnya (σ s - εs ) digunakan luas
penampang sebenarnya (As) dan panjang sebenarnya (Ls) spesimen selama pengujian.
Tegangan dan regangan sebenarnya didefenisikan sbb:
σ s = P / As
εs = ln (Ls / Lo ) x 100 %
Dengan asumsi volume spesimen konstan, maka regangan sebenarnya dapat juga
dituliskan sebagai :
εs = 2 ln ( do / d ) x 100 %
dimana : do = diameter awal spesimen (mm)
d = diameter sebenarnya spesimen (mm)
Hubungan tegangan - regangan teknik dengan tegangan regangan sebenarnya dengan
dianggap volume konstan ( As . Ls = Ao – Lo = konstant) adalah sebagai berikut:

σ s = σ t ( 1 + εt )

Sedangkan hubungan regangan teknik dengan regangan sebenarnya adalah :

εs = ln ( 1 + εt )

Kedua hubungan tersebut hanya berlaku sampai tegangan maksimum σ u. Kurva


tegangan - regangan sebenarnya biasanya didekati dengan persamaan :

σ s = K (εs)n

dimana : K = konstant
n = koefisien penguat regangan (strain hardening)
untuk mendaptkan harga K dan n, maka persamaan tersebut diatas dikenakan operasi
logaritma menjadi :
ln σ s = ln K + ln εs
apabila persamaan tersebut diplot dalam salib sumbu grafik ln-ln, maka persamaan
menunjukkan garis lurus, dimana ;
n = ln σ s / ln εs
dengan cara ekstrapolasi ke ln εs = 0 akan diperoleh harga K.
ln σ s = ln K pada εs = 1 atau ln εs = 0
jadi : K = σs
Untuk membuat kurva (σ t - εt) dan (σ s - εs ) maka data yang diperlukan adalah :
P ΔL σt εt σt εt Ln σt ln εt
Dari data tersebut dapat diplot surva sebagai berikut :

gambar

Gambar 1.3. Kurva tegangan - regangan hasil uji tarik

3.3. Besaran-besaran Hasil Uji Tarik


1) Tegangan dan regangan teknik
2) Modulus Elastisitas
Selama hubungan beban dan perpanjangan berupa garis lurus maka berlaku
hukum Hooke ; σ = E . ε
dimana E = Modulus Elastisitas
3) Kekuatan Luluh ( σy )
Pada kurva (σ t - εt) ada bagian yang mendatar, maka penentuan σ y adalah pada
bagian yang mendatar tersebut. Bila kurva (σ t - εt) tidak terdapt bagian yang
mendatar, maka penentuan σ y dilakukan dengan menentukan regangan permanen
sebesar 0,2 % - 0,3 %. Titik potong antara garis sejajar dengan bagian lurus terhadap
kurva adalah titk σ y.

Gambar 1.4. penetuan yield point (titik luluh)

(a) Kurva (σ t - εt) terdapat bagain yang mendatar


(b) Kurva (σ t - εt) yang tidak terdapat bagian yang mendatar
4) Kekuatan Maksimum (σu )
σu = Pu / A0
dimana P = beban maksimum

5) Perpanjangan Relatif maksimum (εmax)


εmax = (ΔL / Lo) x 100 %
= ((L1 - Lo) / Lo ) x 100 %
dimana L1 = panjang gauge length sesudah pengujian

6) Reduksi Penampang (ψ)


ψ = ((Aa – Ao) / Ao) x 100 %
dimana : ψ = reduksi penampang
Ao = Luas penampang setelah pengujian

7) Modulus Resilien
Modulus resilien merupakan kemampuan logam untuk menyerap energi tanpa
mengakibatkan terjadinya deformasi plastis (menyerap energi deformasi plastis dan
melepaskannya kembali bila beban dihilangkan) seperti terlihat pada gambar 1.5

gambar

Dari gambar 1.5 terlihat bahwa modulus resilien adalah luasan dibawah kurva (σ
y - εy ) pada daerah elastis, sbb:
UR = σ y2 / 2 εt )
Modulus Resilien untuk beberapa jenis bahan terlihat pada tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1. Modulus Resilien beberapa jenis bahan.
MODULUS
MATERIAL RESILIENT
Medium – Carbon Steel 33,7
High – Carbon Steel 320
Duralium 17
Cooper 5,3
Rubber 300
Acrylic Polimer 4,0

8) Ketangguhan Logam ( Thoughness )


Ketangguhan suatu logam adalah banyaknya energi yang diperlukan untuk
mematahkan satu volume suatu bahan. Thoughness suatu bahan ditunjukkan dengan
luasan dibawah kurva (σ t - εt) seperti pada gambar 1.6.

gambar

Gambar 1.6. Luas Daerah dibawah kurva yang menunjukkan thoughness suatu bahan.

Untuk bahan yang Ductile, maka :


UT = σ u . εf
= εf (( σu + σy ) / 2 )
Untuk bahan yang brittle, maka :
UT = 2/3 (σ u . εf)
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketangguhan suatu bahan antara lain :
 Cacat (bentuk dan ukuran)
 Bentuk dan ukuran benda kerja
 Kondisi pembebanan (strain rate)
 Dll

4. Mesin dan peralatan


4.1. Peralatan yang digunakan
 Alat uji tarik (Universal testing machine)
 Jangka srong atau micrometer)
 Penitik
4.2 Spesimen
Spesimen dibuat sesuai dengan standar DIN 50125 atau dapat juga digunakan
standar ASTM E.8.

5. PELAKSANAAN PENGUJIAN
a. Catat data mesin tarik
b. Ukur dimensi spesimen, tiap dimensi diukur tiga kali.
c. Spesimen dipasang pada penjepit (chuck)
d. Pilih skala pembebanan (20,30 atau 100)
e. Pembebanan dilakukan dengan memutar handle berlawanan arah jarum jam
secara perlahan-lahan sehingga jarum skala bergerak.
f. Catat beban dan perubahan panjang yang terjadi selama pengujian pada tabel
dibawah ini.
g. Setelah spesimen patah, putar handle searah jarum jam untuk menghentikan
pembebanan.
h. Lepaskan apesimen yang telah patah dari penjepit (chuck)
i. Kedua bagian spesimen yang patah digabung kembali, kemudian panjang
spesimen dan diameter pada bagian yang putus diukur.
j. Ulangi langkah diatas untuk spesimen yang lain.

Tabel data pengujian


DATA PENGUJIAN
DIMENSI SPESIMEN
I II III
A. Sebelum Pengujian
1. Diameter (Do ,
mm)
2. Luas Penampang
(Ao , mm2)
3. Gauge Length (Lo ,
mm)
4. Panjang (Lt , mm)
B. Pada saat Pengujian
1. Beban yield (Py , kNm)
2. Beban Ultimate (PU ,
kNm)
3. ΔL yield (ΔLy , mm)
5. ΔL yield (ΔLy ,
mm)
C. Sesudah Pengujian
1. Diameter (D1 , mm)
2. Luas Penampang (A1 ,
mm2)
3. Gauge Length (L1 , mm)

6. SOAL-SOAL
1. Dari data pengujian, plot kurva (P – ΔL)
2. Hitung Tegangan-Regangan Teknik (σ t - εt) dan Tegangan-Regangan Teknik
sebenarnya (σ s - εs) pada titik yield, beban maksimum dan pada saat patah.
3. Plot kurva Tegangan-Regangan Teknik (σ t - εt) dan Tegangan-Regangan
Teknik sebenarnya (σ s - εs).
4. Hitung reduksi penampang untuk masing-masing spesimen
5. Hitung a. Modulus Resilien, b. Poison ratio, c. Modulus of thoughness untuk
masing-masing spesimen.
6. Apa yang dimaksud dengan Instability dan Strain hardening
7. Gambarkan diagram Mohr untuk uji tarik beban maksimum.
8. Sebutkan sumber-sumber kesalahan pada pengujian ini dan pengaruhnya
terhadap hasil pengujian.
9. Pada industri apa saja pengujian tarik sering digunakan
10. Apa saran-saran saudara terhadap pelaksanaan praktikum ini.

PRAKTIKUM
PERLAKUAN PANAS (HEAT TREATMENT)

1. PENDAHULUAN
Perlakuan panas dapat didefenisikan sebagai kombinasi operasi pemanasan dan
pendinginan terhadap logam/paduan dalam keadaan padat dengan waktu tertentu
sehingga didapatkan sifat-sifat mekanis logam seperti yang diinginkan.
Langkah – langkah pada setiap proses laku panas adalah memanaskan logam itu
sampai suatu temperatur tertentu, lalu menahan beberapa saat pada temparatur tersebut
dan selanjutnya didinginkan dengan laju pendinginan tertentu. Selama pemanasan dan
pendinginan akan terjadi beberapa perubahan sifat-sifat dari logam/paduan tersebut.
Proses perlakuan panas ini banyak sekali digunakan pada industri-industri yang
dalam penerapannya diperlukan adanya rekayasa sifat-sifat mekanis logam/paduan
untuk mendapatkan sifat-sifat yang lebih baik.
Seseorang yang ahli dalam bidang rekayasa material melalui proses perlakuan
panas dapat melakukan perubahan-perubahan baik itu bentuk struktur mikro, sifat
mekanis dan lainnya dari suat logam untuk mendapatkan sifat-sifat bahan sesuai dengan
yang diinginkan.

2. TUJUAN
Tujuan praktikum perlakuan panas adalah untuk mempelajari :
 Pengaruh media pendingin terhadap sifat-sifat mekanis logam
 Pengaruh temperatur pemanasan, holding time dan kecepatan pendinginan terhadap
sifat-sifat mekanis logam.
 Pengaruh kecepatan pendinginan terhadap struktur mikro logam.

3. DASAR TEORI
Sifat-sifat tertentu dari logam diperlukan agar logam tersebut mudah dilakukan
pengerjaan khususnya pengerjaan mekanis. Salah satu cara untuk dapat merubah sifat-
sifat mekanis suatu logam adalah dengan melakukan proses laku panas. Suatu proses
laku panas mungkin diperlukan sesudah pengerjaan mekanis suatu logam untuk
memberikan sifat-sifat tertentu pada produk akhir yang siap pakai.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa proses perlakuan panas
merupakan rangkaian proses produksi. Proses perlakuan panas hendaknya dilihat
sebagai proses tersendiri yang terpisah dari rangkaian produksi. Proses ini saling
mempengaruhi, sehingga dalam merancang suatu proses laku panas perlu diperhatikan
juga proses yang telah dilalui sebelumnya dan sifat akhir yang diinginkan.
Beberapa hal yang perlu dihayati dalam mempelajari perlakuan panas antara lain
berkaitan dengan struktur mikro, sifat-sifatnya terutama yang berkaitan dengan
trasformasi yang terjadi selama proses pemanasan dan pendinginan, perpindahan panas,
diffusi, reaksi kimia dan lain-lain.
Proses perlakuan panas dapat dibagi menjadi dua, yaitu proses perlakuan panas
dengan kondisi equilibrium dan proses perlakuan panas non-equilibrium.

3.1. Proses Perlakuan Panas Kondisi Equilibrium.


Proses Perlakuan Panas Kondisi Equilibrium adalah proses perlakuan panas yang
dilakukan dengan kondisi kesetimbangan/equilibrium, sehingga akan menghasilkan
struktur mikro yang sedikit banyak mendekati kondisi pada diagram fasanya. Secara
umum perlakuan panas ini dapat disebut Annealing.
Annealing adalah suatu Proses Perlakuan Panas yang sering dilakukan terhadap
logam/paduan pada proses pembuatan suatu produk. Pada dasarnya annealing dilakukan
dengan memanaskan logam/paduan sampai temperatur tertentu, menahannya pada
temperatur tersebut selama waktu tertentu dan mendinginkan logan/paduan tadi dengan
laju pendinginan yang sangat lambat. Annealling dapat dilakukan terhadap benda kerja
dengan kondisi yang berbeda-beda dan tujuan yang berbeda pula.
Tujuan melakukan annealing dapat merupakan salah satu dari hal-hal berikut :
 Melunakkan
 Menghaluskan butir
 Menghilangkan tegangan sisa
 Memperbaiki machinability
 Memperbaiki sifat kelistrikan/kemagnetan
Dilihat dari fungsinya dalam suatu rangkaian produksi, annealing dapat
merupakan suatu langkah mempersiapkan suatu bahan/benda kerja untuk
pengerjaan/perlakuan panas berikutnya, atau sebagai proses akhir yang menentukan sifat
produk jadi.
Karena jenis annealing banyak sekali, tergantung pada jenis/kondisi benda kerja,
temperatur pemanasan, lama holding time, laju pendinginan dan lain-lain.
Secara umum heat treatment dengan kondisi equilibrium ini dapat dibagi menjadi
: full annealing, proses annealing, stress relief annealing, normalizing, sphreodizing,
homogenizing dan lain-lain. Gambar 5.1 memperlihatkan temperatur pemanasan untuk
beberapa jenis perlakuan panas pada kondisi equilibrium.

a. Full Annealing
Full annealing dilakukan dengan memanaskan baja sampai keatas temperatur
kritis (untuk baja hypoeutektoid 25-50 0
C diatas temperatur kritis A1), diikuti dengan
pendinginan yang cukup lambat (terutama selama melewati temperatur transformasi).
Biasanya pendinginan dilakukan bersama dapur atau bahan yang mempunyai sifat
penyekat panas yang baik. Proses ini biasanya digunakan untuk membuat baja menjadi
lebih lunak, menghaluskan kristal logam/paduan, memperbaiki machinability dll.
Karena proses pendinginan dengan full annealing ini sangat lambat maka apabila
didinginkan dalam dapur, tentunya akan mengurangi produktivitas dapur. Untuk
menghindari hal ini dapat dilakukan isothermal annealing, dimana pamanasan dan
holding time dilakukan dalam dapur seperti full annealing, tetapi sesudah itu benda kerja
dicelup kedalam garam cair (salt bath, sekitar 650 0C) dengan tempertur sedikit dibawah
temperatur kritis A1 dan dibiarkan disana sampai transformasi austenit ke pearlite
selesai, lalu didinginkan di udara diam.

b. Normalizing
Normalizing dilakukan dengan memanaskan logam sampai temperatur 50 0C
diatas temperatur kritis A3 , ditahan beberapa saat dan didinginkan di udara diam. Hasil
normalising umumnya memiliki struktur mikro lebih halus, sehingga untuk komposisi
kimia yang sama akan memiliki yield strength, ultimate strength, kekerasan dan impac
strenght yang lebih tinggi dibandingkan yang diperoleh dari proses full annealing dan
machinability nya akan menjadi lebih baik.
Normalizing juga sering dilakukan terhadap benda logam hasil tuangan atau
tempa. Tujuannya adalah untuk menghilangkan tegangan dalam dan menghaluskan butir
kristalnya sehingga diperoleh sifat mekanik yang lebih baik. Normalizing juga akan
menghasilkan struktur mikro yang lebih halus sehingga akan memberikan respon yang
baik pada proses pengerasan (hardening).

C. Speroidizing
Speroidizing dilakukan dengan memanaskan logam bampai tempertur kritis
dibawah atau sedikit dibawahnya, dan dibiarkan pada temperatur tersebut dalam waktu
lama, baru kemudian didinginkan. Penahanan pada temperatur tersebut dalam waktu
lama menyebabkan sementit yang awalnya berbentuk plat atau lempengan akan hancur
menjadi bola-bola kecil yang disebut spheroidite yang tersebar dalam matrik ferrit.
Dalam keadaan ini baja mempunyai ductility dan machinability yang maksimum,
sebaliknya kekerasan minimum. Spheroidite makin besar jika holding time makin lama.

D. Stress Relief Annealing


Stress relief annealing dan proses annealing mempunyai proses yang hampir
sama, temperatur pemanasan tidak mencapai temperatur kritis bawah A 1. Stress relief
annealing dimaksudkan untuk menghilangkan tegangan dalam yang timbul sebagai
akibat proses pengerjaan dingin dan machining yang dialami sebelumnya. Sedangkan
proses annealing dimaksudkan untuk melunakkan dan menaikkan kembali keuletan
benda kerja agar dapat dideformasi lebih lanjut.

E. Homogenizing
Homogenizing dilakukan dengan memanaskan kembali benda kerja sampai
temperatur yang cukup tinggi didaerah austenit dan menahan dalam waktu yang cukup
lama kadar terjadi difusi yang akan didinginkan dengan lambat. Proses ini dilakukan
pada benda tuangan yang memiliki struktur mikro berbentuk dendritik menjadi struktur
yang lebih homogen.

3.2. Perlakuan Panas dengan Kondisi Non-Equilibrium


Proses Perlakuan Panas dengan Kondisi Non-Equilibrium adalah perlakuan
panas yang pendinginannya berlangsung sangat cepat, sehingga struktur mikro yang
dihasilkan struktur mikro yang tidak equilibrium.
Bila diperlukan sifat tahan aus dari satu bagian logam, maka sifat kekerasannya
akan sangat menentukan. Kekerasan baja memang tergantung juga pada komposisi
kimianya, makin tinggi kadar karbonnya maka makin keras baja tersebut. Disamping itu
kekerasan masih dapat dirubah dengan merubah struktur mikronya. Kekerasan yang
sangat tinggi dapat diperoleh dengan melakukan proses perlakuan panas untuk
memperoleh struktur martensit.
Jenis-jenis proses perlakuan panas non-equilibrium antara lain : hardening,
Tempering (yaitu : Austempering, dan Martempering), Surface Hardening (yaitu :
Carburizing, Nitriding, Carbnitriding, Cyaniding, Flame Hardening, Induction
haardening).

4. PENGERASAN (HARDENING)
Hardening dilakukan dengan memanaskan logam hingga mencapai temperatur
austenit, dipertahankan beberapa saat pada temperatur tersebut, lalu didinginkan dengan
cepat sehingga akan diperoleh martensit yang keras. Biasanya proses hardening sering
diikuti dengan proses tempering.
Untuk mendapatkan struktur mikro yang sepenuhnya martensit maka laju
pendinginan harus dapat mencapai laju pendinginan kritis (CCR, critical coling rate).
Dengan laju pendinginan yang kurang dari CCR akan mengakibatkan adanya sebagian
austenit yang tidak bertransformasi menjadi martensit tetapi menjadi struktur lain,
sehingga kekerasan maksimum tidak tercapai.
Laju pendinginan yang terjadi pada suatu benda kerja tergantung pada beberapa
faktor utama, antara lain :
 Jenis media pendingin
 Temperatur media pendingin
 Kuatnya sirkulasi pada media pendinginan
Beberapa media pendingin yang sering digunakan pada proses hardening,
diurutkan menurut kekuatan pendinginannya :
1. Brine (air + 10 % garam dapur)
2. Air
3. Salt bath (garam cair, dipanaskan sampai mencair)
4. Larutan minyak (oli) dalam air
5. Oli
6. Udara

4. MESIN DAN PERALATAN


4.1. Peralatan yang digunakan :
 Dapur pemanas (muffle furnace)
 Tang penjepit benda uji
 Media pendingin
 Alat uji kekerasan
 Mikrskop metalurgi dan accesoriesnya
 Mesin Gerinda dan Pemoles (grinding and Polishing machine)
 Kertas gosok dengan tingkatan kehalusan yang berbeda-beda (180, 240, 400, 500,
800, 1000, 1200).
 Serbuk alumina atau diamoned dust untuk polishing.
4.2. Spesimen
Spesimen berbentuk silinder, diameter antara 10 – 50 mm, dan tebalnya 10 – 25
mm. Sedang untuk benda uji berupa plat/batang dimensinya adalah : panjang, lebar dan
tinggi = 5 – 10 mm.

7. PELAKSANAAN PERCOBAAN
 Percobaan dilaksanakan menggunakan 3 jenis media pendingin yaitu ; air, oli dan
udara.
 Siapkan benda uji sesuai dengan dimensi yang telah ditentukan, ratakan permukaan
dengan menggunakan kertas gosok grid rendah.
 Catat dimensi benda uji pada lembar pengujian.
 Masukkan ketiga benda uji kedalam dapur pamanas.
 Panaskan benda uji sehingga mencapai temperatur sedikit diatas temperatur kritis A 3
(untuk baja karbon rendah sekitar 850 0C).
 Apabila dapur telah menunjukkan temperatur tersebut, tahan temperatur tersebut
selama 15 – 20 menit untuk menghomogenkan panas pada seluruh bagian benda
uji.
 Dengan menggunakan tang penjepit, ambil benda uji satu persatu dan dinginkan
dengan cara memasukkan benda uji 1 ke dalam air, benda uji 2 kedalam oli dan
benda uji 3 didinginkan di udara terbuka.
 Setelah benda uji dingin, keluarkan benda uji dari media pendingin dan gosok kedua
permukaan penampang benda uji dengan menggunakan kertas grit halus sehingga
memiliki permukaan yang halus.
 Selanjutnya dengan menggunakan mesin uji kekerasan, dapatkan nilai kekerasan
masing-masing benda uji tersebut diatas. Masing-masing benda uji dilakukan
pengujian minimal tiga kali.
 Catat hasilnya pada lembar pengujian.

JENIS BAHAN No NILAI KEKERASAN (……….)


PENDINGINAN PENDINGINAN PENDINGINAN
AIR OLI UDARA
1
2
3
1
2
3
1
2
3

8. SOAL-SOAL
1. Hitung kekerasan masing-masing spesimen yang telah
dilakukan perlakuan panas
2. Plotkan diagram pemanasan (Temperatur-Waktu) untuk
masing-masing perlakuan.
3. Berikan analisa saudara tentang hubungan jenis heat
treatment terhadapkan kekerasan suatu bahan.
4. Bagaimana hubungan antara laju pendinginan dengan jenis
media pendingin yang dilakukan dalam praktikum.
5. Jelaskan struktur mikro akhir yang terbentuk pada masing-
masing proses laku panas yang dilakukan.
6. Jelaskan mekanisme terbentuknya martensit pada proses
hardening.
7. Gambarkan diagram TTT untuk spesimen bahan
pengujian.
8. Pada industri apa saja perlakuan panas sering dilakukan.
9. Apa saran saudara terhadap pelaksanaan praktikum ini.

PRAKTIKUM
JOMINY HARDENABILITY TEST
1. PENDAHULUAN
Pengaruh komposisi paduan terhadap suatu baja paduan untuk bertransformasi
menjadi martensit pada pendinginan cepat (quenching) berhubungan dengan suatu
parameter yang disebut dengan hardenability. Untuk setiap perbedaan paduan baja
terhadap hubungan yang spesifik antara sifat-sifat mekanis dengan kecepatan
pendinginan.
Hardenability adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan
kemampuan suatu paduan untuk dikeraskan dengan membentuk martensit sebagai hasil
dari proses perlakuan panas. Hardenability bukanlah kekerasan (hardness), tetapi
pengukuran kekerasan digunakan untuk menyatakan sejauh mana transformasi martensit
dalam suatu spesimen.
Baja yang mempunyai hardenability tinggi adalah baja paduan yang keras
(membentuk martensit) tidak hanya pada bagian permukaannya, tetapi juga sampai
kedalaman tertentu suatu spesimen. Atau dengan kata lain hardenability adalah suatu
ukuran kedalaman paduan baja untuk dikeraskan.

2. TUJUAN
Tujuan praktikum Jominy hardenability test antara lain adalah :
 Mempelajari hardenability band suatu paduan baja
 Mengetahui pengaruh jarak dari ujung quench terhadap perubahan kekerasan suatu
bahan.
 Mempeajari pengaruh media pendingin, laju pendinginan, temperatur pemanasan,
holding time dan benruk geometri terhadap hardenability suatu paduan baja.

3. DASAR TEORI
3.1. Hardenability
Hardenability didefenisikan sebagai kemampuan suatu bahan paduan baja untuk
dikeraskan dengan membentuk martensit sebagai proses perlakuan panas. Disamping itu
hardenability juga menggambarkan dalamnya pengerasan yang diperoleh dengan
quenching, biasanya dinyatakan dengan jarak suatu titik dibawah permukaan yang
strukturnya terdiri dari 50 % martensit.
Dalam melakukan pengerasan dengan pembentukan martensit, bila laju
pendinginannya dapat mencapai laju pendinginan kristis (CCR) maka kekerasan yang
terjadi pada dasarnya tergantung pada kadar karbon paduan tersebut (pada austenit pada
saat pemanasan). Bila laju pendinginan yang terjadi pada benda lebih lambat dari CCR
maka jumlah martensit yang terbentuk akan berkurang yang menyebabkan berkurangnya
kekerasan. Hubungan antara kekerasan sesudah quenching denga kadar karbon dalam
austenit dan jumlah martensit yang terbentuk digambarkan pada gambar 5.1

gambar

Gambar 5.1. memperlihatkan kekerasan dicapai bila dapat diperoleh martensit dengan
kadar karbon tertentu, tidak memperlihatkan bagaimana sejumlah martensit itu dapat
diperoleh.
Bila suatu benda kerja didinginkan dengan suatu media pendingin maka yang
paling cepat menjadi dingin adalah yang paling dengan permukaan, atau dengan kata
lain laju pendinginan dipermukaan akan lebih tinggi dibandingkan dengan bagian dalam.
Gambar 5.2. memperlihatkan kurva pendinginan dari beberapa titik dalam batang
dengan diameter 1 inchi.
Kurva pendinginan ini bila diplot pada diagram CCT (seperti pada gambar 5.3)
akan dapat dilihat bahwa bagian yang dekat permukaan dapat mencapai laju pendinginan
kristis (CCR) sedangkan bagian yang lebih dalam mungkin tidak dapat mencapai CCR
(martensit yang terbentuk makin sedikit) sehingga kekerasannya semakin turun.

Gbr
Suatu batang baja setelah diquench, lalu dipotong dan diukur kekerasan
penampangnya mulai dari permukaan sampai pusat, maka akan didapat kurva distribusi
kekerasan (hardness-penetration diagram atau hardness-trasferse diagram) batang baja
tersebut. Gambar 5.4 memperlihatkan kurva distribusi kekerasan 3 jenis baja.
Laju pendinginan pada benda besar akan lebih lambat daripada benda kecil,
sehingga mungkin saja baja yang sama bila dibuat dengan ukuran yang berbeda akan
dapat menghasilkan kekerasan yang berbeda pada bagian pusatnya, seperti yang
ditunjukkan pada gambar 5.5.

Gambar

Hardenability ditentukan oleh letak kurva awal trasformasi pada CCT diagram,
makin ke kanan letak kurva awal trasformasi maka makin tinggi hardenability baja
tersebut. Karena itu hardenability dipengaruhi oleh 2 hal, yaitu ; komposisi kimia baja
dan ukuran butir austenit baja pada saat pemanasan.

3.2. Jominy Hardenability Test


Jominy hardenability test merupakan salah satu metoda untuk mendapatkan
hardenability band suatu paduan baja, dinamakan juga Jominy end quenched
hardenability band test karena pada pengujian ini menggunakan spesimen berupa batang
silindris yang diquench pada salah satu ujungnya untuk pengujian.
Paduan baja yang akan diuji hardenabilitynya, terlebih dahulu dibuat spesimen
berbentuk batang silindrik diameter 1 inchi, panjang 4 inchi. Spesimen dipanaskan
dalam dapur pemanas sampai temperatur austenizing yang dianjurkan untuk baja
tersebut dan diholding selama waktu tertentu (lebih kurang 20 menit). Setelah itu
spesimen dikeluarkan dari dapur pemanas dan ditempatkan pada pemegang (frame) dan
ujungnya disemprotkan dengan air yang dikeluarkan dari nozzle dengan diameter 0,5
inchi. Tinggi pancaran air bebas 2,5 inchi. Gambar 5.6B memperlihatkan desain dari
peralatan Jominy hardenability test.
Gbr

Setelah dingin permukaan spesimen dihaluskan dengan kertas gosok hingga


kedalaman 0,4 mm, selanjutnya diukur kekerasan sepanjang sisi silinder. Dari hasil
pengukuran kekerasan ini selanjutnya dibuat kurva hardenability (kurva kekerasan
terhadap jarak dari ujung quench), seperti ditunjukkan pada gambar 5.7.

Gbr

Setiap titik pada spesimen jominy ini mengalami laju pendinginan yang berbeda,
yang besarnya dianggap sama untuk titik yang sama pada spesimen lain. Pada suatu
paduan baja yang mengalami pendinginan yang sama akan mempunyai stuktur dan
kekerasan yang sama, maka dengan memperhitungkan laju pendinginan yang akan
terjadi pada suatu titik pada suatu benda kerja tertentu maka akan dapat diramalkan
berapa kekerasan yang akan terjadi pada titik itu, yaitu dengan melihat di suatu titik pada
spesimen jominy yang mengalami pendinginan dengan laju yang sama, sehingga juga
akan dapat diramalkan bagaimana distribusi kekerasan pada penampang suatu benda
kerja.
Kekerasan maksimum suatu baja pada dasarnya tergantung pada kadar karbon,
sedangkan hardenability tergantung pada kompsisi kimia (% C dan unsur paduannya)
dan besar butir austenitnya. Gambar 5.8 memperlihatkan perbandingan hardenability
jenis baja yang memiliki kadar karbon sama tetapi mengadung unsur paduan yang
berbeda.

Gambar
Dalam suatu standar baja, komposisi kimianya ditentukan dalam range tertentu,
sehingga hardenability suatu baja/paduannya dari suatu standar menjadi sangat
bervariasi, sedangkan untuk beberapa keperluan diperlukan baja dengan hardenability
yang terjamin. Untuk itu kemudian dibuat standar baja dengan jaminan pada
hardenabilitynya, misalnya pada standart AISI dinyatakan dengan huruf H dibelakang
nomor kode baja (AISI 4140H).
Batas harga maksimum dan minimum hardenabilitinya dinyatakan dengan
hardenability band seperti terlihat pada gambar 5.9

Gaambar.

4. MESIN DAN PERALATAN


4.1. Peralatan yang Digunakan
1. Alat uji Jominy
2. Dapur pemanas (muffle furnace)
3. Tang penjepit benda uji
4. Alat uji kekerasan
5. Mesin gerinda
6. Kertas Gosok dengan tingkatan kehalusan berbeda.

4.2. Spesimen
Spesimen berupa paduan baja yang berbentuk batang silinder berdiameter 1 inchi
dan panjang 4 inchi, seperti terlihat pada gambar 5.10.

5. PELAKSANAAN PENGUJIAN
a. Panaskan spesimen dalam dapur pemanas hingga
temperatur austenitsasi dan hlding
pada temperatur tersebut sekitar 20 menit.
b. Set tinggi air bebas pada saat nozzle dibuka adalah
2,5 inchi kemudian kran dimatikan.
c. Spesimen yang telah dipanaskan selanjutnya
dikeluarkan dari dapur pemanas dengan menggunakan tang penjepit dan
selanjutnya spesimen diletakkan pada tempat (frame) yang telah ditentukan pada
peralatan tersebut.
d. Buka kran sehingga dari ujung nozzle akan
menyemprot air ke ujung spesimen jominy. Pendinginan dilakukan hingga
spesimen menjadi dingin (temperatur kamar).
e. Gosok permukaan spesimen (batang silindrik)
dengan menggunakan kertas gsok hingga kedalaman 0,4 mm.
f. Lakukan pengujian kekerasan pada titik-titik
sepanjang 2 inchi partama dari ujung quench batang silindrik. Jarak antar titik pada
½ inchi pertama adalah 1/16 inchi, sedangkan pada 1 ½ inchi berikutnya 2/16
inchi.
g. Catat hasil pada tabel
h. Ulangi langkah a-g untuk pengujian spesimen lain.
Jarak dari Ujung Quench
Kekerasan (…………….)
(inchi)
1/16
2/16
3/16
4/16
5/16
7/16
½
10/16
12/16
14/16
1
1 2/16
1 4/16
1 6/16
1 8/16
1 10/16
1 12/16
1 14/16
2

6. SOAL-SOAL
A. Plot kurva hubungan kekerasan terhadap jarak dari ujung quench
B. Jelaskan analisa saudara tentang hardenability spesimen tersebut.
C. Sebutkan manfaat diketahuinya hardenability band suatu material.
D. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya perubahan
kekerasan sepanjang permukaan spesimen uji.
E. Mengapa dilakukan penahanan temperatur (holding temperatur) sebelum
spesimen sisinginkan dengan semprotan air.
F. Bagaimana aplikasi jominy tes digunakan dilapangan
G. Apa saran saudara terhadap pelaksanaan pengujian ini.

Anda mungkin juga menyukai